Anda di halaman 1dari 36

1.

Fungsi komunikasi politik dalam membangun citra positif dalam opini


publik.
Seseorang atau sebuah lembaga yang memutuskan untuk terjun kedalam
dunia politik, selanjutnya diharuskan membangun sebuah aliran komunikasi politik
kepada masyarakat sekitar lingkungannya, baik itu dalam dunia politik atau kepada
masyarakat umum. Adanya kegiatan komunikasi politik tersebut akan menjaga
kekuatan dan posisi politik seseorang atau lembaga dalam persaingan di dunia
politik. Melalui kegiatan komunikasi politik, para pelaku politik dapat menjaga
dukungan politiknya dari berbagai pihak, terutama dari masyarakat. Pada dasarnya,
sebuah kegiatan komunikasi politik dilakukan untuk tujuan pembentukan opini yang
positif. Opini tersebut dibangun dengan menanamkan pandangan bahwa seorang
tokoh politik mempunyai track record yang positif di mata masyarakat dan dunia
politik. Untuk mendapatkan opini positif dan dukungan tersebut, seorang tokoh
politik harus dapat melakukan sebuah komunikasi politik yang efektif, dimana
pesan-pesan politik mengenai dirinya dapat dipahami oleh target audiens sesuai
dengan tujuan perumusan pesan politik tersebut, sebagai hasilnya adapalah
terbentuknya opini publik yang positif kepada tokoh politik tersebut. Salah satu
strategi untuk mendapatkan opini positif tersebut adalah dengan membuat pencitraan
diri (self image) yang positif di dunia politik kepada masyarakat. Oleh karena itu,
untuk dapat bertahan dan sukses di persaingan politik, para pelaku politik harus
mampu menciptakan sebuah komunikasi politik yang efektif, dimana pesan-pesan
politiknya dapat membangun opini yang sesuai dengan yang diharapkan oleh para
pelaku politik tersebut.
Komunikasi politik sendiri merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk
membangun sebuah opini publik mengenai sesuatu hal yang terkait dalam bidang
politik. Biasanya kegiatan komunikasi politik identik dengan kegaitan kampanye,
dimana didalamnya terdapat aliran pesan informasi yang disampaikan oleh tokoh
politik sebagai komunikator, dan masyarakat sebagai komunikan (target audiens).
Kampanye sendiri adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan dampak

1
tertentu pada sejumlah besar orang dalam jangka waktu tertentu melalui satuan
kegiatan komunikasi (komunikasi politik) yang terorganisir dengan baik (Rogers &
Storey, 1987: 821). Informasi yang disampaikan dalam kegiatan kampanye tersebut
dilakukan melalui sebuah kegiatan komunikasi politik. Penyampaian pesan informasi
melalui komunikasi politik tersebut dilakukan secara terorganisir untuk
mempengaruhi kepercayaan dan pandangan masyarakat, perilaku politik, ataupun
sikap dan simpati dari masyarakat terhadap sebuah obyek politik melalui peran media
massa ataupun media-media komunikasi lainnya (Devine & Hirt, 1989: 230). Untuk
menjelaskan mengenai definisi komunikasi politik sendiri, McQuail dalam Swanson
mengatakan:
Komunikasi politik adalah sebuah studi yang
interdisiplinari yang dibangun atas berbagai macam disiplin
ilmu, terutama dalam hubungannya antara proses
komunikasi dan proses politik. Ia merupakan wilayah
pertarungan dan dimeriahkan oleh persaingan teori,
pendekatan, agenda dan konsep dalam membangun jati
dirinya. Oleh karena itu pula, komunikai yang membicarakan
mengenai politik kadang diklaim sebagai sebuah studi aspek-
aspek politik dari komunikasi publik, dan seirng dikaitkan
sebagai komunikasi kampanye Pemilu karena mencakup
masalah persuasi terhadap pemilih, debat antar kandidat,
dan penggunaan media massa sebagai alat
kampanye(Cangara, 2009: 16).

Jadi, berdasarkan pada pengertian diatas, dapat dipahami bahwa sebuah


komunikasi politik terdiri atas disiplin ilmu komunikasi dan ilmu politik yang
bahasannya sering dikaitkan dengan komunikasi dalam kegiatan kampanye.
Komunikasi yang terjadi dalam kegiatan kampanye tersebut mencakup permasalahan
mengenai persuasi terhadap pemilih, debat antar kandidat, dan penggunaan media
massa sebagai alat kampanye.

2
Kegiatan komunikasi politik sendiri pada dasarnya berfungsi sebagai
jembatan penghubung antara suprastruktur dan infrastruktur yang bersifat
interpendensi dalam ruang lingkup negara. Strategi komunikasi politik sendiri dapat
dilakukan dengan mendasarkan pada siapa yang menjadi target audiensnya, bisa
kepada struktur pemerintahan (dunia politik) ataupun kepada struktur masyarakat.
Kedua target audiens tersebut diharuskan membutuhkan strategi-strategi (pendekatan)
dan pencapaian tujuan yang berbeda-beda dalam pelaksanaannya. Menurut Sumarno
(1993: 28), fungsi komunikasi politik dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama,
fungsi komunikasi politik yang berada pada struktur pemerintah (suprastruktur
politik) atau the govermental political sphere. Pada fungsi komunikasi politik ini, isi
pesan informasi berupa isu mengenai kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Isi komunikasi ditujukan kepada upaya untuk mewujudkan loyalitas dan
integritas nasional untuk mencapai tujuan negara yang lebih luas. Kedua, adalah
fungsi yang berada pada struktur masyarakat (infrastruktur politik), yang disebuat
dengan istilah socio political sphere. Fungsi komunikasi politik yang kedua ini
merupakan agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan, dimana kedua fungsi
tersebut sebagai proses komunikasi yang berlangsung di antara kelompok asosiasi
dan proses penyampaian atau penyaluran isi komunikasi terhadap pemerintah dari
hasil agregasi dan artikulasi tersebut.
Jadi pada dasarnya, sebuah komunikasi politik dilakukan untuk membangun
loyalitas dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait, baik itu dalam struktur politik
pemerintahan ataupun dari masyarakat. Adanya dukungan dari kedua pihak terebut,
posisi politik dari seseorang dapat menjadi aman dan masih kuat untuk berada di
kursi percaturan dunia politik. Salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan,
kepercayaan, dan loyalitas tersebut adalah menciptakan opini yang positif dari kedua
pihak tersebut, terutama dalam masyarakat. Di dalam dunia perpolitikan yang saat ini
dapat dikatakan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dukungan dari masyarakat
merupakan sebuah nilai positif tersendiri untuk mempertahankan kursi kekuasaan
politik. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat tersebut, seorang tokoh politik
harus mempunyai reputasi yang bersih. Adanya reputasi yang bersih tersebut,

3
selanjutnya akan menimbulkan sebuah opini yang positif mengenai tokoh politik
tersebut, lalu menjadi sebuah simpati, dan akhirnya menghasilkan sebuah dukungan
dan loyalitas dari masyarakat sebagai pemegang hak pilih politik terbesar.
2. Kekuatan media massa sebagai media komunikasi politik.
Media dan politik saat ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Dunia politik membutuhkan media massa untuk melakukan kegiatan komunikasi
politik, terutama yang ditujukan kepada masyarakat luas. Meskipun pada dasarnya
media massa mempunyai fungsi sebagai pengawas pemerintahan dan kontrol sosial-
politik (dog watcher), terkadang media massa dimanfaatkan oleh para pelaku politik
untuk sekedar berkampanye ataupun melegitimasi kebijakan politik yang diambil
oleh para pelaku politik tersebut kepada masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya
kekuatan media massa yang mampu mempengaruhi masyarakat melalui berita
informasi didalamnya tersebut, para tokoh politik sering memanfaatkan kekuatan
media tersebut untuk melakukan komunikasi politik dan membangun opini publik
yang positif terhadap mereka. Selain itu, karena kekuatannya, media massa
mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam pembentukan karir politik seseorang,
apakah karir politik seseorang tersebut dapat dibuat cemerlang ataupun malah
menurun (Cangara, 2009: 117-118).
Menurut Hamad (2004: 37), studi tentang pemanfaatan dan efek media dalam
komunikasi politik merupakan bentuk lain yang paling banyak dilakukan. Studi-studi
tersebut berasumsi bahwa media adalah saluran komunikasi politik yang efektif.
Media massa dinilai memiliki kekuatan agenda setting yang besar dalam
menyebarluaskan pesan-pesan politik, melalui sosialisasi politik, dan pembentukan
opini publik. Menurut Firmanzah (2007: 19), media memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi opini publik dan juga perilaku dalam masyarakat. Oleh karena itu,
media dianggap memiliki peran yang sangat penting dalam mentransmisi dan
menstimulasi permasalahan politik. Media massa mempunyai peran yang penting
dalam kegiatan komunikasi politik. Menurut Hasrullah (2001: 31), di dalam kegiatan
komunikasi politik, media massa dianggap mempunyai kekuatan yang hebat

