Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI

Di susun oleh :
Ria Restiani Hayati ( 13330076 )

INSTITUT SAINS dan TEKNOLOGI NASIONAL


FAKULTAS MATEMATIKA dan ILMU PENGETAHUAN ALAM
FARMASI - 2015
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugerah
kepada penyusun untuk dapat menyusun Laporan Praktikum yang berjudul ” Variasi Biologik ”
Laporan praktikum ini disusun berdasarkan hasil data-data dari hasil pengamatan, media
elektronik berupa Internet dan media cetak.
Penyusun berharap Laporan Praktikum ini dapat bermanfaat untuk kita semua dalam
menambah pengetahuan atau wawasan. Penyusun sadar Laporan Praktikum ini belumlah
sempurna maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
makalah ini menjadi sempurna.

Jakarta , 15 Juni 2015

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi
farmakologi . Adapun yang melatarbelakang materi ini adalah agar kita dapat mengetahui
kaitan antara rute pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan
pertama kali dan beberapa faktor yang mempengaruhi efek obat.

B. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa dapat memperlakukan dan menangani hewan percobaan seperti mencit dan
tikus untuk percobaan farmakologi dengan baik.
2. Mahasiswa dapat mengenal dan mempraktekkan cara pemberian obat dengan berbagai
rute.
3. Mahasiswa dapat mengenal faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan efek obat.
4. Mahasiswa dapat mengenal dan mengamati faktor yang memodifikasi obat.

C. MANFAAT PRAKTIKUM
Adapun manfaat praktikum pada percobaan ini adalah :
1. Mengetahui perbedaan reaksi aktivitas dalam pemberian dosis obat
2. Mengetahui perbedaan efek pemberian obat pada saat sebelum dan sesudah obat
diberikan
3. Mengetahui cara pemberian obat yang menimbulkan efek paling cepat dan paling lambat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang dipakai sebagai
Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi, phisiologi, ekologi,
mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun
merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan
penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai
atau merupakan "model hidup"dalam suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium
baik medis maupun non medis secara in vivo.
Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan sains dan teknologi,
kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama
untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri.
Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut
(misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha yang terpadu & programatis dalam
penanganan hewan percobaan baik dalam kwalitas maupun kwantitas, kecuali pada pihak yang
benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini.

Pengelolaan Hewan Percobaan


Pada dasamya pengelolaan hewan percobaan dititikberatkan pada:
1. Kondisi bangunan
Persyaratan ini sangat menentukan kondisi hewan percobaan, karena bentuk,ukuran serta
bahan yang dipakai merupakan elemen dalam physical environment bagi hewan
percobaan. Bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga hewan dapat hidup
dengan tenang, tidak terlalu lembab, dapat menghasilkan peredaran udara yang baik, suhu
cocok, ventilasi lengkap dengan insect proof screen (kawat nyamuk).

2. Sanitasi
Dari bangunan tersebut diambil manfaatnya dengan dapat terselenggaranya sistem
sanitasi yang baik, sestim drainase yang baik, tersedianya fasilitas desinfektan, misalnya
dengan jalan menempatkan tempat khusus yang berisi desinfektan (lysol 35%) atau
disebut dengan Foot baths. Sanitasi kandang atau peralatan lainnya dilakukan dengan
teratur. Di samping itu bagi tenaga pengelola perlu mengenakan lab jas (Protective
clothing) atau peralatan proteksi lainnya seperti masker dan sebagainya. Peralatan
sanitasi lainnya seperti halnya autoclave pembakar bangkai, fumigator bahkan fasilitas
shower dan toilet bila perlu diusahakan ada.

3. Tersedianya makanan
Tersedianya makanan hewan percobaan yang nitritiv dan dalam jumlah yang cukup.
Penyimpanannya harus baik, terhindar dari lingkungan yang lembab, diusahakan bebas
dari insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan adanya ini dapat merupakan
petunjuk adanya kerusakan bahan makanan hewan dan sebagai usaha pencegahannya
adalah makanan ditempatkan dalam kantong-kantong plastik yang waterproof, bila perlu
dalam kondisi anaerob (dengan menggunakan vaccum pump) dan tertutup rapat. Bentuk
makanan bila perlu diusahakan berbentuk pellet (cetakan seperti pil atau berbentuk
silinder) dengan diameter tertentu tergantung macam hewannya. Keuntungannya adalah
dapat disimpan lama (lebih-lebih bila anaerob), makanan bisa habis termakan
(dibandingkan bila dalam bentuk mess atau powder) serta kontrol terhadap makanan yang
dimakan lebih mudah.

4. Kebutuhan air
Kebutuhan air dapat diperoleh dengan mudah dan lancar dan usahakan tidak terlalu tinggi
kandungan mineralnya serta bersih.

5. Sirkulasi udara
Dengan adanya sistim ventilasi yang baik, sirkulasi udara dapat diatur lebih-lebih bila
dipasang exhaust fan.

6. Penerangan
Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan proses reproduksi hewan
Haruster, karena siklus estrus (siklus reproduksinya) sangat tergantung oleh penerangan
dan bila tidak terdapat penerangan akan menyebabkan terhambatnya proses reproduksi.
7. Kelembaban dan temperatur ruangan
Adapun kelembaban dan temperatur ruangan yang direkomendasikan bagi masing-
masing hewan percobaan adalah sebagai berikut:

8. Keamanan
Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga jangan sampai terjadi infeksi penyakit
baik yang berasal dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha pencegahan tidak
diperkenankan semua orang keluar masuk ruangan hewan (lebih-lebih bila hewannya
adalah bebas kuman atau yang disebut dengan Germ Free Animals tanpa
suatu keperluan apapun.

9. Training/kursus bagi personil


Dalam program pemeliharaan hewan percobaan diperlukan tenaga yang terlatih dan
berpengalaman yang cukup, karena ilmu yang menyangkut hewan percobaan dapat
melibatkan banyak aspek ilmu, sehingga diperlukan sekali adanya kursus baik tenaga
administrasi maupun tenaga teknis.

Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Penyerapan Obat


Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan
parenteral terteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan dan
intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara
parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intraarteri, intraspinal dan intraserebral, tidak
melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju
sisi reseptor (receptor cite). Cara pemberian yang lain adalah secara inhalasi melalui hidung dan
secara setempat melalui kulit atau mata.
Proses penyerapan merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan mempengaruhi aktivitas obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
1. Penyerapan Obat Melalui Saluran Cerna
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan
ke seluruh tubuh, terlebih dahulu mengalami proses penyerapan pada saluran cerna. Faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat pada saluran cerna antara lain
adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain.
a. Bentuk sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat, yang
secara tidak langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Bentuk
sediaan pil, tablet, kapsul, emulsi, serbuk, dan larutan, proses penyerapannya
memerlukan waktu yang berbeda-beda dan jumlah ketersediaan hayatinya mungkin juga
belainan. Ukuran partikel bentuk sediaan juga mempengaruhi penyerapan obat. Makin
kecil ukuran partikel, luas permukaan yang bersinggungan dengan pelarut makin besar,
sehingga kecepatan melarut obat makin besar. Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan
pembantu, seperti bahan pengisi, pelican, penghancur, pembasah dan emulgator, dapat
mempengaruhi waktu hancur dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap
kecepatan penyerapan obat.
b. Sifat Kimia Fisika Obat
Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kelarutan dan proses penyerapan obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorf, kelarutan dalam lemak/ air dan derajad ionisasi juga mempengaruhi proses
penyerapan obat. Contoh : Penisilin V dalam bentuk garam K lebih mudah melarut
dibanding penisilin V bentuk basa, Novobiosin bentuk amorf lebih cepat melarut
disbanding bentuk kristal.
c. Faktor Biologis
Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain
adalah variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran
cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung.
d. Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain adalah
umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit.
(Siswandono, 1995)
Absorosi, Distribusi dan Ekskresi Obat
Kebanyakan obat diberikan secara oral, sehingga obat harus lewat melalui dinding usus
untuk dapat memasuki aliran darah. Proses absorpsi ini dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi
biasanya sebanding dengan kelarutan obat di dalam lemak. Sehingga, absorpsi obat yang tak
terionkan adalah disangga karena obat adalah jauh lebih mudah larut dalam lipid daripada yang
terionkan (BH+) dan dikelilingi oleh kulit molekul air. Obat yang diabsorpsi sebagian besar pada
usus halus karena permukaannya luas. Ini terjadi untuk obat yang bersifat asam lemah (misalnya
aspirin), yang tidak terionkan dalam HCl pada lambung. Obat diabsorpsi dari saluran pencernaan
memasuki gerbang sirkulasi dan secara ekstensif ada yang dimetabolisme karena melewati hati
(melewati metabolisme pertama).
Obat-obat yang cukup larut di dalam lemak siap diabsorpsi secara oral dan dengan cepat
didistribusikan seluruhnya oleh air kompartmen badan. Banyak obat yang bebas berikatan
dengan albumin plasma, dan bentuk kesetimbangan diantara ikatan protein dan obat bebas dalam
plasma. Obat yang berikatan dengan protein plasma yang terkurung dalam system vaskular dan
tidak dapat menimbulkan efek farmakologi.
Distribusi didalam tubuh terjadi ketika jangkauan obat di dalam tubuh. Kemudian menembus
jaringan untuk memberkan aksi. Waktu paruh (t1/2), adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk
mencapai konsentrasi separuh dari konsentrasi awalnya. Ekskresi renal akhirnya bertanggung
jawab untuk eliminasi obat paling banyak. Obat ada yang terdapat dalam filtrate glumerulus,
namun obat yang larut dalm lipid akan dibsorpsi kembali pada tubulus renal secara difusi pasif.
(Michael J. Neal, 2002)

Absorpsi Obat Dalam Tubuh


Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut
kelengkapan dan kecepatan proses. Pada klinik pemberian obat yang terpenting harus mencapai
bioavaibilitas yang menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme
obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
Hal ini penting, karena terdapat beberapa jenis obat tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik, namun akan dimetabolisme oleh enzim didinding
usus pada pemberian oral atau dihati pada lintasan pertamanya melalui organ- organ tersebut.
Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat pada pemberian oral, antara
lain :
1. Faktor ObatSifat- sifat fisikokimia seperti stabilitas pH lambung, stabilitas terhadap
enzim pencernaan serta stabilitas terhadap flora usus, dan bagaimana formulasi obat
seperti keadaan fisik obat baik ukuran partikel maupun bentuk kristsl/ bubuk dll.
2. Faktor Penderita Bagaimana pH saluran cerna, fungsi empedu, kecepatan pengosongan
lambung dari mulai motilitas usus, adanya sisa makanan, bentuk tubuh, aktivitas fisik
sampai dengan stress yang dialami pasien.
3. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna Adanya makanan, perubahan pH saluran cerna,
perubahan motilitas saluran cerna, perubahan perfusi saluran cerna atau adanya gangguan
pada fungsi normal mukosa usus.(nardinurses.files.wordpress.com)
BAB III
PROSEDUR DAN HASIL PRAKTIKUM

PROSEDUR CARA – CARA PEMBERIAN OBAT


A. Pemberian secara oral
1. Ambil mencit jantan / betina
2. Ambil phenobarbital dengan alat suntik yang dilengkapi dengan sonde
3. Masukkan dalam mulut mencit secara perlahan – lahan
4. Catat waktunya

B. Pemberian secara intravena (IV)


1. Ambil mencit jantan/ betina
2. Ambil phenobarbital dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum
3. Suntikkan pada bagian pembuluh vena yang terdapat pada ekor mencit

C. Pemberian secara peritoneal ( IP )


1. Ambil mencit jantan/ betina
2. Ambil phenobarbital dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3. Bagi bagian perut mencit menjadi 4 bagian
4. Suntikkan pada bagian perut sebalah kanan bawah

D. Pemberian secara intramuscular ( IM )


1. Ambil mencit jantan / betina
2. Ambil phenobarbital dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3. Suntikkan pada bagian paha mencit

E. Pemberian secara subkutan ( Sk )


1. Ambil mencit jantan / betina
2. Ambil phenobarbital dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3. Suntikkan pada bagian tekuk
F. Pemberian secara rektal
1. Ambil mencit jantan/ betina
2. Ambil kateter yang dibasahi parafin atau gliserin
3. Suntikkan atau masukkan kedalam rektum

