Anda di halaman 1dari 6

i hari minggu yang cerah, telah berkumpul seluruh penghuni hutan untuk menonton sebuah

pertandingan. Semua mata penuh rasa penasaran untuk melihat siapakah yang akan keluar
sebagai pemenang. Sebenarnya bukan hal yang sulit menebak pemenang lomba lari kali ini.
Tetap saja mereka berharap ada kejutan di sana.

Sang kelinci, juara lari lima periode berturut-turut selalu mampu megalahkan penantangnya
dengan mudah. Tak ada yang mampu menandingi kecepatan lari sang kelinci. Bahkan sang raja
hutan pun dibuatnya bertekuk lutut. Sang kelinci sudah menjadi legenda lari bagi seluruh
penghuni hutan.

Namun kali ini semua binatang di buat tak percaya. Kura-kura dengan lantang menantang kelinci
dalam lomba lari. Semua ketidakpercayaan itu menjadi cemohan untuk kura-kura. Bagaimana
bisa kura-kura menang dalam lomba ini, sedangkan untuk menuju tempat lomba diadakan saja ia
belum tiba.

“Aku rasa kali ini bukan lomba lari yang ku lihat,” kata tupai sambil menggerogoti kacang. “Apa
maksudmu,” timpal kera. “Kau bisa lihat sendiri. sudah siang seperti ini sang penantang belum
juga tiba. Bahkan mungkin ketika lomba di mulai kelinci sudah terlampau kenyang makan di
garis akhir,” timpal tupai.

Perlombaan yang tak seimbang, itulah yang sering diucapkan para penghuni hutan. Meskipun
begitu, selalu saja menarik untuk disaksikan bagaimana kemenangan telak kelinci kali ini untuk
mengukuhkan juara bertahan enam kali secara beruntun.

“Lihat itu kura-kura,” seru penonton. Sontak semua mata memandang ke arah garis start. Sang
kura-kura berjalan perlahan menuju garis itu. Dengan semangat tinggi semua bersorak melihat
sang kura-kura yang telah tiba. Kura-kura hanya bisa tersenyum. Ia melambaikan tangan ke arah
penonton. Entah apa yang dipikirkan kura-kura saat ini.

“Semua sudah hadir. Peserta di mohon untuk bersiap,” kata sang gagak yang kali ini bertugas
sebagai wasit pertandingan. Dengan sigap kelinci muncul dari balik tenda. Ia berjalan lincah,
melompat ke sana kemari menunjukkan kegesitannya dalam berlari. Sang kelinci berdiri di
samping kura-kura.

“Sudah siap kalah,” kata kelinci penuh ejekan. Matanya dipicingkan ke arah kura-kura. Ia
melihat kura-kura secara menyeluruh. Lagi-lagi senyuman culas muncul di wajahnya. Kelinci
merasa kemenangan telah berada di tangannya. Perlombaan ini hanya formalitas belaka. Sudah
jelas siapa pemenangnya.

“Lihat saja nanti,” seru kura-kura. Ia tidak peduli apa kata para penonton tentang dirinya. Ia tak
pernah takut untuk berlomba dengan siapapun. Apalagi dengan kelinci yang selama ini menjadi
bintang di mata seluruh penghuni hutan. Dengan mengalahkan kelinci, kura-kura akan di beri
pengakuan sebagai yang terhebat. Jadi untuk menjadi yang terbaik, cukup mengalahkan yang
paling baik. Dan terbaik di lomba lari adalah kelinci, jadi kura-kura harus mengalahkan kelinci.
Apapun caranya.
Kura-kura tersenyum kepada kelinci. Matanya menatap pandangan mata kelinci yang sedari tadi
tak henti-henti mengejek dirinya. Pandangan mereka saling beradu. Suasana semakin panas.
Tepukan riuh penonton membakar semangat mereka. Satu tak ingin kalah dengan yang lain,
sedangkan yang lain tak akan menyerah. Mereka saling adu pandangan. Menunjukkan kalau tak
ada ketakutan di antara keduanya. Sama-sama dipenuhi keberanian.

