FARMAKOLOGI
Di susun oleh :
Ria Restiani Hayati ( 13330076 )
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugerah
kepada penyusun untuk dapat menyusun Laporan Praktikum yang berjudul ” Variasi Biologik ”
Laporan praktikum ini disusun berdasarkan hasil data-data dari hasil pengamatan, media
elektronik berupa Internet dan media cetak.
Penyusun berharap Laporan Praktikum ini dapat bermanfaat untuk kita semua dalam
menambah pengetahuan atau wawasan. Penyusun sadar Laporan Praktikum ini belumlah
sempurna maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
makalah ini menjadi sempurna.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi
farmakologi . Adapun yang melatarbelakang materi ini adalah agar kita dapat mengetahui
kaitan antara rute pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan
pertama kali dan beberapa faktor yang mempengaruhi efek obat.
B. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa dapat memperlakukan dan menangani hewan percobaan seperti mencit dan
tikus untuk percobaan farmakologi dengan baik.
2. Mahasiswa dapat mengenal dan mempraktekkan cara pemberian obat dengan berbagai
rute.
3. Mahasiswa dapat mengenal faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan efek obat.
4. Mahasiswa dapat mengenal dan mengamati faktor yang memodifikasi obat.
C. MANFAAT PRAKTIKUM
Adapun manfaat praktikum pada percobaan ini adalah :
1. Mengetahui perbedaan reaksi aktivitas dalam pemberian dosis obat
2. Mengetahui perbedaan efek pemberian obat pada saat sebelum dan sesudah obat
diberikan
3. Mengetahui cara pemberian obat yang menimbulkan efek paling cepat dan paling lambat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang dipakai sebagai
Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi, phisiologi, ekologi,
mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun
merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan
penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai
atau merupakan "model hidup"dalam suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium
baik medis maupun non medis secara in vivo.
Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan sains dan teknologi,
kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama
untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri.
Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut
(misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha yang terpadu & programatis dalam
penanganan hewan percobaan baik dalam kwalitas maupun kwantitas, kecuali pada pihak yang
benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini.
2. Sanitasi
Dari bangunan tersebut diambil manfaatnya dengan dapat terselenggaranya sistem
sanitasi yang baik, sestim drainase yang baik, tersedianya fasilitas desinfektan, misalnya
dengan jalan menempatkan tempat khusus yang berisi desinfektan (lysol 35%) atau
disebut dengan Foot baths. Sanitasi kandang atau peralatan lainnya dilakukan dengan
teratur. Di samping itu bagi tenaga pengelola perlu mengenakan lab jas (Protective
clothing) atau peralatan proteksi lainnya seperti masker dan sebagainya. Peralatan
sanitasi lainnya seperti halnya autoclave pembakar bangkai, fumigator bahkan fasilitas
shower dan toilet bila perlu diusahakan ada.
3. Tersedianya makanan
Tersedianya makanan hewan percobaan yang nitritiv dan dalam jumlah yang cukup.
Penyimpanannya harus baik, terhindar dari lingkungan yang lembab, diusahakan bebas
dari insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan adanya ini dapat merupakan
petunjuk adanya kerusakan bahan makanan hewan dan sebagai usaha pencegahannya
adalah makanan ditempatkan dalam kantong-kantong plastik yang waterproof, bila perlu
dalam kondisi anaerob (dengan menggunakan vaccum pump) dan tertutup rapat. Bentuk
makanan bila perlu diusahakan berbentuk pellet (cetakan seperti pil atau berbentuk
silinder) dengan diameter tertentu tergantung macam hewannya. Keuntungannya adalah
dapat disimpan lama (lebih-lebih bila anaerob), makanan bisa habis termakan
(dibandingkan bila dalam bentuk mess atau powder) serta kontrol terhadap makanan yang
dimakan lebih mudah.
4. Kebutuhan air
Kebutuhan air dapat diperoleh dengan mudah dan lancar dan usahakan tidak terlalu tinggi
kandungan mineralnya serta bersih.
5. Sirkulasi udara
Dengan adanya sistim ventilasi yang baik, sirkulasi udara dapat diatur lebih-lebih bila
dipasang exhaust fan.
6. Penerangan
Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan proses reproduksi hewan
Haruster, karena siklus estrus (siklus reproduksinya) sangat tergantung oleh penerangan
dan bila tidak terdapat penerangan akan menyebabkan terhambatnya proses reproduksi.
7. Kelembaban dan temperatur ruangan
Adapun kelembaban dan temperatur ruangan yang direkomendasikan bagi masing-
masing hewan percobaan adalah sebagai berikut:
8. Keamanan
Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga jangan sampai terjadi infeksi penyakit
baik yang berasal dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha pencegahan tidak
diperkenankan semua orang keluar masuk ruangan hewan (lebih-lebih bila hewannya
adalah bebas kuman atau yang disebut dengan Germ Free Animals tanpa
suatu keperluan apapun.
PERHITUNGAN DOSIS :
Bobot Tikus 1 : 130gram
Bobot Tikus 2 : 120gram
Bobot Tikus 3 : 120gram
2. Dalam bentuk sifat fisika jika pasien tersebut dalam keadaan tidak sadar akan lebih
mudah jika pemberian obat tersebut dalam bentuk sediaan injeksi dibandingkan sediaan
oral karena efeknya pun sesegera sesaat obat di berikan ke dalam tubuh. Dalam bentuk
kimia ketika obat tersebut termasuk obat dengan zat yang mudah rusak oleh asam
lambung, maka dari itu obat tersebut dibentuk dalam bentuk sediaan injeksi, suppositoria
atau yang lainnya agar dapat memberikan efek terapi tanpa harus melewati lambung.
3. Penentuan dengan melihat jenis kelamin, berat badan, usia dan riwayat penyakit yang
sudah pernah dialami.
VARIASI BIOLOGIK
Dalam percobaan didapatkan bahwa berat badan yang berbeda selain mempengaruhi dosis
yang harus diberikan juga mempengaruhi respon dari obat tersebut. Tikus yang berat badannya
lebih besar menimbulkan respon yang lebih cepat dibandingkan tikus yang berat badannya lebih
kecil. Ini bertentangan dengan teori, yang mengatakan bahwa berat badan yang lebih kecil
memberikan respon terlebih dahulu.
Hal ini terjadi mungkin karena ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti genetis, dan
kondisi mencit saat percobaan.
PERTANYAAN :
1. Berdasarkan hasil-hasil eksperimen yang diamati, apakah ada faktor-faktor yang
menunjukkan adanya indikator-indikator lain untuk menyatakan bahwa ada variasi
biologik ini, jelaskan.
2. Bagaimanakah dalam praktek pengobatan variasi biologik ini turut di perhatikan.
JAWABAN :
1. Berat badan yang besar membutuhkan dosis yang tinggi, sebaliknya berat badan yang
kecil membutuhkan dosis yang kecil pula. Selain itu juga berhubungan dengan waktu
pengosongan lambung, dimana tanpa puasa peyerapan obat akan lebih cepat bila
dibandingkan dengan yang tidak puasa
2. Dalam pemberian dosis obat harus di perhatikan jumlah berat badan dan umur pasien
karena hal ini berguna dalam penentuan jumlah dan jenis obat yang di berikan.
