Anda di halaman 1dari 8

MODUL PERKULIAHAN

MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA

KODE :

DOSEN PEMBINA : TOTO SUHARYA, M.Pd

MATERI : DASAR TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA

PERKULIAHAN :1

A. DASAR TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA

Bangsa Indonesia yang dipandang sebagai negara agamis menghadapi kenyataan yang

sangat memprihatinkan. Berdasarkan laporan Transparency International Indonesia (2005),

terdapat institusi paling korup di Indonesia dengan urutan Partai politik, DPR, Kepolisisan,

Bea Cukai, Pengadilan, Pajak, Birokrasi, dan Media (Melani, 2005). Sampai sekarang,

kenyataan ini menjadi fakta bahwa sedang terjadinya krisis lembaga dan kepemimpinan yang

mencerminkan tidak dijadikannya nilai kejujuran sebagai mahkota dalam kehidupan sehari-

hari. Praktek-praktek ketidakjujuran menjadi hal biasa, melembaga secara terstruktur dalam

birokrasi dan pemerintahan dari atas sampai akar rumput. Seharusnya kejujuran menjadi

cerminan utama prilaku bangsa Indonesa yang masyarakatnya beragama.

Selain itu, bahaya hegemoni budaya Barat melalui saluran globalisasi “kotak segi

empat” yang bernama televisi, muatan yang dibawannya tak diragukan sarat dengan nilai-

nilai tertentu. Melalui program “telenovelisasi” dari Amerika Latin yang sumber kultur

utamanya dari Amerika Serikat, berpengaruh terhadap masyarakat muslim dengan mulai

dikenalnya nilai-nilai permissiveness hubungan antara laki-laki dan perempuan, kehidupan

serba materialistik dan hedonistik, atau kultur kekerasan, yang semuanya tidak cocok dengan

nilai-nilai budaya dan agama masyarakat Indonesia (Azra, 2000:44).


Gencarnya arus globalisasi nilai-nilai budaya Barat melalui saluran ilmu pengetahuan

dan teknologi berdampak pada lemah dan bergesernya nilai-nilai etika, moral keagamaan

yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Sebagaimana dikatakan Arifin (2003:55)

sebagai berikut;

Bahaya kemajuan iptek yang amat mengandalkan kecerdasan rasio (semata), sampai

batas-batas tertentu dapat mengerosi benteng-benteng nilai idealisme dan humanisme.

Berbagai akibat yang muncul ke permukaan antara lain nilai-nilai kehidupan umat

manusia lebih banyak didasarkan atas nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistis,

sekuleristis, dan hedonistik serta agnostik yang menafikan aspek-aspek etika-religius,

moralitas dan humanistik

Sementara itu, hasil survey di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang bahaya

“rasionalisme”, ditemukan sebuah paradoks yang membahayakan. Sementara skor IQ anak-

anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru menurun. (Agustian, 2002: xliv).

Dalam hal ini, Mc Luhan dan A.W. Combs meramalkan bahwa kita sedang

membangun budaya masyarakat yang bersifat destruktif, karena “pendulum” pendidikan

sedang bergerak ke arah ekstrem intelektual menafikan pembelajaran nilai, etika moral,

spiritual di dalamnya (Djahiri, 1996:11). Atas dasar itu, Ronald Higins (1978) seorang ahli

ekonomi dalam bukunya “The Seven Enemy” menyimpulkan tujuh ancaman yang

mencemaskan manusia di masa sekarang, diantaranya kecenderungan manusia dikendalikan

oleh ilmu dan teknologi dan hancurnya moral manusia dengan kadar kesadaran yang rendah.

