Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Otomikosis atau Fungal Otitis Eksterna adalah infeksi jamur yang


melibatkan pinna dan kanalis auditorius eksternus, namun dengan adanya
perforasi membran timpani, juga dapat melibatkan telinga tengah. Karakteristik
otomikosis berupa peradangan, gatal, otalgia, otore, rasa penuh di telinga,
gangguan pendengaran dan tinnitus. Kasus otomikosis yang disertai perforasi
membran timpani, infeksi telinga tengah dan keterlibatan infeksi tulang
temporal, sering berhubungan dengan kondisi pasien yang mengalami
imunosupresi.1

Otomikosis merupakan penyakit kosmopolit yang terutama terdapat di daerah


panas dan lembab, seperti Indonesia.2 Prevalensi otomikosis 9%-22,7% dari total
kasus otitis externa, dan 30% pada pasien dengan gejala keluarnya cairan pada
telinga.3

Otomikosis sebenarnya kebanyakan disebabkan oleh organisme komensal


normal dari kulit liang telinga dimana pada kondisi normal tidak bersifat patogen.
Namun beberapa keadaan dapat menggeser keseimbangan antara bakteri dan
jamur di liang telinga. Banyak faktor predisposisi yang dapat mencetuskan
terjadinya otomikosis, antara lain kebiasaan penggunaan alat pembersih telinga,
dermatitis, kurangnya kebersihan, individu dengan immunocompromised,
penyakit telinga sebelumnya, penggunaan berkepanjangan dari obat antibiotik
tetes telinga, antibiotik spektrum luas, steroid, dan terpapar dengan kemoterapi.3

Penyebab otomikosis pada umumnya adalah spesies jamur saprofitik yang


banyak terdapat di alam dan merupakan sebagian dari flora komensal pada
kanalis auditorius normal. Spesies terbanyak adalah Aspergillus dan Candida.
Aspergillus niger memproduksi koloni hitam yg memberikan gambaran “pepper”

1
like sedangkan Candida albicans dan Aspergillus fumigatus memberi gambaran
klasik seperti fluffy white discharge.4

Diagnosis dari otomikosis sendiri dapat ditegakan dari gejala klinis,


otoskopi, mikrobiologi, tes KOH, dan kultur. Untuk pengobatannya sendiri
sekarang sudah banyak tersedia preparat dengan tingkat efektifitas yang cukup
tinggi mencapai 50-100%. Namun penyakit ini sering menjadi tantangan bagi para
klinisi karena angka rekurensi yang tinggi, menyebaban penyakit ini sulit diatasi.
Karena banyak sekali faktor penyebab dari kondisi ini, maka dari itu harus diatasi
terlebih dahulu sehingga kekambuhan dapat dihindari.

2
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

2.1. Anatomi Telinga

Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah (kavum timpani), dan telinga
dalam (labyrinth). Telinga dalam berisi organ perdengaran dan keseimbangan.5

Anatomi Telinga Luar, Tengah, dan Dalam

a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi
mengumpulkan getaran udara. Daun telinga terdiri atas lempeng tulang rawan
elastis tipis yang ditutupi kulit. Daun telinga mempunyai otot intrinsik dan
ekstrinsik, keduanya disarafi oleh N. facialis.5,6
Liang telinga adalah tabung berkelok yang menghubungkan daun telinga
dengan membrana tympani. Tabung ini berfungsi menghantarkan gelombang

3
suara dari daun telinga ke membrana tympani. Pada orang dewasa panjangnya
lebih kurang 1 inci (2,5cm), dan dapat diluruskan untuk memasukkan otoskop
dengan cara menarik daun telinga ke atas dan belakang. Pada anak-anak kecil,
daun telinga ditarik lurus ke belakang, atau ke bawah dan belakang. Bagian
meatus yang paling sempit adalah kira-kira 5 mm dari membrana tympani.6

Anatomi daun telinga

Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah cartilago elastis, dan dua
pertiga bagian dalam adalah tulang, yang dibentuk oleh timpani. Meatus dilapisi
oleh kulit, dan sepertiga bagian luarnya mempunyai rambut, kelenjar sebacea, dan
glandula ceruminosa. Glandula ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang
menghasilkan sekret lilin berwarna coklat kekuningan. Rambut dan lilin ini
merupakan barier yang lengket, untuk mencegah masuknya benda asing.

