Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae. M. leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, bakteri ini
berukuran 3-8 m x 0,2-0,5 m, bersifat tahan asam, berbentuk batang, tidak bergerak dan
berspora, serta merupakan bakteri Gram positif. M. leprae dapat menyerang saraf perifer,
kulit, mukosa saluran napas bagian atas, serta jaringan tubuh lainnya, kecuali sistem saraf
pusat. Cara penularannya belum diketahui dengan pasti, tetapi hanya berdasarkan
anggapan klasik, yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat serta secara
inhalasi droplet.1,2

Pada tahun 1991, World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi
kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan
prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia, hal ini
dikenal dengan istilah Eliminasi Kusta Tahun 2000.1

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun
tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Namun, saat ini Indonesia masih
merupakan salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia. Pada tahun
2006, WHO mencatat penderita baru di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbanyak
setelah India dan Brazil, yaitu sebanyak 19.695 orang. Sedangkan kasus kusta yang
tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru sebanyak 16.668 orang.
Distribusi tidak merata, yang tertinggi ada di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.1,3

Kusta merupakan penyakit yang ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi,
mutilasi, dan deformitas. Hal ini terjadi akibat kerusakan saraf besar yang irreversibel di
wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, adanya kerusakan yang berulang-ulang pada
daerah anestetik, serta terjadinya paralisis dan atrofi otot. Penderita kusta bukan hanya
menderita karena penyakitnya, tetapi juga karena dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya.1

1
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Bentuk gejala klinis bergantung pada sistem imunitas seluler
penderita. Bila sistem imun seluler baik, maka akan tampak gambaran klinis ke arah
tuberkuloid. Sebaliknya, apabila sistem imun seluler buruk, maka akan memberikan
gambaran lepromatosa.1

2
BAB II

GAMBARAN UMUM PUSKESMAS

Gambar 2.1. Puskesmas Bara-Baraya

A. LETAK DAN DEMOGRAFI PUSKESMAS BARA-BARAYA

Puskemas Bara-baraya merupakan salah satu puskesmas penyedia fasilitas


Rawat Inap dan merupakan satu dari tiga puskesmas yang berada di
wilayah Kecamatan Makassar Kota Makassar. Letaknya tidak jauh dari pusat
Kota Makassar, yaitu di Kelurahan Bara-baraya tepatnya di jalan Abu
Bakar Lambogo No. 141 Makassar. Wilayah kerjaPuskesmas Bara-baraya
yang mencakup 6 Kelurahan dari 14 Kelurahan dalam wilayah Kecamatan
Makassar.

Luas Wilayah kerja Puskesmas Bara-baraya di Kecamatan Makassar yang


meliputi Kelurahan Bara-baraya, Kelurahan Bara-baraya Timur, Kelurahan
BaraBaraya Utara, Kelurahan Bara-baraya Selatan, Kelurahan Lariangbangi, dan
Keluarahan Barana. Luas masing-masing kelurahan yang merupakan wilayah kerja
Puskesmas Bara-baraya dapat dilihat di tabel berikut :

3
Tabel 2.1. Wilayah Kerja Puskesmas Bara-Baraya

Luas wilayah kerja Puskesmas Bara-baraya secara keseluruhan adalah


0,98 km2 atau sekitar 43,5 % dari luas Kecamatan Makassar yang seluruhnya
seluas 2,25 km2. Adapun batas-batas wilayah kerja Puskesmas Bara-baraya adalah
:

1) Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tamamaung.

2) Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Kelurahan Maccini.

3) Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Rappocini.

4) Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Maradekaya dan Pisang Utara.

Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk di wilayah kerja


Puskesmas Barabaraya berdasarkan wilayah kelurahan disertai sejumlah RW
dan RT masing-masing kelurahan terlihat pada tabel berikut ini.

4
Tabel 2.2. Jumlah RW, RT dan KK

Di Wilayah Kerja Puskesmas Bara-baraya

B. KEADAAN LINGKUNGAN

Puskesmas Bara-baraya terletak di daerah perkembangan kota dengan


lingkungan pemukiman yang padat. Terdapat beberapa daerah yang masih kumuh
terutama daerah pinggiran. Sebagian wilayahnya merupakan datarn rendah,
sehingga memungkin terjadinya banjir.

C. VISI DAN MISI PUSKESMAS BARA-BARAYA

1. Visi Puskesmas Bara-baraya

Menjadi puskesmas dengan pelayanan terbaik di Sulawesi Selatan, lima


terbaik di Indonesia Timur dan 10 terbaik di Indonesia. 2.Misi Puskesmas Bara-
baraya

a. Meningkatkan sarana dan prasarana.

b. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam pelaksanaan


pelayanan kesehatan secara berkelanjutan.

c. Mengembangkan jenis layanan dan mutu pelayanan kesehatan.

d. Meningkatkan sistem informasi dan manajemen puskesmas.

e. Mengembangkan kemitraan.

5
f. Meningkatkan upaya kemandirian masyarakat.

Tujuh Upaya Kesehatan Wajib Puskesmas Bara-baraya adalah sebagai berikut :

a) Upaya promisi kesehatan

b) Upaya Kesehatan Lingkungan

c) Upaya Pencegahan dan Pemberantasan penyakit

d) Upaya Pengobatan

e) Upaya kesehatan keluarga/kesehatan ibu&anak/keluarga berencana.

f) Upaya perbaikan gizi masyarakat

g) Upaya usaha kesehatan sekolah (UKS)/ Usaha kesehatan gigi sekolah


(UKGS)/ Usaha Kesehatan gigi Masayarakat (UKGM)

D. UPAYA KESEHATAN
a) Ketenagaan

Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Bara-


baraya adalah 39 orang masing-masing yang akan dirincikan
sebagai berikut.

Tabel 2.3. Distribusi Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Wilayah

Kerja Puskesmas Bara baraya

No. Jenis Jumlah

1. Dokter Umum 4

2. Dokter Gigi 2

6
3. Penyelanggara Keperawatan 11

4. Penyelenggara Kebidanan 10

5. Apoteker 1

6. Asisten Apoteker 1

7. Tata Usaha 2

8. Perawat Gigi 2

9. Penyelenggara Gizi 1

10. Pelaksanaan Laboratorium 2

11. Pelaksana sanitasi 1

12. Rekam Medik 1

13. Juru Masak 1

Jumlah 39

Puskesmas Bara-baraya adalah Puskesmas Plus yang merupakan


puskesmas yang melayani selama 24 jam (Rawat Inap), maka tenaga
perawat merupakan tenaga terbanyak dengan jumlah 11 orang dan juga
tenaga bidan sebanyak 10 orang.

b) Pelaksanaan Kegiatan

1 Poliklinik (Health Care and Effective Communication With


Patients)

Merupakan pelayanan yang bersifat pribadi (Private


Goods) dalam bentuk rawat jalan dengan tujuan utama
menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan

7
tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan
penyakit.

2 Kamar Obat

Setelah pasien mendapatkan resep obat dari dokter,


pasien dapat langsung mengambil obat di kamar obat/apotek.

3 Pelayanan Imunisasi

Kegiatan imunisasi di Puskesmas melayani balita, ibu


hamil, dan wanita yang ingin menikah (Imunisasi Tetanus
Toksoid).

