Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

I. Malaria
1.1 Definisi Malaria

Malaria merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat

intraseluler dari genus plasmodium Penyakit malaria secara alami ditularkan oleh

gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja

terutama penduduk yang tinggal di daerah dimana tempat tersebut merupakan tempat

yang sesuai dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang (Arsin, 2012).

1.2 Gejala Klinis Malaria

Keluhan dan tanda klinis adalah petunjuk yang penting dalam diagnosa

malaria. Gejala klinis ini dipengaruhi oleh jenis/strain Plasmodium , imunitas tubuh

dan jumlah parasit yang menginfeksi. Waktu mulai terjadinya infeksi sampai

timbulnya gejala klinis disebut sebagai waktu inkubasi, sedangkan waktu antara
terjadinya infeksi sampai ditemukannya parasit dalam darah disebut periode prepaten

(Harijanto, 2000).

Gejala malaria ditandai dari beberapa serangan demam dengan interval

tertentu (disebut parokisme), diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas

sama sekali dari demam disebut periode laten. Gejala yang khas tersebut biasanya

ditemukan pada penderita nonimun. Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita

merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual, di ulu

hati, atau muntah semua gejala awal ini disebut gejala prodormal. Masa tunas malaria

sangat tergantung pada spesies Plasmodium yang menginfeksi. Masa tunas paling

pendek dijumpai pada malaria falciparum, dan terpanjang pada malaria kuartana

(P.malariae). Pada malaria yang alami, yang penularannya melalui gigitan nyamuk,

masa tunas adalah 12 hari (9-14) untuk malaria falciparum, 14 hari (8-17 hari) untuk

malaria vivax, 28 hari (18-40 hari) untuk malaria kuartana dan 17 hari (16-18 hari)

untuk malaria ovale. Malaria yang disebabkan oleh beberapa strain P.vivax tertentu

mempunyai masa tunas yang lebih lama dari strain P.vivax lainnya. Selain pengaruh

spesies dan strain, masa tunas bisa menjadi lebih lama karena pemakaian obat anti

malaria untuk pencegahan (kemoprofilaksis) (Arsin, 2012).

1.3 Penyebab Malaria


Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium, pada manusia

terdapat 4 spesies yaitu P. falcifarum, P.vivax, P. malariae, P.ovale, P. facifarum

menyebabkan infeksi paling berat dan angka kematian tertinggi.

Sampai saat ini di Indonesia terdapat 4 macam (spesies) parasit malaria

(Arsin, 2012) :

a. Plasmodium falciparum penyebab malaria tropika yang sering

menyebabkan malaria yang berat/malaria otak dengan kematian.


b. Plasmodium vivax penyebab malaria tertiana.
c. Plasmodium malariae penyebab malaria quartana.
d. Plasmodium ovale jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di

Afrika dan Pasifik Barat.

Seorang penderita malaria dapat diinfeksi oleh lebih dari satu jenis

Plasmodium yang disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya paling

banyak dua jenis parasit, yakni campuran antara P. falciparum dengan P. vivax atau P.

malariae. Terkadang dijumpai tiga jenis parasit sekaligus, meskipun hal ini jarang

terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah yang tinggi angka penularannya

(Arsin, 2012).

Sifat parasit berbeda-beda untuk setiap spesies malaria dan hal ini

mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis dan juga penularan. P. falciparum

mempunyai masa infeksi yang paling pendek, namun menghasilkan parasitemia

paling tinggi, gejala yang paling berat dan masa inkubasi paling pendek. Gametosit P.
falciparum baru berkembang setelah 8 15 hari sesudah masuknya parasit ke dalam

darah. Gametosit P. falciparum menunjukkan periodisitas dan infektivitas yang

berkaitan dengan kegiatan vektor menggigit. P. vivax dan P. ovale pada umumnya

menghasilkan parasitemia yang rendah, gejala yang lebih ringan dan mempunyai

masa inkubasi yang lebih lama. Sporozoit P. vivax dan P. ovale dalam hati

berkembang menjadi Skizon jaringan primer dan Hipnozoit. Hipnozoit ini yang

menjadi sumber untuk terjadinya relaps (Arsin, 2012).

