Anda di halaman 1dari 20

CERITA RAKYAT MADURA "KE LESAP"

Menurut cerita, suatu ketika Baginda Raja pergi kedesa pocong. Ia keluar masuk desa
untuk mengetahui keadaan desa. Ketika sampai di suatu tempat, beliau bertemu dengan seorang
gadis desa yang menjadi bunga desa di desa tersebut. Masyarakat pocong menyebutnya dengan
sebutan Nye Pocong. Tidak lama kemudian,karena Raja itu berkuasa, kemudian Nye Pocong
dijadikannya istri. Setelah beberapa lama Baginda Raja Bangkalan mempunyai anak laki-laki
dengan Nye Pocong. Anak laki-laki yang baru lahir itu oleh Baginda Raja Bangkalan diberi
nama Ke Lesap.
Namun, dengan kehadiran buah hatinya tersebut Baginda Raja Bangkalan pergi dari desa
pocong dan kembali ke kerajaan meninggalkan istri dan anaknya. Sunguh kasihan Ke Lesap itu
karena sudah ditinggalkan ayahnya sejak ia mulai belajar bicara. Ayahnya,Baginda Raja
Bangkalan tidak pernah mengunjungi desa pocong lagi, karena itu Ke Lesap tidak tahu siapa
ayahnya. Ketika Ke Lesap bermain dengan teman-temannya di desa , sering kali mereka
menertawakannya dan mengejeknya. Dan salah satu temannya berkata dan bertanya pada Ke
Lesap Lesap, kamu pandai silat,dan pandai main banyak hal. Kamu juga pandai bertani. Tapi
kamu tidak pernah melihat kamu berjalan dengan ayahmu. Kemana ayahmu Ke Lesap?
Sebagai seorang anak yang menjelang dewasa, Ke Lesap malu ditanya seperti itu.
Kemudian ia bertanya pada ibunya Nye Pocong siapa ayahnya di ulang-ulang. Sedangkan
ibunya bingung bagimana menjelaskan pada Ke Lesap bahwa sebenarnya ayahnya adalah Raja
Bangkalan. Ibunya bingung apa harus diceritakan atau tidak, namun karena terus menerus
ditanyanya, akhirnya ibunya menceritakan dan menyampaikan kepada Ke Lesap bahwa
ayahnya adalah Raja Bangkalan. Setelah mendenagarkan hal itu, kemudin Ke Lesap minta izin
ibunya untuk merelakanKe Lesap pergi mencari ayahnya. Ke Lesap benar-benar ingin tahu
siapa ayahnya. Setelah mendengar permohonan anaknyaakhirnya Nye Pocong mengijinkan Ke
Lesap berangkat mencari ayahnya.
Pendek cerita, KeLesap pergi ke kota Bangkalan dan tiba di alun-alun dimana dia
melihat keraton yang indah. Ia bertemu dengan pekerja keraton dan memberikansalam. Di
keraton Ke Lesap mencoba melamar menjadi pekerja disana. Dan akhirnya Ke Lesap menjadi
pekerja yang bertugas menberi makan kuda milik Raja. Suatu ketika seekor kuda yang tadinya
mengamuk. Karena Ke Lesap memang cerdik,ia tangkap kuda tersebut dan menaikinya, kuda
yang tadinya mengamuk kemudian mengikuti isyarat Ke Lesap bejalan menuju kandangnya.
Saat itu Baginda Raja memperhatikan dan heran melihat wajah Ke Lesap, karena Baginda Raja
merasa wajahnya mirip dengan wajah Ke Lesap, kemudian Ke Lesap dipanggil oleh Baginda
Raja dan bertanya pada Ke Lesap, Dari mana dananak siapa. Namun setelah mendengar
jawaban Ke Lesap, Baginda Rajaterkejutdan berfikir bahwa Ke Lesap itu adalah puteranya
dengan Nye Pocong dulu. Begitujuga Ke Lesap, dia merasa bahwa Baginda Raja itu adalah
ayahnya. Dan Baginda Raja memerintahkan Ke Lesap untuk menjadi tukang memandikan kuda
si BagindRaja. Mendengar itu Ke Lesap gembira sekali akan tetapi Baginda Raja malu
mempunyai seorang anak dan istri dari desa.
Akhirnya, KeLesap diberi kediaman di Duko oleh Baginda Raja. Tempat ini berada di
kota Bangkalan sekarang. Di desa itulah tinggal seorang yang berilmu dan dewasa yaitu Ke
Lesap.di Duko,ke Lesap mengajarkan pencak silat pada para pemuda di Duko dan muridnya
semakin banyak. Jika ada orang sakit ia juga dapat menyembuhkannya,karena itu semakin
banyak muridnya.
Ketika Baginda Raja mendengar bahwa Ke Lesap mempunyai murid banyak dandan
belanda mendengar bahwa ada seorang pemuda dengan murid yang banyak sedang belajar
pencak silat. Jadi kegiatan anak muda yang mengajari pencak silat kepada kaum pemuda
terdengar orang belanda yang mingibuli Baginda Raja agar Ke Lesap di jaga. Lalu Baginda
Raja menempatkan penjaga di Duko. Sejak itu kampung itu oleh orang-orang disebut desa
pejagan. Sekarang menjadi desa pejagan. Jadi, desa pejagan adalah tempat orang-orang Baginda
Raja ketika mengaasi Ke Lesap.
