Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Cytomegalovirus (CMV) adalah virus yang terdapat dimana saja di populasi manusia. CMV
biasanya mengakibatkan infeksi akut yang asimptomatik, atau hanya menyebabkan penyakit
minor. Gambaran klinis yang timbul akibat infeksi CMV bervariasi, mulai dari penyakit minor
pada individu normal sampai dengan bersifat letal pada pasien dengan imunosupresi. 1 Infeksi
CMV pada SSP dapat terjadi pada otak (ensefalitis difus, ventrikuloensefalitis, lesi massa pada
serebral/SOL) atau medula spinalis (mielitis transversa, poliradikulomielitis).2 Patogenesis
infeksi CMV kurang dimengerti, namun melibatkan sistem imun sama halnya dengan organ
visera.1 Penegakkan diagnosis ensefalitis CMV sangat sulit, dan harus berdasarkan gambaran
klinis, hasil imaging dan marker virologis. Meskipun mendapat terapi, prognosis sangat buruk
untuk kelangsungan hidup jangka panjang, terutama pada pasien dengan AIDS.2

SEJARAH

Sejarah penemuan CMV dan hubungannya dengan penyakit yang berbeda adalah salah satu
akumulasi observasi yang stabil, tebakan cerdas, dan pembatasan penyimpangan dari jalur
penemuan.1

Temuan pertama penyakit yang berkaitan dengan CMV pada tahun 1881, ketika Ribbert
mendeteksi sel khas sitomegalik di ginjal dan glandula parotis dari otopsi pasien anak dengan
sifilis. Sel yang khas ini awalnya dikenali sebagai protozoa oleh Jesionek dan Kiolemenoglou
pada tahun 1904, yang mengkonfirmasi adanya sel ini. Berdasarkan kerja Tyzzer (1906), yang
mendokumentasikan perubahan histologis serial pada lesi varisela, Goodpasture dan Talbot
(1921) serta Von Glahn dan Pappenheimer (1925) yang menunjukkan adanya kemiripan
gambaran histopatologi pada lesi varisela dan pada “protozoa”, menunjukkan bahwa keduanya
disebabkan oleh patogen yang sama. Seringnya lesi ini terdapat pada kelenjar saliva pada anak-
anak yang diotopsi, membuatnya dikenal sebagai “virus kelenjar saliva”. Lesi serupa
ditemukan di penyakit pada model marmut pada taun 1926 dan argumen mengenai asal virus
yang menjadi penyebab penyakit kelenjar saliva manusia semakin diperkuat ketika penyakit
marmut terbukti disebabkan oleh agen yang dapat disaring.1

1
Penyakit neonatal berat ditandai dengan ptekie, hepatosplenomegali, dan kalsifikasi otak yang
disebutkan berhubungan dengan sel sitomegalik yang ditemukan saat otopsi. Istilah “penyakit
inklusi sitomegalik general” pertama kali diperkenalkan oleh Wyatt dan kawan-kawan.
Ditemukannya inklusi prominen pada sel tubulus ginjal menyebabkan dideteksinya sel
sitomegalik pada urin oleh Fetterman (1952), menyediakan deteksi virus antemortem. Virus
CMV diisolasi pada tahun 1956 oleh 3 kelompok independen (Rowe et al, Smith, Weller et al).
Penemuan oleh Rowe et al adalah hasil sampingan dari karya mereka isolasi adenovirus pada
adenoid manusia. Kelompok ini mengembangkan uji fiksasi komplemen untuk mendeteksi
antibodi, yang mengarah pada penemuan bahwa virus ini muncul secara umum pada populasi
umum.1

Penyakit yang berhubungan dengan CMV ditetapkan dan dikembangkan pada tahun 1950an
dan 1960an, dimana sebagian besar terjadi pada anak-anak. Yang paling penting adalah infeksi
CMV neonatal yang asimptomatik, dikenal sebagai viruria CMV, yang menyebabkan tingginya
risiko terjadinya ketulian dan gangguan kognitif.1

Pada akhir 1960an, semakin jelas bahwa CMV juga dapat menyebabkan penyakit yang serius
pada usia dewasa. Sementara terjadi infeksi asimptomatik, beberapa individu dewasa muda,
terinfksi untuk pertama kali, menimbulkan penyakit yang menyerupai mononukleosis infeksius
yang terkait virus Epstein-Barr (EBV), disertai demam, kelemahan, adenopati, ruam,
keterlibatan hepar, dan terdapat limfosit atipikal pada apusan darah tepi. Kasus mononukleosis
CMV ini dibedakan dari mononukleosis EBV dengan adanya faringitis prominen dan tes
antibodi heterofil yang positif pada pasien EBV. Mononukleosis CMV tidak hanya dapat
terjadi secara konvensional namun dapat ditularkan melalui transfusi darah, sebagai contoh,
pada saat bedah jantung. Bagian ini dikenal dengan “sindroma postperfusi”, yang timbul
beberapa minggu setelah transfusi dan ditandai dengan penyakit subakut dengan demam,
malaise, dan ikterik. Terkadang, defisit neurologis sangat menonjol.1

Seiring dengan meingkatnya prevalensi individu dengan imunosupresi, infeksi CMV baik
infeksi primer maupun reaktivasi, juga tampak meningkat. Penyakit CMV yang berat dan fatal
sering terjadi pada pasien transplantasi, kanker, dan AIDS.1

2
EPIDEMIOLOGI

Ensefalitis CMV lebih sering terjadi pada pasien immunocompromise, sangat jarang terjadi
pada pasien yang imunokompeten.3

Infeksi CMV merupakan penyakit endemik pada banyak daerah di dunia, dengan
seroprevalensi CMV bervariasi di berbagai wilayah geografis, antara 30 – 100%.4 Setidaknya
60% dari populasi di Amerika Serikat telah terpapar CMV, dengan prevalensi lebih dari 90%
pada kelompok risiko tinggi (misalnya bayi baru lahir yang ibunya terinfeksi CMV, atau
penderita HIV).5 Infeksi CMV bersifat asimptomatik pada pasien yang imunokompeten.
Rekativasi CMV terjadi pada pasien yang immunocompromise, dan berhubungan dengan
keluaran klinis yang buruk. Telah diobservasi bahwa infeksi CMV terjadi pada pasien dalam
kondisi kritis yang dirawat di ICU dan prevalensinya berkisar 0 – 35%.4 Pasien dengan infeksi
CMV juga lebih rentan terkena infeksi nosokomial dibandingkan dengan pasien non infeksi
CMV. Angka mortalitas infeksi CMV juga lebih tinggi.4

Seroprevalensi CMV bervariasi pada populasi dan kelompok umur yang berbeda. Pada
kelompok dewasa yang aktif seksual, angka seroprevalensi dilaporkan antara 5 - 80%, terlebih
lagi, 90% pada usia muda, aktif secara seksual, pria homoseksual. Pada studi terbaru yang
diterbitkan, seropositif IgG bervariasi dari 60.8 – 76.4% pada wanita hamil, dengan prevalensi
yang lebih tinggi pada daerah dengan taraf sosial ekonomi yang rendah.2

Infeksi primer terjadi setelah transmisi melalui air susu ibu, kontak darah atau lendir, dan
umumnya asimptomatik pada sebagian besar pasien. Penyakit terkait CMV yang simptomatik
terjadi setelah adanya reaktivasi infeksi CMV laten yang merupakan akibat dari imunosupresi
dengan gangguan pada sel T, terutama pada pasien dengan AIDS atau setelah menerima
transplantasi organ solid atau transplantasi sumsum tulang. Lebih lanjut, infeksi primer CMV
dapat terjadi pada pasien yang imunokompeten dan pasien yang menerima transplantasi
sumsum tulang yang berasal dari donor yang positif CMV.2