TOLERANSI YANG DIPEROLEH
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkan
mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi
farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkatkan
metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin.
Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor
terhadap obat yang terus menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang
mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin,
amfetamin dan nitrat organik. Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara
akut. Ini terjadi pada pemberian amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya
efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.
PERTANYAAN :
1. Kemukakan 3 contoh obat yang menimbulkan toleransi untuk pemberian berulangnya
dan berikan mekanisme terjadinya toleransi masing-masing obat tersebut.
2. Jenis toleransi apalagi yang dikenal dan bagaimana mekanismenya? Sebutkan juga
contoh-contohnya.
3. Bagaimana implikasi klinik dari toleransi yang di peroleh?
JAWABAN :
1. Barbiturat dan Ripamfisin
2. Toleransi farmakokinetik dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik
biasanya terjadi karena obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan self
inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi
selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus menerus
berada di lingkungannya.
3. Pemberian obat yang terlalu sering dan terus menerus akan menimbulkan penurunan efek
terapi yang ditimbulkan. Hal ini terjadi karena bakteri, kuman atau virus tersebut sudah
mengalami resistensi sehingga menimbulkan terjadinya toleransi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
VARIASI BIOLOGIK
A. KESIMPULAN :
1. Variasi biologi akan mempengaruhi dosis obat yang harus diberikan
Berat badan yang besar membutuhkan dosis yang tinggi, sebaliknya berat badan yang
kecil membutuhkan dosis yang kecil pula.
2. Selain itu juga berhubungan dengan waktu pengosongan lambung, dimana tanpa puasa
peyerapan obat akan lebih cepat bila dibandingkan dengan yang tidak puasa
B. SARAN :
1. Dalam menghitung dosis hendaknya dihitung dengan benar karena dapat berpengaruh
pada respon mencit.
2. Agar praktikan diberikan bimbingan tentang cara pelaksanaan percobaan, sehingga tidak
terjadi kesalahan dalam percobaan.
1. Lukas, Stefanus, (2006), FORMULASI STERIL, Penerbit Andi: Yogyakarta, Hal :11-14
2. Neal, Michael J., (2002), MEDICAL PHARMACOLOGY AT A GLANCE, Fourth
Edition, Blackwell Science Ltd: Malden USA, Hal : 12, 13.
3. Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal
:10-11.
4. Widodo, V. B & Lotterer E., (1993), KUMPULAN DATA KLINIK FARMAKOLOGI.
Cetakan I. UGM Press: Jogjakarta, Hal 10
5. Yahya L, Mulkan & Rizali H., (1993), PENGANTAR FARMAKOLOGI, Pustaka
Widyasarana: Medan Hal 6
6. nardinurses.files.wordpress.com
7. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_
PerkembangbiakanHewanPercobaan.html
8. www.u Katzung, Bertram G.,(2001), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK, Edisi
ke-8, Penerbit Salemba Medika: Jakarta, halaman 53-56.
9. Lullmann, Heinz, dkk., (2000), COLOR ATLAS OF PHARMACOLOGY , Second
Edition, Thieme Stuttgart: New York, Hal 76.
10. Olson, James, M.D., (1993), BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI, EGC: Jakarta, Hal
2 – 4.
11. Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal :
156-159.
12. Tanu, Ian. (2007), FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta. Hal
828-829.
13. http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0
14. http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8
15. www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htmnsoed.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam membius pasien, dokter anestesi memberikan obat-obatan (suntik, hirup, ataupun
lewat mulut) yang bertujuan menghilangkan rasa sakit (pain killer), menidurkan, dan membuat
tenang (paraytic drug). Pemberian ketiga macam obat itu disebut triangulasi.
Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti:
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan
pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor-faktor pembedahan. Dalam beberapa
kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan
total.Blokadeneuraksial bisa mengurangi risiko thrombosis vena, emboli paru, transfusi,
pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial dan kegagalan ginjal.
1.2. Tujuan Percobaan
a. Untuk mengetahui teknik pemberian anestesi lokal secara dengan cara anestesi infiltrasi,
metode regnier,anestesi permukaaan,anestesi konduksi.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melandasi perbedaan-perbedaan dalam sifat dan
potensi anestesi local
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kerja anestesi local
d. Untuk menghubungkan potensi kerja anestesi local dengan manifestasi gejala
toksisitasnya serta pendekatan rasional untuk mengatasi toksisitas anestesika
KONTRA INDIKASI
Hipersensitif terhadap lidokain atau komponen yang terdapat dalam formula, hipersensitif
terhadap anestesi lokal golongan amida; Adam-stokes syndrome; blok SA/AV/ Intraventrikel
berat (kecuali pasien dengan pacu jantung artifisial yang berfungsi); injeksi campuran yang
mengandung dextrose dari jagung dan digunakan pada pasien yang alergi terhadap produk
jagung.
EFEK SAMPING
Efek bervariasi tergantung pada rute pemberian. Sebagian besar efek bergantung pada
dosis. Frekuensi tidak dinyatakan. Kardiovaskuler: aritmia, bradikardi, spasme arteri, kolaps
kardiovaskuler, ambang defibrilasi meningkat, udem, flushing, blok jantung, hipotensi, supresi
simpul SA, insufisiensi vaskuler (injeksi periartikuler). SSP: agitasi, cemas, koma, bingung,
disorientasi, pusing, mengantuk, eforia, halusinasi, sakit kepala, hiperestesia, letargi, kepala
terasa ringan, cemas, psikosis, seizure, bicara tidak jelas, somnolens, tidak sadar. Dermatologi:
angioedema, memar, dermatitis kontak, depigmintasi, udem kulit, gatal, petekia, pruritis, ruam,
urtikaria.
2.7. Tetrakain
Tetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat. Pada pemberian intravena, zat ini 10
kali lebih aktif dan lebih toksik daripada prokain. Obat ini digunakan untuk segala macam
anestesia, untuk pemakaian topilak pada mata digunakan larutan tetrakain 0.5%, untuk hidung
dan tenggorok larutan 2%. Pada anestesia spinal, dosis total 10-20mg. Tetrakain memerlukan
dosis yang besar dan mula kerjanya lambat, dimetabolisme lambat sehingga berpotensi toksik.
Namun bila diperlukan masa kerja yang panjang anestesia spinal, digunakan tetrakain.
Penggunaan
Anestesi spinal; anestesi lokal di mata untuk berbagai tujuan diagnostik dan pemeriksaan;
topikal diterapkan pada hidung dan tenggorokan untuk berbagai prosedur diagnostik; gel topikal
[OTC] untuk pengobatan rasa sakit yang terkait dengan luka dingin dan lepuh demam.