HASIL CARA-CARA PEMBERIAN OBAT


PENGAMATAN (WAKTU TIMBUL EFEK)
HEWAN OBAT CP DOSIS Perubahan
RR+ Sedasi Hipnotif Anaestesi N
Aktivitas
Menit
Tikus Phenobarbital Oral 0,07 Tenang - - -
ke 14
Masih Menit
Tikus Phenobarbital IP 0,06 - - -
aktif ke 8
Menit Menit
Tikus Phenobarbital IM 0,06 Tenang - -
ke 9 ke 48
Masih Menit Menit
Tikus Phenobarbital SC 0,06 - -
aktif ke 5 ke 41
Menit Menit
Tikus Phenobarbital Rektal 0,06 Tenang - -
ke 19 ke 21
Menit
Tikus Phenobarbital IV 0,06 Tenang - - -
ke 5

PROSEDUR VARIASI BIOLOGIK


 Pemberian secara peritoneal ( IP )
1. Ambil mencit jantan
2. Ambil phenobarbital dengan alat suntik yang dilengkapi dengan jarum suntik
3. Bagi bagian perut mencit menjadi 4 bagian
4. Suntikkan pada bagian perut sebalah kanan bawah
HASIL VARIASI BIOLOGIK
PENGAMATAN
HEWAN OBAT DOSIS CP
Sebelum Sesudah
Tikus 1 Phenobarbital 0,012ml IP Aktif Lemas ( Sedasi )
Tikus 2 Phenobarbital 0,01ml IP Aktif Tidur
( Hipnotik)
Tikus 3 NaCl (blanko) 0,01ml IP Aktif Tidak ada efek

PERHITUNGAN DOSIS :
 Bobot Tikus 1 : 130gram
 Bobot Tikus 2 : 120gram
 Bobot Tikus 3 : 120gram

 Tikus 1 : konversi bobot tikus : 0,018


Phenobarbital : 50mg/ml
: 0,018 x 50 = 0,9mg/(200g)
: 130gram x 0,9 = 0,585mg~0,6mg
200 gram
Volume yang disuntik : 0,6mg x 1mg = 0,012ml
50mg
 Tikus 2 : Phenobarbital : 50mg/ml
: 0,018 x 50 = 0,9mg/(200g)
: 130gram x 0,9 = 0,585mg~0,6mg
200 gram
Volume yang disuntik : 0,6mg x 1mg = 0,012ml
50mg
 Tikus 3 : Phenobarbital : 50mg/ml
: 0,018 x 50 = 0,9mg/(200g)
: 130gram x 0,9 = 0,585mg~0,6mg
200 gram
Volume yang disuntik : 0,6mg x 1mg = 0,012ml
50mg

PROSEDUR TOLERANSI YANG DI PEROLEH


 Tikus pertama disuntik 2 kali sehari dengan Fenilbutazon selama 7 hari
 Tikus ke 2 disuntik dengan Fenobarbital Na sekali sehari selama 7 hari
 Tikus ke 3 tidak diberikan apa-apa.
 Pada hari ke 8, semua tikus disuntik dengan Amital Na atau Pentotal Na, secara IP

HASIL TOLERANSI YANG DIPEROLEH


SEBELUM SETELAH
HEWAN OBAT
DISUNTIK DISUNTIK
Tikus 1 Fenobarbital Aktif, bunyi Aktif, tidak bunyi
Tikus 2 Fenobarbital Sangat aktif, bunyi Tidak disuntik
Tikus 3 Fenobarbital Aktif, bunyi Aktif, bunyi
BAB IV
PEMBAHASAN

CARA PEMBERIAN OBAT


Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengenal, mempraktikan, dan membandingkan cara-
cara pemberian obat terhadap kecepatan absorbsi obat. Masing-masing cara pemberian memiliki
keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa obat mungkin efektif jika diberikan dengan
cara tertentu namun kurang efektif dengan cara lain. Perbedaan ini akan berefek pada kecepatan
absorbsi yang berpengaruh pada efektifitas obat.
Tikus diperlakukan sama seperti mencit, tetapi bagian ekor yang dipegang sebaiknya pada
bagian pangkal ekor dan pegangnya pada bagian tengkuk bukan dengan memegang
kulitnya. Sperti ini langkahnya. Pertama, tikus diangkat dengan memegang dari belakang dan
kemudian diletakkan di atas permukaan kasar. Kemudian tangan kiri diluncurkan perlahan –
lahan dari belakang tubuhnya menuju kepala. Lalu ibu jari dan telunjuk diselipkan ke depan dan
kaki kanan depan di jepit diantara kedua jari tersebut.
Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tikus diantaranya adalah
kebisingan suara di dalam laboratorium, frekuensi perlakuan terhadap tikus tersebut, dan lain-
lain. Dalam menangani mencit, semua kondisi yang menjadi faktor internal dan eksternal dalam
penanganan hewan percobaan harus optimal, untuk menjaga kondisi tikus tersebut tetap dalam
keadaan normal. Apabila kondisinya terganggu, maka mencit tersebut akan mengalami stress.
Kondisi stress yang terjadi pada tikus akan mempengaruhi hasil percobaan yang dilakukan.
1. Pemberian Per Oral
Hal ini dilakukan dengan bantuan jarum suntik yang ujungnya tumpul atau berbentuk
bola (jarum sonde). Jarum sonde dimasukkan kedalam mulut , secara pelan-pelan melalui
langit-langit kearah belakang esophagus, kemudian cairan dimasukkan.
2. Pemberian Intra Peritoneal
Penyuntikan pada bagian perut dimana jarum disuntikkan dengan kemiringan 30-45
derajat dengan abdomen agak kegaris tengah.
3. Pemberian Intramuskular (im)
Penyuntikan dilakukan dalam otot misalnya, penyuntikan antibiotika atau dimana tidak
banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf, misalnya otot pantat atau lengan atas.
4. Pemberian Subcutan/Hipodermal (sc)
Penyuntikkan dibawah kulit, Obatnya tidak mernagsang dan larut dalam air atau minyak,
Efeknya agak lambat dan dapat digunakan sendiri
PERTANYAAN :
1. Cobalah jelaskan secara lebih spesifik dengan contoh-contoh mengenai karakteristika
lingkungan fisiologis, anatomis dan biokimiawi yang berada pada daerah kontak obat dan
tubuh :
- Hubungkan dengan kecepatan efek timbul pada berbagai CP dengan Jumlah dan
kecepatan suplai darah, lokasi pemberian (Struktur Anatomi), adanya enzim-enzim
dan getah-getah fisiologis yang mempengaruhi obat?
- Jelaskan secara lebih terperinci pengaruh kondisi-kondisi pasien sehubungan dengan
pemilihan rute pemberian obat?
2. Berikan beberapa contoh dimana sifat dan bentuk fisika kimia obat menentukan cara
pemberiannya?
3. Sebutkan implikasi praktis pada rute pemberian obat seperti menentukan dosis obat jika
dipilih rute pemberian tertentu?
JAWABAN :
1. Adsorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah
bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (umlut
sampai dengan rectum), kulit, paru,otot, dan lain lain. Suatu senyawa obat mungkin
efektif jika diberikan dengan cara tertentu namun kurang efektif dengan cara lain.
Perbedaan ini akan berefek pada kecepatan absorbsi yang berpengaruh pada efektifitas
obat Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk kedalam
tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya
efek yang merugikan. Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral
(Priyanto, 2008).

2. Dalam bentuk sifat fisika jika pasien tersebut dalam keadaan tidak sadar akan lebih
mudah jika pemberian obat tersebut dalam bentuk sediaan injeksi dibandingkan sediaan
oral karena efeknya pun sesegera sesaat obat di berikan ke dalam tubuh. Dalam bentuk
kimia ketika obat tersebut termasuk obat dengan zat yang mudah rusak oleh asam
lambung, maka dari itu obat tersebut dibentuk dalam bentuk sediaan injeksi, suppositoria
atau yang lainnya agar dapat memberikan efek terapi tanpa harus melewati lambung.

3. Penentuan dengan melihat jenis kelamin, berat badan, usia dan riwayat penyakit yang
sudah pernah dialami.

VARIASI BIOLOGIK
Dalam percobaan didapatkan bahwa berat badan yang berbeda selain mempengaruhi dosis
yang harus diberikan juga mempengaruhi respon dari obat tersebut. Tikus yang berat badannya
lebih besar menimbulkan respon yang lebih cepat dibandingkan tikus yang berat badannya lebih
kecil. Ini bertentangan dengan teori, yang mengatakan bahwa berat badan yang lebih kecil
memberikan respon terlebih dahulu.
Hal ini terjadi mungkin karena ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti genetis, dan
kondisi mencit saat percobaan.
PERTANYAAN :
1. Berdasarkan hasil-hasil eksperimen yang diamati, apakah ada faktor-faktor yang
menunjukkan adanya indikator-indikator lain untuk menyatakan bahwa ada variasi
biologik ini, jelaskan.
2. Bagaimanakah dalam praktek pengobatan variasi biologik ini turut di perhatikan.
JAWABAN :
1. Berat badan yang besar membutuhkan dosis yang tinggi, sebaliknya berat badan yang
kecil membutuhkan dosis yang kecil pula. Selain itu juga berhubungan dengan waktu
pengosongan lambung, dimana tanpa puasa peyerapan obat akan lebih cepat bila
dibandingkan dengan yang tidak puasa

2. Dalam pemberian dosis obat harus di perhatikan jumlah berat badan dan umur pasien
karena hal ini berguna dalam penentuan jumlah dan jenis obat yang di berikan.
TOLERANSI YANG DIPEROLEH
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkan
mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi
farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkatkan
metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin.
Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor
terhadap obat yang terus menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang
mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin,
amfetamin dan nitrat organik. Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara
akut. Ini terjadi pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.
PERTANYAAN :
1. Kemukakan 3 contoh obat yang menimbulkan toleransi untuk pemberian berulangnya
dan berikan mekanisme terjadinya toleransi masing-masing obat tersebut.
2. Jenis toleransi apalagi yang dikenal dan bagaimana mekanismenya? Sebutkan juga
contoh-contohnya.
3. Bagaimana implikasi klinik dari toleransi yang di peroleh?
JAWABAN :
1. Barbiturat dan Ripamfisin
2. Toleransi farmakokinetik dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik
biasanya terjadi karena obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self
inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus menerus
berada di lingkungannya.
3. Pemberian obat yang terlalu sering dan terus menerus akan menimbulkan penurunan efek
terapi yang ditimbulkan. Hal ini terjadi karena bakteri, kuman atau virus tersebut sudah
mengalami resistensi sehingga menimbulkan terjadinya toleransi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

CARA PEMBERIAN OBAT


A. KESIMPULAN :
1. Cara-cara penanganan hewan percobaan meliputi penandaan, persiapan dan penyuntikan
hewan percobaan tersebut.
2. Dalam praktikum ini penandaan hewan percobaan dilakukan dengan menandai ekor tikus
dengan spidol permanent.
3. Pada umumnya pemberian Phenobarbital secara intraperitonial pada mencit memberikan
efek yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberaian oral.
4. Onset of action lebih cepat dicapai pada pemberian intraperitonial dibandingkan dengan
pemberian oral.
5. Phenobarbital memberikan efek yang bervariasi pada tikus mulai dari normal, reaktif,
gerak lambat dan bahkan tidur.
B. SARAN :
Hati-hati pada saat menyuntikan obat secara oral jika tidak berhati-hati akan menusuk
rongga mulut tikus

VARIASI BIOLOGIK
A. KESIMPULAN :
1. Variasi biologi akan mempengaruhi dosis obat yang harus diberikan
Berat badan yang besar membutuhkan dosis yang tinggi, sebaliknya berat badan yang
kecil membutuhkan dosis yang kecil pula.
2. Selain itu juga berhubungan dengan waktu pengosongan lambung, dimana tanpa puasa
peyerapan obat akan lebih cepat bila dibandingkan dengan yang tidak puasa

B. SARAN :
1. Dalam menghitung dosis hendaknya dihitung dengan benar karena dapat berpengaruh
pada respon mencit.
2. Agar praktikan diberikan bimbingan tentang cara pelaksanaan percobaan, sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam percobaan.

