Anda di halaman 1dari 19

A.

Pengertian
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh
kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas
menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap
hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo,
2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI)
merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina
pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI
umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).
B. Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi
injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi
dan akumulasi lipid.
Menurut (Kasuari, 2002) enyebab STEMI yaitu
1. Faktor penyebab :
Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
a. Faktor pembuluh darah :
- Aterosklerosis.
- Spasme
- Arteritis
b. Faktor sirkulasi :
- Hipotensi
- Stenosos aurta
- Insufisiensi
c. Faktor darah :
d. Anemia
e. Hipoksemia
f. Polisitemia
2. Curah jantung yang meningkat :
a. Aktifitas berlebihan
b. Emos
c. Makan terlalu banyak
d. Hypertiroidisme
3. Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :
a. Kerusakan miocar
b. Hypertropimiocard
c. Hypertensi diastolic
C. Manifestasi Klinis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika
dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal
dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard
sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes militus,
dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.
1. Nyeri Dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat
dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau
yang salah dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala
ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada
angina sebagai berikut:
a. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan diplintir.
c. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
f. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas
dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli
paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada
tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai
pada diabetes militus dan usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30
menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat
pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi fentrikular adalah
S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late
sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam
minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis
nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2mm, minimal
pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau ≥1mm pada 2 sandapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,
memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak
perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA,
prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus
dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di
IGD merupakan senter dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan EKG awal tidak
diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan
kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi
kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evlolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark
miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi
segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau
non STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark
miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau
hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard non transmural jika EKG
hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun
ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q
menggantikan IMA mural/nontransmural.
D. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI
terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi
lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri
koroner. Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami
rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core).
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi
dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi
trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah
mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen
asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat
mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi
thrombin, yang kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang
terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
E. Pathway
(Terlampir)
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasienSTEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
1. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan
cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada
pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera
mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pengingkatan nilai
enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung
(infark miokard).
a. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
b. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
a. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 4-8 jam.
b. Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
c. Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker
jantung pada laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99 th
percentile kelompok control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
G. Penalatalaksanaan
Time is muscle semboyan dalam penanganan STEMI, artinya semakin cepat
tindakan maka kerusakan otot jantung semakin minimal sehingga fungsi jantung kelak
dapat dipertahankan. Terapi STEMI hanyalah REPERFUSI, yaitu menjamin aliran
darah koroner kembali menjadi lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan
kateterisasi (PCI) yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat
melalui jalur infuse (agen fibrinolitik).
PCI walaupun terkesan lebih menyeramkan ketimbang terapi dengan sekedar
obat per infuse, sebenarnya memiliki efek samping yang lebih kecil ketimbang terapi
obat per infuse tersebut selain itu efektivitasnya jauh lebih baik, bahkan mendekati
sempurna. Tindakan PCI yang berupa memasukkan selang kateter langsung menuju
jantung dari pembuluh darah di pangkal paha dapat berupa pengembangan ballon
maupun pemasangan cincin/stent.
Walaupun terkesan mudah saja untuk dilakukan (hanya seperti obat-obat per
infuse seperti umumnya), fibrinolitik menyimpan efek samping yang sangat
berbahaya yaitu perdarahan. Resiko paling buruk adalah terjadinya stroke perdarahan
(sekitar 1,4 % pasien. Efektivitas fibrinolitik adalah baik, walaupun tidak sebaik PCI.

KONSEP PROSES KEPERAWATAN


A. Pengkajian primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran menunjukkan tanda awal pasien masuk kondisi ekstrim dan
membutuhkan pertolongan medis segera dan membutuhkan perawatan di ICU.
e. Exposure
Mengkaji pemeriksaan menggunakan kemungkinan KP, pemeriksaan riwayat
kesehatan dan pemeriksaan lainnya.
B. Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
1) Kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
2) Mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot )

Data obyektif:
1) Perubahan tingkat kesadaran
2) Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) ,
kelemahan umum.
3) gangguan penglihatan
b. Sirkulasi
Data Subyektif:
Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung ,
endokarditis bacterial ), polisitemia.
Data obyektif:
1) Hipertensi arterial
2) Disritmia, perubahan EKG
3) Pulsasi : kemungkinan bervariasi
4) Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
c. Integritas ego
Data Subyektif:
1) Perasaan tidak berdaya, hilang harapan
Data obyektif:
1) Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan
2) kesulitan berekspresi diri
d. Eliminasi
Data Subyektif:
1) Inkontinensia, anuria
2) Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ), tidak adanya suara
usus( ileus paralitik )
e. Makan/ minum
Data Subyektif:
1) Nafsu makan hilang
2) Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK
3) Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia
4) Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
1) Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring )
2) Obesitas ( factor resiko )
f. Sensori neural
Data Subyektif:
1) Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )
2) nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
3) Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati
4) Penglihatan berkurang
5) Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada
muka ipsilateral ( sisi yang sama )
6) Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
Data obyektif:
1) Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan
tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif
2) Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis stroke,
genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam
( kontralateral )
3) Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral )
4) Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/
kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global /
kombinasi dari keduanya.
5) Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil
6) Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
7) Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi
lateral
g. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial
h. Respirasi
Data Subyektif:
Perokok ( factor resiko )
i. Keamanan
Data obyektif:
1) Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
2) Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang
kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
3) Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
4) Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
5) Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang
kesadaran diri
j. Interaksi social
Data obyektif:
Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi (Doenges E, Marilynn,2000)
C. Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
2. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan
konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai
oksegen ke otot.
4. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot
miokard, penurunan curah jantung
D. Intervensi dan rasional
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
Kriteria hasil: Mengidentifikasi metode yang dapat menghilangkan
nyeri,melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi :

Intervensi Rasional

Kolaboratif

Berikan obat-obatan sesuai indikasi:

1. Agen non steroid, mis: 1. Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan


indometasin(indocin);, respon inflamasi.
ASA(aspirin)
2. Untuk menurunkan demam dan
2. Antipiretik mis: ASA/asetaminofen meningkatkan kenyamanan.
(tylenol)
3. Diberikan untuk gejala yang lebih berat.
3. Steroid
4. Memaksimalkan ketersediaan oksigen
4. Oksigen 3-4 liter/menit untuk menurunkan beban kerja jantung
dan menurunkan ketidaknyamanan karena
iskemia.

Mandiri

1. Selidiki keluhan nyeri dada, 1. Mengetahui lokasi dan derajat nyeri. Pada
memperhatikan awitan, faktor iskemia miokardium nyeri dapat
pemberat atau penurun memburuk dengan inspirasi dalam,
gerakan atau berbaring dan hilang dengan
duduk tegak atau membungkuk.
2. Memberikan lingkungan yang tenang dan
tidakan kenyamanan. Mislanya merubah
posisi, menggunakan kompres hangat,
dan menggosok punggung

1. Tindakan ini dapat meningkatkan


kenyamanan fisik dan emosional
pasien.

2. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan


konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.

Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia.


Mengidentifikassi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.

Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Pantau irama dan frekuensi jantung 1. Takikardia dan disritmia dapat
terjadi saat jantung berupaya untuk
meningkatkan curahnya berespon
2. Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan terhadap demam. Hipoksia, dan
jarak / tonus jantung, murmur, asidosis karena iskemia.
gallop S3 dan S4. 2. Memberikan deteksi dini dari
terjadinya komplikasi misalnya
3. Dorong tirah baring dalam posisi GJK, tamponade jantung.
semi fowler 3. Menurunkan beban kerja jantung,
1. Berikan tindakan kenyamanan memaksimalkan curah jantung
misalnya perubahan posisi dan 4. Meningkatkan relaksasi dan
gosokan punggung, dan aktivitas mengarahkan kembali perhatian
hiburan dalam toleransi jantung
2. Dorong penggunaan teknik 1. Perilaku ini dapat mengontrol
menejemen stress misalnya latihan ansietas, meningkatkan relaksasi
pernapasan dan bimbingan imajinasi dan menurunkan kerja jantung
3. Evaluasi keluhan lelah, dispnea,
palpitasi, nyeri dada kontinyu. 1. Manifestasi klinis dari GJK yang
Perhatikan adanya bunyi napas dapat menyertai endokarditis atau
adventisius, demam miokarditis

Kolaboratif

1. Berikan oksigen komplemen 1. Meningkatkan keseterdian oksigen


untuk fungsi miokard dan
menurunkan efek metabolism
anaerob,yang terjadi sebagai akibat
dari hipoksia dan asidosis.

