Anda di halaman 1dari 58

BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN

METODE MICROBIAL FUEL CELL SATU BEJANA

DWILINA APRIYANI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
RINGKASAN

DWILINA APRIYANI. C34080033. Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan


dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana. Dibimbing oleh BUSTAMI
IBRAHIM dan WINI TRILAKSANI.

Semakin menipisnya sumber daya energi mengakibatkan energi menjadi


barang langka dan mahal. Hal tersebut menjadikan kegiatan terkait dengan energi
baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Usaha
menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi microbial fuel cell
(MFC). Limbah cair telah direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk
menghasilkan energi listrik, bahan bakar dan kimia. Sampai abad terakhir, proses
lumpur aktif merupakan proses pengolahan limbah cair yang banyak digunakan.
Namun, proses ini membutuhkan energi intensif dan membutuhkan 2% dari total
konsumsi listrik. Limbah cair industri perikanan dapat dijadikan sebagai substrat
pada sistem MFC.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pemanfaatan limbah
cair perikanan dengan teknologi MFC satu bejana, serta menganalisis karakteristik
limbah cair dan listrik yang dihasilkan. Metode yang digunakan adalah MFC satu
bejana dengan limbah cair buatan sebagai substrat. Perlakuan yang diberikan
adalah limbah cair tanpa lumpur aktif dan limbah cair dengan penambahan
lumpur aktif. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari (120 jam) dan pada hari
ke-0, ke-3 dan ke-6 dilakukan analisis parameter beban limbah cair yang terdiri
dari kandungan total nitrogen, nitrogen-amonia, Biological Oxygen Demand
(BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Mixed Liquor Suspended Solids
(MLSS) dan Mixed Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS).
Beban limbah cair selama proses pengolahan dengan sistem MFC satu
bejana mengalami penurunan, terutama pada limbah cair dengan penambahan
lumpur aktif. Kandungan total nitrogen, BOD, COD dan amonia limbah cair
dengan penambahan lumpur aktif mengalami penurunan masing-masing
33,74 mg/L, 68 mg/L, 120 mg/L dan 3,23 mg/L selama 6 hari pengamatan. Nilai
MLSS dan MLVSS pada limbah cair dengan penambahan lumpur aktif
mengalami peningkatan masing-masing 1040 mg/L dan 773 mg/L selama 6 hari
pengamatan. Nilai listrik yang dihasilkan cenderung mengalami peningkatan
selama 120 jam. Nilai listrik dari limbah cair tanpa lumpur aktif lebih tinggi
dibandingkan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Nilai listrik tertinggi
terjadi pada jam ke-119, yaitu 144,9 mV pada limbah cair tanpa lumpur aktif dan
87,6 mV pada limbah cair dengan penambahan lumpur aktif.
BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN METODE
MICROBIAL FUEL CELL SATU BEJANA

DWILINA APRIYANI
C34080033

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Biolistrik dari
Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Dwilina Apriyani
C34080033
Judul : Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode
Microbial Fuel Cell Satu Bejana
Nama : Dwilina Apriyani
NIM : C34080033
Program Studi : Teknologi Hasil Perikanan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc.


NIP. 19611101 198703 1 002 NIP. 19610128 198601 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill.


NIP. 19580511 198503 1 002

Tanggal pengesahan : ...........................


KATA PENGANTAR

Ucapan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, atas karunia-Nya


yang berlimpah, yang membuat penulis sanggup menyelesaikan skripsi yang
berjudul Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial
Fuel Cell Satu Bejana sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1 Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku pembimbing I dan
Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc selaku pembimbing II yang telah
memberikan nasihat, arahan dan bimbingan serta kesabaran kepada penulis
selama penyusunan skripsi ini.
2 Ibu Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS selaku dosen penguji yang telah memberi
saran perbaikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
3 Mama, Bapak dan Mba Lia untuk dukungan baik dalam bentuk materi
maupun non materi, perhatian, kasih sayang, serta kepercayaan yang telah
diberikan pada penulis tanpa batas.
4 Mba Dini, Ibu Ema, Kang Abe, Pak Jajang, Mba Retno, Mas Jack, Mas Mail
dan Pak Ahmad selaku laboran dan staf TU yang telah banyak membantu
selama penelitian, terimakasih atas kerjasama dan sarannya.
5 THP angkatan 45 atas kebersamaan dan pengalaman berharga yang diberikan
selama kurang lebih 4 tahun.
6 Sahabat terbaik khususnya Mufida, Oktarina, Nurrahman, Andi, dan Hilma
atas kebersamaan, keceriaan, semangat dan motivasi selama penelitian dan
penyusunan skripsi.
7 Rico, Esa, Santos, Aksar, dan Helmy yang telah membantu serta menemani
selama penelitian berlangsung.
8 Teman satu bimbingan: Rico, Yunisha, Syukron, Oktarina, Desi, Diah, dan
Dita M atas dukungan, semangat, dan tempat untuk berbagi curahan hati.
9 Teman-teman lab Ombeng: Esa, Rico, Hardi, Aksar, Syukron, Edo, Bang
Ucok, Cecep, Icha, Andri Dwi, Silvi, dan Fitri Mpit yang telah menemani,

vi
memberi semangat, dan berbagi canda tawa pada saat akhir penyelesaian
skripsi.
10 Teman kosan SQ Bawah: Lia, Nia, Dudu, Fitra, Hana M, Ulfa, Kak Dayu,
Kak Septi, Mita, Hana dan Nurul, yang telah banyak memberi semangat dan
keceriaan setiap hari selama penelitian dan penyusunan skripsi.
11 Teman-teman THP angkatan 44, 46, dan 47 yang telah membantu baik secara
langsung maupun tidak langsung.
12 Tim asisten Oseanografi Umum periode 2012-2013 atas kekompakan,
pengertian dan keceriaan lain yang diberikan selama penyelesaian skripsi.
Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
membutuhkannya.
Bogor, Januari 2013
Penulis

vii
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat


pada.tanggal 7 April 1990. Penulis merupakan anak kedua
dari dua bersaudara dari pasangan bernama Satino dan
Supiyem. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai
di SDN Pekayon Jaya 7 Bekasi pada tahun 1996 hingga
tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun
yang sama di SMPN 12 Bekasi hingga tahun 2005. Pendidikan formal selanjutnya
ditempuh di SMAN 3 Bekasi pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2008. Selama perkuliahan,
penulis aktif berorganisasi dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (DPM FPIK) sebagai bendahara komisi PSDM
tahun 2009-2010 dan Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil
Perairan (HIMASILKAN) tahun 2010-2011. Selain itu, penulis juga aktif sebagai
asisten mata kuliah Ikhtiologi tahun 2010, Diversifikasi dan Pengolahan Produk
Hasil Perairan tahun 2012, Teknologi Pengolahan Limbah dan Hasil Samping
Hasil Perairan tahun 2012, Oseanografi Umum tahun 2011 dan 2012.
Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul
Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell
Satu Bejana dibawah bimbingan Bustami Ibrahim dan Wini Trilaksani untuk
menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii
1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Limbah Cair Industri Perikanan ............................................................ 4
2.2 Microbial Fuel Cell (MFC) .................................................................. 6
2.3 Microbial Fuel Cell Satu Bejana .......................................................... 9
3 METODE ................................................................................................... 11
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 11
3.2 Bahan dan Alat ...................................................................................... 11
3.3 Metode Penelitian ................................................................................. 11
3.3.1 Persiapan alat MFC satu bejana .................................................. 12
3.3.2 Pembuatan limbah cair buatan .................................................... 13
3.3.3 Pengukuran listrik dan beban limbah cair. .................................. 13
3.4 Prosedur Analisis .................................................................................. 14
3.4.1 COD (Chemical Oxygen Demand) (APHA 1975) ...................... 14
3.4.2 BOD (Biological Oxygen Demand) (APHA 1975) .................... 14
3.4.3 Total nitrogen (AOAC 2005) ..................................................... 15
3.4.4 Kadar N-NH3 (Nitrogen-amonia) (APHA 1975) ........................ 15
3.4.5 MLSS (Mixed Liquor Suspended Solids) (APHA 1975) ............ 16
3.4.6 MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solids)
(APHA 1975).............................................................................. 16
3.5 Rancangan Percobaan (Mattjik dan Jaya 2006) .................................... 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 18
4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan ................................................... 18
4.2.1 Total nitrogen .............................................................................. 20
4.2.2 Biological oxygen demand (BOD) .............................................. 21
4.2.3 Chemical oxygen demand (COD) ............................................... 23
4.2.4 Nitrogen-amonia ......................................................................... 25
4.2.5 MLSS dan MLVSS ..................................................................... 26

ix
4.3 Listrik Limbah Cair Perikanan .............................................................. 29
5 SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 35
5.1 Simpulan ............................................................................................... 35
5.2 Saran ..................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 36

x
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006) ................................................... 7
2 Sistem kerja MFC satu bejana (Lovley 2006) ......................................... 9
3 Diagram alir tahapan penelitian .............................................................. 12
4 Desain MFC satu bejana .......................................................................... 13
5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana ................ 20
6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana .............................. 22
7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana............................... 23
8 Amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana .......................... 25
9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu
bejana ....................................................................................................... 27
10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu
bejana ....................................................................................................... 27
11 Nilai listrik limbah cair perikanan ........................................................... 29
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1 Karakteristik limbah cair perikanan ........................................................ 5
2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan.......... 5
3 Mikroorganisme pada sistem MFC ......................................................... 8
4 Karakteristik limbah cair perikanan buatan ............................................ 18
5 Redoks elektroda pada MFC dan hasil potensial redoks ........................ 33
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Nilai rata-rata listrik limbah cair perikanan selama 5 hari ...................... 42
2 Hasil uji statistik limbah cair perikanan ................................................. 44
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran energi yang didorong
pesatnya laju pertambahan penduduk dan industrialisasi dunia, mengakibatkan
tersedotnya cadangan energi, khususnya energi fosil yang merupakan sumber
energi utama dunia. Hal tersebut mendorong meningkatnya harga energi dunia.
Saat ini sumber daya energi di Indonesia dan dunia semakin menipis. Hal ini
mengakibatkan energi menjadi barang langka dan semakin mahal. Kementerian
Luar negeri RI (2011) menyebutkan bahwa proporsi minyak bumi sebagai sumber
utama energi mencapai 40% dari total permintaan energi dunia, namun
cadangannya terus berkurang. Pada tahun 2011 pertumbuhan permintaan minyak
bumi dunia mencapai 1,7% sementara peningkatan produksi hanya mencapai
0,9%. Cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan 9 milyar barel, dengan
tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan
cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (2010) menambahkan
bahwa 50% konsumsi energi nasional Indonesia selama ini berasal dari minyak
bumi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih sangat tergantung
pada sumber energi tak terbarukan tersebut. Masalah tersebut harus segera dicari
solusinya karena cepat atau lambat sumber energi tersebut akan habis. Keadaan
ini menyebabkan negara-negara di dunia termasuk Indonesia rentan terhadap
resiko krisis energi dunia.
Ancaman krisis energi dan bahan bakar menjadikan kegiatan terkait
dengan energi baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera
dilakukan. Saat ini, potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia 311.232
Mega Watt (MW) dan baru 22% yang dimanfaatkan (BPPT 2010). Keunggulan
dari energi terbarukan yaitu energi terbarukan lebih sesuai dengan potensi lokal di
tanah air, lebih ramah lingkungan, lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, dan
relatif tidak tergantung dengan fluktuasi saham minyak dunia (Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral 2012).
Berdasarkan sumber energi, bentuk listrik merupakan energi yang paling
praktis digunakan (Rittman 2008). Konsumsi energi listrik sendiri pada tahun
2

