Anda di halaman 1dari 19

PAPER NEUROLOGI

BELLS PALSY

Disusun Oleh:
Monalisa Simbolon
120100100

Pembimbing:
dr. Chairil Amin Batubara, Mked (Neu), Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan
judul Bells Palsy. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada dokter pembimbing, dr. Chairil Amin Batubara, Mked (Neu), Sp.S, yang
telah meluangkan waktunya dan memberikan masukan dan bimbingan dalam
penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
paper selanjutnya. Semoga paper ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih.

Medan, 19 Desember 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................... 1
1.3 Manfaat .................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2
2.1 Anatomi Nervus Fasialis .......................................................... 2
2.2 Bells Palsy .............................................................................. 3
2.2.1 Definisi............................................................................ 3
2.2.2 Epidemiologi ................................................................... 4
2.2.3 Etiologi............................................................................ 4
2.2.4 Patofisiologi .................................................................... 5
2.2.5 Gambaran Klinis dan Keluhan ........................................ 5
2.2.6 Diagnosis ........................................................................ 8
2.2.7 Terapi .............................................................................. 10
2.2.8 Komplikasi ...................................................................... 11
2.2.9 Prognosis ......................................................................... 12
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh
gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan local1
Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang
sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan
fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap
kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya1
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik
yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen
sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3
depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang
mempersarafi glandula lakrimalis.2
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun.3
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau
gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi
wajah yang akan bersifat permanen.

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menguraikan teori-teori
mengenai Bells palsy dan cara mendiagnosis serta penatalaksanaanya.
Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis
maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami Bells palsy dan

1
cara mendiagnosis serta penatalaksanaanya kemudian dapat mengaplikasikannya
untuk praktik dokter umum sesuai dengan standar kompetensi dokter Indonesia.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nervus Fasialis


Nervus Fasialis mempunyai empat buah inti yaitu :
Nukleus Fasialis untuk saraf Somatomotoris
Nukleus Salivatorius Superior untuk saraf Viseromotoris
Nukleus Solitarius untuk saraf Viserosensoris
Nukleus Sensoris Trigeminus untuk saraf Somatosensoris
Inti motorik Nervus Fasialis terletak pada bagian ventolateral segmentum
Pons bagian bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi inti N VI dan
membentuk genu interna nervus fasialis, kemudian berjalan ke bagian-lateral
batas kaudal pons pada sudut ponto serebelar.4
Saraf Intermedius terletak pada bagian diantara N VII dan N VIII. Serabut
motorik saraf Fasialis bersama-dama dengan saraf intermedius dan saraf
vestibulokoklearis memasuki meatus akustikus internus untuk meneruskan
perjalannya didalam os petrosus (kanalis facialis).4
Nervus Fasialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba di kavum timpani.
Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang
tengkorak melalui foramen stilomastoideus. Pada waktu ia turun ke bawah dan
membelok ke belakang kavum timpani ia tergabung dengan ganglion
genikulatum. Ganglion tersebut merupakan set induk dari serabut penghantar
impuls pengecap, yang dinamakan korda timpani. Juluran sel-sel tersebut yang
menuju ke batang otak adalam nervus intennedius, disamping itu ganglion
tersebut menberikan cabang-cabang kepada ganglion lain yang menghantarkan
impuls sekretomotorik.4
Os petrosus yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus
fallopii atau kanalis facialis. Di situ nervus fasialis memberi cabang untuk
muskulus stapedius dan lebih jauh sedikit ia menerima serabut-serabut korda
timpani. Melalui kanaliskulus anterior ia keluar dari tulang tengkorak dan tiba di

3
bawah muskulus pterigoideus eksternus, korda timpani menggabungkan diri pada
nervus lingualis yang merupakan cabang dari nervus mandibularis.4
Sebagai saraf motorik nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoideus
memberi cabang yakni nervus auricularis posterior dan kemudian memberikan
cabang ke otot stilomastiodeus sebelum masuk ke glandula Parotis. Di dalam
blandula parotis nervus fasialis dibagi atas lima jalur percabangannya yakni
temporal, servical, bukal, zygomatic dan marginal mandibularis.4