Pada pasien yang positif HIV, infeksi CMV timbul terutama pada pasien dengan jumlah CD4+
kurang dari 100/μl. Sejak 1996, setelah dikenalnya Highly Active Anti Retroviral Therapy
(HAART), insidensi dan prevalensi infeksi CMV telah berkurang secara signifikan. Sebagai
contoh, kejadian retinitis CMV sebagai penyakit yang identik dengan AIDS menurun dari 9%
pada tahun 1994 menjadi 2% pada tahun 1998. Pada pasien yang menerima transplantasi organ
solid atau sumsum tulang, pneumonia intersisial didiagnosis pada 15% pasien yang menerima
transplantasi sumsum tulang dan 30% pada pasien yang menerima transplantasi jantung-paru,

3
dimana hepatitis yang terkait CMV sering terjadi pada pasien yang menerima transplantasi
hepar.2

Infeksi CMV pada SSP lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan infeksi CMV lainnya,
baik pada pasien AIDS maupun pada pasien yang menerima transplantasi organ solid atau
sumsum tulang. Meskipun penelitian otopsi menunjukkan bukti bahwa infeksi SSP pada
hampir sepertiga pasien AIDS, diagnosis klinis ensefalitis CMV dilaporkan jumlahnya kurang
dari 2% dari kelainan neurologis pada pasien AIDS. Pasien yang menerima transplantasi
sumsum tulang, sekitar 6% pasisen meninggal dengan penyebab langsung kematiannya adalah
masalah neurologis, kebanyakan adalah ensefalopati metabolik, perdarahan serebral dan
infeksi oportunistik SSP. 2

VIROLOGI

CMV pada manusia adalah virus DNA rantai ganda yang dapat dijumpai dimana-mana dan
menginfeksi sebagian besar orang dalam suatu populasi. Infeksi CMV menyebabkan infeksi
litik dan infeksi laten, dan setelah penyakit terjadi, virus akan tetap ada dalam bentuk laten.
Virus CMV memiliki tempat sebaran yang luas dan menginfeksi fibroblas, sel endotelial, sel
epitel, sel otot polos, dan saraf. CMV bersifat khusus terhadap satu spesies (manusia, monyet,
mencit, marmut, dan tikus) hanya menginfeksi spesies serumpunnya. CMV marmut telah
digunakan secara intensif sebagai model untuk penyakit manusia.1

Struktur Virus

CMV terdiri atas kapsid icosahedral yang mengelilingi genom DNA rantai ganda. Kapsid
dilapisi dengan lapisan berbentuk amorf, yang mengansung protein virus yang penting dalam
terjadinya infeksi. Akhirnya, virus dibungkus oleah selubung lipid 2 lapis, yang mengandung
protein membran yang penting untuk berikatan dengan sel target. “Cytomegaly” mengacu pada
penampilan yang besar, dengan inklusi yang menonjol, merupakan tanda khas sel yang
terinfeksi CMV.1

4
Gambar 1. Struktur virus Human Cytomegalovirus
Sumber : http://www.cytomegalovirusproject.wikispaces.com

Gambar 2. Sitomegali pada sel endotel kapiler otak yang terinfeksi CMV.

Organisasi Gen

Struktur genom CMV hampir sama dengan virus herpes lainnya, dengan regio Unique Long
(UL) dan regio Unique Short (US), yang dipisahkan oleh Internal Repeats (IR). Gen dan
protein virus biasanya ditandai berdasarkan posisinya pada genom. Sehingga open reading
frames (orf) ke 83 pada US ditulis US83. Jika ini adalah glikoprotein dengan berat molekul 35,
maka ditulis dengan gp35. Penulisan lengkapnya adalah gp35 (US83).1,6

Gen CMV dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu litik dan laten. Gen litik akan diaktivasi
ketika virus berreplikasi di dalam sel, dan diekspresikan dengan cara terkoordinasi dan