TOLERANSI YANG DIPEROLEH


A. KESIMPULAN :
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkan
mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi
farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkatkan
metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin.
Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular terjadi karena proses adaptasi sel atau
reseptor terhadap obat yang terus menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah
obat yang mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang
maka responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat,
benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.
B. SARAN :
Semoga bermanfaat bagi si pembaca 
DAFTAR PUSTAKA

1. Lukas, Stefanus, (2006), FORMULASI STERIL, Penerbit Andi: Yogyakarta, Hal :11-14
2. Neal, Michael J., (2002), MEDICAL PHARMACOLOGY AT A GLANCE, Fourth
Edition, Blackwell Science Ltd: Malden USA, Hal : 12, 13.
3. Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal
:10-11.
4. Widodo, V. B & Lotterer E., (1993), KUMPULAN DATA KLINIK FARMAKOLOGI.
Cetakan I. UGM Press: Jogjakarta, Hal 10
5. Yahya L, Mulkan & Rizali H., (1993), PENGANTAR FARMAKOLOGI, Pustaka
Widyasarana: Medan Hal 6
6. nardinurses.files.wordpress.com
7. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_
PerkembangbiakanHewanPercobaan.html
8. www.u Katzung, Bertram G.,(2001), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK, Edisi
ke-8, Penerbit Salemba Medika: Jakarta, halaman 53-56.
9. Lullmann, Heinz, dkk., (2000), COLOR ATLAS OF PHARMACOLOGY , Second
Edition, Thieme Stuttgart: New York, Hal 76.
10. Olson, James, M.D., (1993), BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI, EGC: Jakarta, Hal
2 – 4.
11. Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal :
156-159.
12. Tanu, Ian. (2007), FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta. Hal
828-829.
13. http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0
14. http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8
15. www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htmnsoed.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan
anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total.
seseorang yang mengonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu
menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri.Beberapa jenis anestesi
menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri
dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Beberapa tipe anestesi adalah:
1. Pembiusan total — hilangnya kesadaran total
2. Pembiusan lokal — hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian
kecil daerah tubuh).
3. Pembiusan regional — hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade
selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya
Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran.
Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak
membuat lama waktu penyembuhan operasi.
Anestesi dilakukan oleh dokter spesialis anestesi atau anestesiologis. Dokter spesialis
anestesiologi selama pembedahan berperan memantau tanda-tanda vital pasien karena sewaktu-
waktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya.
Empat rangkaian kegiatan yang merupakan kegiatan sehari-hari dokter anestesi adalah:
1. Mempertahankan jalan napas
2. Memberi napas bantu
3. Membantu kompresi jantung bila berhenti
4. Membantu peredaran darah
5. Mempertahankan kerja otak pasien.

Dalam membius pasien, dokter anestesi memberikan obat-obatan (suntik, hirup, ataupun
lewat mulut) yang bertujuan menghilangkan rasa sakit (pain killer), menidurkan, dan membuat
tenang (paraytic drug). Pemberian ketiga macam obat itu disebut triangulasi.

Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti:

1. Thiopental (pertama kali digunakan pada tahun 1934)


2. Benzodiazepine Intravena
3. Propofol (2,6-di-isopropyl-phenol)
4. Etomidate (suatu derifat imidazole)
5. Ketamine (suatu derifatpiperidine, dikenal juga sebagai 'Debu Malaikat'/'PCP'
(phencyclidine)
6. Halothane (d 1951 Charles W. Suckling, 1956 James Raventos)
7. Enflurane (d 1963 u 1972), isoflurane (d 1965 u 1971), desflurane, sevoflurane
8. Opioid-opioid sintetik baru - fentanyl (d 1960 Paul Janssen), alfentanil, sufentanil (1981),
remifentanil, meperidine
9. Neurosteroid

Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan
pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor-faktor pembedahan. Dalam beberapa
kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan
total.Blokadeneuraksial bisa mengurangi risiko thrombosis vena, emboli paru, transfusi,
pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial dan kegagalan ginjal.
1.2. Tujuan Percobaan
a. Untuk mengetahui teknik pemberian anestesi lokal secara dengan cara anestesi infiltrasi,
metode regnier,anestesi permukaaan,anestesi konduksi.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat dan
potensi anestesi local
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kerja anestesi local
d. Untuk menghubungkan potensi kerja anestesi local dengan manifestasi gejala
toksisitasnya serta pendekatan rasional untuk mengatasi toksisitas anestesika

1.3. Manfaat Percobaan


a. Untuk mengetahui teknik pemberian anestesi lokal secara dengan cara anestesi infiltrasi,
metode regnier,anestesi permukaaan,anestesi konduksi.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat dan
potensi anestesi local
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kerja anestesi local
d. Untuk menghubungkan potensi kerja anestesi local dengan manifestasi gejala
toksisitasnya serta pendekatan rasional untuk mengatasi toksisitas anestesika
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Anestesi lokal


Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
lorongnatrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf,
jikadigunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti
oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur
saraf.(Sari, 2009)Anestetik lokal menghilangkan penghantaran saraf ketika digunakan secara
lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi tepat. Bekerja pada sebagian Sistem Saraf Pusat
(SSP) dan setiap serabut saraf.

2.2. Sifat Anestetik Lokal yang Ideal


a. Poten dan bersifat sementara (reversibel)
b. Sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara
permanen(kebanyakan anestetik lokal memenuhi syarat ini).
c. Batas keamanan harus lebar, sebab anestetik lokal akan diserap dari tempatsuntikan.
d. Mula kerja harus sesingkat mungkin.
e. Masa kerja harus cukup lama, sehingga cukup waktu untuk melakukan tindakanoperasi,
tetapi tidak sedemikian lama sampai memperpanjang masa pemulihan.
f. Zat anestetik lokal juga harus larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapatdisterilkan
tanpa mengalami perubahan.
g. Harganya murah (Rochmawati dkk, 2009)

2.3. Penggolongan Anestesi lokal


a. Golongan ester (-COOC-) Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine,
prokain(nevocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine).
b. Golongan amida (-NHCO-) Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain
(carbocaine), prilokain (citanest), bupivakain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain
(nupercaine),ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).(Sari, 2009)
2.4. Mekanisme Kerja Anastesi lokal
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga
terjadidepolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Mekanisme utama
aksianestetik lokal adalah memblokade “voltage-gated sodium channels”. Membrane akson
saraf,membrane otot jantung, dan badan sel saraf memiliki potensial istirahat -90 hingga -60
mV.Selama eksitasi, lorong sodium terbuka, dan secara cepat berdepolarisasi hingga
tercapai potensial equilibrium sodium (+40 mV). Akibat dari depolarisasi,, lorong sodium
menutup(inaktif) dan lorong potassium terbuka. Aliran sebelah luar dari repolarisasi potassium
mencapai potensial equilibrium potassium (kira-kira -95 mV). Repolarisasi mngembalikan
lorong sodiumke fase istirahat. Gradient ionic transmembran dipelihara oleh pompa sodium.
Fluks ionic inisama halnya pada otot jantung, dan dan anestetik local memiliki efek yang sama di
dalam jaringan tersebut (Rochmawati dkk, 2009)
Fungsi sodium channel bisa diganggu oleh beberapa cara. Toksin biologi
seperti batrachotoxin, aconitine, veratridine, dan beberapa venom kalajengking berikatan pada
reseptor diantara lorong dan mencegah inaktivasi. Akibatnya terjadi pemanjangan influx sodium
melaluilorong dan depolarisasi dari potensial istirahat. Tetrodotoxin (TTX) dan saxitoxin
memblok lorong sodium dengn berikatan kepada chanel reseptor di dekat permukan
extracellular. Serabutsaraf secara signifikan berpengaruh terhadap blockade obat anestesi local
sesuai ukuran danderajat mielinisasi saraf. Aplikasi langsung anestetik local pada akar saraf,
serat B dan C yangkecil diblok pertama, diikuti oleh sensasi lainnya, dan fungsi motorik yang
terakhir diblok (Rochmawati dkk, 2009)

2.5. Teknik Pemberian Anestetik Lokal


a. Anestesi permukaan
Digunakan pada mukosa / permukaan luka Dari sana berdifusi ke organ akhir sensorik dan ke
percabangan saraf terminal. Pada epidermis yang utuh (tidak terluka), maka anestetik lokal
hampir tidak berkhasiat karena anestetik lokal hampir tidak menembus lapisan tanduk.
b. Anestesi infiltrasi
Disuntikkan ke dalam jaringan, termasuk juga diisikan ke dalam jaringan. Dengandemikian
selain organ ujung sensorik, juga batang-bataang saraf kecil dihambat.
c. Anestesi konduksi
Disuntikkan di sekitar saraf tertentuyang dituju dan hantarn rangsang pada tempatini
diputuskan.Contoh :
anestesi spinal, dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesic local ke dalam ruang sub-
arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5
anestesi peridural
anestesi paravertebral.
d. Anestesi regional intravena dalam daerah anggota badan
Aliran darah ke dalam dan ke luar dihentikan dengan mengikat dengan bantuan
pengukur tekanan darah dan selanjutnya anestetik lokal yang disuntikkan berdifusi ke luar dari
vena danmenuju ke jaringan di sekitarnya dan dalam waktu 10-15 menit menimbulkan
anestesi.Pengosongan darah harus dipertahankan minimum 20-30 menit untuk menghindari
aliran ke luar,sejumlah besar anestetik lokal yang berpenetrasi, yang belum ke jaringan. Pada
akhir pengosongan darah, efek anestetik lokal menurun dalam waktu beberapa menit
(Rochmawatidkk, 2009)

2.6. Lidokain HCl


DOSIS PEMBERIAN OBAT
Anestesi lokal injeksi:dewasa dan anak: bervariasi bergantung pada prosedur, tingkat
anestesi yang diinginkan, perfusi jaringan, durasi yang diinginkan dan kondisi fisik pasien:
maksimum 4,5 mg/kg/dosis; jangan diulang dalam waktu 2 jam.Antiaritmia: anak: IV: loading
dose: 1 mg/kg (maksimum 100 mg); diikuti dengan infus; dapat diberikan bolus kedua 0,5-1
mg/kg dengan jarak antara bolus dan awal infus >15 menit. Infus: 20-50 mcg/kg/menit. Gunakan
20 mcg/kg/menit pada pasien shok, penyakit hati, henti jantung, gagal jantung ringan,; gagal
jantung sedang-berat dibutuhkan 1/2 loading dose dan kecepatan infus yang lebih lambat untuk
menghindari toksisitas.
FARMAKOLOGI
Mula kerja IV: dosis bolus tunggal: 45-90 detik. Durasi kerja: 10-20 menit. Distribusi:
Vd: 1,1-2,1 L/kg; berubah oleh berbagai faktor pasien; menurun oleh gagal jantung kronik dan
penyakit hati; melewati barier darah otak.Ikatan protein: 60-80% pada alfa1asam glikoprotein.
Metabolisme: di hati 90%; metabolit aktif monoetilglisineksilidid (MEGX) dan glisineksilidid
(GX) dapat terakumulasi dan menyebabkan toksisitas SSP.
STABILITAS PENYIMPANAN
Injeksi lidokain stabil pada suhu ruang. Stabilitas campuran parenteral pada suhu ruang
(250C) adalah masa kadaluwarsa yang tertera pada wadah sebelum dicampur; Bila telah dibuka
kestabilan hilang setelah 30 hari.

KONTRA INDIKASI
Hipersensitif terhadap lidokain atau komponen yang terdapat dalam formula, hipersensitif
terhadap anestesi lokal golongan amida; Adam-stokes syndrome; blok SA/AV/ Intraventrikel
berat (kecuali pasien dengan pacu jantung artifisial yang berfungsi); injeksi campuran yang
mengandung dextrose dari jagung dan digunakan pada pasien yang alergi terhadap produk
jagung.

