Anda di halaman 1dari 32

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT Tutorial Klinik

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2017


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KEDOKTERAN PERAWATAN
GEA (Gastroenteritis Akut)

OLEH :
1. Aan Angriawan, H (10542034611)
2. Ilham Aminsyaputra (10542029511)
3. Magfira Sari Al Bahmi (10542029411)
4. Hizbah Muslihah H (10542028811)
5. Nurmarifah (10542017310)

Pembimbing :
dr. Yulianti Pongrekun, M.Kes
(Kepala Puskesmas Batua)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Diare dan Gastroenteritis akut (GEA) merupakan keluhan yang sering


ditemukan pada dewasa. Diperkirakan pada orang dewasa setiap tahunnya
mengalami diare akut atau gastroenteritis akut sebanyak 99.000.000 kasus. Di
Amerika Serikat (AS), diperkirakan 8.000.000 pasien berobat ke dokter dan lebih
dari 250.000 pasien dirawat di rumah sakit tiap tahun (1,5% merupakan pasien
dewasa) yang disebabkan karena diare atau gastroenteritis. Masih di AS, keluhan
diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang praktek
dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia, data menunjukkan diare
akut dan GEA karena infeksi termasuk dalam peringkat pertama sampai dengan ke
empat dari pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit (Hendarwanto,
1996). Frekuensi kejadian diare pada negara-negara berkembang termasuk
Indonesia lebih banyak 2-3 kali dibandingkan negara maju. (Sudoyo,2009)

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2001, diare
menduduki peringkat pertama penyebab kematian anak dengan persentase sebesar
35% atau sekitar 4 miliar kasus diare akut/tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun
(Soewondo ES, 2002). Di Indonesia sendiri dapat ditemukan sekitar 60 juta
penderita diare setiap tahunnya dimana 70-80% dari penderitanya adalah anak
dibawah lima tahun dengan masih tingginya angka kesakitan yang dilaporkan, yaitu
23,35 per 1000 penduduk pada tahun 1998 meningkat menjadi 26,13 per 1000
penduduk pada tahun 1999. (Profil Kesehatan Indonesia, 2002)

Pada tahun 2008 dilaporkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare di
15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 8.443 orang, jumlah kematian
sebanyak 209 orang atau Case Fatality Rate (CFR) sebanyak 2,48%. Hal tersebut
utamanya disebabkan oleh rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi yang buruk
dan perilaku hidup tidak bersih. (Profil Kesehatan Indonesia, 2008)

2
Berdasarkan data jumlah pasien rawat inap di Puskesmas Batua, sepanjang
tahun 2015 dan 2016, kasus diare dan GEA menduduki peringkat pertama dengan
jumlah pasien sebanyak 263 kasus, diikuti demam tifoid sebanyak 223 kasus.
Sedangkan, berdasarkan data baru baru ini, yaitu pada triwulan pertama 2017,
diare dan GEA menempati peringkat kedua, yaitu sebanyak 13 kasus, dan hanya
terpaut 1 kasus dari dyspepsia yang menempati peringkat pertama.

Penyakit-penyakit berbasis lingkungan masih menyumbangkan sekitar 33%


atau sepertiga dari total kematian seluruh kelompok umur. Hal ini dapat disebabkan
oleh ketidakmampuan dan ketidaktahuan masyarakat dalam memelihara kesehatan
lingkungan. Masalah kesehatan lingkungan misalnya pembuangan kotoran (tinja),
pembuangan sampah, pembuangan air limbah, penyediaan air bersih berpengaruh
terhadap kesehatan terutama tingginya penyakit infeksi saluran pencernaan
khususnya penyakit diare. Faktor lingkungan yang berupa penyediaan air bersih
dan jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat kesehatan secara perilaku
manusia akan mempermudah terjadinya penularan penyakit. Berbagai studi telah
menunjukkan bahwa suatu komunitas yang memiliki penyediaan air bersih,
melakukan pola hidup bersih, dan memiliki sarana sanitasi maka derajat
kesehatannya akan meningkat pula.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit ini


diantaranya tingkat pengetahuan, sikap, perilaku, kualitas air yang dikonsumsi serta
fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat khususnya buang air besar, berbagai upaya
telah dilakukan untuk menurunkan angka kejadian diare dengan usaha pencegahan
dan pemberantasan seperti kaporitasi, penyuluhan serta PHBS melalui sumber daya
masyarakat namun upaya itu belum dapat menghasilkan yang optimal. (Depkes RI,
2000)

Berdasarkan pembahasan kami tentang masih tingginya prevalensi diare


dan GEA baik di dunia, maupun di Indonesia, terkhusus pada pasien rawat inap di
Puskesmas Batua, maka kami mengangkat topik ini sebagai referat kami.