Maka, suatu pengembangan nilai, etika-keagamaan, moralitas dan kemanusiaan, harus

ditumbuhkan untuk mematahkan pemujaan manusia terhadap ilmu dan teknologi semata

(Langgulung, 1995:266).
Maududi (2000:12) berpendapat “nilai agama memiliki peranan besar dalam

membentuk dan menegakkan sejarah kehidupan bangsa yang berperadaban”. Pendidikan

Agama yang diajarkan di kampus dan sekolah-sekolah harus menyentuh bumi (mengatur

kehidupan sehari-hari) sehingga agama dapat menjadi pedoman dalam kehidupan. Secara

detail Leuba (1912) seorang tokoh psikologi agama klasik berpendapat, “agama tidak hanya

berurusan dengan objek-objek yang bernilai paling tinggi, atau paling akhir bagi individu

atau masyarakat tetapi juga dengan pemeliharaan dan pengembangan hidup dalam segala

urusan, besar dan kecil” (Rakhmat, 2003:40). Artinya, agama tidak hanya berkaitan dengan

hal-hal yang ritual kepentingan akhirat saja, tetapi agama juga mengurus hal-hal biasa, sehari-

hari, dan duniawi.

Atas dasar itu, dapat diambil kesimpulan bahwa rendahnya pelaksanaan nilai-nilai

ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari disinyalir bersumber pada lemahnya pemahaman

nilai-nilai ajaran agama, yang berkaitan erat dengan pembelajaran ilmu pengetahuan umum

dan agama sering tidak memiliki titik temu. Sekulariasi (pemisalah ilmu dan agama) tidak

membawa dampak positif terhadap kehidupan masyarakat.

B. PEMBENTUKAN KARAKTER

Untuk menghadapi krisis sosial yang kita hadapi sekarang, paradigma pendidikan

mengalami perubahan. Semula pendidikan dititik beratkan pada pengembangan kecerdasan

intelektual, sekarang dibutuhkan pengembangan pendidikan ke arah pembentukan karakter.

Di lingkungan kampus, pendidikan karakter (kepribadian) diajarkan dalam Matakuliah Dasar

Umum (MKDU). Pendidikan Pacasila adalah mata kuliah yang diarahkan pada

pengembangan karakter karena termasuk pada kelompok MBB (Mata kuliah Berkehidupan

Bermasyarakat).
Karakter dalam hal ini didefinisikan sebagai prilaku baik yang secara tetap dilakukan

berulang-ulang bukan hanya sebagai kebiasaan tetapi sebuah custom (adat). Karakter

seseorang jika dilihat dari sudut pandang orang lain, akan menjadi ciri khas atau kepribadian

seseorang. Jika seseorang memiliki karakter baik, maka orang tersebut akan dinilai punya

kepribadian baik. Penilaian seseorang terhadap karakter seseorang akan menjadi dasar

keputusan bagi seseorang untuk berinteraksi dan memberikan kepercayaan kepada orang lain.

Orang-orang berkarakter baik, dikenal memiliki integritas tinggi. Integritas dalam hal

ini diartikan sebagai keberanian seseorang untuk hidup di jalan baik sesuai dengan keyakinan

terhadap norma-norma yang telah disepakati bersama dalam masyarakat. Dari kampus-

kampus, melalui pengajaran MBB, diharapkan bisa lahir manusia-manusia berintegritas

tinggi.

Pembentukan karakter seseorang di masyarakat terdiri dari beberapa faktor, antara

lain:

1. Heriditer (keturunan). Karakter bisa diturunkan dari generasi ke generasi. Diyakini

oleh para ahli bahwa gen-gen cerdas diwariskan secara turun-temurun. Kelompok

masyarakat Yahudi banyak dipercaya orang bahwa mereka memiliki gen cerdas.

Setelah dilakukan penelitian budaya, bahwa gen cerdas tidak semata-mata dimiliki

oleh kelompok Yahudi, setiap kelompok masyarakat bisa mewariskan gen-gen

cerdasnya kepada generasi penerusnya. Cara pewarisan gen-gen cerdas tersebut

terjadi pada saat anak-anak dalam kandungan. Budaya masyarakat Yahudi, memiliki

kebiasaan mengajar dan mendidik anak-anaknya sejak dalam kandungan bukan sejak

dilahirkan. Pendidikan anak dalam kandungan menjadi sebab gen-gen cerdas mengalir

pada setiap anak yang dilahirkan.