4 Keluarga Berencana (KB)

Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk konseling dan


cara penggunaan bermacam-macam alat kontrasepsi yang tersedia
di Puskesmas.

5 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

Kegiatan ini berupa pelayanan kesehatan yang


ditujukan pada ibu hamil (Antenatal Care) berupa penimbangan
BB, Pengukuran TB, LLA, dan Pemeriksaan Leopold.

6 Perawatan Umum

Terdapat kamar perawatan rawat inap, setiap pasien


difollow up secara rutin setiap hari oleh dokter umum yang
bertugas dan dibantu oleh perawat.

7 Perawatan Persalinan

Jika seorang ibu hamil melahirkan di puskesmas,


disediakan perawatan persalinan untuk dipantau
perkembangannya.

8
8 Laboratorium

Fasilitas laboratorium yang tersedia adalah, Pemeriksaan


Darah Rutin (Hb, Leukosit, LED, Hematokrit, Trombosit), DDR,
Widal, GDS, Urin rutin, Plano Test.

9 Puskesmas Keliling

Kegiatan Puskesmas keliling ini, dirangkaikan dengan


kegiatan posyandu, imunisasi, pengobatan gratis. Pasien yang
datang berupa balita, anak-anak, ibu hamil, dan lansia.

10 Penyuluhan (Promosi Kesehatan)

Penyuluhan kesehatan dilakukan dibeberapa Sekolah yang


berada di wilayah kerja Puskesmas, serta di Posyandu.

11 Unit Gawat Darurat ( UGD)

Selama 24 jam Puskesmas Bara-baraya membuka


pelayan UGD, yang melayani kasus emergency yang trauma
maupun yang non trauma ataupun non emergency.

E. Alur Pelayanan Puskesmas Bara-baraya

9
Gambar 2.2. Alur Pelayanan Puskesmas Bara-Baraya

10
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
A. Nama Penderita : Dg. Sulle
a. Umur : 70 tahun
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Pendidikan : SD
d. Alamat : JL. Abu Bakar Lambogo Lorong 12, Makassar

B. PEMERIKSAAN

1. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Bercak dan nodul Berwarna Merah Pada Seluruh


Tubuh

Anamnesis Terpimpin : Seorang wanita 70 Tahun dengan keluhan Bercak dan


Berwarna Merah di seluruh tubuh yang dialami sejak
3 tahun yang lalu, akan tetapi memberat sejak 1 tahun
terakhir. Bercak Kemerahan muncul pertama kali
pada tungkai kanan, yang kemudian menyebar ke
wajah, dada,punggung, lengan atas kiri dan kanan,
perut. Bercak tersebut tidak dirasakan, bercak tersebut
ada yang dirasakan gatal, tetapi ada yang dirasakan
tidak gatal dan nyeri pada perabaan. Selain itu pasien
mengeluh demam yang hilang timbul sejak 3 tahun
yang lalu, selain itu pasien menyangkal adanya alis
yang rontok. Sebelumnya 3 tahun lalu, pasien tidak
pernah memeriksakan diri ke Dokter atau ke
Puskesmas, akan tetapi Karen keluhan demam makin
memberat dan pasien tidak bisa lagi beraktivitas
makan pada 2 bulan lalu, pasien memeriksakan diri ke
Dokter Spesialis Kulit Kelamin untuk Pemeriksaan

11
BTA, dan dari hasil pemeriksaaan BTA, BTA Nya
(+), Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang
sama.

Riwayat pengobatan : Pasien sudah menggunakan ROM sejak 2 bulan


yang lalu

Riwayat penyakit Keluarga : Disangkal oleh keluarga dan pasien

Riwayat alergi

Makanan : disangkal pasien

Obat : disangkal pasien

Riwayat Atopi

Asma : disangkal pasien

Bersin dipagi hari : disangkal pasien

Debu : disangkal pasien

Riwayat Sosial

Rumah semipermanen, terdiri dari 1 kamar bergabung bersama ruang tamu, dan
satu ruangan dapur. ventilasi cukup, sumber air dari penampungan.

B. Pemeriksaan fisik

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Tampak sakit Berat

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 100/80 MmHg

12
Nadi : 78 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 38,2C

Kepala : Mata : Konjungtiva Anemis -/- Sklera ikterik: -/-

Leher : Trakea ditengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-)

Jantung : SI-II normal, Bising (-)

Paru: Suara pernapasan bronkovesikuler, ronki -/-, wheezing


-/-

Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal, nyeri epigastrium (-)

Hepar/Lien : tidak teraba membesar

Ekstremitas : Akral hangat, edema

STATUS DERMATOLOGIS

regio facialis : nodul eritematosa (+), multipel,


berbatas tidak tegas, erosi (-)
lagoftalmus (-) madarosis
hampir (+)

regio auricularis dextra sinistra : nodul eritematosa (-), Deformitas


(-)

region nasalis : Sadle Nose (+)

regio femoralis sinistra Dextra : makula eritematosa, batas tegas,


ukuran plakat,

13
regio cruris dekstra : skuama (+), ekskoriasi (+),
ukuran plakat, bentuk tidak
teratur.

Region cruris sinistra : Nodul Makula eritematosa.

Diagnosis Banding:

Pitiriasis versikolor

Pitiriasis rosea

Pemeriksaan Penunjang :

Sensibilitas : raba, nyeri, suhu (hipoestesi) daerah yang lesi.

Saraf : palpasi saraf perifer

Nervus : nyeri tebal konsistensi

N. Auricularis magnus -/- -/- lunak

N. Ulnaris +/- -/- lunak

N. Peroneus lateral -/- -/- lunak

N. Tibialis posterior -/- -/- lunak

Laboratorium : pewarnaan Ziehl Nielsen ditemukan BTA (+) Solid (+)


Fragmental (+) Granul (+) Globi (-)

Diagnosis Kerja :

Morbus Hansen multibasiler

Penatalaksanaan:

Farmakologi:

MDT MH multibasiler WHO selama 1 tahun yang terdiri dari:

14
Rifampisin 600 mg 1x1 / bulan
DDS 100 mg 1x1 / hari
Lampren (klofazimin) 300 mg 1x1 /bulan kemudian dilanjutkan dengan
50 mg 1x1 / hari

KIE :

1. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi


pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus
rajin mengambil obat di puskesmas Bara-Baraya dan tidak boleh putus obat.

2. Penyakit ini mengganggu saraf, sehingga pasien akan merasakan mati rasa,
oleh karena itu disarankan agar pasien menghindari trauma agar tidak
memungkinkan terjadinya infeksi lain, misalnya dengan cara :

- Menggunakan sepatu atau pelindung kaki yang berbahan aman dari trauma.

- Rajin membersihkan sepatu dari kerikil atau batu yang bisa masuk ke
dalamnya.

Prognosis

Pada umumnya baik, hanya jika pasien mampu mengikuti program secara teratur.