3
A. GAMBARAN UMUM PUSKESMAS BATUA
1. Keadaan Umum
Geografi
Luas Wilayah kerja Puskesmas Batua adalah 1017,01 km dengan batas-
batas administrasi sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan kelurahan panaikang


2. Sebelah timur berbatasan dengan kelurahan antang
3. Sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan tamalate
4. Sebelah barat berbatasan dengan kelurahan pandang dan kelurahan karapuang
Wilayah kerja puskesmas Batua terdiri atas 3 kelurahan, Yaitu:

1. Kelurahan Batua terdapat 11 RW dan 53 RT


2. Kelurahan Borong terdapat 12 RW dan 58 RT
3. Keluarahan Tello baru terdapat 11 RW dan 48 RT
Luas tanah Puskesmas Batua adalah 4500 m2, terdiri dari 2 gedung dengan
luas bangunan 147 m2 dan 422 m2. Terdapat 3 rumah dinas dan 1 mobil ambulans.
Puskesmas Batua memiliki 30 posyandu balita, 9 posyandu lansia, 1 poskesdes dan
2 posbindu yang tersebar di 3 kelurahan.

Demografi
Wilayah kerja Puskesmas Batua berpenduduk 54.056 jiwa yang terdiri dari laki-laki
28.109 jiwa dan 25.947 jiwa perempuan, serta jumlah Kepala keluarga sebanyak
9.941 KK berikut distribusi jumlah penduduk berdasarkan kelurahan.

No. Kelurahan Jumlah Penduduk Laki - Laki Perempuan

1 Batua 23.392 11.650 11.742


2 Borong 18.451 8.552 9.899
3 Tello Baru 12.213 6.921 5.292
Jumlah 54. 056 27.123 26.933

Tabel 1.1 . Distribusi jumlah penduduk.


Sumber Data : Data Penduduk Kelurahan

4
2. Data Status Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Batua
Tabel 1.2. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap tahun 2015
No Nama Penyakit Jumlah
1 GEA 165
2 Demam Tifoid 146
3 Vomitus 38
4 Dispepsia 31
5 ISPA 31
6 DBD 30
7 Febris 27
8 Suspek Demam Tifoid 23
9 Hipertensi 20
10 Hiperemesis Gravidarum 17

Tabel 1.3. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap tahun 2016


No Nama Penyakit Jumlah
1 Diare dan GEA 98
2 Demam Tifoid 77
3 Dispepsia 38
4 Vomitus 20
5 Hipertensi 19
6 Febris 14
7 Vertigo 13
8 Suspek Demam Tifoid 12
9 DBD 11
10 ISPA 11

5
Tabel 1.4. Distribusi 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap Triwulan I
2017
No Nama Penyakit Jumlah
1 Dispepsia 14
2 Diare dan GEA 13
3 Demam Tifoid 8
4 Hipertensi 3
5 Hiperemesis Gravidarum 3
6 Kejang Demam 3
7 Morbili 2
8 Vomitus 2
9 Febris 2
10 ISPA 1

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair
atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari
biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai
kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari tiga kali perhari.
Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Dikatakan Gastroenteritis akut (GEA) bila selain diare, terdapat juga gejala
gejala akibat gangguan lambung, misalnya nyeri ulu hati, mual muntah,
perut kembung, rasa penuh pada perut, dan sendawa kecut.

Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.


Sedangkan menurut World Gastroenterology Organisation global guideline
2005, diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang cair/lembek dengan
jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari. Diare
kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.

Diare infektif adalah bila penyebabnya infeksi. Sedangkan diare non


infeksi bila tidak ditemukan infeksi sebagai penyebab pada kasus tersebut.
Diare organik adalah bila ditemukan penyebab anatomik, bakteriologik,
hormonal atau toksikologik. Diare fungsional bila tidak dapat ditemukan
penyebab organik (Sudoyo,2009).

B. EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia pada tahun 70 sampai 80-an, prevalensi penyakit diare


sekitar 200-400 per 1000 penduduk per tahun. Angka Case Fatality Rate
(CFR) menurun dari tahun ke tahun, pada tahun 1975 CFR sebesar 40-50%,
tahun 1980-an CFR sebesar 24%. Berdasarkan hasil survey kesehatan
rumah tangga (SKRT), tahun 1986 CFR sebesar 15%, tahun 1990 CFR
sebesar 12%, dan diharapkan pada tahun 1999 akan menurun menjadi 9%.