1.4 Vektor Malaria

Nyamuk Anopheles dewasa adalah vektor penyebab malaria. Nyamuk betina

dapat bertahan hidup selama sebulan. Siklus nyamuk Anopheles sebagai berikut

(CDC, 2004).

1.5 Diagnosa Malaria

Sebagaimana penyakit pada umumnya, diagnosis malaria didasarkan pada

manifestasi klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya

parasit (Plasmodium) di dalam darah penderita. Manifestasi klinis demam seringkali

tidak khas dan menyerupai penyakit infeksi lain (demam dengue, demam tifoid)

sehingga menyulitkan untuk mendiagnosis malaria dengan mengandalkan


pengamatan manifestasi klinis saja, untuk itu diperlukan pemeriksaan laboratorium

sebagai penunjang diagnosis sedini mungkin (Arsin,2012).

Secara garis besar pemeriksaan laboratorium malaria digolongkan menjadi

dua kelompok yaitu pemeriksaan mikroskopis dan uji imunoserologis untuk

mendeteksi adanya antigen spesifik atau antibody spesifik terhadap Plasmodium.

Namun yang dijadikan standar emas (gold standard) pemeriksaan laboratorium

malaria adalah metode mikroskopis untuk menemukan parasit Plasmodium di dalam

darah tepi. Uji imunoserologis dianjurkan sebagai pelengkap pemeriksaan

mikroskopis dalam menunjang diagnosis malaria atau ditujukan untuk survey

epidemiologi dimana pemeriksaan mikroskopis tidak dapat dilakukan. Sebagai

diagnosa banding penyakit malaria ini adalah Demam Tifoid, Demam Dengue, ISPA,

demam tinggi, atau infeksi virus akut lainnya (Depkes RI, 2003).

1.6 Penggolongan Obat Antimalaria

Obat antimalaria dapat dikelompokkan menurut efek atau cara kerja obat pada

parasit stadium eritrositik. Beberapa mekanisme kerja dan target dari obat malaria

yang telah diteliti oleh peneliti-peneliti pendahulu, antara lain (Winstanley et.al.,

2004):
a. Gangguan pencernaan hemoglobin dalam lisosom vakuola makanan (food

vacuola) parasit. Obat golongan 4-aminokuinolin sangat esensial dalam

mengganggu proses pencernaan hemoglobin oleh parasit dengan jalan

mengadakan interaksi dengan heme atau menghambat pembentukan

hemozoin. Target baru obat golongan ini adalah menghambat enzim

plasmepsin dan enzim falcipain yang berperan dalam pemecahan globin

menjadi asamasam amino. Hemozoin dan asam asam amino diperlukan untuk

pertumbuhan parasit, sehingga jika pembentukan dihambat maka parasit akan

mati.
b. Gangguan pada jalur folat dalam sitoplasma parasit. Obat antimalaria

Sulfadoxine Pyrimethamine (SP) dan kombinasi baru chlorproguanil-dapsone

(Lapdap) merupakan inhibitor kompetitif yang berperan dalam jalur folat.


c. Pengantar proses alkilasi. Generasi obat dari artemisin menghasilkan radikal

bebas yang berfungsi untuk mengalkilasi membran parasit.


d. Fungsi mitokondria. Mitokondria merupakan target obat baru yang potensial.

Kerja Atovaquone melalui penghambatan reduktase sitokrom c menjadi dasar

bersinergi dengan obat-obatan proguanil.


e. Apikoplas. Kerja obat antibiotik tetrasiklin di dalam apikoplast adalah dengan

mengganggu translasi protein.

1.7 Cara Kerja dan Mekanisme Obat Antimalaria

a. Klorokuin (Chloroquine / CQ)


Pada parasit terdapat enzim yang penting diantaranya adalah aspartic protease

dikenal dengan plasmepsin yang secara in vitro maupun in vivo berperan untuk

menginisiasi degradasi hemoglobin (Liu J. et.al., 2005). Kublin et.al., (2003)

menyatakan bahwa CQ bekerja dengan mengikat cincin feriprotoporfirin IX suatu

hematin yang merupakan hasil metabolisme hemoglobin didalam parasit. Ikatan

feriprotofirin IX dari CQ ini bersifat melisiskan membran parasit sehingga mati.