Gambar 1. Perjalanan Nervus Fasialis.5

2.2. Bells Palsy

2.2.1. Definisi

Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis periver (N VII), terjadi


secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak meyertai
penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan
fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmik, non-degeneratif

4
primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di
foramen stilomastoideus atau sediki proksimal dari foramen tesebut, yang
mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. 6

2.2.2. Epidemiologi
Insiden Bells Palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderita tidak
hanya berobat ke dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat kepada
dokter umum, dokter THT maupun dokter mata. Data yang dikumpulkan dari 4
buah rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55%
dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insidensi antara iklm
panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat
terpapar udara dingin seperti naik kendaraan dengan kaca terbuka, tidur di lantai
atau bergadang sebelum menderita Bells palsy. 7

2.2.3 Etiologi
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu: 7,8
1. Teori iskemik vaskuler
Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N VII. Terjadi vasokonstriksi
arteriole yang melayani N VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi
transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe
sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan
lebih menekan kapiler dan venule dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
2. Teori infeksi virus
Bells palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus,
sehingga menurut teori ini penyebab Bells palsy adalah virus. Juga dikatakan
bahwa perjalanan klinis Bells palsy menyerupai viral neuropati pada saraf perifer
lainnya.
3. Teori herediter

5
Penderita Bells palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bells
palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bells palsu terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita Bells palsy diberikan pengobatan
kortikosteroid dengan tujuan mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis
Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.

2.2.4. Patofisiologi

Patofisiologi timbulnya Bells palsy secara pasti masih dalam perdebatan.


N VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan kanalis
fasialis. Adanya edema dan iskemik menyebabkan kompresi dari N VII dalam
kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi N VII ini dapat dilihat dengan
MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen
labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus foramen ini memiliki
diameter 0,66 mm. Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat paling sering
terjadinya kompresi pada N VII pada Bells palsy, karena bagian ini merupakan
tempat yang paling sempit maka terjadinya inflamasi, demielinisasi, iskemik,
ataupun proses kompresi paling mungkin terjadi. Lokasi terserangnya Nervus
Fasialis di Bells palsy bersifat perifer dari nukleus saraf tersebut, dimana
timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika
lesinya timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul
kelumpuhan motorik disertai dengan ketidak abnormalan fungsi gustatorium dan
otonom. Apabila lesi terletak di foramen stilomastoideu dapat menyebabkan
kelumpuhan fasialis saja. 8,5,6,7

2.2.5. Gambaran Klinis dan Keluhan

6
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya
kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin
atau saat sikat gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa
salah satu sudutnya lebih rendah. Bells palsy hampur selalu unilateral. Gambaran
klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total.
Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan
nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum ataupun
berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan
sehingga fisura palpebra melebat serta kerut dahi menghilang. 6,7,3

Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata


pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N VII yang
mempersyarafi m. Orbicularis okuli dapat lagopthalmus yaitu palpebra tidak dapat
menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva
dan kornea karena mata tetap terbuka sehingga konjingtiva dan kornea menjadi
kering dan terjadi infeksi.infeksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu
keratitis. Serta bola mata pasien berputar keatas. Keadaan ini dikenal dengan
tanda dari Bell (lagopthalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan
mata yang berkuran maka terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga
menimbulkan epifora. Dalam menggembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang
lumpuh tidang menggembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul
diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah
sesisi, tidak didapati gangguan lainnya mengiringinya, bila paresisnya benar-benar
bersifat Bells palsy. 7

Bila korda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan
dari 2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensori khusus N. Intemedius dan
bila saraf yang menuju ke m. Stapedius juga terlibat, maka akan terjadi
hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri. Pada
kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata. Ini menunjukkan
terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes
Schirmer. 7,8