15
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kusta
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,
dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum.4 Penyakit kusta disebut juga dengan lepra yang dalam kitab injil,
terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit
kulit lainnya.4 Selain lepra, kusta juga dikenal dengan nama Morbus Hansen, sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada
tahun 1874.5
Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila
dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang. Pengertian kusta saat ini adalah
penyakit infeksi kronik yang penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat yang menyerang saraf perifer, kemudian kulit, mukosa saluran
pernafasan bagian atas, lalu ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.5

B. Epidemiologi Kusta
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Masuknya kusta ke
pulau-pulau Malanesia termasuk Indonesia, diperkirakan pada abad ke IV-V yang
diduga dibawa oleh orang-orang India dan China yang datang ke Indonesia untuk
menyebarkan agamanya dan berdagang.4
Distribusi penyakit di tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri berbeda-
beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara
sampai saat ini belum jelas benar, kemungkinan karena adanya faktor kesempatan
berpaparan dengan penderita kusta dan predisposisi genetik.4
Pada tahun 2002 ada 17 negara yang melaporkan penemuan lebih dari 1000
kasus baru dan selama tahun 2005 juga melaporkan 1000 atau lebih kasus baru dan
mempunyai kontribusi 94% dari keseluruhan kasus baru yang terjadi di dunia. Dimana

16
jumlah penderita kusta kasus baru yang dilaporkan di dunia pada tahun 2005
diperkirakan sekitar 296.499, dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional
Asia Tenggara (201.635) diikuti Afrika (42.814), Amerika (41.780) dan sisanya berada
di regional lain di dunia.4,6

Tabel 1
Penemuan penderita kusta kasus baru di 17 negara pada tahun 2002-2005. 6
Jumlah Kasus Baru Yang ditemukan
No. Negara 2002 2003 2004 2005
1 Angola 4.727 2.933 2.109 1.877
2 Banglades 9.844 8.712 8.242 7.882
3 Brazil 38.365 49.206 49.384 38.410
4 Cina 1.646 1.404 1.499 1.658
5 Kongo 5.037 7.165 11.781 10.737
6 Mesir 1.318 1.412 1.216 1.134
7 Etiopia 4.632 5.193 4.787 4.698
8 India 473.658 367.143 260.063 16.1457
9 Indonesia 16.229 15.913 16.572 19.695
10 Madagaskar 5.482 5.104 3.710 2.709
11 Mozambik 5.830 5.907 4.266 5.371
12 Myanmar 7.368 3.808 3.748 3.571
13 Nepal 13.380 8.046 6.958 6.150
14 Nigeria 5.078 4.799 5.276 5.024
15 Filipina 2.479 2.397 2.254 3.130
16 Sri Langka 2.214 1.925 1.995 1.924
17 Tanzania 6.497 5.279 5.190 4.237
Total 599.945 495.074 389.027 279.664
Total Global 620.638 514.718 407.791 296.499

Di Indonesia, peningkatan kasus terjadi pada tahun 2005 sebesar 19.695 kasus
dimana pada tahun 2004 hanya terdapat 16.572 kasus. Sepanjang tahun 2007 penderita
baru yang ditemukan sebanyak 17.726 penderita dengan perincian pausibasilar (PB)

17
sebanyak 3.643 penderita dan multibasilar (MB) sebanyak 14.726 penderita, dengan
angka penemuan penderita baru New Case Detection Rate (NCDR) sebesar
7,84/100.000 penduduk (0,78/10.000 penduduk). Seiring dengan peningkatan NCDR,
angka prevalensi penderita kusta juga mengalami peningkatan. Hingga akhir
Desember 2007, jumlah penderita kusta terdaftar sebanyak 23.652 penderita yang
terdiri dari 20.313 penderita MB dan 3.339 penderita PB, dengan angka prevalensi
kusta sebesar 1,05.7 Peningkatan penemuan penderita baru serta peningkatan angka
prevalensi kasus dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2
Penemuan penderita kusta pada tahun 2000-2007 di Indonesia.5
Tahun Jumlah Penderita PB MB NCDR (per 100.000
penduduk)

2000 14.697 3.430 11.267 7.22


2001 14.722 3.408 11.314 7.21
2002 16.229 3.853 12.376 7.76
2003 15.913 3.690 12.223 7.53
2004 16.572 3.615 12.957 7.80
2005 19.695 4.056 15.639 8.99
2006 18.300 3.550 14.750 8.27
2007 17.726 3.643 14.081 7.84

Pada tahun 2007, Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah India dan
Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara
nasional Indonesia telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara
nasional angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk.
Namun untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14
provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk.
Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.8,9

18
C. Etiologi Kusta
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai Mycrobacterium
leprae yang ditemukan oleh G. Armanuer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia.5
Mycrobacterium leprae adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, berukuran panjang 3-8 m dan lebar 0,2-0,5 m, biasanya berkelompok dan
ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan bersuhu dingin dan
tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini mempunyai afinitas yang besar
pada sel saraf (Schwann cell) dan sel dari sistem retikuloendotelial. Kuman ini juga
dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo.5
Masa belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan
dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu 2-
5 tahun.2, 7 Mycrobacterium leprae tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol oleh karena itu dinamakan sebagai
basil tahan asam.5
Belum ditemukannya medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifat-
sifat Micobacterium leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun
masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung
Mycobacterium leprae sampai 103 basil per gram jaringan, penularannya tiga sampai
sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang hanya mengandung 107
basil per gram jaringan.5
Mycobacterium leprae dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat
dan air susu ibu, jarang terdapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung
Mycobacterium leprae yang berasal dari saluran pernafasan bagian atas. Di luar tubuh
manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9
hari.4,5

D. Patogenesis Kusta
Pada tahun 1960, Shepard berhasil menginokulasikan M. Leprae pada kaki
mencit dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam
spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan
spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan

19
dan kalau melampaui jumlah maksimal tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan.5
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti radiasi (900 r),
sehingga kehilangan respon imun selulernya, akan menghasilkan granuloma penuh
basil terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki
dan ekor. Basil tersebut selanjuttnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah
satu postulat Koch, meskipun belum sepenuhnya dapat dipenuhi.5
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.5
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinis
lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.5
Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui
kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M.leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang
lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksik.10
M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di
jaringan syaraf. Bila kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan
bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear,
histiosit) untuk memfagositnya.10

20
Gambar 1: Patogenesis Lepra.5
Keterangan:
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: Tuberkuloid indefinite
BT: Borderline tuberculoid
BB: Mid Borderline bentuk yang labil
BL: Borderline lepromatous
Li: Lepromatosa indefinite
LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100% yang merupakan bentuk yang stabil. Begitu
pula tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%.
Sedangkan tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran. BB adalah tipe
campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih
banyak tuberkuloid, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, yang berarti dapat bebas beralih tipe baik kea rah
TT atau kearah LL.5
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi
dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.10
Pada kusta tipe TT, kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kumannya. Sayangnya setelah semua kuman

21
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif
dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera
diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan
syaraf dan jaringan disekitarnya.10
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae. Di samping itu
sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman
dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi syaraf berkurang dan
terjadi kerusakan syaraf yang progresif.10

E. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber
penularan. Meskipun kuman kusta dapat hidup dalam simpanse dan kaki tikus yang
tidak mempunyai thymus.5, 11

