Anda di halaman 1dari 12

HIPERSENSITIVITAS DAN ALERGI

PAPER

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Vaksin Dan Imun

Disusun Oleh :

Aldi Dwi Nugraha 144101046


Abdul Alim Kamal 144101139
Muhammad Sulton F 144101014

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2017
HIPERSENSITIVITAS DAN ALERGI

A. Pengertian
Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan, yang
terjadi pada individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi
dengan antigen atau alergen tertentu. Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh,
maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka
ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan
imun. Tetapi bilamana jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.
B. Klasifikasi
Gell & Coombs membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan,
yaitu : Pertama, Tipe I (reaksi anafilatik), Kedua, Tipe II (reaksi sitotoksik),
Keempat, Ketiga, Tipe III (reaksi kompleks imun), Tipe IV (reaksi tipe
lambat).
1. Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi
karena adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat
disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi alergi, atau reaksi anafilaksis.
Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di permukaan
sel mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar allergen
sebelumnya, sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig
E akan menyebabkan keluarnya mediatormediator kimia seperti histamine
dan leukotrine.
Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel B,
sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan
memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel mast dan
akan mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan allergen akan
menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek
mediator kimia ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi,
oedem, spasme pada otot polos Oleh karena itu gejala klinis yang dapat
ditemukan pada alergi tipe ini antara lain : rinitis (bersin-bersin, pilek) ;
sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan kemerahan (menyebabkan
inflamasi) ; kejang (spasme otot polos yang ditemukan pada anafilaktic
shock).

Gambar 1 Mekanisme Hipersensitivitas tipe 1

Alergen/eksogen nonspesifik seperti asap, sulfurdioksida, obat yang


masuk melalui jalan nafas akan menyebabkan saluran bronkus yang
sebelumnya masih baik menjadi meradang. Alergen diikat Ig E pada sel
mast dan menyebabkan sel yang berada di bronkus mengeluarkan mediator
kimia (sitokin) sebagai respons terhadap alegen. Sitokin ini mengakibatkan
sekresi mukus, sehingga sesak nafas.
Contoh Hiperensitivits tipe 1 pada Asma :
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga
memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada
malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi,
menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya dan
bersifat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Pada asma
khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, mast cell, makrofag serta
limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi
pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat
klinis penyakit.
Antigen-presenting cells / APC (seperti makrofag, sel dendritik)
pada saluran pernafasan menangkap, memproses dan mempresentasikan
antigen menuju sel T helper, sehingga sel T helper teraktivasi dan
menskresikan sitokin. Sel T helper dapat terinduksi dan berkembang
(berdeferensiasi) menjadi Th1 (contoh sekresi : , interferon-gamma,
interleukin [IL]–2) atau TH2 (contoh sekresi : IL-4, IL-5, IL-9, IL-13).
Sekresi sitokin tersebut mengakibatkan sel B memproduksi antibody Ig E
(yang spesifik terhadap allergen) dan pengerahan eosinofil.
Dalam keadaan normal, IgE dalam serum kadarnya berkisar antara
0,1-0,4 ug/ml, apabila tubuh tersensitisasi oleh allergen lua, maka kadar
IgE meningkat lebih dari 1mg/ml dan disebut IgE yang tersensitasi. IgE
yang tersensitasi memiliki dua reseptor spesifik Fc-epsilon-RI dan Fc-
epsilon-RII. Fc-epsilon-RI IgE akan berikatan dengan Fc-R pada
permukaan mast-cell dan sel basofil.
Ikatan antara Fc-epsilon-RI IgE dengan dinding mast cell, akan
meningkatkan cairan membrane sehingga terbentuk peningkatan kanal
kalsium (Ca++). Peningkatan kanal Ca++ akan meningkatkan uptake Ca++
ke dalam intrasel. Peningkatan Ca++ intrasel akan merangsang reticulum
endoplasma untuk membentuk granulasi.
Degranulasi mast cell akan mengeluarkan mediator mast cell seperti
histamine dan protease sehingga berakibat respon allergy berupa asma.
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di mast
cell dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis
reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan
bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan
permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan
meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan
merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang
menyebabkan sekresi histamin dari mast cell.
2. Hipersensitifitas tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II terjadi karena dibentuknya IgG dan
IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi ini
dapat disebut juga sebagai reaksi sitotoksik atau reaksi sitolitik.
Mekanisme terjadinya hipersensitifitas tipe II , Tipe ini melibatkan K
cell atau makrofag. Alergen akan diikat antibody yang berada di
permukaan sel makrofag membentuk antigen antibody kompleks.
Kompleks ini menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat
kerusakan.

Gambar 2. Reaksi Alergi Tipe II

Alergen (makanan) akan diikat antibody yang berada di permukaan


makrofag, dan akan melekat pada permukaan sel darah merah. Kompleks
ini mengaktifkan komplemen, yang berakibat hancurnya sel darah merah.