7
Komplikasi ke bagian mata antara lain: 8
Lagopthalmus
Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah
Alis jatuh
Retraksi kelopak mata atas
Erosi kornea
Crocodile-tear tearing

Komplikasi ke bagian telinga antara lain: 8

Hampir separuh pasien yang mengalami Bells palsy mengeluhkan nyeri


pada bagian belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya
gejala Bells palsy, namun ada kasus 25% kasus nyeri terjadi lebih dulu 2-3 hari
sebelum timbulnya Bells palsy. Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya
hiperakusis pada telinga ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat
sekunder dari kelemahan oto stapedius.

Gangguan Pengecapan: 8

Sepertiga pasien Bells Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana


80% dari penderita Bells palsy mengalami penurunan kemampuan merasa

Spasme Fasial: 8

Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bells palsy, terjadi
akibat kontraksi tonic pada salah sati sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada
saat stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan
pembuluh darah, tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih
sering menyerang pada usia 50 tahun atau 60-an. Selain itu juga dapat timbul
Sinkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah saat tersenyum atau
menutup mata, contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika
tersenyum atau ketika mengedipkan mata

8
2.2.6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasrakan anamnesa serta beberapa pemeriksaan


fisik, dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis. Untuk menegakkan diagnosis
suatu Bells palsy harus ditetapkan dulu adanya paresis fasialis tipe perifer,
kemudian menyingkirkan semua kemungkinan penyebabnya pareses fasialis
tersebut.7

Paresis fasialis perifer berbeda dari tipe sentral. Pada tipe sentral yang
terganggu atau paresis hanya pada bagian bawah wajah saja.

Anamnesa : 8
Rasa nyeri.
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaandan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi
saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

Pemeriksaan : 8
a. Pemeriksaan neurologis
Kelumpuhan nervus fasialis melibatkan semua otot wajah sesisi
dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan-pemeriksaan berikut, yaitu :
a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis :8
Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada
sisi yang sehat saja.
Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat
diangkat.
Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit
kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan
berputarnya bola mata keata dapat dilihat. Hal tersebut
dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat dilihat juga gerakan

9
kelopak mata yang sakit lebih lambat dibandingkan dengan
gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal dengan
Lagopthalmus.
Menggembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi
tidak dapat digembungkan.
Pasien disuruh untuk memperlihatkan didi delidinya atau
disuruh mengiris menyeringai : sudut mulut sisi yang
lumpuh tidak dapat diangkat sehingga mulut tampaknya
mencong ke arah sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada
sisi wajah yang sakit mendatar.
b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis : 8

Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis


diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan
rasa asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam
sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang
tidak sehat kurang tajam.

c. Pemeriksaan Refleks: 8

Pemeriksaan refleks yang dilakukan pada penderita Bells


palsy adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun
tidak langsung dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil
berupa pada sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih lambat
atau tidak ada sama sekali. Selain itu juga didapatkan refleks
nasopalpebra pada orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah
diantara kedua alis langsung dijawab dengan pemejaman kelopak
mata pada sisi, sedangkan pada paresis fasialis jenis perifer
terdapat kelemahan kontraksi m. Orbikularis okuli (pemejaman
mata pada sisi sakit).

b. Pemeriksaan Radiologis: 8

10
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk Bells palsy
antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada
pasien dengan Bells palsy dapat timbul gambaran kelainan pada nervus
fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna apabila penderita
mengalami kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan
apakah kelainan itu hanya merupakan gangguan nervus fasialis ataupun
tumor.