2010 mencapai 90,35 juta BOE (Barrel Oil Equivalent) (Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral 2011). Selain itu, statistik perkembangan energi terbarukan
dalam bentuk listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2005-2010,
yaitu 5.228,69 MW pada tahun 2005 menjadi 8.772,50 MW pada tahun 2010
(Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi 2011).
Faaij (2006) menyampaikan bahwa terdapat berbagai teknologi konversi
yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik ini, yaitu pembakaran,
gasification, dan fermentasi (gas metan). Namun teknologi konversi pembakaran
dan gasification berdampak terhadap penipisan cadangan bahan bakar fosil dan
peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Oleh karena itu diperlukan teknologi baru
yang lebih efisien untuk menghasilkan energi listrik.
Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi
microbial fuel cell (MFC) dengan memanfaatkan senyawa yang mengandung
hidrogen atau senyawa yang menghasilkan elektron sehingga ramah lingkungan
(Suyanto et al. 2010). MFCs adalah salah satu tipe sistem bioelectrochemical
(BESs) yang mengubah biomassa secara spontan menjadi energi listrik melalui
aktivitas metabolisme mikroorganisme (Pant et al. 2010). Limbah cair telah
direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik,
bahan bakar dan kimia. Saat ini, teknologi yang hanya dapat menghasilkan energi
tersebut dari limbah cair untuk skala komersil adalah degradasi anaerobik
(Rozendal et al. 2008).
Disisi lain pengolahan limbah cair saat ini masih banyak menggunakan
teknologi dengan prinsip degradasi aerobik. Sampai abad terakhir, proses lumpur
aktif merupakan proses pengolahan limbah cair yang banyak digunakan. Namun,
proses ini membutuhkan energi intensif dan berdasarkan pendugaan, jumlah
energi listrik yang dibutuhkan untuk menyediakan oksigen pada proses lumpur
aktif hampir mendekati 2% total konsumsi listrik di Amerika (Pant et al. 2010).
Sama halnya dengan di Amerika, di Inggris 3-5% konsumsi listrik nasional
digunakan untuk pengolahan limbah cair. Pompa dan aerasi merupakan proses
yang banyak menggunakan energi (21% dan 30-55%) (Alzate-Gaviria 2011).
Sementara itu, manajemen limbah saat ini menekankan pada reuse dan recovery
energi.
3

Permasalahan pengolahan limbah cair tersebut dapat diatasi dengan


mengggunakan alternatif teknologi MFC. Konversi energi listrik telah diteliti
dengan menggunakan perbedaan tipe limbah cair, termasuk limbah cair domestik,
pengolahan pangan dan hewan (Cheng dan Logan 2011). Salah satu limbah cair
lain yang dapat dimanfaatkan sebagai substrat pada MFC adalah limbah cair
perikanan. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri perikanan berasal dari
berbagai proses. Secara umum limbah cair industri hasil perikanan mengandung
banyak protein dan lemak.
Beberapa tipe MFC telah dikembangkan antara lain MFC dua bejana oleh
Oh dan Logan (2006), MFC satu bejana oleh Liu et al. (2005), disain upflow oleh
He et al. (2006), dan desain tubular oleh Zuo et al. (2007). Semua sistem tersebut
telah diujikan pada skala lab menggunakan konsentrasi substrat yang tinggi serta
larutan penyangga yang baik (Cheng dan Logan 2011). Diantara perbedaan tipe
MFC yang telah dikembangkan, MFC dengan katoda udara merupakan tipe yang
dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair karena hasil kekuatan tinggi,
struktur sederhana, dan biayanya relatif murah. Penggunaan MFC satu bejana
dapat mengurangi biaya peralatan karena ada pengurangan biaya bejana katoda
dan membran, sehingga lebih dapat diaplikasikan pada pengolahan limbah cair
dan konversi energi (Das dan Mangwani 2010).

1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pemanfaatan limbah
cair perikanan dengan teknologi MFC, serta menganalisis karakteristik limbah
cair dan listrik yang dihasilkan dengan MFC satu bejana.
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair Industri Perikanan


Limbah industri perikanan dapat didefinisikan sebagai apa saja yang
tersisa dan terbuang dari suatu kegiatan penangkapan, penanganan, dan
pengolahan hasil perikanan. Tipe limbah utama yang ditemukan dari limbah cair
pengolahan ikan adalah darah, kotoran, jeroan, sirip, kepala ikan, cangkang, kulit
dan sisa daging. Secara umum, tipe limbah cair industri pengolahan ikan dapat
dibagi dalam dua kategori yaitu volum banyak-persentase limbah rendah dan
volum sedikit-persentase limbah tinggi. Kategori volum banyak-persentase limbah
rendah terdiri dari air yang digunakan untuk pembongkaran, transportasi,
penanganan ikan dan air pencucian. Proses pada pembuatan tepung ikan
menghasilkan jenis limbah kategori volum sedikit-persentase limbah tinggi
(Colic et al. 2007).
Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi.
Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung
pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah (Ibrahim 2005).
Terdapat 3 tipe utama aktivitas pengolahan ikan, yaitu industri pengalengan dan
pembekuan ikan, industri minyak dan tepung ikan, dan industri pengasinan ikan
(Priambodo 2011). Karakteristik limbah cair perikanan dapat dilihat melalui
parameter pH, jumlah padatan terlarut, suhu, bau, BOD, COD, dan konsentrasi
nitrogen serta fosfor (FAO 1996).
Limbah cair industri pengolahan ikan memiliki karakteristik jumlah bahan
organik terlarut dan tersuspensi yang tinggi jika dilihat dari nilai BOD dan COD.
Lemak dan minyak juga ditemukan dalam jumlah yang tinggi. Terkadang padatan
tersuspensi dan nutrien seperti nitrogen dan fosfor juga ditemukan dalam jumlah
tinggi. Limbah cair industri pengolahan ikan juga mengandung sodium klorida
dalam konsentrasi tinggi dari proses pembongkaran kapal, air pengolahan, dan
larutan asin (Colic et al. 2007). Secara umum karakteristik limbah cair industri
pengolahan ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
5

Tabel 1 Karakteristik limbah cair perikanan


Parameter Satuan Industri Industri Industri
pengalengan minyak ikan pengasinan
dan pembekuan dan tepung ikan
ikan ikan
Amonia mg/L 37 1,659 101
BOD mg/L 35 204 127
COD mg/L 34 196 360
Lemak dan mg/L 1,401 12,750 1,305
minyak
Sumber: Priambodo (2011)

Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air
limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha
dan/atau kegiatan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Baku mutu
limbah cair industri pengolahan perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan


Parameter Satuan Kegiatan Kegiatan Pembuatan
Pembekuan Pengalengan Tepung Ikan
pH - 6-9
TSS mg/L 100 100 100
Sulfida mg/L - 1 1
Amonia mg/L 10 5 5
Klor bebas mg/L 1 1 -
BOD mg/L 100 75 100
COD mg/L 200 150 300
Minyak-lemak mg/L 15 15 15
Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007)

Pengolahan limbah cair yang pertama dilakukan adalah penyaringan


(screening), sedimentasi (sedimentation), pemisahan lemak dan minyak, dan
pengapungan (flotation). Pengolahan limbah cair pada tahap pertama ini
dilakukan untuk padatan yang mengapung dan mengendap. Penyaringan dapat
menghilangkan padatan berukuran besar (lebih besar 0,7 mm). Sedimentasi
dilakukan untuk menghilangkan padatan tersuspensi yang ada pada limbah cair.
Limbah cair perikanan mengandung jumlah minyak dan lemak yang berbeda.
Gravity separation dapat dilakukan untuk menghilangkan minyak dan lemak yang
terdapat di permukaan dan tidak teremulsi. Pengapungan adalah pengolahan
6

limbah cair untuk menghilangkan minyak, lemak dan padatan tersuspensi. Sistem
pengapungan merupakan sistem pengolahan limbah yang efektif karena dapat
juga menghilangkan minyak dan lemak (FAO 1996).
Tahap kedua pengolahan limbah cair adalah proses biologi dan kimia yang
betujuan untuk menghilangkan material organik yang terdapat pada limbah cair.
Tujuan pengolahan limbah cair secara biologi adalah untuk menghilangkan
padatan yang tidak mengendap dan bahan organik terlarut dengan mikroba.
Mikroorganisme bertanggung jawab mendegradasi bahan organik dan
menstabilkan limbah organik. Pengolahan limbah cair secara biologi dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pengolahan limbah secara aerobik dan
anaerobik. Proses pengolahan secara aerobik terdiri dari sistem lumpur aktif,
aerated lagoons, aerasi, trickling filters, rotating biological contractors, dan
pilihan pengolahan aerobik. Proses pengolahan secara anaerobik terdiri dari
digestion system dan imhoff tanks. Pengolahan limbah cair dapat juga dilakukan
secara fisikokimia, antara lain coagulation-floculation dan disinfection yang
terdiri dari klorinasi dan ozonasi (FAO 1996).

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)


Microbial fuel cells merupakan salah satu tipe biofuel cells. Beberapa tipe
biofuel cells yang ada antara lain microbial fuel cells dan enzymatic fuel cells
(Kim et al. 2002). Microbial fuel cells (MFCs) merupakan sistem atau alat yang
menggunakan bakteri sebagai katalis untuk mengoksidasi bahan organik dan
anorganik. Elektron diproduksi oleh bakteri dari substrat yang kemudian
ditransfer ke anoda (kutub negatif) dan dialirkan ke katoda (kutub positif) yang
disambungkan oleh perangkat konduktivitas termasuk resistor, atau dioperasikan
dibawah muatan untuk menghasilkan listrik yang dapat menjalankan alat. Aliran
positif pengukur arus mengalir dari kutub positif ke negatif, arah yang berlawanan
dengan aliran elektron (Logan et al. 2006).
Prinsip kerja sistem MFC adalah bakteri pada bejana anoda mentransfer
elektron dari donor elektron ke elektroda anoda (Logan et al. 2006). Bakteri yang
hidup pada bejana anoda mengkonversi substrat seperti glukosa, asetat dan juga
limbah cair menjadi CO2, proton dan elektron. Bejana anoda berada dalam kondisi
7

anaerobik dan bakteri harus mengubah penerima elektron alaminya menjadi


penerima elektron insoluble seperti anoda (Microbialfuelcell 2008). Penerimaan
elektron ke anoda berlangsung melalui kontak langsung, kabel-kabel nano
(nanowires) atau pengangkut elektron yang dapat larut. Selama produksi elektron,
proton juga diproduksi dalam jumlah banyak. Proton ini bermigrasi melalui cation
exchange membrane (CEM) ke bejana katoda. Elektron mengalir dari anoda
melalui hambatan luar ke katoda tempat bereaksinya penerima elektron (oksigen)
dengan proton (Logan et al. 2006). Gambar 1 menunjukan prinsip kerja dari
sistem MFC.
Reaksi yang terjadi pada sistem MFC dengan contoh substrat asetat adalah
sebagai berikut:
reaksi pada anoda : CH3COO- + 2H2O 2CO2 + 7H+ + 8e-
reaksi pada katoda : O2 + 4e- + 4H+ 2H2O
Keseluruhan reaksi yang terjadi merupakan degradasi substrat menjadi
karbondioksida, air dan pada saat yang bersamaan dihasilkan listrik sebagai hasil
samping. Berdasarkan reaksi pada elektroda, bioreaktor MFC dapat menghasilkan
listrik dari aliran elektron di anoda ke katoda melalui rangkaian eksternal
(Du et al. 2007).