7
Angka kesakitan dan kematian akibat diare mengalami penurunan dari
tahun ke tahun. (Widoyono, 2008).

Tabel 2.1 Angka Kesakitan dan Kematian Akibat Diare (Semua Umur)
Tahun 1990-1999

Angka kesakitan per


Tahun CFR (%)
1000 penduduk

1990 29,79 0,024

1991 25,64 0,027

1992 25,41 0,017

1993 28,77 0,015

1994 26,64 0,019

1995 24,26 0,021

1996 23,57 0,019

1997 26,20 0,012

1998 25,30 0,009

1999 26,13 0,006

Sumber: Widoyono, 2008

Tabel 2.1 menggambarkan penurunan angka kesakitan diare dari


29,79 per 1000 penduduk pada tahun 1990 mencapai angka terendah 23,57
per 1000 penduduk pada tahun 1996, tetapi meningkat lagi menjadi 26,13
per 1000 penduduk pada tahun 1999. Demikian pula dengan angka
kematian, terjadi penurunan dari 0,024% pada tahun 1990 menjadi 0,006%
pada tahun 1999. Angka ini relatif lebih rendah dibandingkan angka hasil
SKRT karena sistem pencatatan dan pelaporan yang masih lemah.
(Widoyono, 2008)

8
Masih seringnya terjadi wabah atau kejadian luar biasa (KLB) diare
menyebabkan pemberantasannya menjadi suatu hal yang sangat penting. Di
Indonesia, KLB diare masih terus terjadi hampir di setiap musim sepanjang
tahun. Data KLB diare dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 2.2 Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare di Indonesia Tahun 1996-2000

Tahun Penderita Meninggal CFR (%)

1996 6139 161 2,62

1997 17890 184 1,08

1998 11818 275 2,33

1999 5159 76 1,47

2000 5680 109 1,92

Sumber: Widoyono 2008

KLB diare menyerang hampir semua propinsi di Indonesia. Angka


kematian yang jauh lebih tinggi daripada kejadian kasus diare biasa
membuat perhatian para ahli kesehatan masyarakat tercurah pada
penanggulangan KLB diare secara tepat. (Widoyono, 2008)

C. KLASIFIKASI

Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan:

1. Lama waktu diare : akut atau kronik,


2. Mekanisme patofisiologi : osmotik atau sekretorik dll,
3. Berat ringan diare : kecil atau besar,
4. Penyebab infeksi atau tidak : infeksi atau non-infeksi
5. Penyebab organik atau tidak : organik atau fungsional. (Sudoyo,2009)

9
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Diare akut disebabkan oleh banyak penyebab antara lain infeksi (bakteri,
parasit, virus), keracunan makanan, efek obat-obatan dan lain-lain.
(Sudoyo,2009)

Faktor-faktor penyebab diare :

1. Faktor Infeksi
Infeksi merupakan penyebab utama diare akut, baik oleh bakteri, virus
maupun parasit. Penyebab lain timbulnya diare akut adalah toksin dan obat,
nutrisi enteral yang diikuti puasa yang lama, kemoterapi,impaksi fekal
(overflow diarrhea) atau berbagai kondisi lain. Dari penelitian pada
tahun1993-1994 terhadap 123 pasien dewasa yang menderita diare akut,
penyebab terbanyak hasil infeksi bakteri E.coli (38.29%), V.cholerae
Ogawa (18.29%), Aeromonas. Sp (14.29%) (Mansjoer,2001).

Diare oleh sebab infeksi Diare oleh sebab non-infeksi

1. Bakteri 1.Defek Anatomi


Shigela, Salmonella, E.colli, Short Bowel Syndrome
Vibrio cholera, Penyakit Hirchsprung
Staphylococcus aureus, 2. Malabsorbsi
Campilobacter aeromonas Defisiensi disakaridase
2. Virus Cholestasis
Rotavirus, Norwalk, Norwalk 3.Alergi
like agent, Adenovirus Alergi susu sapi
3. Parasit 4.Keracunan makanan
Protozoa : Entamoeba Logam berat
histolytica, Giardia lamblia, Mushroom
Balantidium coli, Cacing : 5.Vitamin C terlalu tinggi
Ascaris, Trichiuris trichiura 6. fruktosa berlebih
Jamur : Candida

10
2. Faktor Umur
3. Faktor Status Gizi
4. Faktor Lingkungan sanitasi dasar, sarana air bersih, limbah dan sampah,
serta jamban keluarga
5. Faktor Susunan Makan yang mempengaruhi angka kejadian diare adalah
adanya antigen, osmolaritas terhadap cairan, malabsorpsi, dan mekanik.
Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan
atau minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita
atau tidak langsung melalui lalat ( melalui 5F = faeces, flies, food, fluid,
finger).

