Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah yang digunakan untuk
memggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan gejala penyakit yang meliput Unstable
Angina (UA), Non-ST elevasi Myocardium Infarction (NSTEMI) dan ST-elevasi
Myocardium Infarction (STEMI). Unstable Angina Pectoris (UAP) dan Non-STEMI
mempunyai pathogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya beda dalam derajatnya. Bila
ditemukan peningkatan enzim-enzim jantung, maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan
bila enzim-enzim jantung tidak meninggi, maka diagnosis adalah UAP.

B. KLASIFIKASI

Unstable Angina

Sindrom Koroner Akut (SKA) STEMI

UNSTEMI

Pada UA dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total
sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, thrombisis dan vasokonstriksi.
Penentuan Troponin I/T adalah ciri paling sensitive dan specific untuk nekrosis miosit dan
penentuan pathogenesis dan alur pengobatan.UA dan NSTEMI merupakan ACS yang
ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokardium.
Penyebab utama ACS adalah stenosis koroner akibat thrombus pada plak
ateroscklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau rupture dan menyumbat pada pumbuluh
darah yang sudah mengalami penyempitan oleh aterosklerosis. UA dan NSTEMI adalah
bagian dari sindrom koroner akut kontinum, di mana plak pecah dan terbentuk thrombosis
koroner aliran darah ke daerah miokardium. UA dan NSTEMI juga disebutkan sindrom
koroner akut non-ST elevasi. Untuk membedakan mereka dari STEMI, pemakaian EKG
dibutuhkan. Dalam UA dan NSTEMI, tidak ditemukan ST Elevasi dan gelombang Q
patologis pada EKG, pada pasien dengan STEMI, alasan mengapa ST elevasi dan

1
gelombang Q patologis ditemukan, kerana ada hubungan iskemic dari miokardium. Durasi
oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga kelangsungan hidup selama oklusi, serta letak
pembuluh darah yang menentukan infark ada hubungan dengan munculnya ST elevasi dan
gelombang Q.

C. EPIDEMIOLOGI
The American Heart Association memperkirakan lebih dari 6 juta penduduk Amerika
menderita penyakit jantung koroner dan lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan mengalami
serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih cenderung pada pria dengan
umur antara 45 – 65 tahun, dan di atas 65 tahun, pria dan wanita menpunyai risiko yang
sama. Sampai hari ini, penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama di
dunia.
Di Indonesia data lengkap penyakit jantung koroner belum ada. Pada survei kesehatan
rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler menempati
urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau Jawa
dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap menempati urutan
pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun
1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7 di empat rumah sakit (RS)
selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5
sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%.
Penyakit jantung koroner terus-menerus menempati urutan pertama di antara jenis
penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%.
Diagnosis NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding diagnosis STEMI. Oleh karena itu
perkiraan prevalensinya menjadi lebih sulit. Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa
kejadian NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI. Perbandingan antara SKA
dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena laju peningkatan NSTEMI dan UA relatif
terhadap STEMI tanpa penjelasan yang jelas mengenai perubahan ini. Perubahan dalam pola
kejadian NSTEMI dan UA mungkin dapat dihubungkan dengan perubahan dalam manajemen
serta upaya pencegahan penyakit jantung koroner selama 20 tahun terakhir. Secara
keseluruhan, dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari penerimaan
rumah sakit untuk NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000 penduduk. Hingga saat ini, tidak ada
perkiraan yang jelas untuk Eropa secara keseluruhan, karena tidak adanya statistik kesehatan
umum yang terpusat.
D. PATOGENESIS
2
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan
oleh adanya faktor risiko antara lain:
1. Faktor hemodinamik seperti hipertensi,
2. Zat – zat vasokonstriktor,
3. Mediator (sitokin) dari sel darah,
4. Zsap rokok,
5. Diet aterogenik,
6. Peningkatan kadar gula darah,
7. dan oxidasi dari LDL – C.

Di antara faktor – faktor risiko penyakit jantung koroner (lihat Tabel 1 di bawah),
diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, merokok, dan kepribadian merupakan
faktor – faktor penting yang mesti diketahui.

