Anda di halaman 1dari 24

Makalah Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan

POTENSI BIOWAVER SIMETIDIN

Dosen: Taofik Rosdiana, M.Si., Ph.D., Apt.

Disusun oleh:

Dewi Okta Briana 260112140508


Viktoria F. Anu 260112140538
Gita Gracia M. 260112140568
Alvina Arum P. 260112140598

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................2

2.1 Biowaiver Berbasis BCS...........................................................................2

2.2 Potensi obat BCS Kelas III........................................................................8

BAB III PEMBAHASAN .....................................................................................10

3.1 Karakteristik Umum................................................................................10

3.2 Sifat Kimia...............................................................................................11

3.3 Sifat Farmakokinetik...............................................................................12

3.4 Dossage Form Performance...................................................................14

3.5 Diskusi.....................................................................................................17

3.6 In vivo-In vitro Correlation.....................................................................18

BAB IV SIMPULAN.............................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Monografi ini menjelaskan tentang simetidin dengan mematuhi

kemungkinan uji bioekivalensi secara in vivo untuk persetujuan bentuk sediaan

oral solid baru dan/atau terformulasikan sebagai pelepasan cepat (IR). Dalam

penilaian beresiko ini, resiko terdefinisikan sebagai kemungkinan dari aplikasi

yang tidak benar dari biowaiver dan konsekuensi dari biowaiver yang tidak benar

adalah keputusan dalam resiko kesehatan masyarakat dan pasien. Monografi

tentang verapamil, propranolol, atenolol, klorokuin, ranitidin hidroklorida,

ibuprofen, asetaminofen, dan amitriptilin telah terpublikasikan. Meskipun pada

April 2003, simetidin telah digantikan dengan ranitidin di daftar obat esensial

WHO, penggunaannya tetap tersebar luas. Secara singkat, tujuan dari monografi

adalah untuk mengevaluasi semua data bersangkutan yang tersedia dari sumber

literatur, untuk Active Pharmaceutical Ingredients (API) yang terdaftar dalam

daftar Obat Esensial WHO dan/atau kegunaan umum, dengan menilai apakah

biowaiver tersebut sesuai atau tidak, dan jika sesuai, dibawah pembatasan.

Pendekatan biowaiver berbasis BCS (Biopharmaceutics Classification

System) dimaksudkan untuk mengurangi studi bioekivalensi (BE) in vivo. Studi

BE in vivo dapat dibebaskan jika asumsi kesetaraan dalam kinerja in vivo dapat

dibenarkan oleh data in vitro. Biowaiver berbasis BCS dimaksudkan untuk

menjawab pertanyaan tentang BE antara tes khusus dan produk referensi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biowaiver Berbasis BCS


Penerapan biowaiver berbasis BCS dibatasi untuk zat obat yang sangat larut

dan dianggap tidak memiliki indeks terapeutik yang sempit. Namun, ini tidak

berlaku untuk sublingual, bukal, dan formulasi pelepasan yang dimodifikasi.

Untuk formulasi orodispersible pendekatan mungkin hanya berlaku bila

penyerapan dalam rongga mulut dapat dikecualikan. Biowaivers berbasis BCS

dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang bioekivalensi antara tes khusus

dan produk referensi. Prinsip-prinsip dapat digunakan untuk menetapkan

bioekivalensi dalam aplikasi untuk produk obat generik, ekstensi produk inovator,

variasi yang membutuhkan pengujian bioekivalensi.


2.1.1 Ringkasan Persyaratan
Biowaiver berbasis BCS berlaku untuk produk obat pelepasan cepat jika:
i. zat obat telah terbukti menunjukkan kelarutan yang tinggi dan terabsorbsi

sempurna (BCS kelas I )


ii. sangat cepat (> 85% dalam 15 menit) atau sama cepat (85% dalam waktu

30 menit) karakteristik disolusi in vitro tes dan produk referensi telah

dibuktikan mempertimbangkan persyaratan tertentu dan eksipien


iii. Eksipien mempengaruhi kesamaan bioavailabilitas secara kualitatif dan

kuantitatif. Pada umumnya, penggunaan eksipien yang sama dalam jumlah

yang sama lebih disukai.