2. Lingkungan Keluarga. Kelompok pertama yang ditemua seseoran ketika lahir adalah

keluarga. Minimalnya rata-rata sejak lahir, seseorang akan tinggal dengan keluarganya
kurang lebih sampai usia tingkat sekolah menengah atas. Kurang lebih 16 tahun

mereka berkomunikasi satu sama lain dalam keluarga. Dalam jangka waktu lama.

prilaku orang tua, aturan-aturan dalam keluarga, akan membentuk karakter seseorang.

3. Teman Sebaya. Contoh teman sebaya, adalah teman bermain, teman binis, teman satu

komunitas, akan saling memengaruhi karakter seseorang. Solidaritas antar teman

dapat membentuk karakter seseorang. Seseorang yang berteman dengan kelompok

orang yang hobi mambaca, secara perlahan orang tersebut akan terpengaruh untuk

mengikuti apa yang dilakukan teman-temannya.

4. Kebiasan-kebiasaan di masyarakat. Di dalam masyarakat ada kebiasaan-kebiasaan

yang menjadi kesepakatan bersama untuk dilakukan. Kebiasaan ini timbul tanpa

paksaan tetapi dengan sendirinya setiap orang akan menyesuikan dengan kebiasaan

masyarakat. Orang-orang yang tidak mau melakukan kebiasaan masyarakat akan

dianggap menyimpang dan dikucilkan. Contoh kebiasaan-kebiasaan yang biasa

dilakukan di masyarakat dan memengaruhi karakter seseorang adalah budaya

hedonisme. Budaya hura-hura, hiburan, pesta-pesta, sangat cepat memengaruhi

prilaku seseorang. Berbagai kegiatan, waktu, diciptakan menjadi kegiatan pesta.

5. Pendidikan. Pendidikan secara formal adalah upaya sadar masyarakat untuk

mewariskan dan melestarikan budaya. Dalam pendidikan, secara sengaja melalui

kurikulum yang sudah ditetap masyarakat diarahkan dan dibentuk karakternya sesuai

dengan kebutuhan zaman. Di masyarakat pendidikan dilakukan dengan

mengampanyekan nilai-nilai sosial dalam berbagai media dan dilekatkan pada setiap

anggota masyarakat.

6. Keyakinan terhadap ajaran agama. Agama memiliki kedudukan penting di masyarakat

Indonesia. Kenyataan ini dapat kita lihat pada susunan ideologi negara, disebutkan

bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” disimpan pada sila pertama. Hal ini
menandakan bahwa bangsa Indonesia didirikan berdasarkan pada bangunan

masyarakat yang bersifat religius. Agama telah menjadi landasan spiritual, moral, dan

etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. (Ludjito, 1996:293). Demikian juga

dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, dikatakan

bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu. cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab. Jelas bahwa pada masyarakat Indonesia

nilai-nilai religius harus menjadi dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Barbour, (1990), Jones, (1994), dan Rakhmat, (2004:203), berpendapat; dalam era