Ke Lesap akhirnya mengerti, mengapa Baginda Raja bersikap seperti itu walaupun saya
bersikap baik selama ini di sini. danKe Lesap terus menjauh dari pajagan, lari kearah Timur
untuk bertapa di Pajuddan. Ktika di Pajuddan, Ke Lesap bertapa,mengobati orang sakit lagi,
dan juga mengajar pencak silat. Bersemedi setiap malam dan sedikit makan. Akhirnya, yang
Maha Kuasa memberi Ke Lesap senjata yang dinamai Kodi Crancam. Kodi Crancam itu kalau
dilempar dapat terbang sendiri. Makin banyak pengikutnya,makin banyak murid-muridya,
kemudian berniat ingin menguasai Madura.
Pertama yang ditaklukkan adalah bagian Timur Madura, Sumenep. Raja Sumenep
ditantang untuk menyembah Ke Lesap. Raja Sumenep tidak berani, rakyatnya tidak kuat
melawan tentara Ke Lesap, dan Raja Sumenep dikalahkan. Dan Ke Lesap meneruskan ke
Pamekasan. Di Pamekasan Ke Lesap menang lagi. Akhirnya terus pergi ke Sampang. Di
Sampangpun ia menang lagi.
Dari perangnya, Ke Lesap di Sumenep tidak lama. Hanya dalam semalam ia dapat
menaklukkan Raja Sumenep. Sejak saat itu, Ke Lesap memberi nama tempat ini Songenep atau
sekarang Sumenep. Yang di Pamekasan, tidak sampai terjadi perang, hanya diberi peringatan
saja. Bahwasanya Ke Lesap dengan tentaranya akan melewat Pamekasan dan diminta untuk
tidak menghalanginya. Ketika Raja Pamekasan mendengar bahwa Ke Lesap beserta tentaranya
akan menuju Pamekasan, ia melarikan diri belum sampai perang. Jadi dengan hanya peringatan
saja Raja pamekasanbisa dikalahkan dan selanjutnya tempat dinamai Mekasan atau peringatan.
Di Sampang malah lebih gampang lagi. Mendengar bahwa Ke Lesap akan menyerbu Sampang,
raja dan semuanya melarikan diri. Hanya dilewati saja tentara Sampang sudah melarikan diri.
Dengan alasan ini tempat ini dinamai Sampang atau lewat. Dan menjadi Sampang.
Terus ke arah Barat, Ke Lesap dan tentaranya tiba di Blega. Waktu itu malam hari,
mereka tidur. Dalam tidurnya Ke Lesap bermimpi melihat pohon bercabang empat. Ke Lesap
menebang batang ke satu, ke dua, dan ke tiga terpotong semua. Salah satu yang tertinggal,
cabang ke empat tidak dapat ditebang. Senjata yang ayunkan memantul dan melesat, ini yang
mengejutkan Ke Lesap.
Meskipun sudah punya rencana untuk mengalahkan Bangkalan, walaupun Baginda Raja
Bangkalan adalah orang tuanya sendiri, ia terus menuju ke Barat. Baginda Raja mendengar
tentang hal ini. Dan berkata, Orang seperti ini tidak dapat dihadapi dengan kekerasan. Orang
arogan seperti ini jangan dihadapi dengan kekerasan. Mari dilawan dengan cara yang tenang
yang membuat hatinya tenang. Inilah cara kita menghadapinya. Saya bermimpi bahwa Ke
Lesap bisa sial senjatanya jika dihadapi dengan wanita, dengan penari.
Baginda Raja sudah menyiapkan perempuan cantik yang dihias seperti putri Raja
Bangkalan. Dan dibawa ke suatu tempat yang dinamai Tonjung. Ke Lesap dan tentaranya
membawa senjata-senjatanya akan menyerbu Bangkalan. Dan Ke Lesap heran, karena tentara
Bangkalan tidak ada yang membawa senjata, malah hanya membawa alat-alat musik.
Melihat kedatangan Ke Lesap, mereka memainkan alat musiknya sambil menari, terus
muncullah penari perempuan yang cantik sekali dengan pakaian putri Raja. Ke Lesap ketika
mendengar bunyi-bunyian, kemudian datang sambil berpikir, Ada apa ini?
Begini Ke Lesap, Baginda raja Bangkalan sebenarnya sudah menyerah. Dan ini
putrinya diserahkan kepada mu.
Sebenarnya perempuan itu bukan putri Raja. Perempuan itu hanya penari yang diberi
pakaian serta dihias seperti layaknya putri Raja. Ke Lesap mendengar bahwa Raja Bangkalan
sudah berani, maka Ke Lesap beserta tentaranya ikut menari dengan tentara Bangkalan. Orang-
orang yang menyamar sebagai panjak, memberikan minuman tua dan makanan sampai mereka
kenyang. Akhirnya murid-murid Ke Lesap sama-sama mau minum tua memabukkan, mereka
semua mabuk. Semua murid Ke Lesap mabuk dan tertidur, tinggal Ke Lesap sendiri yang
menari dengan penari.