Biowaiver berbasis BCS juga berlaku untuk produk obat fast-released, jika:

i. zat obat telah terbukti menunjukkan kelarutan yang tinggi dan absorbsi

yang terbatas (BCS kelas III)

2
ii. Tes disolusi in vitro sangat cepat (> 85% dalam waktu 15 menit) dan

produk referensi telah dibuktikan mengingat adanya persyaratan tertentu

iii. Eksipien mempengaruhi kesamaan bioavailabilitas secara kualitatif dan

kuantitatif dan eksipien yang lain secara kualitatif sama dan secara

kuantitatif sangat mirip

Umumnya risiko dari keputusan ketidakpantasan biowaiver harus lebih

kritis (misalnya tempat absorbsi yang spesifik, risiko interaksi transportasi protein

di lokasi penyerapan, komposisi eksipien dan risiko terapi) untuk produk yang

mengandung BCS kelas III daripada zat obat pada BCS kelas I.

2.1.2 Bahan Obat


Biowaiver mungkin berlaku bila zat aktif (s) dalam pengujian dan referensi

produk identik. Biowaiver mungkin juga berlaku jika tes dan referensi

mengandung garam yang berbeda asalkan keduanya termasuk BCS kelas I

(kelarutan tinggi dan terabsorbsi sempurna). Biowaiver tidak berlaku bila produk

uji mengandung ester yang berbeda, eter, isomer, campuran isomer, kompleks atau

turunan zat aktif dari produk referensi, karena perbedaan-perbedaan ini mungkin

menyebabkan ketersediaan hayati yang berbeda tidak deducible dengan cara

eksperimen yang digunakan dalam konsep biowaiver berbasis BCS.


1. Kelarutan
Profil pH-kelarutan zat obat harus ditentukan dan dibahas. Bahan obat

dianggap sangat larut jika dosis tunggal tertinggi dikatakan formula IR yang

benar-benar larut dalam 250 ml buffer dalam kisaran pH 1-6,8 pada 371C.

Demonstrasi ini membutuhkan penyelidikan setidaknya tiga buffer dengan

kisaran (sebaiknya padapH 1,2, 4,5 dan 6,8). Pengulangan percobaan di

setiap kondisi pH mungkin diperlukan untuk mencapai klasifikasi kelarutan

3
yang jelas (misalnya metode kocok-labu atau metode lainnya yang

dibenarkan). PH larutan harus diverifikasi terlebih dahulu dan setelah

penambahan zat obat ke dalam buffer.


2. Penyerapan
Demonstrasi terabsorbsi sempurna pada manusia lebih disukai untuk

pengaplikasian biowaiver berbasis BCS. Untuk tujuan ini terabsorbsi

sempurna diukur pada tingkat penyerapan 85%. Terabsorbsi sempurna

umumnya terkait dengan permeabilitas tinggi.


Absorbsi sempurna obat harus dibenarkan berdasarkan investigasi

yang dapat diandalkan pada manusia. Data dari penelitian tentang

bioavailabilitas absolut atau mass-balance dapat digunakan untuk

mendukung klaim ini. Ketika data dari studi mass-balance digunakan untuk

mendukung terabsorbsi sempurna, maka harus dipastikan bahwa metabolit

diperhitungkan dalam penentuan fraksi terserap setelah penyerapan. Oleh

karena itu, ketika mengacu pada radioaktivitas total yang diekskresikan

dalam urin, harus dipastikan bahwa tidak ada degradasi atau metabolisme

zat obat tidak berubah dalam cairan lambung atau usus. Metabolisme Tahap

1 oksidatif dan Tahap 2 conjugative hanya dapat terjadi setelah penyerapan

(yaitu tidak dapat terjadi dalam lambung atau cairan usus). Oleh karena itu

data dari studi keseimbangan massa, mendukung absorbs komplit jika

Jumlah pemulihan urin dan feses metabolit obat Tahap 1 oksidatif dan

Tahap 2 conjugative mencapai 85% dari dosis.


Selain zat obat yang sangat larut dan terabsorbsi sempurna, senyawa

BCS kelas III, bisa memenuhi syarat untuk biowaiver jika memenuhi

prasyarat tertentu mengenai komposisi produk dan disolusi in vitro.