Faktor risiko terjadinya diare adalah:


1. Faktor perilaku

2. Faktor lingkungan
Faktor perilaku antara lain:
a. Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan
Makanan Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat bayi
kontak terhadap kuman

b. Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit


diare karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu

11
c. Tidak menerapkan Kebiasaaan Cuci Tangan pakai sabun sebelum
memberi ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah
membersihkan BAB anak

d. Penyimpanan makanan yang tidak higienis

Faktor lingkungan antara lain:


a. Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan
Mandi Cuci Kakus (MCK)

b. Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk

Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari


penderita yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain:
kurang gizi/malnutrisi terutama anak gizi buruk, penyakit imunodefisiensi /
imunosupresi dan penderita campak (Depkes RI, 2011).

Gambar 2.1 Peta konsep etiologi diare dari segi IKM

Menurut Mansjoer (2001), diare akibat infeksi ditularkan secara


fekal oral. Hal ini disebabkan makanan atau minuman yang masuk

12
terkontaminasi tinja ditambah ekskresi yang buruk, makanan yang tidak
matang bahkan disajikan tanpa dimasak. Penularannya adalah melalui
transmisi orang ke orang melalui aerosolisasi, tangan yang terkontaminasi
(Clostridium difficile), atau melalui aktifitas seksual.

Faktor penyebab yang mempengaruhi patogenesis antara lain


penetrasi yang merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang
mempengaruhi sekresi cairan di usus serta daya lekat kuman. Kuman
tersebut membentuk koloni yang dapat menginduksi diare. Patogenesis
diare yang disebabkan karena infeksi bakteri terbagi dua, yaitu :

1. Bakteri noninvasif (enterotoksigenik)

Toksin yang diproduksi bakteri akan terikat pada usus halus namun tidak
merusak mukosa. Bakteri yang termasuk golongan ini adalah V. cholera,
Enterotoksigenik E.coli, C.perfingers, S.aureus, dan vibrio-nonaglutinabel.
Secara klinis, diare berupa cairan dan meninggalkan dubur seara deras dan
banyak. Keadaan seperti ini disebut diare sekretorik isotonik voluminal.

2. Bakteri enteroinvasif

Diare yang menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan


ulserasi dan bersifat sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat bercampur
lender dan darah. Bakteri yang termasuk golongan ini adalah enteroinvasive
E.coli, S.paratyphi B,S. typhimurium, S.enteriditis, S. choleraesuis, Shigela,
Yersinia dan C.perfingers Tipe C (Sudoyo,2009).

Penyakit diare sebagian besar (75%) disebabkan oleh kuman seperti


virus dan bakteri. Penularan penyakit diare melalui orofekal terjadi dengan
mekanisme berikut ini:

1. Melalui air yang merupakan media penularan utama. Diare dapat terjadi
bila seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar, baik
tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-
rumah, atau tercemar pada saat disimpan di rumah. Pencemaran di rumah

13
terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang
tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat
penyimpanan.
2. Melalui tinja terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi mengandung virus
atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh
binatang dan kemudian binatang tersebut hinggap di makanan, maka
makanan itu dapat menularkan diare ke orang yang yang memakannya.
3. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko diare adalah:
a. Pada usia 4 bulan bayi sudah tidak diberi ASI ekslusif lagi. (ASI
ekslusif adalah pemberian ASI saja sewaktu bayi berusia 0-4 bulan).
Hal ini akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian karena
diare, karena ASI banyak mengandung zat-zat kekebalan terhadap
infeksi.
b. Memberikan susu formula dalam botol kepada bayi. Pemakaian botol
akan meningkatkan risiko pencemaran kuman, dan susu akan
terkontaminasi oleh kuman dari botol. Kuman akan cepat
berkembang bila susu tidak segera diminum.
c. Menyimpan makanan pada suhu kamar. Kondisi tersebut akan
menyebabkan permukaan makanan mengalami kontak dengan
peralatan makanan yang merupakan media yang sangat baik bagi
perkembangan mikroba.
d. Tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan, atau sesudah
buang air besar (BAB) akan memungkinkan kontaminasi langsung
(Widoyono, 2008).

E. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

14
Keluhan diare biasanya berlangsung kurang dari 15 hari. Pasien
dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas yaitu nausea,
muntah, nyeri abdomen, demam dan tinja yang sering, bisa air, malabsortif,
atau berdarah tergantung bakteri patogen yang spesifik. Pasien yang
memakan toksin atau pasien yang mengalami infeksi toksigenik secara khas
mengalami nausea dan muntah sebagai gejala prominen bersamaan dengan
diare air tetapi jarang mengalami demam. Muntah yang mulai beberapa jam
dari masuknya makanan mengarahkan kita pada keracunan makanan karena
toksin yang dihasilkan.

Pemeriksaan Fisik

Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat


berguna dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab
diare. Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik
pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh dan tanda toksisitas.
Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang penting. Adanya
kualitas bunyi usus dan adanya atau tidak adanya distensi abdomen dan
nyeri tekan merupakan clue bagi penentuan etiologi.

15
Gambar 2.2 Penilaian Derajat Dehidrasi

Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau


diare berlangsung lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan
darah tepi lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit),
kadar elektrolit serum, ureum, dan kreatinin, pemeriksaan tinja dan
pemeriksaan Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) mendeteksi
giardiasis dan test serologic amebiasis dan foto x-ray abdomen.
(Sudoyo,2009)

F. PENATALAKSANAAN

Rehidrasi

Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi
yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini
dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien
kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang
memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan
rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium
bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan
seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah
disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial
tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4
sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk
diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut
sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. Jika terapi
intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau
laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana
panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan

16
memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian
infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral
sesegera mungkin. (Khalid, 2004)

Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan


yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan
memakai cara :

BJ plasma, dengan memakai rumus :


Kebutuhan cairan = BJ Plasma 1,025 X Berat badan (Kg) X 4 ml

0,001

Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :


- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% X KgBB

- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% X KgBB

- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% X KgBB

Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor


(tabel 1)

Tabel 1. Skor Daldiyono

Kebutuhan cairan = Skor X 10% X KgBB X 1 liter

17
15

Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan
cairan peroral (sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau
sama 3 disertai syok diberikan cairan per intravena. (Sudoyo,2009)

Teknik Rehidrasi pada dewasa dapat dihitung dengan :

Dehidrasi Ringan (defisit 4% BB)

Tanda tanda interstitiel minimal, tanda tanda intravaskuler belum


nampak

Dehidrasi Sedang (defisit 8% BB)

Tanda tanda interstitiel jelas, tanda tanda intravaskuler minimal

Dehidrasi Berat (defisit 12% BB)

Tanda tanda interstitiel dan tanda tanda intravaskuler semakin jelas

Misalnya, laki laki umur 35 tahun dengan BB 50 kg, mengalami dehidrasi


berat. Bagaimana resusitasi cairannya?

Dehidrasi berat = defisit 12%BB, Jadi defisit yang harus diganti adalah 50
kg x 12% = 6 Liter = 6000 ml.

Teknik pemberian = 50% dari 6000 (3000) diberikan dalam 8 jam I,


sisanya (3000) diberikan 18 jam berikutnya. Agar gangguan
hemodinamik cepat teratasi, 1 jam pertama diberikan 20 ml/kgBB, yaitu
1000 ml.

Antibiotik

Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare


akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien
dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah,,

18
leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan,
persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong,
dan pasien immunocompromised. Obat pilihan yaitu kuinolon (misal
siprofloksasin 500 mg 2 x/hari selama 5-7 hari). Obat ini baik terhadap
bakteri pathogen invasif termasuk Campylobacter, Shigella, Salmonella,
Yersinia, dan Aeromonas species. Sebagai alternatif yaitu kotrimoksazol.
Metronidazol 250 mg 3 x/hari selama 7 hari diberikan bagi yang dicurigai
giardiasis. (Sudoyo,2009)

Obat Antidiare

Obat-obat ini dapat mengurangi gejala-gejala:

a. Yang paling efektif yaitu derivat opioid misal loperamide, difenoksilat-


atropin dan tinktur opium.
b. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgite 4 x 2 tab/hari, smectite 3 x 1
saset diberikan tiap diare/BAB encer sampai diare berhenti.
c. Obat anti sekretorik atau anti enkephalinase: Hidrasec 3 x 1 tab/hari
(Sudoyo,2009)
Diet

Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-muntah


hebat. Pasien dianjurkan justru minum minuman sari buah, teh, minuman
tidak bergas, makanan mudah dicerna seperti pisang, nasi, kripik dan sup.
Susu sapi harus dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien yang
disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Minuman berkafein dan alkohol
harus dihindari karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.
(Sudoyo,2009)

G. FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI


TERJADINYA DIARE

Sumber air minum

19
Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Di dalam tubuh manusia
sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar 55-60% berat
badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar
80%. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk
minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Di Negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia tiap orang memerlukan air antara 30-60
liter per hari. Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting
adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum
dan masak air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak
menimbulkan penyakit bagi manusia (Notoatmodjo, 2003).

Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi yang
tidak kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman
infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat
ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang
tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, dan makanan
yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI,
2000). Abdullah (1987) menyimpulkan bahwa penduduk disuatu daerah
yang tidak menggunakan air bersih, akan memiliki kecenderungan
menderita penyakit diare. Hal ini sejalan dengan penelitian Munir (1983)
yang menyatakan bahwa penyediaan air bersih dapat menurunkan risiko
diare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang memanfaatkan
air bersih dari sumber yang memenuhi syarat kesehatan angka kejadian
diarenya lebih sedikit bila dibandingkan dengan keluarga yang
memanfaatkan air dari sumber yang tidak memenuhi syarat kesehatan
(Kusnindar, 1994).

Menurut Depkes RI (2000), hal - hal yang perlu diperhatikan dalam


penyediaan air bersih adalah:

1. Mengambil air dari sumber air yang bersih.

20
2. Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup
serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.
3. Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang,
anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum
dengan sumber pengotoran seperti septiktank, tempat pembuangan
sampah dan air limbah harus lebih dari 10 meter.
4. Mengunakan air yang direbus.
5. Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih dan
cukup.
Jenis tempat pembuangan tinja

Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan


lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak menurut aturan memudahkan
terjadinya penyebaran penyakit tertentu yang penulurannya melalui tinja
antara lain penyakit diare. Menurut Notoatmodjo (2003), syarat
pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah :

1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya,


2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya,
3. Tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya,
4. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai sebagai tempat lalat
bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit lainnya,
5. Tidak menimbulkan bau,
6. Pembuatannya murah, dan
7. Mudah digunakan dan dipelihara.

Pembuangan sampah

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik
yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Jenis-jenis
sampah antara lain, yakni sampah anorganik, adalah sampah yang umumnya
tidak dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik.

21
Sampah organik, adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk,
misalnya : sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan
sampah antara lain sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003).

1. Pengumpulan dan pengangkutan sampah.


Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan
yang mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup rapat,
ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola
sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA)

2. Pemusnahan dan pengelolaan sampah


Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar
(Inceneration), dijadikan pupuk (Composting)

Perumahan

Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan


keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang
sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitas-fasilitas
di dalam rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003).

1. Ventilasi
Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah
tersebut tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari
luas lantai rumah

2. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang
masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping
kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun
malam 100-200 lux.

3. Luas bangunan rumah

22
Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2
untuk tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah
penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah
satu penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah
penularan kepada anggota keluarga lain.

4. Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat


Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih
yang cukup, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air
limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak

Air limbah

Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah
tangga, industri dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang
membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam air limbah,
maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan
gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain limbah
sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus,
media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen, tempat
berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta
pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan
tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi produktivitas manusia,
karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).

Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut


diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut
tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan
tanah, tidak mencemari air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga,
tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan

23
vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu
(Notoatmodjo, 2003).

H. PENCEGAHAN

Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral,


penularannya dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini
termasuk sering mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya
selama mengolah makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah
pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran manusia.
(Khalid,2004)

Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus
diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk
membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus
disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang keamanan air atau air
yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air, harus direbus
dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau
sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air. (Khalid,2004)

Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air


yang bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi.
Limbah manusia atau hewan yang tidak diolah tidak dapat digunakan
sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran. Semua daging dan makanan
laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus yang
boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum
jus apel yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi,
setelah jatuh dan terkena kotoran ternak. (Khalid, 2004)

24
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Dirgantara No. 15 A, Makassar
Pekerjaan : IRT
Tanggal MRS : 08 09 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Buang air besar encer
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang pasien perempuan berumur 34 tahun dibawa keluarganya ke
Puskesmas Batua dengan keluhan buang bair besar sejak 7 jam sebelum
ke puskesmas sebanyak + >10 kali. Buang air besar dikatakan berwarna
kuning, konsistensi cair, ampas (+), lendir (-), dan darah (-). Demam (-
). Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri perut yang terasa seperti
melilit dan hilang timbul terutama saat akan BAB. Pasien juga
mengeluhkan sering haus, mual disertai muntah setiap kali makan.
Pasien menyangkal telah mengonsumsi suatu makanan yang
menyebabkan keluhannya ini.

