DWILINA APRIYANI
DWILINA APRIYANI
C34080033
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Biolistrik dari
Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dwilina Apriyani
C34080033
Judul : Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode
Microbial Fuel Cell Satu Bejana
Nama : Dwilina Apriyani
NIM : C34080033
Program Studi : Teknologi Hasil Perikanan
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui:
vi
memberi semangat, dan berbagi canda tawa pada saat akhir penyelesaian
skripsi.
10 Teman kosan SQ Bawah: Lia, Nia, Dudu, Fitra, Hana M, Ulfa, Kak Dayu,
Kak Septi, Mita, Hana dan Nurul, yang telah banyak memberi semangat dan
keceriaan setiap hari selama penelitian dan penyusunan skripsi.
11 Teman-teman THP angkatan 44, 46, dan 47 yang telah membantu baik secara
langsung maupun tidak langsung.
12 Tim asisten Oseanografi Umum periode 2012-2013 atas kekompakan,
pengertian dan keceriaan lain yang diberikan selama penyelesaian skripsi.
Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
membutuhkannya.
Bogor, Januari 2013
Penulis
vii
RIWAYAT HIDUP
Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii
1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Limbah Cair Industri Perikanan ............................................................ 4
2.2 Microbial Fuel Cell (MFC) .................................................................. 6
2.3 Microbial Fuel Cell Satu Bejana .......................................................... 9
3 METODE ................................................................................................... 11
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 11
3.2 Bahan dan Alat ...................................................................................... 11
3.3 Metode Penelitian ................................................................................. 11
3.3.1 Persiapan alat MFC satu bejana .................................................. 12
3.3.2 Pembuatan limbah cair buatan .................................................... 13
3.3.3 Pengukuran listrik dan beban limbah cair. .................................. 13
3.4 Prosedur Analisis .................................................................................. 14
3.4.1 COD (Chemical Oxygen Demand) (APHA 1975) ...................... 14
3.4.2 BOD (Biological Oxygen Demand) (APHA 1975) .................... 14
3.4.3 Total nitrogen (AOAC 2005) ..................................................... 15
3.4.4 Kadar N-NH3 (Nitrogen-amonia) (APHA 1975) ........................ 15
3.4.5 MLSS (Mixed Liquor Suspended Solids) (APHA 1975) ............ 16
3.4.6 MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solids)
(APHA 1975).............................................................................. 16
3.5 Rancangan Percobaan (Mattjik dan Jaya 2006) .................................... 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 18
4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan ................................................... 18
4.2.1 Total nitrogen .............................................................................. 20
4.2.2 Biological oxygen demand (BOD) .............................................. 21
4.2.3 Chemical oxygen demand (COD) ............................................... 23
4.2.4 Nitrogen-amonia ......................................................................... 25
4.2.5 MLSS dan MLVSS ..................................................................... 26
ix
4.3 Listrik Limbah Cair Perikanan .............................................................. 29
5 SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 35
5.1 Simpulan ............................................................................................... 35
5.2 Saran ..................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 36
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006) ................................................... 7
2 Sistem kerja MFC satu bejana (Lovley 2006) ......................................... 9
3 Diagram alir tahapan penelitian .............................................................. 12
4 Desain MFC satu bejana .......................................................................... 13
5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana ................ 20
6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana .............................. 22
7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana............................... 23
8 Amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana .......................... 25
9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu
bejana ....................................................................................................... 27
10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu
bejana ....................................................................................................... 27
11 Nilai listrik limbah cair perikanan ........................................................... 29
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Karakteristik limbah cair perikanan ........................................................ 5
2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan.......... 5
3 Mikroorganisme pada sistem MFC ......................................................... 8
4 Karakteristik limbah cair perikanan buatan ............................................ 18
5 Redoks elektroda pada MFC dan hasil potensial redoks ........................ 33
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Nilai rata-rata listrik limbah cair perikanan selama 5 hari ...................... 42
2 Hasil uji statistik limbah cair perikanan ................................................. 44
1
1 PENDAHULUAN
2010 mencapai 90,35 juta BOE (Barrel Oil Equivalent) (Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral 2011). Selain itu, statistik perkembangan energi terbarukan
dalam bentuk listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2005-2010,
yaitu 5.228,69 MW pada tahun 2005 menjadi 8.772,50 MW pada tahun 2010
(Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi 2011).
Faaij (2006) menyampaikan bahwa terdapat berbagai teknologi konversi
yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik ini, yaitu pembakaran,
gasification, dan fermentasi (gas metan). Namun teknologi konversi pembakaran
dan gasification berdampak terhadap penipisan cadangan bahan bakar fosil dan
peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Oleh karena itu diperlukan teknologi baru
yang lebih efisien untuk menghasilkan energi listrik.
Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi
microbial fuel cell (MFC) dengan memanfaatkan senyawa yang mengandung
hidrogen atau senyawa yang menghasilkan elektron sehingga ramah lingkungan
(Suyanto et al. 2010). MFCs adalah salah satu tipe sistem bioelectrochemical
(BESs) yang mengubah biomassa secara spontan menjadi energi listrik melalui
aktivitas metabolisme mikroorganisme (Pant et al. 2010). Limbah cair telah
direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik,
bahan bakar dan kimia. Saat ini, teknologi yang hanya dapat menghasilkan energi
tersebut dari limbah cair untuk skala komersil adalah degradasi anaerobik
(Rozendal et al. 2008).
Disisi lain pengolahan limbah cair saat ini masih banyak menggunakan
teknologi dengan prinsip degradasi aerobik. Sampai abad terakhir, proses lumpur
aktif merupakan proses pengolahan limbah cair yang banyak digunakan. Namun,
proses ini membutuhkan energi intensif dan berdasarkan pendugaan, jumlah
energi listrik yang dibutuhkan untuk menyediakan oksigen pada proses lumpur
aktif hampir mendekati 2% total konsumsi listrik di Amerika (Pant et al. 2010).
Sama halnya dengan di Amerika, di Inggris 3-5% konsumsi listrik nasional
digunakan untuk pengolahan limbah cair. Pompa dan aerasi merupakan proses
yang banyak menggunakan energi (21% dan 30-55%) (Alzate-Gaviria 2011).
Sementara itu, manajemen limbah saat ini menekankan pada reuse dan recovery
energi.
3
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pemanfaatan limbah
cair perikanan dengan teknologi MFC, serta menganalisis karakteristik limbah
cair dan listrik yang dihasilkan dengan MFC satu bejana.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air
limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha
dan/atau kegiatan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Baku mutu
limbah cair industri pengolahan perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.
limbah cair untuk menghilangkan minyak, lemak dan padatan tersuspensi. Sistem
pengapungan merupakan sistem pengolahan limbah yang efektif karena dapat
juga menghilangkan minyak dan lemak (FAO 1996).
Tahap kedua pengolahan limbah cair adalah proses biologi dan kimia yang
betujuan untuk menghilangkan material organik yang terdapat pada limbah cair.
Tujuan pengolahan limbah cair secara biologi adalah untuk menghilangkan
padatan yang tidak mengendap dan bahan organik terlarut dengan mikroba.
Mikroorganisme bertanggung jawab mendegradasi bahan organik dan
menstabilkan limbah organik. Pengolahan limbah cair secara biologi dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pengolahan limbah secara aerobik dan
anaerobik. Proses pengolahan secara aerobik terdiri dari sistem lumpur aktif,
aerated lagoons, aerasi, trickling filters, rotating biological contractors, dan
pilihan pengolahan aerobik. Proses pengolahan secara anaerobik terdiri dari
digestion system dan imhoff tanks. Pengolahan limbah cair dapat juga dilakukan
secara fisikokimia, antara lain coagulation-floculation dan disinfection yang
terdiri dari klorinasi dan ozonasi (FAO 1996).
dihasilkan oleh bakteri (Logan et al. 2006). Pada sistem MFC, substrat merupakan
faktor penting dalam efisiensi produksi listrik. MFC dapat dioperasikan pada suhu
ruang dan dapat didesain untuk keperluan pada suhu mikroba dapat hidup. MFC
dapat mengekstrak hampir 90% elektron dari komponen organik dan dapat
berkelanjutan sendiri serta terbarukan saat terjadi kepadatan mikroorganisme yang
menghasilkan energi melalui transfer elektron ke elektroda (Lovley 2006).
Banyak mikroorganisme memiliki kemampuan untuk mentransfer elektron
dari hasil metabolisme bahan organik ke anoda. Sedimen laut, tanah, limbah cair,
sedimen air tawar, dan lumpur aktif merupakan sumber bahan organik untuk
mikroorganisme. Tabel 3 menampilkan jenis mikrooganisme dengan substratnya
pada sistem MFC.
organik seperti asetat, propionat, butirat dapat didegradasi menjadi CO2 dan H2O.
Beberapa sistem MFC menggunakan jenis mikroba yang mempunyai kemampuan
khusus untuk mengurangi sulfida yang terdapat pada limbah cair. Pada beberapa
kasus, MFC dapat mengurangi COD hingga 80%. Limbah rumah tangga dan
limbah cair pengolahan makanan merupakan sumber biomassa yang baik untuk
MFC karena memiliki bahan organik yang tinggi (Du et al. 2007).