EFEK SAMPING
Efek bervariasi tergantung pada rute pemberian. Sebagian besar efek bergantung pada
dosis. Frekuensi tidak dinyatakan. Kardiovaskuler: aritmia, bradikardi, spasme arteri, kolaps
kardiovaskuler, ambang defibrilasi meningkat, udem, flushing, blok jantung, hipotensi, supresi
simpul SA, insufisiensi vaskuler (injeksi periartikuler). SSP: agitasi, cemas, koma, bingung,
disorientasi, pusing, mengantuk, eforia, halusinasi, sakit kepala, hiperestesia, letargi, kepala
terasa ringan, cemas, psikosis, seizure, bicara tidak jelas, somnolens, tidak sadar. Dermatologi:
angioedema, memar, dermatitis kontak, depigmintasi, udem kulit, gatal, petekia, pruritis, ruam,
urtikaria.
2.7. Tetrakain
Tetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat. Pada pemberian intravena, zat ini 10
kali lebih aktif dan lebih toksik daripada prokain. Obat ini digunakan untuk segala macam
anestesia, untuk pemakaian topilak pada mata digunakan larutan tetrakain 0.5%, untuk hidung
dan tenggorok larutan 2%. Pada anestesia spinal, dosis total 10-20mg. Tetrakain memerlukan
dosis yang besar dan mula kerjanya lambat, dimetabolisme lambat sehingga berpotensi toksik.
Namun bila diperlukan masa kerja yang panjang anestesia spinal, digunakan tetrakain.
Penggunaan
Anestesi spinal; anestesi lokal di mata untuk berbagai tujuan diagnostik dan pemeriksaan;
topikal diterapkan pada hidung dan tenggorokan untuk berbagai prosedur diagnostik; gel topikal
[OTC] untuk pengobatan rasa sakit yang terkait dengan luka dingin dan lepuh demam.

Penggunaan pada Gigi


Ester-jenis anestesi lokal; dioleskan ke tenggorokan untuk berbagai prosedur diagnostik
dan luka dingin dan lepuh demam nyeri
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap tetrakain atau komponen dari formulasi; infeksi bakteri
sekunder mata; penyakit hati; Penyakit SSP atau meningitis (jika digunakan untuk anestesi
epidural atau spinal); myasthenia gravis
Peringatan
Persiapan Kedokteran dapat menunda penyembuhan luka; gunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan penyakit jantung dan hipertiroidisme
Interaksi obat
Penurunan efek: asam aminosalisilat, efek sulfonamid dapat dilawan
Stabilitas
Injeksi: disimpan di bawah pendingin; terlindung dari sinar matahari
larutan tetes mata: disimpan dalam lemari pendingin pada 2 °C sampai 8°C
Mekanisme Aksi
Ester blok anestesi lokal baik inisiasi dan konduksi impuls saraf dengan mengurangi
permeabilitas membran neuron untuk ion natrium, yang menghasilkan penghambatan
depolarisasi dengan blokade resultan dari konduksi
Farmakodinamik / Kinetics
Onset aksi: Anestesi: Mata: ~ 60 detik; Topikal atau tulang belakang injeksi: 3-8 menit setelah
diterapkan membran mukosa atau ketika pelana blok diberikan untuk anestesi spinal

Metabolisme: Hati; didetoksifikasi oleh esterase plasma untuk aminobenzoic acid. Ekskresi
melalui urin
Dosis
Anak-anak 2 tahun: gel topikal [OTC]: Dingin luka dan lecet demam: Terapkan untuk daerah
yang terkena hingga 3-4 kali / hari hingga 7 hari
Dewasa: Larutan tetes mata (tidak untuk penggunaan jangka panjang): Menanamkan 1-2 tetes
Anestesi spinal: Tinggi, sedang, rendah, dan blok sadel: 0,2% menjadi 0,3% larutan
Berkepanjangan (2-3 jam): 1% larutanSubarachnoid injeksi: 5-20 mg Saddle block: 2-5 mg;
solusi 1% harus diencerkan dengan volume yang sama dari CSF sebelum pemberian Membran
mukosa topikal (2% larutan): Terapkan yang diperlukan; dosis tidak boleh melebihi 20 mg
2.8. Adrenalin / Epinefrin
SIFAT FISIKOKIMIA
Epinefrin berbentuk mikrokristalin berwarna putih, mudah larut dalam air; sedikit larut dalam
etanol; praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter.
SUB KELAS TERAPI
Antialergi
FARMAKOLOGI
Farmakodinamika/Kinetika : Onset : Bronkodilatasi : SC : 5-10 menit; Inhalasi : 1 menit.
Metabolisme : diambil oleh saraf adrenergik dan dimetabolisme oleh monoamine oxidase dan
catechol-o-methyltransferase; ;obat dalam sirkulasi mengalami metabolisme di hepar. Ekskresi :
Urin (sebagai metabolit inaktif metanefrin, dan sulfat dan derivat hidroksi asam mandelat,
jumlah kecil dalam bentuk tidak berubah)

STABILITAS PENYIMPANAN
Penyiapan infus IV : Encerkan 1 mg dalam 250 mL D5W atau NS (4 mcg/mL).
Kecepatan pemberian awal 1 mcg/menit dan naikkan hingga efek yang dikehendaki. ;Stabil
dalam : dextran 6% dalam dextrose, dextran 6% dalam NS, D5LR, D51/4NS, D51/2NS, D5NS,
D5W, D10W, D10NS, LR, NS; inkompatibel dengan natrium bikarbonat 5%. ;Pemberian
melalui Y-site : ;Kompatibel : ;Atracurium, calcium chloride, calcium gluconate, cisatracurium,
diltiazem, dobutamine, dopamine, famotidine, fentanyl, furosemide, heparin, hydrocortisone
sodium succinate, hydromorphone, inamrinone, labetalol, levofloxacin, ;lorazepam, midazolam,
milrinone, morphine, nicardipine, nitroglycerin, norepinephrine, pancuronium, phytonadione,
potassium chloride, propofol, ranitidine, remifentanil, vecuronium, vitamin B complex with C,
warfarin. ;Inkompatibel : ;Ampicillin, thiopental. ;Kompatibilitas pencampuran : ;Kompatibel :
;Amikacin, bupivacaine, cimetidine, dobutamine, fentanyl, floxacillin, furosemide, metaraminol,
ranitidine, verapamil. ;Inkompatibel : ;Aminophylline, hyaluronidase, mephentermine, sodium
bicarbonate. ;Penyimpanan : ;Epinefrin peka terhadap udara dan cahaya. Oksidasi akan
mengubah warna larutan menjadi merah jambu kemudian coklat. Jangan digunakan bila terjadi
perubahan warna atau terdapat endapan.
KONTRA INDIKASI
Meskipun diindikasikan untuk open-angled glaucoma, epinefrin kontraindikasi mutlak
pada closed-angle glaucoma karena dapat memperparah kondisi ini. ;Hindari ekstravasasi
epinefrin, karena dapat menyebabkan kerusakan jaringan da/atau gangren atau reksi injeksi
setempat di sekitar suntikan. ;Epinefrin jangan disuntikkan ke dalam jari tangan, ibu jari, hidung,
dan genitalia, dapat menyebabkan nekrosis jaringan karena terjadi vasokonstriksi pembuluh
kapiler. ;Epinefrin, terutama bila diberikan IV, kontraindikasi mutlak pada syok selain syok
anafilaksi. Gangguan kardiovaskuler yang kontraindikasi epinefrin misalnya syok hemoragi,
insufisiensi pembuluh koroner jantung, ;penyakit arteri koroner (mis., angina, infark miokard
akut) dilatasi jantung dan aritmia jantung (takikardi). Efek epinefrin pada kardiovaskuler (mis.,
peningkatan kebutuhan oksigen miokard, kronotropik, ;potensial proaritmia, dan vasoaktivitas)
dapat memperparah kondisi ini.

EFEK SAMPING
Kardiovaskuler : Angina, aritmia jantung, nyeri dada, flushing, hipertensi, peningkatan
kebutuhan oksigen, pallor, palpitasi, kematian mendadak, takikardi (parenteral), vasokonstriksi,
ektopi ventrikuler. ;SSP : Ansietas, pusing, sakit kepala, insomnia. ;Gastrointestinal :
tenggorokan kering, mual, muntah, xerostomia. ;Genitourinari : Retensi urin akut pada pasien
dengan gangguan aliran kandung kemih.
INTERAKSI MAKANAN
Epinefrin tidak digunakan melalui oral
INTERAKSI OBAT
Karena epinefrin merupakan obat simpatomimetik dengan aksi agonis pada reseptor alfa
maupun beta, harus digunakan hati-hati bersama obat simpatomimetik lain karena kemungkinan
efek farmakodinamik yang aditif, ;yang kemungkinan tidak diinginkan. Juga hati-hati digunakan
pada pasien yang menerima obat-obat seperti: albuterol, dobutamin, dopamin, isoproterenol,
metaproterenol, norepinefrin, fenilefrin, ;fenilpropanolamin, pseudoefedrin, ritodrin, salmeterol
dan terbutalin.

BENTUK SEDIAAN
Injeksi, Ampul 1mg/ml

INFORMASI PASIEN
Gunakan obat sesuai anjuran. Anda mungkin akan mengalami pusing, pandangan kabur
atau sulit buang air kecil. ;Segera lapor dokter bila sulit tidur, muka kemerahan, tremor atau
lemah, nyeri dada atau palpitasi, iritasi bronkial atau batuk, keringat berlebihan.

MEKANISME AKSI
Menstimulasi reseptor alfa-, beta1-, dan beta2-adrenergik yang berefek relaksasi otot
polos bronki, stimulasi jantung, dan dilatasi vaskulatur otot skelet; ;dosis kecil berefek
vasodilatasi melalui reseptor beta2-vaskuler; dosis besar menyebabkan konstriksi otot polos
vaskuler dan skelet.
BAB III
PROSEDUR DAN HASIL PRAKTIKUM

PROSEDUR PENELITIAN
1. Alat dan bahan
Bahan yang digunakan :
- Larutan Raksa (II) klorida (HgCl2)
- Larutan fenol 5%
- Larutan asam sulfat pekat
- Larutan asam klorida (HCl)
- Larutan perak nitrat (AgNO3)
- Larutan Tincture iod.
- Gliserin
- Etanol
- Aquades
- Minyak lemak
- Larutan tannin (gambir)
Untuk efek:
-Mengugurkan bulu:Kulit tikus
-Korosif: Usus dan kulit tikus.
-Fenol dalam Berbagai larutan:Jari Tangan
-Astringen:Mukosa Mulut
Alat yang digunakan:
- Alat-alat bedah
- Batang pengaduk
- Kertas saring
- Wadah kaca
- Pipet tetes
Prosedur Kerja
Efek menggugurkan bulu
- Tikus yang sudah dikorbankan, diambil kulitnya dan dipotong-potong, masing-masing
berukuran 1 cm x 1 cm dan letakkan di kertas saring.
- Catat bau asli dari zat-zat yang digunakan
- Keatas potongan kulit tersebut, teteskan larutan-larutan obat yang digunakan (NaOH 20%).
- Setelah beberapa menit, dengan batang pengaduk dilihat adakah bulu yang gugur.
- Catatlah hasil yang diperoleh dari pengujian.

Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.
Pengamatan

Percobaan Bahan Larutan obat Efek yg diamati


Percobaan yg diberikan
Mengugurkan Tikus jantan Bau Awal Kaustik/gugur Efek lain
Bulu bulu(.../menit)
NaOH 10% Menyengat 1,40menit Penipisan
pada kulit

K2S 20% Bau Khas Sukar gugur Kulit


mengeras
Veet Cream Menyengat 8 Menit

Prosedur Kerja

Efek korosif
- Usus tikus diambil dan dipotong-potong 5 cm, letakkan diatas kertas saring yang lembab
dan diteteskan dengan cairan-cairan obat. Sebelum digunakan, usus dicuci dahulu dari kotoran
dan posisikan bagian dalam yang terkena tetesan cairan korosif.
- Amatilah kerusakan yang terjadi.

Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.

Pengamatan

Hewan Bahan Larutan obat Pengamatan


Percobaan Percobaan yg diberikan
pada usus
Tikus Usus tikus Sifat Korosif Kerusakan Pada
Jaringan
Fenol 5% Korosif Berubah warna
pucat,mengkerut
HgCl2 5% Kurang Berubah agak pucat
Korosif
Tinctur Iod Kurang Berubah agak pucat
Korosif
NaOH 10% Kurang Berubah agak pucat
Korosif
AgNo3 Kurang Berubah agak pucat
Korosif
HCl Sangat Berubah pucat dan usus
Korosif pecah
H H2SO4 Sangat Berubah pucat dan usus
Korosif pecah

Prosedur Kerja
Efek korosif
- Sediakan potongan kulit tikus yang baru diambil dan direndam selama 15 menit dalam
cairan-cairan obat.
- Amatilah kerusakan yang terjadi.
Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.

