Anda di halaman 1dari 14

A.

Definisi

Acquired Immune Deficiency (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala


penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang
yang terinfeksi HIV atau terkena penyakit AIDS erring disebut dengan Odha.
Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukan
suatu gejala tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan tubuh yang
3
disebabkana oleh HIV yang menujukan tes darah jumlah CD4 <200/m (Kurniasih
dkk, 2007).

HIV merupakan retrovirus yang termasuk golongan virus RNA (virus yang
menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik). Disebut
retrovirus karena memiliki enzim reverse transcriptase. Enzim ini memungkinkan
virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA kedalam bentuk
DNA yang kemudian diintegrasikan kedalam informasi genetik sel limfosit yang
diserang. Dengan demikian, HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit
untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV. HIV
menyerang sistem imun manusia yaitu menyerang limfosit T-Helper yang
memiliki reseptor CD4 dipermukaannya. Limfosit T-Helper antara lain, berfungsi
menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan
pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi sehingga
yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T, tetapi juga limfosit B, monosit,
makrofag dan sebagainya (Kurniasih dkk, 2007).

B. Fisiologi
Fisiologi HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Jika ditambah
dengan stress psikologis-spritual yang berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV,
maka akan mempercepat terjadinya HIV bahkan meningkatkan angka kematian.
Jika stress mencapai tahap kelelahan, maka dapat menimbulkan kegagalan. Stress
yang dialami pasien HIV menurut konsep psikoneuro imonologis. Stimulusnya
akan melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pads sistem limbic berefek
pada hipotalamus, sedangkan hipofisis akan menghasilkan CRF (Corticotropin
Releasing Factor) (Nursalam, 2007).

Para dokter tersebut menyatakan penyakit- penyakit itu tidak ditemukan


pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. (Gaby Wandoyo,
2007).

C. Patofisiologi

Setelah virus memasuki tubuh, dalam jangka waktu yang cepat terjadi
replikasi virus, yang menyebabkan kelimpahan virus dalam darah perifer. Selama
infeksi primer, tingkat HIV dapat mencapai beberapa juta partikel virus per
mililiter darah. (Jawetz, 2010).

1. Untuk masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan reseptor (CD4) yang
ada di permukaan sel. Artinya, virus ini hanya akan menginfeksi sel yang
memiliki reseptor CD4 pada permukaannya. Karena biasanya yang diserang
adalah sel T lymphosit (sel yang berperan dalam sistem imun tubuh), maka
sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di
permukaannya (CD4+ T cell) (Castillo, 2005).
2. Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan
kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel (Castillo, 2005).
3. Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom
RNA oleh enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawa oleh virus (Castillo,
2005).
4. Selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak
dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya, Proses ini dilakukan oleh enzim
integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. Virus yang terintegrasi diketahui
sebagai DNA provirus. Proses ini hampir sama dengan beberapa virus RNA
lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk
kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini
dinamakan integrasi (integration) DNA virus yang terintegrasi ke dalam genom
sel dinamakan provirus (Castillo, 2005).
5. RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi
menyebabkan produksi protein virus. Dalam kondisi provirus, genom virus
akan stabil dan mengalami proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri.
Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara otomatis
genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi
diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia
terinfeksi virus seumur hidup (a life long infection) (Castillo, 2005).
6. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus. Hasil pecahan ini
kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar
dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel yang diinfeksi. Virus
infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang belum
terinfeksi dan mengulang proses tersebut. Pada saat HIV bereplikasi sangat
cepat dan membentuk virion baru menimbulkan viremia yang
menimbulkan sindroma infeksi akut (sekitar 3-6 minggu) dengan gejala
demam, mual,muntah diare, faringitis dan penurunan berat badan (Castillo,
2005).
7. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T helper, menghancurkan atau
melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun
(Castillo, 2005).

Dalam tubuh, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga

satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari

semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada

3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah

13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan

kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,

pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi

akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini

umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Mandal, 2008).