PEM digunakan pada sistem MFC karena PEM sudah digunakan dalam
hidrogen fuel cells. Saat air digunakan di dalam bejana anoda, PEM menjadi tidak
berguna karena air akan mengahantarkan proton ke katoda. PEM dapat lebih
efisien sebagai pembawa proton dibandingkan air, namun daya tahan internal
sistem akan dibatasi oleh difusi proton di dalam air, bukan di dalam PEM. Oleh
karena itu, pada beberapa studi PEM dihilangkan untuk meningkatkan tenaga
yang dihasilkan oleh MFC (Logan 2005). Sistem MFC satu bejana, sistem dengan
aliran yang berkelanjutan, dan tanpa membran merupakan sistem yang baik untuk
pengolahan limbah cair karena dapat dikembangkan untuk skala besar (Du et al.
2007).
11
3 METODE
Limbah cair perikanan buatan memiliki jumlah nitrogen yang tinggi. Hal
ini dikarenakan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan limbah cair berupa
daging ikan yang memiliki kandungan protein tinggi. Tay et al. (2006)
meyampaikan bahwa konsentrasi nitrogen dapat tinggi pada limbah cair industri
perikanan. Tingkat kandungan nitrogen yang tinggi dikarenakan kandungan
protein yang tinggi pada ikan atau invertebrata laut (15-20% berat basah).
Limbah cair perikanan buatan memiliki nilai BOD yang lebih tinggi
dibandingkan dengan limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden.
19
Limbah cair perikanan memiliki nilai BOD yang sangat tinggi disebabkan oleh
tingginya komponen organik yang terkandung di dalam limbah cair perikanan.
Tay et al. (2006) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen pada limbah cair
perikanan dikarenakan dua hal, yaitu komponen karbon yang digunakan sebagai
substrat oleh mikroorganisme aerobik dan komponen nitrogen yang secara alami
terdapat pada limbah cair perikanan seperti protein, peptida dan amina volatil.
Analisis COD dilakukan dengan metode dikromat. Limbah cair perikanan
buatan memiliki nilai COD yang tinggi. Limbah cair dari industri pengolahan ikan
memiliki karakteristik nilai COD yang tinggi karena kandungan kompnen organik
dan anorganik yang tinggi, sehingga oksigen yang digunakan untuk menguraikan
komponen organik tersebut secara kimiawi juga tinggi. Ibrahim et al. (2009)
menyatakan bahwa limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik
yang tinggi dengan tingkat pencemaran yang berbeda, tergantung pada tipe proses
pengolahan dan spesies ikan yang diolah. Priambodo (2011) menambahkan bahwa
perbedaan proses produksi menghasilkan limbah cair dengan jumlah dan kualitas
yang berbeda. Carawan (1991) menyatakan bahwa rata-rata nilai COD dari proses
pengalengan ikan tuna antara 1300-3250 mg/L.
Nilai amonia limbah cair perikanan buatan lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai amonia limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden.
Amonia merupakan hasil penguraian senyawa nitrogen. Nitrogen di dalam limbah
cair terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya
tergantung bahan organik yang didegradasi (Ibrahim 2007). Nilai baku mutu
amonia dari limbah cair perikanan antara 5-10 mg/L (Kementerian Negara
Lingkungan Hidup 2007). Karakteristik limbah industri pengalengan tuna dan
sarden pada Tabel 4 menunjukkan bahwa limbah cair perikanan buatan yang
digunakan pada penelitian ini telah memenuhi karakteristik limbah cair industri
perikanan, khususnya limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden.
4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Satu Bejana
Sistem MFC memiliki kemampuan sebagai bioreaktor untuk mengolah
limbah cair. Berbagai macam jenis limbah cair yang mengandung bahan organik
dapat dijadikan sebagai substrat pada sistem MFC, salah satunya adalah limbah
cair perikanan yang memiliki kandungan bahan organik tinggi. Sistem MFC dapat
20
607,32ax 607,32ax
573,58ax
Rata-rata Total N (mg/L)
650
550 607,32ax 607,32ax 573,58ax
450
350
250
150
0 3 6
Hari
Gambar 5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan
nyata antar waktu pengamatan.
dengan pemberian lumpur aktif, yaitu 607,32 mg/L pada hari ke-0 kemudian
menjadi 573,58 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif tidak memberikan
pengaruh terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC satu
bejana (P>0,05). Penurunan total nitrogen menunjukkan terjadinya reaksi
penguraian senyawa nitrogen organik. Penurunan yang sama antara kedua
perlakuan tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif
dapat menguraikan senyawa nitrogen organik melalui mikroorganisme yang
terdapat pada limbah cair tersebut.
Bakteri yang terdapat pada lumpur aktif diduga masih beradaptasi dengan
substrat yang ada, sehingga proses penguraian senyawa nitrogen masih berjalan
sama dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif selama selama 6 hari.
Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme dapat beradaptasi
dengan lingkungan barunya dan mencapai fase pertumbuhan logaritmik sampai
hari ke-8 dengan menggunakan substrat yang tersedia.
Degradasi limbah cair secara biologis merupakan proses yang berlangsung
secara alamiah, namun berjalan lambat. Avnimelech et al. (2001) menyatakan
bahwa kecepatan penurunan nitrogen organik sangat kompleks karena hanya
sebagian dari nitrogen organik yang berubah menjadi nitrogen anorganik,
sementara itu sisanya digunakan untuk memproduksi protein bakteri yang
selanjutnya akan menjadi biomassa sel. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya
terdapat dalam bentuk organik dan oleh bakteri berubah menjadi nitrogen amonia.
Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan
nitrat (Ginting 2007).
4.2.2 Biological oxygen demand (BOD)
Biological oxygen demand atau BOD merupakan jumlah miligram oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik karbon
dalam satu liter air selama lima hari pada suhu 20 C1 C (BSN 2009). Hasil
pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada
Gambar 6.
22
Hari
Gambar 6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh
perbedaan nyata antar waktu pengamatan.
berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu yang tak terbatas.
Oksidasi organik karbon akan mencapai 60-70% dalam waktu 5 hari (BOD5) dan
dalam waktu 20 hari akan mencapai 95% (Siregar 2005). Oksidasi yang berjalan
lambat ini juga mengakibatkan penurunan nilai BOD yang tidak signifikan.
Nilai BOD yang dihasilkan menunjukkan bahan organik atau beban
limbah cair selama di dalam sistem MFC masih cukup tinggi. Kementerian
Lingkungan Hidup tahun 2007 menetapkan nilai baku mutu BOD limbah cair
industri pengolahan ikan khususnya pengalengan yaitu 75 mg/L. Nilai BOD
diduga masih dapat menurun seiring dengan penambahan waktu inkubasi di dalam
sistem MFC dan penambahan konsentrasi lumpur aktif untuk mempercepat proses
penguraian bahan organik.
4.2.3 Chemical oxygen demand (COD)
Pengukuran COD menekankan kebutuhan oksigen secara kimia dimana
senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dapat dipecah
secara biokimia (Ginting 2007). Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan
selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 7.
Rata-rata COD (mg/L)
1200 992ax
1000 848ay 816ay
800 901bx
600 805by 781by
400
200
0
0 3 6
Hari
pada hari ke-0 yaitu 992 mg/L dan pada hari ke-6 menjadi 816 mg/L. Penurunan
nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif mengalami penurunan
yang lebih besar, yaitu 901 mg/L pada hari ke-0 menjadi 781 mg/L pada hari ke-6.
Penurunan nilai COD tersebut menunjukkan adanya degradasi senyawa organik
dan anorganik. Penurunan nilai COD limbah cair diikuti dengan penurunan
senyawa karbon di dalam air limbah.
Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif lebih
besar dibandingkan limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif, hal ini diduga
penambahan lumpur aktif akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang
terdapat di dalam limbah cair, sehingga semakin banyak mikroorganisme maka
proses degradasi senyawa organik dan anorganik akan semakin cepat dan oksigen
yang dibutuhkan untuk penguraian senyawa semakin banyak. Oksigen memegang
peranan penting dalam sistem penanganan biologik karena jika oksigen bertindak
sebagai aseptor hidrogen terakhir, mikroorgannisme akan memperoleh energi
maksimum (Jenie dan Rahayu 1993), sehingga semakin banyak mikroorganisme
dan senyawa organik yang diuraikan maka oksigen yang dibutuhkan juga
meningkat. Hal tersebut mengakibatkan nilai COD di dalam limbah cair semakin
menurun.
Nilai COD hari pertama yang berbeda nyata dengan hari ke-3 dan ke-6
menandakan mikroorganisme masih aktif mendegradasi senyawa organik dan
anorganik karena media kontak antara mikroorganisme dan limbah cair masih
besar, kemudian terjadi penurunan pada hari ke-3 dan cenderung stabil sampai
hari ke-6. Pohan (2008) menyatakan bahwa reduksi COD setelah 3 hari akan
mengalami penurunan yang disebabkan oleh mikroba yang mulai saling
bertumpuk sedemikian rupa sehingga menghambat kontak antar mikroba dengan
limbah cair, dengan demikian persentase penurunan COD menjadi relatif konstan
karena jumlah bakteri yang mati dan yang tumbuh mulai berimbang dan tercapai
kestabilan.
Nilai baku mutu COD limbah cair indusutri pengalengan ikan yaitu
150 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan
bahwa nilai COD limbah cair selama di dalam sistem MFC masih tinggi. Nilai
COD yang tinggi menunjukkan bahwa masih tingginya bahan organik dan
25
anorganik yang terdapat di dalam limbah cair. Nilai COD lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai BOD. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak
terhadap kimia, sepertli lignin, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia
dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD5 seperti selulosa,
lemak berantai panjang dan sel-sel mikroba, dan adanya bahan toksik dalam
limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak mengganggu uji COD
(Jenie dan Rahayu 1993).