4
(powerfull) dalam menyalurkan pesan-pesan politik, sehingga keperkasaan media
massa sering dijadikan saluran utama dalam mempengaruhi opini publik.
Pada dasarnya, fungsi dari media massa adalah sebagai alat untuk
menyalurkan pesan informasi kepada masyarakat. Pesan informasi tersebut disusun
oleh seorang wartawan, dan selanjutnya disampaikan melalui media massa kepada
masyarakat dengan mendasarkan kepada nilai-nilai kenetralitasan dan juga nilai-nilai
realitas. Jadi, dalam penyampaian informasinya, sebuah media massa tersebut
menyampaikan suatu peristiwa atau kejadian, memang itulah yang terjadi, itulah
realitas yang sebenarnya, tidak ditambah, dan tidak dikurangi. Selain itu, media
massa juga tidak hanya sekedar penyalur pesan informasi kepada masyarakat, tetapi
media massa juga dapat berperan sebagai subjek yang mengkonstruksi sebuah
realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan kepemihakan dari media tersebut. Di
dalam mengkonstruksi, dan menyampaikan realitas berbentuk informasi kepada
masyarakat tersebut, media massa selanjutnya disebut sebagai agen konstruksi sosial
yang mendefinisikan realitas kepada masyarakat. Oleh karena itu, terkadang sebuah
pesan informasi yang berasal dari sumber yang sama, dapat disampaikan dalam
kemasan yang berbeda oleh media-media yang berbeda-beda. Hal terebut disebabkan,
dalam kegiatannya, media massa banyak dipengaruhi oleh berbagai pihak dan
kepentingan, seperti pemilik modal ataupun dari pengaruh penguasa atau kepentingan
politik yang terdapat di sekitar lingkungan media massa tersebut.
Saat ini media memiliki posisi yang cukup strategis dalam kehidupan
masyarakat, baik kehidupan sosial ataupun politik. Posisi strategis dari media massa
tersebut disebabkan karena adanya fungsi-fungsi dari media yang membuat
masyarakat saat ini membutuhkan kehadiran media di sekitar lingkungan interaksi
komunikasi mereka. Beberapa fungsi dari media massa yang membuat sebuah media
mempunyai kedekatan dan pengaruh yang cukup tinggi kepada masyarakat antara
lain;
1) Sebagai alat untuk menyampaikan informasi (to inform),
Media massa berfungsi untuk menyampaikan segala sesuatu yang
terjadi dalam masyarakat, baik itu fenomena sosial ataupun politik dalam

5
bentuk informasi. Saat ini masyarakat membutuhkan informasi mengenai
segala sesuatu yang terjadi di sekitar lingkungan mereka, dan untuk
mendapatkan informasi tersebut, masyarakat akan mencarinya melalui media
massa, baik elektronik ataupun cetak.
2) Sebagai alat untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat (to educate),
Melalui informasi-informasi yang disampaikannya, media massa
memberikan pendidikan kepada masyarakat dengan menambah wawasan
masyarakat melalui informasi tersebut. Selain itu, media massa juga
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dengan menyadarkan
masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam bidang
politik.
3) Sebagai media untuk memberikan informasi berupa hiburan kepada
masyarakat (to entertain),
Informasi-informasi yang disampaikan didalam media massa tidak
sepenuhnya informasi yang bersifat hardnews, tetapi terkadang media massa
mampu menyajikan berbagai informasi yang ringan dan bersifat menghibur.
Informasi yang menghibur tersebut dapat berupa mengenai kehidupan
selebritis, artikel humor, ataupun semacam kuis.
4) Untuk membentuk dan mempengaruhi opini publik dan sikap masyarakat
terhadap sesuatu (to influence).
Media massa mempunyai peranan yang kuat dalam berbagai bidang di
masyarakat, baik itu sosial maupun politik. Melalui kedekatannya dengan
masyarakat, media massa mampu mempengaruhi dan membentuk cara
pandang serta opini publik masyarakat mengenai sesuatu hal, salah satunya
mengenai dunia perpolitikan.
Fungsi-fungsi dari media massa tersebut yang membuatnya dibutuhkan oleh
masyarakat, media massa saat ini menjadi media yang vital sebagai alat penyampai
komunikasi politik dari para pelaku politik. Melalui media massa, para pelaku politik
berharap dapat juga dekat dengan masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi

6
dan membentuk opini publik dari masyarakat, dan menghasilkan adanya dukungan
dan loyalitas dari masyarakat kepada seorang tokoh politik tersebut.
a. Konstruksi realita sosial media massa.
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa
terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann. Menurut mereka melalui bukunya yang berjudul The Social
Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge, realitas sosial
dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi
sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-
kepentingan (Bungin, 2008: 192). Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu
hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat sebuah konstruksi, sudut
pandang dan ideologi dari wartawan yang disampaikan melalui media massa.
Sehingga dapat dikatakan bahwa semua yang terdapat dalam media tidak sepenuhnya
berdasarkan pada sebuah realitas, tetapi terdapat pengaruh dari konstruksi realitas
dalam media massa tersebut.
Adanya sifat dari media massa dalam penyampaian informasi yang
berlangsung cepat dan masif, maka konstruksi realitas sosial tersebut dapat
berlangsung dengan cepat dan sebarannya merata dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya realitas media massa yang terkonstruksi terebut akan membentuk sebuah
opini publik berdasarkan apa yang dikonstruksi oleh media massa tersebut (Bungin,
2008: 203). Menurut perspektif tersebut, terdapat tahapan-tahapan dalam proses
kontruksi realita sosial media massa, yaitu; tahap menyiapkan materi konstruksi;
tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; dan tahap konfirmasi
(Bungin, 2008: 188-189).
1) Tahap menyiapkan materi konstruksi.
Terdapat tiga hal penting dalam tahapan ini, yaitu; keberpihakan
media massa kepada kapitalisme; keberpihakan semu kepada masyarakat; dan
keberpihakan kepada kepentingan umum.
2) Tahap sebaran konstruksi.

7
Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua
informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan pada agenda
media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi
pemirsa atau pembaca.
3) Tahap pembentukan konstruksi realitas.
Pembentukan konstruksi berlangsung melalui; (1) konstruksi realitas
pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai
pilihan konsumtif.
4) Tahap Konfirmasi.
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton
memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat
dalam pembetukan konstruksi.
Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu
baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna disaat
realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain
sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas
sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu
berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.
b. Pembentukan citra melalui media massa.
Citra (image) dapat diartikan sebagai kesan yang diperoleh seseorang
berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-fakta atau kenyataan
(Soemirat dan Elvinaro Ardianto, 2007: 114). Citra seseorang terhadap suatu objek
dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Solomon dalam Rakhmat
menyatakan semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, terutama pada
informasi dan pengetahuan (frame of references) yang kita miliki. Tidak akan ada
teori sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyelidikan tentang dasar-
dasar kognitif. Efek kognitif dari komunikasi sangat memengaruhi proses
pembentukan citra seseorang. Citra (image) terbentuk berdasarkan pengetahuan dan
informasi-informasi yang diterima seseorang.

8
Menurut Bill Canton dalam Sukatendel (1990) mengatakan: image: the
impression, the feeling, the conception which the public has of a company; a
conciouss/y created impression of an object, person or organization. Citra adalah
sebuah kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan, yang dengan
sengaja diciptakan dari sebuah objek, orang, ataupun organisasi tertentu (Soemirat
dan Elvinaro Ardianto, 2007: 112). Sebuah citra dari seseorang ataupun lembaga
biasanya dibangun untuk merepresentasikan sesuatu yang bernilai positif. Karena
sebuah citra dapat mempengaruhi bagaimana masyarakat memandang dan beropini
terhadap sesuatu. Citra (image) dapat juga diartikan sebagai kesan seseorang atau
individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan
pengalamannya (Jefkins, 2004: 56). Jadi dapat dikatakan bahwa citra adalah kesan
yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya tentang fakta-
fakta atau kenyataan. Pada dasarnya membangun citra merupakan bagian dari praktik
public relations, di mana fungsinya adalah menumbuhkan hubungan baik antara
segenap komponen pada suatu organisasi pemerintahan dalam rangka rnemberikan
pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi. Semua itu bertujuan untuk
mengembangkan goodwill publiknya serta memperoleh opini publik yang
menguntungkan (Ardianto, 2002: 12).
Jika dikaitkan dengan dunia politik, pembangunan citra positif dimata
masyarakat merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dapat mempertahankan
posisi politik dari seseorang. Pencitraan tersebut merupakan sebuah komunikasi
politik yang dilakukan oleh seorang tokoh politik melalui peran media massa.
Kegiatan pencitraan melalui media massa dapat berlangsung lebih efektif
dibandingkan media jenis lain, karena melalui media massa, seorang tokoh politik
dapat menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada masyarakat secara cepat dan
masif (merata), dengan demikian tokoh politik terebut akan lebih dikenal masyarakat
luas. Pencitraan melalui media massa merupakan sebuah solusi atas hambatan untuk
dilakukannya komunikasi politik secara luas dan merata yang dilakukan secara
langsung (face to face). Oleh karena itu, media massa merupakan sebuah akat yang