D. Obat
Terapi Farmakologi (Obat) Hiv
Inhibisi replikasi viral dengan highly active antiretroviral theraphy

(HAART) merupakan strategi klinik paling berhasil pada perawatan infeksi HIV.
Ada tiga golongan utama obat antiretroviral (ARV), yaitu:
1. Penghambat masuknya virus ke dalam sel

Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung
glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya
obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2006).
2. Reverse transcriptase Inhibitor
(RTI) 2.1 Analog
nukleosida/nukleotida
a) Analog nukleosida (NRTI)

Mekanisme kerja NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap


(penambahan 3 gugus fosfat) dan selanjutnya berkompetisi dengan
natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi
DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan
DNA. Contoh obat golongan ini, yaitu:
: zidovudin (ZDV/AZT) dan stavudin
- Analog thymin (d4T)
- Analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
- Analog adenin : didanosine (ddI)
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
b) Analog Nukleotida (NtRTI)

Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama


dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses
fosforilasi. Contoh obatnya adalah:
- Analog guanin : abacavir(ABC)
- Analog adenosin monofosfat : tenofovir
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
2.2 Non-nukleosida (NNRTI)

NNRTI bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi


berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi
dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
Contoh obat golongan NNRTI, yaitu:
- Nevirapin (NVP)
- Nfavirenz (EFV)
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

3. Penghambat enzim protease (PI)

Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease


yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir
pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak
mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial. Contoh obat
golongan PI, yaitu:
- Ritonavir (RTV)
- Saquinavir (SQV)
- Indinavir (IDV)
- Nelfinavir (NFV)
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

F. Guidline

1. Saat Memulai Terapi ARV


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa.

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 (Menkes RI, 2011).

Tabel. Saat memulai terapi ODHA dewasa


Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi
3
ODHA Dewasa Stadium klinis 1 >350 sel/mm Belum mulai
dan 2 terapi. Onitor
gejala klinis dan
jumlah sel CD4
setiap 6 -12 bulan
3
<350 sel/mm Mulai terapi
Stadium klinis 3 Berapapun Mulai terapi
dan 4 jumlah sel CD4
Pasien dengan Apapun Stadium Berapapun Mulai terapi
ko-infeksi TB klinis jumlah sel CD4
Pasien dengan Apapun Stadium Berapapun Mulai terapi
ko-infeksi klinis jumlah sel CD4
Hepatitis B
kronik aktif
Ibu Hamil Apapun Stadium Berapapun Mulai terapi
klinis jumlah sel CD4
(Menkes RI, 2011).
2. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO)
yang Aktif

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu


pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini.

Tabel. Tatalaksana Infeksi Oportunistik sebelum memulai terapi ARV


Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi
Progresif Multifocal ARV diberikan langsung setelah
Leukoencephalopathy, Sarkoma diagnosis infeksi ditegakkan
Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,
Kriptosporidiosis
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, ARV diberikan setidaknya 2 minggu
MAC setelah pasien mendapatkan
pengobatan infeksi opportunistik
(Menkes RI, 2011).

3. Rekomendasi Terapi ARV pada orang dewasa yang belum pernah


mendapat terapi ARV (treatment-nave)

Prinsip dalam pemberian ARV

1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan
obat.

2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
akses pelayanan ARV .

3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan


manajemen logistik yang baik
Pemilihan Obat ARV Lini Pertama yaitu 2NRTI ( nucleoside reverse
transcriptase inhibitor) + 1 NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor)
Tabel. Panduan pemilihan obat ARV

Tabel. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa


yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-nave)

(Menkes RI, 2011).

4. Konseling

1. Tujuan Konseling HIV/AIDS


Konseling HIV/AIDS merupakan proses dengan 3 (tiga) tujuan umum :

a. Dukungan psikologik misalnya dukungan emosi, psikologi sosial,


spiritual sehingga rasa sejahtera terbangun pada odha dan yang
terinfeksi virus lainnya.
b. Pencegahan penularan HIV/AIDS melalui informasi tentang
perilaku berisiko (seperti seks tak aman atau penggunaan alat suntik
bersama ) dan membantu orang untuk membangun ketrampilan pribadi
yang penting untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek aman.
c. Memastikan terapi efektif dengan penyelesaian masalah dan isu
kepatuhan
(Depkes RI, 2013).
2. Tahapan Konseling
Ada tiga tahapan dalam pelaksanaan konseling dan tes HIV, yaitu :

a. Konseling pra tes HIV: Membantu kien menyiapkan diri untuk


melakukan pemeriksaan darah atau tes HIV. Materi konseling yang
diberikan:
- Proses konseling dan tes HIV sukarela.
- Manfaat tes HIV.
- Pengetahuan tentang HIV/AIDS.