4.2.4 Nitrogen-amonia
Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4 pada pH rendah.
Amonia dalam air sering terbentuk karena adanya proses kimia secara alami.
Hasil pengukuran amonia limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC
dapat dilihat pada Gambar 8.
4,5 4,18ax
Rata-rata amonia (mg/L)
4
3,5
3 ax
2,5 3,37
2 1,55ay
1,5
1 0,40az
0,5 1,10ay
0
0,14az
0 3 6
Hari
Gambar 8 Nitrogen-amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan
nyata antar waktu pengamatan.
3500
2867
2500 2133
Rata-rata MLVSS (mg/L)
2000
2000
1360
1500
1000
500
0
0 3 6
Hari
Gambar 10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu
bejana.
Nilai MLSS dan MLVSS limbah cair dengan penambahan lumpur aktif
mengalami peningkatan selama 6 hari. Nilai MLSS pada hari ke-0 yaitu
1827 mg/L kemudian meningkat menjadi 2867 pada hari ke-6. Nilai MLVSS pada
hari ke-0 1360 mg/L kemudian meningkat menjadi 2133 mg/L pada hari ke-6.
Hal ini disebabkan terjadi pertumbuhan mikroorganisme atau biomassa di dalam
sistem MFC satu bejana.
Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS disebabkan oleh peningkatan
biomassa atau mikroorganisme yang terjadi karena proses degradasi senyawa
organik. Mikrooragnisme akan memanfaatkan limbah cair sebagai nutrisi
sehingga bahan organik tersebut terurai menjadi CO2, air dan sel baru. Ibrahim et
al. (2005) menyatakan bahwa lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik
menjadi bentuk anorganik yang mantap atau menjadi massa sel. Hal inilah yang
28
mengakibatkan dalam proses pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif akan
terjadi penurunan senyawa organik dan peningkatan biomassa.
Proses sintesis atau peningkatan biomassa berlangsung dengan reaksi
sebagai berikut:
COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2
COHNS adalah bahan-bahan organik di dalam limbah cair, sedangkan C5H7NO2
adalah jaringan baru yang diperoleh (Ginting 2007).
Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS selama 6 hari masing-masing hanya
1040 mg/L dan 773 mg/L. Peningkatan yang lambat selama 6 hari ini diduga
disebabkan mikroorganisme dari lumpur aktif yang beradaptasi sangat lambat,
sehingga proses degradasi juga berjalan lambat. Perbedaan substrat diduga
mempengaruhi proses adaptasi tersebut. Lumpur aktif yang digunakan pada
penelitian ini berasal dari pengolahan limbah tekstil. Nilai BOD dan COD limbah
tekstil masing-masing yaitu 97,50 mg/L dan 428,50 mg/L (Herlambang 2010),
lebih rendah dibandingkan nilai BOD dan COD limbah cair yang digunakan pada
penelitian ini. Syamsudin et al. (2008) menyatakan bahwa aktivitas
mikroorganisme di dalam proses pengolahan dengan lumpur aktif sangat
dipengaruhi oleh tersedianya nutrien dan kondisi lingkungan. Proses biodegradasi
oleh mikroorganisme aerobik akan berlangsung optimal jika oksigen terlarut dan
nutrisi tersedia pada konsentrasi yang sesuai.
Keaktifan lumpur ditentukan oleh konsentrasi MLSS. Nilai MLSS yang
baik untuk pengolahan limbah cair yang terdiri dari larutan organik dan
endapannya adalah 1000-3000 mg/L dalam berat kering (Ginting 2007). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penambahan lumpur aktif dengan rasio limbah
cair dan lumpur aktif 10:1 memiliki nilai MLSS antara 1000-3000 mg/L, sehingga
sudah sesuai dengan keaktifan MLSS untuk pengolahan limbah cair. Syamsudin
et al. (2008) menambahkan bahwa pada konsentrasi MLSS 2000 mg/L senyawa
sederhana yang menjadi substrat bagi mikroorganisme dapat terdegradasi secara
optimal. Penelitian Sudaryati et al. (2007) menunjukkan bahwa nilai MLVSS
antara 1740-2265 mg/L mengandung mikroorganisme serta jumlah
mikroorganisme yang cukup baik untuk dijadikan bibit mikroorganisme atau agen
oksidator dalam pengolahan limbah secara biologis.