25
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, kira kira 2
tahun yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien menyangkal adanya penyakit yang sama dalam keluarga
5. Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal adanya alergi obat ataupun makanan
6. Riwayat Pengobatan : Pasien belum pernah mengonsumsi obat
obatan apapun sebelumnya.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
- Pasien tampak lemah, compos mentis (GCS 15)
2. Tanda Tanda Vital
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 108x/menit, reguler
- Pernapasan : 22x/menit
- Suhu : 36,6oC
3. Status Generalis
- Kepala : Bentuk normocephali, simetris kiri dan
kanan, rambut berwarna hitam, tidak rontok, deformitas (-)
- Mata : Konjungtiva normal, sklera normal, pupil isokor
3/3, RC +/+, kelopak mata cekung.
- Telinga : Bentuk normal, tidak ada sekret/cairan, fungsi
pendengaran normal
- Hidung : Bentuk normal, sekret (-), perdarahan (-)
- Mulut : Bibir kering, sianosis (-), lidah kotor (-), Tonsil
T1/T1, hiperemis (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)
- Thorax : Tampak pengembangan dada simetris kiri dan
kanan, retraksi (-). Pada palpasi, vocal fremitus sama kiri dan kanan,

26
nyeri tekan (-). Pada perkusi, bunyi sonor pada kedua lapangan paru.
Pada auskultasi, didapatkan bunyi pernapasan vesikuler, ronkhi -/-,
wheezing -/-
- Cor : Pada inspeksi, tidak tampak ictus cordis. Pada
palpasi, ictus cordis tidak teraba. Pada perkusi, batas jantung dalam
batas normal. Pada auskultasi, didapatkan bunyi jantung I dan II
regular, bising (-), bunyi gallop (-)
- Abdomen : Pada inspeksi, abdomen tampak cembung,
mengikuti gerak napas. Pada palpasi, nyeri tekan epigastrium (-),
organomegali (-). Pada perkusi, didapatkan bunyi timpani (+). Pada
auskultasi, bunyi peristaltik (+) kesan meningkat
- Punggung : Tampak dalam batas normal
- Genitalia : Tidak dievaluasi
- Ekstremitas : Akral hangat, petekie (-), CRT < 2 detik.

4. Status Dehidrasi
- Menurut Tabel Penilaian WHO, pasien mengalami diare dengan
dehidrasi ringan-sedang, karena keadaan umum lemah dan
sadar, mata cekung, turgor menurun namun kembali cepat, dan
terdapat rasa haus.
- Diukur dengan menggunakan Skor Daldiyono, karena pasien
berusia dewasa. Dari indikator skor Daldiyono, yang didapatkan
hanya rasa haus / muntah dan turgor menurun dari pasien,
sehingga skor Daldiyono pasien adalah 2

D. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Darah Rutin
- Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis Tinja
- Biakan Tinja

E. DIAGNOSIS

27
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis sebagai
Gastroenteritis Akut Dengan Dehidrasi Ringan-Sedang.

F. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologis
- IVFD RL 30 tpm
- Domperidon 10 mg 3 x 1 tab
- Loperamide 2 mg, 2 1 1 (maks. 8 tablet/hari)
- Vit. B6 3 x 1 tab
2. Edukasi
- Istirahat yang cukup
- Diet lunak biasa
- Banyak minum air putih
- Minum obat teratur
- Buang sampah pada tempat yang ditentukan
- Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan
- Menggunakan air bersih dan sanitasi yang baik
- Memasak makanan dan air minuman hingga matang
- Menghindari makanan yang telah terkontaminasi oleh lalat, tidak
memakan makanan basi, dan menghindari makanan yang dapat
menimbulkan alergi tubuh.
- Higiene lingkungan yang lebih baik