Gambar 1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006).

Sistem MFC harus mempunyai substrat yang dapat dioksidasi di bagian


anoda. Elektron dapat ditransfer ke anoda oleh mediator elektron, membran yang
terhubung langsung dengan transfer elektron, atau dengan nanowires yang
8

dihasilkan oleh bakteri (Logan et al. 2006). Pada sistem MFC, substrat merupakan
faktor penting dalam efisiensi produksi listrik. MFC dapat dioperasikan pada suhu
ruang dan dapat didesain untuk keperluan pada suhu mikroba dapat hidup. MFC
dapat mengekstrak hampir 90% elektron dari komponen organik dan dapat
berkelanjutan sendiri serta terbarukan saat terjadi kepadatan mikroorganisme yang
menghasilkan energi melalui transfer elektron ke elektroda (Lovley 2006).
Banyak mikroorganisme memiliki kemampuan untuk mentransfer elektron
dari hasil metabolisme bahan organik ke anoda. Sedimen laut, tanah, limbah cair,
sedimen air tawar, dan lumpur aktif merupakan sumber bahan organik untuk
mikroorganisme. Tabel 3 menampilkan jenis mikrooganisme dengan substratnya
pada sistem MFC.

Tabel 3 Mikroorganisme pada sistem MFC


Mikroba Substrat
Actinobacillus succinogenes, Alcaligenes faecalis, Glukosa
Enterococcus gallinarum, Pseudomonas aeruginosa,
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum, Erwinia
dissolven, Gluconobacter oxydans, Klebsiella pneumoniae,
Lactobacillus plantarum, Proteus mirabilis, Pseudomonas
aeruginosa, Rhodoferax ferrireducens, Shewanella
putrefaciens, Streptococcus lactis
Aeromonas hydrophila, Geobacter metallireducens, Asetat
Geobacter sulfurreducens, Shewanella putrefaciens
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum Tepung kanji
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum, Shewanella Laktat
oneidensis, Shewanella putrefaciens
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum Molasses
Desulfovibrio desulfuricans Sukrosa
Escherichia coli Glukosa sukrosa
Rhodoferax ferrireducens Silosa
Rhodoferax ferrireducens Maltosa
Shewanella putrefaciens Piruvat
Sumber: Du et al. (2007)

Sistem MFC dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan termasuk


monitoring aktivitas bakteri, penghasil listrik untuk area lokal, dan proses
pengolahan limbah cair (Kim et al. 2002). Jumlah kekuatan listrik dari sistem
MFC dalam proses pengolahan limbah cair secara potensial dapat membagi listrik
yang dibutuhkan dalam proses pengolahan limbah konvensional yang
mengonsumsi banyak tenaga listrik untuk proses aerasi lumpur aktif. Molekul
9

organik seperti asetat, propionat, butirat dapat didegradasi menjadi CO2 dan H2O.
Beberapa sistem MFC menggunakan jenis mikroba yang mempunyai kemampuan
khusus untuk mengurangi sulfida yang terdapat pada limbah cair. Pada beberapa
kasus, MFC dapat mengurangi COD hingga 80%. Limbah rumah tangga dan
limbah cair pengolahan makanan merupakan sumber biomassa yang baik untuk
MFC karena memiliki bahan organik yang tinggi (Du et al. 2007).

2.3 Microbial Fuel Cell Satu Bejana


Desain MFC yang sederhana dan efisien adalah MFC tanpa bejana katoda
dan menempatkan katoda langsung dengan permukaan proton exchange
membrane (PEM). Desain ini mengurangi penggunaan aerasi air karena oksigen
di udara dapat langsung ditransfer ke katoda. Desain pertama yang dibuat pada
skala laboratorium digunakan untuk menghasilkan listrik dari limbah cair, katoda
ditempatkan di bagian tengah silinder, sehingga kamar anoda membentuk silinder
mengelilingi katoda. Membran nafion direkatkan dengan katoda dan membran
nafion tersebut berkontak langsung dengan larutan di dalam bejana anoda. Tipe
kedua desain MFC satu bejana adalah tabung tunggal dengan dua elektroda
berbentuk bulat ditempatkan bersebrangan di ujung tabung. Elektroda anoda
ditutup untuk mencegah difusi oksigen ke kamar anoda, sementara itu satu sisi
katoda terbuka ke udara dan sisi satunya menempel dengan PEM dan berada pada
bagian bejana anoda yang berisi larutan (Logan 2005). Sistem kerja MFC satu
bejana ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Sistem kerja MFC satu bejana (Lovley 2006).


10

PEM digunakan pada sistem MFC karena PEM sudah digunakan dalam
hidrogen fuel cells. Saat air digunakan di dalam bejana anoda, PEM menjadi tidak
berguna karena air akan mengahantarkan proton ke katoda. PEM dapat lebih
efisien sebagai pembawa proton dibandingkan air, namun daya tahan internal
sistem akan dibatasi oleh difusi proton di dalam air, bukan di dalam PEM. Oleh
karena itu, pada beberapa studi PEM dihilangkan untuk meningkatkan tenaga
yang dihasilkan oleh MFC (Logan 2005). Sistem MFC satu bejana, sistem dengan
aliran yang berkelanjutan, dan tanpa membran merupakan sistem yang baik untuk
pengolahan limbah cair karena dapat dikembangkan untuk skala besar (Du et al.
2007).
11

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2012 bertempat
di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Laboratorium Bagian Industri Hasil
Perairan, Laboratorium Preservasi dan Diversifikasi Hasil Perikanan Departemen
Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Lingkungan Perairan, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain lumpur aktif,
limbah ikan berupa kulit dan sisa daging, akuades, K2Cr2O7 0,025 N, H2SO4
pekat, indikator ferroin, ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N, NaOH
pekat, asam borat (H3BO3) 4%, indikator bromcherosol green dan methyl red,
HCl, asam hypochlorous, reagen phenate, dan kertas saring Whatman 42.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, kaca acrylic, elektroda
karbon grafit berbentuk batang, kabel, multimeter digital tipe DT 830B,
timbangan digital (Tanita KD 160), Kjeldahl (Labentech), botol Erlenmeyer,
buret, pipet, botol DO, DO meter (Lutron DO5510), aerator, spektrofotometer
(Optima SP-300), oven (Yamato Drying Oven DV 41), tanur (Yamato Muffle
Furnace FM 38), cawan porselen, kompor listrik dan desikator.

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama yaitu persiapan MFC satu
bejana mengacu pada Moqsud dan Omine (2010) dengan memodifikasi letak
elektroda, tahap kedua adalah pembuatan limbah cair buatan (Ibrahim 2007) dan
tahap terakhir adalah pengukuran listrik dari MFC satu bejana mengacu pada
Suyanto et al. (2010) serta analisis kualitas limbah cair yang terdiri dari analisis
BOD, COD, total nitrogen, nitrogen-amonia, mixed liquor suspended solids
(MLSS), dan mixed liquor volatile suspended solids (MLVSS). Alur tahapan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
12

Persiapan bahan dan alat penelitian

Persiapan alat MFC satu bejana

Karakterisasi limbah cair


Pembuatan limbah cair buatan perikanan buatan (Total
nitrogen, nitrogen-amonia,
BOD dan COD)
Penempatan limbah cair buatan
ke dalam alat MFC satu bejana

Pengukuran listrik Pengukuran beban limbah cair


selama 5 hari (120 jam) (Total nitrogen, nitrogen-amonia,
BOD, COD, MLSS dan MLVSS)
hari ke-0, ke-3 dan ke-6

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian.

3.3.1 Persiapan alat MFC satu bejana


Desain sistem MFC yang digunakan adalah MFC satu bejana mengacu
pada Moqsud dan Omine (2010) dengan memodifikasi letak elektroda. Bejana
yang digunakan terbuat dari bahan acrylic dengan dimensi 10x7x10 cm. Volume
limbah cair yang digunakan adalah 600 ml. Elektroda yang digunakan adalah
karbon grafit berbentuk batang dengan ukuran 7x1x1 cm. Sistem MFC yang
digunakan merupakan sistem MFC satu bejana tanpa membran mengacu pada
penelitian Liu dan Logan (2004). Desain MFC satu bejana tanpa membran yang
digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Perlakuan yang
diberikan pada penelitian ini adalah penambahan lumpur aktif ke dalam bejana
yang berisi limbah cair perikanan dengan perbandingan antara lumpur aktif dan
limbah cair yaitu 1:10 mengacu pada Patil et al. (2009). Jumlah MFC yang dibuat
sebanyak 6 buah untuk 3 kali ulangan.
13

Gambar 4 Desain MFC satu bejana.

3.3.2 Pembuatan limbah cair buatan


Limbah cair buatan dibuat menggunakan sisa hasil pengolahan ikan (isi
perut, kulit, dan daging). Pembuatan limbah cair dilakukan menurut cara Ibrahim
(2007) yakni: limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dicincang,
selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan
(kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Air rebusan disaring untuk memisahkannya
dari padatan dan ampas ikan. Setelah air rebusan yang disaring menjadi dingin,
siap digunakan untuk percobaan. Kemudian dilakukan analisis karakteristik
limbah cair buatan meliputi BOD, COD, total nitrogen, dan nitrogen-amonia.
3.3.3 Pengukuran listrik dan beban limbah cair.
Masing-masing elektroda dihubungkan dengan kabel lalu bejana ditutup
rapat. Kedua kabel dihubungkan oleh multimeter. Multimeter diatur untuk
pengukuran tegangan listrik pada skala terkecil terlebih dahulu kemudian nilai
tegangan yang tertera pada layar multimeter diamati setiap jam selama 5 hari
(Suyanto et al. 2010). Pada hari ke 0 (awal), 3 (tengah), dan 6 (akhir) dilakukan
analisis beban limbah cair yang terdiri dari analisis BOD, COD, total nitrogen,
dan nitrogen-amonia. Khusus untuk perlakuan penambahan lumpur aktif
dilakukan juga analisis MLSS dan MLVSS. Setiap analisis dilakukan 3 kali
ulangan.
14

3.4 Prosedur Analisis


Analisis beban limbah yang dilakukan pada penelitian yaitu chemical
oxygen demand (COD), biological oxygen demand (BOD), total nitrogen,
nitrogen-amonia, mixed liquor suspended solids (MLSS), dan mixed liquor
volatile suspended solids (MLVSS).
3.4.1 COD (Chemical Oxygen Demand) (American Public Health Association
(APHA) 1975)
Prosedur penentuan parameter COD adalah sampel sebanyak 10 mL
dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 0,025 N.
Selanjutnya ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 7,5 mL dan didiamkan selama
kurang lebih 15 menit di dalam ruang asam. Setelah itu ditambahkan 3 tetes
indikator ferroin dan dititrasi dengan menggunakan larutan ferrous ammonium
sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna
dari hijau terang menjadi merah terang. Selain itu dilakukan juga titrasi terhadap
blanko. Penentuan COD dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan: B= Volume titrasi balnko (mL)