Pengamatan

Hewan Bahan Larutan Pengamatan


Percobaan Percobaan obat yg
diberikan
Tikus Kulit Sifat Kerusakan Pada jaringan
Korosif
Fenol 5% Korosif Sedikit memucat,mengkerut
HgCl2 5% Korosif Warna sangat pucat,sedikit
mengkerut
Tinctur Iod Korosif Warna seperti warna iod
AgNo3 Korosif Berwarna hitam
HCl Sangat Mengkerut,mengeras,memucat
Korosif
H2SO4 Sangat Sangat Rusak
Korosif
NaOH 10% Korosif Menipis,mengeras
Prosedur Kerja
Efek lokal fenol dalam berbagai pelarut
- Wadah kaca yang telah disiapkan diisi dengan larutan-larutan fenol.
- Serentak dicelupkan empat jari tangan selama 5 menit kedalam wadah kaca yang masing-
masing berisi fenol 5% + aquades, fenol 5% + etanol, fenol 5% + gliserin, dan fenol 5% +
minyak lemak.
- Rasakan sensasi yang terjadi, jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit, segera jari diangkat dan
dibilas dengan etanol.
Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.
Pengamatan

Percobaan Bahan Percobaan Jari Tangan dicelupkan Pengamatan


pada beaker yg berisi
Efek lokal Fenol JariTangan Rasa Sensasi yg
dalam berbagai Timbul
pelarut La Larutan Fenol 5% Menit ke 2.27 mati
dalam air rasa,tebal
Larutan Fenol 5% dalam Menit ke 4.15
Alkohol mengkerut,kasar,tebal
Larutan Fenol 5% dalam Menit ke 5 tebal
minyak Gliserol
Larutan Fenol 5% dalam Menit ke 5 tebal
minyak lemak

Prosedur Kerja
Efek astringen
- Mulut dibilas dengan larutan tanin 1%, dalam hal ini dimaksudkan untuk larutan gambir.
- Rasakan sensasi yang terjadi didalam mulut.

Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.

Percobaan Bahan percobaan Larutan Obat Pengamatan


Kumur pada mulut
Adstringen Mulut untuk kumur Tannin 1% Rasa Kesat pada
Mulut

Pengamatan
PROSEDUR DAN PENGAMATAN ANESTESI KONDUKSI
Prosedur dan pengamatan
1) Semua mencit dicoba dulu respon haffner (ekor mencit dijepit dan dilihat angkat elor atau
menit bersuara) dan hanya dipilih hewan yg memberi respon haffner negatif,artinya
hewan mengangkat ekor/bersuara.
2) Hewan ditimbang dan diberi tanda.
3) Mencit dimasukkan ke dalam silinder (kotak penahan mencit) dan hanya ekornya yg
dikeluarkan.Jumlah silinder disesuaikan dengan jumlah mencit setiap kelompoknya..
4) Ekor mencit kemudian dijepit pada jarak 0,5 cm dari pangkal ekor.Manifestasi rasa nyeri
ditunjukkan dengan refleks gerakan tubuh mencit atau dengan suara kesakitan.Respon
demikian dicatat sebagai respon Haffner negatif.
5) Pada waktu t=0 tiap mencit dari kelompok yg sama disuntik Lidokain HCl di vena ekor.
6) Setelah waktu t=10,masing-masing mencit diperiksa respon haffnernya,dan selanjutnya
dilakukan hal yg sama pada t=15 dan t=20
7) Hasil pengamatan dicatat dalam tabel.
Pengamatan
Obat Cara Respon Haffner pada waktu (t=menit)
pemberian
0 10 15 20
Lidokain I IV √ √ - √
Lidokain II IV √ - - √
Kontrol IV √ √ √ √
Negatif

PEMBAHASAN
Percobaan uji efek anestesi local lidokain menggunakan metode anestesi konduksi serta mencit
sebagai hewan percobaannya.Lidokain HCl disuntikkkan pada ekor mencit, kemudian selama
interval 5 menit respon haffner dicek dengan menyentuh bagian ekor apakah mencit tersebut
bersuara atau tidak. Tidak adanya respon menunjukan obat mulai bekerja dan jika respon mencit
bersuara atau mengangkat ekor kembali seperti normal berarti efek obat mulai menghilang.

PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN ANESTESI INFILTRASI


3.1. Prinsip
Obat anestesi lokal yang disuntikan ke dalam jaringan akan mengakibatkan kehilangan sensasi
pada struktur sekitarnya

Hewan percobaan : Kelinci

Alat : Gunting; pisau cukur; spuit 1 ml; spidol; peniti

Obat : Larutan Tetrakain HCl 1%, Lidokain HCl 1%, tetrakain 1% dalam

Adrenalin 1 : 50.000; Lidokain HCl dalam adrenalin 1 : 50.000

Cara pemberian : Intra kutan, 0,2 ml

3.2. Alat dan bahan


3.3. Proedur
a. Gunting bulu kelinci pada punggungnya dan cukur hingga bersih kulitnya (hindari terjadi
luka)
b. Buat daerah penyuntikan dengan spidol dengan jarak minimal 3 cm
c. Uji getaran otot dengan memberikan sentuhan ringan pada daerah penyuntikan dengan peniti,
setiap kali enam sentuhan
d. Suntikkan larutan-larutan di atas pada daerah penyuntikan
e. Lakukan uji getaran setelah penyuntikan seperti poin 3

3.4. Pengamatan
Organ / Getaran otot punggung kelinci dengan 6 kali sentuhan
Obat Cara
Hewan bagian pada waktu . . . menit setelah pemberian obat
diberikan pemberian
percobaan 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60 75
Injeksi
Tetrakain √ X X X X X X X X X √ √
subkutan
Punggung
Tetrakain
kiri Injeksi
+ √ √ √ X X X X X X X √ √
subkutan
Adrenalin
Kelinci
Injeksi
Lidokain √ X X X X X X X X X √ √
subkutan
Punggung
Lidokain
kanan Injeksi
+ √ X X X X X X X X X √ √
subkutan
Adrenalin

3.5. Pertanyaan
a. Mengapa ada perbedaan antara efek anestesi lokal dengan anestesi lokal dalam adrenalin ?
Jawab :
Karena penambahan vasokonstriktor pada obat anestesi lokal dapat menyebabkan penyerapan
obat oleh neuron lokal meningkat karena bertahannya obat di jaringan lokaldan penyerapan obat
melalui pembuluh darah dapat dikurangisecara klinis dapat berarti lebih lamanya durasi blok
b. Apakah kokain sebagai anestesi lokal perlu ditambahkan adrenalin, jika ya kenapa, jika tidak
jelaskan
Jawab :
Penambahan adrenalin pada kokain tergantung dari lama nya efek yang diinginkan. Lama kerja
kokain berkisar 2-30 menit jika diinginkan efek yang lebih lama, maka adrenalin dapat
ditambahkan. Dan jika efek yang diinginkan hanya singkat, tidak perlu ditambahkan karena
hanya menambah toksisitas dan efek samping pada tubuh.

c. Berikan penerapan klinis anestesi permukuaan dan anestesi infiltrasi


Jawab :
Anestesi permukaan, sebagai suntikan banyak digunakan sbg penghilang rasa oleh dokter gigi
unk mencabut geraham dan untuk pembedahan kecil, spt menjahit luka pd kulit, jg digunakan
untk bronkoskopi, gastroskopi, dan sitoskopi
Anestesi infiltrasi, yaitu suntikan yang diberikan ditempat yang dibius ujung-ujung sarafnya,
misalnya pada daerah kulit dan gusi (pencabutan gigi)
d. Bagaimana pengaruh pH daerah yang dianestesi lokal terhadap anestesi lokal
Jawab :
Anestesi lokal merupakan basa lemah.Anestetik lokal yang biasa digunakan mempunyai pKa
antara 8-9 sehingga pada pH jaringan tubuh hanya didapati 5-20% dalam bentuk basa bebas.
Anestesi lokal dapat menghambat pembelahan sel dalam bentuk kation. Konduksi saraf dapat
dihambat atau tidak dihambat hanya dengan mengubah pH larutan menjadi 7 atau 9,5 dan pada
pH 7,terjadi hambatan hantaran & sebagian besar anestetik lokal berada dalam bentuk kation.hal
ini menunjukkan bahwa yang mencegah pembentukan potensial aksi ialah bentuk kation yang
bergabung dengan reseptor dimembran sel,yaitu mengadakan interaksi dengan kanal Na. Jadi
sebaiknya daerah yang dianstesi memiliki pH netral atau sedikit asam.

PEMBAHASAN
Percobaan uji efek anestesi local lidokain dan tetrakain menggunakan metode anestesi
infiltrasi serta kelinci sebagai hewan percobaannya. Lidokain dan tetrakain juga dikombinasikan
dengan adrenalin, pemberiaannya secarasubkutan pada kulit punggung kanan dan kiri kelinci.
yang diamati adalah apakah adar eflek otot pada tempat penyuntikan setelah digores – gores
dengan jarum pada tempat penyuntikan. Apabila ada reflex otot beri tanda ceklis pada table dan
jika tidak ada reflex otot beri tanda silang pada tabel. Pengamatan dilakukan pada menit ke-0, 5,
10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 60, 75.
Berdasarkan table pengamatan pada punggung kiri lidokain HCl tanpa adrenalin memiliki
mula kerja pada menit ke-5dan efek obat berakhir pada menit ke-60. Lidokain dikombinasikan
dengan adrenalin, maka obat memiliki mula kerja pada menit ke-15 dan efek obat berakhir pada
menit ke-60 ,sedangkan tetrakain HCl tanpa adrenalin memilikimulakerjapadamenit ke-5 dan
efek obat berakhir pada menit ke-60. Tetrakain HCl dikombinasikan dengan adrenalin memiliki
mula kerja dan akhir efek obat yang sama dengan injeksi tetrakain tanpa penambahan adrenalin.

PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, hal-hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan
diatas adalah :
a. Obat anestesi local lidokain HCl dan tetrakain HCl memiliki efek menurunkan reflex otot
punggung
b. Lidokain dan tetrakain tanpa penambahan adrenalin memiliki mula kerja dan akhir efek obat
yang sama
c. Lidokain dengan penambahan adrenalin mengakibatkan mula kerja lebih lama, tetapi akhir
efek obat tetap sama seperti lidokain tanpa adrenalin.
d. Tetrakain dengan atau tanpa penambahan adrenalin memiliki mulakerja dan akhir efekobat
yang sama
5.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai percobaan yang telah dilakukan, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi. Praktikan banyak berharap kepada tim dosen pembimbing dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada praktikan demi sempurnanya laporan praktikum ini..
PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN ANESTESI PERMUKAAN
 Prinsip dan teori
Anestesika lokal adalah obat yang menghambat konduksi saraf bila dikenakan secaraloka
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan anestesika local seperti
kokain dan ester – ester asam para amino benzoate (PABA), contoh prokain dan lidokain.
Anestesi lokal permukaan tercapai ketika anestesi local ditempatkan di daerah yang ingin
dianestesi. Anestesi lokal diberikan dengan berbagai teknik pemberian, seperti : anestesi
permukaan, anestesi spinal, anestesi mukosa.
 Alat dan bahan

Hewanpercobaan : Kelinci

Alat : Gunting

Obat : Larutan tetrakain HCl 2%, dosis 0,5 ml, diberikan dengan penetesan.
Larutan lidokain HCl 2%, 1-2 tetes