9
sangat efektif untuk menjangkau masyarakat luas untuk dilakukan komunikasi
politik, yang tidak bisa dijangkau secara langsung.
Jika dilihat dari perspektif konstruksi sosial media massa, pembentukan citra
melalui media massa masuk dalam tahapan pembentukan konstruksi realitas. Dalam
konstruksi sosial media massa terdapat dua tahap, yakni: tahap pembentukan
konstruksi realitas dan pembentukan citra (Bungin,. 2006: 208). Dalam pembentukan
konstruksi realitas terdapat tiga tahapan. Pertama, konstruksi pembenaran. Suatu
bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung
membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas
kebenaran. Kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa. Pilihan seseorang untuk
menjadi pembaca dan pemirsa media massa karena pilihannya sendiri. Ketiga,
menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif. Media massa adalah
bagian kebiasaan hidup yang tidak bisa dilepaskan oleh masyarakat dari kehidupan
informasi mereka.
Sementara itu pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang diinginkan
oleh tahap konstruksi, di mana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media
massa terbentuk dalam dua model, yaitu model good news, dan model bad news.
Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengonstruksi suatu
pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek pemberitaan
dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik
dari sesungguhnya. Sedangkan model bad news adalah sebuah konstruksi yang
cenderung mengonstruksi kejelekan atau cenderung memberi citra buruk pada objek
pemberitaan itu sendiri.
Membangun citra melalui media massa memang merupakan sesuatu hal yang
sangat penting dilakukan untuk mencari popularitas, meraih suara dan simpati dari
masyarakat. Memanfaatkan peranan media massa untuk membangun citra positif
merupakan salah satu cara efektif untuk membentuk opini publik yang positif. Jika
opini publik sudah terbentuk, sangat dimungkinkan publik akan memberikan
suaranya, dan politik pencitraan tersebut dianggap cukup ampuh untuk meraih suara.

10
3. Personal branding: sebuah pencitraan sebagai strategi komunikasi politik
melalui media massa yang menggunakan media foto.
Masa kampanye pemilu 2009 yang sudah dimulai sejak Juli 2008, membuat
persaingan partai politik dan calon kandidatnya menjadi hal yang menarik. Dalam
konteks pemilihan umum yang dicitrakan bukanlah partai politiknya melainkan
kandidat yang akan dipilih. Menurut Nimmo (2000: 185), citra kandidat terbentuk
dari atribut politik dan gaya personal seorang kandidat politik, seperti yang dipersepsi
oleh pemberi suara. Donsbach (dalam Malik, 1999:56), banyak studi yang
menunjukan bahwa perilaku pemilih bukan ditentukan oleh isu yang ditawarkan
kandidat untuk menyelesaikan persoalaan bangsa, akan tetapi ditentukan oleh citra
dan personalitas pribadi kandidat.
a. Pencitraan melalui media foto untuk membentuk opini publik dalam nilai
realitas dan kebudayaan visual
Sebuah foto termasuk kedalam salah satu media komunikasi yang
menyampaikan pesan secara simbolik. Pesan komunikasi tersebut disampaikan
melalui unsur visual. Meskipun pada praktek penyampaian pesannya, foto selalu
dikombinasikan dengan tulisan, tetapi inti dari pesan tersebut terdapat dalam visual
foto itu sendiri, unsur tulisan hanya sekedar unsur pendukung dari foto tersebut. Foto
menjadi media komunikasi politik yang efektif, karena foto mempunyai fungsi yang
sangat luas. Selain sebagai sebuah karya seni, foto juga bisa menyampaikan pesan-
pesan yang diinginkan oleh para calon legislatif. Pesan-pesan tersebut biasanya
disampaikan melalui personal branding yang dibalut dalam kemasan visual foto.
Dimana sebuah foto digunakan dalam dasar personal branding, karena sebuah foto
dapat menciptakan realitas tersendiri yang dapat mempengaruhi opini dalam
masyarakat. Realitas yang dapat dibentuk melalui foto tersebut dikarenakan dalam
sebuah foto, didalamnya terdapat nilai-nilai budaya visual, yang terbentuk dan di
konvensi oleh kebudayaan dan pemikiran dari manusia.
Kebudayaan sendiri merupakan rangkaian dari aktivitas yang berulang-ulang
sehingga pada akhirnya membentuk kebiasaan yang membentuk pola dalam
masyarakat, pola dalam masyarakat itu meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

11
moral, hukum, dan adat istiadat. Selo Soemarjan dan Soleiman Soemardi
mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari kegiatan yang berpola inilah, kemudian menghasilkan wujud-wujud dalam
kebudayaan. Wujud dari kebudayaan ini merupakan hasil karya, rasa dan cipta dari
masyarakat yang berupa benda-benda atau pola-pola perilaku.
J.J. Hoenigman membedakan wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu gagasan,
aktivitas dan artefak. Gagasan (wujud ideal) adalah kebudayaan sifatnya abstrak
berupa ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan; tidak dapat diraba,
atau disentuh. Aktivitas adalah wujud kebudayaan yang sering disebut dengan sistem
sosial, sifatnya konkret karena dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak adalah
wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari gagasan dan aktivitas manusia dalam
masyarakat berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan.
Menurut Koentjaraningrat, Suatu sistem kelakuan khas dari kelakuan berpola
(wujud dari kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan) beserta komponen-
komponennya, ialah: sistem norma (wujud ideal dari kebudayaan) dan peralatannya
(wujud fisik dari kebudayaan) ditambah dengan manusia atau personel yang
melaksanakannya kelakuan berpola, merupakan suatu pranata atau institution. Pranata
atau institution inilah membuat kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya.

Bagan komponen-komponen dari pranata Sosial

12
Bagan diatas menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, semua
wujud-wujud kebudayaan tidak bisa terpisahkan dan saling berkaitan. wujud
kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan mengaitkan semua wujud kebudayaan
dengan manusia yang kemudian membentuk sistem nilai yang membuat suatu
kelakuan yang berpola dalam masyarakat.
Keterkaitan komponen-komponen tersebut dalam kebudayaan modern
sekarang sangat terkait dengan pembentukan budaya visual dalam kehidupan manusia
modern. Karena budaya visual merupakan salah satu wujud kebudayaan yang berupa
konsep (nilai) dan materi (artefak/benda) yang ditangkap oleh panca indera visual
manusia kemudian dapat dipahami sebagai tautan pikiran untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Wujud dari kebudayaan visual yang berupa artefak inilah yang
diapresiasikan manusia kemudian membentuk sebuah aktivitas komunikasi non-
verbal yang akhirnya memunculkan pemaknaan-pemaknaan terhadap artefak tersebut.
Dalam studi ilmu komunikasi (Mulyana, 2003:380), artefak adalah benda apa saja
yang dihasilkan kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-
makna tertentu. Dengan demikian, budaya visual meliputi berbagai aspek dalam
wujud kebudayaan yang berupa gagasan yang kemudian menciptakan wujud akhir
yang berupa karya atau benda, Karya atau benda-benda sebagai wujud akhir budaya
visual meliputi berbagai bentuk media komunikasi visual seperti foto, film, iklan,
siaran televisi, media cetak hingga mode pakaian; karya desain dan karya senirupa.
Benda-benda dalam kebudayaan visual tersebut memiliki kekuatan-kekuatan
tersendiri, sehingga kebudayaan visual menjadi sangat dinamis. Karena budaya visual
merupakan budaya yang bermuatan nilai, serta amat terpengaruh oleh situasi sosial
yang terjadi di zamannya.
Media komunikasi visual yang berupa foto dapat dipandang sebagai budaya
visual yang sangat fungsional serta telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat modern foto merupakan hasil
kebudayaan yang menyentuh sisi kehidupan manusia tentang arti dan makna dalam
sebuah kehidupan. Foto merupakan wujud dari pencapaian kreatifitas serta