Konsentrasi sitotoksik dari CQ pada vakuola dapat menghambat pembentukan

hemozoin pada eritrosit (Yayon A et.al., 1984).

Penyebaran galur P. falciparum menyebabkan level resistensi parasit terhadap

CQ menjadi tinggi, walaupun demikian sampai sekarang CQ masih digunakan di

beberapa tempat di dunia (Winstanley et.al., 2004).

b. Meflokuin

Meflokuin adalah obat antimalaria golongan 4-metanol kuinolin. Mekanisme

kerja meflokuin sama dengan kloroquin. Meflokuin bersifat skizontosida darah untuk

ke 4 spesies Plasmodium manusia dan galur P. falciparum yang MDR, dosis yang

dianjurkan adalah 1529 mg/kgbb, peroral, dosis tunggal atau terbagi dalam 2 dosis

tiap 12 jam. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil trimester pertama (Olliaro PL

and Taylor WR, 2003). Pada penelitian pengobatan dengan pemberian meflokuin

pada penderita malaria falciparum dengan atau tanpa komplikasi menunjukkan bahwa

meflokuin efektif dan aman (Winstanley et.al., 2004).


c. Obat-obat yang Mengganggu Jalur Folat Parasit

Resistensi P. falciparum dan P. vivax, terhadap antifolat (pyrimethamin dan

cylcloguanil) dihasilkan dari akusisi sekuensial mutasi pada gen dihydrofolate

reduktase (dhfr). Mutasi juga menyebabkan terjadinya penurunan terhadap

kerentanan. Resistensi parasit terhadap sulfonamida dan sulfone yang dikombinasikan

dengan antifolate menghasilkan mutasi akuisisi sekuensial pada gen dihydropteroate

synthase (dhps) yang mengkode enzim sinthase dihidropteroate (Plowe CV, 2003).

Reaksi yang ditimbulkan dari obat golongan antifolate sangat luas sehingga

dapat mengganggu sintesa DNA melalui deplesi pada tetrahydrofolate dan merupakan

kofaktor yang penting pada jalur folat. Ada dua jalur penting yang terkait, yaitu

(Winstanley et.al., 2004):

Sebagai kompetitif inhibitor pada enzim dihydrofolate reduktase

(DHFR). Kelompok tersebut antara lain pyrimethamine dan biguanides

proguanil serta chlorproguanil (keduanya dibutuhkan pada

biotransformasi untuk triazines cycloguanil dan chlorcycloguanil pada

enzim DHFR.
Sebagai kompetitif inhibitor dari enzim dihydropteroate synthase

(DHPS) menjadi enzim yang utama pada jalur folat.


d. Obat Antimalaria yang Bekerja sebagai Pengantar Proses Alkilasi (Qinghaosu

Artemisinin)
Qinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpen lakton yang

bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax. Obat ini merupakan obat

tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan

Artemesia annua (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan tahun lalu. Qinghaosu

tidak diberikan pada wanita hamil karena efek toksik (Meshnick SR et.al., 1996).

Artemisinin termasuk ke dalam kelompok senyawa seskuiterpen lakton, bukan

alkaloid atau amina seperti pada kuinin. Struktur molekul artemisin mengandung

jembatan peroksida, diyakini ampuh pada kerja obat dan dapat menginduksi oksidatif

stres. Obat artemisin diketahui bekerja secara spesifik pada tahap eritrositik

(Meshnick SR et.al., 1996; Schmuck G et.al., 2002).

Artemisinin mempunyai 4 derivat yaitu (Winstanley et.al., 2004):

Artemisinin (tablet untuk peroral dan supositoria untuk perektal)


Artesunate (tablet untuk peroral dan bubuk kering yang dilarutkan

dengan larutan NaHCO3 5% untuk pemberian intravena atau

intramuskular)
Artemether (larutan minyak dalam kapsul untuk peroral dan dalam

ampul untuk pemberian intramuskular)


Arteether (dalam larutan ether untuk pemberian intramuskular).