4
Persyaratan yang lebih ketat juga akan berlaku untuk senyawa yang

diusulkan untuk menjadi kelas BCS kelas I jika terabsorbsi sempurna tidak

bisa ditunjukkan.
Dilaporkan bioekivalensi antara formulasi aqueous dan senyawa padat

tertentu yang diberikan melalui rute oral mungkin mendukung

menunjukkan bahwa keterbatasan absorbsi karena karakteristik (immediate

release) formulasi dapat diabaikan. Dilakukan investigasi permeabilitas in

vitro termasuk standar acuan untuk mendukung data in vivo


2.1.3 Produk obat
1. Disolusi in vitro
a. Aspek umum
Investigasi yang berkaitan dengan produk obat harus menjamin sifat

pembebasan segera (IR) dan bukti kesamaan antara produk investigasi, yaitu

pengujian dan referensi serupa dalam disolusi in vitro di bawah kondisi pH

fisiologis yang relevan. Namun, hal ini tidak menentukan korelasi in vitro / in

vivo. Disolusi in vitro harus diselidiki dalam kisaran pH 1-6,8 (pada pH

sedikitnya 1,2, 4,5, dan 6,8). Penyelidikan tambahan mungkin diperlukan

pada pH di mana bahan obat memiliki kelarutan minimum. Penggunaan

surfaktan apapun tidak dapat diterima. Test dan referensi produk harus

memenuhi persyaratan. Sejalan dengan persyaratan ini disarankan untuk

menyelidiki lebih dari satu batch tunggal dan produk referensi.


Percobaan perbandingan disolusi in vitro harus mengikuti standar

kompendial saat ini. Oleh karena itu, deskripsi menyeluruh pengaturan

eksperimental dan metode analisis termasuk data validasi harus disediakan.

Disarankan untuk menggunakan 12 unit produk untuk setiap percobaan untuk

memungkinkan evaluasi statistik . Kondisi percobaan yang biasa misalnya


1) Aparatur: paddle atau basket

5
2) Volume media disolusi: 900 ml atau kurang
3) Suhu media disolusi: 37 1 C
4) Agitasi: paddle apparatus - biasanya 50 rpm dan basket apparatus

biasanya 100 rpm


5) Jadwal Sampling : mis 10, 15, 20, 30 dan 45 menit
6) Buffer: pH 1,0-1,2 (biasanya 0,1 N HCl atau SGF tanpa enzim), pH 4,5,

dan pH 6,8 (atau SIF tanpa enzim);


7) Kondisi lain: tidak ada surfaktan; dalam kasus kapsul gelatin atau tablet

dengan penyalut gelatin penggunaan enzim dapat diterima.

Dokumentasi lengkap dari percobaan disolusi in vitro diperlukan

termasuk protokolpenelitian, informasi batch pada pengujian dan batch

referensi, kondisi rinci eksperimental, validasi metode percobaan, individu

dan hasil rata-rata dan ringkasan masing-masing statistik.

b. Evaluasi hasil disolusi in vitro


Produk obat dianggap 'sangat cepat' melarutkan ketika lebih dari 85%

terlarut dalam 15 menit. Dalam kasus, di mana ini dijamin kesamaan tes dan

produk referensi profil disolusi dapat diterima seperti yang ditunjukkan tanpa

perhitungan matematis.
Tidak adanya perbedaan yang relevan (kesamaan) harus dibuktikan dalam

kasus di mana dibutuhkan lebih dari 15 menit tetapi tidak lebih dari 30 menit

untuk mencapai disolusi hampir sempurna (setidaknya 85% dari jumlah

berlabel). Pengujian F2 atau tes lain yang sesuai harus digunakan untuk

menunjukkan kesamaan profil uji dan referensi. Namun, pembahasan

perbedaan profil disolusi dalam hal klinis/ relevansi terapi dianggap tidak

pantas karena penyelidikan tidak mencerminkan korelasi in vitro/in vivo.