S= Volume tittasi sampel (mL)
N= Normalitas Fe(NH4)2(SO4)2
V= Volume sampel yang digunakan (mL)
3.4.2 BOD (Biological Oxygen Demand) (APHA 1975)
Sampel diambil sebanyak 10 mL kemudian dimasukkan ke dalam
erlenmeyer dan diencerkan menggunakan akuades dengan faktor pengenceran 15
dan 20 kali. Setelah itu sampel tersebut diaerasi selama 10 menit. Setelah 10
menit, pisahkan sampel pada dua botol BOD, satu untuk inkubasi dan botol
lainnya untuk mengukur DO pada larutan sampel. Sampel yang diinkubasi
menggunakan botol BOD tidak boleh terdapat gelembung udara dalam botol BOD
tersebut. Sampel kemudian diinkubasi selama lima hari di tempat gelap pada suhu
20 C. Setelah lima hari dilakukan pengukuran DO pada sampel yang telah
diinkubasi. Nilai BOD dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
15

Keterangan: D1= Nilai DO sampel sebelum inkubasi


D2= Nilai DO sampel setelah inkubasi
P = Volume pengenceran
3.4.3 Total nitrogen (Association of Official Analitycal of Chemist (AOAC) 2005)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis total nitrogen dengan metode
Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel dipipet
sebanyak 10 mL kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl, lalu
ditambahkan setengah butir kjeltab dan 10 mL H2SO4 pekat secara perlahan ke
dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 C
selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening, kemudian
didinginkan. Selanjutnya sampel dari tabung kjeldahl dipindahkan ke labu takar
100 mL untuk dilakukan pengenceran dengan akuades. Sampel tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 mL NaOH 40% lalu
dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125 mL yang
berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 4%. Destilasi dilakukan sampai larutan asam
borat yang berwarna merah menjadi warna biru dalam waktu 15 menit. Hasil
destilasi dititrasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna merah muda yang
pertama kalinya. Perhitungan total nitrogen dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

Keterangan: A = Volume titrasi sampel (mL)


B = Volume titrasi blanko (mL)
C = mL contoh
Fp = Faktor pengenceran
3.4.4 Kadar N-NH3 (Nitrogen-amonia) (APHA 1975)
Sampel yang telah didestilasi diambil sebanyak 10 mL lalu dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Kemudian MnSO4 ditambahkan sebanyak 1 tetes ke dalam
tabung reaksi tersebut. Setelah itu ditambahkan asam hypochlorous sebanyak
0,5 mL dan reagen phenate sebanyak 0,6 mL. Setelah ditambahkan reagen
tersebut dilakukan pengocokkan. Perubahan warna pada larutan sampel akan
terjadi karena adanya penambahan reagen tersebut. Perubahan warna ini akan
stabil pada larutan sampel setelah 10 menit sejak reagen ditambahkan ke larutan
sampel. Larutan blanko dan larutan standar dibuat selama pengukuran ini. Nilai
16

absorban diukur pada larutan blanko menggunakan spektrofotometer. Atur


panjang gelombang spektrofotometer pada 630 nm dan nilai total amonia nitrogen
sampel akan keluar pada display alat tersebut.
3.4.5 MLSS (Mixed Liquor Suspended Solids) (APHA 1975)
Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS) merupakan jumlah total
suspended solid yang berasal dari sistem MFC satu bejana. Total Suspended Solid
(TSS) merupakan jumlah berat kering dalam mg/L lumpur yang ada dalam air
limbah setelah mengalami penyaringan (Sugiharto 1987).
Kertas saring Whatman 42 dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada
suhu 100105 C dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kemudian diambil sampel sebanyak 50 mL dengan diaduk terlebih dahulu dan
disaring dengan kertas saring Whatman 42 yang telah disiapkan sebelumnya.
Setelah itu kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu 100105 C
selama 2 jam. Setelah itu kertas saring didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Konsentrasi MLSS dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:
6

Keterangan: A= Berat akhir kertas saring (gr)


B= Berat awal kertas saring (gr)
V= Volume sampel (mL)
3.4.6 MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solids) (APHA 1975)
Mixed Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS) merupakan MLSS
yang telah dipanaskan pada suhu 600 C sehingga benda volatilnya menguap
(Sugiharto 1987). Prosedur penentuan parameter MLVSS adalah cawan porselin
yang akan digunakan dikeringkan dalam tanur selama 10 menit pada suhu 550 C
dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kertas saring dari uji
MLSS dimasukkan ke dalam cawan porselin dan diletakkan dalam tanur selama 2
jam pada suhu 550 C. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Bila perlu lakukan pengulangan proses pengeringan untuk
mendapatkan berat yang konstan. Konsentrasi MLVSS dapat dihitung dengan
rumus:
6
17

Keterangan: C= Berat awal cawan (gr)


D= Berat akhir cawan (gr)
V= Volume sampel (mL)

3.5 Rancangan Percobaan (Mattjik dan Jaya 2006)


Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dalam waktu (RAL
intime) dengan satu faktor, yaitu penambahan sumber mikroorganisme berupa
lumpur aktif. Waktu dianggap sebagai pengamatan berulang sehingga akan
terlihat perkembangan respon selama penelitian berjalan. Perlakuan yang
dilakukan terdiri dari limbah cair tanpa lumpur aktif dan limbah cair dengan
penambahan lumpur aktif. Apabila ada perbedaan nyata antar perlakuan dan
waktu pengamatan dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Data diolah dengan software SAS 9.1.3. Model rancangan percobaan yang
digunakan adalah
Yijk = + i + ij + k + jk + ik + ijk
Keterangan:
Yijk = nilai respon faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j, waktu pengamatan ke-k
= rataan umum
i = pengaruh faktor ke A taraf ke-i
ij = komponen acak perlakuan
k = pengaruh waktu pengamatan ke-k
jk = komponen acak waktu pengamatan
ik = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A
ijk = komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan
18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan


Limbah cair industri pengolahan ikan dapat dikarakterisasi melalui
parameter fisikokimia, organik, nitrogen dan kandungan fosfor (Tay et al. 2006).
Kontaminan utama yang terdapat pada limbah cair perikanan merupakan
campuran berbagai substrat, terutama bahan organik alami. Penelitian ini
menggunakan limbah cair perikanan buatan sebagai pengganti limbah cair industri
perikanan. Tujuan penggunaan limbah cair buatan adalah agar limbah yang
digunakan lebih stabil. Menurut Ibrahim (2007) penggunaan limbah cair buatan
bertujuan agar umpan yang akan dimasukkan ke dalam sistem sebagai influen
memiliki karakteristik yang lebih stabil dan mudah dikendalikan. Proses
pembuatan limbah cair perikanan mengacu pada penelitian Ibrahim (2007), yaitu
perbandingan antara daging ikan (kg) dengan air (L) adalah 1:5. Proses perebusan
limbah padat dilakukan dalam pembuatan limbah cair buatan yang bertujuan
untuk melarutkan kandungan bahan organik yang terdapat pada limbah padat.
Tujuan perebusan pada pembuatan limbah cair buatan yaitu mendapatkan kadar
nitrogen yang tinggi dalam limbah cair yang dihasilkan (Irma 2008). Karakteristik
limbah cair buatan yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik limbah cair perikanan buatan


Parameter Satuan Limbah cair buatan Limbah cair perikanan*
Total N mg/L 607,32 111
BOD mg/L 537 184
COD mg/L 1062,4 571
Amonia mg/L 3,89 1,7
* Sumber: Ibrahim (2007), limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden

Limbah cair perikanan buatan memiliki jumlah nitrogen yang tinggi. Hal
ini dikarenakan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan limbah cair berupa
daging ikan yang memiliki kandungan protein tinggi. Tay et al. (2006)
meyampaikan bahwa konsentrasi nitrogen dapat tinggi pada limbah cair industri
perikanan. Tingkat kandungan nitrogen yang tinggi dikarenakan kandungan
protein yang tinggi pada ikan atau invertebrata laut (15-20% berat basah).
Limbah cair perikanan buatan memiliki nilai BOD yang lebih tinggi
dibandingkan dengan limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden.
19

Limbah cair perikanan memiliki nilai BOD yang sangat tinggi disebabkan oleh
tingginya komponen organik yang terkandung di dalam limbah cair perikanan.
Tay et al. (2006) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen pada limbah cair
perikanan dikarenakan dua hal, yaitu komponen karbon yang digunakan sebagai
substrat oleh mikroorganisme aerobik dan komponen nitrogen yang secara alami
terdapat pada limbah cair perikanan seperti protein, peptida dan amina volatil.
Analisis COD dilakukan dengan metode dikromat. Limbah cair perikanan
buatan memiliki nilai COD yang tinggi. Limbah cair dari industri pengolahan ikan
memiliki karakteristik nilai COD yang tinggi karena kandungan kompnen organik
dan anorganik yang tinggi, sehingga oksigen yang digunakan untuk menguraikan
komponen organik tersebut secara kimiawi juga tinggi. Ibrahim et al. (2009)
menyatakan bahwa limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik
yang tinggi dengan tingkat pencemaran yang berbeda, tergantung pada tipe proses
pengolahan dan spesies ikan yang diolah. Priambodo (2011) menambahkan bahwa
perbedaan proses produksi menghasilkan limbah cair dengan jumlah dan kualitas
yang berbeda. Carawan (1991) menyatakan bahwa rata-rata nilai COD dari proses
pengalengan ikan tuna antara 1300-3250 mg/L.
Nilai amonia limbah cair perikanan buatan lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai amonia limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden.
Amonia merupakan hasil penguraian senyawa nitrogen. Nitrogen di dalam limbah
cair terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya
tergantung bahan organik yang didegradasi (Ibrahim 2007). Nilai baku mutu
amonia dari limbah cair perikanan antara 5-10 mg/L (Kementerian Negara
Lingkungan Hidup 2007). Karakteristik limbah industri pengalengan tuna dan
sarden pada Tabel 4 menunjukkan bahwa limbah cair perikanan buatan yang
digunakan pada penelitian ini telah memenuhi karakteristik limbah cair industri
perikanan, khususnya limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden.

4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Satu Bejana
Sistem MFC memiliki kemampuan sebagai bioreaktor untuk mengolah
limbah cair. Berbagai macam jenis limbah cair yang mengandung bahan organik
dapat dijadikan sebagai substrat pada sistem MFC, salah satunya adalah limbah
cair perikanan yang memiliki kandungan bahan organik tinggi. Sistem MFC dapat
20

mengolah limbah cair dengan memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada


susbstrat untuk mendegradasi bahan organik. Sistem MFC juga dapat
menghasilkan listrik dengan cara menangkap elektron hasil degradasi bahan
organik dengan elektroda. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari.
Tipe sistem MFC yang digunakan berupa MFC satu bejana dengan
perlakuan pemberian lumpur aktif. Penambahan substrat lumpur aktif pada limbah
cair perikanan diharapkan mampu meningkatkan degradasi bahan organik dan
listrik yang dihasilkan semakin besar. Parameter karakterisitik limbah cair yang
dianalisis selama pengolahan di dalam sistem MFC adalah total nitrogen, BOD,
COD, nitrogen-amonia, MLSS dan MLVSS. Analisis MLSS dan MLVSS hanya
dilakukan pada sistem MFC dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Sebelum
dimasukkan ke dalam sistem MFC, lumpur aktif terlebih dahulu diaklimatisasi
dengan limbah cair buatan yang akan digunakan.
4.2.1 Total nitrogen
Total nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen organik yang terdapat
dalam limbah cair. Nitrogen di dalam air limbah terdapat sebagai nitrogen organik
dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang
berlangsung. Total nitrogen organik selama di dalam sistem MFC dapat dilihat
pada Gambar 5.