“Posmodernisme” agama dan ilmu (sains) secara epistemologis lebih sejalan

ketimbang apa yang dibayangkan orang-orang sebelumnya. Rasionalisasi agama

adalah suatu perubahan dalam memahami agama dari yang ritual kepada sesuatu

pemahaman yang lebih aplikatif berperan dalam kehidupan bermasyarakat, karena

etika-etika agama memiliki fungsi dan arah tujuan membentuk suatu masyarakat

berperadaban. Secara historis agama menjadi elemen terpenting dari setiap

kebudayaan. Agama adalah karakteristik utama yang mencirikan sebuah peradaban,

dan sebagaimana dikatakan oleh Cristopher Dawson; agama-agama besar adalah

bangunan-bangunan dasar bagi peradaban-peradaban besar. Huntington dalam

bukunya Benturan Peradaban (2002) berpendapat “Pada tataran yang lebih luas

dalam sejarah manusia, peradaban-peradaban besar umumnya identik dengan agama-

agama besar dunia”. Hal senada dikemukakan oleh Maududi (2000:12) bahwa

“agama memiliki peranan besar dalam membentuk dan menegakkan sejarah

kehidupan bangsa dan peradaban dunia”. Max Weber menjelaskan secara eksplisit

agama-agama besar tersebut antara lain Kristen, Islam, Hinduisme, dan


Konfusianisme. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang

per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat.agama dapat

berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ektrinsik (luar diri). Motif

yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan

sulit ditandingi oleh keyakinan non agama, baik doktrin maupun ideologi yang

bersifat profan. (Jalalludin, 2002:238). Agama memiliki peran dalam pembentukan

karakter masyarakat.

7. Pengetahuan. Apa yang diketahui seseorang itulah yang dilakukan. Kemampuan

sebuah kelompok masyarakat mengembangkan berbagai ilmu dan teknologi terkait

dengan pengetahuan yang dimilikinya. Tindakan dan prilaku seseorang sangat

tergantung pada pengetahuan yang dimilikinya.

8. Pola pikir (ideologi). Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan diolah oleh otak

menjadi pola pikir atau ideologi seseorang. Rasionalisme, empirisme adalah sumber-

sumber pengetahuan yang lazim memengaruhi ideologi seseorang. Selain itu ada

sumber intuitif berupa wahyu, dan ajaran-ajaran mistis. Perbedaan kepemilikan

pengetahuan akan melahirkan pola berpikir seseorang dan berdampak pada kelakukan

seseorang di masyarakat. Pengembangan pola berpikir seseorang yang paling

mendasar adalah melalui pola berpikir sebab akibat (logika). Dengan berlogika

manusia memahami segala fenomena-fenomena yang ada di muka bumi ini.

C. PERBEDAAN KONSEP PENGETAHUAN DAN ILMU

Perhatikan baik-baik pernyataan di bawah ini, “tidak semua pengetahuan adalah ilmu,

tetapi setiap ilmu adalah pengetahuan”. Antara pengetahuan dan ilmu adalah dua konsep yang

berbeda. Perbedaan itu dapat dipahami kalau konsep pengetahuan didefinisikan. Pengetahuan

adalah segala sesuatu yang di dapat oleh indera manusia. Ilmu adalah pengetahuan yang di
dapat manusia melalui metode penelitian. Hal yang membedakan antara ilmu dan

pengetahuan adalah cara mendapatkannya. Setiap pengetahuan yang didapatkan melalui

metode akan melahirkan ilmu. Science atau ilmu diberi definisi oleh Bierstedt (1970: 16)

sebagai berikut: Science is not a body of knowledge but a method of approach to

any content-the only method, some would say, that results in the discovery of

verifiable truth.

Untuk itulah para mahasiswa akan ditugaskan untuk melakukan penelitian-penelitian

terhadap masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat, karena pengetahuan yang didapat

penelitian tersebut sesugguhnya itulah ilmu yang didapatkan mahasiswa. Adapun metode-

metode penelitian yang dapat dilakukan adalam studi litertaur, observasi, percobaan, dan

sebagainya,.

Kesimpulannya, pada matakuliah Pendidikan Pancasila, para mahasiswa akan

dibentuk karakternya melalui pengetahuan-pengetahuan tentang nilai-nilai Pancasila. Selain

diberi bekal pengetahuan, mahasiswa diharapkan memiliki keterampilan berpikir tingkat

tinggi, dengan mengolah pengetahuan yang dimilikinya menggunakan logika sehat.

Harapannya setelah mengikuti Pendidikan Pancasila, mahasiswa dapat menjadi manusia-

manusia berintegritas tinggi.

Anda mungkin juga menyukai