F. Penularan Kusta
Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui pasti,
hanya berdasarkan anggapan klasik, yaitu:
1. Melalui inhalasi. Sebab M. leprae masih dapat hidup dalam 27 x 24 jam dalam
droplet.5, 12
2. Kontak langsung antar kulit yang lama dan berulang-ulang, serta terdapatnya lesi
baik mikoskopis maupun makroskopis.5
Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara
kontak langsung antar kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress (1975),
penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni
jumlah atau keganasan Mycobakterium leprae dan daya tahan tubuh penderita.5
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit,
folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum
dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.
Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.5

22
G. Faktor Risiko Kusta
Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit kusta, hal ini
berhubungan dengan pejamu, agen penyakit dan lingkungan. Menurut Ress (1975),
faktor-faktor yang berperan dalam penularan adalah :
1. Usia
Data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan
resiko spesifik umur. Karena pada penyakit kronik seperti kusta, kejadian penyakit
sering terkait pada umur saat diketemukan dari pada saat timbulnya penyakit.7
Penyakit ini dapat menyerang semua umur, tetapi anak-anak lebih rentan dari
pada dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun
didapatkan 13%, tetapi anak di bawah 1 tahun sangat jarang.2, 4
Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan
untuk mencari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi
terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.5
2. Jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Namun pada perempuan
kejadiannya relatif lebih rendah. Hal ini mungkin terjadi karena laki-laki lebih
banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai gaya hidupnya yang mempunyai
mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.5
Pola distribusi penderita kusta di kota Ternate Utara tahun 2006 yang ditinjau
dari jenis kelamin dari total sampel 83 penderita terdapat pada kelompok laki-laki
sebanyak 52 orang (62,7%) dan kelompok perempuan 31 orang (37,3%).4
3. Etnik dan suku
Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak terkena penyakit kusta, hal ini dapat
disebabkan karena faktor predisposisi genetik yang berbeda.2, 16
Di Myanmar
kejadian kusta lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan etnik India. Di
Malaysia kejadian kusta lebih banyak terjadi pada etnik China dibandingkan etnik
Melayu atau India. Sementara di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa ataupun Melayu.4

23
4. Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi sangat berperan pada kejadian kusta. Dengan adanya
peningkatan ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang.5
Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial
ekonomi rendah, seperti Asia, Afrika dan Amerika latin.4
Faktor sosial ekonomi ini dapat dilihat dari pendidikan, pekerjaan,
penghasilan rata-rata keluarga dan tingkat kepadatan rumah. Dimana dapat
diasumsikan secara umum bahwa seseorang yang mempunyai pendidikan tinggi
mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang cukup tinggi lebih berorientasi
pada tindakan preventif, tahu lebih banyak tentang masalah kesehatan dan
memiliki status kesehatan yang baik.4

H. Klasifikasi Kusta
Tabel 3
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi.5
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB

Multibasilar berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL dan BB.
Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I.
menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar.
Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-
Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I,
TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.5
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta tipe pausibasilar (PB) adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling.
Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam
kusta multibasilar (MB). Sedangkan kusta tipe MB adalah semua penderita kusta tipe
BB, BL dan LL.5

24
I. Tanda-Gejala Kusta
Bila M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas
seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid,
sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.5

Tabel 4
Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler (PB). 5
Sifat Tuberkuloid (TT) Borderline Indeterminate
Tuberkuloid (BT) (I)
Lesi:
- Bentuk Bercak (makula) Bercak dibatasi Hanya infiltrat
saja; bercak dibatasi infiltrat; infiltrat saja
infiltrate
- Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau
dengan satelit beberapa

- Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi


- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas
atau dapat
tidak jelas
- Kehilangan Jelas Jelas Tidak ada
rasa pada sampai tidak
bercak jelas
BTA:
Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau 1+ Biasanya
negative negatif
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif

25
Tabel 5
Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Multibasilar (MB).5
Sifat Lepromatosa Borderline Mid Borderline
(LL) Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi:
- Bentuk Bercak, infiltrat Bercak, plakat, papul Plakat, Dome
difus, papul, shapped
nodus (kubah),
punched out
(lesi seperti
donat)
- Jumlah Tidak terhitung Sukar dihitung dan Dapat dihitung
dan tidak ada masih ada kulit yang dan kulit sehat
kulit yang sehat sehat jelas ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,
agak berkilat
- Batas Tidak jelas Tidak jelas Agak jelas
- Anestesia Biasanya tidak Tidak jelas Lebih jelas
jelas
BTA:
- Lesi kulit Banyak (terdapat Banyak Agak banyak
globus)
- Sekret Banyak (terdapat Biasanya negative Negatif
hidung globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya
negative

26
Tabel 6
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
PB MB
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(makula datar, papul - Hipopigmentasi/ - Distribusi lebih
yang meninggi, eritema simetris
nodus) - Distribusi tidak - Hilangnya sensasi
simetris kurang jelas
- Hilangnya sensasi
yang jelas
2. Kerusakan syaraf - Hanya satu cabang - Banyak cabang syaraf
(menyebabkan syaraf
hilangnya sensasi/
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf
yang terkena).

Selain kelainan pada kulit, kusta juga menyerang saraf perifer. Pada syaraf
perifer harus diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya
beberapa syaraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N.
aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis dan N.
tibialis posterior. Pada tipe yang mengarah ke lepromatosa, kelainan saraf biasanya
bilateral dan menyeluruh, sedangkan bagi tipe tuberkuloid, kelainan saraf lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.5
Gejala-gejala kerusakan syaraf:
1. N. ulnaris
- Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis.
- Clawing kelingking dan jari manis.
- Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis medial.5
2. N. medianus
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah.
- Tidak mampu aduksi ibu jari.

27
- Clawling ibu jari, telunjuk dan jari tengah.
- Ibu jari kontraktur.
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.5
3. N. radialis
- Anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari telunjuk.
- Tangan gantung (wrist drop)
- Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.5
4. N. poplitea lateralis
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
- Kaki gantung (foot drop)
- Kelemahan otot peroneus.5
5. N. tibialis posterior
- Anestesia telapak kaki.
- Claw toes
- Paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis.5
6. N. fasialis
- Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.
- Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.5
7. N. trigeminus
- Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.5
Kusta tipe netral murni memiliki tanda dan gejala seperti tidak ada dan tidak
pernah ada lesi kulit, ada satu atau lebih pembesaran saraf, ada anestesia dan atau
paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang dipersarafinya, bakterioskopi negatif, tes
mitsuda umumnya positif. Untuk menentukan biasanya tipe tuberkuloid, borderline
atau nonspesifik harus dilakukan pemeriksaan secara histopatologik.5
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya saraf fasialis yang dapat membuat
paralisis saraf orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata yang

28
lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan.5
Infiltasi pada granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus
testis.5
Kusta histoid merupakan varian lesi pada tipe lepromatosa yang pertama
ditemukan oleh WADE pada thun 1963. Secara klinis berbentuk nodus berbatas tegas
atau dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul
sebagai kasus relapse sensitive atau relaps resistant.5
Relaps sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang
dorman aktif kembali atau pengobatan yang telah diselesaikan tidak adekuat, baik
dosis dan lama pemberiannya. Disebut juga sebagai resisten sekunder. Relaps
resistents terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai
dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak diobati dengan obat yang sama karena
kuman telah resisten terhadap obat MDT. Disebut juga sebagai resisten primer.5
Kusta dikenal dengan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena dapat
terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas atau cacat tubuh. Deformitas pada kusta
menurut patofisiologisnya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder.5
Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya,
yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas
sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf. Umumnya deformitas diakibatkan
keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.5