Proses ACS mulai dengan proses aterosklerosis koroner. Proses aterosklerosis koroner
adalah suatu proses inflammasi yang kompleks dengan karakter – karakter berikut:
- akumulasi lipid, makrophag dan sel otot polos di plak intima di dalam arteri
koroner yang berukuran besar dan medium.
- Endothelium vascular memainkan peranan yang kritikal dalam mempertahankan
integritas vascular dan hemeostasis.
- Stress mechanis dari hipertensi, abnormalitas biokim dari dislipidemia, diabetes
mellitus dan elevasi homosistein di plasma, immunologis dari radikal bebas di
rokok, inflammasi dari infeksi dan alterasi genetik dapat berkontribusi pada

3
inisiasi kelukaan atau disfungsi endotel, yang dipercayakan akan mempacukan
atherogenesis.

Kerusakan ini menyebabkan sel endotel menghasilkan cell adhesion molecule seperti :
Sitokin (IL-1), Tumor Nekrosis Factor alfa, (TNF-α), Kemokin dan Growth Factor. Sel
inflamasi seperti Monosit dan T-Limfosit masuk ke permukaan endotel dan migrasi dari
endothelium ke sub endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan
mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik dibanding LDL. Makrofag ini
kemudian membantu sel busa.
LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respons
inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari angiotensin II, yang menyebabkan
gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan
faktor koagulasi.
Akibat keruskan endotel terjadi respons protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan
fibrous, plak aterosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi dapat menjadi tidak
stabil (vulnerable) dan mengalami rupture sehingga terjadi Acute Coronery Sndrome (ACS)

E. DIAGNOSIS
Diagnosis ACS dapat diitegakkan dengan riwayat dan gejala, namun bisa juga dengan
bantuan EKG dan pemeriksaan laboratorium. Langkah pertama dalam pengelolaan ACS
ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, karana bila diagnosis ACS telah dibuat di dalamnya
terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan dapat mengalami
infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah sering menpunyai konsekuensi
buruk terhadap kuaitas hidup penderita. Pada orang – orang muda, pembatasan kegiatan
jasmami yang tidak pada tempatnya mungkin akan dinasihatkan. Bila hal ini terjadi pada
orang – orang tua, maka mereka mungkin harus mengalami pensium yang terlalu dini, harus
berulang kali dirawat di rumah sakit secara berlebihan atau harus makan obat – obatan yang
potensial toksin untuk jangka waktu lama. Di pihak lain, konsekuensis fatal dapat terjadi bila
adanya penyakit jantung koroner yang tidak diketahui atau bila adanya penyakit-penyakit
jantung lain yang menyebabkan angina pectoris terlewat dan tidak terdeteksi.
Cara – cara diagnostic yang dipakaikan ada di table 2, tapi yang harus dokter lakukan
buat diagnosis ACS adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dengan mempunyai anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang bener dan lengkap, sudah cukup mengarahkan kita ke arah ACS.

4
Tabel 2. Cara – Cara Diagnositik
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Laboratium
4. Foto Dada
5. Pemeriksaan Jantung Non – Invasif
- EKG istirehat
- Uji Latihan Jasmani (treadmill)
- Uji latih Jasmani Kombinasi Pencitraan:
- Uji Latih Ekokardiagrafi (Stress Eko)
- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
- Ekokardiografi Istirehat
- Monitoring EKG ambulatory
- Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner :
- computed tomography
- Magnetic resonance arteriography
6. Pemerikasaan invasive menentukan anatomi koroner
- arteriografi koroner
- ultrasound intravascular (IVUS)

Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan
faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pectoris
ringan,cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat dan
kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah
merupakan indikasi.
Pada keadaan yang meragukan dapat melakukan Treadmill test. Treadmill test lebih
sensitive dan specific dibandingkan dengan EKG isitrahat dan merupakan tes pilihan untuk
mendeteksi pasien yang kemungkinan Angina Pectoris dan pemeriksaan ini sarannya yang
mudah dan biayanya terjangkau.
Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi dan teknik
non – invasive penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed Tomography,
Magnetic Resonance Arteriography, dengan sensifitas dan specifitas yang lebih tinggi.
5
Dari anamnesis kita harus menanyakan beberapa soalan yang mengarahkan kita ke
ACS. Pertanyaan seperti berikut :
a. Sakit dada berterusan berapa lama?
b. Ada 15 menit? atau lebih lama?
c. Sakit dada di sebelah mana? Sila ditunjukkan!
d. Sakit itu rasa seperti apa? Terbakar? Tertekan? Ditindih?
e. Sakit waktu lakukan apa? Aktivitas? Apakah waktu istirahat?
f. Apakah sakit itu dengan rasa sesak? Lemas?
g. Apakah rasa sakit itu radiasi ke tangan kiri?
h. Apakah rasa sakit itu terasosiasi dengan keringatan dingin?
i. Sakit itu membaik dengan istirehat?
j. Apakah pasien perokok? Konsumsi alcohol?
k. Apakah pasien punya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia?
l. Dalam keluarga ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung? Stroke? Mati
mendadak?