Wasit siap meniupkan peluit. “Bersedia, siap, ya,” bunyi peluit panjang menjadi tanda
perlombaan di mulai. Sang kelinci segera melesat cepat. Ia berlari melewati sela-sela rintangan
bambu yang sengaja di pasang oleh petugas lomba. Dengan gesit tak satupun yang mengenai
dirinya. Gerak lincah kelinci mengundang decak kagum penonton. Semua terpana oleh
kecepatannya.

Sebaliknya. Kura-kura secara perlahan tapi pasti melangkah ke arah rintangan bambu itu. ia telah
melewati bambu kedua dilanjutkan ketiga. Tak ada mata yang melihat dirinya berusaha melewati
rintangan itu. Semua penonton sibuk melihat kelinci yang sedang beraksi. Kura-kura hanya bisa
tertawa kecil. Tak ada yang mengerti apa yang sedang ditertawakannya. Sekali lagi tak ada yang
memperhatikan dirinya.

Kelinci telah masuk ke dalam hutan. Lintasan lari kali ini tidak sepanjang tahun lalu. Mengingat
yang di lawan kelinci adalah kura-kura jadi lintasan kali ini setengah dari sebelumnya. Itupun
sudah sangat panjang bagi sebagian penghuni hutan yang sempat merasakan berlomba dengan
kelinci. Hanya kancil yang hampir mengalahkan kelinci. Dan dua kali kancil gagal karena
kurang gesit dalam melompat. Ada parit-parit yang melintang di bagian akhir intasan. Peserta
harus melompatinya untuk mencapai garis akhir.

Sekali lagi kelinci telah jauh masuk ke dalam hutan yang lebat. Kali ini kelinci hanya berjalan
santai sambil menikmati udara hutan yang segar. Ia tak khawatir di susul oleh kura-kura. Dengan
mata terpicing, kelinci melihat kura-kura jauh di belakang sana. Kura-kura baru saja akan masuk
hutan. “Masih jauh,” kata kelinci. Kali ini ia sengaja memperlambat langkah kaki.

Suara penonton sudah tak terdengar lagi. Mereka pasti telah beranjak ke garis finis. Seperti biasa
di lomba-lomba sebelumnya. Selalu siap perayaan kemenangan di ujung sana. Kelinci bisa
mencium aroma kemenangan itu. Namun sesuatu terbersit dalam pikirannya.

“Apakah aku harus melakukan sesuai yang dia pinta,” desah kelinci. Tiba-tiba langkah kelinci
terhenti. Ia menepi di bawah pohon besar. Kelinci bersandar sambil menerawang jauh ke atas
sana. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Kelinci masih ragu untuk memutuskan apakah
dia akan melakukan hal tersebut atau tidak. Ada banyak yang dipertaruhkan di sana. Reputasinya
sebagai juara lima kali atau kekayaan yang melimpah yang ditawarkan kepadanya.

Dengan sigap ia segera bangkit dan keluar dari jalur. Kelinci menuju ke sisi lain hutan. Ada hal
besar yang diinginkannya. Telah lama ia menunggu untuk menjadi yang terkaya di hutan ini.
Reputasi bisa didapatkan kembali tapi kesempatan untuk kaya hanya datang sekali. Dengan cepat
kelinci berlari hingga tiba di pinggir sungai.
Matanya melihat keadaan sekitar sungai untuk memastikan tak ada yang melihat dirinya di sana.
Kelinci segera berlari menelusuri tepi sungai untuk menuju jembatan yang akan membawanya ke
sebrang sana. Sebuah jembatan kayu tampak dari kejauhan. Ia segera melangkah kearah
jembatan dan menyebrangi sungai.

