Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN TYPHOID ABDOMINALIS

A. Pengertian

Demam tyfoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikulo endotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikro abses dan ulserasi nodus peyer di distal ileum (Soegeng Soegijanto, 2002).
Typus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala,
kelesuan, anoreksia, bradikardi, kadang-kadang pembesaran hati/limpa/atau keduanya.
Typoid adalah suatu penyakitpada usus yang menimbulkan gejal-gejala sistemik
yang disebabkan oleh salmonella typosa, salmonellatype A,B,C penularan terjadi secara
pecal, oral, melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief. M,
2009). (http://pend.amanah-unik_blogspot.com/2007/08/typus abdominalis.html)

B. Etiologi

Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasive yang ditandai oleh demam,
toksemia, nyeri perut, konstipasi, diare. Etiologi tipoid dan paratyphoid adalah S.typhi, S.
Paratyhpi A, S. Paratyhpi B, S. Paratyhpi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 2007), yaitu :

1. Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak
berspora yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu : Antigen
O (somatic, terdiri dari zat komplek liopolisakarida), Antigen H (flagella), Antigen
V1 dan protein membrane hialin.
2. Salmonella paratyphi A, B, dan C merupakan bagian dari virus Salmonella yang
dapat ditentukan dengan adanya pemeriksaan laboratorium.
3. Faces dan urine dari penderita thypus (Rahmat Juwono, 2006)
(http://pend.amanah-unik_blogspot.com/2007/08/typus abdominalis.html)

UPTD Pusk Sidomulyo RI


2

C. Patologi dan Patofisiology

Pada dasarnya tyipus abdominalis merupakan penyakit system retikuloendotelial


yang menunjukkan diri terutama pada jaringan limfusus, limpa, hati, dan sum-sum tulang.
Di usus, jaringan limf terletak antemesenterian pada dindingnya, dan dinamai plakat
Peyer*.

Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminale, tetapi kadang bagian lain usus
halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada permulaan plakat peyer penuh dengan
fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrate atau hyperplasia di mukosa
usus. Pada akhir minggu pertama infeksi terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar
di ileum daripada di kolon sesuai dengan ukuran plakat Peyer yang ada disana.
Kebanyakan tukaknya dangkal, tapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan
pendarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah penderita
sembuh biasanya ulkus membaik tanpa menimbulkan jaringan parut dan fibrosis.Jaringan
retikuloendeotelial lain juga mengalami perubahan. Kalenjar limf mesentrial penuh
fagosit sehingga kalenjar besar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel polimor
fonuklear dan mengalami nekrosis fokal.

Jaringan system lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi, dan
bakteri hidup dalam empedu. Seduah sembuh, empedu penderita dapat tetap mengandung
bakteri, yang bersangkutan menjadi pembawa kuman. Sel ginjal mengalami
pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri. Itu sebabnya pada minggu
pertama ditemukan kumannya dalam air kandung kemih. Bila sembuh penderita demikian
menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan orkitis kadang
ditemukan pada penderita demam tifoid, sedangkan bronchitis hamper selalu ada. Kadang
terjadi pneumonia pada tifus abdominalis lebih sering terjadi sekunder oleh infeksi
pneumokokus.

Otot jantung membengkak dan menjadi melunak serta memberikan gambaran


miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia relative)
akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami thrombosis terutama v.femoralis,
v.safena, dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker* berupa
hilangnya striae transversals disertai pembengkakan otot. Otot yang sering terserang

UPTD Pusk Sidomulyo RI


3

adalah otot diafragma, m.rektus abdomis, dan otot paha. Ini yang mendasari kelemahan
otot pada penderita.toksin di otot dapat juga menyebabkan rupture spontan disertai
pendarahan local. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.

Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat
berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum,
iga, dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik
disertai adanya basil tifus yang hidup darah. Ifeksi disumsum tulang dapat ditunjukkan
dengan gambaran leokopenia disertai dihilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil, dan
bertambahnya sel mononuclear.

Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap usus halus masuk ke dalam
peredaran darah sampai di organ-organ terutamahati dan limfe. Basil yang tidak hancur
berkembang biak di dalam hati dan limfe sehingga organ-organ tersebut akan membesar
disertai nyeri dan perabaan. Kamudian bila basil kembali masuk ke dalam darah
(bakteriemia) dan melanjutkan ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus
halus menimbulkantukakberbentuk lonjong pada mukosa di atas plak nyeri, tukak
tersebut dapat mengakibatkan pendarahan dan perforasi usu halus, gejala demam
disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh
kelainan pada usus.

Patofisiologi

Penyakit typhoid disebabkan oleh basil Salmonella typhosa. Penularan dapat terjadi
melalui mulut lewat makanan yang tercemar kemudian kuman mengadakanpenetrasi ke
usu halus dan jaringan limfoid dan berkembang biak. Selanjutnya kuman masuk ke aliran
darah dan mencapai retikuloendoteal pada hati dan limpa, sehingga organ-organ tersebut
membesar disertai rasa nyeri pada perabaan.

Proses ini terjadi pada masa tunas 10-14 hari dan berakhir saat sel-sel
retikuloendoteal melepaskan kuman ke dalam darah. Kuman-kuman selanjutnya ke dalam
beberapa organ-organ tubuhterutama kelenjar lymphoid usus halus dan menimbulkan
tukak yang berbentuk lonjong pada mukosa di atas plak pejeri. Tukak dapat
menyebabkan terjadinya pendarahan dan perforasi usus.

UPTD Pusk Sidomulyo RI


4

D. Manifestasi Klinik
1. Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteremia yang
mengakibatkan gejala toksis umum seperti letargi, sakit kepala, demam, dan
beradikardia.
2. Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikulo endothelial, umpanya
kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri diperut. Kelompok gejala lainnya
disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyakitnya.
3. Masa tunas biasanya 5 sampai 14 hari, tetapi dapat sampai 5 minggu. Pada kasus
ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung 4 minggu. Timbulnya berangsur,
mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badang, letargi,
dan demam. Demam ini tidak selalu khas, kadang mirip dengan demam pada
influenza .
4. Pada minggu pertama terdapat demam remiten* yang berangsur makin tinggi dan
hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan
tidak jarang ditemukan epitaksis (mimisan). Hampir selalu ada rasa tidak enak atau
nyeri diperut. Konstifasi sering ada, tetapi diare juga sering ditemukan.
5. Kelainan maskulopapural berupa roseola berdiameter 2-5 mm terdapat pada kulit
perut bagian atas dan dada bagian bawah. Kelainan yang berjumlah kurang lebih 20
buah ini hanya tampak selama 2-4 hari pada minggu pertama.
6. Pada minggu kedua demam umumnya menetap tinggi (demam kontinu) dan
penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan sistem
pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan
berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain alergi penderita
mengallami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu
ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa
membesar lunak.
7. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan
menurun dan keadaan umum tampak baik.
8. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang.
Kambuhan ini dapat ringan saja, tetapi dapat berat, dan mungkin terjadi dua atau
tiga kali.

UPTD Pusk Sidomulyo RI


5

Gambaran klinik yang biasa ditemukan adalah:

1. Demam
Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat remiten dan suhu
tinggi sekali selama minggu pertama, suhu badan berangsur-angsur naik setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore hari dan malam
hari. Dalam minggu kedua pasienterus berada dalam keadaan demam,pada minggu
ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.

2. Gangguan pada saluran pencernaan.


Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (rageden)
lidah tertutup selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limpa
membesar disertai nyeri palpasi. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat
diare atau normal.

3. Gangguan kesadaran umum


Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak berada dalam kondisi apatis,
sampa samnolen jarang terjadi stupor, koma, atau gelisah (kecualipenyakit berat
dan terlambat mendapat pengobatan). Disamping gejala-gejala tersebut mungkin
terdapat gejala lainnya pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan bintik-
bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit, yang dapat ditemukan
pada minggu pertama demam, kadang-kadang ditemukan pula bradikardi dan
epistaksis (mimisan) pada anak besar.

E. Komplikasi

Dapat terjadi pada:

1. Usus halus,umumnya jarang terjadi akan tetapi sering total yaitu:


a. Pendarahan usus, bila pendarahan hanya sedikit ditemukan jika dilakukan
pemeriksaan tinja dengan benzidin.jika pendarahan banyak terjadi melena,
dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perporasi usus, timbil biasanya pada minggu ketigaatau setelah itu terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertaiperitonitis hanya dapat

UPTD Pusk Sidomulyo RI


6

ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum. Yaitu pekak hati


menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto abdomen
yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitunyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang dan nyeri tekan.
2. Komplikasi luar usus terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis maningitis,
koleistisis, encepalopati, dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder yaitu :
bronkopneumonia.

F. Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan darah tepi:dapat ditemukan leukopenia, limfositosis relatif,


aneosinofilia, trombositopenia, anemia.
2. Biakan empedu: basil salmonella typhi ditemukan dalam darah penderita biasanya
dalam minggu pertama sakit.
3. Uji widal: adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
thypoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh
salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

4. Pemeriksaan SGOPT dan SGPT

UPTD Pusk Sidomulyo RI


7

SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.

G. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:

1. Pemberian antibiotik ; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.


Antibiotik yang dapat digunakan :
2. Kloramfenikol ; dosis hari pertama 4X250 mg, hari kedua 4X500 mg, diberikan
selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan
menjadi 4X250 mg selama 5 hari kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. Di
RSUP Persahabatan), penggunaan klomfenikol msih memperlihatkan hasil
penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.
3. Ampisilin/amoksisilin ; dosis 50-150 mg/kg/BB, diberikan selama 2 minggu.
4. Kotrimoksazol ; 2X2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg
trimetoprim, diberikan selama dua minggu pula.
5. Sefalosporin generasi II dan III dapat berhasil mengatsi demam dengan baik.
Demam pada umumnya mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen
yang dipakai adalah:
a. Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari.
b. Norfloksasin 2 X 400 mg/hari selama 14 hari.
c. Siprofloksasin 2 X 500 mg/hari selama 6 hari.
d. Ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari.
e. Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
f. Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari.

6. Istirahat dan perawatan professional


Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus
tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama
14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dapat kesadaran menurun,
posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus, dan pneumonia hipostatik.

UPTD Pusk Sidomulyo RI


8

Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi
obstipasi dan retensi urin.

7. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suporatif).


Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi
sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun bebrapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(pantang sayur dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan
pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum
pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan hemoestasis, sistem imun
akan tetap berfungsi dengan optimal.

Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan


intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi
bebrapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid
selalu perlu diberikan pada renjatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua
keadaan di atas.

Namun berbeda dengan pengobatan pada penderita demam tifoid yaitu untuk
wanita hamil. Tidak semua antibiotik dapat diberikan. Kloramfenikol tidak boleh
diberikan pada trimister ketiga kehamilan, karena dapat menyebabkan partus
prematur, kematian fetus intrauterin, dan sindrom Gray pada neonatus. Demikian
pula dengan tiamfenikol yang mempunyai efek teratogenik terhadap fetus. Namun
pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat diberikan. Selain itu, kotrimoksazol
dan fluorokuinolon juga tidak boleh diberikan.

Antibiotik yang aman bagi kehamilan adaah golongan penisil (ampisin,


amoksisilin), dan sefalosporin generasi ketiga, kecuali pasien yang hipersensitif
terhadap obat tersebut.

UPTD Pusk Sidomulyo RI


9

H. Konsep Asuhan Keperawatan:

1. Pengkajian:
a. Identitas
Di dalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan,
no.registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan,
tanggal MR.

b. Keluhan Utama
Pada pasien typhoid biasanya mengeluh perut mual dan kembung, nafsu makan
menurun, panas, dan demam.

c. Riwayat Kesehatan Sekarang


Pada umumnya penyakit pada pasien Typhoid adalah demam, anoreksia, mual,
diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemia), nyeri kepala pusing, nyeri
otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.

d. Riwayat Kesehatan dahulu


Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit dan dirawat dengan yang
sama, atau apakah menderita penyakit lainnya.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita yang sama atau
sakit yang lainnya.

f. Riwayat Psikososial
Intrapersonal: perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih).

g. Interpersonal: hubungan dengan orang lain.


h. Pola fungsi kesehatan
a) Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya nafsu makan klien berkurang, adanya mua, muntah selama sakit,
lidah kotor, dan terasa pahit waktu makan sehingga dapat memepengaruhi
status nutrisi berubah karena terjadi gangguan pada usus halus.