Baginda raja tiba. Melihat baginda raja, Ke Lesap terus melemparkan senjatanya, tapi
kali ini tidak dapat terbang lagi. Akhirnya Patih Bangkalan menangkap dan mengikat Ke Lesap.
Ketika Ke Lesap diikat lalu menghilang. Menurut cerita, Ke Lesap menghilang. Jadi Ke
Lesap bukannya dibunuh, tapi diikat oleh patih Bangkalan dan ketika Baginda Raja Bangkalan
menghampirinya, Ke Lesap menghilang. Melihat Ke Lesap menghilang, orang-orangnya Raja
Bangkalan bersorak sambil berkata, Sekarang orang yang membuat rusuhnya madura sudah
mampus, sudah mati? Sejak itu, tempat itu dinamai Bangkalan.
Setelah itu terdengarlah suara, suaranya Ke Lesap, He orang-orang Bangkalan, ingat,
saya kalah dengan kamu, tapi nanti akan ada pertanda umbul-umbul klaras dari arah Barat Laut.
Ini pembalasan saya kepada orang-orang Madura.
SULTAN R. ABDUL KADIR CAKRA ADININGRAT II
(SULTAN R. ABD. KADIRUN)
(1815-1847 M)

Secara umum beliau disebut R. Abdul Kadirun walaupun dalam Prasasti yang terukir di
Mihrab Masjid Agung Bangkalan, terukir Maulana Abdul Kadir bin Almarhum Maulana
Abdurrahman. Beliau adalah Putra kedua Sultan Abduh (Sultan R. Abdurrahman
Cakraadiningrat I) dari 13 bersaudara. Ibunya adalah R. Ayu Saruni Permaisuri ke 2 Sultan R.
Abdurrahman, Cangga (Cucu Buyut) dari Pangeran Cakraningrat II (Panembahan Siding
Kamal). Perlu dijelaskan bahwa R. Ayu Saruni, Pasareannya ada di Buju Aghung Dedelan
(Pasarean keluarga Kerajaan di luar Kraton, sekarang Jl. KH. Moh. Toha RT.2 / RW. 06 dalam
lingkungan Pondok Al-Ikhlas Bangkalan). Asuhan KH. Zainuddin, SH.
Catatan sejarah tentang Tahun Kelahiran Sultan R. Abdul Kadirun tidak tertulis dengan
pasti tapi penulis memberanikan diri menghitung mundur, tahun lahir beliau berasal dari tahun
wafat beliau, bahwa Sultan R. Abdul Kadirun wafat pada tahun 1847 M, dalam usia 69 Tahun.
Jadi, Insya Allah Beliau dilahirkan pada tahun 1778 Masehi (1847-69). Sejak muda Beliau
selalu mendapat tugas-tugas berat dari ayah beliau, misalnya pada tahun 1880 Masehi pada usia
yang masih sangat muda (22 tahun), Sultan R. Abdul Kadirun atau disebut juga R. Tumenggung
Mangkudiningrat, telah memimpin Pasukan Bangkalan sebanyak 500 orang dalam perang
melawan Inggris pada Perang Cilincing di Batavia, sekarang Jakarta.
Tak lama kemudian dalam usia 23 tahun karena keberanian dan jasa-jasanya, Beliau
mendapat Gelar Pangeran disertai hadiah-hadiah berupa Talam Emas itu terjadi dalam tahun
1801 Masehi, dua tahun kemudian pada usia 25 tahun, Beliau dipersiapkan sebagai Raja Muda
(Ratoh Megang) untuk menggantikan ayah Beliau, dengan Gelar Pangeran Adipati, itu terjadi
pada tahun 1803 Masehi. Sebagai seorang Raja Muda pada tahun 1803 Masehi dengan
membawa kekuatan Pasukan Bangkalan sebanyak 1000 orang Beliau berangkat ke Daerah
Cirebon, berperang dan berhasil menekan perlawanan R. Bagus Idum, yang sangat sangat
ditakuti oleh Belanda, sehingga beliau mendapat Penghargaan berupa Keris Indah bergagang
Emas Bertabur Intan, yang sekarang tersimpan di Museum Betawi Jakarta Pusat (semoga
TreTans suatu saat bisa kesitu). Tahun 1815 Masehi, Sultan R. Abdurrahman Cakraadiningrat 1
wafat, sehingga dalam usia 37 tahun, Sultan R. Abdul Kadirun naik tahta kerajaan Madura Barat
III, saat itu pula Bangsa Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Kompeni Belanda
(Senin, Syawal 1743 Tahun Jawa) atau Tahun 1815 Masehi.
Gubernur Jendral Baron Van Der Capellen tahun 1824 Masehi meminta bantuan Sultan
R. Abdul Kadirun untuk mengirim Pasukan Bangkalan Madura dalam Perang Bone di Sulawesi.
Pasukan ini dipimpin oleh putra ke-8 Beliau, yaitu Pangeran Suryo Adiningrat (Pangeran
Sorjah), dengan Kekuatan 900 Pasukan Bedil, 600 orang prajurit bersenjata tombak, 80 orang
Pasukan Berkuda, 2 buah meriam.