2. Eksipien
Meskipun dampak eksipien dalam bentuk sediaan immediate release

pada bioavailabilitas dari zat obat yang kelarutannya tinggi dan benar-benar

6
terserap (yaitu, BCS kelas I) dianggap agak tidak mungkin, itu tidak bisa

sepenuhnya dikecualikan. Oleh karena itu, bahkan dalam kasus obat kelas I

disarankan menggunakan jumlah yang sama dari eksipien yang sama dalam

komposisi uji seperti pada produk referensi. Jika biowaiver diterapkan untuk

zat obat BCS kelas III eksipien harus memiliki kualitatif yang sama dan

kuantitatif yang sangat mirip untuk mengeluarkan efek yang berbeda pada

transporter membran.
Sebagai aturan umum, untuk kedua BCS kelas I danBCS kelas III

penentuan Jumlah eksipien harus digunakan dan kemungkinan interaksi yang

mempengaruhi bioavailabilitas obat dan / atau Karakteristik kelarutan harus

dipertimbangkan dan dibahas. Eksipien yang mungkin mempengaruhi

bioavailabilitas, seperti misalnya sorbitol, mannitol, sodium lauryl sulfate

atau surfaktan lainnya, harus diidentifikasi serta kemungkinan dampaknya

terhadap:
a. Motilitas gastrointestinal
b. Kerentanan nteraksi dengan zat obat (misalnya kompleksasi)
c. Permeabilitas obat
d. Interaksi dengan transporter membran

Eksipien yang mungkin mempengaruhi bioavailabilitas harus sama

secara kualitatif dan kuantitatif dalam produk uji dan produk referensi.

2.1.4 Kombinasi Tetap (FCS)


Biowaiver berbasis BCS berlaku untuk produk FC IR jika semua zat aktif

dalam FC milik BCS kelas I atau III dan eksipien memenuhi persyaratan. Jika

tidak, maka diperlukan pengujian bioekivalensi in vivo.

7
2.2 Potensi obat BCS Kelas III
Penyerapan obat Kelas III kemungkinan dibatasi oleh permeabilitas dan

kurang bergantung pada perumusannya. Oleh karena itu, jika disolusi in vitro

produk obat kelas III cepat dalam semua kondisi fisiologis pH, dan jumlah dan

sifat eksipien maka diperkirakan tidak akan mempengaruhi bioavailabilitas, di

mana perilaku in vivo akan sama untuk larutan oral. Misalnya, Jantratid et al.

melaporkan bahwa kemampuan absorbsi in vivo dari sepuluh produk IR yang

mengandung simetidin (BCS senyawa kelas III) adalah serupa meskipun ada

perbedaan yang cukup besar dalam profil disolusi in vitro. Demikian juga,

simulasi yang menunjukkan bahwa formulasi metformin (BCS Kelas obat III)

yang melepaskan 100% in vitro dalam jangka waktu yang sama atau kurang dari

dua jam diharapkan bioekuivalen. Dalam studi ini, dibutuhkan informasi

mengenai komposisi, disolusi in vitro/permeabilitas in vivo dari nominal obat

BCS Kelas III. Yang menjadi pertanyaan utama adalah:

1) kontribusi transporter usus, metabolisme serta absorbsi obat di dinding usus;


2) interaksi eksipien dengan transporter usus atau enzim metabolik; dan
3) Profil disolusi produk obat tersebut dalam kaitannya dengan penyerapan obat.

Berdasarkan studi ini, FDA bermaksud membuat daftar eksipien umum

berkaitan dengan informasi tentang efeknya pada penyerapan obat, dan untuk

menentukan sensitivitas studi BE invivo variasi dalam disolusi in vitro.

Atenolol, simetidin dan ranitidine hidroklorida juga diidentifikasi sebagai

BCS Kelas III tetapi dalam kasus ini permeabilitas jatuh jauh di bawah kriteria

yang sangat permeabel. Berdasarkan bukti ilmiah dalam literatur sehubungan

dengan efek eksipien pada penyerapan dan risiko terhadap pasien, itu dianggap

tepat untuk menerapkan biowaiver. Dalam kasus simetidin dan ranitidin, dianggap
8
perlu untuk menerapkan "kriteria sangat cepat melarutkan" untuk disolusi,

sebaliknya, perbandingan disolusi cepat dengan f2 sangat memadai.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Umum

Nama INN: Simetidin, Nama Kimia : N-cyano-N-methyl-N-[2([5-methyl-

1H-imidazol-4-yl)methyl]ethyl] guanidin. Strukturnya dapat dilihat pada Figure 1.