Metabolisme: Hati; didetoksifikasi oleh esterase plasma untuk aminobenzoic acid. Ekskresi
melalui urin
Dosis
Anak-anak 2 tahun: gel topikal [OTC]: Dingin luka dan lecet demam: Terapkan untuk daerah
yang terkena hingga 3-4 kali / hari hingga 7 hari
Dewasa: Larutan tetes mata (tidak untuk penggunaan jangka panjang): Menanamkan 1-2 tetes
Anestesi spinal: Tinggi, sedang, rendah, dan blok sadel: 0,2% menjadi 0,3% larutan
Berkepanjangan (2-3 jam): 1% larutanSubarachnoid injeksi: 5-20 mg Saddle block: 2-5 mg;
solusi 1% harus diencerkan dengan volume yang sama dari CSF sebelum pemberian Membran
mukosa topikal (2% larutan): Terapkan yang diperlukan; dosis tidak boleh melebihi 20 mg
2.8. Adrenalin / Epinefrin
SIFAT FISIKOKIMIA
Epinefrin berbentuk mikrokristalin berwarna putih, mudah larut dalam air; sedikit larut dalam
etanol; praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter.
SUB KELAS TERAPI
Antialergi
FARMAKOLOGI
Farmakodinamika/Kinetika : Onset : Bronkodilatasi : SC : 5-10 menit; Inhalasi : 1 menit.
Metabolisme : diambil oleh saraf adrenergik dan dimetabolisme oleh monoamine oxidase dan
catechol-o-methyltransferase; ;obat dalam sirkulasi mengalami metabolisme di hepar. Ekskresi :
Urin (sebagai metabolit inaktif metanefrin, dan sulfat dan derivat hidroksi asam mandelat,
jumlah kecil dalam bentuk tidak berubah)
STABILITAS PENYIMPANAN
Penyiapan infus IV : Encerkan 1 mg dalam 250 mL D5W atau NS (4 mcg/mL).
Kecepatan pemberian awal 1 mcg/menit dan naikkan hingga efek yang dikehendaki. ;Stabil
dalam : dextran 6% dalam dextrose, dextran 6% dalam NS, D5LR, D51/4NS, D51/2NS, D5NS,
D5W, D10W, D10NS, LR, NS; inkompatibel dengan natrium bikarbonat 5%. ;Pemberian
melalui Y-site : ;Kompatibel : ;Atracurium, calcium chloride, calcium gluconate, cisatracurium,
diltiazem, dobutamine, dopamine, famotidine, fentanyl, furosemide, heparin, hydrocortisone
sodium succinate, hydromorphone, inamrinone, labetalol, levofloxacin, ;lorazepam, midazolam,
milrinone, morphine, nicardipine, nitroglycerin, norepinephrine, pancuronium, phytonadione,
potassium chloride, propofol, ranitidine, remifentanil, vecuronium, vitamin B complex with C,
warfarin. ;Inkompatibel : ;Ampicillin, thiopental. ;Kompatibilitas pencampuran : ;Kompatibel :
;Amikacin, bupivacaine, cimetidine, dobutamine, fentanyl, floxacillin, furosemide, metaraminol,
ranitidine, verapamil. ;Inkompatibel : ;Aminophylline, hyaluronidase, mephentermine, sodium
bicarbonate. ;Penyimpanan : ;Epinefrin peka terhadap udara dan cahaya. Oksidasi akan
mengubah warna larutan menjadi merah jambu kemudian coklat. Jangan digunakan bila terjadi
perubahan warna atau terdapat endapan.
KONTRA INDIKASI
Meskipun diindikasikan untuk open-angled glaucoma, epinefrin kontraindikasi mutlak
pada closed-angle glaucoma karena dapat memperparah kondisi ini. ;Hindari ekstravasasi
epinefrin, karena dapat menyebabkan kerusakan jaringan da/atau gangren atau reksi injeksi
setempat di sekitar suntikan. ;Epinefrin jangan disuntikkan ke dalam jari tangan, ibu jari, hidung,
dan genitalia, dapat menyebabkan nekrosis jaringan karena terjadi vasokonstriksi pembuluh
kapiler. ;Epinefrin, terutama bila diberikan IV, kontraindikasi mutlak pada syok selain syok
anafilaksi. Gangguan kardiovaskuler yang kontraindikasi epinefrin misalnya syok hemoragi,
insufisiensi pembuluh koroner jantung, ;penyakit arteri koroner (mis., angina, infark miokard
akut) dilatasi jantung dan aritmia jantung (takikardi). Efek epinefrin pada kardiovaskuler (mis.,
peningkatan kebutuhan oksigen miokard, kronotropik, ;potensial proaritmia, dan vasoaktivitas)
dapat memperparah kondisi ini.
EFEK SAMPING
Kardiovaskuler : Angina, aritmia jantung, nyeri dada, flushing, hipertensi, peningkatan
kebutuhan oksigen, pallor, palpitasi, kematian mendadak, takikardi (parenteral), vasokonstriksi,
ektopi ventrikuler. ;SSP : Ansietas, pusing, sakit kepala, insomnia. ;Gastrointestinal :
tenggorokan kering, mual, muntah, xerostomia. ;Genitourinari : Retensi urin akut pada pasien
dengan gangguan aliran kandung kemih.
INTERAKSI MAKANAN
Epinefrin tidak digunakan melalui oral
INTERAKSI OBAT
Karena epinefrin merupakan obat simpatomimetik dengan aksi agonis pada reseptor alfa
maupun beta, harus digunakan hati-hati bersama obat simpatomimetik lain karena kemungkinan
efek farmakodinamik yang aditif, ;yang kemungkinan tidak diinginkan. Juga hati-hati digunakan
pada pasien yang menerima obat-obat seperti: albuterol, dobutamin, dopamin, isoproterenol,
metaproterenol, norepinefrin, fenilefrin, ;fenilpropanolamin, pseudoefedrin, ritodrin, salmeterol
dan terbutalin.
BENTUK SEDIAAN
Injeksi, Ampul 1mg/ml
INFORMASI PASIEN
Gunakan obat sesuai anjuran. Anda mungkin akan mengalami pusing, pandangan kabur
atau sulit buang air kecil. ;Segera lapor dokter bila sulit tidur, muka kemerahan, tremor atau
lemah, nyeri dada atau palpitasi, iritasi bronkial atau batuk, keringat berlebihan.
MEKANISME AKSI
Menstimulasi reseptor alfa-, beta1-, dan beta2-adrenergik yang berefek relaksasi otot
polos bronki, stimulasi jantung, dan dilatasi vaskulatur otot skelet; ;dosis kecil berefek
vasodilatasi melalui reseptor beta2-vaskuler; dosis besar menyebabkan konstriksi otot polos
vaskuler dan skelet.
BAB III
PROSEDUR DAN HASIL PRAKTIKUM
PROSEDUR PENELITIAN
1. Alat dan bahan
Bahan yang digunakan :
- Larutan Raksa (II) klorida (HgCl2)
- Larutan fenol 5%
- Larutan asam sulfat pekat
- Larutan asam klorida (HCl)
- Larutan perak nitrat (AgNO3)
- Larutan Tincture iod.
- Gliserin
- Etanol
- Aquades
- Minyak lemak
- Larutan tannin (gambir)
Untuk efek:
-Mengugurkan bulu:Kulit tikus
-Korosif: Usus dan kulit tikus.
-Fenol dalam Berbagai larutan:Jari Tangan
-Astringen:Mukosa Mulut
Alat yang digunakan:
- Alat-alat bedah
- Batang pengaduk
- Kertas saring
- Wadah kaca
- Pipet tetes
Prosedur Kerja
Efek menggugurkan bulu
- Tikus yang sudah dikorbankan, diambil kulitnya dan dipotong-potong, masing-masing
berukuran 1 cm x 1 cm dan letakkan di kertas saring.
- Catat bau asli dari zat-zat yang digunakan
- Keatas potongan kulit tersebut, teteskan larutan-larutan obat yang digunakan (NaOH 20%).
- Setelah beberapa menit, dengan batang pengaduk dilihat adakah bulu yang gugur.
- Catatlah hasil yang diperoleh dari pengujian.
Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.
Pengamatan
Prosedur Kerja
Efek korosif
- Usus tikus diambil dan dipotong-potong 5 cm, letakkan diatas kertas saring yang lembab
dan diteteskan dengan cairan-cairan obat. Sebelum digunakan, usus dicuci dahulu dari kotoran
dan posisikan bagian dalam yang terkena tetesan cairan korosif.
- Amatilah kerusakan yang terjadi.
Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.
Pengamatan
Prosedur Kerja
Efek korosif
- Sediakan potongan kulit tikus yang baru diambil dan direndam selama 15 menit dalam
cairan-cairan obat.
- Amatilah kerusakan yang terjadi.
Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.
Pengamatan
Prosedur Kerja
Efek astringen
- Mulut dibilas dengan larutan tanin 1%, dalam hal ini dimaksudkan untuk larutan gambir.
- Rasakan sensasi yang terjadi didalam mulut.
Prinsip kerja
a. Zat-zat yang dapat menggugurkan bulu bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada karatin
kulit, sehingga bulu akan rusak dan mudah gugur.
b. Zat-zat korosif bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit, sehingga kulit/membran
mukosa akan rusak
c. Fenol dalam berbagai pelarut akan menunjukkan efek lokal yang berbeda pula karena
koefisien partisi yang berbeda dalam berbagai pelarut dan juga karena permeabilitas kulit akan
mempengaruhi penetrasi fenol kedalam jaringan.
d. Zat-zat yang bersifat astringen bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein, sehingga
permeabilitas sel-sel pada kulit membran mukosa yang berkontak menjadi menurun dengan
akibat menurunnya sensitivitas di bagian tersebut.
Pengamatan
PROSEDUR DAN PENGAMATAN ANESTESI KONDUKSI
Prosedur dan pengamatan
1) Semua mencit dicoba dulu respon haffner (ekor mencit dijepit dan dilihat angkat elor atau
menit bersuara) dan hanya dipilih hewan yg memberi respon haffner negatif,artinya
hewan mengangkat ekor/bersuara.
2) Hewan ditimbang dan diberi tanda.
3) Mencit dimasukkan ke dalam silinder (kotak penahan mencit) dan hanya ekornya yg
dikeluarkan.Jumlah silinder disesuaikan dengan jumlah mencit setiap kelompoknya..
4) Ekor mencit kemudian dijepit pada jarak 0,5 cm dari pangkal ekor.Manifestasi rasa nyeri
ditunjukkan dengan refleks gerakan tubuh mencit atau dengan suara kesakitan.Respon
demikian dicatat sebagai respon Haffner negatif.
5) Pada waktu t=0 tiap mencit dari kelompok yg sama disuntik Lidokain HCl di vena ekor.
6) Setelah waktu t=10,masing-masing mencit diperiksa respon haffnernya,dan selanjutnya
dilakukan hal yg sama pada t=15 dan t=20
7) Hasil pengamatan dicatat dalam tabel.
Pengamatan
Obat Cara Respon Haffner pada waktu (t=menit)
pemberian
0 10 15 20
Lidokain I IV √ √ - √
Lidokain II IV √ - - √
Kontrol IV √ √ √ √
Negatif
PEMBAHASAN
Percobaan uji efek anestesi local lidokain menggunakan metode anestesi konduksi serta mencit
sebagai hewan percobaannya.Lidokain HCl disuntikkkan pada ekor mencit, kemudian selama
interval 5 menit respon haffner dicek dengan menyentuh bagian ekor apakah mencit tersebut
bersuara atau tidak. Tidak adanya respon menunjukan obat mulai bekerja dan jika respon mencit
bersuara atau mengangkat ekor kembali seperti normal berarti efek obat mulai menghilang.
Obat : Larutan Tetrakain HCl 1%, Lidokain HCl 1%, tetrakain 1% dalam
3.4. Pengamatan
Organ / Getaran otot punggung kelinci dengan 6 kali sentuhan
Obat Cara
Hewan bagian pada waktu . . . menit setelah pemberian obat
diberikan pemberian
percobaan 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60 75
Injeksi
Tetrakain √ X X X X X X X X X √ √
subkutan
Punggung
Tetrakain
kiri Injeksi
+ √ √ √ X X X X X X X √ √
subkutan
Adrenalin
Kelinci
Injeksi
Lidokain √ X X X X X X X X X √ √
subkutan
Punggung
Lidokain
kanan Injeksi
+ √ X X X X X X X X X √ √
subkutan
Adrenalin
3.5. Pertanyaan
a. Mengapa ada perbedaan antara efek anestesi lokal dengan anestesi lokal dalam adrenalin ?
Jawab :
Karena penambahan vasokonstriktor pada obat anestesi lokal dapat menyebabkan penyerapan
obat oleh neuron lokal meningkat karena bertahannya obat di jaringan lokaldan penyerapan obat
melalui pembuluh darah dapat dikurangisecara klinis dapat berarti lebih lamanya durasi blok
b. Apakah kokain sebagai anestesi lokal perlu ditambahkan adrenalin, jika ya kenapa, jika tidak
jelaskan
Jawab :
Penambahan adrenalin pada kokain tergantung dari lama nya efek yang diinginkan. Lama kerja
kokain berkisar 2-30 menit jika diinginkan efek yang lebih lama, maka adrenalin dapat
ditambahkan. Dan jika efek yang diinginkan hanya singkat, tidak perlu ditambahkan karena
hanya menambah toksisitas dan efek samping pada tubuh.