Matanya melihat jejak yang telah di buat untuk memandunya menuju tempat yang diinginkan.
Dengan hati-hati sang kelinci melangkah turun dari sebuah tebing. Perlahan ia menuruni tangga
yang terbuat dari tanah. Kaki-kakinya mencengkeram kuat rerumputan yang tumbuh di sela-sela
tanah itu. Ia melangkah perlahan agar tak tergelincir.

Kelinci telah tiba di bawah sana. Air sungai telah menyentuh telapak kakinya. Matanya melihat
ke arah bawah jembatan. Sebuah tongkat kayu kecil dengan hiasan daun terpancang di sana.
“Pasti itu tempatnya,” seru kelinci. Ia yakin telah menemukan apa yang dicarinya.

Ia segera mendekati gundukan tanah itu. Gali dan terus menggali. Hingga mencapai suatu dasar
yang ternyata sebuah kayu. “Ini petinya”, kata kelinci. Ternyata kayu itu adalah penutup dari
sebuah peti. Dengan sigap kelinci menggali lebih besar. Mengelilingi sekitar kayu. Matanya
terbelalak melihat ukuran peti itu. Hampir tiga kali panjang tubuhnya. “Bagaimana aku
mengangkatnya,” desah kelinci. Ia mengangkat alis dan mengerutkan keningnya untuk berpikir.

Di sisi lain hutan, kura-kura dengan bermandikan peluh melangkah perlahan melewati semak-
semak tengah hutan. Ia mengetahui kalau kelinci telah jauh meninggalkannya, namun semangat
untuk meneruskan perlombaan melupakan kenyataan yang akan dihadapinya. Kura-kura
berusaha menyingkirkan rintangan yang mengganggu jalannya. Akar-akar pohon yang
mengganggu kakinya, ia gigit kuat-kuat hingga putus.

Panas matahari telah sampai di ujung ubun-ubun. Kerindangan dedaunan tak mampu
menghalangi sinar matahari. Cahaya menerobos melewati celah-celah menuju tanah liat di
tengah hutan. Sekali lagi kura-kura mengusap peluh yang membasahi dahinya. Ini pertama
kalinya ia berjalan sangat jauh. Biasanya ia selalu berjalan dari satu mata air ke mata air lain.
Kura-kura memang bisa hidup tanpa air, namun jika terlalu lama tak menyentuh air kulit
tubuhnya mulai mengering dan ia bisa mati kehausan.

Semua itu tak menjadi masalah baginya. Persiapan telah ia lakukan sebelum perlombaan. Sebuah
bambu berisikan air minum telah tersampir di punggungnya. Dengan mudah ia melanjutkan
lomba meski panas menyengat menghadang. Kura-kura tak pernah kebabisan cara.

Kura-kura selalu ingat pesan yang mengatakan bahwa ia akan mengakhiri lomba dengan
kemenangan. Jika saja mampu menuruti semua nasehatnya. Sekarang kura-kura selalu berjalan
sesuai dengan arah angin dan di tepi pohon. Ia berusaha menghindar panas matahari secara
langsung. Sebisa mungkin air yang dibawanya cukup hingga ia tiba di garis akhir.

Perjanjian telah di buat sebelumnya. Kura-kura yakin ia bisa menang. Memang tidak mudah
untuk mendapatkan pengakuan. Selalu ada harga mahal untuk menebusnya. Tapi semua telah
disepakati. Tinggal masing-masing mematuhi perjanjian. Yang melanggar akan terkena
akibatnya.
Dalam hati, sudah sejak lama kura-kura ingin diperhatikan oleh penduduk hutan. Ia selalu
dilecehkan karena kelambatannya mengerjakan sesuatu. Semua penghuni hutan menganggap
remeh kura-kura ketika niat untuk membantu diutarakannya. Semua beranggapan, apa yang bisa
dikerjakan oleh kura-kura si lambat dalam bekerja. “Ia hanya bisa duduk tenang di tepi sungai.
Bahkan mencari makan pun harus menunggu mangsa datang. Tidak pernah mengejar. Selalu
menunggu,” itulah yang selalu di dengar kura-kura dari penduduk hutan. Tak ada yang
menghargai usahanya.