Indikasi Terapetik: Simetidin merupakan satu dari beberapa antagonis

reseptor histamine H2 yang digunakan secara luas dimana penghambatan sekresi

asam lambung dapat menguntungkan, seperti ulcer lambung dan duodenal. Zat ini

mereduksi pengeluaran pepsin dan secara kompetitif menghambat aksi dari

histamine pada reseptor histamine H2 pada sel parietal.

Indeks Terapetik dan Toksisitas: Pada penggunaan umum, totala dosis harian

melalui rute administrasi tidak boleh melebihi 2.4 g, dimana dosis standarnya

adalah 800 mg. Namun, tidak ada reaksi efek samping yang signifikan secara

klinik yang ditemukan dalam studi uji toksisitas dari dosis berlebih seimtidin 5.2-

20 g pada pasien dengan fungsi ginjal normal, termasuk seorang pasien

mengkonsumsi simetidin 12 g/hari selama 5 hari. Reaksi efek samping pada

simetidin jarang terjadi, timbul biasanya sekitar 5%. Efek ini biasanya reversible

sesuai reduksi dari dosis atau penarikan kembali terapi. Oleh sebab itu, dapat

disimpulkan bahwa simetidin memiliki indeks terapi yang luas.

9
3.2 Sifat Kimia
a. Garam, Ester, dan Polimorf

Garam hidroklorida dari simetidin ada, tetapi hanya digunakan dalam

bentuk cairan dan injeksi. Monografi ini hanya berhubungan dengan basis bebas.

Empat bentuk polimorf dari simetidin, bentuk A, B, C (anhidrat), dan D

(monohidrat) telah terlaporkan. Bentuk polimorf telah terlihat mempengaruhi sifat

fisikokimia, bioavailabilitasnya, sebaik efikasi klinik dari simetidin. Kecepatan

disolusinya konstan dalam air pada bentuk C telah ditemukan yaitu 1.29, 1.70, dan

1.90 kali lebih baik daripada yang terukur pada bentuk A, D, dan B, berturut-turut.

Namun, bentuk polimorf A telah ditemukan bahwa yang paling mudah dibentuk

menjadi tablet yang stabil secara fisik dan digunakan secara komersial dalam

semua bentuk obat simetidin yang tersedia.

b. Kelarutan

Simetidin sedikit larut dalam air. Kelarutannya dalam air adalah 11.4 mg/mL

pada suhu 37o C pH 9.3. Kelarutan minimumnya ditentukan pada rentang pH 1-8

pada suhu 37o C adalah 6 mg/mL.

c. Koefisien Partisi

Koefisien partisi n-oktanol/air (log P) dari simetidin dilaporkan yaitu 2.5

pada pH 9.2. Perhitungan menggunakan metode fragmentasi berdasarkan

10
kontribusi atom pada lipofilisitas dan menggunakan program C log P memberikan

nilai 0.35 (C log P) dan 0.79 (log P). Pekerja lain terlaporkan bahwa nilai log P

adalah 0.48, menjadi nilai log D paling memungkinkan tersedia pada nilai pH

paling rendah.

d. pKa

Simetidin adalah basa lemah dengan nilai pKa terlaporkan yaitu 6.80 dan

6.93. Dengan begitu menunjukkan, secara terpisah, dalam bentuk terionisasi pada

saluran gastrointestinal (GI) bagian atas.

e. Kekuatan Bentuk Sediaan

Kekuatan dengan Kebijakan Pemasaran (MA) di Jerman (DE) dan Belanda

(NL) mengandung 200, 400, dan 800 mg. Di Finlandia (FI), hanya 400 mg yang

memiliki MA.

3.3 Sifat Farmakokinetik


a. Absorpsi dan Bioavailabilitas

Simetidin dapat dengan cepat, walau secara tidak sempurna, diabsorpsi

setelah pemberian oral. BA simetidin pada subjek sehat adalah 56-68% dan pada

pasien dengan penyakit tukak lambung sekitar 70%. Dalam kondisi lambung

terisi, absorpsi simetidin sedikit terlambat namun jumlah yang diabsorpsi tidak

berbeda signifikan dengan kondisi puasa. Sebuah studi BA pada pasien dengan

massive bowel restriction menunjukkan penurunan absorpsi simetidin, yang

berakibat pada perpindahan cepat obat melalui saluran pencernaan. Baik absorpsi

maupun klirens simetidin linear pada dosis terapetiknya. Setelah pemberian oral

pada kondisi puasa, simetidin umumnya menunjukkan dua puncak atau beberapa

11
puncak yang tidak menentu di profil konsentrasi-waktu obat dalam plasma.