4
Membrana tympani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu
mutiara. Membrana ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral.
Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil,
yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena
cahaya otoskop, bagian cekung ini menghasilkan “kerucut cahaya”, yang
memancar ke anterior dan inferior dari umbo.5

Membrana tympani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm.


pinggirnya tebal dan melekat di dalam alur pada tulang. Alur itu, yaitu sulcus
tympanicus, di bagian atasnya berbentuk incisura. Dari sisi-sisi incisura ini
berjalan dua plica, yaitu plica mallearis anterior dan posterior, yang menuju ke
processus lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada membrana tympani yang
dibatasi oleh plica-plica tersebut lemas dan disebut pars flaccida. Bagian lainnya
tegang disebut pars tensa. Manubrium mallei dilekatkan di bawah pada
permukaan dalam membrana tympani oleh membrana mukosa. Membrana
tympani sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi oleh n.
auriculotemporalis dan ramus daun auricularis n. vagus.5,6

Anatomi membran timpani

Telinga mendapatkan suplai darah dari arteri aurikula posterior (lanjutan


dari arteri karotid eksterna) dan cabang kecil aurikuler dari arteri temporalis
superfisial. Dari arteri temporal superfisial, cabang aurikuler didistribusikan ke
lobus, nagian anterior aurikula dan meatus auditorius eksterna. Meatus sebagian
disuplai oleh pembuluh darah yang sama dengan aurikula tetapi bagian lebih

5
dalam, termasuk permukaan luar dari membran timpani, disuplai oleh arteri
aurikuler dalam, cabang pertama (mandibula) dari arteri maksilaris eksternus.
Sementara vena mengikuti nama dan perjalanan arteri sampai mereka
meninggalkan regio telinga.6

Inervasi sensoris dari aurikula dan kanalis telinga disuplai oleh cabang
nervus kranialis V dan X, dan dari pleksus servikalis, tetapi juga menerima
cabang dari nervus kranialis VII dan IX. Saraf sensorik yang melapisi kulit
pelapis meatus berasal dari n. auticulotemporalis dan ramus auricularis n. vagus.
Aliran limfe menuju nodi paridei superficiales, mastoidei, dan cervicales
superficiales.6

b. Telinga Tengah

Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis
temporalis yang dilapisi oleh membrana mucosa. Ruang ini berisi tulang-tulang
pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membrana timpani (gendang
telinga) ke perilympha telinga dalam. Cavum tympani (gendang telinga)
berbentuk celah sempit yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang
sejajar dengan bidang membran tympani. Di depan, ruang ini berhubungan
dengan nasopharynx melalui tuba auditiva dan di belakang dengan antrum
mastoideum.5

Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior,


dinding lateral, dan dinding medial.6

- Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang disebut tegmen tympani,
yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng ini
memisahkan cavum tympani dari meningens dan lobus temporalis otak di
dalam fossa cranii media.

6
- Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang mungkin tidak
lengkap dan mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa. Lempeng ini
memisahkan cavum tympani dari bulbus superior V. jugularis interna.
- Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang
memisahkan cavum tympani dari a. carotis interna. Pada bagian atas
dinding anterior terdapat muara dari dua buah saluran. Saluran yang lebih
besar dan terletak lebih bawah menuju tuba auditiva, dan yang terletak
lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk m. tensor
tympani. Septum tulang tipis, yang memisahkan saluran-saluran ini
diperpanjang ke belakang pada dinding medial, yang akan membentuk
tonjolan mirip selat.
- Di bagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak
beraturan, yaitu aditus ad antrum. Di bawah ini terdapat penonjolan yang
berbentuk kerucut, sempit, kecil, disebut pyramis. Dari puncak pyramis
ini keluar tendo m.stapedius.
- Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian
terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut
promontorium, yang disebabkan oleh lengkung pertama cochlea yang ada
di bawahnya. Di atas dan belakang promontorium terdapat fenestra
vestibuli, yang berbentuk lonjong dan ditutupi oleh basis stapedis. Pada
sisi medial fenestra terdapat perilympha scala vestibuli telinga dalam. Di
bawah ujung posterior promontorium terdapat fenestra cochlea, yang
berbentuk bulat dan ditutupi oleh membrana tympani secundaria. Pada
sisi medial dari fenestra ini terdapat perilympha ujung buntu scala
timpani.