2. Dapat diberikan untuk


meningkatkan kontraktilitas
miokard dan menurunkan beban
1. Berikan obat – obatan sesuai dengan
kerja jantung pada adanya GJK
indikasi misalnya digitalis, diuretik
( miocarditis)

3. Diberikan untuk mengatasi


pathogen yang teridentifikasi,
mencegah kerusakan jantung lebih
1. Antibiotic/ anti microbial IV lanjut.

4. prosedur dapat dilakuan di tempat


3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen
ke otot.

Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat


secara individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan
kering, nadi perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.

Intervensi:

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Evaluasi status mental. Perhatikikan 1. Indicator yang menunjukkan embolisasi


terjadinya hemiparalisis, afasia, sistemik pada otak.
kejang, muntah, peningkatan TD.

2. Selidiki nyeri dada, dispnea tiba- 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung


tiba yang disertai dengan takipnea, dan / atau organ vital lain, dapat terjadi
nyeri pleuritik, sianosis, pucat sebagai akibat dari penyakit katup, dan/
atau disritmia kronis

3. Dapat mencegah pembentukan atau


1. Tingkatkan tirah baring dengan
migrasi emboli pada pasien endokarditis.
tepat
Tirah baring lama, membawa resikonya
sendiri tentang terjadinya fenomena
tromboembolic.

4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan


aliran balik vena karenanya menurunkan
resiko pembentukan thrombus.

1. Dorong latihan aktif/ bantu dengan


rentang gerak sesuai toleransi.

Kolaborasi Heparin dapat digunakan secara profilaksis


bila pasien memerlukan tirah baring lama,
Berikan antikoagulan, contoh heparin,
mengalami sepsis atau GJK, dan/atau
warfarin (coumadin)
sebelum/sesudah bedah penggantian katup.

Catatan : Heparin kontraindikasi pada


perikarditis dan tamponade jantung.
Coumadin adalah obat pilihan untuk terapi
setelah penggantian katup jangka panjang,
atau adanya thrombus perifer.

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan


Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain
dari hipoksia.

Intervensi:

Intervensi Rasional

Mandiri:

1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan 1. Kecepatan dan upaya mungkin


kedalaman. Contoh adanya dispnea, meningkat karena nyeri, takut,
penggunaan otot bantu nafas, demam, penurunan volume
pelebaran nasal. sirkulasi, hipoksia atau diatensi
gaster.

2. Sianosis bibir, kuku, atau daun


1. Lihat kulit dan membran mukosa
telinga menunjukkan kondisi
untuk adanya sianosis.
hipoksia atau komplikasi paru

3. Merangsang fungsi
pernafasan/ekspansi paru. Efektif
1. Tinggikan kepala tempat tidur
pada pencegahan dan perbaikan
letakkan pada posisi duduk tinggi
kongesti paru.
atau semifowler.

Kolaborasi:

Berikan tambahan oksigen dengan kanul Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru


atau masker, sesuai indikasi untuk kebutuhan sirkulasi khususnya pada
adanya gangguan ventilasi

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot


miokard, penurunan curah jantung
Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang
pembatasan terapeutik yang diperlukan.