PEMBAHASAN
Percobaan uji efek anestesi local lidokain dan tetrakain menggunakan metode anestesi
infiltrasi serta kelinci sebagai hewan percobaannya. Lidokain dan tetrakain juga dikombinasikan
dengan adrenalin, pemberiaannya secarasubkutan pada kulit punggung kanan dan kiri kelinci.
yang diamati adalah apakah adar eflek otot pada tempat penyuntikan setelah digores – gores
dengan jarum pada tempat penyuntikan. Apabila ada reflex otot beri tanda ceklis pada table dan
jika tidak ada reflex otot beri tanda silang pada tabel. Pengamatan dilakukan pada menit ke-0, 5,
10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 60, 75.
Berdasarkan table pengamatan pada punggung kiri lidokain HCl tanpa adrenalin memiliki
mula kerja pada menit ke-5dan efek obat berakhir pada menit ke-60. Lidokain dikombinasikan
dengan adrenalin, maka obat memiliki mula kerja pada menit ke-15 dan efek obat berakhir pada
menit ke-60 ,sedangkan tetrakain HCl tanpa adrenalin memilikimulakerjapadamenit ke-5 dan
efek obat berakhir pada menit ke-60. Tetrakain HCl dikombinasikan dengan adrenalin memiliki
mula kerja dan akhir efek obat yang sama dengan injeksi tetrakain tanpa penambahan adrenalin.
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, hal-hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan
diatas adalah :
a. Obat anestesi local lidokain HCl dan tetrakain HCl memiliki efek menurunkan reflex otot
punggung
b. Lidokain dan tetrakain tanpa penambahan adrenalin memiliki mula kerja dan akhir efek obat
yang sama
c. Lidokain dengan penambahan adrenalin mengakibatkan mula kerja lebih lama, tetapi akhir
efek obat tetap sama seperti lidokain tanpa adrenalin.
d. Tetrakain dengan atau tanpa penambahan adrenalin memiliki mulakerja dan akhir efekobat
yang sama
5.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai percobaan yang telah dilakukan, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi. Praktikan banyak berharap kepada tim dosen pembimbing dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada praktikan demi sempurnanya laporan praktikum ini..
PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN ANESTESI PERMUKAAN
Prinsip dan teori
Anestesika lokal adalah obat yang menghambat konduksi saraf bila dikenakan secaraloka
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Termasuk dalam golongan anestesika local seperti
kokain dan ester – ester asam para amino benzoate (PABA), contoh prokain dan lidokain.
Anestesi lokal permukaan tercapai ketika anestesi local ditempatkan di daerah yang ingin
dianestesi. Anestesi lokal diberikan dengan berbagai teknik pemberian, seperti : anestesi
permukaan, anestesi spinal, anestesi mukosa.
Alat dan bahan
Hewanpercobaan : Kelinci
Alat : Gunting
Obat : Larutan tetrakain HCl 2%, dosis 0,5 ml, diberikan dengan penetesan.
Larutan lidokain HCl 2%, 1-2 tetes
Prosedur
a. Gunting bulu mata kelinci, agar tidak menggangu aplikator
b. Teteskan kedalam kantong kunjungtiva larutan anestesi local lidokain HCl 0,5 ml pada
mata kanan dan tetrakain HCl 0,5 ml pada mata kiri
c. Tutup masing-masing kelopak mata selama 1 menit
d. Catat ada atau tidaknya reflek mata setiap 5 menit, dengan menggunakan aplikator tiap
kali pada permukaan kornea
Tabel pengamatan
Pengamatan reflex matapadawaktu ( . . . menit )
Hewan Mata Obat diteteskan
0 5 10 15 20 30 45 60
Lidokain 0,5
Kanan + + + + - + + +
ml
Kelinci
Tetrakain 0,5
Kiri + - - - - - + +
ml
Keterangan : (+) = berkedip (-) = tidakberkedip
3.5. Pertanyaan
a. Jelaskan Kokain sebagai anestesi lokal
Jawab :
Efek anestetik lokal: Efek local kokain yang terpenting yaitu kemampuannya untuk
memblokade konduksi saraf. Atas dasar efek ini, pada suatu masa kokain pernah digunakan
secara luas untuk tindakan di bidang oftalmologi, tetapi kokain inidapat menyebabkan
terkelupasnya epitel kornea. Maka penggunaan kokain sekarang sangat dibatasi untuk pemakaian
topikal, khususnya untuk anestesi saluran nafas atas. Kokain sering menyebabkan keracunan
akut. Diperkirakan besarnya dosis fatal adalah 1,2 gram. Sekarang ini,
kokaindalambentuklarutankokainhidrokloridadigunakanterutamasebagaianestetiktopikal, dapat
diabsorbsi dari segala tempat, termasuk selaput lendir. Pada pemberian oral kokain tidak efektif
karena di dalam usus sebagian besar mengalami hidrolisis.
b. Jelaskan Penggolongan kimia dari anestesi lokal
Jawab :
Menurut struktur kimianya, anestesi local dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
Golongan ester (-COOC-) Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain
(nevocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine).
Golongan amida (-NHCO-) Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain
(carbocaine), prilokain (citanest), bupivakain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain
(nupercaine),ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).
PEMBAHASAN
Percobaan uji efek anestesi local lidokain dan tetrakain menggunakan metode anestesi
permukaan serta kelinci sebagai hewan percobaannya. 1 tetes lidokain HCl diteteskan pada mata
kanan kelinci dan 1 tetes tetrakain HCl diteteskan pada mata kiri kelinci, kemudian selama
interval 5 menit reflex mata kelinci dicek dengan menyentuh bagian tengah mata kelinci dengan
aplikator. Tidak adanya reflex menunjukan obat mulai bekerja dan jika reflex mata kembali
seperti normal berarti efek obat mulai menghilang.
Berdasarkan tabel pengamatan lidokain HCl memiliki mula kerja pada menit ke-20 dan
efek obat berakhir pada menit ke-30, sedangkan tetrakain HCl memiliki mula kerja pada menit
ke-5 dan efek obat berakhir pada menit ke-45.
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, hal-hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan
diatas adalah :
a. Obat anestesi local lidokain HCl dan tetrakain HCl memiliki efek menurunkan reflex kelopak
mata untuk menutup
b. Tetrakain HCl memiliki mula kerja lebih cepat daripada lidokain HCl dan keduanya
diberikan dalam bentuk sediaan tetes mata
c. Tetrakain HCl memiliki waktu kerja lebih lama daripada lidokain HCl dan keduanya
diberikan dalam bentuk sediaan tetesmata
5.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai percobaan yang telah dilakukan, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi. Praktikan banyak berharap kepada tim dosen pembimbing dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada praktikan demi sempurnanya laporan praktikum ini..
PROSEDUR DAN HASIL PERCOBAAN REGNIER
3.1. Prinsip
Mata normal bila disentuh pada kornea akan memberikan respon reflex okuler
(mataberkedip). Apabila mata di teteskan anestesi lokal, reflex okuler timbul setelah beberapa
kali kornea disentuh, sebanding dengan kekuatan kerja anestesi dan besarnya sentuhan yang
diberikan. Tidak adanya reflex okuler setelah kornea disentuh 100 kali dianggap sebagai tanda
adanya anestesi total.
Alat : Misai kelinci diletakan pada ujung batang pengaduk, panjang ± 1,5 cm
dari ujung batang pengaduk. Misai tersebut digunakan sebagai
penyentuh kornea
Obat : Larutan tetrakain HCl 2%, 0,5 ml;Larutan lidokainHCl 2%, 0,5 ml
3.2. Bahandanalat
3.3. Prosedur
a. Kelinci ditempatkan dikotaknya 1 jam sebelum percobaan dimulai. Gunting bulu matanya,
kemudian periksa refleks normal dari kedua kornea dengan sentuhan misai secara tegak
lurus.
b. Pada waktu t = 0, teteskan 0,1 ml larutan obat yang akan diuji kedalam kelinci. Percobaan ini
diulangi setelah 1 menit (gunakan stopwatch)
c. Padamenitke 8, dengan bantuan misai periksa reflex mata, yaitu dengan menyentuhkan misai
tegak lurus dibagian tengah kornea sebanyak 100 kali dengan kecepatan yang sama. Jangan
terlalu keras menyentuhnya dan ritmenya juga harus diatur. Apabila sampai 100 kali tidak
ada refleks (kelopakmatatertutup), maka dicatat angka 100 untuk respon negatif. Tetapi jika
sebelum 100 kali sudah ada refleks, maka yang dicatat adalah respon negative sebelum
mencapai angka 100.
d. Perlakuan yang sama diulang pada menit-menit ke : 15; 20; 25; 30; 40; 50; dan 60. Jika
sebelum menit-menit yang ke 60 pada sentuhan pertama sudah ada refleks, maka menit-
menit yang tersisa diberi angka satu.
e. Setelah percobaan diatas selesai, mata sebelahnya diperlakukan seperti ad 4.,tetapi hanya
diteteskan larutan fisiologis.
f. Jumlah respon negative dimuat dalam sebuah table dan dimulai dari menit ke 8. Jumlah
tersebut menunjukan angka regnier minimal angka 13
g. Hitung Jumlah kan untuk waktu-waktu tertentu semua respon negative. Apabila pada sekali
sentuhan terjadi reflex kornea, maka angka yang dicatat adalah 1. Hitung angka rata-rata
yang diberikan untuk masing-masing larutan yang diperoleh pada 8 kali
pemeriksaanreflekskornea.
3.4. Pengamatan
Obat Pemeriksaan refleks mata pada menit ke . . .
Hewan Mata
diteteskan 0 5 10 15 20 30 45 60
Kanan Lidokain HCl - - - -40 1 1 1 1
Kelinci
Kiri TetrakainHCl - - - - -55 1 1 1
Keterangan : (-) : tidak ada reflex setelah disentuh dengan misai sebanyak 100 kali
(-40) :setelah disentuh 40 kali, baru terjadi refleks
(-55) :setelah disentuh 55 kali, baru terjadi refleks
(1) :terjadi reflex hanya dengan 1 kali sentuhan
100 + 100 + 100 + 40 + 1 + 1 + 1 + 1 344
Angka rata-rata jumlah sentuhan mata kanan : = = 43
8 8
100 + 100 + 100 + 100 + 55 + 1 + 1 + 1 458
Angka rata-rata jumlah sentuhan mata kiri : = = 57,25
8 8
3.5. Pertanyaan
a. Apakah yang perlu diperhatikan pada persiapan larutan obat mata agar dapat terjamin
khasiatnya
Jawab :
Penyimpanan, dalam lemari pendingin
Hindari bagian ujung tempat obat (bagian yang berfungsi meneteskan obat menyentuh
mata, jari, atau permukaan lain. Hal itu untuk mencegah kontaminasi bakteri
b. Pada percobaan, mata kelinci harus terlindung dari cahaya langsung. Jelaskan !
Jawab :
Karena paparan cahaya secara langsung dapat mempengaruhi stabilitas obat tetes mata yang
diteteskan pada mata kelinci
c. Sebutkan anestesi lokal mata yang digunakaan, selain pada percobaan ini !
Jawab :
Kokain
Oksibuprokain
Prokain
Mepivikain
PEMBAHASAN
Percobaan uji efek anestesi local lidokain dan tetrakain menggunakan metode regnier
serta kelinci sebagai hewan percobaannya. Lidokain HCl 0,1 ml diteteskan pada mata kanan
kelinci, diamkan selama 1 menit kemudian teteskan lagi lidokain HCl 0,1 ml dan diamkan lagi
selama 1 menit, penetesan diulang sampai menit ke-7 dan perlakuan yang sama berlaku untuk
tetrakain HCl pada mata kiri.Pengamatan reflex dilakukan dengan menyentuhkan misai kelinci
pada bagian tengah mata secara tegak lurus sebanyak 100 kali, catat dalam table angka 100.
Jikasebelum 100 kali mata sudah kembali memberikan reflex maka catat jumlah sentuhan sampai
member reflex dan jika dengan 1 sentuhan mata sudah kembali member reflex berarti efek obat
sudah hilang dan catat dalam table angka 1. Pemeriksaan reflex dilakukan pada menit ke-5, 10,
15, 20, 30, 45, 60.
Berdasarkan table pengamatan lidokain HCl memiliki rata-rata jumlah sentuhan sebanyak
43 sentuhan, sedangkan tetrakain HCl memiliki rata-rata jumlah sentuhan sebanyak 57,25
sentuhan.
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, hal-hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan diatas
adalah :
a. Obat anestesi lokal lidokain HCldan tetrakain HCl memiliki efek menurunkan refleks okuler
(kedipan mata)
b. Tetrakain HCl memiliki angka sentuhan rata-rata lebih besar dari pada lidokain HCl, berarti
tetrakain HCl memiliki efeklebihkuatdaripadalidokainHClkarenasemakinbanyakjumlah
sentuhan, semakin kuat obat tersebut menghambat refleksokuler
5.2. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai percobaan yang telah dilakukan, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi. Praktikan banyak berharap kepada tim dosen pembimbing dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada praktikan demi sempurnanya laporan praktikum ini..
BAB I
PENDAHULUAN
1. Judul Percobaan
“Obat-Obat Yang Mempengaruhi Sistem Saraf Otonom”
2. Tujuan Percobaan
a. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat system saraf otonom dalam
pengendalian fungsi – fungsi vegetatif tubuh.
b. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergik dan aktivitas obat
anti kolinergik pada neurofektor parasimpatikus.
c. Dapat menjelaskan manfaat atau bahaya obat – obat kolinergik, anti kolinergik dan
adrenergik pada pengobatan mata serta pendekatan – pendekatan yang mungkin untuk
mengatasi kelemahan – kelemahan tersebut.
3. Prinsip Percobaan
a. Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salvias dan hipersaliva
yang dapat diinhibisi oleh zat anti kolinergik. Eksperimen ini dapat digunakan sebagai
landasan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat befungsi sebagai antagonisme.