13
kecerdasan manusia yang dapat segera diserap secara visual oleh panca indera
manusia. Oleh karena itu foto merupakan fenomena visual yang mengalami
perkembangan teknologi cukup pesat. Kehadiran fotografi disebut sebagai alat
perekam dan penghadir ulang sebuah kenyataan yang ampuh. Fotografi disebut-sebut
mempunyai kepekaan dalam merekam detail membuat manusia modern
mengagungkannya sebagai kemajuan manusia dalam merekam kenyataan yang ada,
baik dari sejarah sampai dengan foto-foto yang sifatnya dokumentasi sampai dengan
foto-foto yang bersifat komersial. Serbuan budaya populer membuat fotografi
menggiring pada anggapan sebagai media penghadir kenyataan yang objektif.
Dengan perkembangan masyarakat modern yang membutuhkah kecepatan dan
ketepatan informasi membuat fotografi menjadi salah satu media yang paling handal.
What is true of the pen is equally true of the camera.(Don Slater, 1999:289).
Sebuah foto biasanya menggambarkan sebuah realitas yang sebenarnya kedalam
bentuk gambar. Dan karena fungsi itulah, banyak masyarakat menggunakan foto
kedalam berbagai aktivitas mereka sehari-hari. Sebagian besar masyarakat saat ini
telah mengenal kamera dan foto dan menjadikannya sebagai satu kegiatan dalah
kehidupan mereka masing-masing. Banyak masyarakat memanfaatkan fungsi kamera
dan foto untuk mengabadikan atau merekam berbagai kegiatan dan momen-momen
penting mereka, mulai dari kelahiran, wisata, kegiatan rutinitas, ataupun saat
menghabiskan waktu dengan keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa foto telah
masuk kedalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Fotografi sudah menjadi bagian yang sangat penting bagi masyarakat.
Penelitian yang diadakan di Inggris tentang jumlah orang yang mempunyai kamera
bisa menjadi representasi bagi masyarakat di dunia. Ini menunjukan bagaimana
kebudayaan visual dalam bidang fotografi membuat pola dalam perilaku masyarakat.
Walaupun sebenarnya mereka hanya menggunakan fotografi sebagai keperluan
dokumentasi, tetapi penelitian ini menunjukan bahwa foto dan fotografi sangat dekan
dengan kehidupan masyarakat. Ada anggapan bahwa kepercayaan pada budaya visual
yang berasal dari budaya lensa ini lahir pada abad ke-19 ketika kamera ditemukan.
Saat Revolusi Industri dengan teknologinya tengah marak, tatanan masyarakat

14
kapitalisme di Barat tentu mulai mengenal dan terpengaruh budaya baru ini. Tetapi
anggapan tadi sesungguhnya terlalu sederhana. Sebab jauh sebelumnya, di tahun
1285, telah ditemukan kaca pembesar sederhana yang mengawali wawasan baru pada
pandangan ilmuwan.1 Sekitar tahun 1550, Girolamo Cardano tercatat sebagai orang
pertama yang memasang lensa yang memungkinkan adanya bukaan (aperture) pada
camera obscura (kamera lubang jarum). Lensa dari kaca--berbentuk bikonveks
seperti butir buah lentil (miju-miju), sebuah kata yang menyebabkan kita
menyebutnya lensa--yang dipasang pada kotak kedap cahaya (kamera lubang jarum)
telah menjadi alat bantu sangat penting bagi para pelukis di zaman itu.2
Penggunaan fotografi dan media visual lainnya banyak digunakan untuk
propaganda politik oleh berbagai pihak yang berebut pengaruh. Berbagai macam
bentuk propaganda visual digunakan dalam kampanye pro demokrasi dan sosialis kiri
melawan fasisme dan Nazi di Eropa. Propaganda visual itu dikemas dalam berbagai
macam, baik secara artistik dengan menggunakan montase seperti John Heartfield
atau Hanna Hoch maupun jurnalistik-dokumenter seperti Robert Capa, Cartier-
Bresson, Centelless, dan teman-temannya. Mereka membuat karya-karya foto yang
membawa berbagai macam akibat, baik karena citra yang dirancang dengan penuh
kesadaran maupun hal-hal yang terjadi di luar kehendak mereka.
Sebuah foto dapat dihadirkannya kembali kenyataan dalam bentuk visual
berperan besar pada pembentukan opini publik. Sebuah propaganda dan komunikasi
politik bahkan terkadang lebih memilih menggunakan media foto untuk disampaikan
kepada target audiensnya. Hal tersebut disebabkan karena dihadirkannya kembali
sebuah realitas kedalam suatu bentuk visual sangat berperan besar dalam
pembentukan opini publik. Para fotografer jurnalistik maupun fotografer seni dalam
dunia sosialis sangat meyakini bahwa fotografi dapat berperan dan bertanggung
jawab dalam pembentukan masyarakat yang ideal. David Ogilvy, seorang tokoh besar

1
Lentil Soup: A Meditation on Lens Culture, dalam A. D. Coleman, Depth of Field: Essays on
Photography, Mass Media and Lens Culture (Albuquerque, NM: University of New Mexico Press,
2000). Lihat juga Dimulai dari Mengintip: tentang Kronologi Teknologi Fotografi, Kompas, 25
Oktober 2002.
2
M. Firman Ichsan. Manusia Modern dan Citra Fotografis di Media Massa, sumber
jurnalkalam.org/index-php/articles/view/57

15
di dunia periklanan, sejak awal 1940-an menyatakan bahwa untuk mempengaruhi
masyarakat, lebih baik menggunakan foto daripada seribu sketsa gambar tangan.
Meskipun itu kiri atau kanan, ideal atau komersial, dapat disadari foto memiliki daya
pengaruh yang begitu besar untuk membentuk opini masyarakat.
Menurut Susan Sontag (1999:87): Photography, which has so many
narcissitic uses, is also a powerful instrument for depersonalizing our relation to the
world; and the two uses are complementary.In the real world, something is
happening and no one knows what is going to happen. In the image-world, it has
happened, and it will forever happen in that way. Fotografi selain mempunyai
kegunaan dalam kegiatan narsisme diri, fotografi juga mampu menjadi sebuah alat
yang mengurangi karakter hubungan kita dengan lingkungan sosial, dan kedua
peranan fotografi tersebut merupakan sesuatu yang saling melengkapi satu sama lain.
Karena saat kita masuk kedalam dunia fotografi, hidup kita akan semakin terpisahkan
dengan realitas yang sedang terjadi karena kita hanya melihat pada realitas yang
terbentuk didalam sebuah gambar foto dan makna yang terdapat pada realitas dalam
foto dan dunia nyata dapat dikatakan berbeda. Dalam dunia nyata, saat sebuah
fenomena sedang berjalan, tak seorangpun tahu akan apa yang terjadi kedepannya
atas fenomena tersebut. Sedangkan pada dunia gambar foto, realitas yang terdapat
didalamnya merupakan sebuah realitas yang telah terjadi sebelumnya dan akan selalu
terjadi seperti yang terdapat pada gambar tersebut.
Sebuah kisah menarik ketika Roland Barthes membawa skandal fotografis
dalam peristiwa Komune Paris. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan sosok-
sosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan baru saja
mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris, merebutnya dari
tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa
depan realisasi sebuah ideologi. Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka,
penuh dengan cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam
kekhasan ekspresi masing-masing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah
hidup mereka berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah
warga Paris pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampilkan mayat

16
polisi bergelimpangan, dengan keterangan mereka dibantai para pejuang revolusioner
itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi mandat kepada polisi
untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari foto
kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu demi satu
ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak tahu bahwa mayat-
mayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu, bangkit kembali setelah sesi
pemotretan selesai.3
Skandal fotografis Roland Barthes di Paris menunjukan fotografi dalam
sebuah kebudayaan menunjukan nilai tersendiri yaitu free value. Free value
merupakan sebuah nilai bebas atau mempunyai banyak arti. Nilai ini terlihat ketika
pada saat foto bisa menunjukan arti dan makna yang berbeda bagi setiap orang yang
melihatnya. Bagi kaum revolusioner Paris, foto yang diambil Rolan Barthes
merupakan foto kejayaan dan kemenangan. Di lain pihak bagi kaum borjuis
koservatif di Paris, foto yang diambil Barthes merupakan foto yang membuat mereka
malu dan mereka melihat tokoh-tokoh di balik pemberontakan dari foto itu.
Kebebasan dalam memaknai foto inilah akhirnya bisa menjadi kelemahan sebuah foto
saat orang tidak tahu bagaimana cara memaknainya dan jatuh ke tangan orang yang
bertentangan opini. Baik atau buruknya makna yang dibawa oleh foto tergantung
dengan kepentingan yang digunakan seseorang saat mempublikasikan foto tersebut.
Di Indonesia keberadaan budaya visual sangat bisa dirasakan. Mulainya
periode pemilu di tahun 2009 membuat banyak politisi dan partai-partai
menggunakan media komunikasi visual untuk mempengaruhi masyrakat agar saat
pemilihan nanti masyarakat memilih mereka. Media-media visual yang banyak dilatar
belakangi foto-foto tokoh atau aktivitas-aktivitas yang pernah mereka lakukan
membentuk opini tersendiri di masyarakat tentang pandangan calon pemimpinnya.
Kesadaran akan sebuah kebudayaan visual di Indonesia membuat para pelaku
marketing politik berlomba-lomba mencitrakan tokoh politik atau partai politik
melalui visualisasi menggunakan media massa. budaya visual yang ada di Indonesia

3
Alex Supartono. Pengantar: Fotografi dan Budaya Visual, sumber:
http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html