Fenomena dua puncak tersebut tidak relevan untuk pertimbangan suatu biowaver.

b. Permeabilitas

Nilai permeabilitas simetidin diperoleh dari beberapa penelitian, diantaranya

mengatakan bahwa mekanisme permeabilitas simetidin menunjukkan nilai

absorpsi yang rendah. Berdasarkan penelitian perfusi usus simetidin melewati

epitel jejunal dan uptake usus pada tikus, diduga jalur paraselular memainkan

peran penting pada transpor simetidin. Metabolit major simetidin, S-oksida,

diketahui menjadi regulator pada absorpsi simetidin via rute paraselular. Untuk

itu, menggunakan in vitro model untuk memahami transpor simetidin dan H2

antagonis lain, ditemukan bahwa grup API (Active Pharmaceutical Ingridients) ini

dapat berpotensi menurunkan permeabilitas epitelnya sendiri melalui modulasi

persimpangan yang ketat.

c. Distribusi

Volume distribusi simetidin, baik dalam kondisi steady-state maupun

volume area distribusi adalah 0,81,39 L/kg. Ikatan protein plasma cukup rendah,

yaitu 19%.

d. Metabolisme dan Ekskresi

Simetidin dan metabolitnya dieliminasi secara predominan melalui ginjal.

Sekitar 50% - 80% dari dosis yang diberikan secara iv ditemukan tidak berubah

dalam urin. Waktu paruh eliminasi simetidin setelah pemberian iv mencapai 2 jam

12
pada orang dewasa sehat. Metabolisme simetidin terhitung 25%-40% dari total

eliminasi dari simetidin dan dipengaruhi oleh usia. Permeabilitas usus yang relatif

rendah ditambah proses metabolismenya diduga bertanggungjawab untuk BA oral

simetidin yang rendah.

3.4 Dossage Form Performance

a. Eksipien
Sebuah studi tentang efek manitol pada penyerapan simetidin diperoleh

setelah pemberian tablet kunyah atau larutan oral yang mengandung 200 mg

simetidin yang diformulasikan dengan 2,264 g manitol radio berlabel atau sukrosa

radio berlabel menunjukkan bahwa BA setelah pemberian formulasi simetidin

mengandung manitol jauh lebih rendah, dibandingkan dengan yang mengandung

sukrosa. Diperkirakan bahwa pengurangan waktu transit GI adalah alasan utama

terhadap pengurangan absorbsi obat. Jumlah manitol yang digunakan lebih tinggi

dari jumlah biasanya dalam IR bentuk sediaan padat oral. Untuk manitol, jumlah

tertinggi yang ada dalam tablet oral IR dengan MA di Amerika Serikat adalah 607

mg, di mana itu kurang dari 1/3 jumlah yang digunakan dalam penelitian.

pengaruh natrium lauril sulfat pada penyerapan simetidin juga telah dipelajari.

Kemampuan natrium lauril sulfat untuk meningkatkan permeabilitas di

monolayers sel telah didemontrasikan. Sodium lauril sulfat digunakan dalam

beberapa formulasi, termasuk inovator, Tagamet. Namun, hasil invivo manusia

yang diperoleh dari Tagamet tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan bila

dibandingkan dengan formulasi yang tidak mengandung sodium lauryl sulphate.

Beberapa penyelidikan mengevaluasi dampak dari eksipien telah dilakukan pada

13
penyerapan ranitidin, karena API nya terkait erat dengan simetidin. Ini dibahas di

monografi biowaifer dari ranitidine, yang disimpulkan bahwa eksipien osmotik

aktif dalam konsentrasi tinggi mengurangi BA ranitidine dengan mengurangi

waktu transit GI. Kesimpulan ini akan berlaku untuk Simetidin juga, mengingat

kesamaan dari kedua API dan selanjutnya didukung oleh pengamatan dengan

mannitol. Eksipien dalam produk simetidin IR di DE (Jerman), FI (Finlandia), dan

NL (Belanda) tercantum dalam Tabel 2. Sebelumnya monograf MA bentuk

sediaan oral padat IR diambil sebagai indikator bahwa produk obat tersebut telah

lulus uji BE secara in vivo. Namun, untuk simetidin, ini tidak dapat diasumsikan.