Menjadi yang terbuang dan tersingkirkan memang berat. Kura-kura merasakan itu sejak lama.
Namun selalu saja nasib tak memihak padanya ketika suatu hari ia telah menolong anak kancil
yang tercebur ke sungai. Kancil malah menuduh kura-kura yang sengaja menjatuhkan anaknya.
Lagi-lagi sakit hati kura-kura bertambah. Ia merasa benar-benar kecewa atas ulah kancil.

Namun bukan kura-kura kalau tidak mampu bersabar. Dirinya menjadi lebih sabar dan mampu
menunggu kesempatan itu tiba. Pelajaran dan pengalaman mengajarkan kalau untuk menutupi
kelambatan geraknya, hanya kesempatan dan waktu yang bisa membuat perbedaan. Sang kura-
kura telah memahami hal itu.

Oleh karena itu, perlombaan kali ini adalah kesempatan dan waktu yang tepat. Ia telah
mempersiapkan semuanya secara terperinci. Kesepakatan telah di buat. Rencana awal telah
terlaksana. Dan hasil akhir siap di terima. Kura-kura hanya tersenyum di balik penutup
kepalanya.

Ia memandang garis akhir yang telah mampu di jangkau pandangan. “Sebentar lagi semua
penghuni hutan akan berhenti mengejekku,” katanya dalam hati. Ia sudah siap dengan
kemenangannya. Kura-kura tak melihat kancil di sana. Para penonton pun masih terdiam
menunggu sang pemenang.

Dengan tertawa kecil kura-kura muncul dari balik hutan. Semua mata tertuju ke arahnya. ‘Mana
kelinci, mana kelinci,” teriak tupai. Semua penonton tidak percaya apa yang dilihatnya. Sejak
tadi menunggu lama tak tahunya yang di tunggu tidak muncul juga. Kelinci tak terlihat. Hanya
ada kura-kura yang terus berjalan menuju garis akhir.

“Kelinci kalah,” seru kancil tak percaya. Ia masih tidak yakin kura-kura akan memenangkan
perlombaan ini. Benar-benar sesuatu yang menyesakkan dada. Apalagi kancil pernah dua kali
hampir mengalahkan kelinci sedangkan kura-kura yang berjalan saja susah, dengan mudah
mengalahkan kelinci. Semua mata terbelalak. Wasit siap meniup peluit tanda kemenangan kura-
kura.

Satu langkah lagi kura-kura menyentuh garis akhir. Dengan mantap ia melewati garis itu. Sontak
tak ada suara kegembiraan terdengar hanya peluit panjang yang dibunyikan oleh gagak. Para
penonton masih terperangah. Mereka lupa siapa pemenang lomba kali ini. “Pemenang lomba lari
tahun ini, jatuh ke tangan kura-kura,” kata gagak sambil mengangkat tangan kura-kura tinggi-
tinggi.
Seketika suasana kembali ramai. Ucapan selamat atas kemenangan kura-kura terdengar dari
segala penjuru. Semua penghuni hutan turun ke arena untuk berjabat tangan langsung dengan
kura-kura, sang pemenang yang mampu mematahkan dominasi kelinci. Kura-kura hanya tertawa
riang. Ia seperti tak sadar kalau kemenangan kali benar-benar jatuh ke tangannya.

Sejenak tidak ada yang bertanya dimanakah kelinci saat ini. Penonton lupa kalau kelinci belum
tiba di garis finis. Semua terlena oleh kemampuan kura-kura memenangkan lomba. Tak ada yang
mempedulikan kelinci. Seperti lomba sebelumnya, hanya pemenang yang selalu di ingat
namanya. Mereka yang kalah, sekejap terlupa meski pernah mengalami manisnya kemenangan.
Perayaan hanya untuk pemenang. Kalah tetaplah kalah. Hanya akan di beri kesempatan menjadi
penantang di perlombaan berikutnya. Itupun jika mereka mampu kembali menjadi pemenang.