Bahwa kecakapan tempur Pasukan Bangkalan Madura ini, saat itu benar-benar
menggetarkan seluruh jawa. Pasukan ini berangkat ke Sulawesi Selatan dan bekerja sama
dibawah komando Mayor Van Geen, dalam perang itu pula Calon Putra Mahkota Sultan R.
Abdul Kadirun, Pangeran Adipati Seco Adiningrat IV (R. Moh. Yusuf) dan menantu Sultan
Pangeran Atmojo Adiningrat. Pangeran Suryo Adiningrat mendapat Pangkat Letnan Kolonel
dan Mayor.
Tujuh bulan berada di Bone, Pasukan Bangkalan Madura ini, ditarik kembali ke Madura
dan 2 tahun kemudian tahun 1883 Masehi kembali Pasukan Bangkalan Madura dikirim ke
Jogjakarta dalam Perang Diponegoro. Enam bulan berperang disana, Pangeran Seco Adiningrat
IV (R. Moh. Yusuf putra ketujuh Sultan), menjadi Kolonel dan Pangeran Suryo Adiningrat ,
Pangeran Atmojo Adiningrat berpangkat Letnan Kolonel.
Tahun 1831 Masehi, Korps Barisan dibentuk di Madura dan 2 tahun kemudian 1833
Masehi kembali Pasukan Bangkalan Madura diberangkatkan dalam perang Jambi, kali ini
pemimpin pasukannya adalah Pangeran Adinegoro (Ibrahim). Putra ke-18 dari Ibu Nyai Djai,
tahun 1846, Pasukan Bangkalan Madura berangkat dalam ekspedisi yang pertama di bawah
pimpinan Pangeran Adinegoro dalam Perang Bali.
Dapat diambil kesimpulan bahwa masa pemerintahan Sultan R. Abdul Kadirun, seolah-
olah disibukkan oleh masa-masa perang, itu tidak berarti Beliau meninggalkan tugas
Kepemerintahannya yang lain, satu contoh bahwa sebagai seorang Satrio Pinandito (Ulama dari
Umaroh yang bersatu dalam pribadi Beliau), Sayyidin Panotogomo, Beliau telah membuka
Masjid Kraton Kerajaan untuk kepentingan Ibadah Rakyat Umum (Masjid Agung Bangkalan
yang dipakai sampai sekarang).
Uraian tentang hal tersebut diatas dapat dibaca dalam buku Sultan R. Abdul Kadirun
hubungannya dengan Masjid Agung Bangkalan, karya tulis (R. Moh. Sasra). Beliau
mendasarkan watak kepemimpinannya pada Asta Brata, 8 sifat Kepemimpinan dari sudut
pandang Budaya Jawa (tertulis dalam buku : Alm. Sumarsaid Murtono), yaitu :
1. Demawan (Indra)
2. Tegas (Yama)
3. Ramah Tamah (Suya)
4. Kasih Sayang (Candra)
5. Cermat (Bayu)
6. Pemberi Kegembiraan (Kuwera)
7. Cerdas (Baruna)
8. Keberanian (Brahma)
Akhirnya pada hari Kamis Legi II Syafar, 1775 tahun Jawa atau tanggal 28 Januari 1847
Masehi, Sultan R. Abdul Kadirun Cakradiningrat II atau Sultan R. Abdul Kadirun, berpulang ke
Rahmatullah pada usia 69 tahun, jenazah beliau dikebumikan di Pasarean Congkop (Makam
Raja Bangkalan dan Keluarganya), di belakang Masjid Agung Bangkalan.
R. SYARIFAH AMBAMI (RATO EBU) AROSBAYA
CINTA SEJATI SEORANG RATU

Ratu Ibu adalah seorang wanita yang bernama Sarifah Ambani. Wanita keturunan dari Sunan
Giri ini adalah seorang istri yang sangat taat, patuh dan sangat mencintai suaminya, Raja Cakraningrat.
Raja Cakraningrat adalah seorang raja yang sangat dihormati dan diagungkan oleh masyarakat Madura
pada saat itu. Raja Cakraningrat memimpin Madura pada tahun 1624 atas perintah Sultan Agung dari
Mataram.
Raja Cakraningrat terkenal akan kepandaiannya, kepawaiannya, dan tenaga yang kuat untuk
menjadi seorang pemimpin. Maka, Sultan Agung Mataram membutuhkan jasa Raja Cakraningrat untuk
membantunya membangun Mataram. Sehingga, Ratu Ibu sering ditinggal oleh suami tercintanya.
Perasaan sedih pun melanda Ratu Ibu, walaupun istri seorang raja, tapi hatinya adalah hati wanita biasa.
Hampir siang malam beliau sedih karena ditinggal suaminya bertugas ke Mataram.
Ratu Ibu memilih untuk bertapa ketika perasaan sedih mengguncang dirinya. Dalam
pertapaannya, Ratu Ibu meminta kepada Yang Maha Kuasa agar suaminya tetap sehat dan agar kelak
tujuh turunannya bisa menjadi pemimpin dan penguasa Madura.