- Meluruskan pemahaman yang salah tentang HIV/AIDS dan


mitosnya.
- Membantu klien mengetahui faktor resiko penuaran
HIV/AIDS.
- Menyiapkan kien untuk pemeriksaan darah.
- Mendiskusikan kemungkinan hasi tes HIV positif dan negatif.
- Persetujuan untuk tes HIV sukarela.

- Mengembangkan rencana perubahan perilaku yang sehat dan


aman.
b. Tes HIV: pemeriksaan darah laboratorium untuk memastikan
status HIV.
c. Konseling Pasca Tes HIV: Membantu klien memahami dan
menyesuaikan diri dengan hasil tes. Materi konseling yang diberikan
adalah mengenai penjelasan tentang hasil tes HIV.
- Jika hasil tes positif, petugas konseling akan menyampaikan
hasil tes dengan cara yang dapat diterima klien, secara halus dan
manusiawi. Petugas konseling akan merujuk kien ke ayanan medis
dan sosial.
- Penanganan reaksi emosi yang ada.
- Jika hasil tes negatif, isu seks aman dan tes ulang tetap
disarankan.
- Informasi dan layanan rujukan untuk pengobatan.
- Diskusi untuk mencegah penularan HIV.
- Diskusi untuk tetap sehat dan positif bagi ODHA.
- Dukungan moral yang dapat diberikan.

Pada tahap pre konseling, yang dilakukan adalah pemberian


informasi tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara pencegahan,
dan periode jendela. Kemudian konselor dilaksanakan penilaian risiko
klinis. Pada saat ini, klien harus jujur tentang hal-hal berikut: kapan
terakhir kali melakukan aktivitas seksual, apakah menggunakan
narkoba suntik, pernahkah melakukan hal-hal yang berisiko pada
pekerjaan; misalnya dokter, dan apakah pernah menerima produk
darah, organ atau sperma. Konselor VCT terikat sumpah untuk
merahasiakan status klien. Pada saat melakukan VCT pastikan
konseling dilakukan di tempat tertutup dan menjamin privasi. Konselor
akan menawarkan kepada klien apakah bersedia untuk melakukan tes
HIV berupa informed consentatau izin dari klien untuk melakukan tes
HIV. Pada saat melakukan tes HIV, darah kita akan diambil
secukupnya. Dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu antara
setengah jam sampai satu minggu, tergantung jenis tes HIV yang
dipakai.
(Depkes RI, 2013).
3. Evaluasi
Tim-tim pengawas bertanggung jawab memastikan:

1. Konselor menggunakan alat pengumpulan data standarat yang


telah dikembangkan oleh KEMENKES untuk mencatat jumlah orang
yang
di tes di lokasi dan data klien tambahan termasuk informasi
demografi, hasil tes dan status rujukan.

2. Pada semua tempat yang menyediakan tes VCT memiliki persediaan


yang diperlukan dan jika diperlukan mencari dan mengatur pasokan
tambahan termasuk transportasi untuk pendistribusian alat yang
dibutuhkan.
3. Pelaksanaan layanan mengacu pada pedoman yang berlaku dan berada
di bawah pengendalian Direktorat, tidak ada paksaan dalam pelaksanaan
test dan sangat terjaga kerahasiaanya setelah dilakukan tes VCT tersebut.
4. Memastikan bahwa hasil tes VCT akurat dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan sehingga tidak menjadi masalah bagi peserta test
VCT tersebut.

Tim konseling terpadu yang terdiri dari dokter umum, psikolog, psikiater,
penyuluhan lapangan, dan pembina mental dengan tujuan, antara lain:

- Memberikan pengertian dan informasi yang benar tentang HIV-AIDS.


- Mengidentifikasi masalah dan memberikan jalan keluarnya.

- Memberikan kesadaran berperilaku sehat dan bertanggungjawab


dalam kehidupan bermasyarakat.
- Memberikan kepercayaan diri dalam mengatasi masalah dan
memberikan rasa aman
(Depkes RI, 2013).