UPTD Pusk Sidomulyo RI


10

b) Pola istirahat dan tidur


Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien merasakan
sakit pada perutnya, mual, muntah, kadang diare. Kebiasaan tidur pasien
akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien
merasa gelisah pada waktu tidur.

c) Pola persepsi dan tatalaksana kesehatan


Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah
dalam kesehatannya.

d) Pola aktifitas dan latihan


Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta
pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.

e) Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi referensi bila dehidrasi karena
panas yang meninggi, konsumsi cairan tidak sesuai dengan kebutuhan.

f) Pola reproduksi dan seksual


Mengalami perubahan pada pasien yang telah menikah.

g) Pola persepsi dan pengetahuan


h) Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan memengaruhi Di dalam
perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.
i) Pola penanggulangan stress
Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya.
j) Pola hubungan interpersonal
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap berhubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan
perannya selama sakit.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan

UPTD Pusk Sidomulyo RI


11

Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan


pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri

l) Pola persepsi dan konsep diri


Menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan
terganggu.

i. Pemeriksaan Fisik
a) Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar tidak sadar (composmentis
coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.

b) Tanda tanda vital dan keadaan umum


TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan
umum pasien / kondisi pasien. Disamping itu juga penimbangan BB untuk
mengetahui adanya penurunan BB karena peningakatan gangguan nutrisi
yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan.
Biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat,
mual, perut tidak enak, anorexia.

c) Kepala dan leher


Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal,
konjungtiva anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering,
lidah kotor, ditepi dan ditengah merah, fungsi pendengran normal leher
simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.

d) Dada dan abdomen


Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen
ditemukan nyeri tekan.

e) Sistem respirasi
Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat
cuping hidung.

UPTD Pusk Sidomulyo RI


12

f) Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang
meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami
peningkatan suhu tubuh.

g) Sistem integument
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.

h) Sistem eliminasi
Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih
pasien bisa mengalami penurunan (kurang dari normal). N : -1 cc/kg
BB/jam.

i) Sistem muskuloskoletal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada
gangguan.

j) Sistem endokrin
Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar tiroid dan
tonsil.

k) Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam
penderita penyakit thypoid.

j. Diagnosa Keperawatan
1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
2) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia,
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik.
4) Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
pengeluaran cairan yang berlebihan (mual/muntah).
5) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pencernaan.
6) Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan respon imun.
7) Resiko integritas kulit berhubungan dengan program terapi bedrest total

UPTD Pusk Sidomulyo RI


13

8) Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang


informasi.

k. Intervensi
1) Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi salmonella thypi.

Tujuan : Suhu tubuh normal


Intervensi :

a) Observasi suhu tubuh klien


R : Mengetahui perubahan suhu tubuh.

b) Beri kompres dengan air hangat pada daerah axila, lipat paha, temporal
bila terjadi panas
R : Melancarkan aliran darah dalam pembuluh darah.
c) Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang tipis dan dapat
menyerap keringat seperti katun
R : Menjaga kebersihan badan, agar klien merasa nyaman, pakaian tipis
akan membantu mengurangi penguapan tubuh
d) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan suhu
tubuh.
R : Klien dan keluarga mengetahui sebab dari peningkatan suhu dan
membantu mengurangi kecemasan yang timbul.
e) Observasi TTV tiap 4 jam sekali.
R : Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum
pasien.
f) Anjurkan pasien untuk banyak minum, minum 2,5 liter / 24 jam)
R : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat
sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak
g) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiuretik

UPTD Pusk Sidomulyo RI


14

R : Menurunkan panas dengan obat.

2) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan anoreksia,

Tujuan : Nutrisi kebutuhan tubuh terpenuhi.

Kriteria hasil :

a) Nafsu makan meningkat


b) Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan

Intervensi :

a) Kaji pola nutrisi klien


R : Mengetahui pola makan, kebiasaan makan, keteraturan waktu makan.
b) Kaji makan yang di sukai dan tidak disukai
R : Meningkatkan status makanan yang disukai dan menghindari
pemberian makan yang tidak disukai.
c) Anjurkan tirah baring / pembatasan aktivitas selama fase akut
R : Penghematan tenaga, mengurangi kerja tubuh.
d) Timbang berat badan tiap hari
R : Mengetahui adanya penurunan atau kenaikan berat badan.
e) Anjurkan klien makan sedikit tapi sering.
R : Mengurangi kerja usus, menghindari kebosanan makan.
f) Hindari pemberian laksatif.
R : Penggunaannya berakibat buruk karena digunakan sebagai pembersih
makanan/kalori tubuh oleh pasien.
g) Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi.
R : Untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang nutrisi sehingga
motivasi untuk makan meningkat.