Hingga suatu hari saat Raja Cakraningrat pulang ke Madura, perasaan Ratu Ibu pun berbunga-
bunga. Selain senang karena suaminya pulang, Ratu Ibu juga bercerita dirinya bertapa dan berdoa agar
tujuh keturunanya menjadi pemimpin Madura. Namun, bukannya rasa senang atau pun pujian yang
diucapkan oleh Raja Cakraningrat, tetapi justru kemarahan dan kekecewaan. Raja Cakraningrat kesal
karena istrinya hanya berdoa agar tujuh turunannya yang menjadi raja. Sebab, Raja Cakraningrat ingin
semua keturunannya menjadi pemimpin Madura.
Mendengar hal tersebut Ratu Ibu pun sedih dan merasa bersalah. Saat suaminya kembali ke
Mataram untuk bertugas, Ratu Ibu kembali ke pertapannya di Desa Baduran. Saat bertapa Ratu Ibu terus
menangis tanpa henti, hingga konon air matanya membanjiri tempat pertapannya. Hal tersebut terus
berlangsung hingga beliau wafat.
Di Desa Buduran tidak hanya terdapat makam Ratu Ibu. Di sana juga terdapat makam Raja
Madura dari abad ke-16 hingga ke abad ke-19. Konon makam raja tersebut adalah tujuh turunan dari
sang Ratu Ibu. Selain nilai sejarah yang tinggi, keunikan seni arsitektur pada makam dan beberapa
pahatan batu di sekitar makam menjadikan suasana makam ini begitu sakral dan mistis. Tidak sedikit
pula traveler datang ke tempat ini untuk berwisata ziarah.
Dengan berkunjung ke Makam Ratu Ibu, bagi para wanita akan mendapatkan pelajaran tentang
pengorbanan dan rasa iklhas sebagai seorang istri. Serta bagi para pria, Anda akan lebih belajar dan lebih
menghargai tentang perasaan dan hati seorang wanita.
BIOGRAFI KH KHOLIL BANGKALAN MADURA (SYAIKHONA MBAH KHOLIL)

Biografi KH Kholil Bangkalan Madura Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235
H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran,
Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur,
merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang
anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal
dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin
umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati
telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan
permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari
Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror
Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung
Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak
Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan
bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa.
Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak
usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang
lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba
ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga
puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan,
Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil,
Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok
Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer
dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga
dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan
ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap
harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah
Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.
Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai
Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi,
meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya
cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau
merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di
Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia
memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan
Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran.
Beliau mampu membaca Al-Quran dalam Qiraat Sabah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba
ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri.
Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan
niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia
memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu
terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini,
Mbah Kholil nyambi menjadi buruh pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya,
dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk
makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan
pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil
bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu
dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos
pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan
untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah
Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada
Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil
belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara
gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud
Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani
dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut
orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab
yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab
Syafii tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji
kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafii.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka
ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini bagi teman-temannya, cukup
mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak
habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran
ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi
panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab
Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan
memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara
mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil
bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh
Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun
kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan
dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang
digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah.
Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan
ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya,
Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer
arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya),
Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun
dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga
dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Quran 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat
mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa
kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah
putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha;
pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil
sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200
meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya
selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari
daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari
Jawa tercatat bernama Hasyim Asyari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan
sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang waskita, weruh sak durunge winarah (tahu sebelum
terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat;
meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi,
menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa
Mbah Kholil belajar kepada Kyai Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut
Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi,
dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil
mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh
dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan
banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah
KH. Hasyim Asyari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih
banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi
suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak
keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para
pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak
Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa
dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak
melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan
kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut
menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap
pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar
bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak
seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam,
sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan
keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil
tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan
pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi
beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama
maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah
perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asyari (pendiri Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab
Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri
Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Mashum (pendiri Pondok Pesantren Lasem,
Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Mashum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren
Rembang), dan KH. Asad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus,
Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai Syaikhuna yakni guru kami, karena
kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan
nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok
seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin
Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara
luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di
beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di
pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. Tiba-
tiba baju dan sarung beliau basah kuyup, Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung
ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke
Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut,
langsung ditolong Mbah Kholil.
Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil
dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan
karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,
Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar
menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh
Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku
tersebut sebagai berikut:
Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke
Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada
orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah
Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula
anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit
(kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil.
Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter
dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang
seraya berkata: Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia
sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya
tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah
ke makam beliau.
3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang
siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya
petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke
Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang
mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab
tingkat pemula.
Assalamualaikum, Kyai, Ucap salam para petani serentak.
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: Sampean ada keperluan, ya?
Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai
penangkalnya, Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat qoma zaidun yang
artinya zaid telah berdiri. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada
huruf qoma zaidun.
Ya.., Karena pengajian ini sampai qoma zaidun, ya qoma zaidun ini saja pakai sebagai
penangkal, Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
Sudah, Pak Kyai? Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.