Dari pemeriksaan fisik, kita harus mempunyai tanda-tanda yang harus kita curiga ke
arah ACS. Tanda – tanda seperti berikut :
1. Tachycardia > 100x/min
2. Tachypnea >24/min.
3. Tampak Cemas
4. Tekanan Darah tinggi > 140/90 atau rendah <100/70.
5. Pulsasi arrhythmia.
6. Kedengaran murmur mungkin adalah komplikasi dari ACS.
Diteruskan dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG istirahat dan pemeriksaan
darah; periksa darah rutin dan enzim jantung (CK, CK-MB, Troponin T dan Troponin I).
Pasien dengan STEMI dan NSTEMI akan kita lihat kelainan di EKG seperti ST elevasi, ST
depresi, Tall T wave, T inversi. UA tiada kelainan di EKG, karana di thrombus itu
menyumbat tidak total dan tidak lama di arteri koroner dan tidak akan menyebabkan
perubahan di EKG. Pemeriksaan darah rutin dibutuhkan karana dari keputusannya akan
mengarahkan apakah pasien ini anemis dan apakah pasien ini ada infeksi. Pemeriksaan enzim
jantung juga mengarahkan kita ke ACS, di keadaan fisiologis enzim jantung Troponin I dan T
tidak akan meningkat, tapi enzim CK dan CK-MB akan meningkat jika melakukan aktivitas

6
yang berat, kerusakan otot-otot atau mengalami febris yang tinggi. Pemeriksaan Enzim dapat
membedakan antara NSTEMI dan Unstable Angina.

F. TATA LAKSANA
Sekiranya pasien sudah mempunyai tanda-tanda SKA, kita harus segera bertindak
supaya tidak menyebabkan konsekuensi yang lebih parah. Penatalaksanaan dapat
menggunakan akrronim MONACO. Dapat dimulai dengan memberikan oksigen 4L/mnt,
Aspirin 300mg, Clopidogrel 300mg, Nitroglycerin 0.6mg SL ulang setiap 5 minute sebanyak
tiga kali, jika pasien mengeluhkan nyeri dada yang berat sekali, morphine IV 0.5mg/ml
sebanyak 5 ml dimasukin. Seterusnya, EKG harus dipantau dan mengetahui apakah ini UA,
NSTEMI atau STEMI. Jika pasien mengalami UA, kita harus memastikan dengan
pemeriksaan enzim jantung, dan melanjutkan ke arah edukasi dan terapi rawat jalan. Jika
pasien mengalami STEMI/ NSTEMI, kita harus memikirkan apakah rencana reperfusi
dengan Percutaneus Coronary Intervention (PCI) boleh dilakukan apa tidak? Jika tidak boleh,
kita harus rencanakan fibrinolysis. Di gambar bawah (gambar 1) adalah algorithm
penalaksaan ACS di Instalasi Gawat Darurat.
Tujuan pengobatan pada ACS adalah untuk memperbaiki prognosis dengan cara
mencegah infark miokard dan kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana
mengurangi terjadinya thrombotic akut dan disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat dicapai
dengan modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan
(i) mengurang progresif plak
(ii) menstabilkan plak, dengan mengurangi inflamasi dan memperbaiki fungsi
endotel, dan akhirnya,
(iii) mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya plak. Selain
itu, obat juga dipakai untuk memperbaiki simtom dan iskemi yaitu nitrat kerja
jangka pendek dan jangka panjang, Beta – Blocker, CCB.
Kepada pasien yang menderita ACS maupun keluarganya perlu kita terangkan tentang
perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien harus diyakinkan bahwa kebanyakan
kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan pengobatan dan modifikasi gaya hidup
sehingga kualitas hidup lebih baik. Kelainan penyerta seperti hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, dll, perlu ditangani secara baik.
Cara pengobatan ACS yaitu,
(i) pengobatan farmakologis,