1.8 Pencegahan Resistensi dengan Kombinasi Obat Antimalaria


Pengobatan kombinasi dilakukan bila sudah ada studi tentang pola resistensi

di suatu daerah melalui survei resistensi. Bila suatu obat sudah mengalami resistensi

> 25% maka obat tersebut dianjurkan untuk tidak digunakan. Tujuan dari terapi

kombinasi adalah untuk meningkatkan efikasi antimalaria maupun aktivitas

sinergestik antimalaria dan memperlambat progresifitas resistensi parasit terhadap

obat antimalaria yang baru (Rosenthal PJ, 2003).

Untuk mencegah kemungkinan adanya kekebalan parasit malaria terhadap

obat antimalaria, WHO menghimbau beberapa negara agar hanya menggunakan

Artemisinin Combination Therapy (ACT) yang telah disetujui WHO, yaitu

artemisinin yang dikombinasikan dengan amodiaquine, lumefantrine, mefloquine atau

SP dengan kualitas terbaik. Selain itu juga diperlukan adanya pemberitahuan secara

intensif kepada masyarakat pengguna ACT agar menjalankan proses pengobatan

secara lengkap hingga selesai (White T et.al., 2004).


Winstanley P, Ward S, Snow R, & Breckenridge A. Therapy of Falciparum Malaria in

Sub-Saharan Africa: from Molecule to Policy. Am. Soc for Microbiol 2004;

17(3): 612-637.

Liu J, Gluzman IY, Drew ME and Goldberg DE. The Role of Plasmodium falciparum

Food Vacuole Plasmepsin. The Journal of Biological chemistry 2005; 280

(2): 1432-1437.

Kublin JG, JF Cortese, EM Njunju, RA Mukadama, JJ Wirima, PN Kazembe, AA.

Djimde, B Kouriba, and CV Plowe. Reemergence of Chloroquine-Sensitive

Plasmodium falciparum Malaria after Cessation of Chloroquine Use in

Malawi. J. Infect. Dis. 2003; 187: 18701875.

Yayon A, R Timberg, S Friedman, and H Ginsburg. Effects of Chloroquine on the

Feeding Mechanism of the Intraerythrocytic Malarial Parasite Plasmodium

falciparum. J. Protozool 1984; 31: 367-372.

Olliaro PL and Taylor WR. Antimalarial Compounds: from Bench to Bedside. J. Exp

Biol 2003; 206: 37533759.

Plowe CV. Monitoring Antimalarial Drug Resistance: Making the Most of Thetools at

Hand. J. Exp. Biol 2003; 206: 37453752.


Meshnick SR, Taylor TE, and Kamchonwongpaisan. Artemisin and the Antimalarial

Endoperoxides: from Herbal Remedy to Targeted Chemotetherapy. Am. Sos.

for Micro 1996; 301-315.

Schmuck G, Roehrdanz E, Haynes RK, and Kahl R. Neurotoxic Mode of Action of

Artemisinin. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 2002; 821827.

Rosenthal PJ. Antimalarial Drug Discovery: Old and New Aproach. The J. of Exp.

Biol. 2003; 206: 3735-3744.

White T, Clode S, Ward S, Gaunt I, Powell C and Clark R. Developmental Toxicity of

the Antimalarial Artesunate in Rats and Rabbit. Birth Defects. Res. Part A

Clin. Mol. Teratol 2004; 70: 265.

Arsin, A.A. 2012. MALARIA DI INDONESIA Tinjauan Aspek Epidemiologi.

MASAGENA PRESS ANGGOTA IKAPI, Makassar.

Harijanto, Nugroho dan Gunawan Carta A. 2009. Malaria Dari Molekuler Ke Klinis.

Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

CDC, Malaria, Anopheles Masquitoes, National Center For Infectious Diseases,

Division Of Parasitic Diseses 2004.

Depkes RI,. 2003. Epidemiologi Malaria, Direktorat Jenderal PPM-PL, Departemen

Kesehatan RI, Jakarta 2003

Anda mungkin juga menyukai