17
sebenarnya sudah ada sejak masa lalu, di mana siswa-siswi di sekolah diperlihatkan
foto-foto bung Karno dan bung Tomo pada masa perebutan kemerdekaan. Dengan
adanya foto-foto tersebut akhirnya masyarakat dapat menyadari betapa berwibawanya
para pemimpin-pemimpin kita pada masa perebutan kemerdekaan.
Berkembangnya teknologi membuat media-media komunikasi yang ada
dalam budaya visual menjadi berkembang dan sangat beragam. Di mulai dari media
yang hanya mempunyai sisi visual saja seperti foto, sampai dengan media yang
mempunyai sisi audio dan visual yang biasa disebut dengan film. Perbandingan kedua
kekuatan media ini sangatlah menarik, karena foto hanya mempunyai kekuatan visual
saja dibandingkan dengan film. Jika dibandingkan secara linear kekuatan foto
memang kalah dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh film. Film dengan
kekuatan audio visualnya lebih mudah mempengaruhi masyarakat. Kekuatan audio
visualnya bisa membentuk atmosfer tersendiri di benak masyarakat dan makna yang
disampaikannya menjadi lebih jelas, karena ada kekuatan audio dan visual.
Kekuatan yang dimiliki oleh film memang menjadikan film lebih unggul
dalam membentuk retorika di masyarakat. Akan tetapi, untuk memproduksi sebuah
film haruslah dengan biaya yang sangat mahal dibanding memproduksi sebuah foto.
Sifat-sifat yang dimiliki oleh film tidak se-fleksibel foto ketika ingin
mempublikasikannya. Film tidak memiliki sifat spaceless, karena untuk
mempublikasikannya dibutuhkan peralatan khusus yang bisa menayangkannya.
Walaupun sudah memasuki era multimedia, foto masih mempunyai ruang tersendiri
dalam kebudayaan visual. Di mana foto dan film mempunyai dan bergerak di ruang
masing-masing untuk mempengaruhi masyarakat.
Kekuatan foto dalam kebudayaan visual dapat dibuktikan dengan banyaknya
konsumsi masyarakat terhadap kamera foto. Dalam melihat hasil foto tidak
dibutuhkan sebuah peralatan khusus, seperti saat masyarakat ingin melihat hasil yang
diproduksi dari kamera video. Foto bisa dilihat setiap saat dan di mana saja. Ini yang
menjadikan media komunikasi yang disebut dengan foto ini mempunyai sifat
timeless. Foto merupakan media komunikasi yang tidak akan lekang oleh waktu,
karena tidak membutuhkan perawatan yang khusus untuk menyimpan dokumen-

18
dokumen yang berbentuk foto. Sifat foto yang sangat fleksible membuat media ini
banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu di media massa.
Pada abad ke-19 para ilmuwan mengira bahwa apa yang ditangkap pancaindra
kita sebagai sesuatu yang nyata dan akurat. Para psikolog menyebut mata sebagai
kamera dan retina sebagai film yang merekam pola-pola cahaya yang jatuh di
atasnya. Para ilmuan modern menantang asusmsi itu: kebanyakan percaya bahwa apa
yang kita amati dipengaruhi sebagian oleh citra retina mata dan terutama kondisi
pikiran pengamat (Zannes, 1982:27). Oleh karena itu gambar-gambar dalam media
visual tersebut mengkonstruksi pikiran manusia melalui suatu proses aktif dan kreatif
yang biasa disebut presepsi. Presepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita
memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan
proses tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku kita (Baron, Paulus, 1991:34). Pada
akhirnya kebudayaan visual melalui pencitraan fotografis mempunyai pengaruh yang
sangat kuat dalam kehidupan kebudayaan visual manusia dalam kerangka
pembentukan realitas dalam opini masyarakat.
Sebuah realitas dapat dikonstruksikan melalui sebuah media foto. Dimana
didalamnya berbagai unsur visual disusun, mulai dari komposisi warna, pose, angle,
set background, untuk menyusun sebuah pesan komunikasi yang ditujukan untuk
membuat pesan yang mampu membentuk opini masyarakat terhadap objek yang
terdapat dalam foto tersebut. Sebuah foto merupakan bentuk an institutional activity
yang berkaitan erat dengan aktivitas sosial, yaitu sebuah hubungan dengan realitas
dan berada dalam kondisi kultural dan mempunyai fungsi untuk mengintegrasikan
manusia (Barthes, 1977:31). Dalam bahasa lain, sebuah foto merupakan
representational realism, merepresentasikan kenyataan sosial untuk dihadirkan ke
dalam publik (Slater dalam Jenk, Ed, 1995:222). Foto sebagai sebuah media
komunikasi visual juga mempunyai the function of art, seperti dikemukakan oleh
Alan Gowans dalam buku The Unchanging Art: New Form for the traditional
function of Art in Society, yang mengatakan bahwa sebuah karya seni harus selalu
menunjukan empat unsur, yaitu; realitas kedua; pengilustrasian; persuasif; dan

19
pengindahan. Slater (Jenk-ed, 1995:223) menempatkan foto pada tiga realitas yang
disebutnya sebagai trivial realism yang meliputi:
1) Representational Realism, yang memaparkan kenyataan realis yang
dijabarkan pada kode-kode representasi realistis yang dimuat di berbagai
media.
2) Ontological atau Existential Realism, yang menyatakan bahwa eksistensi
sebuah gambar dalam sebuah foto tergantung pada eksistensi realitas obyek
dalam dunianya.
3) Mechanical Realism, bahwa teknologi fotografi telah membawa modernitas
ke dalam bentuk representasi.
Ketiga realitas ini menempatkan sebuah foto sebagai gambar yang
berinteraksi dan memunculkan penafsiran secara kontekstual, karena foto juga tidak
sekedar gambar yang mewakili realitas sosialnya.
Milgram, seorang psikologi sosial, berpendapat bahwa sebuah foto tidak
hanya merefleksikan realitas tetapi juga memberikan efek pada sebuah realitas,
(society, November/December 1976:12): The official photograph is not only a
reflection of the political reality, but itself solidifies that reality and becomes an
element in it... Sebuah foto dapat dikatakan sebagai suatu hasil gambar yang yang
merepresentasikan keadaan realitas disekitar kita, karena sebuah foto dapat
menghasilkan gambar tentang apa yang terdapat dan terjadi pada lingkungan sekitar
kita secara real. Bahkan sebuah foto juga tidak hanya merefleksikan tentang realitas
politik saja, tetapi sebuah foto tersebut dapat juga menjadikan sebuah realitas sebagai
bagian dari gambar foto dan menjadi salah satu elemen didalam foto. Jadi sebuah foto
itu tidak selamanya berperan sebagai cermin kenyataan, tetapi dalam sebuah foto kita
bisa membuat sebuah konstruksi realitas seperti yang di inginkan oleh si pembuat
foto tersebut. Perkembangan fotografi digital membuat perubahan drastis tentang
makna sebuah foto karena realitas dari sebuah foto bisa dikonstruksikan dengan apa
yang akan dibuat dalam sebuah foto itu sendiri.
b. Pencitraan karakter tokoh politik melalui personal branding

20
Dwijowijoto (2004:16), menyatakan dalam dunia politik dikenal sebuah
ungkapan politics is about image and image is reality. Akhirnya citra menjadi
sebuah faktor penentu daripada kenyataan itu sendiri. Citra kandidat yang ditunjukan
oleh tokoh politik tersebut biasa disebut dengan personal brand. Personal brand
merupakan identitas pribadi yang mampu menciptakan sebuah respon emosional
terhadap orang lain mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki orang tersebut. Untuk
mendapatkan personal brand yang impresif, dibutuhkan strategi personal branding
yang kuat. Menurut Peter Montoya, personal branding adalah sebuah proses yang
melibatkan kemampuan, personalitas, dan karakter unik seseorang dan mengemas
mereka ke dalam sebuah identitas yang kuat yang mengangkat seseorang yang
bersangkutan ke atas dan menjadi sosok yang dipandang atau diperhatikan oleh
publik.
Tarsihekaputra, menyebutkan personal branding yang dilakukan di dalam
dunia politik adalah sebuah proses yang akan membawa karakteristik unik,
kepribadian, dan keterampilan seseorang kandidat, dan kemudian membungkusnya
menjadi identitas yang memiliki kekuatan dan lebih menonjol dibanding dengan
kandidat lainnya. Dengan mengutip pandangan Montoya, Yuswohady mengartikan
personal branding sebagai suatu cara tentang bagaimana supaya anda dipersepsi.
Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain
untuk mengubah atau memilih seorang kandidat melalui pengemasan citra dan
popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk tampil
sebagai pemenang dalam persaingan kursi politik pun semakin besar.
Rick Haskins, Multichannel News, mengungkapkan membangun personal
brand bisa menjadi kunci untuk memenangkan sebuah kompetisi. Karena personal
brand menyajikan suatu jalan pintas untuk menyampaikan kemampuan seseorang
dengan gaya anda sendiri. Apakah seorang koordinator yang sedang mencari
tanggung jawab di pekerjaan anda saat ini atau seorang eksekutif kelas menengah
yang memiliki tujuan untuk menjabat sebagai direktur. Branding memberikan cara
yang sangat efektif untuk memperlihatkan siapa anda sebenarnya kepada konsumen
sangat cepat dan efisien. Membangun personal brand menjadi sebuah cara yang