7
(ii) revaskularisasi miokard. Perlu diingat bahwa tidak satu pun cara di atas
sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain tetap diperlukan modifikasi gaya
hidup dan mengatasi factor-factor risiko.
Di pengobatan farmakologik, ada banyak jenis obat yang boleh dipakai dan ada
tertentu yang sering dipakaikan dan akan dibahaskan nanti. Yang pertama adalah Aspirin
dosis rendah, dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat
utama untuk mencegahan thrombosis. Meta-analysis menunjukkan bahwa dosis 75 – 150 mg
sama efektivitasna dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin disarankan
diberi pada semua pasien ACS kecuali ditemukan kontraindikasi. Selain itu, efek samping
seperti iritasi gastrointestinal dan perdarahan, alergi harus diperhatiin. Cardioaspirin
memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan Aspirin. Selain itu,
Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine merupakan antagonis ADP dan menghambat
agregasi Thrombosit. Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita dengan resistensi atau
intoleransi terhadap Aspirin. AHA/ACC guidelines update 2007 memasukkan kombinasi
Aspirin dan Clopidogrel pada pasien dengan ACS menunjukkan lebih rendah mortality rate.
Obat penurun kolesterol juga dipakai di pasien ACS, pengobatan dengan statin
digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi primer maupun pervensi sekunder.
Berbagai studi membuktikan bahwa statin dapat menurunkan komplikasi sebesar 39%. Selain
menurunkan kolesterol, statin juga mempunyai mekanisme lain yang dapat berperan sebagai
anti inflamasi, anti thrombotic dll (pleiotropic effect). Target penurunan LDL kolesterol
adalah < 100mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, Diabetes Mellitus, penderita penyakit
jantung koroner dianjurkan menurunkan LDL kolesterol < 70mg/dl.

8
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan SKA

9
Pengunaan Angiotensin Converter Enzyme – Inhibitor (ACEI)/ Aldosterone Receptor
Blocker (ARB) sebagai kardioproteksi untuk prevensi infark sekunder pada pasien dengan
penyakit jantung koroner telah dibuktikan dari studi.
Nitrat pada umumnya disarankan pada pasien ACS karena nitrat memiliki efek
venodilator sehingga preload miokard dan afterload ventrikel kiri dapat menurun sehingga
dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan menurun. Nitrat juga melebarkan
pembuluh darah normal dan yang mengalami aterosklerotik, menaikkan aliran darah kolateral
dan menghambat agregasi thombosit. Bila serangan Angina tidak respons dengan Nitrat
jangka pendek seperti Nitroglycerin, maka harus diwaspadai adanya STEMI. Efek samping
dari obat ini adalah sakit kepala dan flushing.
β blocker juga merupakan obat standar yang diberikan pada pasien ACS, β blocker
menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan reseptor β-1 yang dapat menyebabkan
penurunan konsumsi oksigen miokardium. Pemberian β blocker dilakukan dengan target
denyut jantung sekitar 60 kali per menit. Kontraindikasi terpenting pemberian β blocker
adalah riwayat asma bronchial serta disfungsi ventrikel kiri akut.
Kalsium channel blocker juga diberikan, dia mempunyai efek vasodilatasi. Kalsium
channel blocker dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat nitrat atau β
blocker; terutama pada pasien yang mempunyai kontraindikasi penggunaan β blocker.
Kalsium channel blocker tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi ventrikel kiri atau
gangguan konduksi atrioventrikel.
Selain obat di atas, obat anticoagulant juga dipakai untuk coba membuka pembuluh
darah yang teroklusi. Unfractionated Heparin (UFH) adalah obat yang memicu aktivitas
antithrombin III dan mencegah converse fibrinogen ke fibrin. Obat ini tidak melysiskan
thrombusnya tapi mencegeh lanjutan thrombogenesis. Selain UFH, terdapat Low Molecular
Weight Heparins (LMWH) yang dapat dipakai juga. LMWH adalah indikasi untuk terapi
STEMI dan adalah prophylaksis pada UA dan NSTEMI. LMWH ada kelebihan dari UFH,
karena LMWH tidak harus dimonitor International Normalized Ratio (INR). Di UFH harus
melakukan INR berterusan supaya tidak sampai tahap yang mungkinkan perdarahan.
Setelah obat farmakologi, sekarang masuk ke revaskularisasi miokard. Ada dua cara
revaskularisasi yang telah terbukti baik pada ACS stabil yang disebabkan aterosklerotik
koroner yaitu tindakan revaskularisasi pembedahan, bedah pintas koroner (coronary artery
bypass graft = CABG) dan tindakan intervensi perkutan (percutaneous coronary intervention
= PCI). Akhir – akhir ini kedua cara tersebut telah mengalami kemajuan pesat yaitu
diperkenalkannya tindakan, off pump surgery dengan invasive minimal dan drug eluting stent