Hewan yang digunakan adalah kelinci dan mencit.
b. Pemberian obat kolinergik dan anti kolinergik pada mata hewan percobaan yang dapat
menyebabkan miosis dan midriatik. Eksperimen ini dapat digunakan untuk melihat efek
dari obat kolinergik dan anti kolnergiik pada mata hewan percobaaan.
c. Eksperimen ini dilakukan untuk melihat efek dari pemberian obat adrenergic pada mati
dari percobaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem saraf otonom merupakan bagian sistem syaraf yang mengatur fungsi visceral tubuh.
Sistem ini mengatur tekanan arteri, motilitas dan sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung
kemih, berkeringat, suhu tubuh dan aktivitas lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan
memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat
meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik,
berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung
kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian
terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh
sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral
(Guyton, 2006).
Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang bekerja
pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor.
Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara
spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan
impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan
atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf
otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut:
a. Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari saraf
simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
b. Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-
lain.
2. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut
a. Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin
b. Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (atropine)
Obat adrenergik merupakan obat yang memiliki efek yang ditimbulkankannya mirip
perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut
adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.
Sistem berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam organisme. Klasifikasi saraf
otonom berdasarkan pada molekul transmitter utama yaitu acetylcoline atau norepineprin yang
dikeluarkan dari ujung bouton dan viskositas mereka. Sejumlah besar serat saraf perifer system
otonom menyintesis dan mengeluarkan acetylcoline kolinergik, mereka bekerja dengan cara
mengeluarkan acetylcholine. Hampir semua serat eferen yang keluar system saraf pusat adalah
kolinergik. Sebagai tambahan, semua serat pascaganglion prasimpatis adalah kolinergik.
Sebagian besar serat pascaganglionik simpatis mengeluarkan noreepinephrin yang disebut serat
noradrenergic, mereka bekerja dengan cara melepaskam norephineprin.
Reseptor kolinergik ada 2 jenis, yaitu : reseptor muskarinik ( otot polos, kelenjar, jantung
dan otot paru – paru ) dan reseptor nikotinik ( mempengaruhi otot rangka di ganglion atau
sambungan otot rangka. Kolinergik dibagi menjadi 2 jenis menurut kerjanya, yaitu kolinergik
kerja langsung dan kolinergik kerja tak langsung. Contoh obat kolinergik kerja langsung adalah
pilokarpin, karbakol, dll. Sedangkan contoh kolinergik kerja tak langsung adalah fisostigmin,
piridostigmin dan golongan organopospat.
Anti kolinergik adalah obat – obat yang menghambat asetilkolin dengan menempati reseptor
– reseptor asetilkolin. Anti kolinergik memperlihatkan efek sentral terhadap susunan saraf pusat,
yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksis.
Banyak sekali anti kolinergik disintesis dengan maksud mendapatkan obat dengan efek
selektif terhadap gangguan tertentu disertai efek samping yang lebih ringan. Contohnya adalah
atropine sulfat dan skopolamin.
Dikatakan obat adrenergic karena efek yang ditimbulkannya mirip perangsangan saraf
adrenergic, atau mirip efek neurotransmitor noreepineprin dan epineprin dari susunan saraf
simpatik. Obat – obat simpatomimetik yang merangsang reseptor adrenergic dibagi menjadi 3
golongan, yaitu :
1. Simpatomimetik kerja langsung
2. Simpatomimetik kerja tak langsung
3. Simpatomimetik kerja campuran
Contoh obatnya adalah epineprin, nor epineprin, isoproterenol. Respon suatu organ otonom
terhadap obat adrenergic ditentukan tidak hanya oleh hanya oleh efek langsung obat tersebut,
tetapi juga oleh refleks homeostatic tubuh.
Penghambat adrenergic atau adrenolitik adalah golongan obat yang menghambat
perangsangan adrenergic. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan obat ini dapat dibagi atas
antagonis adrenoreseptor dan penghambat saraf adrenergic.
Antagonis aderenoreseptor atau adrenoseptor bloker adalah obat yang menduduki
adrenoseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik, dan dengan
demikian menghalangi kerja obat adrenergik pada sel efektornya. Penghambat saraf adrenergic
adalah obat yang mengurangi respons sel efektor terhadap perangsangan saraf adrenergic, tetapi
tidak terhadap obat adrenergic eksogen. Obat golongan ini bekerja pada ujung saraf adrenergic,
mengganggu penglepasan dan atau penyimpanan norepinefrin.
Farmakodinamik
Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian acetilkolin
dalam jumlah yang berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok acetilkolin
endapan maupun eksogen, tapi hambatanya jauh lebih kuat terhadap eksogen
1. Pada Mata
Alkoloid Belladonae menghambat M.constictor pupillae dan M. cillaris lensa mata, sehingga
menyebabkan midriasis dan sikloplegia. Midriasis menyebabkan fotobia, sedangkan sikloplegia
menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat.
2. Pada kelenjar eksokrin
Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atopin adalah kelenjar liur dalam mulut
dan bronkus. Untuk menghambat aktivitas kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar,
kulit menjadi kering, panas dan merah terutama dibagian muka dan leher.
Farmakokinetik
Alkaloid Belladona mudah diserap dari semua tempat, kecuali dari kulit. Pemberian atropine
sebagai tetes mata, terutama pada anak dapat menyebabkan asorbsi dalam jumlah yang cukup
besar lewat mokusa nasal, sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan keracunan
Prokain
Prokain merupakan kristal putih yang mudah larut dalam air. Sediaan prokain HCL terhadap
dalam kadar 1-2% dengan atau tanpa epinerpin untuk anesthesia infiltrasi yang memblokade
saraf dan 5-20% untuk anesthesia spinal. Untuk anesthesia kaudal yang terus menerus, dosis
awal adalah 30 ml larutan prokain 1,5%
Farmakodinamik
Pada penyuntikan prokain eska dengan dosis 100-800 mg, terjadi analgesia umum ringan
yang derajatnya berbanding lurus dengan dosis.
Farmakokinetik
Absorbsi berlangsung cepat dari tempat suntikan dan untuk memperlambat absorbsi perlu
ditambahkan vasokonstriktor. Sesudah asorbsi, prokain cepat dihidrolisis oleh esterase dalam
plasma menjadi Paba dan dietilaminoetanol. Paba dieskresi dalam urin, kira-kira 80% dalam
bentuk utuh dan bentuk konjungasi. 30% dietilamino ditemukan dalam urin dan selanjutnya
mengalami degradasi dalam lambung lebih lanjut
BAB III
PERCOBAAN DAN HASIL PENGAMATAN
1. Judul Percobaan
“Efek Garam-Garam Terhadap Retensi Air Dalam Saluran Cerna”
2. Tujuan Percobaan
a. Menjelaskan pengaruh-pengaruh kerja farmakologik garam katartik dan morfin terhadap
saluran pencernaan dan implikasi praktisnya.
b. Mengajukan saran untuk pendekatan yang rasional untuk menangani diare.
c. Mengajukan indikasi lainnya.
a. Prinsip Percobaan
Obstipasi adalah perlambatan pengosongan fases yang kering dan keras. Ini disebabkan
oleh waktu melewati usus yang lebih lambat (pada mekanisme defekasi normal) atau
terganggunya refleks pengosongan gastrointestinal.