21
efektif, dan cara ini telah dilakukan oleh berbagai tokoh baik di bidang politik,
ekonomi dan bahkan selebritis.
Menurut Peter Montoya, terdapat delapan hukum dalam personal branding
yang disebut sebagai The Eight Laws of Personal branding. Hukum-hukum
tersebut antara lain:
1) The Law of Specialization (Hukum Spesialisasi). Sebuah personal brand yang
baik harus spesifik, terkonsentrasi pada sebuah kekuatan pusat, talenta atau
prestasi.
2) The Law of Leadership (Hukum Kepemimpinan). Menyediakan sebuah
personal brand yang memiliki kekuasaan dan kredibilitas, seseorang akan
dianggap sebagai pemimpin bagi orang-orang dibidangnya ataupun area yang
terpengaruh olehnya. Kepemimpinan berpijak pada kemampuan, posisi dan
keterkenalan.
3) The Law of Personality (Hukum Kepribadian). Sebuah personal brand yang
baik harus dibangun di atas sebuah pondasi dari sumber kepribadian yang
jujur, kelebihan dan kekurangannya. Sesuai dengan hukum kepemimpinan;
youve got to be good, but you dont have to be perfect.
4) The Law of Distinctiveness (Hukum Diferensiasi). Sebuah personal brand
yang efektif harus diekspresikan secara berbeda dari kompetitornya. Beberapa
marketer membangun jalan tengah bagi brand yang tidak merugikan semua
orang. Tetapi rute ini merupakan rute yang menuju kegagalan, karena brand
mereka akan tetap tak terdengar diantara ramainya pasar.
5) The Law of Visibility (Hukum Keterlihatan). Agar sukses, personal brand
harus ditinjau setiap saat, sampai membangkitkan kesadaran pada area yang
mereka pengaruhi.
6) The Law of Unity (Hukum Kesatuan). Pribadi individu dibalik personal brand
harus mendukung moral dan kode tingkah laku yang ditancapkan oleh brand
tesebut.
7) The Law of Persistence (Hukum Kesinambungan). Beberapa personal brand
membutuhkan waktu untuk tumbuh, dan ketika mempercepat prosesnya, Anda

22
tidak dapat menggantinya dengan iklan atau publik relations. Tetaplah
bersama personal brand Anda, tanpa merubahnya, jangan bimbang dan
bersabarlah.
8) The Law of Goodwill (Hukum Niat Baik). Sebuah personal brand akan
menghasilkan sebuah hasil yang lebih baik dan lebih bertahan lama apabila
seseorang dibaliknya dikenal secara baik. Ia harus diasosiasikan dengan
sebuah nilai atau gagasan yang dikenalkan secara menyeluruh sebagai suatu
hal yang positif dan berharga untuk dinantikan.
Kedelapan hukum personal branding yang dikemukakan oleh Montoya
tersebut merupakan poin-poin penting dari kekuatan sebuah personal branding.
Membangun personal branding dalam kampanye pemilu diperlukan medium
penyampaian pesan agar personal branding yang dibangun bisa mendapatkan impresi
di masyarakat. Medium-medium penyampaian pesan tersebut berupa aktifitas public
relation, media massa, internet, dan advertising. Karena tanpa adanya medium
penyampaian pesan tersebut sebuah personal branding yang dibangun akan tidak
berarti karena tidak dapat dilihat oleh masyarakat yang menjadi target pemilihnya.
Dwidjowijoto (2004:62) menyatakan bahwa dalam proses pencitraan, media
komunikasi massa mengambil peran terbesar. Karena media massa merupakan
vehicle yang paling efektif untuk mengkomunikasikan informasi kepada calon
pemilih. Menurut Rakhmat (2001: 224-227) peranan media (massa) dalam
pembentukan citra adalah:
1) Menampilkan realitas kedua. Informasi atau realitas yang ditampilkan media
massa pada dasarnya sudah diseleksi oleh lembaga media yang bersangkutan
sehingga menghasilkan realitas kedua. Hali ini mengakibatkan khalayak
membentuk citra tentang lingkungannya berdasar realitas kedua yang
ditampilkan massa.
2) Memberikan status. Di sisi lain, media juga memberikan status (status
conferral). Seseorang atau kelompok bisa mendadak terkenal karena diliput
secara besar-besaran oleh media. Sebaliknya orang terkenal mulai terlupakan
karena tidak pernah diliput media.

23
3) Menciptakan stereotip. Adanya proses seleksi informasi dalam media, maka
media massa turut mempengaruhi pembentukan citra yang bias dan tidak
cermat sehingga menimbulkan stereotip. Secara singkat stereotip diartikan
sebagai gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat
yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak
benar.
Pengaruh media juga tidak berhenti sampai pada pembentukan citra saja,
tetapi juga sampai pada mempertahankan citra yang sudah dimiliki khalayaknya.
Media massa mencerminkan citra khalayak dan khalayak memproyeksikan citranya
pada penyajian media massa (Rakhmat: 2001: 227). Selain itu, media massa sudah
menjadi bagian dari kehidupan pribadi dan orang banyak. Hampir semua kegiatan
dalam keseharian masyarakat melibatkan media massa. Sehingga hubungan baik
dengan media massa menjadi salah satu roh penting dalam kegiatan kampanye untuk
membangun personal branding.
4. Pembentukan konsep personal branding dari seorang tokoh politik melalui
foto.
Sebuah elemen dalam pembentukan konsep personal branding dari seorang
tokoh politik merupakan unsur yang akan digunakan dalam produksi pesan politik
melalui media visual (foto). Elemen tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai
dasar dalam konstruksi pesan visual melalui foto, yang akan digunakan sebagai
strategi pencitraan seorang tokoh melalui personal branding untuk membentuk opini
publik. Elemen-elemen tersebut akan digunakan sebagai dasar dalam pembentukan
karakter politik yang ingin dibangun, sehingga karakter tersebut mempengaruhi cara
pandang masyarakat kepada seorang tokoh politik, dan pada akhirnya menghasilkan
sebuah dukungan politik terhadap tokoh politik tersebut dari masyarakat.
Di dalam pembentukan sebuah konsep personal branding dari seorang tokoh
politik, biasanya tim sukses dari tokoh politik tersebut bekerjasama dengan rumah
fotografi dalam perumusan dan eksekusi pesan politik melalui media foto. Tim sukses
tersebut lalu memberikan tujuan-tujuan komunikasi politik kepada rumah fotografi
tersebut, yang selanjutnya oleh fotografer dieksekusi menjadi sebuah foto yang

24
mampu memberikan komunikasi politik sesuai strategi yang telah disusun oleh tim
sukses dari tokoh politik tersebut. Elemen-elemen yang dapat digunakan sebagai
dasar kegiatan personal branding tersebut, terdiri dari dua bidang pengetahuan, yaitu
dari bidang sosiologis dan psikologis. Kedua bidang pengetahuan tersebut merupakan
bidang yang dianggap dapat menganalisa data-data mengenai karakter dari seorang
tokoh politik tersebut. Bidang sosiologi dipilih karena sosiologi merupakan ilmu yang
mempelajari tentang masyarakat. Analisa dari bidang ini nantinya akan digunakan
untuk mengetahui bagaimanakah permasalahan dan permintaan masyarakat dengan
kesesuaian personal branding yang akan dimunculkan. Selain itu, bidang ini juga
melihat potensi daerah yang ada di daerah pemilihan dari tokoh politik tersebut.
Sedangkan untuk bidang psikologis, bidang tersebut digunakan untuk mempelajari
sisi historis dari seorang tokoh politik yang akan dicitrakan melalui personal
branding. Sisi historis tersebut selanjutnya dipelajari oleh rumah fotografi untuk
mengetahui karakter sosok bagaimana yang cocok dan sesuai dengan tokoh politik
tersebut. Selain itu, bidang psikologis juga digunakan untuk memperkuat karakter
yang akan dimunculkan dalam pembentukan konsep personal branding dari seorang
tokoh politik tersebut. masing-masing kedua bidang tersebut selanjutnya ditangani
oleh dua tim khusus dari rumah fotografi yang memang ahli dalam kedua bidang
tersebut, dalam bentuk riset dan data yang akan digunakan sebagai dasar konsep
personal branding. Kedua tim tersebut kemudian menganalisa kebutuhan-kebutuhan
yang akan digunakan untuk membentuk konsep personal branding dari seorang tokoh
politik.
Hasil analisa tersebut selanjutnya akan diwujudkan kedalam interpretasi
sosiologis dan psikologis. Sebuah riset lainnya juga diperlukan untuk menyusun
materi dalam memunculkan karakter yang positif dari seorang tokoh politik di mata
masyarakat. Meteri konsep visual tersebut merupakan materi yang akan digunakan
dalam kegiatan kampanye dari tokoh politik tersebut, terutama dalam kegiatan
personal branding. Sebuah pengamatan dari sisi geografis dan demografis juga
diperlukan untuk mengetahui bagaimana kondisi wilayah, kebutuhan, dan
karakteristik masyarakat dari daerah pemilihan yang menjadi sasaran kampanye dari