10
(DES). Revaskularisai dengan 1 tujuan adalah meningkatkan survival ataupun mencegah
infark ataupun menghilangkan gejala.
Secara umum, pasien yang memiliki indikasi untuk dilakukan arteriography koroner
dan tindakan kateterisasi menunjukkan penyempitan arteri koroner adalah kandidat yang
potensial untuk dilakukan ravaskularisasi miokard. selain itu, tindakaan revaskularisasi
dilakukan pada pasien jika; 1. Pengobatan tidak berhasil mengontrol keluhan pasien 2. Hasil
uji non-invasif menunjukan adanya risiko miokard 3. Dijumpai risiko tinggi untuk kejadian
dan kematian 4. Pasien lebih memiilihkan tindakan intervensi disbanding dengan pengobatan
biasa dan sepenuhnya mengerti akan risiko dari pengobatan yang diberikan kepada mereka.
Dari gambar 1, menunjukkan goal reperfusi adalah PCI atau terapi thrombolitic, jika
PCI tidak dapat diakses dalam jangka waktu 90 menit, terapi thrombolitic disarankan.
Thrombolitic terapi dapat menurunkan mortalitas dan kurangkan saiz infark di patient dengan
STEMI. Terapi ini dilakukan dalam 3 jam pertama dari angina berlaku dan dapat menurunkan
50% mortalitas pada pasien ACS.

Penderita penyakit jantung koroner akan kita mengevaluasikan risiko mortalitas,


ACS yang baru atau recurrent atau butuh revascularisasi yang darurat. Setiap pasien dating
dengan diagnosis ACS harus dilakukan score ini, namanya TIMI Risk Score di table 2 dan 3
di bawah.
Table 2. TIMI score di UA dan NSTEMI

11
Table 3. TIMI Score di STEMI

G. KOMPLIKASI
Banyak komplikasi akan berlaku jika ACS tidak ditanganin dengan segera dan
membiarin proses iskemic berterusan. Yang paling sering kelihat di pasien ACS adalah
congestive heart failure (CHF). CHF post STEMI adalah suatu feature prognostic yang buruk
dan membutuhkan terapi obat supaya mortalitas rate diturunkan. Klasifikasi Killip
digunakan untuk assess pasien yang CHF post STEMI. 1) Killip 1 – tiada ronchi dan tiada
suara jantung ke-3. 2) Killip 2 – ronchi di < 50% paru – paru atau ada suara jantung ke – 3. 3)
Killip 3 – ronchi > 50% paru – paru. 4) Killip 4 – Syok Cardiogenic.
Untuk penderita CHF yang ringan biasanya akan respon terhadap Intravenous
Furosemide 40-80mg dan Nitroglycerin administrasi kalau tekanan darah dalam batas normal.
Oksigen adalah mandatory dan regular tahap oksigen monitor. ACE-I boleh diberikan dalam
< 24-48 jam jika tekanan darah dalam batas normal. Penderita dengan CHF yang berat butuh
melakukan Swan-Ganz katetherisasi untuk memeriksa tekanan pulmonary. Intravenous
inotropic seperti dopamine dan dobutamine dibutuhkan pada penderita CHF yang berat. Jika
pasien menderita syok kardiogenic, revaskularisasi dan/atau intra-aortic ballon pump insersi
dibutuhkan.