Komite bioavailabilitas Jerman mengklasifikasikan simetidin pada tahun

1998 sebagai API yang uji BE secara in vivo nya tidak perlu dipertimbangkan.

Setelah mengadopsi Catatan Eropa untuk Bimbingan BA/BE yang

14
memperkenalkan BCS, pihak berwenang di DE (Jerman) menyelaraskan system

mereka dengan peraturan di Eropa. Dengan demikian, penghapusan simetidin dari

daftar API uji BE secara in vivo dianggap tidak perlu didasarkan pada insiden

apapun dengan produk tertentu dan MA yang diberikan di bawah ketentuan yang

tidak ditarik kembali. Bagaimanapun produk obat yang dilaporkan dalam Tabel 2

berada dalam efek terapi, dan karenanya kita dapat mengasumsikan bahwa,

meskipun beberapa produk obat ini tidak akan bioekuivalen dengan inovator,

produk obat ini aman dan efektif.


b. Disolusi
Pada monografi USP tablet simetidin, spesifikasi disolusi '' tidak kurang dari

80% (Q) larut dalam 15 menit di 900 ml 0,01 N HCl, '' menggunakan keranjang di

100 rpm. Untuk satu merek tablet simetidin generik, menunjukkan bahwa kedua

kriteria f2 memiliki kesamaan profil disolusi dan in vivo BE dengan inovator.

Kriteria biowaifer ini menyatakan bahwa, selain kesamaan profil disolusi, tes dan

komparator produk obat keduanya harus '' cepat terlarut, '' yang didefinisikan :

tidak kurang dari 85% pelepasan API dalam 30 menit, menggunakan kondisi

disolusi yang dijelaskan di dalamnya. Metode disolusi yang sama ini digunakan

untuk mengevaluasi secara acak produk obat IR simetidin terpilih. ditemukan

bahwa semua produk obat tersebut menunjukkan sifat kelarutan yang cepat dalam

batasan BCS. Selain itu, tablet simetidin dirumuskan memiliki sifat pelepasan

yang berbeda yang diselidiki untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan

disolusi in vitro dan penyerapan invivo. Ditemukan bahwa disolusi akan menjadi

tingkat-menentukan hanya ketika jatuh di bawah 85% dalam 120 menit. Hasil ini

sangat mendukung batasan permeabilitas simetidin. Laporan dari API BCS kelas

15
III lainnya mendukung penemuan inisebanding dengan profil waktu konsentrasi

plasma untuk Ranitidin hidroklorida yang memiliki pola pelepasan cepat in vitro

dalam 900 mL air dengan menggunakan metode dayung di 50 rpm . Hasil

menunjukkan bahwa ada perbedaan laju disolusi, tapi semua empat formulasi

ditemukan menjadi bioekuivalen di satu kuadran, BE dosis tunggal in vivo. Para

penulis menyimpulkan bahwa perbedaan tingkat kelarutan diamati 30 menit lebih

awal walaupun memiliki konsekuensi pengabaian in vivo. Hasil yang sama

diperoleh untuk produk obat metformin, mencatat bahwa metformin juga BCS

Kelas III. Secara keseluruhan, data yang tersedia sampai saat ini untuk senyawa

kelas III menyarankan bahwa prosedur biowaiver pantas dilakukan untuk

beberapa produk.

