BELLS PALSY
Disusun Oleh:
Monalisa Simbolon
120100100
Pembimbing:
dr. Chairil Amin Batubara, Mked (Neu), Sp.S
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan
judul Bells Palsy. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada dokter pembimbing, dr. Chairil Amin Batubara, Mked (Neu), Sp.S, yang
telah meluangkan waktunya dan memberikan masukan dan bimbingan dalam
penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
paper selanjutnya. Semoga paper ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menguraikan teori-teori
mengenai Bells palsy dan cara mendiagnosis serta penatalaksanaanya.
Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis
maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami Bells palsy dan
1
cara mendiagnosis serta penatalaksanaanya kemudian dapat mengaplikasikannya
untuk praktik dokter umum sesuai dengan standar kompetensi dokter Indonesia.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
bawah muskulus pterigoideus eksternus, korda timpani menggabungkan diri pada
nervus lingualis yang merupakan cabang dari nervus mandibularis.4
Sebagai saraf motorik nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoideus
memberi cabang yakni nervus auricularis posterior dan kemudian memberikan
cabang ke otot stilomastiodeus sebelum masuk ke glandula Parotis. Di dalam
blandula parotis nervus fasialis dibagi atas lima jalur percabangannya yakni
temporal, servical, bukal, zygomatic dan marginal mandibularis.4
2.2.1. Definisi
4
primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di
foramen stilomastoideus atau sediki proksimal dari foramen tesebut, yang
mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. 6
2.2.2. Epidemiologi
Insiden Bells Palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderita tidak
hanya berobat ke dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat kepada
dokter umum, dokter THT maupun dokter mata. Data yang dikumpulkan dari 4
buah rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55%
dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insidensi antara iklm
panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat
terpapar udara dingin seperti naik kendaraan dengan kaca terbuka, tidur di lantai
atau bergadang sebelum menderita Bells palsy. 7
2.2.3 Etiologi
Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu: 7,8
1. Teori iskemik vaskuler
Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N VII. Terjadi vasokonstriksi
arteriole yang melayani N VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi
transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe
sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan
lebih menekan kapiler dan venule dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
2. Teori infeksi virus
Bells palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus,
sehingga menurut teori ini penyebab Bells palsy adalah virus. Juga dikatakan
bahwa perjalanan klinis Bells palsy menyerupai viral neuropati pada saraf perifer
lainnya.
3. Teori herediter
5
Penderita Bells palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bells
palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bells palsu terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
Berdasarkan teori ini maka penderita Bells palsy diberikan pengobatan
kortikosteroid dengan tujuan mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis
Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.
2.2.4. Patofisiologi
6
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya
kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin
atau saat sikat gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa
salah satu sudutnya lebih rendah. Bells palsy hampur selalu unilateral. Gambaran
klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total.
Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan
nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum ataupun
berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan
sehingga fisura palpebra melebat serta kerut dahi menghilang. 6,7,3
Bila korda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan
dari 2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensori khusus N. Intemedius dan
bila saraf yang menuju ke m. Stapedius juga terlibat, maka akan terjadi
hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri. Pada
kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata. Ini menunjukkan
terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes
Schirmer. 7,8
7
Komplikasi ke bagian mata antara lain: 8
Lagopthalmus
Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah
Alis jatuh
Retraksi kelopak mata atas
Erosi kornea
Crocodile-tear tearing
Gangguan Pengecapan: 8
Spasme Fasial: 8
Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bells palsy, terjadi
akibat kontraksi tonic pada salah sati sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada
saat stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan
pembuluh darah, tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih
sering menyerang pada usia 50 tahun atau 60-an. Selain itu juga dapat timbul
Sinkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah saat tersenyum atau
menutup mata, contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika
tersenyum atau ketika mengedipkan mata
8
2.2.6. Diagnosis
Paresis fasialis perifer berbeda dari tipe sentral. Pada tipe sentral yang
terganggu atau paresis hanya pada bagian bawah wajah saja.
Anamnesa : 8
Rasa nyeri.
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaandan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi
saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
Pemeriksaan : 8
a. Pemeriksaan neurologis
Kelumpuhan nervus fasialis melibatkan semua otot wajah sesisi
dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan-pemeriksaan berikut, yaitu :
a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis :8
Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada
sisi yang sehat saja.
Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat
diangkat.
Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit
kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan
berputarnya bola mata keata dapat dilihat. Hal tersebut
dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat dilihat juga gerakan
9
kelopak mata yang sakit lebih lambat dibandingkan dengan
gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal dengan
Lagopthalmus.
Menggembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi
tidak dapat digembungkan.
Pasien disuruh untuk memperlihatkan didi delidinya atau
disuruh mengiris menyeringai : sudut mulut sisi yang
lumpuh tidak dapat diangkat sehingga mulut tampaknya
mencong ke arah sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada
sisi wajah yang sakit mendatar.
b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis : 8
c. Pemeriksaan Refleks: 8
b. Pemeriksaan Radiologis: 8
10
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk Bells palsy
antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada
pasien dengan Bells palsy dapat timbul gambaran kelainan pada nervus
fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna apabila penderita
mengalami kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan
apakah kelainan itu hanya merupakan gangguan nervus fasialis ataupun
tumor.
2.2.7. Terapi
1. Terapi medikamentosa : 7
2. Terapi operatif
3. Rehabilitasi medik
11
Rehabilitasi medik meurut WHO adalah semua tindakan yang
ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
mengingkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas
sosial.7
2.2.8 Komplikasi
12
Pada saat memperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita
pada sisi sakit menjadi tertutup.
Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua
otot wajah pada sisi lumpuh menjadi kontraksi.
2.2.9 Prognosis
13
Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.
Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan tanda
prognosis baik. Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu menunjukkan
bahwa terjadi regenerasi aksonal dan hal demikian menunjukkan pemulihan yang
lebih lama dan tidak sempurna.6
14
BAB 3
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16