Gambar 3. Mekanisme Hipersensitivitas Tipe II


Contoh Hipersinsitivitas III
Obat-obatan yang bertindak sebagi hapten akan bergabung pada
permukaan sel atau sel-sel darah. Hapten tersebut akan menginduksi
pembentukan antibody sebagai respon terhadap obat-obatan yang
digunakan. Apabila antibodi spesifik terhadap obat yang bertindak sebagai
hapten tersebut akan mengikat pada sel-sel darah atau sel-sel jaringan,
berlangsunglah proses kerusakan sel-sel yang bersengkutan.
Kerusakan sel-sel darah melalui perantara natibodi,sperti eritrosit yang
menyebabkan penyakit anemia hemolitik, atau kerusakan trombosit yang
menyebabkan trombisitopenia merupakan kejadian efek yang luar biasa
setelah penggunaa. Berbagain obat-obatan (penisilin) obat
antibiotika,antiaritmia jantung, pinidin atau obat-obatan anti hipertensi, dan
metyl dopa dapat memberikna efek samping melalui mekanisme reaksi
hipersensitivitas tipe II.
Kerusakan sel-sel tersebut melalui mekanisme yang diawali oleh
penempatan obat-obatan pada permukaan sel yang akan mengalami
kerusakan. Molekul obat-obtan tersebut akan merupakan sasaran bagi
antibody anti obat yang terbentuk sebagai efektor respon imun humoral
terhadap obat sebagai konfigurasi asing. Dengan terjadinya ikatan antara
antibody dengan komponen obat pada permukaan sel, terbentuklah
kompleks imun yang akan mengaktifkan system komplemen pada
permukaan sel. Antibodi anti obat hanya dibnetuk dalam sebagaian kecil
populasi sel saja. Mengapa individu tersebut peka membentuk natibodi
terhapad obat-obatan tertentu belum dipahami. Kombinasi antbodi yang
terikat sel dan koplemen akan memicu pemebrsihan sel darin peredaran
darah yang sebagian besar dilakukan oleh sel makrofag limpa. Sel-sel
makrofag tersebut memiliki reseptor untuk Fcy dan reseptor untuk
komponen komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe II yang berlangsung
pada penggunaan obat-obatan tersebut digilongkan dalam drug indiciv
reaction.
Kerusakan sel yang terjadi tergantung pada sel yang mengikat obat-
obatan yang menginduksi respon imun. Jenis penyakit yang diderita,
tergantung pada jenis sel yang rusak, sedang gejalanya pun akan berbeda.
Misalnya akan timbul trombositopenia dengan gejala
purpuranya,netropenia,animia hemolitik berturut-turut jika yang terkena
adalah trombosit, netrofil,eritrosit, jika terjadi trombositopenia, muncullah
gejala purpura (pendarahan dikulit).
Misalnya orang yang peka terhadap sedomid yang termasuk golongan
obat sedative, antibody IgG akan mengikat molekul obat tersebut
membentuk kompleks imun pada permukaan trombosit yang selanjutnya
akan berakhir dengan terjadinya trombositopenia,karena teradinya lisis
trombosit. Gangguan ini pada gilirannya akan menimbulkan gejala purpura
(bintik-bintik perdarahan dikulit).
3. Hipersensitifitas tipe III
Reaksi hipersensitivitas tipe 3 terjadi karena pengendapan kompleks
imun (antigen-antibodi) yang susah difagosit sehingga akan mengaktivasi
komplemen dan mengakumulasi leukosit polimorfonuklear di jaringan.
Reaksi ini juga dapat disebut reaksi yang diperantarai kompleks imun.
Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan aktifnya
komplemen. Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif dan merelease
histamine, leukotrines dan menyebabkan inflamasi.

Gambar 4. Mekanisme Hipersensitivitas Tipe III


Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada netrofil (yang
berada dalam darah) dan antibody yang berada pada jaringan, mengaktifkan
komplemen. Kompleks tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan.
Gangguan yang sering terjadi pada reaksi hipersensitivitas III,
menurut Baratawidjaja., dkk (2012) adalah :
a. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah. Kompleks
imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3
(dapat juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran
basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas.
Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi
makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, prodksi
dan pelepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influx
neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan
kerusakan jaringan setempat.
b. Kompleks imun mengendap di jaringan. Hal yang memungkinkan
terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan ialah ukuran
kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat,
antara lain arena histamine yang dilepas sel mast.
Contoh Hipersensitivitas Tipe III
SLE merupakan penyakit autoimun sistemik dengan karakteristik respon
sel B dan sel T secara berlebihan dan kehilangan toleransi sistem imun
dalam melawan antigen dari tubuh sendiri. Produksi dan gangguan
eliminasi dari antibodi, sirkulasi dan deposit jaringan dari kompleks imun,
komplemen dan aktivasi sitokin berkontribusi terhadap terjadinya gejala
klinis yang muncul seperti lemah, nyeri sendi dan kegagalan organ.
Berdasarkan E.Cozzani dkk, antibodi yang berperan pada SLE yaitu
antinuclear antibodi, antidouble stranded DNA antibodi.
Patofisiologi terjadinya SLE yaitu respon imun melawan antigen dalam
tubuh. Autoantigen dilepaskan dari sel apoptosis yang dipresentasikan oleh
sel dendritik terhadap sel T. Aktivasi sel T berfungsi dalam mengaktifkan
sel B dalam memproduksi antibodi yang merupakan komponen dari dirinya
sendiri melalui sekresi sitokin seperti : IL-10 dan IL-23 serta CD-40L dan
CTLA-4. Kemudian antigen ini akan mengaktifkan sel T dependent dalam
memproduksi autoantibodi. Peningkatan jumlah apoptosis berhubungan
dengan asam nukleid endogen yang menstimulasi produksi IFNα dan
mempromosikan autoimun melalui sistem toleransi yang diaktivasi antigen
precenting cell (APC). Pada awalnya, imun reaktan seperti kompleks imun
menyebabkan respon inflamasi.
Kompleks imun dan komplemen akan mengaktivasi jalur fungsi efektor
dan kerusakan jaringan. Pada individu sehat, kompleks imun dibersihkan
oleh Fc dan reseptor komplemen. Kegagalan dalam membersihkan
kompleks imun akan menyebabkan kompleks imun mengendap dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Kerusakan jarigan dimediasi oleh
rekrutmen sel-sel inflamasi, reactiveoxidative spesies, sitokin proinflamasi
dan modulasi kaskade koagulasi. Pada kasus neuropsikiatrik SLE (NPSLE),
terjadi reaksi antibodi dengan DNA dan reseptor glutamat pada sel
neuronal sehingga dapat menyebabkan kematian sel atau disfungsi sel.
Sitokin lokal seperti IFN-α dan TNF-α menyebabkan kerusakan jaringan
dan inflamasi. IFN-α menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Pada SLE
terjadi aterosklerosis oleh karena homosistein dan faktor proinflamasi.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Reaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena
diperantarai oleh sel T CD4+ dan CD8+. Reaksi ini dapat disebabkan oleh
antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal (“self”). Reaksi ini melibatkan sel-
sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T.
Mekanisme reaksi ini Limfosit T tersensitasi, pelepasan sitokin dan
mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T langsung.
Timbul manifestasi berupa tuberkulosis, dermatitis kontak dan reaksi
penolakan transplant.
Hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) atau yang dipengaruhi oleh sel
merupakan salah satu aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel. Antigen
akan mengaktifkan makrofag yang khas dan membuat limfosit T menjadi
peka sehingga mengakibatkan terjadinya pengeluaran limfokin. Reaksi
lokal ditandai dengan infiltrasi sel-sel berinti tunggal.

Gambar 5. Mekanisme Reaksi alergi tipe IV


Makrofag (APC) mengikat allergen pada permukaan sel dan akan
mentransfer allergen pada sel T, sehingga sel T merelease interleukin
(mediator kimia) yang akan menyebabkan berbagai gejala.
Contoh Hipersensitifitas tipe 4 pada dermatitis :
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi
adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated
immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensititas di kullit
timbulnya lambat (delayed hipersensivitas), umumnya dlam waktu 24 jam
setelah terpajan dengan alergen.

Gambar 6. Dermatitis
Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik,
terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya.
Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana
yang disebut hapten yang terikat dengan protein, membentuk antigen
lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel
langerhans, selanjutnya dipresentasekan oleh sel T. Setelah kontak dengan
ntigten yang telh diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening
regional untuk berdiferensisi dan berploriferasi memebneetuk sel T efektor
yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori.
Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga
sistem limfoid, sehingga menyebabkab keadaan sensivitas yang sama di
seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama sampai kulit menjdi sensitif
disebut fase induksi tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung
selama 2-3 minggu.
Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat
kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan
konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek,
sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada
kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul
setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan.
Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama
atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi umumnya
berlangsung antara 24-48 jam
Daftar Pustaka

Averty,N. 2015. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II. [ONLINE]. Tersedia :


http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:gRspySQOX0QJ:ay
ulestarinusa.blogspot.com/2015/06/reaksi-hipersensitivitas-tipe-
ii.html+&cd=3&hl=en&ct=clnk . [Diakses Tanggal 17 April 2017]
Hikmah, Dewanti. 2010. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi). Jurnal :
Stomatognatic (J.K.G Unej) Vol. 7 No. 2 2010: 108-12.
Mulyono, H. 2008. Imunoterapi Anti-IgE Terhadap Penderita Asma Bronchial.
[ONLINE]. Terseddia : https://harryneurologist.wordpress.com/imunoterapi-
anti-ige-terhadap-penderita-asma-bronchial/ . [Diakses tanggal 17 April
2017].
Riwayati. 2015. Reaksi Hipersensitivitas Atau Alergi. Jurnal : Jurnal Keluarga
Sehat Sejahtera Vol. 13 (26) Des. 2015 ISSN : 1693 – 1157.
Zubir,Z, Fiblia. 2016. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III. [ONLINE]. Tersedia :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63481/063%20.pdf;js
essionid=266304C98351673A613A0F4104A32651?sequence=1 .[Diakses
Tanggal 17 April 2017].

Anda mungkin juga menyukai