 Prosedur
a. Gunting bulu mata kelinci, agar tidak menggangu aplikator
b. Teteskan kedalam kantong kunjungtiva larutan anestesi local lidokain HCl 0,5 ml pada
mata kanan dan tetrakain HCl 0,5 ml pada mata kiri
c. Tutup masing-masing kelopak mata selama 1 menit
d. Catat ada atau tidaknya reflek mata setiap 5 menit, dengan menggunakan aplikator tiap
kali pada permukaan kornea
 Tabel pengamatan
Pengamatan reflex matapadawaktu ( . . . menit )
Hewan Mata Obat diteteskan
0 5 10 15 20 30 45 60
Lidokain 0,5
Kanan + + + + - + + +
ml
Kelinci
Tetrakain 0,5
Kiri + - - - - - + +
ml
Keterangan : (+) = berkedip (-) = tidakberkedip
3.5. Pertanyaan
a. Jelaskan Kokain sebagai anestesi lokal
Jawab :
Efek anestetik lokal: Efek local kokain yang terpenting yaitu kemampuannya untuk
memblokade konduksi saraf. Atas dasar efek ini, pada suatu masa kokain pernah digunakan
secara luas untuk tindakan di bidang oftalmologi, tetapi kokain inidapat menyebabkan
terkelupasnya epitel kornea. Maka penggunaan kokain sekarang sangat dibatasi untuk pemakaian
topikal, khususnya untuk anestesi saluran nafas atas. Kokain sering menyebabkan keracunan
akut. Diperkirakan besarnya dosis fatal adalah 1,2 gram. Sekarang ini,
kokaindalambentuklarutankokainhidrokloridadigunakanterutamasebagaianestetiktopikal, dapat
diabsorbsi dari segala tempat, termasuk selaput lendir. Pada pemberian oral kokain tidak efektif
karena di dalam usus sebagian besar mengalami hidrolisis.
b. Jelaskan Penggolongan kimia dari anestesi lokal
Jawab :
Menurut struktur kimianya, anestesi local dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
 Golongan ester (-COOC-) Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain
(nevocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine).
 Golongan amida (-NHCO-) Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain
(carbocaine), prilokain (citanest), bupivakain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain
(nupercaine),ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).

c. Sebutkan anestesi lokal yang dapat digunakan sebagai anestesi permukaan


Jawab :
- LidokainHCl
- ProkainHCl
- TetrakainHCl
- Benzokain
e. Keburukan apa yang dapat terjadi bila permukaan kornea dianestesi untuk periode yang lama,
jelaskan
Jawab :penggunaan anestesi local pada mata yang terlalu lama dapat menyebabkan radang
kornea berat, selaput kornea menjadi putih permanen, jaringan parut dan memperlambat
penyembuhan kornea

PEMBAHASAN
Percobaan uji efek anestesi local lidokain dan tetrakain menggunakan metode anestesi
permukaan serta kelinci sebagai hewan percobaannya. 1 tetes lidokain HCl diteteskan pada mata
kanan kelinci dan 1 tetes tetrakain HCl diteteskan pada mata kiri kelinci, kemudian selama
interval 5 menit reflex mata kelinci dicek dengan menyentuh bagian tengah mata kelinci dengan
aplikator. Tidak adanya reflex menunjukan obat mulai bekerja dan jika reflex mata kembali
seperti normal berarti efek obat mulai menghilang.
Berdasarkan tabel pengamatan lidokain HCl memiliki mula kerja pada menit ke-20 dan
efek obat berakhir pada menit ke-30, sedangkan tetrakain HCl memiliki mula kerja pada menit
ke-5 dan efek obat berakhir pada menit ke-45.

PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, hal-hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan
diatas adalah :
a. Obat anestesi local lidokain HCl dan tetrakain HCl memiliki efek menurunkan reflex kelopak
mata untuk menutup
b. Tetrakain HCl memiliki mula kerja lebih cepat daripada lidokain HCl dan keduanya
diberikan dalam bentuk sediaan tetes mata
c. Tetrakain HCl memiliki waktu kerja lebih lama daripada lidokain HCl dan keduanya
diberikan dalam bentuk sediaan tetesmata
5.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai percobaan yang telah dilakukan, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi. Praktikan banyak berharap kepada tim dosen pembimbing dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada praktikan demi sempurnanya laporan praktikum ini..
PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN REGNIER
3.1. Prinsip
Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon reflex okuler
(mataberkedip). Apabila mata di teteskan anestesi lokal, reflex okuler timbul setelah beberapa
kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja anestesi dan besarnya sentuhan yang
diberikan. Tidak adanya reflex okuler setelah kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda
adanya anestesi total.

Hewan percobaan : Kelinci dewasa dan sehat

Alat : Misai kelinci diletakan pada ujung batang pengaduk, panjang ± 1,5 cm
dari ujung batang pengaduk. Misai tersebut digunakan sebagai
penyentuh kornea

Obat : Larutan tetrakain HCl 2%, 0,5 ml;Larutan lidokainHCl 2%, 0,5 ml

Cara pemberian : diteteskan (obattetes)

3.2. Bahandanalat
3.3. Prosedur
a. Kelinci ditempatkan dikotaknya 1 jam sebelum percobaan dimulai. Gunting bulu matanya,
kemudian periksa refleks normal dari kedua kornea dengan sentuhan misai secara tegak
lurus.
b. Pada waktu t = 0, teteskan 0,1 ml larutan obat yang akan diuji kedalam kelinci. Percobaan ini
diulangi setelah 1 menit (gunakan stopwatch)
c. Padamenitke 8, dengan bantuan misai periksa reflex mata, yaitu dengan menyentuhkan misai
tegak lurus dibagian tengah kornea sebanyak 100 kali dengan kecepatan yang sama. Jangan
terlalu keras menyentuhnya dan ritmenya juga harus diatur. Apabila sampai 100 kali tidak
ada refleks (kelopakmatatertutup), maka dicatat angka 100 untuk respon negatif. Tetapi jika
sebelum 100 kali sudah ada refleks, maka yang dicatat adalah respon negative sebelum
mencapai angka 100.
d. Perlakuan yang sama diulang pada menit-menit ke : 15; 20; 25; 30; 40; 50; dan 60. Jika
sebelum menit-menit yang ke 60 pada sentuhan pertama sudah ada refleks, maka menit-
menit yang tersisa diberi angka satu.
e. Setelah percobaan diatas selesai, mata sebelahnya diperlakukan seperti ad 4.,tetapi hanya
diteteskan larutan fisiologis.
f. Jumlah respon negative dimuat dalam sebuah table dan dimulai dari menit ke 8. Jumlah
tersebut menunjukan angka regnier minimal angka 13
g. Hitung Jumlah kan untuk waktu-waktu tertentu semua respon negative. Apabila pada sekali
sentuhan terjadi reflex kornea, maka angka yang dicatat adalah 1. Hitung angka rata-rata
yang diberikan untuk masing-masing larutan yang diperoleh pada 8 kali
pemeriksaanreflekskornea.
3.4. Pengamatan
Obat Pemeriksaan refleks mata pada menit ke . . .
Hewan Mata
diteteskan 0 5 10 15 20 30 45 60
Kanan Lidokain HCl - - - -40 1 1 1 1
Kelinci
Kiri TetrakainHCl - - - - -55 1 1 1

Keterangan : (-) : tidak ada reflex setelah disentuh dengan misai sebanyak 100 kali
(-40) :setelah disentuh 40 kali, baru terjadi refleks
(-55) :setelah disentuh 55 kali, baru terjadi refleks
(1) :terjadi reflex hanya dengan 1 kali sentuhan
100 + 100 + 100 + 40 + 1 + 1 + 1 + 1 344
Angka rata-rata jumlah sentuhan mata kanan : = = 43
8 8
100 + 100 + 100 + 100 + 55 + 1 + 1 + 1 458
Angka rata-rata jumlah sentuhan mata kiri : = = 57,25
8 8

3.5. Pertanyaan
a. Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat terjamin
khasiatnya
Jawab :
 Penyimpanan, dalam lemari pendingin
 Hindari bagian ujung tempat obat (bagian yang berfungsi meneteskan obat menyentuh
mata, jari, atau permukaan lain. Hal itu untuk mencegah kontaminasi bakteri
b. Pada percobaan, mata kelinci harus terlindung dari cahaya langsung. Jelaskan !
Jawab :
Karena paparan cahaya secara langsung dapat mempengaruhi stabilitas obat tetes mata yang
diteteskan pada mata kelinci
c. Sebutkan anestesi lokal mata yang digunakaan, selain pada percobaan ini !
Jawab :
 Kokain
 Oksibuprokain
 Prokain
 Mepivikain
PEMBAHASAN
Percobaan uji efek anestesi local lidokain dan tetrakain menggunakan metode regnier
serta kelinci sebagai hewan percobaannya. Lidokain HCl 0,1 ml diteteskan pada mata kanan
kelinci, diamkan selama 1 menit kemudian teteskan lagi lidokain HCl 0,1 ml dan diamkan lagi
selama 1 menit, penetesan diulang sampai menit ke-7 dan perlakuan yang sama berlaku untuk
tetrakain HCl pada mata kiri.Pengamatan reflex dilakukan dengan menyentuhkan misai kelinci
pada bagian tengah mata secara tegak lurus sebanyak 100 kali, catat dalam table angka 100.
Jikasebelum 100 kali mata sudah kembali memberikan reflex maka catat jumlah sentuhan sampai
member reflex dan jika dengan 1 sentuhan mata sudah kembali member reflex berarti efek obat
sudah hilang dan catat dalam table angka 1. Pemeriksaan reflex dilakukan pada menit ke-5, 10,
15, 20, 30, 45, 60.
Berdasarkan table pengamatan lidokain HCl memiliki rata-rata jumlah sentuhan sebanyak
43 sentuhan, sedangkan tetrakain HCl memiliki rata-rata jumlah sentuhan sebanyak 57,25
sentuhan.
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, hal-hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan diatas
adalah :
a. Obat anestesi lokal lidokain HCldan tetrakain HCl memiliki efek menurunkan refleks okuler
(kedipan mata)
b. Tetrakain HCl memiliki angka sentuhan rata-rata lebih besar dari pada lidokain HCl, berarti
tetrakain HCl memiliki efeklebihkuatdaripadalidokainHClkarenasemakinbanyakjumlah
sentuhan, semakin kuat obat tersebut menghambat refleksokuler
5.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai percobaan yang telah dilakukan, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi. Praktikan banyak berharap kepada tim dosen pembimbing dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada praktikan demi sempurnanya laporan praktikum ini..
BAB I
PENDAHULUAN
1. Judul Percobaan
“Obat-Obat Yang Mempengaruhi Sistem Saraf Otonom”

2. Tujuan Percobaan
a. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat system saraf otonom dalam
pengendalian fungsi – fungsi vegetatif tubuh.
b. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergik dan aktivitas obat
anti kolinergik pada neurofektor parasimpatikus.
c. Dapat menjelaskan manfaat atau bahaya obat – obat kolinergik, anti kolinergik dan
adrenergik pada pengobatan mata serta pendekatan – pendekatan yang mungkin untuk
mengatasi kelemahan – kelemahan tersebut.

3. Prinsip Percobaan
a. Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salvias dan hipersaliva
yang dapat diinhibisi oleh zat anti kolinergik. Eksperimen ini dapat digunakan sebagai
landasan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat befungsi sebagai antagonisme.
Hewan yang digunakan adalah kelinci dan mencit.
b. Pemberian obat kolinergik dan anti kolinergik pada mata hewan percobaan yang dapat
menyebabkan miosis dan midriatik. Eksperimen ini dapat digunakan untuk melihat efek
dari obat kolinergik dan anti kolnergiik pada mata hewan percobaaan.
c. Eksperimen ini dilakukan untuk melihat efek dari pemberian obat adrenergic pada mati
dari percobaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi visceral tubuh.
Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung
kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan
memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat
meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung
kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian
terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh
sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral
(Guyton, 2006).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang bekerja
pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor.
Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara
spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan
impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan
atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf
otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut:
a. Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
b. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-
lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
a. Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
b. Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (atropine)
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya mirip
perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut
adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.
Sistem berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam organisme. Klasifikasi saraf
otonom berdasarkan pada molekul transmitter utama yaitu acetylcoline atau norepineprin yang
dikeluarkan dari ujung bouton dan viskositas mereka. Sejumlah besar serat saraf perifer system
otonom menyintesis dan mengeluarkan acetylcoline kolinergik, mereka bekerja dengan cara
mengeluarkan acetylcholine. Hampir semua serat eferen yang keluar system saraf pusat adalah
kolinergik. Sebagai tambahan, semua serat pascaganglion prasimpatis adalah kolinergik.
Sebagian besar serat pascaganglionik simpatis mengeluarkan noreepinephrin yang disebut serat
noradrenergic, mereka bekerja dengan cara melepaskam norephineprin.
Reseptor kolinergik ada 2 jenis, yaitu : reseptor muskarinik ( otot polos, kelenjar, jantung
dan otot paru – paru ) dan reseptor nikotinik ( mempengaruhi otot rangka di ganglion atau
sambungan otot rangka. Kolinergik dibagi menjadi 2 jenis menurut kerjanya, yaitu kolinergik
kerja langsung dan kolinergik kerja tak langsung. Contoh obat kolinergik kerja langsung adalah
pilokarpin, karbakol, dll. Sedangkan contoh kolinergik kerja tak langsung adalah fisostigmin,
piridostigmin dan golongan organopospat.
Anti kolinergik adalah obat – obat yang menghambat asetilkolin dengan menempati reseptor
– reseptor asetilkolin. Anti kolinergik memperlihatkan efek sentral terhadap susunan saraf pusat,
yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksis.
Banyak sekali anti kolinergik disintesis dengan maksud mendapatkan obat dengan efek
selektif terhadap gangguan tertentu disertai efek samping yang lebih ringan. Contohnya adalah
atropine sulfat dan skopolamin.
Dikatakan obat adrenergic karena efek yang ditimbulkannya mirip perangsangan saraf
adrenergic, atau mirip efek neurotransmitor noreepineprin dan epineprin dari susunan saraf
simpatik. Obat – obat simpatomimetik yang merangsang reseptor adrenergic dibagi menjadi 3
golongan, yaitu :
1. Simpatomimetik kerja langsung
2. Simpatomimetik kerja tak langsung
3. Simpatomimetik kerja campuran
Contoh obatnya adalah epineprin, nor epineprin, isoproterenol. Respon suatu organ otonom
terhadap obat adrenergic ditentukan tidak hanya oleh hanya oleh efek langsung obat tersebut,
tetapi juga oleh refleks homeostatic tubuh.
Penghambat adrenergic atau adrenolitik adalah golongan obat yang menghambat
perangsangan adrenergic. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan obat ini dapat dibagi atas
antagonis adrenoreseptor dan penghambat saraf adrenergic.
Antagonis aderenoreseptor atau adrenoseptor bloker adalah obat yang menduduki
adrenoseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik, dan dengan
demikian menghalangi kerja obat adrenergik pada sel efektornya. Penghambat saraf adrenergic
adalah obat yang mengurangi respons sel efektor terhadap perangsangan saraf adrenergic, tetapi
tidak terhadap obat adrenergic eksogen. Obat golongan ini bekerja pada ujung saraf adrenergic,
mengganggu penglepasan dan atau penyimpanan norepinefrin.

MEKANISME KERJA OBAT


 Atropin Sulfat
Penghambatan pada atropine hanya terjadi dengan dosis sangat besar, kelompok ini
memperlihatkan kerja yang hampir sama, tetapi dengan afinitas yang sedikit berbeda terhadap
berbagai alat. Pda dosis kecil atropine hanya menekan sekresi air liur, mucus bronkus dan
keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan akomodasi. Dosis yang lebih besar lagi diperlukan
untuk menghambat peristalsis usus dan sekresi kelenjar di lambung.

Farmakodinamik
Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian acetilkolin
dalam jumlah yang berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok acetilkolin
endapan maupun eksogen, tapi hambatanya jauh lebih kuat terhadap eksogen
1. Pada Mata
Alkoloid Belladonae menghambat M.constictor pupillae dan M. cillaris lensa mata, sehingga
menyebabkan midriasis dan sikloplegia. Midriasis menyebabkan fotobia, sedangkan sikloplegia
menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat.
2. Pada kelenjar eksokrin
Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atopin adalah kelenjar liur dalam mulut
dan bronkus. Untuk menghambat aktivitas kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar,
kulit menjadi kering, panas dan merah terutama dibagian muka dan leher.

Farmakokinetik
Alkaloid Belladona mudah diserap dari semua tempat, kecuali dari kulit. Pemberian atropine
sebagai tetes mata, terutama pada anak dapat menyebabkan asorbsi dalam jumlah yang cukup
besar lewat mokusa nasal, sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan
 Prokain
Prokain merupakan kristal putih yang mudah larut dalam air. Sediaan prokain HCL terhadap
dalam kadar 1-2% dengan atau tanpa epinerpin untuk anesthesia infiltrasi yang memblokade
saraf dan 5-20% untuk anesthesia spinal. Untuk anesthesia kaudal yang terus menerus, dosis
awal adalah 30 ml larutan prokain 1,5%

Farmakodinamik
Pada penyuntikan prokain eska dengan dosis 100-800 mg, terjadi analgesia umum ringan
yang derajatnya berbanding lurus dengan dosis.

Farmakokinetik
Absorbsi berlangsung cepat dari tempat suntikan dan untuk memperlambat absorbsi perlu
ditambahkan vasokonstriktor. Sesudah asorbsi, prokain cepat dihidrolisis oleh esterase dalam
plasma menjadi Paba dan dietilaminoetanol. Paba dieskresi dalam urin, kira-kira 80% dalam
bentuk utuh dan bentuk konjungasi. 30% dietilamino ditemukan dalam urin dan selanjutnya
mengalami degradasi dalam lambung lebih lanjut
BAB III
PERCOBAAN DAN HASIL PENGAMATAN

A. Efek obat kolinergik dan antikolinergik pada sekresi kelenjar ludah


Hewan Percobaan : Kelinci
Alat : Alat suntik 1 ml; jarum suntik no. 27, ¾-1 inchi; jarum suntik
No. 26, ½ inchi; gelas ukur 50 ml; corong.
Bahan Obat : Pentobarbital Natrium 25 mg/kg bobot tubuh (larutan 5%);
pilokarpin nitrat 5 mg/kg bobot tubuh (larutan 5%); atropin
sulfat 0,25 mg/kg bobot tubuh (larutan 0,1%).
Prosedur :
1. Mencuci tangan terlebih dahulu.
2. Memakai jas laboratorium, hand skun dan masker dengan rapih dan bersih.
3. Menyiapkan alat, bahan dan hewan percobaan.
4. Meja pratikum dilapisi koran terlebih dahulu.
5. Hewan percobaan ditimbang terlebih dahulu untuk melakukan perhitungan dosis obat.
6. Kelinci disedasikan dengan penobarbital natrium.
7. Suntikan larutan pilokarpin, catat waktu penyuntikan.
8. Saliva yang diekskresikan di lambung dalam gelas ukur (catat saat muncul efek salivasi)
melalui corong selama 5 menit.
9. Setelah 5 menit suntikan atropin sulfat
10. Tampung saliva yang diekskresikan dalam gelas ukur baru (selama 5 menit)
Pembahasan :
Pada percobaan ini menggunakan obat Luminal, Cendocarpin, Atropin. Atropin sulfat
merupakan obat anti kolinergik yang berasal dari alkaloid belladonna, dimana atropine
sulfat bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah yang
berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen
maupun eksogen, sehingga atropine bekerja sebagai penghambt kolinergik.
Pilocarpin HCL merupakan obat kolinergik yang berasal dari alkaloid tumbuhan, dimana
pilocarpin bekerja pada efek muskarinik dan nikotinik. Pilocarpin dapat menyebabkan
rangsangan terhadap kelenjar keringat, kelenjar air mata dan kelenjar ludah denagan
pemberian dosis 7,5 mg secara oral, pilocarpin dapat menimbulkan salivasi.
Menurut teori yang ada bahwa pilocarpin HCL menyebabkan terjadinya peningkatan,
sekresi saliva dan ketika diberi atropine sulfat, sekresi saliva menjadi menurun. Tapi,
berdasarkan pengamatan yang ada, kelinci mengalami kematian, padahal seharusnya hanya
sekresi saliva saja dan tidak menimbulkan kematian. Ini terjadi kemungkinan karena dosis
yang diberikan terlalu banyak ( mungkin kelinci yang dipakai adalah kelinci bekas praktek
sebelumnya ).
B. Efek obat kolinergik dan antikolinergik pada mata
Hewan Percobaan : Kelinci
Alat : Pipet tetes; alat pengukur diameter pupil mata; senter.
Bahan Obat : Larutan fisostigmin salisilat 0,2%; larutan pilokaprin HCl 3%;
Larutan atropin sulfat 2%
Prosedur :
1. Mencuci tangan terlebih dahulu.
2. Memakai jas laboratorium, hand skun dan masker dengan rapih dan bersih.
3. Menyiapkan alat, bahan dan hewan percobaan.
4. Meja pratikum dilapisi koran terlebih dahulu.
5. Amati, ukur dan catat diameter pupil mata pada cahaya suram dan pada penyinaran
dengan senter.
6. Teteskan obat ke dalam kelopak mata bawah. Setelah larutan diteteskan, biarkan mata
terbuka selama satu menit sambil ditekan saluran nasolakrimal.
7. Bila tidak ada efek setelah 15 menit, ulangi prosedur ini.
8. Ke dalam mata kanan teteskan 3 tetes laruatn fisostigmin salisilat dan ke dalam mata
kiri diteteskan 3 tetes larutan pilokarpin HCl. Perhatikan dan catat efek yang terjadi.
9. Tiap kali setiap penetesan obat, refleks pupil mata diuji.
10. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, ke dalam mata kanan diteteskan 2 tetes
larutan atropin sulfat. Amati efek pada kedua mata.
11. Selang 20 menit keudian, ke dalam mata kanan diteteskan 6 tetes larutan fisostigmin
salisilat.
Pembahasan :
Kolinergik muskarinik memediasi pengontrolan obat konstriktor papiler sirkular dan
konstraksi otot silier. Kontraksi otot konstriktor pupiler menyebabkan miosis, suatu reduksi
ukuran pupil, konstraksi otot silier menyebabkan penyesuaian focus untuk penglihatan
jarak dekat. Kontraksi otot silier menekan jala trabekuler membuka porinya kemudian
menfasilitasi aliran-aliran cairan hormone ke kanal schlem, aliran yang keluar mengikat
mengurangi tekanan intra okuler. Efek diatas dapat dihambat/ dibalikkan dengan obat –
obat penghambat muskarinik seperti atropine.
Dalam pemberian pilokarpin HCL 1 % terjadi miosis dan ketika pemberian atropine
sulfat 0,5 % terjadi midriasis. Pilocarpin meningkatkan konsentrasi asetilkolin, sedangkan
atropine sulfat memblok asetilkolin endogen maupun eksogen. Pilocarpin ini dapat
dibuktikkan mempunyai efek kolinergik dengan pupil mata kelinci yang membesar.

Hasil Pengamatan Efek Obat Kolinergik dan Antikolinergik


Kelinci Obat
Mata kanan (5menit) Pilokarpin = 0,8 cm
Atropin = 0,7 cm
Mata kiri (5menit) Atropin = 0,6 cm
Pilokarpin = 0,9 cm

Sebelum disinar Kanan = 0,7 cm


Kiri = 0,7 cm

Setelah disinar Kanan = 0,4 cm

Sebelum disinar Kanan = 0,7 cm


Kiri = 0,6 cm

Setelah disinar Kanan = 0,4 cm


Kiri = 0,4 cm
Pengamatan
Kelinci Obat
Mata kanan (5menit) Adrenalin = 0,7 cm
Atropin = 0,8 cm
Mata kiri (5menit) Adrenalin = 0,6 cm
BAB I
PENDAHULUAN

1. Judul Percobaan
“Efek Garam-Garam Terhadap Retensi Air Dalam Saluran Cerna”

2. Tujuan Percobaan
a. Menjelaskan pengaruh-pengaruh kerja farmakologik garam katartik dan morfin terhadap
saluran pencernaan dan implikasi praktisnya.
b. Mengajukan saran untuk pendekatan yang rasional untuk menangani diare.
c. Mengajukan indikasi lainnya.

a. Prinsip Percobaan
Obstipasi adalah perlambatan pengosongan fases yang kering dan keras. Ini disebabkan
oleh waktu melewati usus yang lebih lambat (pada mekanisme defekasi normal) atau
terganggunya refleks pengosongan gastrointestinal.
Laksansia mempercepat pengosongan fases. Magnesium sulfat adalah salah satu
laksansia osmotik.larutan hipertonik dari garam-garam yang sukar diabsorbsi bila berada
dalam usus, mengakibatkan retensi air secara osmotik dalam jumlah besar dalam usus
tersebut. Akibatnya volume usus meningkat dan volume yang ini berlaku sebagai stimulus
mekanik yang meningkatkan aktivitas motorik dari usus yang mendorong isi usus ke dalam
kolon, sehingga terjadi pengeluaran isi usus dalam bentuk tinja yang cair.
Atropin dapat menghambat sebagian spasmus pada usus tersebut, tetapi tidak mampu
mempengaruhi transport isi usus yang diperlambat karena kerja morfin.
BAB II
PERCOBAAN DAN HASIL PENGAMATAN