G. PROGNOSIS
- Ad vitam : ad bonam
- Ad functionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke Puskesmas Batua ke Puskesmas Batua dengan keluhan


buang air besar sejak 7 jam sebelum ke puskesmas sebanyak + >10 kali. Buang air
besar dikatakan berwarna kuning, konsistensi cair, ampas (+), lendir (-), dan darah
(-). Demam (-). Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri perut yang terasa seperti
melilit dan hilang timbul terutama saat akan BAB. Pasien menyangkal telah
mengonsumsi suatu makanan yang menyebabkan keluhannya ini.
Dari pemeriksaan fisik, pasien tampak lemah, namun compos mentis (GCS
15). Dari pemeriksaan tanda vital, diperoleh Tekanan Darah 120/80 mmHg, Nadi
108x/menit, regular, Pernapasan 22x/menit, Suhu 36,6oC. Pada pemeriksaan
abdomen, abdomen tampak cembung, mengikuti gerak napas. Pada palpasi, nyeri
tekan epigastrium (-), organomegali (-). Pada perkusi, didapatkan bunyi timpani
(+). Pada auskultasi, bunyi peristaltik (+) kesan meningkat.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, maka kami
menyimpulkan pasien mengalami Gastroenteritis Akut. Selanjutnya, dilakukan
penilaian terhadap derajat dehidrasi pasien.
Menurut Tabel Penilaian WHO, pasien mengalami diare dengan dehidrasi
ringan-sedang, karena keadaan umum lemah dan sadar, mata cekung, turgor
menurun namun kembali cepat, dan terdapat rasa haus. Diukur dengan
menggunakan Skor Daldiyono, karena pasien berusia dewasa. Dari indikator skor
Daldiyono, yang didapatkan hanya rasa haus / muntah dan turgor menurun dari
pasien, sehingga skor Daldiyono pasien adalah 2.

29
Penatalaksanaan berupa pemberian agen farmakologi maupun edukasi
diberikan kepada pasien. Terapi farmakologi yang diberikan berupa pemberian
cairan intravena Ringer Laktat sebagai terapi rehidrasi pada pasien. Hal ini
dilakukan, berdasarkan penilaian dehidrasi menurut WHO maupun skor Daldiyono
yang dilakukan terhadap pasien, merupakan indikasi untuk memberikan cairan
intravena dalam terapi rehidrasi pasien. Karena, mempertimbangkan keadaan klinis
pasien yang tampak sangat lemah, dan muntah terus menerus setiap kali makan,
sehingga dipertimbangkan untuk pemberian rehidrasi intravena dan pasien
dianjurkan untuk rawat inap.
Pemberian Domperidon sebagai agen anti muntah untuk mengatasi gejala
muntah yang dialami pasien dan merupakan salah satu faktor penting penyebab
dehidrasi. Pemberian Loperamide yang merupakan golongan opiate efektif
mengurangi gejala buang air besar pasien. Pemberian Vit. B6 bertujuan membantu
meningkatkan daya tahan tubuh pasien.
Diberikan edukasi kepada pasien yang intinya bertujuan untuk memutus
rantai penularan diare dan mencegah terjadinya diare yang berulang di kemudian
hari, baik terhadap pasien maupun keluarganya, yaitu disarankan istirahat yang
cukup, Diet lunak biasa, Banyak minum air putih, Minum obat teratur, Buang
sampah pada tempat yang ditentukan, Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah
makan, Menggunakan air bersih dan sanitasi yang baik, Memasak makanan dan air
minuman hingga matang, Menghindari makanan yang telah terkontaminasi oleh
lalat, tidak memakan makanan basi, dan menghindari makanan yang dapat
menimbulkan alergi tubuh, dan Higiene lingkungan yang lebih baik.
Edukasi merupakan kunci dari terapi pada penyakit pasien, sehingga
diharapkan dengan pemberian edukasi yang mendalam terhadap pasien, kejadian
penyakit ini kedepannya dapat ditekan. Prognosis pada pasien ini umumnya baik
jika tidak ditemukan adanya komplikasi serta penyulit yang dapat memperberat
kondisi pasien.

30
DAFTAR PUSTAKA

Depkes, R. I., 2011. Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare. Jakarta : Ditjen
PPM dan PL.

Depkes, R.I., 2011. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta : Ditjen PPM
dan PL.

Hendarwanto. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta:
Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Khalid, Zein dkk. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Fakultas Kedokteran
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Sumatera Utara

Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.

Soewondo ES. 2002. Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini Dalam
Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi. Surabaya : Airlangga
University Press.

Sudoyo, Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta
: Interna Publishing.

31
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.

32

Anda mungkin juga menyukai