3.5 Diskusi

Menurut kriteria klasifikasi bahan aktif, Simetidin tergolong ke dalam BCS

(Biopharmaceutical Classification System) Kelas III karena memiliki kelarutan

tinggi, dan permeabilitas yang rendah. Simetidin dapat larut dengan baik dan

cepat pada kondisi pH asam, karena Simetidin memang ditujukan untuk hancur di

traktus gastrointestinal atas, maka Simetidin tidak memiliki masalah dalam

kelarutannya. Akan tetapi, permebilitas obat yang rendah membuat Simetidin sulit

menembus membran intestinal dengan uji baik secara in vitro maupun in vivo,

akibatnya absorbsi obat juga menjadi rendah. Rendahnya permeabilitas ini tidak

dipengaruhi oleh bahan eksipien, akan tetapi merupakan sifat dari zat aktif obat

Simetidin sendiri. Sebagai tambahan, penelitian yang dilakukan telah

membuktikan bahwa eksipien tidak berpengaruh secara signifikan dalam absorbsi

16
Simetidin bentuk oral solid immediate release. Untuk Simetidin yang

diformulasikan dalam bentuk oral solid immediate release, memiliki risiko yang

kecil untuk mengalami permasalahan bioekivalensi. Meskipun Simetidin yang

dibuat dalam bentuk oral solid immediate release tidak akan bioekivalen dengan

produk inovator, obat tersebut akan aman dan efektif. Sehingga, biowaiver

disetujui untuk simetidin dalam bentuk oral solid immediate release dengan

eksipien yang telah teruji bioekivalensinya.

3.6 In vivo-In vitro Correlation


Berikut merupakan jurnal terkait IVIVC simetidin:

a. Uji Disolusi

Sebuah produk tablet simetidin komersial (Tagamet) diuji profil

disolusinya. Profil disolusi dibuat berdasarkan konsentrasi rata-rata dari enam

tabung selama waktu uji. Sampel diambil pada menit ke 7.5, 15, 30, 45, 60 dan

90. Uji disolusi tiga formulasi simetidin, dengan kandungan metakrilat kopolimer

17
7.5%, 15%, dan 26% dilakukan pada empat media (pH 2.0, 4.5, 6.8, dan pH 6,5).

Dan sampel diambil pada menit ke 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300 dan 360.

b. Uji Bioavailibilitas

Berikut merupakan grafik yang menunjukan hubungan antara fraksi

simetidin yang terabsorpsi dalam plasma dengan waktu (jam).

18
Hubungan IVIVC dibuat dengan membandingkan fraksi simetidin yang

terabsorpsi dalam plasma dengan fraksi simetidin yang terdisolusi seperti yang

tergambar dalam grafik berikut.

19
Dari hasil tersebut diketahui absorpsi simetidin, secara umum, lebih dibatasi

oleh permeabilitasnya dibandingkan dengan laju disolusinya. Analisis IVIVC

menunjukkan bahwa hanya pada pelepasan terhambat (tablet Eudragit 26%),

disolusi menunjukkan pengaruh terhadap keterbatasan absorpsi obat.

Dari segi in vitro, terlihat bahwa tercapainya disolusi 85% obat selama 30

menit, lebih dari cukup untuk menjamin bioekivalensi produk simetidin, sehingga

simetidin dan obat BCS kelas III lain kemungkinan memiliki risiko yang kecil

terhadap ketidaktepatan penetapan bioekivalensi.

20
BAB IV

SIMPULAN

Data literatur relevan dengan keputusan untuk mengijinkan pembebasan

uji bioekivalensi (BE) in vivo untuk persetujuan sediaan oral solid pelepasan

segera (IR) yang mengandung simetidin. Berdasarkan Biopharmaceutics

Classification System (BCS), simetidin diklasifikasikan dalam kelas III. Kegunaan

terapetik dan indeks terapetik dari simetidin, sifat farmakokinetiknya, data yang

berhubungan dengan kemungkinan interaksi eksipien, dan masalah BE/BA

(bioavailabilitas) juga dimasukkan dalam pertimbangan. Dalam bukti basis

keseluruhan, biowaiver dapat direkomendasikan untuk produk simetidin

pelepasan cepat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Committee for Medicinal Products for Human Use (CHMP). 2010. Guideline on

The Investigation of Bioequivalence. European Medicines Agency: London.

Dressman, Jennifer and Kamal K. Midha. 2004. Biowaiver monographs 2004-

2012. International Biopharmaceutical Federation: Belanda.

FIP. 2012. Biowaver Monographs 2004-2012. Available online at

http://www.fip.org (diakses tanggal 16 Maret 2015)

Jantatrid, E, et al. 2006. Commentary Biowaiver Monographs for Immediate

Release Solid Oral Dosage Forms: Simetidin. Journal of Pharmaceutical

Sciences 95 (5): 974-984

________. 2006. Feasibility of Biowaiver Extension to Biopharmaceutics

Classification System Class III Drug Products: Simetidin. Clin

Pharmacokinet 45 (4): 385-399

22

Anda mungkin juga menyukai