Faktor Komunikasi yaitu suatu proses penyampaian informasi dari pejabat atau instansi tertentu
yang secara hierarkis berkedudukan lebih tinggi, kepada pejabat atau instansi tertentu untuk
melaksanakan kegiatan sesuai dengan informasi yang diberikan yang dilihat dari aspek transmisi
atau pengiriman berita, aspek kejelasan dan konsistensi. Komunikasi yang dilaksanakan oleh
Dinas Pencatatan Sipil, Administrasi Kependudukan dan Keluarga Berencana Kabupaten
dengan aparat pelaksana di tingkat kecamatan belum lancar karena terkendala oleh ketersediaan
sarana komunikasi cepat (telepon/faksimili) yang belum tersedia di kecamatan sehingga
informasi/instruksi yang harus disampaikan kecamatan kepada desa/kelurahan yang selanjutnya
kepada masyarakat memakan waktu lama, demikian pula sebaliknya. Hal ini juga mengakibatkan
banyak masyarakat yang belum tahu tentang prosedur, syarat, waktu dan biaya pembuatan KTP,
sehingga dalam pelaksanaan di lapangan terjadi penyimpangan-penyimpangan. Biaya yang
seharusnya hanya Rp. 7.000,- masyarakat harus mengeluarkan biaya sampai Rp. 50.000,-
2. Faktor Sumber daya
Sumber daya yaitu sarana yang digunakan dalam implementasi, hal ini dilihat dari aspek
staff/personil, informasi dan fasilitas. Sumber daya dari aparat yang melayani masih belum
sepenuhnya baik karena seharusnya sebagai aparat yang melayani taat sepenuhnya kepada
Prosedur Tetap (protap) yang telah ada, namun kenyataannya masih menunda-nunda
penyelesaian pembuatan KTP.
3. Faktor Sikap
Yaitu sikap dari para pelaksana dalam melayani masyarakat, dilihat dari aspek pembagian tugas
dan aspek insentif. Sikap yang ditunjukkan oleh petugas yang ada di Kecamatan maupun di
Dinas Pencatatan Sipil, Administrasi Kependudukan dan Keluarga Berencana Kecamatan.
Trimurjo, masih menunjukkan sikap selalu minta untuk dihormati dan bukannya melayani
masyarakat yang membutuhkan, sehingga kebutuhan pelayanan masyarakat akan KTP banyak
kali memakan waktu yang lama.
4. Faktor Struktur Birokrasi
Yaitu tatanan organisasi yang mengatur tentang pedoman kerja dan penjabaran wilayah tanggung
jawab bagi pelaksana, dan dilihat dari aspek prosedur standar operasi dan pembagian wilayah
tanggung jawab. Struktur birokrasi untuk Pelayanan Publik Administrasi Kependudukan
(pembuatan KTP) di Kecamatan Trimurjo cukup panjang karena prosesnya mulai dari tingkat
RT/RW ke Desa/Kelurahan lalu ke Kecamatan dan seterusnya ke Dinas Pencatatan Sipil,
Administrasi Kependudukan dan Keluarga Berencana, dan sebaliknya, sehingga proses untuk
penyelesaian pembuatan KTP memakan waktu yang cukup lama.
II.6 Prinsip Pelayanan Prima
Salah satu fungsi sekaligus tugas utama birokrasi publik (pemerintah) adalah memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat (pelayanan prima). Dalam teori pelayanan publik,
pelayanan prima (excellent service) dapat diwujudkan jika ada standar pelayanan minimal
(SPM). SPM adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan
dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara negara
kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Dalam Rancangan Undang-
undang Pelayanan Publik, standar pelayanan ini setidaknya-tidaknya berisi tentang: dasar
hukum, persyaratan, prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan, produk
pelayanan, sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi pelayanan, pengawasan intern,
penanganan pengaduan, saran dan masukan, dan jaminan pelayanan.Khusus menyangkut
masalah tarif atau biaya pelayanan, maka kejelasan tentang berapa jumlah uang yang harus
dibayar dan kepada siapa masyarakat membayar menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan
kepuasan masyarakat yang dilayani.
Kepuasan masyarakat ini merupakan salah satu ukuran berkualitas atau tidaknya
pelayanan publik yang diberikan oleh aparat birokrasi pemerintah daerah. Bersandarkan pada
SPM ini, maka seharusnya pelayanan publik yang diberikan (pelayanan prima) oleh birokrasi
pemerintah daerah bercirikan: kesederhanaan, kejelasan, kepastian dan tepat waktu, akurasi,
bertanggung jawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kejujuran, kecermatan,
kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, keamanan dan kenyamanan. Inilah potret pelayanan
publik dambaan setiap warga masyarakat Indonesia setelah munculnya gerakan reformasi 1998.
III. Permasalahan Pelayanan Publik
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan
peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada
berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya
manusia, dan kelembagaan.
Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan
antara lain:
a. Kurang responsive : Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai
pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab
instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali
lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
b. Kurang informative : Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat,
lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c. Kurang accessible : Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat,
sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
d. Kurang koordinasi : Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang
berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara
satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
e. Birokratis : Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan
melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan
yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf
pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak
kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka
menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya,
berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat : Pada umumnya aparat pelayanan
kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya,
pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
g. Inefisien : berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan
seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
h. Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan
profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah
satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.
i. Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak
dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki
yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi.
Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi
penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan
pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu,
misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka
petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;
Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang
berlaku;
Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur
jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan;
Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam
prosedur pelayanan;
Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan
kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata
lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan
tangungjawab yang jelas;
3) Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka
perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah
diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan
pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan
memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan
memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;
4) Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat merupakan satu
sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten
menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena
itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien
mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas
pelayanan;
Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan
melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat
pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan
kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting
out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang,
pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk
pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price
regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat
melakukan privatisasi. Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu
didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas
pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi
tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.
V. Budaya Pelayanan
Penerapan Standar pelayanan harus didukung adanya budaya pelayanan yang secara
konsisten dikembangkan pada organisasi pelayanan publik. Dalam penyelenggaraaan pelayanan
publik selama ini, penyelenggara pelayanan publik seringkali mendapatkan citra yang negatif
karena proses yang panjang, dan berbelit-belit serta ketidakjelasan biaya pelayanan.
Bagaimana mungkin seorang pemberi pelayanan dapat memberikan pelayanan kepada pelanggan
dengan baik, bila nilai-nilai, norma dan prinsip-prinsip organisasi tempatnya bekerja ternyata
mengabaikan kearifan dan tanggungjawab terhadap kemaslahatan banyak orang.
Persoalan budaya pelayanan memainkan peran yang dominan dan melingkupi
keseluruhan kegiatan yang dijalankan oleh unit pelayanan publik. Maka sebaiknya, nilai-nilai
baik berupa azas/prinsip-prinsip, tujuan atau norma pelayanan yang baik, termasuk etika, sikap
dan perilaku pemberi layanan, dibangun dan dikembangkan berlandaskan kebijakan yang
dirumuskan secara jelas oleh organisasi penyelenggara pelayanan publik.
Perubahan mindset mutlak sangat diperlukan sebagai langkah awal melakukan perubahan
budaya pelayanan. Pola pikir selama ini tentang aparat pemerintah yang emmiliki kedudukan dan
kewenangan tak terbantahkan dibanding masyarakat yang dilayani, harus segera dibuang jauh-
jauh. Budaya pelayanan sesegera mungkin harus berubah menjadi lebih peka terhadap harapan-
harapan masyarakat. Namun demikian, perlu dicermati bahwa mengubah mindset aparat
pemeringah tidak bisa dilakukan dengan pemberian motivasi melalui ceramah, kursus-kursus
saja, tetapi yang utama adalah melalui penerapan manajemen yang benar mencakup pemberian
kesejahteraan memadai dan penerapan reward dan punishment secara konsisten dan
berkelanjutan.
Beberapa perubahan mindset aparat pelayanan publik yang diyakini dapat merubah
budaya pelayanan antara lain dengan :
Beberapa langkah yang dapat menumbuhkan budaya pelayanan antara lain sebagai berikut :
a. tempatkan pegawai dari unit berbeda yang memiliki tugas dan fungsi jelas di unit
pelayanan sebagai langkah awal menuju perubahan budaya;
b. ciptakan rotasi pekerjaan secara berkala, kerja magang di lura unit, saling tudak menukar
informasi seputar tugas dan fungsi antar unit, dan apabila memungkinkan melakukan
perlombaan antar unit pelayanan publik;
c. rayakan keberhasilan dalam pemberian pelayanan publik dengan memberikan
penghargaan kepada pegawai yang berprestasi;
d. ciptakan bahasa, kebiasaan, cerita sukses, dan simbol untuk mendorong rasa kebersamaan
dan rasa kesatuan dalam tim unit pelayanan publik;
e. ciptakan mentala model baru dengan emngikutsertakan pegawai dalam merancang misi
organisasi, perlakuan nilai, kepercayaan, dan asumsi mereka sebagai investasi bagi
keberhasilan unit pelayanan; dan
f. ciptakan model sistem sebagai cara memberikan pemahaman tentang bagaimana sesuau
bekerja dan bagaimana perubahan akan efektif. (Standar Pelayanan Publik, PKMP-LAN)
VI. Kesimpulan
Dari pembahasan masalah diatas maka dapat disimpulkan, bahwa Implementasi
Pelayanan Publik Administrasi Kependudukan belum sepenuhnya berjalan dengan baik
diantaranya karena faktor komunikasi yang masih terhambat oleh fasilitas-fasilitas yang belum
tersedia, sumber daya aparat pelaksana yang belum sepenuhnya melayani dengan baik, sikap
yang diperlihatkan oleh petugas dalam melayani masyarakat, serta struktur birokrasi atau
prosedur yang panjang dalam proses pembuatan KTP. Serta masih maraknya pungutan liar
(pungli) terhadap pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang membuat masyarakat enggan
untuk mengurusnya.
Pungli ini bisa tampil terbuka, bisa juga dilakukan dengan tertutup. Terbuka dengan cara
menambah panjang jalur birokrasi pengurusan KTP atau menambah ongkos kerja. Sementara
tertutup dilakukan diam-diam dengan menggunakan topeng, misalnya: Pungli bertopengkan uang
kemanisan hati. Artinya, karena mengurus KTP mengeluarkan energy tak sedikit, makanya
petugas berharap warga bermanis hati memberikan uang capek.