25
seorang tokoh politik. Riet-riset dari berbagai bidang tersebut selanjutnya akan di-
breakdown menjadi sosok-sosok dan karakteristik yang akan dimunculkan dalam
kampanye visual untuk membentuk sebuah citra positif dalam masyarakat sebagai
bagian dari strategi kampanye tokoh politik tersebut.
Proses penelitian ini dilakukan oleh sebuah rumah fotografi untuk bisa
memaksimalkan strategi kampanye menggunakan media visual (foto) dari seorang
tokoh politik. Dalam pelaksanaannya, tim dari rumah fotografi tersebut bekerja sama
dengan tim sukses untuk mengakses data-data mengenai tokoh politik tersebut.
Berdasarkan pada data-data yang diperoleh, selanjutnya diteliti lebih mendetail untuk
mendapatkan profil sosiologis dan profil psikologis. Selain bekerja sama dengan tim
sukses dari tokoh politik, tim dari rumah fotografi tersebut juga melakukan
wawancara dengan tokoh politik tersebut sebagai sinkronisasi informasi yang mereka
dapatkan dari tim sukses dan untukmendapatkan informasi yang tidak bisa didapatkan
dari tim sukses. Beberapa elemen yang dapat digunakan sebagai materi dalam
penyusunan konsep pencitraan personal branding dari seorang tokoh politik antara
lain;
1) Interpretasi Psikologis
Tim psikologi menganalisa karakter dari seorang tokoh politik dengan
beberapa metode, diantaranya:
a) Pendekatan historis (historical approach)
Penelitian ini dilakukan untuk melihat sosok dari seorang tokoh politik
dalam perjalanan hidupnya. Dengan melihat profil historis tersebut, tim
psikologi dari sebuah rumah fotografi dapat menyimpulkan sosok dari
tokoh politik tersebut melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan selama
perjalanan hidupnya.
b) Mempelajari Curriculum Vitae (CV)
Curriculum Vitae dipelajari untuk mengetahui pengalaman-
pengalamandari seorang tokoh politik dalam hidupnya. Dalam
Curriculum Vitae ini juga bisa terlihat sejauh mana tingkat pendidikan
dari seseorang tokoh politik. Dengan melihat curriculum vitae ini tim

26
psikologis bisa menyimpulkan sosok yang dilihat dari tingkat
pengetahuan yang diperoleh melalui institusi formal.
c) Melakukan interview
Interview ini dilakukan untuk melakukan sinkronisasi hasil yang diteliti
melalui Curriculum Vitae dan profil historis dari seorang tokoh politik.
Selain itu dalam interview tersebut, tim psikologis dapat mencari tahu
lebih jauh mengenai karakter seorang tokoh politik yang tidak dapat
mereka dapatkan dari kedua data di atas.
Ketiga metode di atas kemudian akan didapatkan beberapa hasil pengamatan
yang akan digunakan untuk membangun personal branding seorang tokoh politi.
Hasil pengamatan tersebut terdiri dari variabel-variabel yang akan dikaitkan dengan
karakter politik dalam membentuk konsep personal branding dari seorang tokoh
politik tersebut.
2) Interpretasi sosiologis
Tim sosiologis dari sebuah rumah fotografi melakukan riset dan menganalisi
karakter dari seorang tokoh politik dengan melakukan beberapa pemetaan
secara sosiologis dari tokoh politik tersebut, antara lain:
a) Curriculum Vitae yang dimiliki oleh tokoh politik yang dicitrakan melalui
personal branding,
b) Program kampanye yang dibuat oleh tim sukses dari seorang tokoh
politik,
c) Kekuatan jaringan yang dibentuk oleh team sukses,
d) Profil team sukses itu sendiri,
e) Visi dan misi dan tujuan-tujuan, dari partai yang menaungi seorang tokoh
politik.
Setelah melakukan pemetaan secara sosiologis, kemudian tim sosiologi dari
rumah fotografi tersebut melakukan pemetaan daerah pilihan dari seorang tokoh
politik tersebut. Pemetaan ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu melihat geografis
dan demografis dari wilayah lokasi daerah pilihan tersebut. Analisa yang dilakukan
secara georafis tersebut meliputi profil-profil wilayah dari daerah pemilihan untuk

27
melihat gambaran secara umum secara geografis dan demografis. Selain itu analisa
yang dilakukan juga melihat permasalahan-permasalahan yang ada dari daerah
tersebut dan potensi-potensi secara geografis yang bisa di unggulkan dari setiap
daerah-daerahnya tersebut. Pemetaan demografis juga dilakukan untuk membuat
materi kampanye yang akan dieksekusi kedalam materi visual. Pemetaan demografis
tersebut dilakukan dengan menganalisa beberapa unsur, yaitu;
1) Dinamika masyarakat,
2) Dinamika kebudayaan,
3) Struktur sosial dan konsekuensi,
4) Mobilitas sosial budaya,
5) Tuntutan dan kebutuhan saat ini,
6) Konsep legislatif harapan masyarakat,
7) Kompetitor dari tokoh politik yang dicitrakan.
Kemudian dari pemetaan secara demografis tersebut dapat dibuat sebuah
profil masyarakat yang ada di daerah pemilihan tersebut. Profil tersebut selanjutnya
akan dijadikan sebagai materi kampanye sebagai sebuah peluang yang akan
dimanfaatkan kedalam pesan visual melalui foto, terutama untuk mencitrakan
karakter tokoh politik yang akan memberikan sebuah solusi atas permasalahan-
permasalahan di daerah-daerah kampanyenya tersebut. Strategi personal branding
tersebut akan dilakukan dengan mengkombinasikan dengan adanya kerjasama dengan
tokoh-tokoh masyarakat yang terdapat di daerah-daerah kampanye dari tokoh politik
tersebut.
Setelah berbagai data riset mengenai bidang psikologis-sosiologis dari
seorang tokoh politik, yang kemudian digabungkan dengan riset mengenai keadaan
geografis-demografis dari daerah-daerah kampanye atau pemilihan dari tokoh politik
tersebut, sebuah konsep visual lalu dieksekusi dalam bentuk script untuk digunakan
sebagai dasar pengambilan foto dari seorang tokoh politik sebagai kegiatan personal
branding. Script tersebut merupakan sebuah naskah atau strategi mengenai pencitraan
dari seorang tokoh politik di mata masyarakat di daerah-daerah kampanyenya.
Naskah tersebut selanjutnya dieksekusi kedalam bentuk-bentuk foto yang akan

28
memunculkan citra dari seorang tokoh politik, terutama menyangkut sebagai solusi
atas berbagai permasalahan dari masyarakat yang terdapat di daerah-daerah
kampanyenya.
Personal branding yang dilakukan menggunakan media foto tersebut
dilakukan dengan pengambilan foto-foto dari seorang tokoh politik di setiap daerah-
daerah kampanyenya, dengan melibatkan masyarakat dan juga berbagai permasalahan
yang terdapat di wilayah tersebut. Foto-foto tersebut dieksekusi dengan membawa
pesan komunikasi politik, bahwa tokoh politik tersebut akan membawa masyarakat
ke kehidupan yang lebih baik dengan memberikan berbagai solusi atas permasalahan-
permasalahan yang dialami oleh masyarakat tersebut. Sehingga masyarakat saat
melihat foto tersebut akan merasa simpati, dan didalam pemikirannya akan muncul
awareness dan juga interest terhadap tokoh politik tersebut, dan selanjutnya akan
memilih tokoh politik tersebut saat pemungutan suara berlangsung.
Setelah beberapa foto sebagai kegian personal branding telah dieksekusi,
langkah selanjutnya adalah pemanfaatan media massa untuk menyebarkan pesan
komunikasi politik dari seorang tokoh politik tersebut dalam fotonya. Foto-foto
sebagai bentuk strategi personal branding tersebut dimunculkan kedalam media masa
untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas dan serentak, sehingga pesan
komunikasi politik yang disampaikan melalui foto-foto tersebut dapat diterima oleh
masyarakat sebagai target kampanye dari seorang tokoh politik yang dicitrakan
tersebut. Bersamaan dengan pemunculan foto dalam media massa tersebut, sebuah
penjelasan mengenai karakter dari tokoh politik tersebut dan juga visi-misinya akan
menjadi sebuah kombinasi yang cukup efektif dalam menggiring opini publik
terhadap citra dari seorang tokoh politik. Pada akhirnya, sebuah efek positif atas
strategi kampanye dalam bentuk personal branding melalui medi afoto tersebut akan
menghasilkan dukungan-dukungan atas seorang tokoh politik yang dicitrakan
tersebut.

29
PENUTUP

Media massa mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembentukan


opini publik masyarakan di dunia politik. Sebuah media massa mampu memberikan
berbagai informasi-informasi yang cenderung mempunyai kesempatan yang cukup
besar untuk diperacaya oleh masyarakat. Melalui informasi didalamnya, baik dalam
bentuk teks ataupun visual, media massa mampu mengkonstruksi sebuah realitas
berdasarkan atas fenomena yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat. Realitas
yang dikonstruksi oleh media massa tersebut selanjutnya akan mempengaruhi

30
pemikiran masyarakat, dan didalamnya akan membentuk sebuah realitas yang akan
dipercayai oleh seorang individu berdasarkan apa yang dia lihat dari media massa.
Dengan melihat kepada kekuatan dari media massa dalam mempengaruhi opini
masyarakat tersebut, saat ini banyak para pelaku politik yang memanfaatkan media
massa dalam melakukan komunikasi politik kepada target masyarakat dalam masa-
masa kegiatan kampanyenya.
Media dan politik saat ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Dunia politik membutuhkan media massa untuk melakukan kegiatan komunikasi
politik, terutama yang ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan komunikasi
politik tersebut dilakukan untuk membentuk sebuah opini publik yang positif dari
seorang tokoh politik yang mencalonkan diri dalam perebutan kekuasaan politik.
Opini publik yang positif tersebut diharapkan akan menghasilkan sebuah rasa simpati
dan juga bentuk dukungan politik dari masyarakat kepada kandidat tokoh politik
tersebut. Salah satu strategi untuk mendapatkan opini positif tersebut adalah dengan
membuat pencitraan diri (self image) yang positif di dunia politik kepada masyarakat.
Pencitraan atas seorang tokoh politik tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi
komunikasi politik yang merupakan bagian dari kegaitan kampanyenya. Pencitraan
tersebut dilakukan dengan menonjolkan dan memunculkan sosok karakter politik
yang didambakan oleh masyarakat. Sehingga, dengan adanya pencitraan tersebut,
masyarakat akan terpersuasi dan akhirnya memilih kandidat tokoh politik tersebut
sebagai pemimpin mereka.
Salah satu bentuk pencitraan dari tokoh politik tersebut dapat dilakukan
dengan teknik personal branding melalui media foto. Sebuah foto termasuk kedalam
salah satu media komunikasi yang menyampaikan pesan secara simbolik. Pesan
komunikasi tersebut disampaikan melalui unsur visual. Foto menjadi media
komunikasi politik yang efektif, karena foto mempunyai fungsi yang sangat luas.
Selain sebagai sebuah karya seni, foto juga bisa menyampaikan pesan-pesan yang
diinginkan oleh para calon legislatif. Pesan-pesan tersebut biasanya disampaikan
melalui personal branding yang dibalut dalam kemasan visual foto. Dimana sebuah
foto digunakan dalam dasar personal branding, karena sebuah foto dapat

31
menciptakan realitas tersendiri yang dapat mempengaruhi opini dalam masyarakat.
Selain itu, sebuah foto memiliki kekuatan gambar yang bisa berinteraksi dan bisa
memunculkan penafsiran secara kontekstual bagi yang melihat gambar tersebut. Foto
bisa membuat sebuah konstruksi realitas seperti yang diinginkan oleh sang fotografer
dan selain itu foto juga bisa merealisasikan sudut pandang seseorang tentang sebuah
realitas.
Foto sebagai alat untuk personal branding dapat merangkum ketentuan-
ketentuan yang harus dimiliki personal branding untuk menjadi sebuah personal
branding yang baik. Foto sebagai alat personal branding bisa memperlihatkan
kredibilitas seseorang dan kekuatannya untuk dilihat banyak orang. Dengan
menggunakan foto, seorang tokoh yang berkampanye dapat memperlihatkan personal
brand dia di hadapan masyarakat yang akan menjadi vote gathers-nya. Di sisi lain
foto juga bisa memperlihatkan kegiatan yang dilakukan oleh tokoh tersebut untuk
menunjukan diferensiasi personal brand nya dari kompetitor-kompetitor politiknya.
Jadi sebuah foto sebagai alat untuk melakukan personal branding bisa
menyampaikan pesan tentang personal brand yang sedang dibangun tanpa
menghilangkan fungsi seninya, yaitu sebuah karya seni yang selalu menunjukan
realita, pengilstrasian, pengindahan, dan persuasif.
Kegiatan personal branding dari seorang tokoh politik dilakukan dengan
mempertimbangkan dua aspek, yaitu aspek yang terdapat dalam karakter seorang
tokoh politik dan aspek yang terdapat dalam wilayah target kampanye dari seseorang
sebagai kandidat politik tersebut. Kedua aspek tersebut dapat dibagi lagi menjadi
empat bidang, yaitu bidang psikologis dan sosiologis (karakter tokoh politik yang
dicitrakan) dan bidang geografis dan demografis (keadaan wilayah sebagai target
kampanye). Keempat bidang tersebut selanjutnya disusun untuk merumuskan sebuah
strategi pencitraan melalui konsep personal branding yang dilakukan menggunakan
media foto. Hasil pencitraan selanjutnya merupakan pemunculan karakter politik dari
seorang tokoh politik yang diidamkan oleh masyarakat luas dan mampu memberikan
solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Adanya
pencitraan tersebut selanjutnya menimbulkan sebuah awareness dan interest,

32
sehingga pada akhirnya menghasilkan dukungan dari masyarakat terhadap seorang
tokoh politik yang dicitrakan tersebut. Jadi, sebenarnya sebuah foto bisa
mempresentasikan seorang tokoh dengan baik ketika digunakan sebagai alat personal
branding, terutama sebagai strategi untuk menggiring opini publik terhadap
seseorang sebagai kandidat politik.

DAFTAR PUSTAKA:

Al Ries and Ries, Laura. 2002. 22 Immutable Laws of Branding. Harper Collins
Publishers.
Ardianto, E. dan Komala, L. 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung :
Simbiosa Rekatama Media.
Barthes, Roland. 1977. The Photographic Message. Image, Music, Text. New
York: Hill and Wang.
_____________.1981. Camera Lucida: Reflection on Photography. New York: Hill
And Wang.

33
Berger, Arthur A. 2008. Seeing is Believing: an Introduction to Visual
Communication. San Fransisco: San Fransisco State University.
Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, Dan Strategi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Churchill, Gilbert A, Jr and J. Paul Peter. 1995. Marketing: Creating Value for
Customer. Austen Press.

Clifton, Rita., et al. 2003. Brands and Branding. London: Profile Books Ltd.
Devine, P. G., & Hirt, E. R. (1989). Understanding Message Campaigns: A Social
Psychological Analysis. Dalam C. Salmon (Ed.), Information Campaigns:
Managing The Process Of Social Change. Sage Publications, Annual
Review.
Dwijowijoto, Riant N. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan
Evaluasi (Cetakan Kedua). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jefkins, Frank. 2004. Public Relations. Jakarta: Erlangga.
Liliweri, Alo. 2007 Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
LittleJohn, Stephen W. 2002. Theories Of Human Communication. New Mexico:
Wadsworth Group.
Malik, Dedy Djamaluddin. 1999. Media Massa dan Krisis Komunikasi Politik. Dalam
Novel Ali. 1999. Peradaban Komunikasi Politik. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Erlangga
Miller, Katherine. Communication Theories. Boston. The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2002.

34
Mulyana, Dedy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nimmo, Dan. 2000. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Obrien, Tim. 2007. The Power of Personal branding. Los Angeles. Mendham
Publishing.
Peter L. Berger and Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: A
Treatise its the Sociology of Knowledge. Garden City, New York: Anchor
Books.
Prawito. 2009. Komunikasi Politik-Media Massa dan Kampanye Pemilihan.
Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Rivers, William L, Jay WJensen dan Theodore Peterson. 2008. Media Massa dan
Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soemirat, Soleh, dan Elvinaro Ardianto. 2007. Dasar-Dasar Public Relations.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaludin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Rogers, E. M. & Storey, J. D. 1987. Communication Campaigns. Dalam C. Berger
and S. Chaffee (Eds.) Handbook of Communication Science. Newbury Park,
CA: Sage.
Soemirat, S dan Ardianto, Elvinaro. 2002. Dasar-Dasar Public Relations, Cetakan
Pertama. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Sumarno, AP. 1993. Dimensi-dimensi Komunikasi Politik. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Slater, Don. 1995. Photography and Modern Vision; The Spectacle of Natural
Magic. Visual Culture. Chris Jenks, ed. London: Routledge.

Referensi Lain:

35
Lentil Soup: A Meditation on Lens Culture, dalam A. D. Coleman, Depth of Field:
Essays on Photography, Mass Media and Lens Culture (Albuquerque, NM:
University of New Mexico Press, 2000). Lihat juga Dimulai dari Mengintip:
tentang Kronologi Teknologi Fotografi, Kompas, 25 Oktober 2002.
M. Firman Ichsan. Manusia Modern dan Citra Fotografis di Media Massa, sumber
jurnalkalam.org/index-php/articles/view/57
Alex Supartono. Pengantar: Fotografi dan Budaya Visual, sumber:
http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html

36

Anda mungkin juga menyukai