Ya sudah, Jawab Mbah Kholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah
mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing.
Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun
berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini
merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling
yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling
tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk
sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.
Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala.
Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama
ini menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur.
Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu
timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok
kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan
timun.
4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju
Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita
berbicara kepada suaminya: Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali, Ucap istrinya
dengan memelas.
Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur, Jawab
suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual
buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan
istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya
sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal
untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan
ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk
termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang
menghampirinya. Dia memberikan nasihat: Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan,
utarakan apa musibah yang menimpa dirimu! Ucapnya dengan tenang.
Mbah Kholil? Pikirnya. Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan
saya dari kapal? Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami,
insya Allah, Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan.
Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: Ada keperluan apa?
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke
Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai
pelabuhan. Sana pergi!
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami
bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya:
Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?
Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan, Katanya dengan nada putus asa.
Kembali lagi, temui Mbah Kholil! Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya
sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: Baik kalau begitu,
karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.
Terima kasih Kyai, Kata sang suami melihat secercah harapan.
Tapi ada syaratnya, Ucap Mbah Kholil.
Saya akan penuhi semua syaratnya, Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan
sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan
sanggup? Seraya menatap tajam.
Sanggup Kyai, Jawabnya spontan.
Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat, Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit
berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi
yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang
dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi,
dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali, Dengan senyum penuh arti seakan tidak
pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini
dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa
beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki
karomah yang sangat luar biasa.
JOKO TOLE (CERITA RAKYAT MADURA)

Diceritakan dalam sejarah Madura bahwa cucu Bukabu mempunyai anak bernama Dewi
Saini alias Puteri Kuning (disebut Puteri Kuning karena kulitnya yang sangat kuning)
Kesenangannya bertapa. Dengan perkawinan batin dengan Adipoday (suka juga bertapa) putera
kedua dari Penembahan Blingi bergelar Ario Pulangjiwo, lahirlah dua orang putera masing
masing bernama Jokotole dan Jokowedi.
Kedua putera tersebut ditinggalkan begitu saja dihutan, putera yang pertama Jokotole
diambil oleh seorang pandai besi bernama Empu Kelleng didesa Pakandangan dalam keadaan
sedang disusui oleh seekor kerbau putih, sedangkan putera yang kedua Jokowedi ditemukan di
pademawu juga oleh seorang Empu.
Kesenangan Jokotole sejak kecil ialah membuat senjata-senjata seperti, keris, pisau dan
perkakas pertanian, bahannya cukup dari tanah liat akan tetapi Jokotole dapat merubahnya
menjadi besi, demikian menurut cerita. Pada usianya yang mencapai 6 tahun bapak angkatnya
mendapat panggilan dari Raja Majapahit (Brawijaya VII) untuk diminta bantuannnya membuat
pintu gerbang.
Diceritakan selama 3 tahun keberangkatannya ke Majapahit Empu Kelleng belum juga
ada kabarnya sehingga mengkhawatirkan nyai Empu Kelleng Pakandangan karena itu nyai
menyuruh anaknya Jokotole untuk menyusul dan membantu ayahnya, dalam perjalanannya
melewati pantai selatan pulau Madura ia berjumpa dengan seorang yang sudah tua didesa
Jumijang yang tak lain adalah pamannya sendiri saudara dari Ayahnya yaitu Pangeran Adirasa
yang sedang bertapa dan iapun memenggil Jokotole untuk menghampirinya lalu Jokotolepun
menghampiri, Adirasa lalu menceritakan permulaan sampai akhir hal ihwal hubungan keluarga
dan juga ia memperkenalkan adik Jokotole yang bernama Jokowedi, selain itu Jokotole
menerima nasihat-nasihat dari Adirasa dan ia juga diberinya bunga melati pula, bunga melati itu
disuruhnya untuk dimakannya sampai habis yang nantinya dapat menolong bapak angkatnya itu
yang mendapat kesusahan di Majapahit dalam pembuatan pintu gerbang.
Pembuatan pintu gerbang itu harus dipergunakan alat pelekat, pelekat yang nantinya
akan dapat keluar dari pusar Jokotole sewaktu ia dibakar hangus, oleh karena itu nantinya ia
harus minta bantuan orang lain untuk membakar dirinya dengan pengertian jika Jokotole telah
hangus terbakar menjadi arang pelekat yang keluar dari pusarnya supaya cepat cepat diambil dan
jika sudah selesai supaya ia segera disiram dengan air supaya dapat hidup seperti sediakala.
Jokotole diberi petunjuk bagaimana cara untuk memanggil pamannya (Adirasa). Apabila
ia mendapat kesukaran, selain mendapat nasihat-nasihat ia juga mendapat kuda hitam bersayap
(Si Mega) sehingga burung itu dapat terbang seperti burung Garuda dan sebuah Cemeti dari
ayahnya sendiri Adipoday.