607,32ax 607,32ax
573,58ax
Rata-rata Total N (mg/L)

650
550 607,32ax 607,32ax 573,58ax
450
350
250
150
0 3 6
Hari

Gambar 5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan
nyata antar waktu pengamatan.

Total nitrogen mengalami penurunan yang sama selama di dalam sistem


MFC satu bejana, baik limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dan limbah cair
21

dengan pemberian lumpur aktif, yaitu 607,32 mg/L pada hari ke-0 kemudian
menjadi 573,58 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif tidak memberikan
pengaruh terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC satu
bejana (P>0,05). Penurunan total nitrogen menunjukkan terjadinya reaksi
penguraian senyawa nitrogen organik. Penurunan yang sama antara kedua
perlakuan tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif
dapat menguraikan senyawa nitrogen organik melalui mikroorganisme yang
terdapat pada limbah cair tersebut.
Bakteri yang terdapat pada lumpur aktif diduga masih beradaptasi dengan
substrat yang ada, sehingga proses penguraian senyawa nitrogen masih berjalan
sama dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif selama selama 6 hari.
Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme dapat beradaptasi
dengan lingkungan barunya dan mencapai fase pertumbuhan logaritmik sampai
hari ke-8 dengan menggunakan substrat yang tersedia.
Degradasi limbah cair secara biologis merupakan proses yang berlangsung
secara alamiah, namun berjalan lambat. Avnimelech et al. (2001) menyatakan
bahwa kecepatan penurunan nitrogen organik sangat kompleks karena hanya
sebagian dari nitrogen organik yang berubah menjadi nitrogen anorganik,
sementara itu sisanya digunakan untuk memproduksi protein bakteri yang
selanjutnya akan menjadi biomassa sel. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya
terdapat dalam bentuk organik dan oleh bakteri berubah menjadi nitrogen amonia.
Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan
nitrat (Ginting 2007).
4.2.2 Biological oxygen demand (BOD)
Biological oxygen demand atau BOD merupakan jumlah miligram oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik karbon
dalam satu liter air selama lima hari pada suhu 20 C1 C (BSN 2009). Hasil
pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada
Gambar 6.
22

496ax 450ax 428ax

Rata-rata BOD (mg/L)


500
400 475ax
436ax
300 407ax
200
100
0
0 3 6

Hari
Gambar 6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh
perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

Nilai BOD limbah cair selama 6 hari mengalami penurunan. Perlakuan


pemberian lumpur aktif pada limbah cair mengalami penurunan yang sedikit lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif. Perlakuan
penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh
terhadap penurunan BOD (P>0,05). Penurunan nilai BOD tersebut menunjukkan
terjadinya proses penguraian senyawa organik. Semakin besar jumlah bahan
organik yang diuraikan semakin banyak oksigen yang digunakan, karena oksigen
tersebut digunakan untuk penguraian senyawa organik.
Penurunan nilai BOD selama 6 hari yang tidak terlalu signifikan dari
kedua perlakuan menandakan bahwa mikroorganisme di dalam sistem MFC tidak
menguraikan bahan organik dengan maksimal. Hal ini dapat disebabkan
kurangnya oksigen di dalam bejana anoda yang tidak diberi aerasi atau
dikondisikan untuk kondisi anaerobik. Sulihingtyas et al. (2010) menyatakan
bahwa kerja aerasi yang kurang maksimal menyebabkan persediaan oksigen
terlarut di dalam sistem tidak mencukupi bagi mikroorganisme untuk
mengoksidasi bahan organik. Selain itu, mikroorganisme di dalam sistem MFC
dengan penambahan lumpur aktif yang diduga masih beradaptasi menggunakan
oksigen tersebut untuk proses adaptasi.
Nilai BOD yang ditampilkan merupakan nilai BOD5. Nilai BOD5 hanya
merupakan indeks jumlah bahan organik yang dapat dipecah secara biologik
bukan ukuran sebenarnya dari limbah organik (Jenie dan Rahayu 1993). Oksidasi
23

berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu yang tak terbatas.
Oksidasi organik karbon akan mencapai 60-70% dalam waktu 5 hari (BOD5) dan
dalam waktu 20 hari akan mencapai 95% (Siregar 2005). Oksidasi yang berjalan
lambat ini juga mengakibatkan penurunan nilai BOD yang tidak signifikan.
Nilai BOD yang dihasilkan menunjukkan bahan organik atau beban
limbah cair selama di dalam sistem MFC masih cukup tinggi. Kementerian
Lingkungan Hidup tahun 2007 menetapkan nilai baku mutu BOD limbah cair
industri pengolahan ikan khususnya pengalengan yaitu 75 mg/L. Nilai BOD
diduga masih dapat menurun seiring dengan penambahan waktu inkubasi di dalam
sistem MFC dan penambahan konsentrasi lumpur aktif untuk mempercepat proses
penguraian bahan organik.
4.2.3 Chemical oxygen demand (COD)
Pengukuran COD menekankan kebutuhan oksigen secara kimia dimana
senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dapat dipecah
secara biokimia (Ginting 2007). Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan
selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 7.
Rata-rata COD (mg/L)

1200 992ax
1000 848ay 816ay
800 901bx
600 805by 781by
400
200
0
0 3 6
Hari

Gambar 7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.


Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh
perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

Nilai COD limbah cair mengalami penurunan selama di dalam sistem


MFC satu bejana. Perlakuan pemberian lumpur aktif ke dalam sistem MFC satu
bejana memberikan pengaruh berbeda terhadap penurunan nilai COD (P<0,05)
dan terjadi penurunan nilai COD yang nyata antara hari ke-0 dengan hari ke-3 dan
ke-6 dari kedua perlakuan. Nilai COD limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif
24

pada hari ke-0 yaitu 992 mg/L dan pada hari ke-6 menjadi 816 mg/L. Penurunan
nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif mengalami penurunan
yang lebih besar, yaitu 901 mg/L pada hari ke-0 menjadi 781 mg/L pada hari ke-6.
Penurunan nilai COD tersebut menunjukkan adanya degradasi senyawa organik
dan anorganik. Penurunan nilai COD limbah cair diikuti dengan penurunan
senyawa karbon di dalam air limbah.
Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif lebih
besar dibandingkan limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif, hal ini diduga
penambahan lumpur aktif akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang
terdapat di dalam limbah cair, sehingga semakin banyak mikroorganisme maka
proses degradasi senyawa organik dan anorganik akan semakin cepat dan oksigen
yang dibutuhkan untuk penguraian senyawa semakin banyak. Oksigen memegang
peranan penting dalam sistem penanganan biologik karena jika oksigen bertindak
sebagai aseptor hidrogen terakhir, mikroorgannisme akan memperoleh energi
maksimum (Jenie dan Rahayu 1993), sehingga semakin banyak mikroorganisme
dan senyawa organik yang diuraikan maka oksigen yang dibutuhkan juga
meningkat. Hal tersebut mengakibatkan nilai COD di dalam limbah cair semakin
menurun.
Nilai COD hari pertama yang berbeda nyata dengan hari ke-3 dan ke-6
menandakan mikroorganisme masih aktif mendegradasi senyawa organik dan
anorganik karena media kontak antara mikroorganisme dan limbah cair masih
besar, kemudian terjadi penurunan pada hari ke-3 dan cenderung stabil sampai
hari ke-6. Pohan (2008) menyatakan bahwa reduksi COD setelah 3 hari akan
mengalami penurunan yang disebabkan oleh mikroba yang mulai saling
bertumpuk sedemikian rupa sehingga menghambat kontak antar mikroba dengan
limbah cair, dengan demikian persentase penurunan COD menjadi relatif konstan
karena jumlah bakteri yang mati dan yang tumbuh mulai berimbang dan tercapai
kestabilan.
Nilai baku mutu COD limbah cair indusutri pengalengan ikan yaitu
150 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan
bahwa nilai COD limbah cair selama di dalam sistem MFC masih tinggi. Nilai
COD yang tinggi menunjukkan bahwa masih tingginya bahan organik dan
25

anorganik yang terdapat di dalam limbah cair. Nilai COD lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai BOD. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak
terhadap kimia, sepertli lignin, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia
dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD5 seperti selulosa,
lemak berantai panjang dan sel-sel mikroba, dan adanya bahan toksik dalam
limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak mengganggu uji COD
(Jenie dan Rahayu 1993).
4.2.4 Nitrogen-amonia
Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4 pada pH rendah.
Amonia dalam air sering terbentuk karena adanya proses kimia secara alami.
Hasil pengukuran amonia limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC
dapat dilihat pada Gambar 8.

4,5 4,18ax
Rata-rata amonia (mg/L)

4
3,5
3 ax
2,5 3,37
2 1,55ay
1,5
1 0,40az
0,5 1,10ay
0
0,14az
0 3 6
Hari
Gambar 8 Nitrogen-amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan
nyata antar waktu pengamatan.

Amonia limbah cair perikanan mengalami penurunan selama 6 hari di


dalam sistem MFC satu bejana. Kandungan amonia limbah cair dengan
penambahan lumpur aktif mengalami penurunan dari 3,37 mg/L pada hari ke-0
menjadi 0,14 mg/L pada hari ke-6. Kandungan amonia limbah cair tanpa
pemberian lumpur aktif mengalami penurunan dari 4,18 mg/L pada hari ke-0
menjadi 0,40 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif ke dalam limbah
cair tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai nitrogen-amonia
26

(P>0,05). Amonia merupakan hasil degradasi senyawa nitrogen organik seperti


protein. Amonia akan mengalami proses oksidasi menjadi nitrit dan nitrat.
Penurunan kandungan amonia menunjukkan terjadinya degradasi senyawa
nitrogen organik dan anorganik limbah cair selama di dalam sistem MFC satu
bejana. Degradasi senyawa tersebut menghasilkan energi, bahan seluler baru,
karbondioksida dan air. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi
amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007), sehingga kandungan amonia di
dalam limbah cair akan menurun. Proses perubahan amonia menjadi nitrit disebut
proses nitirifikasi dan melibatkan bakteri yang disebut nitrifier. Penambahan
lumpur aktif ke dalam limbah cair diduga meningkatkan jumlah mikroorganisme
termasuk bakteri nitrifier tersebut, sehingga terjadi penurunan nilai kandungan
amonia, sehingga terjadi penurunan amonia yang lebih besar pada perlakuan
penambahan lumpur aktif. Herlambang (2010) menyatakan bahwa flok lumpur
aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri nitrit
(Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi nitrat.
Nilai baku mutu amonia limbah cair indsutri pengalengan ikan yaitu
5 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa
nilai amonia limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana telah sesuai
dengan nilai baku mutu yang ditetapkan. Nilai amonia tersebut masih dapat
meningkat dikarenakan masih banyak senyawa organik yang belum terurai.
Kandungan amonia yang terukur diduga merupakan hasil dari penguraian
senyawa nitrogen yang sudah terurai. Poppo et al. (2009) menyatakan bahwa
tingginya kandungan amonia pada air limbah disebabkan karena senyawa amonia
merupakan produk utama dari penguraian (pembusukan) limbah nitrogen organik.
4.2.5 MLSS dan MLVSS
Mixed Liquor Suspended Solids atau MLSS adalah jumlah total dari
padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di
dalamnya mikroorganisme. Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh
MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati,
dan hancuran sel (Herlambang 2010). Hasil nilai MLSS dan MLVSS pada sistem
MFC yang diberi perlakuan pemberian lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 9
dan Gambar 10.
27

3500
2867

Rata-rata MLSS (mg/L)


3000 2600
2500
2000 1827
1500
1000
500
0
0 3 6
Hari
Gambar 9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.