Intervensi:

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Kaji respon pasien terhadap 1. Miokarditis menyebabkan


aktivitas. Perhatikan adanya dan inflamasi dan kemungkinan
perubahan dalam keluhan kerusakan sel-sel miokardial,
kelemahan, keletihan, dan dispnea sebagai akibat GJK. Penurunan
berkenaan dengan aktivitas pengisian dan curah jantung dapat
menyebabkan pengumpulan
cairan dalam kantung perikardial
bila ada perikarditis. Akhirnya
endikarditis dapat terjadi dengan
disfungsi katup, secara negatif
mempengaruhi curah jantung

2. Membantu derajad dekompensasi


jantung and pulmonal penurunan
TD, takikardia, disritmia, takipnea
adalah indikasi intoleransi jantung
1. Pantau frekuensi dan irama terhadap aktivitas.
jantung, tekanan darah, dan
3. Demam meningkatkan kebutuhan
frekuensi pernapasan sebelum dan
dan konsumsi oksigen, karenanya
sesudah aktivitas dan selam di
meningkatkan beban kerja
perluka
jantung, dan menurunkan
2. Mempertahankan tirah baring toleransi aktivitas
selama periode demam dan sesuai
4. Pada saat terjadi inflamasi klien
indikasi.
mungkin dapat melakukan
aktivitas yang diinginkan, kecuali
kerusakan miokard permanen.
1. Membantu klien dalam latihan
progresif bertahap sesegera 5. Ansietas akan terjadi karena
mungkin untuk turun dari tempat proses inflamasi dan nyeri yang di
tidur, mencatat respon tanda vital timbulkan. Dikungan diperlukan
dan toleransi pasien pada untuk mengatasi frustasi terhadap
peningkatan aktivitas hospitalisasi.

2. Evaluasi respon emosional

Kolaborasi

Berikan oksigen suplemen Peningkatan ketersediaan oksigen


mengimbangi peningkatan konsumsi
oksigen yang terjadi dengan aktivitas.

6. Kurang pengetahuan kondisi penyakit

Kriteria hasil : menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan


pengobatan dan kemungkinan komplikasi.

Intervensi

Intervensi Rasional

Mandiri

1. Jelaskan efek inflamasi pada 1. Untuk bertanggung jawab


jantung, ajarkan untuk terhadap kesehatan sendiri, pasien
memperhatikan gejala sehubungan perlu memahami penyebab
dengan komplikasi/berulangnya khusus, pengobatan, dan efek
dan gejala yang dilaporkan dengan jangka panjang yang diharapkan
segera pada pemberi perawatan dari kondisi inflamasi, sesuai
misalny demam, nyeri, dengan tanda/gejala yang
peningkatan berat badan, menunjukkan
peningkatan toleransi terhadap kekambuhan/komplikasi
aktifitas.

2. Anjurkan pasien/orang terdekat


1. Untuk bertanggung jawab
tentang dosis, tujuan dan efek
terhadap kesehatan sendiri, pasien
samping obat: kebutuhan
perlu memahami penyebab
diet/pertimbangan khusus:
khusus, pengobatan, dan efek
aktivitas yang diizinkan/dibatasi
jangka panjang yang diharapkan
dari kondisi inflamasi, sesuai
dengan tanda/gejala yang
menunjukkan
kekambuhan/komplikasi

2. Perawatan di rumah sakit


1. Kaji ulang perlunya antibiotic
lama/pemberian antibiotic
jangka panjang/terapi
IV/antimicrobial perlu sampai
antimikrobial
kultur darah negative/hasil darah
lain menunjukkan tak ada infeksi.

3. Pemahaman alasan untuk


pengawasan medis dan rencana
untuk/penerimaan tanggung jawab

1. Tekankan pentingnya evaluasi


perawatan medis teratur. Anjurkan
pasien membuat perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta


Paskah, Leonardo. 2008. Mahalnya Serangan Jantung, (Online),
(http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=9897), diakses 23 Mei 2012.
Overdoff David, 1990. Kapita selekta kedokteran.Jakarta : Binarupa Aksara.
Price & Wilson, 1994, Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit , EGC, Jakarta
Reeves Chariene J. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika
Sodeman. 1995. Patofisiologi. Edisi 7. Jilid II.Jakarta : Perpustakaan Nasional
Soeparman & Waspadji, 1999, Ilmu penyakit Dalam Jilid II, FK UI, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai