Faktor Risiko
1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya: timbunan sampah, timbunan barang bekas,
genangan air yang seringkali disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari.
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di tempat tinggal pasien sehari-hari.
3. Adanya penderita demam berdarah dengue (DBD) di sekitar pasien.
Komplikasi
Dengue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, gagal ginjal, gagal hati
Kriteria Rujukan
1. Terjadi perdarahan masif (hematemesis, melena).
2. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai dosis 15 ml/kg/jam kondisi belum membaik.
3. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis yang tidak lazim, seperti kejang, penurunan
kesadaran, dan lainnya.
Prognosis
Prognosis jika tanpa komplikasi umumnya dubia ad bonam, karena hal ini tergantung dari
derajat beratnya penyakit.
Referensi
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pedoman Tatalaksana Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2. Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7.
3. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd
Edition. Geneva. 1997
4. Tim Adaptasi Indonesia, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman bagi
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten / Kota. 1 ed. Jakarta: World Health
Organization Country Office for Indonesia.
5. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis dan
tata laksana infeksi virus dengue pada anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,
2014.
2. GASTRITIS
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung sebagai
mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses
inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas.
Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual, muntah dan kembung.
Faktor Risiko
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis makanan pedas, porsi makan
yang besar
2. Sering minum kopi dan teh
3. Infeksi bakteri atau parasit
4. Pengunaan obat analgetik dan steroid
5. Usia lanjut
6. Alkoholisme
7. Stress
8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, Chron
disease
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan melakukan pemeriksaan:
1. Darah rutin.
2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori: pemeriksaan Urea breath test dan feses.
3. Rontgen dengan barium enema.
4. Endoskopi
Peralatan : -
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi, dan pengobatannya.
Umumnya prognosis gastritis adalah bonam, namun dapat terjadi berulang bila pola hidup tidak
berubah.
Referensi
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
3. LEPTOSPIROSIS
Masalah Kesehatan
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang menyerang manusia disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans dan memiliki manifestasi klinis yang luas. Spektrum
klinis mulai dari infeksi yang tidak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan,
leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan myalgia. Tikus adalah
reservoir yang utama dan kejadian leptospirosis lebih banyak ditemukan pada musim hujan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan:
Demam disertai menggigil, sakit kepala, anoreksia, mialgia yang hebat pada betis, paha dan
pinggang disertai nyeri tekan. Mual, muntah, diare dan nyeri abdomen, fotofobia, penurunan
kesadaran
Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Febris
2. Ikterus
3. Nyeri tekan pada otot
4. Ruam kulit
5. Limfadenopati
6. Hepatomegali dan splenomegali
7. Edema
8. Bradikardi relatif
9. Konjungtiva suffusion
10. Gangguan perdarahan berupa petekie, purpura, epistaksis dan perdarahan gusi
11. Kaku kuduk sebagai tanda meningitis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah rutin: jumlah leukosit antara 3000-26000/L, dengan pergeseran ke kiri,
trombositopenia yang ringan terjadi pada 50% pasien dan dihubungkan dengan gagal ginjal.
2. Urin rutin: sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular) dan proteinuria ringan,
jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat.
Komplikasi
1. Meningitis 4. Gagal hati
2. Distress respirasi 5. Gagal jantung
3. Gagal ginjal karena renal interstitial
tubular necrosis
Faktor Risiko
1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.
2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci dengan
air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari-hari.
5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
6. Kondisi imunodefisiensi.
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis Dapat menunjukkan: leukopenia /
leukositosis / jumlah leukosit normal, limfositosis relatif, monositosis, trombositopenia
(biasanya ringan), anemia.
2. Serologi
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF)
Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi
Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot)
1. Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi
2. Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi
Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari.
Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga
4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5 7 hari.
Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-
typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat
imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan standaridisasi kurang baik.
Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya dari 1 kali pemeriksaan
serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang dapat mengakibatkan over-diagnosis dan
over-treatment.
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carrier typhoid
4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar lipase dan
amylase
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Suspek demam tifoid (Suspect case)
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna dan
petanda gangguan kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan kesehatan
primer.
Demam tifoid klinis (Probable case)
Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.
Diagnosis Banding
Demam berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis, infeksi saluran kemih, Hepatitis A, sepsis,
Tuberkulosis milier, endokarditis infektif, demam rematik akut, abses dalam, demam yang
berhubungan dengan infeksi HIV.
Komplikasi
Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi antara lain perdarahan,
perforasi usus, sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain.
1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)
Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan kekacauan
mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma.
2. Syok septik
Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang berat. Selain
itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah turun, nadi halus dan cepat,
keringat dingin dan akral dingin.
3. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga diketahui dengan
pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini ditandai dengan gejala akut abdomen dan
peritonitis. Pada foto polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas
bebas dalam rongga perut.
4. Hepatitis tifosa
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.
5. Pankreatitis tifosa
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan amilase. Tanda ini dapat
dibantu dengan USG atau CT Scan.
6. Pneumonia
Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto polos toraks
b. Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.
c. Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat.
d. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
e. Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran), kemudian dicatat
dengan baik di rekam medik pasien
2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan
gastrointestinal.
3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid
adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil),
atau Trimetroprim-sulfametoxazole (Kotrimoksazol).
4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan
antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak
dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).
Rencana Tindak Lanjut
1. Bila pasien dirawat di rumah, dokter atau perawat dapat melakukan kunjungan follow up
setiap hari setelah dimulainya tatalaksana.
2. Respon klinis terhadap antibiotik dinilai setelah penggunaannya selama 1 minggu.
Indikasi Perawatan di Rumah
1. Persyaratan untuk pasien
a. Gejala klinis ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi atau komorbid yang membahayakan.
b. Kesadaran baik.
c. Dapat makan serta minum dengan baik.
d. Keluarga cukup mengerti cara-cara merawat dan tanda-tanda bahaya yang akan timbul dari
tifoid.
e. Rumah tangga pasien memiliki dan melaksanakan sistem pembuangan eksreta (feses, urin,
cairan muntah) yang memenuhi persyaratan kesehatan.
f. Keluarga pasien mampu menjalani rencana tatalaksana dengan baik.
2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan
a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap yang bertanggung jawab penuh terhadap tatalaksana pasien.
b. Dokter mengkonfirmasi bahwa penderita tidak memiliki tanda-tanda yang berpotensi
menimbulkan komplikasi.
c. Semua kegiatan tata laksana (diet, cairan, bed rest, pengobatan) dapat dilaksanakan secara baik
di rumah.
d. Dokter dan/atau perawat mem-follow up pasien setiap hari.
e. Dokter dan/atau perawat dapat berkomunikasi secara lancar dengan keluarga pasien di
sepanjang masa tatalaksana.
Kriteria Rujukan
1. Demam tifoid dengan keadaan umum yang berat (toxic typhoid).
2. Tifoid dengan komplikasi.
3. Tifoid dengan komorbid yang berat.
4. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
Peralatan
Poliklinik set dan peralatan laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah rutin dan
serologi.
Prognosis
Prognosis adalah bonam, namun ad sanationam dubia ad bonam, karena penyakit dapat terjadi
berulang.
5. ASMA PADA DEWASA
Masalah Kesehatan
Asma adalah penyakit heterogen, selalu dikarakteristikkan dengan inflamasi kronis di saluran
napas. Terdapat riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak, rasa berat di dada dan batuk yang
intensitasnya berberda-beda berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara ekspirasi
Komplikasi
Pneumotoraks, Pneumomediastinum, Gagal napas, Asma resisten terhadap steroid.
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit, sifat
penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), jenis dan mekanisme kerja
obat-obatan dan mengetahui kapan harus meminta pertolongan dokter.
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk menilai dan monitor berat asma secara berkala
(asthma control test/ ACT)
3. Pola hidup sehat.
4. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
a) Menghindari setiap pencetus.
b) Menggunakan bronkodilator/steroid inhalasi sebelum melakukan exercise untuk mencegah
exercise induced asthma.
Kriteria rujukan
1. Bila sering terjadi eksaserbasi.
2. Pada serangan asma akut sedang dan berat.
3. Asma dengan komplikasi.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas
yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang
dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan
pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari
penggunaan monoterapi.
2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC) akan
lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan
masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus
diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan suatu pendekatan yang
berpihak kepada pasien (patient centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan
langsung (DOT= directly observed treatment) oleh seorang pengawas menelan obat.