UPTD Pusk Sidomulyo RI


15

h) Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak
merangsang, maupun menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat
masih hangat.
R : Untuk meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.
i) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi parenteral.
R : Antasida mengurangi rasa mual dan muntah. Nutrisi parenteral
dibutuhkan terutama jika kebutuhan nutrisi per oral sangat kurang.
j) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet
R : Mengetahui makanan apa saja yang dianjurkan dan makanan yang
tidak boleh dikonsumsi.

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik.

Tujuan : Pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.

Intervensi

a) Beri motivasi pada pasien dan keluarga untuk melakukan mobilisasi


sebatas kemampuan (mis : Miring kanan, miring kiri).
R : Pasien dan keluarga mengetahui pentingnya mobilisasi bagi pasien
yang bedrest.
b) Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas (makan, minum).
R : Untuk mengetahui sejauh mana kelemahan yang terjadi.
c) Dekatkan keperluan pasien dalam jangkauannya.
R : Untuk mempermudah pasien dalam melakukan aktivitas.
d) Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang.
R : Untuk menghindari kekakuan sendi dan mencegah adanya dekubitus.

4) Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan


pengeluaran cairan yang berlebihan (mual/muntah).

Tujuan : Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi.

Kriteria hasil : Turgor kulit meningkat, Wajah tidak nampak pucat

UPTD Pusk Sidomulyo RI


16

Intervensi :

a) Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan


keluarga.
R : Untuk mempermudah pemberian cairan (minum) pada pasien.
b) Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
R : Untuk mengetahui keseimbangan cairan, 2,5 liter / 24 jam.
c) Anjurkan pasien untuk banyak minum.
R : Untuk pemenuhan kebutuhan cairan.
d) Diskusikan strategi untuk menghentikan muntah dan penggunaan
laksatif/diuretik.
R : Membantu pasien menerima perasaan bahwa akibat muntah dan/atau
penggunaan laksatif/diuretik mencegah kehilangan cairan lanjut.
e) Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral / parenteral).
R : Untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi (secara
parenteral).

5) Kurangnya pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi

Tujuan : Pengetahuan klien dan keluarga meningkat

Intervensi :

a) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya


R : Mengetahui apa yang diketahui pasien tentang penyakitnya.
b) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan pasien
R : Pasien tahu tata laksana penyakit, perawatan dan pencegahan penyakit
typhoid.
c) Beri kesempatan pasien dan keluaga pasien untuk bertanya bila ada yang
belum dimengerti
R : Mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan keluarga pasien setelah di
beri penjelasan tantang penyakitnya.
d) Beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat
R : Memberikan rasa percaya diri pasien dalam kesembuhan sakitnya.

UPTD Pusk Sidomulyo RI


17

DAFTAR PUSTAKA

Gupte, S. 1990. Mikrobiologi Dasar. Alih bahasa Julius ES. Binarupa Aksara. Edisi III.

Simanjuntak, C H. 1990. Masalah Demam Tifoid di Indonesia. Cermin Dunia


Kedokteran No.60
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI, Mikrobiologi Kedokteran, P.T. Binarupa Aksara,
Jakarta, 1993.

Staf pengajar FKUNDIP. 1996. Pengendalian Demam Tifoid. Jen. I.

Sudibjo, HR, Jurnal Kedokteran YARSI, Vol.4 No. 1 Jakarta, 1996, Januari.

Suzzane C. Smeltzer, Brenda G. Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol.1. Jakarta :
EGC.

Soepaman, Sarwono Waspadji. 2001. Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI

Jevuska.2008. DemamTifoid(TyphoidFever), <http://www.jevuska.com/2008/05/10-


/demam-tifoidtyphoid- fever, tanggal akses: 26 September 2009>.
http://www.mediastore.co.id/kesehatan/news/0602/08/095423.htm
http://www.infokesehatan.co.id

UPTD Pusk Sidomulyo RI

Anda mungkin juga menyukai