2500 2133
Rata-rata MLVSS (mg/L)

2000
2000
1360
1500

1000

500

0
0 3 6
Hari
Gambar 10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu
bejana.

Nilai MLSS dan MLVSS limbah cair dengan penambahan lumpur aktif
mengalami peningkatan selama 6 hari. Nilai MLSS pada hari ke-0 yaitu
1827 mg/L kemudian meningkat menjadi 2867 pada hari ke-6. Nilai MLVSS pada
hari ke-0 1360 mg/L kemudian meningkat menjadi 2133 mg/L pada hari ke-6.
Hal ini disebabkan terjadi pertumbuhan mikroorganisme atau biomassa di dalam
sistem MFC satu bejana.
Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS disebabkan oleh peningkatan
biomassa atau mikroorganisme yang terjadi karena proses degradasi senyawa
organik. Mikrooragnisme akan memanfaatkan limbah cair sebagai nutrisi
sehingga bahan organik tersebut terurai menjadi CO2, air dan sel baru. Ibrahim et
al. (2005) menyatakan bahwa lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik
menjadi bentuk anorganik yang mantap atau menjadi massa sel. Hal inilah yang
28

mengakibatkan dalam proses pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif akan
terjadi penurunan senyawa organik dan peningkatan biomassa.
Proses sintesis atau peningkatan biomassa berlangsung dengan reaksi
sebagai berikut:
COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2
COHNS adalah bahan-bahan organik di dalam limbah cair, sedangkan C5H7NO2
adalah jaringan baru yang diperoleh (Ginting 2007).
Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS selama 6 hari masing-masing hanya
1040 mg/L dan 773 mg/L. Peningkatan yang lambat selama 6 hari ini diduga
disebabkan mikroorganisme dari lumpur aktif yang beradaptasi sangat lambat,
sehingga proses degradasi juga berjalan lambat. Perbedaan substrat diduga
mempengaruhi proses adaptasi tersebut. Lumpur aktif yang digunakan pada
penelitian ini berasal dari pengolahan limbah tekstil. Nilai BOD dan COD limbah
tekstil masing-masing yaitu 97,50 mg/L dan 428,50 mg/L (Herlambang 2010),
lebih rendah dibandingkan nilai BOD dan COD limbah cair yang digunakan pada
penelitian ini. Syamsudin et al. (2008) menyatakan bahwa aktivitas
mikroorganisme di dalam proses pengolahan dengan lumpur aktif sangat
dipengaruhi oleh tersedianya nutrien dan kondisi lingkungan. Proses biodegradasi
oleh mikroorganisme aerobik akan berlangsung optimal jika oksigen terlarut dan
nutrisi tersedia pada konsentrasi yang sesuai.
Keaktifan lumpur ditentukan oleh konsentrasi MLSS. Nilai MLSS yang
baik untuk pengolahan limbah cair yang terdiri dari larutan organik dan
endapannya adalah 1000-3000 mg/L dalam berat kering (Ginting 2007). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penambahan lumpur aktif dengan rasio limbah
cair dan lumpur aktif 10:1 memiliki nilai MLSS antara 1000-3000 mg/L, sehingga
sudah sesuai dengan keaktifan MLSS untuk pengolahan limbah cair. Syamsudin
et al. (2008) menambahkan bahwa pada konsentrasi MLSS 2000 mg/L senyawa
sederhana yang menjadi substrat bagi mikroorganisme dapat terdegradasi secara
optimal. Penelitian Sudaryati et al. (2007) menunjukkan bahwa nilai MLVSS
antara 1740-2265 mg/L mengandung mikroorganisme serta jumlah
mikroorganisme yang cukup baik untuk dijadikan bibit mikroorganisme atau agen
oksidator dalam pengolahan limbah secara biologis.
29

4.3 Listrik Limbah Cair Perikanan


Listrik yang dihasilkan oleh sistem MFC satu bejana diukur setiap jam
selama 5 hari dalam satuan mV. Limbah cair perikanan diinkubasi selama 25 jam
sebelum dilakukan pengukuran listrik sesuai penelitian Kubota et al. (2010) untuk
mengadaptasikan mikroorganisme yang ada di dalam limbah cair dan lumpur aktif
dengan sistem MFC, sehingga proses degradasi bahan organik berjalan dengan
baik. Hasil pengukuran listrik limbah cair perikanan dapat dilihat pada
Gambar 11.
Listrik limbah cair perikanan

160
140
120
100
(mV)

80
60
40
20
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

Gambar 11 Nilai listrik limbah cair perikanan.


Limbah limbah dan lumpur

Pada jam ke-0 rata-rata nilai listrik dari sistem MFC satu bejana tanpa
lumpur aktif 3,8 mV, sedangkan nilai listrik dari sistem MFC satu bejana dengan
penambahan lumpur aktif 16,8 mV. Perbedaan nilai listrik pada awal pengukuran
diduga disebabkan oleh jumlah elektron bebas yang ditangkap oleh anoda lebih
banyak pada MFC dengan penambahan lumpur aktif. Inkubasi selama 25 jam
dapat meningkatkan jumlah elektron karena terjadi proses degradasi senyawa
organik. Hal ini terlihat dari penurunan nilai COD dan BOD dari limbah cair
sebelum diinkubasi dan setelah diinkubasi. Penambahan lumpur aktif
mempercepat proses tersebut, sehingga akan meningkatkan jumlah elektron yang
dihasilkan dari proses degradasi senyawa organik. Riyanto et al. (2011)
menyatakan bahwa tingginya arus listrik yang dihasilkan pada hari pertama
disebabkan adanya akumulasi elektron yang telah ada pada substrat.
Sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif memiliki nilai
listrik yang lebih tinggi dibandingkan nilai listrik MFC tanpa lumpur dari awal
30

pengamatan hingga jam ke-40. Nilai listrik dari MFC dengan penambahan lumpur
aktif yang lebih tinggi pada beberapa jam awal pengamatan diduga disebabkan
jumlah mikroorganisme yang melekat pada anoda MFC dengan penambahan
lumpur aktif lebih banyak dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Kim et al.
(2002) menyatakan bahwa listrik yang dihasilkan dari sistem MFC dipengaruhi
oleh konsentrasi sel bakteri pada area permukaan elektroda. Patil et al. (2009)
menambahkan bahwa pembentukkan biofilm membutuhkan waktu yang lebih
sedikit dibandingkan untuk meningkatkan voltase.
Nilai listrik dari kedua perlakuan mengalami fluktuasi namun cenderung
meningkat sejak jam ke-40. Fluktuasi nilai listrik ini dipengaruhi oleh
metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bejana anoda.
Metabolisme mikroorganisme dengan memanfaatkan senyawa organik dari
limbah cair akan menghasilkan elektron. Peningkatan atau penurunan nilai listrik
diduga sesuai dengan jumlah elektron bebas yang dihasilkan oleh bakteri.
Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa produk biodegradasi senyawa organik
oleh bakteri tertentu dapat menjadi substrat bagi jenis bakteri lain. Hal ini
menyebabkan produk tidak dapat dioksidasi untuk menghasilkan elektron bebas
dan ion H+ dengan optimum sehingga elektron yang mengalir dari anoda ke
katoda berkurang dan mengakibatkan fluktuasi listrik.
Peningkatan nilai listrik terjadi setelah jam ke-40 sampai jam ke-120,
namun nilai listrik MFC dengan panambahan lumpur aktif lebih rendah
dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Hal ini diduga disebabkan karena
mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif belum
mendegradasi senyawa organik secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak terlalu signifikan sampai hari
terakhir pengamatan. Nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tinggi juga
menunjukkan bahwa kandungan senyawa organik di dalam limbah cair masih
tinggi. Penurunan nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tidak signifikan
dengan penambahan lumpur aktif juga menunjukkan bahwa proses degradasi
senyawa organik belum optimal. Hal ini mengakibatkan jumlah proton dan
elektron bebas tidak banyak ditangkap oleh elektroda. Sitorus (2010) juga
31

menyatakan semakin aktif suatu kumpulan mikroba dalam melakukan suatu


metabolisme, semakin banyak pula elektron bebas yang dihasilkan.
Jumlah mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif yang
lebih banyak juga dapat mempengaruhi rendahnya nilai listrik yang dihasilkan.
Hal ini dikarenakan elektron yang berada di dalam MFC lebih banyak digunakan
oleh mikroorganisme sebagai energi untuk mendegradasi senyawa organik.
Ibrahim (2007) menyatakan bahwa proses denitrifikasi memerlukan penyumbang
elektron yang berasal dari bahan organik atau senyawa-senyawa tereduksi seperti
sulfida atau hidrogen. Bakteri-bakteri denitrifikasi memanfaatkan potensial redoks
positif untuk memenuhi kebutuhan energi melalui proses sintesa ATP dan
transpor elektron. Pandey et al. (2011) juga menyatakan bahwa rendahnya nilai
listrik mengindikasikan bahwa beberapa elektron pada bejana anoda digunakan
untuk mereduksi penangkap elektron lain seperti sulfat dan nitrat, atau oksigen
yang berdifusi dari bejana katoda dan oksigen terlarut yang terkandung di dalam
substrat.
Nilai listrik yang dihasilkan pada penelitian ini belum tinggi. Banyak
faktor yang mempengaruhi nilai listrik dari sistem MFC. Perbedaan jenis substrat
yang digunakan juga dapat mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan.
Lovley (2006) menyatakan substrat merupakan faktor penting dalam efisiensi
produksi listrik. Efisiensi dan nilai ekonomis perubahan limbah organik menjadi
bioenergi bergantung pada karakteristik dan komponen dari material limbah.
Pant et al. (2010) menambahkan beberapa faktor lain yang mempengaruhi listrik
adalah kondisi operasi sistem, luas area elektroda, tipe elektroda dan jenis
mikroorganisme. Cheng et al. (2006) juga menyatakan faktor jarak antar elektroda
dapat mempengaruhi kekuatan listrik yang dihasilkan.
Rendahnya nilai listrik pada penelitian ini dapat disebabkan karena tidak
adanya mediator untuk mempercepat pelepasan elektron dari pusat metabolisme
ke anoda. Menurut Seop et al. (2006), sel bakteri merupakan elektrokimia yang
tidak aktif karena pembawa elektron aktif ditutupi oleh dinding sel yang tidak
konduktif. Hal ini mengakibatkan pelepasan elektron ke anoda menjadi tidak
maksimal sehingga nilai listriknya kecil. Kim et al. (2002) menyatakan bahwa
proses transfer elektron langsung tidak efisien berdasarkan jumlah dan kecepatan
32