2.2.7. Terapi

1. Terapi medikamentosa : 7

Kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah


prednison atau methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan
diturunkan secara bertahap (tappering off) selama 7 hari
Pengguanaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortikosteroid.
Penggunaan Acyclovir 400 mg sebanyak 5 kali per hari P.O. selama
10 hari. Atau penggunaan Valacyclovir 500 mg sebanyak 2 kali per
hari P.O. selama lima hari.
Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodiatasi peros
dengan ACTH I.M. 40-60 satuan selama 2 minggu dapat
mempercepat penyembuhan
Analgesik untuk menghilangkan rasa nyeri

2. Terapi operatif

Indikasi terapi operatif yaitu :7

Produksi air mata berkurang menjadi 25%


Aliran saliva berkurang menjadi 25%
Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5
mA.

3. Rehabilitasi medik

11
Rehabilitasi medik meurut WHO adalah semua tindakan yang
ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
mengingkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas
sosial.7

Tujuan rehabilitasi medik adalah :7

Meniadakan keadaan cacat bila mingin


Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup
san bekerja dengan apa yang terginggal.

Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang


efektis dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri
dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara,
psikolog, petugas sosial medik dan perawatan rehabilitasi medik.7

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi dari Bells palsy yaitu : 7,8

a. Crocodile Tear Phenomenon


Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini
timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan tejadinya akibat dari
regenerasi yng salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar
saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion
genikulatum.
b. Sinkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan datu per satu atau tersendiri,
selalu timbul gerakan bersama. Contohnya yaitu:
Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan
(involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi.

12
Pada saat memperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita
pada sisi sakit menjadi tertutup.
Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua
otot wajah pada sisi lumpuh menjadi kontraksi.

Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang


mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang
salah/keliru.

c. Clonic Fasial Spasm (hemifasial spasm)


Timbulnya kedutan ( otot wajah bergerak secara spontan dan
tidak terkendali) pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1
sisi wajah saja tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi
lainnya. Bila mengenai kedia sisi wajah, maka tidak terjadi bersamaan
pada kedua sisi wajah.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadibila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. Kecuali sebagai
komplikasi Bell palsy, maka hemfacial spasm dapat disebabkan oleh
ompresi N VII oleh tumor atau aneurisme pada daerah sudut Serebelo
pontis atau lengkungan arteri serebelar antero inferior yang berlebihan atau
arteri auditorius internus.
d. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis
lebih terlihat jelas pada sisi yang lumpuh dibandingkan pada sisi yang
sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak
tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot
wajah bergerak.

2.2.9 Prognosis

13
Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.
Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan tanda
prognosis baik. Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu menunjukkan
bahwa terjadi regenerasi aksonal dan hal demikian menunjukkan pemulihan yang
lebih lama dan tidak sempurna.6

Pemulihan daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan


biasanya berkaitan dengan pemulihan paralisis secara sempurna. Apabila lebih 14
hari, maka hal tersebut menunjukkan prognosis yang buruk.6

14
BAB 3
KESIMPULAN

1. Bells palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N VII), terjadi


secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak
menertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis.
2. Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu teori
iskemik vaskuler, teori infeksi virus, teori herediter dan teori imunlogi.
3. Gambaran klinis Bells palsy dapat berupa hulangnya semua gerakan
volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi
akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan mengghilang, sudut
mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan
lagopthalmus.
4. Penatalaksanaannya dengan terapi medikamentosa yaitu korikosteroid,
vitamin B1, B6 dan B12, analgesik, penggunaan obat antiviral (acyclovir).,
juga dilakukan rehabilitasi medik.
5. Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.
Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merpakan tanda
prognosis baik.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Singhi P, Jain V. Bells Palsy in Children. Seminar in Pediatric


Neurotology.2003; 10(4): 289-97
2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern Virginia: Medscape.
2010.
3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of
Bells palsy in the population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc.
1971;46:258.
4. De Jongs, The Neurologic Examination the facial Nerve 5 th ed, page: 181-
200
5. Ropper, Allan H. Robert H Brown. 2005. Adams and Victors Principles of
Neurology 8th edition. United States of America : The McGraw-Hill
Companies
6. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
7. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia
8. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300

16

Anda mungkin juga menyukai