G. Prevalensi HIV di Bandung

Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency

Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health

issue. HIV/AIDS telah menyebar di seluruh dunia, sehingga tidak satu negara pun

dapat mengklaim negaranya bebas HIV/AIDS. Data UNAIDS (United Nations Joint

Program for HIV/AIDS) dan WHO (World Health Organization) memperkirakan

bahwa jumlah orang terinfeksi HIV atau yang dikenal sebagai Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA) di seluruh dunia sampai tahun 2005 mencapai 40,3 juta, yaitu dua

kali lipat dibandingkan tahun 1995. Jumlah penderita yang meninggal akibat AIDS

sejak tahun 1981 telah dicatat 1ebih dari 25 juta orang. Jumlah ini menggambarkan

HIV/AIDS sebagai penyakit infeksi yang paling berbahaya dalam

sejarah(BKKBN,2006).

Depkes memperkirakan jumlah di Indonesia sekitar 90.000-130.000 kasus,

jumlah ini juga termasuk penderita yang tidak mengetahui dirinya terjangkit HIV

(BKKBN, 2006). Kota Bandung menjadi kawasan dengan kasus HIV/AIDS

terbanyak di propinsi Jawa Barat. Sejak tahun 1989 sampai Maret 2006 tercatat ada

322 kasus AIDS dan 397 kasus HIV positif di kota Bandung. Sedangkan pada

periode yang sama, di Jawa Barat sudah ada 1.735 kasus yang terdiri dari 466 kasus

AIDS dan 1.289 kasus HIV positif (Yuzar, 2006).

Kepala Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Dinas

Kesehatan Kota Bandung Fetty Sugiharti menyatakan bahwa, Jumlah pengidap

HIV/ AIDS di Kota Bandung berada di posisi teratas se-Jawa Barat. Hingga Agustus

2009, tercatat ada 1.744 orang yang terinfeksi HIV dan sebagian besar berusia

produktif dan berstatus sebagai pelajar (Dinkes Kota Bandung, 2009).

Status epidemic HIV AIDS di Kota Bandung masuk pada kategori epidemi

terkonsentrasi, penularan HIV pada kelompok populasi berisiko lebih dari 5% dan

ibu hamil kurang dari 1%. Kasus HIV AIDS sd Agustus 2016 tercatat sebanyak

3940 kasus, dengan kasus saat ditemukan HIV 2111 kasus dan AIDS 1829 kasus

dengan rata rata 200 sd 400 kasus baru pertahun. Penularan HIV pada ibu rumah

tangga (IRT) melalui transmisi seks yang saat ini mencapai 11,70 % dari kasus HIV

total, rata rata 40 orang IRT terinfeksi HIV pertahun (Dinkes Kota Bandung, 2016).
Daftar Pustaka

Baratawidjaja, K. G., Iris, R. 2009. Alergi Dasar Edisi ke-1. Jakarta: Interna
Publishing.
BKKBN 2006 HIV-AIDS: data dan permasalahannya Tersedia dalam (Diakses pada

25 Oktober 2017).

Castillo, Richard. Cell-Mediated Deficiency. 2005. Available from:


http://arapaho.nsuok.edu/~castillo/Cellmediateddeficiency..html.
[diakses pada 12 Juni 2017].
Depkes RI. 2013. Konsep Dasar konseling HIV AIDS. Available Online at
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Pedoman%20KT%20HIV%2 0
kawanua%20des%202013%20-%20rev%20290114%201-5.pdf [Diakses pada
tanggal 16 Oktober 2017].

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006. Pedoman Pelayanan


Kefarmasian untuk Orang dengan HIV/AIDS (Odha). Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.

Gaby Wandoyo, 2007. Awas HIV/AIDS. Dinamika Media: Jakarta.

th
Jawetz, Melnick and Adelbergs. Medical Microbiologi. 24 edition. Chapter 44.
AIDS & Lentiviruses. The United States of America : McGraw- Hill 2010.
Kurniasi, Nuning dkk. 2007. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006. Pusat
Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Mandal, B.k., Wilkins, E., Dunbar, E., dan Mayon, R. 2008. Lecture notes : penyakit
infeksi. Jakarta : Erlangga.
Menkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral. Jakarta : Katalog Dalam Terbitan Kementrian Kesehatan RI.
Nursalam, 2007. Manajemen Keperawatan Aplikasi dan Praktik Keperawatan
Profesional Edisi 2. Salemba: Jakarta.
Yuzar, I. B. 2006. Situasi HIV Jawa Barat Maret 2006. Makalah yang disajikan
dalam Pelatihan Konselor HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh Komit
HIV Rumah Sakit Immanuel Bandung, di Ruang Agape Lt.IV RS Immanuel ,

Anda mungkin juga menyukai