12
Selain gagal jantung, penderita juga mungkin mengalami rupture miokardium dan
dilatasi aneurism. Ruptur di dinding ventrikel kiri biasanya adalah tanda – tanda awal dan
yang fatal. Penderita akan mengalami kollaps haemodynamic dan mengikuti cardiac arrest.
Ruptur subakut masih boleh lakukan pericardiocentesis dan pembaikan ruptur dengan operasi.
Dilatasi aneurism pada miokardium yang infark adalah komplikasi yang lambat dan butuhkan
operasi.
Ventricular Septal Defect juga mungkin berlaku pada 1 – 2% pasien STEMI dan
biasanya disebabkan keterlambatan dan gagal fibrinolisis. Mortalitasnya sangat tinggi dengan
tanpa operasi langsung, mortalitas akan mencapai 92%. Mitral regurgitasi mungkin berlaku
pada pasien STEMI juga. Sever mitral regurgitasi mungkin berlaku pada awal proses STEMI.
Tiga mechanism mungkin menyebabkan mitral regurgitasi di STEMI, dengan bantuan
Transoesophageal Echocardiogram (TOE) akan konfirmasikan causanya, 1) disfungsi
ventricular kiri yang sever dan dilatasi menyebabkan annular dilatasi pada katup dan
menyebabkan regugitasi. 2) miokardium infark di dinding inferior yang menyebabkan
disfungsi otot papillary yang control buka dan tutup katupnya. 3) miokardium infark pada
otot papilari dan menyebabkan akut sever oedem pulmo dan syok kardiogenic.
Irama jantung juga akan terganggu pada penderita ACS. Ventrikular takikardi dan
ventricular fibrilasi adalah gejala yang sering ketemu di pasien STEMI terutama dengan
reperfusi. Ventrikular takikardi harus di terapi dengan Intravenous Beta – blockers, lidocain
atau amiodarone. Kalau pasien adalah hipotensi, synchronized kardioversi dilakukan, dan
memastikan kalium adalah di atas 4.5 mmol/L. Refractori ventricular takikardi atau fibrilasi
akan ada respon terhadap magnesium 8 mmol/L dalam 15 menit IV. Atrial fibrillasi sering
ketemu juga dan diterapikan beta – blocker atau digoxin. Bradyarrthimia boleh diterapi
dengan IV Atripine 0.5mg dan diulangkan 6 kali dalam 4 jam. Kadang kala, gangguan
konduksi aliran listrik jantung juga mungkin berlaku. AV blok adalah yang paling sering
ketemu pada AMI, terutama kalau adalah dinding inferior yang infark, karena arteri koroner
yang kanan supply ke SA dan AV node. Gangguan konduksi boleh temporary dan permenant.
Jika temporary, hanya dilakukan Atropine atau pacemaker yang temporary. Tapi kalau adalah
permanent, pacemaker yang permanent dibutuhkan.

H. PENCEGAHAN
Tidak ada motto yang boleh mengganti ini, “Mencegah lebih baik daripada
mengobati”. Ini berlaku untuk siapapun, terlebih pada orang yang mempunyai factor risiko
yang tinggi. Prioritas pencegahan terutama dilakukan pada pasien dengan penyakit jantung

13
koroner, penyakit arteri periferi dan ateroscklerosis cerebrovascular. Selain itu, pasien yang
tanpa gejala tapi mempunyai risiko tinggi karena banyak factor risiko dan besarnya risiko
dalam 10 tahun bakal dapat penyakit kardiovascular yang fatal. Peningkatan salah satu
komponen factor risiko seperti cholesterol > 320mg/dl, LDL > 240 mg/dl, tekanan darah >
180/110mmhg dan pasien diabetes tipe2 dan tipe 1 dengan mikroalbuminuria. Riwayat
keluarga dekat pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular aterosklerotik atau riwayat
mati mendadak. Semua yang diatas adalah factor – factor risiko yang menyebabkan penyakit
jantung koroner yang memungkin pada pasien.
Jadi kita sebagai pelayan medis, harus mencarikan factor risiko yang ada pada pasien
dan membantu pasien mencegahkan factor risiko tersebut dengan cara nonfarmakologik dan
farmakologik. ACC/AHA merekomendasikan petunjuk untuk untuk pencegahan penyakit
kardiovaskular yang ditentukan dari factor risiko yang ada, di bawah tabel 4.

Selain daripada yang diatas, terdapat prevensi sekunder pada individu yang terbukti
menderita penyakit jantung koroner adalah upaya untuk mencegah agak ACS itu tidak
berulang lagi. Prevensi sekunder itu sangat diperlukan pada individu yang pernah atau sudah
terbukti menderita ACS, cenderung untuk mendapat sakit jantung lagi, dan orang yang belum
pernah sakit jantung tapi mempunyai kemungkinanya yang besar. Selain itu, individu yang
mempunyai proses aterosklerosis pada pembuluh darah organ lain seperti di otak, aorta atau
arteri karotis, arteri perifer dll. Oleh sebab itu, pervensi sekunder itu penting supaya tidak
menyebabkan ACS nanti. Tabel 5 di bawah adalah intervensi – intervensi yang harus
dilakukan pada penderita atau bakal penderita ACS supaya ACS tidak berlaku.