Kelinci tertawa puas melihat apa yang telah didapatkannya. Sekarang ia menjadi penghuni paling
kaya. Tak ada yang berani meremehkannya lagi. Kelinci memang hebat dalam hal lari tapi ia
selalu di ejek ketika berkumpul dengan teman-temannya.

Rumahnya hanya sebatas lubang di dalam tanah. Sempit dan susah dimasuki. Tak ada perabotan
mahal. Bahkan tempat tidur nyaman pun tak ada. Kelinci tak memiliki barang berharga. Hadiah
yang diperoleh dari perlombaan lari selalu habis untuk melunasi hutang-hutangnya. Sedangkan
pekerjaan kelinci sebagai pengumpul sayuran, tak memberinya hasil yang cukup. Ia tetap
kekurangan dan di anggap miskin.

Namun kesempatan tiba untuk mengubah nasib. Suatu malam sang kura-kura menemuinya.
Kura-kura menantang kelinci dalam lomba lari. Tadinya kelinci hampir tertawa tapi segera
tertahan setelah kura-kura mengajukan sebuah kesepakatan.

“Kau ingin hidupmu berubah dan aku ingin harga diriku naik,” kata kura-kura. “Sekarang kita
membuat kesepakatan. Aku akan memberimu emas yang banyak asal kau membuatku menang
dalam lomba lari itu,” lanjut kura-kura.

Kelinci berpikir sejenak atas tawaran itu. ia menimbang-nimbang antara reputasi dan harga diri.
Reputasinya sebagai pemenang dalam lomba lari dan harga diri yang selalu di ejek miskin.
Sebuah pilihan yang sulit. Kelinci yakin kura-kura sebenarnya telah memikirkan hal itu.
“Bagaimana jika mereka tahu kalau aku tak melanjutkan perlombaan demi emas yang kau
berikan,” tanya kelinci. Ia masih merasa ragu atas penawaran kura-kura.

“Kenapa harus repot memikirkan mereka. Mereka hanya tahu tentang kemenangan. Tidak ada
yang peduli oleh pihak yang kalah. Entah kalah karena kejujuran atau kecurangan. Yang di lihat
adalah hasil akhir. Perayaan kemenangan yang selalu mereka tunggu,” kata kura-kura. Dengan
mantap dan meyakinkan ia membujuk kelinci untuk menuruti idenya.

“Oke aku setuju, tapi apa kau kuat untuk berlari hingga garis finis,” tanya kelinci. “Aku takut
kau nanti mati kelelahan di tengah jalan dan rencana ini gagal,” tambah kelinci.
“Jadi bagaimana menurutmu agar aku berhasil nanti,” tanya kura-kura.

“Aku akan memberimu saran. Nanti akan kuusulkan lintasan yang di pakai setengah dari
biasanya. Kau juga harus membawa persediaan air. Taruhlah bambu berisi air untuk minum
ketika sedang berlari. Letakkan di punggungmu. Selain itu kau jangan lari di bawah matahari
langsung, cobalah mengikuti jejak bayangan daun dan pohon untuk mengurangi panas,” kata
kelinci mantap. “Nanti di tengah hutan aku akan segera keluar dari lintasan dan menuju tempat
yang telah kau tunjukkan,” lanjutnya.

“Ingat hanya kita yang tahu soal ini,” ucap kura-kura. “Semua telah sepakat,” kata kura-kura
sambil menyodorkan tangan. Mereka bersalaman dan saling mengangguk penuh arti. Kura-kura
segera meninggalkan kelinci. Ia keluar menerobos dinginnya malam menuju tempat peraduan di
tepi sungai. Sesuatu berbeda telah menanti esok. “Saatnya tersenyum untuk menyambut mimpi
malam ini,” kata kura-kura dalam hati.

Cerpen Kar

Anda mungkin juga menyukai