J. Diagnosis Kusta
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis dan
histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan
paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit,

29
sedangkan histopatologik memerlukan waktu 10-15 hari. Penentuan tipe kusta ini perlu
dilakukan untuk menetapkan terapi yang sesuai.5
Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkinan
terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis
seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan seluruh tubuh saja, sebab ada
kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan
sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya.5
Dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa dan dari tempat mana
biopsinya diambil. Dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi
lalu dilakukan pemeriksaan menggunakan alat sederhana seperti jarum, kapas, tabung
reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya.2
Jika pada pemeriksaan inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia
sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini
dengan mudah dapat dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas
terhadap rasa raba dan jika masih belum jelas pula dengan kedua cara tersebut baru
dilakukan pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan
2 tabung reaksi.5
Perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula
tidak, yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Dapat pula diperhatikan
adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya.5

Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis kusta adalah:


1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam, antara lain ziehl neelsen. Bakterioskopik negatif pada
seorang penderita bukan berarti orang tesebut tidak mengandung basil M. leprae.5
Tentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah

30
lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua
cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu daerah yang
eritematousa dan paling iritatif. Setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna
pengambilan di tempat yang sama pada pengamatan pengobatan untuk
dibandingkan hasilnya.5
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi
iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan
mengganggu gambaran sediaan. Lakukan irisan yang dibuat sampai dermis,
melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan
banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil
M. leprae. Kerokan jaringan dioleskan ke gelas alas, difiksasi di atas api kemudian
lakukan pewarnaan ziehl neelsen.5
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara apusan hidung, terbaik
dilakukan pada pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat duh
tubuh (discharge) tersebut, apakah cair, serosa, mukoid, purulen, mukopurulen,
ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat langsung atau plastik tersebut dilipat
dan dikirim ke labolatorium.5
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam
skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari
daerah septum nasi. Sediaan dari mukosa hidung jarang dilakukan karena
kemungkinan adanya M. atipik dan M. leprae tidak pernah positif bila pada kulit
negatif.5
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) yang akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan
granular merupakan bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan antara
bentuk solid dengan non solid, sebab bentuk yang hidup lebih berbahaya karena
dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Dalam praktek susah
sekali menentukan solid dan non solid karena dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor.5

31
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut
RIDLEY. Dinyatakan 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP), 1+
bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10 BTA
rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1.000
BTA rata-rata dalam 1 LP, dan 6+ bila >100 BTA rata-rata dalam 1 LP. IB
seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan.5

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan


jumlah solid dan non solid.5
Rumus :
Jumlah solid
X 100% =
Jumlah solid + non solid
Syarat perhitungan:
- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus
mencari dalam 1000-10.000 lapangan
- Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus
dicari dalam 100 lapangan.

2. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non solid. Pada tipe
lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut.5
Tabel 7
Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling.5
Tipe
TT BT BB BL LL

32
TT Ti BT BB BL Li LL
Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -
Stabilitas imunologik ++ + - + ++
Reaksi borderline - + ++ + -
Eritema nodusum - - - - - + +
leprosum
Basil dalam hidung - - - - + ++ ++
Basil dalam 0 0-1+ 1-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+
granuloma
Sel epiteloid + + + + - - -
Sel datia langhans +++ ++ + + - - -
Globi - - - - - + +
Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++
Limfosit +++ +++ ++ + + +/
Infiltrasi zona sub + + +/- - - - --
epidermal
Kerusakan saraf ++ +++ ++ + + -

3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M. tuberculosis.5
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu
dapat membantu menentukan kusta subklinis karena tidak didapati lesi kulit,
misalnya pada narakontak serumah.5
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay) dan uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick).5

33
K. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Patofisiologinya masih belum diketahui. Klasifikasi reaksi
kusta ada dua, yaitu eritema nodusum leprosum (E.N.L) dan reaksi reversal atau reaksi
upgrading.5
E.N.L terutama timbul pada tipe lepromatosa polar (LL) dan dapat pula pada
borderline lepromatosa (BL), yang berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin
besar kemungkinan timbulnya E.N.L.5
Secara imunopatologis, E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae ditambah antibodi (IgM, IgG)
ditambah komplemen sehingga membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini
analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan
penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka E.N.L termasuk di
dalam golongan penyakit kompleks imun oleh karena salah satu protein M. leprae
bersifat antigenik sehingga antibodi dapat terbentuk.5
Kadar immunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi dibandingkan
tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah basil jauh
lebih banyak daripada tipe tuberkuloid.5
E.N.L. lebih banyak terjadi pada tahun kedua pengobatan, hal ini dapat terjadi
karena pada pengobatan banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak
antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi serta mengaktifkan sistem
komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang
akhirnya dapat melibatkan berbagai sistem organ.5
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan
gejala seperti iridoksiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis dan nefritis
yang akut dengan adanya proteinuria. E.N.L. dapat disertai gejala konstitusi dari
ringan sampai berat.5

34
E.N.L. tidak menyebabkan terjadi perubahan tipe kusta, sedangkan reaksi
reversal dapat menyebabkan terjadi perubahan tipe karena reaksi reversal terjadi pada
tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat disebut reaksi borderline.5
Pemegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan
mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada
hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi
pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya
terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusaan
saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang
memadai.5
Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kea rah TT dan LL
dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai
perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe kea rah TT
dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.5
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menajdi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa,
lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi
bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut perlu diperhatikan karena sangat
menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid. Tanpa gejala neuritis akut
pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.5

Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di
Meksiko dan Amerika tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan
prevalensi rendah.5
Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda,
bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstemitas, kemudian meluas
meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous, disertai purpura
dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.5

35
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal ismemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema dan proliferasi endotelial pembuluh darah
lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotelial kapiler. Walaupun tidak
ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada E.N.L., namun dengan
imunoflouresensi tampak deposit immunoglobulin dan komplemen di dalam dinding
pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi
pada semua penderita.5

L. Penatalaksanaan Kusta
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan
untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyemuhkan penderita dan
mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan tersebut sampai sekarang strategi
pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita
yang tampaknya masih merupakan dua hal penting.10
Dilihat dari sejarahnya, pengobatan kusta telah melalui beberapa fase
perkembangan yaitu era pre sulfon sampai ditemukannya obat-obat baru yang bersifat
mikrobakterisidal yang lebih efektif. Meskipun obat-obat baru yang ditemukan
tampaknya member harapan yang lebih cerah, namun karena masih dalam evaluasi uji
klinis maka regimen multi drugs treatment (MDT) masih dianjurkan dalam program
pemberantasan kustadi seluruh dunia termasuk Indonesia.10

Program Multi Drugs Treatment (MDT)


Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi
WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen
kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai regimen MDT-WHO. Regimen ini terdiri
atas kombinasi obat-obatan diamino difenil sulfon (DDS), rifampisin dan klofazimin.
Selain untuk mengatasi resistensi DDS yang semakin meningkat, penggunaan MDT
dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka
putus obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi DDS. Disamping
itu duharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.10

36
1. Diaminodifenil sulfon (DDS)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintetase. Jadi tidak seperti pada kuman lain, DDS bekerja sebagai anti metabolit
PABA. Resistensi terhadap DDS timbul sebagai akibat kandungan enzim sintetase
yang terlalu tinggi pada kuman kusta.10
Dosis DDS yang digunakan sebagai MDT adalah 50-100 mg/hari diberikan
sebagai dosis tunggal untuk dewasa atau 2 mg/kgBB dosis tunggal untuk anak-
anak.10
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan DDS biasanya
menjadi nol setelah 5-6 bulan. Obat ini sangat murah, efektif dan relatif aman.10
Efek samping yang mungkin timbul adalah nyeri kepala, erupsi obat, anemia
hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglobinemia. Namun efek samping
tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.5
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi sekunder
terjadi oleh karena monoterapi DDS, dosis terlalu rendah, minum obat tidak teratur
dan pengobatan yang terlalu lama setelah 4-24 tahun. Resistensi hanya terjadi pada
kusta multibasilar tetapi tidak pada kusta pausibasilar, hal ini disebabkan karena
SIS penderita PB lebih tinggi dan pengobatan relatif singkat.5
Resistensi primer terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten
dan manifestasinya dapat dalam beberapa tipe (TT, BT, BB, BL, LL) tergantung
pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan
dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yan tinggi DDS
tidak dapat dipakai lagi.5
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps
sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif secara klinis,
bakterioskopik dan histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif
kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tapi
setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.
leprae masih sensitif terhadap DDS.5

37
Pada relaps resistens dengan gejala klinis, baterioskopik dan histopatologik
yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada
mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS.5
2. Rifampisin
Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan
brsifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim
polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel.
Dosis tunggal 600 mg/hari atau 5-15 mg/kgBB mampu membunuh kuman
kira-kira 99,9% dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu sekali dengan
dosis tinggi (900-1200 mg) dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like
syndrome. Pemberian dosis 600 mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi
dengan baik.5
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, karena memperberat
kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu
diikutkan.5
Pemberian rifampisin tidak boleh diberikan setiap minggu atau tiap 2 minggu
mengingat efek sampingnya. Efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu like syndrome dan erupsi
kulit.5
3. Klofazimin (Lamprene)
Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek
bakteriostatik setara dengan DDS. Bekerjanya diduga melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen.10
Dosis sebagai anti kusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg 3 kali seminggu
atau 3x100 mg setiap bulan. Pada anak-anak dapat diberikan 1 mg/kgBB setiap
hari.10
Obat ini juga bersifat sebagai anti inflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari, namun
awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.5
Kekurangan obat ini adalah harganya mahal, di samping itu menyebabkan
pigmentasi kulit yang yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat
penderita.10

38
Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan
pada sclera, sehingga mirip seperti ikterus. Efek samping hanya terjadi dalam dosis
tinggi, berupa nyeri abdomen, mual, muntah, diare, penurunan nafsu makan. Selain
itu dapat terjadi penurunan berat badan. Perubahan warna tersebut akan mulai
menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.5
4. Etionamid dan Protionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai
pada pengobatan kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti klofazimin, pada kasus-
kasus yang keberatan karena pigmentasinya. Obat ini bekerja bakteriostatik, tetapi
cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta hepatotoksik,
oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada regimen pengobatan kusta.10
Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari. Distribusi protinamid dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.5

Obat Kusta Baru


Dalam penatalaksanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah yang timbul
yaitu adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya pengobatan terutama untuk
kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen MDT-PB juga masih menimbulkan
beberapa masalah, antara lain masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan
dan late reversal reaction (LRR) yang timbul setelah selesai pengobatan MDT.10
Selain itu dengan tidak dianjurkannya etionamid atau protionamid sebagai
pengganti klofazimin pada regimen MDT-WHO, maka praktis tidak ada alternatif lain
untuk rejimen tersebut.10
Jika seorang penderita kusta MB tidak mau menggunakan klofazimin karena efek
pewarnaan kulitnya,maka praktis ia tidak mendapat MDT penuh. Hal ini akan
membahayakan, jika seorang penderita mempunyai resistensi ganda yaitu terhadap
DDS dan rifampisin bersama-sama. Grosset dkk melaporkan bahwa 90% galur resisten
rifampisin juga menunjukkan resistensi terhadap DDS. Pengobatan penderita dengan
resistensi ganda ini semakin sulit.10
Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang
berbeda dengan obat-obat dalam regimen MDT-WHO saat ini. Idealnya obat-obat
kusta baru harus memenuhi syarat antara lain bersifat bakterisidal kuat terhadap M.

39
leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptibilitas penderita
baik, dapat diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari.
Diantara yang sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.10
1. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M.
leprae in vitro dibandingkan dengan siprofloksasin dan pefloksasin. Kerjanya
melalui hambatan terhadap enzim girase DNA mikobakterium.10
WHO saat ini sedang melakukan uji klinis untuk mengetahui daya guna 2
rejimen ofloksasin dibandingkan standar. Satu rejimen terdiri atas ofloksasin
dengan dosis 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600 mg/hari selama 1
bulan, baik untuk kusta PB dan MB. Regimen lain untuk kusta MB terdiri atas
kombinasi MDT-WHO ditambah ofloksasin 400 mg/hari selama 1 bulan
pertama.10
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala dan
halusinasi. Pengguanaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-
hati karena kuinolon dapat menyebabkan artropati.5
2. Minosiklin
Di antara turunan tetrasiklin, minosiklin merupakan satu-satunya yang aktif
terhadap M. leprae. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat lipofiliknya
sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel M. leprae dibandingkan
dengan turunan lain. Minosiklin bekerja menghambat sintesis protein melalui
mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang lain.10
Pada uji di telapak kaki tikus, konsentrasi hambatan minimum (KHM)
minosiklin menunjukkan kira-kira 0,2 g/ml, jauh lebih rendah daripada konsentrasi
minosiklin di jaringan dan serum penderita yang diobati dengan dosis lazim.
Bahkan pemberian minosiklin secara intermitten pada tikus dapat menghambat
multiplikasi kuman kusta. Hal ini disebabkan karena minosiklin mempunyai waktu
paruh yang panjang (sampai 13 jam pada manusia). Selain itu minosiklin dapat
menembus kulit dan jaringan kulit dan jaringan syaraf yang mengandung banyak
M. leprae.10

40
Uji klinis pada penderita kusta lepromatosa menunjukkan bahwa pemberian
minosiklin 100 mg/ hari menunjukkan perbaikan klinis nyata setelah pemberian
selama 2 bulan. Perubahan indeks morfologi menunjukkan 99% kuman kusta mati
pada hari ke-28 dan 99,9% pada hari ke-56 pengobatan.10
Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak,
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa. Berbagai tanda gejala saluran cerna
dan susunan saraf pusat. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau
selama kehamilan.5
3. Klaritromisin
Dibandingkan obat lain golongan makrolid (eritromisin dan roksitromisin),
klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan
minosiklin pada mencit.10
Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui
mekanisme yang lain dari minosiklin. Penderita kusta MB yang diobati dengan
klaritromisin 500 mg per hari menunjukkan respons klinis dan bakterioskopik
sama dengan pemberian ofloksasin dan minosiklin.10
Walaupun ada sinergisme antara minosiklin dengan klaritromisin, tetapi
kombinasi keduanya ternyata tidak lebih baik daripada pemberian sendiri-sendiri,
kemungkinan karena masing-masing memiliki kemampuan yang sudah terlalu
kuat.10
Eritromisin walaupun in vitro menunjukkan aktivitasnya terhadap M. leprae,
tetapi karena waktu paruhnya sangat pendek, tidak dipakai pada pengobatan kusta.
Roksitromisin, walaupun aktif terhadap M.leprae tetapi karena farmakokinetiknya
jelek ternyata tidak dapat menghambat perkembangan M. leprae pada telapak kaki
tikus.10
Efek sampingnya adalah mual, muntah dan diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.5
Dengan adanya obat-obat baru tersebut, telah ditetapkan rejimen baru yang
disebut ROM yaitu kombinasi antara rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg. rejimen ini diberikan sekali dosis tunggal pada kusta PB lesi
tunggal. Di samping itu saat ini sedang dilakukan uji klinis penggunaan rejimen ROM

41
sebulan sekali. Untuk kusta PB diberikan rejimen ROM 3 dan 6 dosis, sedang untuk
kusta MB diberikan 12-24 kali.10

Skema Rejimen MDT-WHO


Karena fasilitas pemeriksan bakterioskopik tidak selalu tersedia dan hasilnya
seringkali meragukan, klasifikasi penderita dilakukan berdasarkan gambaran klinisnya.
Kriteria ini berbeda dari program ke program, tetapi pada umumnya berdasarkan
jumlah lesi, terutama lesi kulit dan jumlah syaraf yang terkena.10
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar
dengan lesi 2-5 buah dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Oleh
sebab itu skema rejimen MDT-WHO menjadi sebagai berikut:10
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan
sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB)
swakelola selama 6 bulan.
2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin
600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100 mg/hari swakelola
ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola.
Lama pengobatan 1 tahun.
3. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah dengan
ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan
berat badan.10
Tabel 8.
Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB. 10
DSS Rifampisin
Dewasa 100 mg/hari 600 mg/ bulan, diawasi
Anak-anak 10-14 tahun* 50 mg/hari 450 mg/bulan, diawasi

* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya DDS 25
mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi).

42
Tabel 9.
Obat dan Dosis Rejimen MDT-MB.10
DDS Rifampisin Klofazimin
Dewasa 100 mg/hari 600 mg/bulan, 50 mg/hari dan
diawasi 300 mg/bulan
diawasi
Anak-anak 10-14 50 mg/hari 450 mg/bulan, 50 mg selang
tahun* diawasi sehari dan 150
mg/bulan diawasi

* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya DDS 25
mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi), klofazimin 50 mg 2 kali seminggu
dan klofazimin 100 mg/bulan (diawasi).

Tabel 10.
Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB Lesi Tunggal (Dosis tunggal dan dimakan
bersamaan).10
Rifampisin Ofloksasin Minosiklin
Dewasa 500 mg 400 mg 100 mg
Anak-anak 5- 300 mg 200 mg 50 mg
14 tahun*

* Tidak direkomendasikan pada wanita hamil atau anak-anak lebih kecil dari 5 tahun.

Oleh karena klofazimin menimbulkan efek samping yang kurang disenangi yaitu
kecoklatan kulit, maka dapat diganti dengan etionamid/ protionamid dengan dosis 250-
375 mg/hari swakelola. Namun hal ini tidak dianjurkan oleh Komite Ahli Kusta WHO
karena baik etionamid dan protionamid lebih toksik.10
Saat ini sedang dilakukan uji klinis penggunaan rejimen ROM sebulan sekali.
Untuk kusta PB diberikan rejimen ROM 3 dan 6 dosis sedangkan untuk kusta MB
diberikan 12 dan 24 dosis.10
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT, dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan

43
bakteioskopik minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopik
tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).5

Pengobatan Kusta dengan Situasi Khusus


Kalau MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO
Expert Committee pada tahun 1997 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.10
1. Penderita yang tidak dapat memakan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, ada penyait penyerta seperti hepatitis kronis
atau resisten terhadap obat ini.

Tabel 11.
Rejimen Untuk Penderita yang Tidak Dapat Makan Rifampisin.10
Lama pengobatan Jenis Obat Dosis
6 bulan Klofazimin 50 mg/hari
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari
Diikuti dengan 18 Klofazimin dengan 50 mg/hari
bulan ofloksasin atau 400 mg/hari
minosiklin 100 mg/hari

Pada tahun 1994, WHO Study Group on Chemotherapyof Leprosy


menyatakan bahwa klaritromisin 500 mg dapat menggantikan ofloksasin atau
minosiklin pada rejimen di atas, selama 6 bulan pertama pengobatan.10
2. Penderita yang menolak klofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk
itu klofazimin pada MDT-WHO MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari
selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.10
Pada tahun 1997 WHO Study Group of Leprosy merekomendasikan juga
rejimen MDT-MB alternatif selama 24 bulan.
- Rifampisin 600 mg sekali sebulan selama 24 bulan.
- Ofloksasin 400 mg sekali sebulan selama 24 bulan.
- Minosiklin 100 mg sekali sebulan selama 24 bulan.10

44
3. Penderita yang tidak dapat memakan DDS
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB
maupun MB, obat ini harus segera dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk
penderita MB,sedangkan penderita PB dipakai sebagai pengganti DDS selama 6
bulan dengan cara:10
Tabel 12.
Rejimen untuk Penderita yang Tidak Dapat Makan DDS.10
Rifampisin Klofazimin
Dewasa 600 mg/ bulan, diawasi 50 mg/ hari dan 300
mg/bulan, diawasi
Anak-anak 10-14 450 mg/bulan, diawasi 50 mg selang hari dan
tahun 150 mg/bulan, diawasi

Pengobatan Kusta Selama Kehamilan dan Menyusui


Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil, oleh sebab itu obat MDT harus tetap
diberikan. WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama kehamilan dan
menyusui, bagi ibu dan bayinya sehingga tidak perlu mengubah dosis. Obat dapat
melalui air susu ibu dalam jumlah kecil, tetapi tidak ada laporan efek samping obat
pada bayinya kecuali pewarnaan kulit akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi
bercak tunggal ditunggu pemakaiannya sampai bayi lahir.10

Pengobatan Kusta pada Penderita yang Menderita Tuberkulosis (TB) Saat yang
Sama
Bila pada saat yang sama penderita kusta juga menderita TB aktif, pengobatan
harus ditujukan pada kedua penyakit. Beri obat anti TB yang emmadai sebagai
tambahan terhadap MDT. Rifampisin biasa diberikan pada kedua penyakit ini dan
harus diberikan sesuai dosis untuk TB.10

45
Pengobatan Kusta pada Penderita yang Disertai Infeksi HIV pada Saat yang
Sama
Manajemen pengobatan penderita kusta yang disertai infeksi HIV sama dengan
manajemen untuk penderita non-kusta.10

Situasi Khusus Lainnya


Setelah menyelesaikan rejimen MDT, mungkin terjadi reaksi kusta tipe 1 atau
tipe 2 atau neuritis. Penderita ini diobati dengan prednisone dengan cara pemberian
yang sama seperti reaksi saat masih dalam MDT.10
Ada kemungkinan kecil penderita ini terkena relaps karena diketahui
kortikosteroid mempercepat multiplikasi kuman dorman yang akan menyebabkan
reaktivasi diseminata. Oleh sebab itu direkomendasikan pemeberian klofazimin 50
mg./hari sebagai profilaksis bila pemberian steroid diperkirakan lebih dari 4 bulan.
Klofazimin diteruskan sampai pemberian steroid dihentikan.10

Pengobatan E.N.L.
Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid. Dosisnya tergantung pada
berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih.
Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya. Sesuai dengan perbaikan reaksi,
dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Ada kemungkinan
timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, E.N.L. akan timbul kalau obat tersebut
dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu sehingga penderita ini harus
mendapatkan kortikosteroid terus-menerus.5
Klofazimin juga dipakai untuk pengobatan reaksi E.N.L. tetapi dengan dosis
yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, dosis antara 200-300
mg sehari. Khasiatnya klofazimin lebih lambat daripada kortikosteroid, dan dosis
diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan E.N.L. Efek sampingnya adalah
kulit menjadi berwarna merah kecoklatan yang bersifat reversibel. Selama
penanggulangan E.N.L. ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan
tanpa dikurangi dosisnya.5

46
Pengobatan Reaksi Reversal

Pengobatan reaksi reversal harus diperhatikan apakah disertai dengan neuritis


atau tidak. Sebab jika tanpa neuritis akut, tidak diperlukan pengobatan tambahan. Jika
terdapat neuritis akut maka pengobatan pilihan pertama adalah kortikosteroid yang
dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Dosis prednison 40-60 mg
sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepatnya dan dengan
dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak.
Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid.5
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang
efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai.5

Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi.
Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara
kosmetik dapat diperbaiki.5
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa
percaya diri, selain itu dapat juga dilakukan terapi psikologik.5

M. Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan
reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang
membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.5
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melakukan diagnosis dini kusta dan pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi
kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid
sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk
sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena,
memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas dan

47
memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar,
luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak
kering dan pecah.5, 13

Tabel 13
Klasifikasi Cacat. 5
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas
yang terlihat.
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada
gangguan penglihatan.
Tingkat 1 Tidak ada gangguan penglihatan akibat kusta; tidak ada
gangguan mata yang berat pada penglihatan. Visus 6/60
atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter.
Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak
dapat menghitujng jari pad ajarak 6 meter)

48
BAB V

PEMBAHASAN

Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan faktor-faktor


utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma hidup sehat
yang diperkenalkan oleh H. L. Blum mencakup 4 faktor yaitu faktor genetik (keturunan),
perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik,
politik) dan faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya). Berikut akan
dijelaskan kondisi penyakit yang dialami pasien berdasarkan paradigma hidup sehat
belum.

Faktor Biologis

Keadaan malnutrisi, gizi kurang, atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi
dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap
penyakit Kusta. Daya tahan tubuh pasien dalam kondisi yang tidak baik karena usia pasien
yang sudah tidak muda lagi.

Faktor Perilaku

Kurangnya hygiene memiliki hubungan bermakna pada penularan penyakit kusta


dan diperkirakan adanya kontak langsung pada pasien kusta serta menurunnya daya tahan
tubuh sehingga kuman leprae lebih gampang terpapar dan berkembang biak di dalam
tubuh host.

Faktor Lingkungan

Basil ini dapat ditemukan dimana-mana, misalnya di dalam tanah, air, udara dan pada
manusia terdapat dipermukaan kulit, rongga hidung dan tenggorokan. Basil ini dapat
berkembang biak di dalam otot polos / otot bergaris sehingga dapat ditemukan pada otot
erector vili, otot dan endotel kapiler, otot di skrotum, dan otot iris mata. Kuman dapat
ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat
dalam urine. Sputum dapat banyak mengandung M. Leprae yang berasal dari traktus
respiratorius atas.

49
Faktor Pelayanan Kesehatan

Puskesmas Bara-Baraya memiliki program pelayanan kesehatan terhadap pasien-


pasien yang sedang dalam masa pengobatan / aktif. Hal ini membantu pasien dalam hal
pengawasan minum obat secara teratur yang dapat mempercepat proses penyembuhannya.
Selain itu, program lain, dalam hal ini deteksi dini penyakit kusta juga ada. Penanggung
jawab program Penyakit Kusta mendatangi langsung sekolah dasar yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Bara-Baraya dan kemudian melakukan pemeriksaan dan penyuluhan
tentang penyakit Kusta. Hal ini tentunya membantu pemerintah dan masyarakat dalam hal
diagnosis dini penyakit ini sehingga memiliki prognosis yang lebih baik.

Mutu Pelayanan Kesehatan

Selain program tersendiri untuk penyakit kusta, puskesmas Bara-baraya memiliki


obat-obatan yang cukup memadai untuk penatalaksanaan penyakit kusta, meliputi Multi
Drug Therapy Regimen untuk Penyakit Kusta. Hal ini menunjukkan bahwa mutu
pelayanan yang ditinjau dari ketersediaan obat untuk penyakit kusta di wilayah kerja
Puskesmas Bara-baraya sudah cukup baik.

Biaya Pelayanan Kesehatan

di Puskesmas Bara-baraya terjangkau untuk berbagai kalangan, baik itu pasien


umum dan terutama pasien BPJS. Pasien umum baik itu pasien rawat jalan maupun rawat
inap dikenakan biaya, sedangkan untuk pasien BPJS tidak di kenai biaya apapun. Pasien di
kasus ini memiliki kartu BPJS, sehingga pasien tidak perlu repot untuk memikirkan biaya
pengobatannnya.

Akses

Pasien ke Puskesmas Bara-baraya mudah, rumah pasien berjarak kurang lebih 1 km dari
puskesmas sementara, pasien dapat diantar menggunakan motor/mobil anaknya sebagai
sarana.

50
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan sebagai salah satu
bagian dari perilaku dengan proses penularan dan penyembuhan pada penderita kusta.
Orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kusta tentunya akan berusaha
menjauhkan dirinya dari faktor-faktor yang dapat menjadi sumber penularan penyakit ini.

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Pengobatan yang diberikan untuk kasus diatas adalah pengobatan kusta sesuai
dengan regimen pengobatan Kusta Tipe MB. Pasien dirujuk ke puskesmas untuk
mendapat pengobatan kusta dan melakukan perawatan diri yang sesuai pada penderita
kusta.

Saran

Perlu ditingkatkannya program khusus untuk penyakit Kusta di Puskesmas Bara-


baraya, yang terutama fokus pada aspek promotif, dalam hal ini peningkatan program
penyuluhan kepada masyarakat yang didapatkan penderita kusta di wilayah tersebut. Serta
pada aspek preventif , kontak fisik dengan penderita perlu diminimalkan dan Hygiene
perorangan seperti menjaga kebersihan tempat tidur perlu ditingkatkan.

51

Anda mungkin juga menyukai