14
Tabel 5. Intervensi Faktor risiko.
Faktor risiko dan Perubahan yang diharapkan
Merokok:
 berhenti total. Tidak terpapar pada lingkungan perokok.
Kontrol tekanan darah :
 Tujuan TD < 140/90 mmHg; <130/80 mmHg pada gangguan gingal atau gagal jantung dan
diabetes.
Diet :
 Tujuan : mengkonsumsi makanan yang menyehatkan
Pemberian Aspirin :
 Tujuan: Aspirin dosis rendah pada penderita dengan risiko tinggi kardiovaskular
Pengaturan Lipid di Dalam tubuh:
 tujuan : LDL – C < 160 mg/dl jika factor risiko ≤ 1, LDL < 130 mg/dl jika memiliki ≥ 2
faktor risiko dan risiko CHD 20%, atau LDL – C < 100 mg/dl untuk factor risiko ≥ 2 faktor
risiko dimiliki dan memiliki 10% risiko CHD ≥20% atau jika pasien juga terkena diabetes.
Aktivitas fizik :
 Tujuan : aktivatas fizik minimal 30 menit atau aktivitas fizik dengan intensitas sedang setiap
hari dalam 1 minggu.
Pengaturan Berat Badan
 Tujuan : mencapai dan mempertahankan berat (BMI 18.5 – 24.9 kg/m2) Bila BMI ≥ 25 kg/m
2
, lingkar pinggang ≤ 40 inci pada pria dan ≤ 35 inci pada wanita
Pengeloaan Diabetes
 Tujuan : KGD puasa (< 110 mg/dl) dan HBA1c (<7%)
Atrial Fibrilasi Kronik
 Tujuan : mencapai sinus ritme atau jika muncul atrial fibrilasi kronik, antikoagulan dengan
INR 2.0 – 3.0 ( target : 2.5)

Pada pasien yang post AMI harusnya diberikan terapi farmakologic supaya moralitas dan
rekurrensi boleh diturunkan. Jadi, menurut AHA/ACC, pasien post AMI harus menggunakan
Aspirin 75 – 100 mg/day, Beta Blocker supaya denyutan nadi < 60 bpm. eg. Metoprolol 50
mg 2 kali sehari, ACE – I, eg. Ramipril 2.5mg 2 kali sehari dan mentitrasi sampai dosis yang
diinginkan, jika ACE – I tidak ditoleransi oleh pasien, diganti dengan ARB, eg Valsartan
20mg 2 kali sehari. Statin juga digunakan seperti simvastatin 20-80 mg/hari. Clopidogrel
75mg/hari for 9 – 12 bulan harus ditambahin pada pasien yang berisiko sedang – tinggi dan
NSTEMI. Aldosterone antagonist eg. Eplerenone 25mg/hari harus diberikan pada pasien post
AMI dengan gejala klinis gagal jantung dan ejeksi fraction berkurang.

15
DAFTAR PUSTAKA

 Braunwald E, Antman EM, Beasley JW, Califf M, Cheitlin MD, Hochman JS.
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina and
Non- ST-Segment Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary and
Recommendations : A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management of
Patients With Unstable Angina). Circulation. 2000;102:1193-1209.
 Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P, Braunwald E. Braunwald’s Heart Disease:
a textbook of cardiovascular medicine. 9th ed. Elsevier Saunders, Philadelpia. 2012.
 Connor RE, Brady W, Brooks SC, Diercks D, Egan J, Ghaemmaghami C, dkk. Part
10: Acute Coronary Syndromes : 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular care. Circulation
2010, 122:S787-S817
 Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. Edisi 5. Lippincott Williams&Wilkins,
Philadelphia. 2011
 Price S A, Lorraine M. Penyakit Aterosklerotik Koroner Dalam Buku Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC, Jakarta. 2005. Hal. 576-593.
 Trisnohadi, HB. Angina Pektoris Tak Stabil dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi V Jilid II. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2009. Hal 1621 – 1623

16

Anda mungkin juga menyukai