Setelah Jokotole pamit untuk ke Majapahit sesampainya di Gresik mendapat rintangan
dari penjaga-penjaga pantai karena ia mendapat perintah untuk mencegat dan membawa dua
sesaudara itu ke istana, perintah raja itu berdasarkan mimpinya untuk mengambil menantu yang
termuda di antara dua sesaudara itu. Dua sesaudara itu datanglah ke istana, ketika dua orang
sesaudara itu diterima oleh Raja diadakan ramah tamah dan di utarakan niatan Raja menurut
mimpinya, karena itu dengan iklas Jokotole meninggalkan adiknya dan melanjutkan
perjalanannya menuju Majapahit.
Setelah mendapat izin dari ayah angkatnya untuk menemui Raja Majapahit ia lalu
ditunjuk sebagai pembantu empu-empu, pada saat bekerja bekerja dengan empu-empu Jokotole
minta kepada empu-empu supaya dirinya dibakar menjadi arang bila telah terbakar supay
diambilanya apa yang di bakar dari pusarnya dan itulah naninya yang dapat dijadikan sebagai
alat pelekat. Apa yang diminta Jokotole dipenuhi oleh empu-empu sehingga pintu gerbang yang
tadinya belum bisa dilekatkan, maka sesudah itu dapat dikerjakan sampai selesai. Setelah bahan
pelekatnya di ambil dari pusar Jokotole ia lalu disiram dengan air supaya dapat hidup kembali.
Selanjutnya yang menjadi persoalan ialah pintu gerbang tadi tidak dapet didirikan oleh
empu-empu karena beratnya, dengan bantuan jokotole yang mendapat bantuan dari pamannya
Adirasa yang tidak menampakkan diri, pintu gerbang yang tegak itu segera dapat ditegakkan
sehingga perbuatan tersebut menakjubkan bagi Raja, Pepatih, Menteri-menteri dan juga bagi
empu-empu, bukan saja dibidang tehnik Jokotole memberi jasa-jasanya pula bantuannya pula
misalnya dalam penaklukan Blambangan, atas jasa-jasanya itu Raja Majapahit berkenan
menganugerahkan Puteri mahkota yang bernama Dewi Mas Kumambang, tetapi karena hasutan
patihnya maka keputusan untuk mengawinkan Jokotole dengan Puterinya ditarik kembali dan
diganti dengan Dewi Ratnadi yang pada waktu itu buta karena menderita penyakit cacat, sebagai
seorang kesatria Jokotole menerima saja keputusan Rajanya.
Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit Jokotole minta izin untuk pulang ke Madura
dan membawa isterinya yang buta itu, dalam perjalanan kembali ke Sumenep sesampainya di
pantai madura isterinya minta izin untuk buang air, karena ditempat itu tidak ada air, maka
tongkat Isterinya diambil oleh Jokotole dan ditancapapkan ke tanah yang ke betulan mengenai
mata isterinya yang buta itu, akibat dari percikan air itu, maka tiba-tiba Dewi Ratnadi dapat
membuka matanya sehingga dapat melihat kembali, karena itu tempat itu dinamakan "Socah "
yang artinya mata.
Didalam perjalanannya ke Sumenep banyaklah kedua suami isteri itu menjumpai hal-hal
yang menarik dan memberi kesan yang baik, misalnya sesampainya mereka di Sampang, Dewi
Ratnadi ingin mencuci kainnya yang kotor karena ia menstruasi, lalu kain yang di cucinya itu
dihanyutkan oleh kain sehingga tidak ditemukan. Kain dalam tersebut oleh orang Madura
disebut "Amben" setelah isterinya kehilangan Amben maka Jokotole berkata Mudah-mudahan
sumber ini tidak keluar dari desa ini untuk selama-lamanya, sejak itu desa itu disebut desa
"Omben" dan ketika Jokotole menjumpai ayahnya ditempat pertapaan di Gunung Geger
diberitahunya bahwa ia nantinya akan berperang dengan prajurit yang ulung dan bernama
Dempo Abang (Sampo Tua Lang), seorang panglima perang dari negeri Cina yang menunjukkan
kekuatannya kepada Raja-raja ditanah Jawa, Madura dan sekitarnya.
Pada suatu ketika waktu Jokotole bergelar Pangeran Setyodiningrat III memegang
pemerintahan di Sumenep kurang lebih 1415 th, datanglah musuh dari negeri Cina yang
dipimpin oleh Sampo Tua Lang dengan berkendaraan kapal yang dapat berjalan di atas Gunung
di antara bumi dan langit.
Didalam peperangan itu Pangeran Setyoadiningrat III mengendarai kuda terbang sesuai
petunjuk dari pamannya (Adirasa), pada suatu saat ketika mendengar suara dari pamannya yang
berkata "pukul" maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras sehingga kepala dari
kuda itu menoleh kebelakang dan ia sendiri sambil memukulkan cambuknya yang mengenai
Dempo Awang beserta perahunya sehingga hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya,
bncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang
menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di
Desa/Kecamatan Socah
Dengan kejadian inilah maka kuda terbang yang menoleh kebelakang dijadikan lambang
bagi daerah Sumenep, sebenarnya sejak Jokotole bertugas di Majapahit sudah memperkenalkan
lambang kuda terbang.