Efek garam-garam terhadap retensi air dalam saluran cerna


Hewan Percobaan : Tikus jantan
Alat : Spuit 1 ml atau 2 ml, gunting, benang steril, kaca arloji, pipet
tetes, kleenex, jarum bedah.
Bahan Obat : Larutan pentobarbital natrium 4%, larutan magnesium sulfat
15%, 3% dan 0,2%; natrium klorida fisiologik.
Prosedur :
1. Mencuci tangan terlebih dahulu.
2. Memakai jas laboratorium, hand skun dan masker dengan rapih dan bersih.
3. Menyiapkan alat, bahan dan hewan percobaan.
4. Meja pratikum dilapisi koran terlebih dahulu.
5. Tikus dipuasakan makan selama 24 jam, minum tetap diberikan.
6. Tikus dibius dengan penobarbital Na 40 mg/kg bb secara ip.
7. Usus dipamerkan melalui torehan ventral sagital, usus jangan sampai terluka, selama
pembedahan dan percobaan usus harus basahi dengan NaCl fisiologik.
8. Pada jarak sekitar 2,5 cm dari pilorus, ikat usus dengan benang steril pada jarak lebih
kurang 8 cm, hingga diperoleh tiga segmen terpisah. Pengikatan jangan sampai
mengganggu aliran darah usus.
9. Suntikkan berturut-turut ke dalam segmen masing-masing larutan 1 ml (MgSO4 25%,
NaCl 0,9% dan MgSO4 0,2%).
10. Tempatkan usus kedalam rongga abdomen dan jahit kembali otot dan kulit perut tikus.
Basahi terus jahitan dengan NaCl fisiologis.
11. Setelah 2 jam, buka jahitan dan isi tiap segmen usus dikeluarkan dan catat volume yang
diperoleh.
12. Tabelkan hasil-hasil eksperimen dan diskusikan pengaruh masing-masing larutan
terhadap retensi cairan.
Tabel pengamatan :
BAB I
PENDAHULUAN

1. Judul Percobaan
“Diuretika”

2. Tujuan Percobaan
a. Memahami kerja farmakologik dari berbagai kelompok diuretika.
b. Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi efek diuretika.
c. Mengetahui satu cara untuk memperkirakan dosis efektif lima puluh (DE50).

3. Prinsip Percobaan
Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih banyak.
Jika pada peningkatan ekskresi air, terjadi juga ekskresi garam-garam, maka diuretika ini
dinamakan saluretikaatau natriuretika (diuretika dalam arti sempit).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Diuretik adalah suatu obat yang dapat meningkatkan jumlah urine (diuresis) dengan jalan
menghambat reabsorpsi air dan natrium serta mineral lain pada tubulus ginjal. Dengan demikian
bermanfaat untuk menghilangkan udema dan mengurangi free load. Kegunaan diuretik terbanyak
adalah untuk antihipertensi dan gagal jantung. Pada gagal jantung, diuretik akan mengurangi atau
bahkan menghilangkan cairan yang terakumulasi di jaringan dan paru paru . di samping ituh
berkurang nya volume darah akan mengurangi kerja jantung. Ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi respon diuretik, yaitu :
1. Tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium
sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang
bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak.
2. Status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal.
Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik.
3. Interaksi antara obat dengan reseptor .Kebanyakan bekerja dengan mengurangi reabsorpsi
natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih dan juga air diperbanyak.

Mekanisme kerja diuretika


Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga
pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air-diperbanyak. Obat-obat ini bekerja
khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni:
1. Tubuli proksimal.
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secera aktif
untuk 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsopsi
belangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhap
plama. Diuretik osmosis bekerja di tubulus proksimal dengan merintangi rabsorpsi air dan
natrium.
2. Lengkungan Henle.
Di bagian menaiknya ca 25% dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi direabsorpsi secara
aktif, disusul dengan raborpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi
hipotonis. Diuretika lengkungan bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor Cl-
begitupula reabsorpsi Na+, pengeluaran air dan K+diperbanyak .
3. Tubuli distal.
Dibagian pertmanya, Na+ dirabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat menjadi lebi
cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini dengan
memperbanyak eksresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. Pada bagian keduanya, ion Na+
ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+ proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal
aldosteron. Antagonis aldosteron dan zat-zat penghemat kalium bekerja di sini dengan
mengekskresi Na+ dan retensi K+ .
4. Saluran Pengumpul.
Hormon antidiuretik (ADH) dan hipofise bekerja di sini dengan mempengaruhi
permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.

Penggolongan diuretik
Diuretik dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni :
a. Diuretik Kuat
Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal
dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan klorida.Obat-obat ini
berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6). Banyak digunakan dalam keadaan akut,
misalnya pada udema otak dan paru-paru. Memiliki kurva dosis-efek curam, yaitu bila dosis
dinaikkan efeknya senantiasa bertambah. Contoh obatnya adalah furosemida yang merupakan
turunan sulfonamid dan dapat digunakan untuk obat hipertensi. Mekanisme kerjanya dengan
menghambat reabsorpsi Na dan Cl di bagian ascending dari loop Henle (lengkungan Henle) dan
tubulus distal, mempengaruhi sistem kontrasport Cl-binding, yang menyebabkan naiknya eksresi
air, Na, Mg, dan Ca. Contoh obat paten: frusemide, lasix, impugan. Yang termasuk diuretik kuat
adalah ; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.
b. Diuretic hemat kalium
Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus koligentes daerah
korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan
antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara langsung (triamteren dan amilorida). Efek
obat-obat ini lemah dan khusus digunakan terkominasi dengan diuretika lainnya untuk
menghemat kalium. Aldosteron enstiulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K, proses ini dihambat
secara kompetitif oleh antagonis alosteron. Contoh obatnya adalah spironolakton yang
merupakan pengambat aldosteron mempunyai struktur mirip dengan hormon alamiah. Kerjanya
mulai setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberap hari setelah pengobatan dihentikan. Daya
diuretisnya agal lemah sehingga dikombinasikan dengan diuretika lainnya. Efek dari kombinasi
ini adalah adisi. Pada gagal jantung berat, spironolakton dapat mengurangi resiko kematian
sampai 30%. Resorpsinya di usus tidak lengkap dan diperbesar oleh makanan. Dalam hati, zat ini
diubah menjadi metabolit aktifnya, kanrenon, yang diekskresikan melalui kemih dan tinja, dalam
metabolit aktif waktu paruhnya menjadi lebih panjang yaitu 20 jam. Efek sampingnya pada
penggunaan lama dan dosis tinggi akan mengakibatkan gangguan potensi dan libido pada pria
dan gangguan haid pada wanita. Contoh obat paten: Aldacton, Letonal.

c. Diuretik golongan tiazid


Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium klorida. Efeknya lebih lemah dan lambat, juga lebih lama, terutama
digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung. Memiliki kurva dosis-
efek datar yaitu jika dosis optimal dinaikkan, efeknya (diuresis dan penurunan tekanan darah)
tidak bertambah. Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid,
hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid,
metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.
hidroklorthiazida adalah senyawa sulfamoyl dari turunan klorthiazida yang dikembangkan
dari sulfonamid. Bekerja pada tubulus distal, efek diuretiknya lebih ringan daripada diuretika
lengkungan tetapi lebih lama yaitu 6-12 jam. Banyak digunakan sebagai pilihan pertama untuk
hipertensi ringan sampai sedang karenadaya hipitensifnya lebih kuat pada jangka panjang.
Resorpsi di usus sampai 80% dengan waktu paruh 6-15 jam dan diekskresi lewat urin secara
utuh. Contoh obat patennya adalah Lorinid, Moduretik, Dytenzide (Aidan, 2008).
d. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase
Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi
bikarbonat. Zat ini merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli proksimal, sehingga disamping
karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih banyak, bersamaan dengan air. Khasiat diuretiknya
lemah, setelah beberapa hari terjadi tachyfylaxie maka perlu digunakan secara berselang-
seling. Asetozolamidditurunkan r sulfanilamid. Efek diuresisnya berdasarkan penghalangan
enzim karboanhidrase yang mengkatalis reaksi berikut:
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3+
Akibat pengambatan itu di tubuli proksimal, maka tidak ada cukup ion H+ lagi untuk
ditukarkan dengan Na sehingga terjadi peningkatan ekskresi Na, K, bikarbonat, dan air. Obat ini
dapat digunakan sebagai obat antiepilepsi. Resorpsinya baik dan mulai bekerja dl 1-3 jam dan
bertahan selama 10 jam. Waktu paruhnya dalam plasma adalah 3-6 jam dan diekskresikan lewat
urin secara utuh. Obat patennya adalah Miamox.
Yang termasuk golongan diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
e. Diuretik osmotik
Istilah diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat
diskskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila memenuhi 4
syarat:
1. difiltrasi secara bebas oleh glomerulus.
2. tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal.
3. secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan
4. umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolic.
Obat diuretik
 Furosemid
Farmakokinetik :
Obat furosemid mudah diserap melalui saluran cerna. Bioavabilitas furosemid 65% diuretik
kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif sehingga tidak difiltrasi di glomerolus tetapi
cepat sekali disekresi melalui system transport asam organik ditubuli proksimal. Dengan cara ini
obat ini terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali ditempat kerja didaerah yang lebih
distal lagi.
Mula kerja Furosemid pesat, oral 0,5 – 1 jam dan bertahan 4 – 6 jam, intravena dalam
beberapa menit dan 2,5 jam lamanya reabsorbsinya dari usus ± 50%
BAB III
PERCOBAAN DAN HASIL PENGAMATAN

Diuretika
Hewan Percobaan : Tikus jantan
Alat : Timbangan tikus; spuid; pipa lambung; kandang khusus untuk
pengamatan; tabung berskala untuk penampungan urin; kertas
indikator universal.
Bahan Obat : Furosemid Na 0,5 mg/kg bb; 13,5 mg/kg bb ; larutan NaCl
fisiologik 0,5 ml.
Prosedur :
a. Mencuci tangan terlebih dahulu.
b. Memakai jas laboratorium, hand skun dan masker dengan rapih dan bersih.
c. Menyiapkan alat, bahan dan hewan percobaan.
d. Meja pratikum dilapisi koran terlebih dahulu.
e. Tikus dipuasakan selama 12 sampai 16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
f. Hewan coba dikelompokkan secara acak dalam 5 kelompok, masing-masing terdiri dari
3 ekor tikus menurut dosis obat yang tersedia.
g. Semua tikus diberikan air hangat per oral sebanyak 50 ml/kg bb.
h. Masing-masing kelompok tikus diberikan furosemid sesuai dosis atau NaCl fisiologis.
i. Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam kandang khusus yang didesain
untuk pengumpulan urin tanpa kontaminasi feses.
Tabel pengamatan :
Hewan : tikus putih jantan
Tikus 1
Berat tikus : 0,018 → Konversi
0,018 x 0,5 −3⁄𝐾𝐾𝐾𝐾 = 0,009
200 𝐾
Tikus 1 x 0,009 = 0,009
200 𝐾

0,009
Volume yang diambil x 1 ml = 0,0009
10 𝐾𝐾

Pengenceran
Furosemid : 1 ml
Nacl : 9 ml
0,0009
V. Yang diambil : x 10 ml = 0,009
1 𝐾𝐾

V. Air yang diminum : 50 𝐾𝐾⁄𝐾𝐾𝐾𝐾 x 0,2 = 10 ml

Tikus 2
𝐾𝐾
Berat tikus : 0,018 x 13,5 𝐾𝐾𝐾𝐾 = 0,243
160
Tikus 2 : 200 x 0,243 = 0,1944
0,1944
Volume yang diambil : 10 𝐾𝐾 x 1 ml = 0,01944

Volume air yang diminum : 50 𝐾𝐾⁄𝐾𝐾𝐾𝐾 x 0,06 = 8 ml

Anda mungkin juga menyukai