7
Sebuah rigi bulat berjalan secara horizontal ke belakang, di atas
promontorium dan fenestra vestibuli dan dikenal sebagai prominentia canalis
nervi faciali. Sesampainya di dinding posterior, prominentia ini melengkung ke
bawah di belakang pyramis.

c. Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, meghubungkan perilimfa skala timpani
dengan skala vestibuli.6

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan


membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media
(duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,
sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di
perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar
skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane)
sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak
organ corti.6

8
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ
corti.6

2.2. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalu udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah di amplifikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa
pada skala vestibuli bergerak.6

Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa,


sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam

9
sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis.6

10
BAB III

OTOMIKOSIS

3.1. Definisi

Otomikosis atau fungal otitis externa merupakan infeksi jamur yang sering
melibatkan daun telinga dan meatus akustikus eksternus, namun dapat terjadi
perforasi membran timpani, yang melibatkan telinga tengah.1

Otomikosis adalah infeksi jamur kronik atau subakut pada liang telinga
luar dan lubang telinga luar, yang ditandai dengan inflamasi eksudatif dan gatal.
Dari kelainan tersebut dapat dibiak jamur dan bakteri.2

3.2. Epidemiologi

Otomikosis merupakan penyakit kosmopolit yang terutama terdapat di


daerah panas dan lembab, misalnya Indonesia. Infeksi terjadi secara kontak
langsung.2

3.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Beberapa spesies jamur telah diidentifikasi sebagai penyebab otomikosis


dalam beberapa literatur. Aspergillus niger, Pityrosporum dan Candida albicans
merupakan agen penyebab yang paling sering menyebabkan otomikosis.
Aspergillus dianggap sebagai organisme penyebab predominan di daerah tropis
dan subtropis. Jenis yang lain seperti Mucor, Fusarium, Scedosporium,
Hendersonula, Rhodotorula, dan Cryptococcus jarang menyebabkan otomikosis.
Jamur dari jenis Monilial dan dermatophyta (Trichophyton ssp, Microsporum spp,
dan Epidermophyton floccosum) diduga juga berhubungan dengan kejadian
otomikosis.7,15

Selain adanya agen penyebab yaitu jamur, kejadian otomikosis juga


berhubungan dengan berbagai macam faktor predisposisi. Faktor lingkungan
terdiri dari suhu dan kelembaban. Faktor lokal termasuk infeksi kronik pada
telinga, penggunaan tetes telinga, penggunaan steroid, adanya infeksi jamur pada

11
bagian tubuh lainnya seperti dermatomikosis atau vaginitis, gangguan fungsi
imunitas, malnutrisi dan perubahan hormonal tubuh yang dapat memicu
timbulnya infeksi seperti pada keadaan menstruasi ataupun pada wanita hamil.
Otomikosis meningkat pada iklim panas dan lembab karena kondisi ini sangat
sesuai untuk proses pertumbuhan jamur. Kondisi panas dan lembab juga
berpengaruh pada permukaan epitel liang telinga karena dalam kondisi ini liang
telinga lebih banyak menyerap air sehingga sangat rentan terhadap infeksi.3,14

3.4. Patofisiologi

Pada kondisi normal, terdapat berbagai mikroorganisme pada liang telinga


yang merupakan organisme komensal. Organisme ini bersifat non patogen selama
terdapat keseimbangan antara sistem pertahanan tubuh dengan berbagai
organisme tersebut. Kelembaban dan lingkungan tropis memberikan kondisi yang
dibutuhkan jamur untuk berproliferasi. Kanalis auditorius yang intak mempunyai
kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri dengan migrasi sel epitel yang
terkelupas keluar bersama dengan serumen. Serumen menjaga kanalis auditorius
eksternus dalam kondisi asam. pH kanalis auditorius eksternus mempunyai
rentang antara 4,2 hingga 5,6. Kondisi asam tersebut mempunyai efek anti-
mikotik dan bakteriostatik. Kerusakan dari setiap pelindung KAE dapat
menyebabkan kolonisasi dan invasi oleh organisme patogen.8,15
Meningkatnya insidensi otomikosis mungkin berhubungan dengan
meningkatnya pengeluaran keringat dan berubahnya kelembaban udara di
permukaan epitel liang telinga. Epitel di liang telinga banyak menyerap air pada
keadaan tersebut sehingga lebih mudah terkena infeksi. Pada pasien-pasien
dengan penyakit gangguan imun berat otomikosis yang invasif juga banyak
ditemukan. Adanya pertumbuhan jamur yang berlebihan tampak pada pasien yang
menggunakan antibiotik hal tersebut terjadi karena terganggunya flora normal
yang terdapat dalam tubuh.8,14