Laksansia mempercepat pengosongan fases. Magnesium sulfat adalah salah satu
laksansia osmotik.larutan hipertonik dari garam-garam yang sukar diabsorbsi bila berada
dalam usus, mengakibatkan retensi air secara osmotik dalam jumlah besar dalam usus
tersebut. Akibatnya volume usus meningkat dan volume yang ini berlaku sebagai stimulus
mekanik yang meningkatkan aktivitas motorik dari usus yang mendorong isi usus ke dalam
kolon, sehingga terjadi pengeluaran isi usus dalam bentuk tinja yang cair.
Atropin dapat menghambat sebagian spasmus pada usus tersebut, tetapi tidak mampu
mempengaruhi transport isi usus yang diperlambat karena kerja morfin.
BAB II
PERCOBAAN DAN HASIL PENGAMATAN
1. Judul Percobaan
“Diuretika”
2. Tujuan Percobaan
a. Memahami kerja farmakologik dari berbagai kelompok diuretika.
b. Memperoleh gambaran tentang cara evaluasi efek diuretika.
c. Mengetahui satu cara untuk memperkirakan dosis efektif lima puluh (DE50).
3. Prinsip Percobaan
Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih banyak.
Jika pada peningkatan ekskresi air, terjadi juga ekskresi garam-garam, maka diuretika ini
dinamakan saluretikaatau natriuretika (diuretika dalam arti sempit).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diuretik adalah suatu obat yang dapat meningkatkan jumlah urine (diuresis) dengan jalan
menghambat reabsorpsi air dan natrium serta mineral lain pada tubulus ginjal. Dengan demikian
bermanfaat untuk menghilangkan udema dan mengurangi free load. Kegunaan diuretik terbanyak
adalah untuk antihipertensi dan gagal jantung. Pada gagal jantung, diuretik akan mengurangi atau
bahkan menghilangkan cairan yang terakumulasi di jaringan dan paru paru . di samping ituh
berkurang nya volume darah akan mengurangi kerja jantung. Ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi respon diuretik, yaitu :
1. Tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium
sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang
bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak.
2. Status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal.
Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik.
3. Interaksi antara obat dengan reseptor .Kebanyakan bekerja dengan mengurangi reabsorpsi
natrium, sehingga pengeluarannya lewat kemih dan juga air diperbanyak.
Penggolongan diuretik
Diuretik dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni :
a. Diuretik Kuat
Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal
dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan klorida.Obat-obat ini
berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6). Banyak digunakan dalam keadaan akut,
misalnya pada udema otak dan paru-paru. Memiliki kurva dosis-efek curam, yaitu bila dosis
dinaikkan efeknya senantiasa bertambah. Contoh obatnya adalah furosemida yang merupakan
turunan sulfonamid dan dapat digunakan untuk obat hipertensi. Mekanisme kerjanya dengan
menghambat reabsorpsi Na dan Cl di bagian ascending dari loop Henle (lengkungan Henle) dan
tubulus distal, mempengaruhi sistem kontrasport Cl-binding, yang menyebabkan naiknya eksresi
air, Na, Mg, dan Ca. Contoh obat paten: frusemide, lasix, impugan. Yang termasuk diuretik kuat
adalah ; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.
b. Diuretic hemat kalium
Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus koligentes daerah
korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi kalium dengan jalan
antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara langsung (triamteren dan amilorida). Efek
obat-obat ini lemah dan khusus digunakan terkominasi dengan diuretika lainnya untuk
menghemat kalium. Aldosteron enstiulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K, proses ini dihambat
secara kompetitif oleh antagonis alosteron. Contoh obatnya adalah spironolakton yang
merupakan pengambat aldosteron mempunyai struktur mirip dengan hormon alamiah. Kerjanya
mulai setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberap hari setelah pengobatan dihentikan. Daya
diuretisnya agal lemah sehingga dikombinasikan dengan diuretika lainnya. Efek dari kombinasi
ini adalah adisi. Pada gagal jantung berat, spironolakton dapat mengurangi resiko kematian
sampai 30%. Resorpsinya di usus tidak lengkap dan diperbesar oleh makanan. Dalam hati, zat ini
diubah menjadi metabolit aktifnya, kanrenon, yang diekskresikan melalui kemih dan tinja, dalam
metabolit aktif waktu paruhnya menjadi lebih panjang yaitu 20 jam. Efek sampingnya pada
penggunaan lama dan dosis tinggi akan mengakibatkan gangguan potensi dan libido pada pria
dan gangguan haid pada wanita. Contoh obat paten: Aldacton, Letonal.
Diuretika
Hewan Percobaan : Tikus jantan
Alat : Timbangan tikus; spuid; pipa lambung; kandang khusus untuk
pengamatan; tabung berskala untuk penampungan urin; kertas
indikator universal.
Bahan Obat : Furosemid Na 0,5 mg/kg bb; 13,5 mg/kg bb ; larutan NaCl
fisiologik 0,5 ml.
Prosedur :
a. Mencuci tangan terlebih dahulu.
b. Memakai jas laboratorium, hand skun dan masker dengan rapih dan bersih.
c. Menyiapkan alat, bahan dan hewan percobaan.
d. Meja pratikum dilapisi koran terlebih dahulu.
e. Tikus dipuasakan selama 12 sampai 16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
f. Hewan coba dikelompokkan secara acak dalam 5 kelompok, masing-masing terdiri dari
3 ekor tikus menurut dosis obat yang tersedia.
g. Semua tikus diberikan air hangat per oral sebanyak 50 ml/kg bb.
h. Masing-masing kelompok tikus diberikan furosemid sesuai dosis atau NaCl fisiologis.
i. Segera setelah pemberian obat, tempatkan tikus ke dalam kandang khusus yang didesain
untuk pengumpulan urin tanpa kontaminasi feses.
Tabel pengamatan :
Hewan : tikus putih jantan
Tikus 1
Berat tikus : 0,018 → Konversi
0,018 x 0,5 −3⁄𝐾𝐾𝐾𝐾 = 0,009
200 𝐾
Tikus 1 x 0,009 = 0,009
200 𝐾
0,009
Volume yang diambil x 1 ml = 0,0009
10 𝐾𝐾
Pengenceran
Furosemid : 1 ml
Nacl : 9 ml
0,0009
V. Yang diambil : x 10 ml = 0,009
1 𝐾𝐾
Tikus 2
𝐾𝐾
Berat tikus : 0,018 x 13,5 𝐾𝐾𝐾𝐾 = 0,243
160
Tikus 2 : 200 x 0,243 = 0,1944
0,1944
Volume yang diambil : 10 𝐾𝐾 x 1 ml = 0,01944