Dipintu gerbang dimana Jokotole ikut membuatnya terdapat gambar seekor kuda yang
bersayap dua kaki belakang ada ditanah sedang dua kaki muka diangkat kebelakang, demikian
pula di Asta Tinggi Sumenep disalah sati Congkop (koepel) terdapat kuda terbang yang dipahat
di atas marmer. Juga pintu gerbang rumah kabupaten (dahulu Keraton) Sumenep ada lambang
kuda terbang. Di museum Sumenep juga terdapat lambang kerajaan yang ada kuda terbangnya,
karena itu sudah sepantasnyalah jika pemerintahan kota Sumenep memakai lambang kuda
terbang.
LEGENDA SUMBER API ALAM "DHANGKA"

Api nan tak kunjung padam pada " DHANGKA " memiliki latar belakang kisah dari
suatu legenda " KI MOKO ". Konon kira-kira pada abad XVI sekitar tahun 1605 saka atau tahun
1683 Masehi hiduplah seorang pengelana penyebar agama Islam yang memiliki kesaktian yang
bernama KI MOKO dengan nama aslinya R. WIGNYO KENONGO.
Di tengah-tengah hutan yang tandus dimana dia bertempat tinggal, KI MOKO yang
pekerjaannya sehari-hari mencari ikan di laut, berhasil menciptakan sumber-sumber kebutuhan
hidup yang diupayakan guna memenuhi kebutuhan yang mendesak yaitu pada saat ia harus
menyambut atau menjamu tamu dari kerajaan dalam rangka perayaan pernikahan dirinya dengan
putri raja.
Kisah ini bermula ketika KI MOKO mendengar berita bahwa Raja Kerajaan Palembang
sedang dirundung kesedihan karena seorang putrinya tengah menderita sakit yang tak kunjung
sembuh, meski telah banyak tabib yang mengobatinya.
Pada kesempatan itu KI MOKO terpanggil untuk mencoba membantu mengobati
penderitaan putri raja KI MOKO mempersembahkan sesuatu kepada Sang raja berupa tabung-
tabung bambu yang penuh berbagai mata ikan dan dikirimkan melalui utusan, menerima
persembahan dari KI MOKO Raja sangat terkejut karena barang yang semula dianggap kurang
berharga menjelma menjadi barang berharga berupa Permata Intan dan Berlian. Sang raja sangat
terkeut dan gembira begitu pula Sang Putri yang pada akhinya membuat ia sembuh dari
sakitnya.
Melihat kejadian ini Sang Raja merasa berhutang budi kepada KI MOKO dan sesuai
janjinya Sang Raja menganugerahkan hadiah berupa sebuah peti kepada KI MOKO dan dikirim
melalui utusan, setelah peti tersebut sampai ke tangan KI MOKO dan dibukanya ternyata dari
dalamnya terjelma seorang Putri yang amat cantik jelita, itulah SITI SUMENTEN Putri Raja
yang sengaja dianugerahkan kepada KI MOKO untuk dijadikan istri, menghadapi kenyataan ini
KI MOKO sangat masqul dan gembira hatinya. Namun kegembiraan itu sejenak berubah
menjadi rasa risau karena kebersamaan dengan itu pula tersirat suatu berita bahwa tak lama lagi
rombongan dari Kerajaan akan segera datang ke tempat kediaman KI MOKO untuk
melangsungkan perayaan pernikahan. Kerisauan KI MOKO disebabkan karena tempat kediaman
serta segala kebutuhan perayaan sangat tidak memungkinkan. Namun kerisauan tersebut
akhirnya sirna setelah KI MOKO memusatkan batin melalui semedinya untuk memohon
pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dengan menancapkan tongkat saktinya berdirilah bangunan istana yang sangat megah (
bangunan tersebut sirna setelah kegiatan perayaan selesai ).
Demikian pula untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti kebutuhan sumber air dan
seterusnya dengan cara yang sama KI MOKO menancapkan tongkatnya pada tanah. Pada saat
itulah tercipta sumber air yang akhirnya menjadi sebuah telaga serta pancaran kobaran api yang
senantiasa menyala dan akan berguna untuk kebutuhan manusia.
Dengan demikian puaslah hati KI MOKO dan pelaksanaan pesta pernikahan dapat
berjalan dengan lancar. Sampai saat ini, semburan api alam tersebut masih tetap abadi hingga
dikenal dengan istilah " API NAN TAK KUNJUNG PADAM " "DHANGKA". Dhangka artinya
rumah tempat kediaman / Istana yang kemudian sirna yang lokasinya terdapat di dusun Asem
manis II Desa Larangan Tokol, Kec. Tlanakan, Kab. Pamekasan.
Sedangkan Patilasan / makam KI MOKO terletak di dusun Palanggaran Desa Branta
Tinggi Kecamatan Tlanakan Kab. Pamekasan yang sampai saat ini oleh masyarakat sekitar
masih dikeramatkan. Untuk merawat / menjaga sumber api dan sumber air tersebut, maka KI
MOKO mengutus Ki Rahma dan Nyi Rahma ( Buju'Tonggah ) yang artinya sebagai penunggu
yang kuburannya / astanya terletak di Pojok Barat Laut Lokasi Api Ala Mini.

Anda mungkin juga menyukai