elektron yang ditransfer. Oleh karena itu pada beberapa sistem MFC yang dibuat
ditambahkan media untuk mempercepat proses transfer elektron tersebut. Lovley
(2006) menyatakan media yang dapat mempercepat transfer elektron, antara lain
thionine, benzylviologen, 2,6-dichlorophenolindophenol, 2-hydroxy-1,4-
naphthoquinone, berbagai jenis phenazines, phenothiazines, phenoxoazines, iron
chelates dan neutral red. Beberapa mikroorganisme juga dapat menghasilkan
mediatornya sendiri untuk mentransfer elektron ke sel luar, seperti Shewanella
oneidensis MR-1, Geothrix ferementans dan Pseudomonas sp (Logan dan Regan
2006).
Kondisi di dalam sistem MFC juga dapat mempengaruhi nilai listrik yang
dihasilkan. Pada penelitian ini kondisi anaerobik belum tercapai, sehingga energi
yang dihasilkan belum terlalu besar untuk meningkatkan kekuatan listrik. Bejana
anoda pada kedua perlakuan MFC tidak diberi aerasi, namun diberi pengaduk
untuk menghomogenkan substrat. Hal ini bertujuan agar kondisi anerobik dapat
tercapai. Du et al. (2007) menyatakan bahwa kekuatan listrik dapat dihasilkan
dengan menjaga mikroorganisme di dalam bejana anoda terpisah dengan oksigen
atau penerima elektron lain. Oleh karena itu bejana anoda harus dikondisikan
dalam keadaan anaerobik.
Degradasi senyawa organik/anorganik di dalam sistem MFC akan
menghasilkan potensial redoks yang kemudian dimanfaatkan oleh bakteri-bakteri
untuk memenuhi kebutuhan energinya. Hilangnya potensial redoks ini juga
mengakibatkan nilai listrik yang dihasilkan kecil. Potensial redoks yang
dihasilkan berbeda-beda setiap reaksinya. Du et al. (2007) menampilkan hasil
energi potensial dari berbagai reaksi redoks pada elektroda pada Tabel 5.
33

Tabel 5 Reaksi elektroda pada MFC dan hasil potensial redoks


Pasangan oksidasi/reduksi E (mV)
H+/H2 - 420
NAD+/NADH - 320
S /HS- - 270
SO42-/H2S - 220
Piruvat2-/Laktat2- - 185
2,6-AQDS/2,6-AHQDS - 184
FAD/FADH2 - 180
Manaquinon oks/red - 75
Piosianin oks/red - 34
Metilen blue oks/red + 11
Fumarat2-/Succinat2- + 31
Thionin oks/red + 64
Sitokrom b(Fe3+)/Sitokrom b(Fe2+) + 75
Fe(III) EDTA/Fe(II) EDTA + 96
Ubiquinon oks/red + 113
Sitokrom c(Fe3+)/Sitokrom c(Fe2+) + 254
O2/H2O2 + 275
Fe(III) sitrat/Fe(II) sitrat + 372
Fe(III) NTA/Fe(II) NTA + 385
NO3-/NO2- + 421
Fe(CN)63-/Fe(CN)64- + 430
NO2-/NH4+ + 440
O2/H2O + 820
Sumber: Du et al. (2007)

Proses degradasi senyawa organik melibatkan reaksi reduksi dan oksidasi


(redoks). Reaksi redoks menghasilkan energi potensial dalam satuan volt. Nilai
energi potensial positif menunjukkan reaksi redoks spontan dan energi potensial
negatif menunjukkan reaksi redoks tidak spontan. Reaksi NO3- menjadi NO2-
merupakan reaksi spontan yang membutuhkan energi 421 mV dan reaksi O2
menjadi H2O merupakan reaksi redoks tidak spontan yang membutuhkan energi
820 mV. Energi yang digunakan untuk reaksi tersebut mengakibatkan nilai listrik
yang dihasilkan menjadi kecil. Cyio (2008) menyatakan bahwa jumlah elektron
berbanding lurus dengan potensial redoks, sehingga penurunan jumlah elektron
secara otomatis akan menurunkan nilai potensial redoks.
Nilai listrik dari MFC satu bejana ini masih dapat meningkat karena
senyawa organik yang terkandung di dalam limbah cair masih tinggi. Hal ini
dapat dilihat dari nilai total nitrogen, BOD dan COD yang masih diatas baku mutu
yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2007. Selain itu,
34

peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak signifikan menunjukkan bahwa
mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif diduga masih
beradaptasi, sehingga aktivitas metabolismenya belum optimal. Listrik akan
menurun hingga bernilai 0 V jika senyawa organik di dalam limbah cair sudah
habis. Hal tersebut menunjukkan bahwa MFC merupakan sistem yang
berkelanjutan dan terbarukan. Sistem ini akan terus berkelanjutan dan terbarukan
selama terdapat limbah cair yang mengandung bahan organik yang dapat
didegradasi oleh mikroorganisme. Suyanto et al. (201) menyatakan bahwa fuel
cell merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak menimbulkan
polusi dan dapat digunakan terus menerus jika ada suplai hidrogen yang berasal
dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Kelemahan MFC tanpa membran yang digunakan pada penelitian ini
adalah masih adanya oksigen pada bejana anoda karena difusi dari bejana katoda.
Hal tersebut akan mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan. Liu dan Logan
(2004) menyatakan bahwa oksigen yang berdifusi ke bejana anoda juga
mempengaruhi listrik yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan meningkatnya
transfer oksigen ke anoda pada MFC tanpa PEM. Adanya oksigen pada bejana
anoda akan mengakibatkan potensial pada substrat hilang karena reaksi oksidasi
aerobik oleh bakteri pada bejana anoda. Sistem MFC tanpa PEM merupakan salah
satu sistem yang potensial untuk dikembangkan dalam skala yang lebih besar. Hal
ini dikarenakan harga PEM yang mahal dan sampai saat ini PEM terbuat dari
bahan kimia dan diduga dapat mempengaruhi sistem MFC selanjutnya.
35

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Limbah cair perikanan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik
melalui teknologi MFC satu bejana. Beban limbah cair (total nitrogen, BOD,
COD, dan amonia) di dalam MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif
mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan perlakuan tanpa lumpur
aktif selama 6 hari pengamatan. Nilai MLSS dan MLVSS mengalami peningkatan
selama 6 hari pada perlakuan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif.
Perlakuan limbah cair tanpa lumpur aktif memiliki rata-rata nilai listrik yang lebih
tinggi dibandingkan rata-rata nilai listrik limbah cair dengan penambahan lumpur
aktif selama 120 jam. Nilai listrik limbah cair tertinggi terjadi pada jam ke-119,
yaitu pada limbah cair tanpa lumpur aktif 144,9 mV dan pada limbah cair dengan
penambahan lumpur aktif 87,6 mV.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan penambahan hari pengamatan listrik sampai senyawa organik
di dalam limbah cair berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dan kondisi
anaerobik pada bejana anoda tercapai. Perlu dilakukan peningkatan nilai listrik
dari sistem MFC tersebut berupa penambahan katalis pada limbah cair dan
elektroda, serta penambahan jumlah elektroda. Selain itu, perlu dilakukan
optimalisasi kerja mikroba dan identifikasi mikroba yang terdapat di dalam sistem
MFC satu bejana.
36

DAFTAR PUSTAKA

Alzate-Gaviria L. 2011. Microbial Fuel Cells for Wastewater Treatment. Mexico:


Yucatan Centre for Scientific Research.

[AOAC] Association of Official Analytical of Chemist. 2005. Offical Method of


Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington,
Virginia, USA : Published by The Association of Official Analytical of
Chemical, Inc

[APHA] American Public Health Association. 1975. Standar Methods for the
Examination of Water and Wastewater 14th edition. New York: American
Public Health Association.

Avnimelech Y, Ritvo G, Meijer LE, Kochba M. 2001. Water content, organic


carbon and dry bulk density in flooded sediments. Aquacult. Eng. 25: 25-
33.

[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2010. Energi terbarukan,


solusi krisis energi masa depan. http://www.bppt.go.id [6 Juni 2012].

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Air dan Air Limbah-Bagian 72: Cara
Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand/BOD).
SNI 6989.72:2009.

Carawan RE. 1991. Processing Plant Waste Management Guidlines: Aquatic


Fishery Products. Carolina: Departement of Food Science, North
Carolina State University.

Cheng S, Liu H, Logan BE. 2006. Increased power generation in a continous flow
MFC with advective flow through the porous anode and reduced
electrode spacing. Environ. Sci. Technol. 40: 2426-2432.

Cheng S dan Logan BE. 2011. Increasing power generation for scaling up single-
chamber air cathode microbial fuel cells. Biores. Tech. 102 : 44684473.

Colic M, Morse W, Hicks J, Lechter A, Miller JD. 2007. Case study: fish
processing plant wastewater treatment. http://www.cleanwatertech.com
[16 Juni 2012].

Cyio MB. 2008. Efektivitas bahan organik dan tinggi genangan terhadap
perubahan Eh, pH, dan status Fe, P, Al terlarut pada tanah ultisol. J.
Agroland 15 (4): 257263.

Das S dan Mangwani N. 2010. Recent developments in microbial fuel cells: a


review. J. Sci. & Ind. Res. 69: 727-731.
37

Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi. 2011.


Perkembangan energi baru terbarukan (2005-2010). Jakarta:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI.

Du Z, Li H, Gu T. 2007. A state art review on microbial fuel cells: a promising


technology for wastewater treatment and bioenergy. Biotech. Adv. 25:
464-482.

Faaij A. 2006. Modern biomas conversion technologies. Mit & Adapt. Strat. for
Global Change 11: 343-375.

FAO [Food and Agricultural Organization]. 1996. Wastewater Treatment in The


Fishery Industry (FAO Fisheries Technical Paper). Fisheries and
Aquaculture Department.

Ginting P. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung:


CV. Yrama Media.

Herlambang A. 2010. Teknologi pengolahan limbah tekstil dengan sistem lumpur


aktif. http://www.kelair.bppt.go.id/Sitpa/Artikel/Tekstil/tekstil.html [10
Desember 2012].
Ibrahim B. 2005. Kaji ulang sistem pengolahan limbah cair industri hasil
perikanan secara biologis dengan lumpur aktif. Bul. THP 8(1): 31-41.

Ibrahim B, Erungan AC, Uju. 2005. Kinetika reaksi denitrifikasi pada penyisihan
nitrogen dalam limbah cair industri perikanan. [Laporan akhir
penelitian]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Ibrahim B. 2007. Studi penyisihan nitrogen air limbah agroindustri hasil
perikanan secara biologis dengan model dinamik activated sludge model
(ASM) 1 [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor.
Ibrahim B, Erungan AC, Heriyanto. 2009. Nilai parameter biokinetika proses
denitrifikasi limbah cair industri perikanan pada rasio COD/TKN yang
berbeda. JPHPI 12(1): 31-45.

Irma. 2008. Pemanfaatan hasil pengolahan limbah cair perikanan dengan lumpur
aktif sebagai pupuk nitrogen pada tanaman bayam (Amaranthus sp.)
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Jenie BSL, Rahayu WP. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta:
Kanisius.
38

[Kementerian ESDM] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2011.


Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia. Jakarta:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI.

[Kementerian ESDM] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012.


Solusi non-bbm untuk meningkatkan ketahanan energi nasional melalui
revitalisasi program energi laut nasional. http://www.esdm.go.id [6 Juni
2012].

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 2011. Krisis Energi.


http://www.kemlu.go.id [6 Juni 2012].

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007 Baku mutu air limbah bagi usaha
dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan. Kepmen No. 06 Tahun
2007.

Kim HJ, Park HS, Hyun MS, Chang IS, Kim M, Kim BH. 2002. A mediator-less
microbial fuel cell using a metal reducing bacterium, Shewanella
putrefaciens. Enzy. & Mic. Tech. 30:145-152.

Kubota K, Yoochatchaval W, Yamaguchi T, Syutsubo K. 2010. Application of


single-chamber microbial fuel cell (MFC) for organic wastewater
treatment: influence of changes in wastewater composition on the process
performance. Sust. Environ. Res. 20(6): 347-351.

Liu H, Logan BE. 2004. Electricity generation using an air-cathode single


chamber microbial fuel cell in the presence and absence of a proton
exchange membrane. Environ. Sci. Tech. 38: 4040-4046.

Logan BE. 2005. Simultaneous wastewater treatment and biological electricity


generation. Wat. Sci. and Tech. 52(1-2): 31-37.

Logan BE, Hamelers B, Rozendal R, Schroder U, Keller J, Freguia S, Aelterman


P, Verstraete W, Rabaey K. 2006. Microbial fuel cells: methodology and
technology. Environ. Sci. Tech. 49(17): 5181-5192.

Logan BE, Regan JM. 2006. Electricity-producing bacterial communities in


microbial fuel cells. TIMI 14(12): 512-518.
Lovley DR. 2006. Bug juice: harvesting electricity with microorganisms. Nat.
Rev. 4: 497-508.

Mattjik AN, Jaya IS. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Bogor: IPB Press

Microbialfuelcell. 2008. General principles of MFCs.


http://www.microbialfuelcell.org [6 Juni 2012].
39

Moqsud MA, Omine K. 2010. Bio-electricity generation by using organic waste in


Bangladesh. Int. J. Environ. 7: 122-124.

Pandey BK, Mishra V, Agrawal S. 2011. Production of bio-electricity during


wastewater treatment using a single chamber microbial fuel cell. Int. J.
Eng. Sci. Technol. 4 (3): 42-47.

Pant D, Bogaert GV, Diels L, Vanbroekhoven K. 2010. A review of the substrates


used in microbial fuel cells (MFCs) for sustainable energy production.
Biores. Tech. 6(101): 1533-1543.

Patil SA, Surakasi VP, Koul S, Ijmulwar S, Vivek A, Shouche YS, Kapadnis BP.
2009. Electricity generation using chocolate industry wastewater and its
treatment in activated sludge based microbial fuel cell and analysis of
developed microbial community in the anode chamber. Biores. Tech.
100: 5132-5139.

Pohan N. 2008. Pengolahan limbah cair industri tahu dengan proses biofilter
aerobik [Tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.

Poppo A, Mahendra MS, Sundra IK. 2009. Studi kualitas perairan pantai di
kawasan industri perikanan, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana. Ecotrophic 3 (2): 98-103.

Priambodo G. 2011. Technical and social impacts of wastewater from fish


processing industry in kota muncar of indonesia. JATES 1(1): 1-17.

Ritmann BE. 2008. Opportunities for renewable bioenergy using microorganisms.


Biotechnol. Bioeng. 100 (2): 203-212.

Riyanto B, Mubarik NR, Idham F. 2011. Energi listrik dari sedimen laut Teluk
Jakarta melalui teknologi microbial fuel cell. JPHPI 1 (14): 32-42.

Rozendal RA, Hamalers HVM, Rabaey K, Keller J, Buisman JN. 2008. Towards
practical implementation of bioelectrochemical wastewater treatment.
Trends Biotech. 26 (8): 450-459.

Seop CI, Moon H, Bretschger O, Jang JK, Park HI, Nealson KH, Kim BH. 2006.
Electrochemically active bacteria (EAB) and mediator-less microbial fuel
cells. J. Microbiol Biotechnol. 16 (2):163-177.

Siregar SA. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Yogyakarta: Kanisius.

Sitorus B. 2010. Diversifikasi sumber energi terbarukan melalui penggunaan air


buangan dalam sel elektrokimia berbasis mikroba. J. Elkha 1 (2): 10-15.
40

Sudaryati NLG, Kasa IW, Suyasa IWB. 2007. Pemanfaatan sedimen perairan
tercemar sebagai bahan lumpur aktif dalam pengolahan limbah cair
industri tahu. Ecotrophic 3 (1): 21-29.

Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta: UI Press.

Sulihingtyas WD, Suyasa IWB, Wahyuni NMN. 2010. Efektivitas sistem


pengolahan instalasi pengolahan air limbah suwung Denpasar trhadap
kadar BOD, COD, dan amonia. J. Kimia 4 (2): 141-148.

Suyanto E, Mayangsari A, Wahyuni A, Zuhro F, Isa S, Sutariningsih SE,


Retnaningrum E. 2010. Pemanfaatan limbah cair domestik IPAL kricak
sebagai substrat generator elektrisitas melalui teknologi microbial fuel
cell ramah lingkungan. Seminar Nasional Biologi di Yogyakarta 24-25
September 2010.

Syamsudin, Purwati S, Taufick RA. 2008. Efektivitas aplikasi enzim dalam sistem
lumpur aktif pada pengolahan air limbah pulp dan kertas. J. Selulosa 2
(43): 83-92.

Tay JH, Show KY, Hung YT. 2006. Seafood Processing Wastewater Treatment.
Taylor and Francis Group LLC.
41
42

Lampiran 1 Nilai rata-rata listrik limbah cair perikanan selama 5 hari


Jam Limbah cair Limbah cair dan Jam Limbah cair Limbah cair dan
ke- (mV) lumpur aktif ke- (mV) lumpur aktif
(mV) (mV)
0 3,8 16,8 39 15,4 13,4
1 3,4 21,3 40 17,0 14,8
2 4,9 22,0 41 22,2 14,6
3 6,8 24,9 42 19,9 12,2
4 8,7 27,8 43 22,1 14,7
5 9,5 28,6 44 22,6 14,1
6 10,9 28,6 45 24,2 12,9
7 11,8 28,3 46 26,9 6,0
8 12,8 28,9 47 28,4 6,4
9 13,7 28,7 48 33,2 7,4
10 14,1 28,4 49 33,0 8,2
11 15,5 29,2 50 35,4 9,0
12 17,1 29,1 51 38,7 8,9
13 12,8 18,6 52 42,5 8,0
14 11,6 23,9 53 40,6 9,3
15 11,0 24,1 54 44,4 11,0
16 11,6 21,0 55 43,3 11,4
17 11,7 22,8 56 42,1 11,7
18 11,7 22,7 57 42,3 12,1
19 14,6 21,4 58 45,4 12,3
20 11,9 22,2 59 45,6 12,4
21 12,1 23,0 60 45,0 16,0
22 12,5 23,1 61 39,8 10,2
23 12,0 23,1 62 46,9 16,2
24 11,6 21,4 63 44,3 17,0
25 11,8 23,6 64 47,9 17,4
26 12,0 23,8 65 51,4 18,9
27 11,1 24,0 66 49,8 21,0
28 11,0 24,1 67 55,9 18,0
29 9,3 21,1 68 59,3 16,4
30 10,9 23,7 69 60,4 12,7
31 9,5 21,7 70 67,1 13,9
32 8,9 22,4 71 68,3 14,5
33 9,0 21,6 72 70,7 16,2
34 10,3 20,2 73 74,4 17,1
35 11,1 19,3 74 70,5 17,8
36 12,2 18,3 75 70,9 19,1
37 13,2 19,0 76 71,7 21,3
38 14,6 15,6 77 72,1 22,4
43

Jam Limbah cair Limbah cair dan Jam Limbah cair Limbah cair dan
ke- (mV) lumpur aktif ke- (mV) lumpur aktif
(mV) (mV)
78 73,2 22,8 99 120,5 61,7
79 70,9 26,5 100 103,1 62,4
80 46,8 27,5 101 86,2 60,1
81 72,8 28,5 102 101,4 56,5
82 58,3 28,8 103 107,6 62,9
83 78,7 30,5 104 105,1 67,1
84 78,8 31,7 105 106,7 70,9
85 84,1 35,9 106 118,1 71,0
86 79,6 43,0 107 102,4 75,4
87 81,5 43,2 108 102,1 78,1
88 107,3 49,9 109 136,7 67,4
89 95,5 55,1 110 104,1 79,3
90 111,5 56,8 111 113,4 72,6
91 93,8 57,7 112 132,2 70,4
92 112,2 59,0 113 130,0 86,0
93 116,6 63,7 114 135,7 86,1
94 102,8 64,0 115 119,5 88,2
95 102,5 64,5 116 125,2 88,8
96 104,1 62,5 117 136,1 89,9
97 100,6 61,7 118 137,8 83,1
98 102,5 61,6 119 144,9 87,6
120 134,3 85,8
44

Lampiran 2 Hasil uji statistik limbah cair perikanan


a. Hasil uji statistik total nitrogen

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Perlakuan 1 0.000000 0.000000 0.00 1.0000

r(perlakuan) 2 3415.162800 1707.581400 1.00 0.4444

Waktu 2 4553.550400 2276.775200 1.33 0.3600

r(waktu) 4 2276.775200 569.193800 0.33 0.8437

perlakuan*waktu 2 0.000000 0.000000 0.00 1.0000

b. Hasil uji statistik COD

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

perlakuan 1 14112.00000 14112.00000 63.00 0.0014

r(perlakuan) 2 20032.00000 10016.00000 44.71 0.0018

Waktu 2 74176.00000 37088.00000 165.57 0.0001

r(waktu) 4 5674.66667 1418.66667 6.33 0.0507

perlakuan*waktu 2 2752.00000 1376.00000 6.14 0.0603

c. Hasil uji lanjut perlakuan COD

Means with the same letter are


not significantly different.

Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 885.33 9 Limbah

A 829.33 9 Lumpur
45

d. Hasil uji lanjut waktu COD

Means with the same letter


are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N waktu

A 946.67 6 0

B 826.67 6 3

B 798.67 6 6

e. Hasil uji statistik BOD

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

perlakuan 1 1586.72222 1586.72222 0.36 0.5806

r(perlakuan) 2 13203.11111 6601.55556 1.50 0.3265

Waktu 2 14320.44444 7160.22222 1.63 0.3040

r(waktu) 4 21866.22222 5466.55556 1.24 0.4193

perlakuan*waktu 2 44.44444 22.22222 0.01 0.9950

f. Hasil uji statistik nitrogen-amonia

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

perlakuan 1 1.15266806 1.15266806 1.02 0.3687

r(perlakuan) 2 3.62537778 1.81268889 1.61 0.3068

Waktu 2 38.81630278 19.40815139 17.25 0.0108

r(waktu) 4 1.24068889 0.31017222 0.28 0.8801

perlakuan*waktu 2 0.22800278 0.11400139 0.10 0.9059

Anda mungkin juga menyukai