7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator penilaian terbaik adalah
pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping harus tercatat
dan tersimpan.
Dosis obat TB berdasarkan BB
Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis
di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4
bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan.
2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus
berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan
RHZE ditambah suntikan streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan
setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi lama
pengobatan 8 bulan.
3. OAT sisipan : HRZE
Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir pengobatan tahap awal
kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan
HRZE.
Konseling dan Edukasi
1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit tuberkulosis
2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.
3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan
Kriteria Rujukan
1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah
pengobatan dalam jangka waktu tertentu
2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan)
3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu
4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)
5. Suspek TB MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR.
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.
2. Radiologi
3. Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan ketentuan
pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik.
Kriteria hasil pengobatan:
1. Sembuh: pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan
dahak ulang (follow up), hasilnya negatif pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap: pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan
sebelumnya.
3. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
4. Putus berobat (default): pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
5. Gagal: Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan ke lima atau selama pengobatan.
6. Pindah (transfer out): pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011. (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional
pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik dokter
swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia.
Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
4. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. International standards for tuberkulosis
tare (ISTC). 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. The Hague. 2014.
(Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014)
5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al. Mycobacterial disease:
Tuberkulosis. Harrissons: principle of internal medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies. 2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009)
7. DIABETES MILITUS 2
Masalah Kesehatan
Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes Association (ADA) adalah
kumulan gejala yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi
insulin) dan sekresi insulin atau kedua-duanya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, terjadi peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2,1% (2013). Proporsi
penduduk 15 tahun dengan diabetes mellitus (DM) adalah 6,9%. WHO memprediksi kenaikan
jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3
juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada
tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan
keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat
pada tahun 2030.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Polifagia
2. Poliuri
3. Polidipsi
4. Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya
Faktor risiko
1. Berat badan lebih dan obese (IMT 25 kg/m2)
2. Riwayat penyakit DM di keluarga
3. Mengalami hipertensi (TD 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi hipertensi)
4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah didiagnosis DM Gestasional
5. Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome)
6. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) / TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)
7. Aktifitas jasmani yang kurang
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan
ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa Teranggu
(GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh
Komplikasi
1. Akut
Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia
2. Kronik
Makroangiopati, Pembuluh darah jantung, Pembuluh darah perifer, Pembuluh darah otak
3. Mikroangiopati:
Pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler renal
4. Neuropati
5. Gabungan: Kardiomiopati, rentan infeksi, kaki diabetik, disfungsi ereksi
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Terapi untuk Diabetes Melitus dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
(algoritma pengelolaan DM tipe 2)
Penunjang Penunjang
1. Urinalisis
2. Funduskopi
3. Pemeriksaan fungsi ginjal
4. EKG
5. Xray thoraks
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5 kali seminggu selama kurang lebih 30-60
menit minimal 150 menit/minggu intensitas sedang). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki
ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap dilakukan.
Kriteria Rujukan
Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut:
1. DM tipe 2 dengan komplikasi
2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, urin rutin, ureum, kreatinin
2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa
3. Monofilamen test
Prognosis
Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah penyakit kronis, quo ad vitam
umumnya adalah dubia ad bonam, namun quo ad fungsionam dan sanationamnya adalah dubia
ad malam.
Referensi
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006)
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Indonesia FKUI, 2012)
8. ISK
Masalah Kesehatan
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu masalah kesehatan akut yang sering terjadi pada
perempuan. Masalah infeksi saluran kemih tersering adalah sistitis akut, sistitis kronik, dan
uretritis.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada sistitis akut keluhan berupa:
1. Demam
2. Susah buang air kecil
3. Nyeri saat di akhir BAK (disuria terminal)
4. Sering BAK (frequency)
5. Nokturia
6. Anyang-anyangan (polakisuria)
7. Nyeri suprapubik
Pada pielonefritis akut keluhan dapat juga berupa nyeri pinggang, demam tinggi sampai
menggigil, mual muntah, dan nyeri pada sudut kostovertebra.
Faktor Risiko
1. Riwayat diabetes melitus
2. Riwayat kencing batu (urolitiasis)
3. Higiene pribadi buruk
4. Riwayat keputihan
5. Kehamilan
6. Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya
7. Riwayat pemakaian kontrasepsi diafragma
8. Kebiasaan menahan kencing
9. Hubungan seksual
10. Anomali struktur saluran kemih
Peralatan
Pemeriksaan laboratorium urinalisa
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kecuali bila higiene genital tetap buruk, ISK dapat berulang
atau menjadi kronis.
Referensi
1. Weiss,Barry.20 Common Problems In Primary Care.
2. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family Medicine. 2011
3. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI. 2009
4. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract infection. N Engl J Med 2012;366:1028-37
(Hooton, 2012)
9. GAGAL JANTUNG AKUT DAN KRONIK
Definisi
Gagal jantung (akut dan kronik) merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan
penurunan kualitas hidup, tingginya rehospitalisasi karena kekambuhan yang tinggi dan
peningkatan angka kematian.
Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas meningkat seiring dengan meningkatnya
usia yaitu berkisar 0,7% (40-45 tahun), 1,3% (55-64 tahun), dan 8,4% (75 tahun ke atas). Lebih
dari 40% pasien kasus gagal jantung memiliki fraksi ejeksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun,
risiko terjadinya gagal jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20,3% pada perempuan.
Diagnosis Banding
1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia, infeksi paru berat (ARDS), emboli
paru
2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
3. Sirosis hepatik
4. Diabetes ketoasidosis
Komplikasi
1. Syok kardiogenik
2. Gangguan keseimbangan elektrolit
Peralatan
1. EKG
2. Radiologi (X ray thoraks)
3. Laboratorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap
Prognosis
Tergantung dari berat ringannya penyakit, komorbid dan respon pengobatan.
Referensi
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.
2. Usatine, R.P. The Color Atlas Of Family Medicine. 2009. (Usatine, et al., 2008)
3. Rakel, R.E. Rakel, D.P.Textbook Of Family Medicine.2011. (RE & Rakel, 2011)
10. HIPERTENSI ESENSIAL
Definisi
Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyababnya. Hipertensi
menjadi masalah karena meningkatnya prevalensi, masih banyak pasien yang belum mendapat
pengobatan, maupun yang telah mendapat terapi tetapi target tekanan darah belum tercapai
serta adanya penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Penatalaksanaan
Peningkatan tekanan darah dapat dikontrol dengan perubahan gaya hidup dan
terapi farmakologis.
5. Hipertensi tanpa compelling indication
a. Hipertensi stage 1 dapat diberikan diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, atau
pemberian penghambat ACE (captopril 3x12,5-50 mg/hari), atau
nifedipin long acting 30-60 mg/hari) atau kombinasi.
b. Hipertensi stage 2
Bila target terapi tidak tercapai setelah observasi selama 2 minggu, dapat diberikan kombinasi
2 obat, biasanya golongan diuretik, tiazid dan penghambat ACE atau penyekat reseptor beta
atau penghambat kalsium.
c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya kontraindikasi dari masing-masing
antihipertensi di atas. Sebaiknya pilih obat hipertensi yang diminum sekali sehari atau
maksimum 2 kali sehari.
Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau ditambahkan obat lain sampai
target tekanan darah tercapai.
6. Kondisi khusus lain
a. Lanjut Usia
i. Diuretik (tiazid) mulai dosis rendah 12,5 mg/hari
ii. Obat hipertensi lain mempertimbangkan penyakit penyerta
b. Kehamilan
i. Golongan metildopa, penyekat reseptor , antagonis kalsium, vasodilator
ii. Penghambat ACE dan antagonis reseptor AII tidak boleh digunakan selama kehamilan
Komplikasi
1. Hipertrofi ventrikel kiri
2. Proteinurea dan gangguan fungsi ginjal
3. Aterosklerosis pembuluh darah
4. Retinopati
5. Stroke atau TIA
6. Gangguan jantung, misalnya infark miokard, angina pektoris, serta gagal
jantung
Peralatan
1. Laboratorium untuk melakukan pemeriksaan urinalisis dan glukosa
2. EKG
3. Radiologi (X-ray thoraks)
Prognosis
Prognosis umumnya bonam apabila terkontrol.
Referensi
1. Direktorat Penyakit Tidak Menular. Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. 2013. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)