12
3.5. Gambaran Klinis

Gejala dari otitis eksterna bakteri dan otomikosis sering sulit dibedakan.
Bagaimanapun pruritus merupakan karakteristik paling sering dari infeksi mikosis
dan juga tidak nyaman di telinga, otalgia (nyeri telinga), rasa penuh di liang
telinga, rasa terbakar pada telinga, ottorhoea, hilangnya pendengaran, tinnitus,
keluarnya cairan tetapi sering juga tanpa keluhan. 7

Pytirosporum menyebabkan terbentuknya sisik yang menyebabkan


terbentuknya sisik yang menyerupai ketombe dan merupakan perdisposisi otitis
eksterna bakterialis maupun furunkel. Demikian pula dengan jamur Aspergillus.
Jamur ini terkadang didapatkan di liang telinga tanpa adanya gejala apapun
kecuali rasa tersumbat dalam telinga, atau dapat berupa peradangan yang
menyerang epitel kanalis atau gendang telinga dan menimbulkan gejala-gejala
akut. Kadang-kadang didapatkan pula Candida albicans.9

Pada otoskopi sering ditemukan mycelia yang dapat menegakkan diagnosis.


Liang telinga menjadi eritem dan debris jamur tampak putih, abu-abu, atau hitam.
Pasien biasanya tidak ada perbaikan signifikan dengan pengobatan antibiotik.
Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan preparasi KOH atau positifnya kultur
jamur.10

Karakteristik pemeriksaan fisik dari infeksi jamur pada umumnya terlihat


hifa halus dan spora (conidiophores) tampak pada Aspergillus dan Candida, ragi,
mycelia dengan karakteristik putih ketika bercampur dengan serumen menjadi
kekuningan.

3.6. Diagnosis

Penegakan diagnosa otomikosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa pasien dengan otomikosis
biasanya akan sering didapatkan keluhan rasa gatal pada liang telinga. Selain itu
gejala lain yang sering dirasakan adalah rasa penuh pada telinga, otore (keluar

13
cairan dari telinga), otalgia (sakit pada telinga), gangguan pendengaran dan
tinnitus. Gejala gangguan pendengaran pada kasus otomikosis biasanya
disebabkan oleh adanya akumulasi dari debris mikotik dalam liang telinga.7,15
Pemeriksaan fisik pada pasien otomikosis akan ditemukan adanya debris
berwarna putih, kehitaman, atau membran abu-abu yang berbintik-bintik di liang
telinga. Bercak karena Aspergillus niger cenderung berwarna gelap kehitaman,
Aspergillus fumigatus berwarna kecoklatan, dan Candida albicans berwarna
putih.9

Otomikosis yang disebabkan Aspergillus niger

Otomikosis yang disebabkan Candida

Diagnosa pasti dari otomikosis ditegakan dengan pemeriksaan penunjang


yang cukup sederhana, yaitu dengan memeriksa sampel debris atau swab bercak

14
pada kaca preparat yang difiksasi dengan larutan KOH 15% - 30% selanjutnya
dilihat melalui mikroskop dan akan tampak hifa ataupun spora dari jamur.
Pemeriksaan penunjang lain adalah kultur debris dari liang telinga dengan
menggunakan media Saboraud’s dextrose.7,15

3.7. Diagnosis Banding

Otomikosis perlu dibedakan dari penyakit dengan gambaran klinis yang


hampir sama seperti otitis eksterna bakterial, dematitis seboroik, impetigo,
furunkulosis, dan dermatitis kontak.11

3.8. Penatalaksanaan

Terapi efektif pada pasien dengan kolonisasi kronis Aspergillus pada


kanalis akustikus eksternus adalah dengan kombinasi antara pembersihan debris
dan anti jamur topikal. Pengobatan sistemik tidak direkomendasikan, kecuali
mungkin pada kasus invasif otitis (akut atau kronis) eksterna maligna dengan
komplikasi mastoiditis atau meningitis, atau keduanya. Kebanyakan pasien
berhasil dengan pengobatan topikal. Keuntungan anti jamur topikal yaitu aplikasi
lokal, konsentrasi yang diinginkan dari obat pada permukaan kulit akan dicapai
tak lama setelah aplikasi, dan konsentrasi yang lebih tinggi dari anti jamur
tersebut pada lokasi yang terinfeksi.15
Perhatian khusus harus diberikan kepada pilihan sediaan yang antara lain:
solution, suspensi, krim, salep, atau gel. Pasien otomikosis dengan membran
timpani yang intak dapat menggunakan formulasi anti jamur antara lain, salep,
gel, dan krim. Ketika membran timpani perforasi, obat-obat ini tidak boleh
digunakan karena partikel kecil dari krim, salep, atau gel dapat menyebabkan
peradangan, dengan perkembangan jaringan granulasi di telinga tengah. Obat
topikal anti jamur yang soluble (obat tetes telinga atau strip kasa diresapi dengan
solution) sebagai pengobatan membran timpani perforasi sangat dianjurkan. Yang
harus dipertimbangkan agar tepat memilih obat anti jamur topical, antara lain larut
dalam air, risiko rendah ototoksik, efek alergi rendah setelah pemberian berulang,

15
obat anti mikotik spektrum luas dengan efek lokal yang baik terhadap ragi dan
jamur, cocok untuk aplikasi pada pasien anak dan tersedia di pasaran.15
Sediaan anti jamur dapat dibagi menjadi tipe spesifik dan non spesifik.
Antijamur non spesifik termasuk larutan asam dan dehydrating solution seperti: 1)
Asam asetat 2% adalah asam cuka untuk menjaga pH telinga tetap asam. 2)
Gentian Violet dipersiapkan sebagai solusi konsentrat yang rendah (misalnya 1%)
dalam air. Telah digunakan untuk mengobati otomikosis karena merupakan
pewarna anilin dengan antiseptik, antiinflamasi, antibakteri dan antijamur. Hal ini
masih digunakan di beberapa negara dan disetujui FDA (Food and Drug
Administration). Studi melaporkan hingga 80% efficacy. 3) Castellani’s paint
(aseton, alkohol, fenol, fuchsin, resocinol). 4) Cresylate (merthiolate, M-cresyl
asetat, propilen glikol, asam borat dan alkohol). 5) Merkurokrom, sebuah
antiseptik topikal terkenal, anti jamur tetapi tidak lagi disetujui oleh FDA karena
kandungan merkuri di didalamnya.7,14
Terapi anti jamur spesifik terdiri dari: 1) Nystatin adalah antibiotik
makrolida poliena yang menghambat sintesis sterol pada membran sitoplasma.
Banyak cetakan dan ragi yang sensitif terhadap Nystatin termasuk spesies
Candida. Sebuah keuntungan besar dari Nystatin adalah mereka tidak terserap
dalam kulit utuh. Nystatin tidak tersedia sebagai larutan otik untuk otomikosis
Nystatin dapat diresepkan sebagai krim, salep atau bubuk. Dengan tingkat
keberhasilan hingga 50-80% . 2) Azoles adalah agen sintetis yang mengurangi
konsentrasi ergosterol merupakan sterol penting dalam membrane sitoplasma
normal. Clotrimazole yang paling banyak digunakan sebagai azol topikal
tampaknya menjadi salah satu agen terapi yang paling efektif dalam otomikosis
dengan bunga efektifitas 95-100%. Clotrimazole memiliki efek bakterisid dan hal
ini merupakan keuntungan bila terdapat infeksi campuran dari bakteri dan jamur.
Ketokonazole dan Fluconazole memiliki aktivitas spektrum yang luas. Efikasi
Ketoconazole dilaporkan 95-100% terhadap spesies Aspergillus dan Candida.
Sediaan yang sering adalah sebagai krim 2%. Fluconazole topikal telah dilaporkan
efektif dalam 90% kasus. Krim Miconazole 2% juga telah menunjukkan tingkat
keberhasilan hingga 90%. Bifonazole adalah agen anti jamur dan umum

16
digunakan dalam 80-an. Potensi larutan 1% mirip dengan Clotrimazole dan
Miconazole. Bifonazole dan turunannya menghambat pertumbuhan jamur hingga
100% . Itraconazole juga memiliki invitro dan efek vivo terhadap spesies
Aspergillus.14
Prinsip penatalaksanaan pada pasien otomikosis adalah pengangkatan
jamur dari liang telinga, menjaga agar liang telinga tetap kering serta bersuasana
asam, pemberian obat anti jamur, serta menghilangkan faktor risiko. Tindakan
pembersihan liang telinga bisa dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain
dengan lidi kapas/kapas yang dililitkan pada aplikator, pengait serumen, atau
suction. Beberapa penulis mempercayai bahwa yang terpenting dari terapi
otomikosis adalah mengetahui jenis agen penyebab infeksi tersebut sehingga
terapi yang tepat dapat diberikan. Clotrimazole memiliki efek anti bakteri
sehingga memberikan keuntungan terdapat infeksi campuran jamur-bakteri. Anti
jamur krim dari Ketoconazole dan Fluconazole juga bisa dapat digunakan. Infeksi
Candida biasanya mengunakan Tolnaftate. Nystatin juga dipercaya efektif
melawan Candida .14
Terapi otomikosis dengan anti jamur membutuhkan waktu ± 3 minggu
untuk mencegah rekurensi. Terapi berkelanjutan diberikan walaupun pasien sudah
bebas dari gejala. Edukasi antara lain tidak mengorek-ngorek telinga baik dengan
korek telinga ataupun jari, menjaga kelembaban dan pH normal seperti tidak
menggunakan obat steroid dan antibiotik berlebihan pada kanalis auditorius
eksternus.14,15

3.9. Prognosis

Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada saat
terapi dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses resolusi
(penyembuhan) yang baik secara imunologi. Bagaimanapun risiko kekambuhan
sangat tinggi, jika faktor yang menyebabkan infeksi sebenarnya tidak dikoreksi,
dan fisiologi lingkungan normal dari kanalis auditorius eksternus masih
terganggu.12

17
3.10. Komplikasi

Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi dari


membran timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi,
dan sembuh dengan pengobatan.13

18
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Otomikosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur baik bersifat


akut, subakut, maupun kronik yang terjadi pada liang telinga luar. Beberapa
spesies jamur telah diidentifikasi sebagai penyebab otomikosis dalam beberapa
literatur. Aspergillus niger, Pityrosporum dan Candida albicans merupakan agen
penyebab yang paling sering menyebabkan otomikosis.

Faktor predisposisi otomikosis adalah kebiasaan penggunaan alat


pembersih telinga, dermatitis, kurangnya kebersihan, individu dengan
immunocompromised, penyakit telinga sebelumnya, penggunaan berkepanjangan
dari obat antibiotik tetes telinga, antibiotik spektrum luas, steroid, dan terpapar
dengan kemoterapi. Selain itu, sering juga menyerang pasien yang melakukan
mastoidektomi open cavity dan mereka yang menggunakan alat bantu dengar.

Gejala dari otomikosis dapat berupa nyeri pada telinga, keluarnya sekret,
gatal, sampai berkurangnya pendengaran. Pengobatan otomikosis yaitu dengan
menjaga kebersihan telinga, mengurangi kelembaban dan faktor predisposisinya,
dan pemakaian anti fungal baik secara lokal maupun sistemik.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Barati, B., et al. "Otomycosis in central iran: a clinical and mycological


study."Iranian Red Crescent Medical Journal 2011 : 873
2. Djuanda, A., dkk. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
FK UI, Jakarta: 2005
3. Sampath Chandra Prasad, Subbannayya Kotigadde, Manisha Shekhar, et
al., “Primary Otomycosis in the Indian Subcontinent: Predisposing
Factors, Microbiology, and Classification,” International Journal of
Microbiology, 2014
4. Al Shafie. Etiology of otomycosis among patients attending different
khartoum ENT reference hospitals. 2015
5. ADAMS, George L. Boies: Buku ajar penyakit THT. Edisi VI. EGC:
Jakarta, 1997.
6. Soepardi, E, A., dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. Edisi Ketujuh. FK UI: Jakarta, 2015
7. Munguia R, Daniel SJ, 2008. Ototopical antifungals and otomycosis: a
review. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology 2008; 72:
453 – 459
8. Edward, Y., Irfandy, D. Otomycosis. Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery Dept. Dr. M. Djamil Hospital. FK UNAND: Padang
9. Mahmoudabadi AZ, Masoomi SA, Mohammadi H. Clinical and
mycological studies of otomycosis.Pak J Med Sci 2010 : 187-190
10. Satish HS, Viswanatha B, Manjuladevi M. A Clinical Study of
Otomycosis. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences
11. Chander, J. Aspergillus Otomycosis. Departement of Microbiology,
Goverment Medical College Hospital, Sector 32, Chandigarh, India.
http://www.aspergillus.org.uk/content/aspergillus-otomycosis
12. Trelia, Boel. Mikosis Superfisial. FKG USU, Medan: 2003

20
13. Ho T, Vrabec JT, Yoo D, Coker NJ. Otomycosis: clinical features and
treatment implications. Otolaringology-Head and Neck Surgery 2006; 135:
787-791
14. Gill King. Otitis Externa Mycotica. Article. Arch
Otolaryngology. 1932;16(1):76-82
15. Vennewald, I., Nat, R., Klemm E, 2010. Otomycosis: Diagnosis and
treatment. Clinics in Dermatology; 28: 202–211

21

Anda mungkin juga menyukai