29
160
140
120
100
(mV)
80
60
40
20
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
Pada jam ke-0 rata-rata nilai listrik dari sistem MFC satu bejana tanpa
lumpur aktif 3,8 mV, sedangkan nilai listrik dari sistem MFC satu bejana dengan
penambahan lumpur aktif 16,8 mV. Perbedaan nilai listrik pada awal pengukuran
diduga disebabkan oleh jumlah elektron bebas yang ditangkap oleh anoda lebih
banyak pada MFC dengan penambahan lumpur aktif. Inkubasi selama 25 jam
dapat meningkatkan jumlah elektron karena terjadi proses degradasi senyawa
organik. Hal ini terlihat dari penurunan nilai COD dan BOD dari limbah cair
sebelum diinkubasi dan setelah diinkubasi. Penambahan lumpur aktif
mempercepat proses tersebut, sehingga akan meningkatkan jumlah elektron yang
dihasilkan dari proses degradasi senyawa organik. Riyanto et al. (2011)
menyatakan bahwa tingginya arus listrik yang dihasilkan pada hari pertama
disebabkan adanya akumulasi elektron yang telah ada pada substrat.
Sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif memiliki nilai
listrik yang lebih tinggi dibandingkan nilai listrik MFC tanpa lumpur dari awal
30
pengamatan hingga jam ke-40. Nilai listrik dari MFC dengan penambahan lumpur
aktif yang lebih tinggi pada beberapa jam awal pengamatan diduga disebabkan
jumlah mikroorganisme yang melekat pada anoda MFC dengan penambahan
lumpur aktif lebih banyak dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Kim et al.
(2002) menyatakan bahwa listrik yang dihasilkan dari sistem MFC dipengaruhi
oleh konsentrasi sel bakteri pada area permukaan elektroda. Patil et al. (2009)
menambahkan bahwa pembentukkan biofilm membutuhkan waktu yang lebih
sedikit dibandingkan untuk meningkatkan voltase.
Nilai listrik dari kedua perlakuan mengalami fluktuasi namun cenderung
meningkat sejak jam ke-40. Fluktuasi nilai listrik ini dipengaruhi oleh
metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bejana anoda.
Metabolisme mikroorganisme dengan memanfaatkan senyawa organik dari
limbah cair akan menghasilkan elektron. Peningkatan atau penurunan nilai listrik
diduga sesuai dengan jumlah elektron bebas yang dihasilkan oleh bakteri.
Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa produk biodegradasi senyawa organik
oleh bakteri tertentu dapat menjadi substrat bagi jenis bakteri lain. Hal ini
menyebabkan produk tidak dapat dioksidasi untuk menghasilkan elektron bebas
dan ion H+ dengan optimum sehingga elektron yang mengalir dari anoda ke
katoda berkurang dan mengakibatkan fluktuasi listrik.
Peningkatan nilai listrik terjadi setelah jam ke-40 sampai jam ke-120,
namun nilai listrik MFC dengan panambahan lumpur aktif lebih rendah
dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Hal ini diduga disebabkan karena
mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif belum
mendegradasi senyawa organik secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak terlalu signifikan sampai hari
terakhir pengamatan. Nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tinggi juga
menunjukkan bahwa kandungan senyawa organik di dalam limbah cair masih
tinggi. Penurunan nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tidak signifikan
dengan penambahan lumpur aktif juga menunjukkan bahwa proses degradasi
senyawa organik belum optimal. Hal ini mengakibatkan jumlah proton dan
elektron bebas tidak banyak ditangkap oleh elektroda. Sitorus (2010) juga
31
elektron yang ditransfer. Oleh karena itu pada beberapa sistem MFC yang dibuat
ditambahkan media untuk mempercepat proses transfer elektron tersebut. Lovley
(2006) menyatakan media yang dapat mempercepat transfer elektron, antara lain
thionine, benzylviologen, 2,6-dichlorophenolindophenol, 2-hydroxy-1,4-
naphthoquinone, berbagai jenis phenazines, phenothiazines, phenoxoazines, iron
chelates dan neutral red. Beberapa mikroorganisme juga dapat menghasilkan
mediatornya sendiri untuk mentransfer elektron ke sel luar, seperti Shewanella
oneidensis MR-1, Geothrix ferementans dan Pseudomonas sp (Logan dan Regan
2006).
Kondisi di dalam sistem MFC juga dapat mempengaruhi nilai listrik yang
dihasilkan. Pada penelitian ini kondisi anaerobik belum tercapai, sehingga energi
yang dihasilkan belum terlalu besar untuk meningkatkan kekuatan listrik. Bejana
anoda pada kedua perlakuan MFC tidak diberi aerasi, namun diberi pengaduk
untuk menghomogenkan substrat. Hal ini bertujuan agar kondisi anerobik dapat
tercapai. Du et al. (2007) menyatakan bahwa kekuatan listrik dapat dihasilkan
dengan menjaga mikroorganisme di dalam bejana anoda terpisah dengan oksigen
atau penerima elektron lain. Oleh karena itu bejana anoda harus dikondisikan
dalam keadaan anaerobik.
Degradasi senyawa organik/anorganik di dalam sistem MFC akan
menghasilkan potensial redoks yang kemudian dimanfaatkan oleh bakteri-bakteri
untuk memenuhi kebutuhan energinya. Hilangnya potensial redoks ini juga
mengakibatkan nilai listrik yang dihasilkan kecil. Potensial redoks yang
dihasilkan berbeda-beda setiap reaksinya. Du et al. (2007) menampilkan hasil
energi potensial dari berbagai reaksi redoks pada elektroda pada Tabel 5.
33
peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak signifikan menunjukkan bahwa
mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif diduga masih
beradaptasi, sehingga aktivitas metabolismenya belum optimal. Listrik akan
menurun hingga bernilai 0 V jika senyawa organik di dalam limbah cair sudah
habis. Hal tersebut menunjukkan bahwa MFC merupakan sistem yang
berkelanjutan dan terbarukan. Sistem ini akan terus berkelanjutan dan terbarukan
selama terdapat limbah cair yang mengandung bahan organik yang dapat
didegradasi oleh mikroorganisme. Suyanto et al. (201) menyatakan bahwa fuel
cell merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak menimbulkan
polusi dan dapat digunakan terus menerus jika ada suplai hidrogen yang berasal
dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Kelemahan MFC tanpa membran yang digunakan pada penelitian ini
adalah masih adanya oksigen pada bejana anoda karena difusi dari bejana katoda.
Hal tersebut akan mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan. Liu dan Logan
(2004) menyatakan bahwa oksigen yang berdifusi ke bejana anoda juga
mempengaruhi listrik yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan meningkatnya
transfer oksigen ke anoda pada MFC tanpa PEM. Adanya oksigen pada bejana
anoda akan mengakibatkan potensial pada substrat hilang karena reaksi oksidasi
aerobik oleh bakteri pada bejana anoda. Sistem MFC tanpa PEM merupakan salah
satu sistem yang potensial untuk dikembangkan dalam skala yang lebih besar. Hal
ini dikarenakan harga PEM yang mahal dan sampai saat ini PEM terbuat dari
bahan kimia dan diduga dapat mempengaruhi sistem MFC selanjutnya.
35
5.1 Simpulan
Limbah cair perikanan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik
melalui teknologi MFC satu bejana. Beban limbah cair (total nitrogen, BOD,
COD, dan amonia) di dalam MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif
mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan perlakuan tanpa lumpur
aktif selama 6 hari pengamatan. Nilai MLSS dan MLVSS mengalami peningkatan
selama 6 hari pada perlakuan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif.
Perlakuan limbah cair tanpa lumpur aktif memiliki rata-rata nilai listrik yang lebih
tinggi dibandingkan rata-rata nilai listrik limbah cair dengan penambahan lumpur
aktif selama 120 jam. Nilai listrik limbah cair tertinggi terjadi pada jam ke-119,
yaitu pada limbah cair tanpa lumpur aktif 144,9 mV dan pada limbah cair dengan
penambahan lumpur aktif 87,6 mV.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan penambahan hari pengamatan listrik sampai senyawa organik
di dalam limbah cair berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dan kondisi
anaerobik pada bejana anoda tercapai. Perlu dilakukan peningkatan nilai listrik
dari sistem MFC tersebut berupa penambahan katalis pada limbah cair dan
elektroda, serta penambahan jumlah elektroda. Selain itu, perlu dilakukan
optimalisasi kerja mikroba dan identifikasi mikroba yang terdapat di dalam sistem
MFC satu bejana.
36
DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Health Association. 1975. Standar Methods for the
Examination of Water and Wastewater 14th edition. New York: American
Public Health Association.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Air dan Air Limbah-Bagian 72: Cara
Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand/BOD).
SNI 6989.72:2009.
Cheng S, Liu H, Logan BE. 2006. Increased power generation in a continous flow
MFC with advective flow through the porous anode and reduced
electrode spacing. Environ. Sci. Technol. 40: 2426-2432.
Cheng S dan Logan BE. 2011. Increasing power generation for scaling up single-
chamber air cathode microbial fuel cells. Biores. Tech. 102 : 44684473.
Colic M, Morse W, Hicks J, Lechter A, Miller JD. 2007. Case study: fish
processing plant wastewater treatment. http://www.cleanwatertech.com
[16 Juni 2012].
Cyio MB. 2008. Efektivitas bahan organik dan tinggi genangan terhadap
perubahan Eh, pH, dan status Fe, P, Al terlarut pada tanah ultisol. J.
Agroland 15 (4): 257263.
Faaij A. 2006. Modern biomas conversion technologies. Mit & Adapt. Strat. for
Global Change 11: 343-375.
Ibrahim B, Erungan AC, Uju. 2005. Kinetika reaksi denitrifikasi pada penyisihan
nitrogen dalam limbah cair industri perikanan. [Laporan akhir
penelitian]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Ibrahim B. 2007. Studi penyisihan nitrogen air limbah agroindustri hasil
perikanan secara biologis dengan model dinamik activated sludge model
(ASM) 1 [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor.
Ibrahim B, Erungan AC, Heriyanto. 2009. Nilai parameter biokinetika proses
denitrifikasi limbah cair industri perikanan pada rasio COD/TKN yang
berbeda. JPHPI 12(1): 31-45.
Irma. 2008. Pemanfaatan hasil pengolahan limbah cair perikanan dengan lumpur
aktif sebagai pupuk nitrogen pada tanaman bayam (Amaranthus sp.)
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Jenie BSL, Rahayu WP. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta:
Kanisius.
38
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007 Baku mutu air limbah bagi usaha
dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan. Kepmen No. 06 Tahun
2007.
Kim HJ, Park HS, Hyun MS, Chang IS, Kim M, Kim BH. 2002. A mediator-less
microbial fuel cell using a metal reducing bacterium, Shewanella
putrefaciens. Enzy. & Mic. Tech. 30:145-152.
Mattjik AN, Jaya IS. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Bogor: IPB Press
Patil SA, Surakasi VP, Koul S, Ijmulwar S, Vivek A, Shouche YS, Kapadnis BP.
2009. Electricity generation using chocolate industry wastewater and its
treatment in activated sludge based microbial fuel cell and analysis of
developed microbial community in the anode chamber. Biores. Tech.
100: 5132-5139.
Pohan N. 2008. Pengolahan limbah cair industri tahu dengan proses biofilter
aerobik [Tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Poppo A, Mahendra MS, Sundra IK. 2009. Studi kualitas perairan pantai di
kawasan industri perikanan, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana. Ecotrophic 3 (2): 98-103.
Riyanto B, Mubarik NR, Idham F. 2011. Energi listrik dari sedimen laut Teluk
Jakarta melalui teknologi microbial fuel cell. JPHPI 1 (14): 32-42.
Rozendal RA, Hamalers HVM, Rabaey K, Keller J, Buisman JN. 2008. Towards
practical implementation of bioelectrochemical wastewater treatment.
Trends Biotech. 26 (8): 450-459.
Seop CI, Moon H, Bretschger O, Jang JK, Park HI, Nealson KH, Kim BH. 2006.
Electrochemically active bacteria (EAB) and mediator-less microbial fuel
cells. J. Microbiol Biotechnol. 16 (2):163-177.
Sudaryati NLG, Kasa IW, Suyasa IWB. 2007. Pemanfaatan sedimen perairan
tercemar sebagai bahan lumpur aktif dalam pengolahan limbah cair
industri tahu. Ecotrophic 3 (1): 21-29.
Syamsudin, Purwati S, Taufick RA. 2008. Efektivitas aplikasi enzim dalam sistem
lumpur aktif pada pengolahan air limbah pulp dan kertas. J. Selulosa 2
(43): 83-92.
Tay JH, Show KY, Hung YT. 2006. Seafood Processing Wastewater Treatment.
Taylor and Francis Group LLC.
41
42
Jam Limbah cair Limbah cair dan Jam Limbah cair Limbah cair dan
ke- (mV) lumpur aktif ke- (mV) lumpur aktif
(mV) (mV)
78 73,2 22,8 99 120,5 61,7
79 70,9 26,5 100 103,1 62,4
80 46,8 27,5 101 86,2 60,1
81 72,8 28,5 102 101,4 56,5
82 58,3 28,8 103 107,6 62,9
83 78,7 30,5 104 105,1 67,1
84 78,8 31,7 105 106,7 70,9
85 84,1 35,9 106 118,1 71,0
86 79,6 43,0 107 102,4 75,4
87 81,5 43,2 108 102,1 78,1
88 107,3 49,9 109 136,7 67,4
89 95,5 55,1 110 104,1 79,3
90 111,5 56,8 111 113,4 72,6
91 93,8 57,7 112 132,2 70,4
92 112,2 59,0 113 130,0 86,0
93 116,6 63,7 114 135,7 86,1
94 102,8 64,0 115 119,5 88,2
95 102,5 64,5 116 125,2 88,8
96 104,1 62,5 117 136,1 89,9
97 100,6 61,7 118 137,8 83,1
98 102,5 61,6 119 144,9 87,6
120 134,3 85,8
44
A 885.33 9 Limbah
A 829.33 9 Lumpur
45
A 946.67 6 0
B 826.67 6 3
B 798.67 6 6