5
bertahap. Awalnya, gen immediate early (IE) diekspresikan, dan mengijinkan virus untuk
mengambil alih sintesis makromolekuler. Selanjutnya, gen early (E) diekspresikan, berfungsi
untuk mereplikasi DNA virus. Akhirnya gen late (L) hadir untuk mensintesa komponen virus.
Gen laten kurang dipahami dengan baik namun ditranskripsikan menjadi transkrip RNA,
seperti yang terlihat pada transkrip yang terkait latensi pada virus herpes simpleks atau RNA
EBV yang diekspresikan oleh Epstein-Barr. Peran transkrip RNA ini belum dipahami
sepenuhnya dan perlu dipelajari secara intensif.1,6

PATOLOGI DAN PATOGENESIS

CMV menginfeksi berbagai jenis sel, terutama sel fibroblas, sel epitel dan sel endotel. CMV
dapat secara langsung merusak sel dengan replikasi litik atau masuk ke dalam status laten.
Namun, virus ini sifatnya jauh lebih fleksibel dan berinteraksi dengan sel-sel imun sedemikian
rupa sehingga memungkinkan virus untuk menghindari eliminasi olah sistem imun. Hal ini
dapat menimbulkan efek sekunder pada aktivitas imun, menyebabkan imunosupresi.1

CMV ditularkan melalui kontak dengan sekret yang terinfeksi (mengandung virus), seperti
saliva, urin, air susu, dan sekret genital atau melalui transfusi darah. Virus pertama-tama
menginfeksi sel epitel (atau sel endotel) di tempat virus masuk dan berreplikasi secara lokal.
Menarik untuk diingat bahwa CMV menginfeksi sel epitel dan sel endotel dalam cara yang
berbeda dengan menginfeksi sel fibroblas. Virus masuk ke dalam sel epitel dan sel endotel
dengan cara endositosis diikuti dengan penggabungan pH rendah, sementara virus masuk ke
dalam fibroblas dengan cara penggabungan/fusi dengan membran plasma. Sel endotel yang
terinfeksi melepaskan kemokin yang kemudian menarik lekosit, seperti sel PMN (dimana virus
akan menempel, namun tidak secara produktif menginfeksi) dan monosit. Hal ini diikuti
dengan viremia yang berhubungan dengan sel yang memperluas infeksi pada endotel. Endotel
yang terinfeksi ini menyediakan reservoir untuk menginfeksi lebih banyak lekosit di sirkulasi
dan berlanjut untuk menginfeksi sel yang memungkinkan, seperti fibroblas, pada organ besar.
Antigen virus dapat ditemukan pada semua organ besar pada manusia, termasuk otak, bahkan
pada individu yang asimptomatik. Baik sel sitomegalik maupun sel yang tampaknya normal
dapat mengekspresikan antigen CMV. Dalam dua kasus yang menyajikan penyakit CMV
sistemik berat setelah transplantasi sumsum tulang, fokus infeksi tersebar di seluruh tubuh.
Fokus infeksi bervariasi dari sel non sitomegalik yang tersebar yang positif CMV yang
bercampur menjadi lesi nekrotik milier di hampir semua organ. Hal ini menjelaskan hubungan

6
respon terhadap dosis antara jumlah virus dan derajat keparahan penyakit, dan tentu saja pasien
transplantasi dilanjutkan dengan pemeriksaan jumlah virus dalam darah dan mulai diberikan
obat anti viral ketika jumlah virus telah melebihi jumlah tertentu yang telah ditentukan. Pada
individu yang imunokompeten, infeksi sistemik ditekan oleh sistem imun. Virus tidak
dieliminasi sepenuhnya, namun memasuki fase laten.1

Sel yang terinfeksi CMV menggunakan beberapa cara untuk menghindari penghancuran oleh
sistem imun. Sel yang terinfeksi CMV dikontrol atau dieliminasi oleh sel T sitotoksik CD8+,
yang mengenali peptida antigen CMV dalam konteks molekul MHC (major histocompatibility
complex) I pada permukaan sel yang terinfeksi. Dengan demikian, satu strategi untuk
menghindari sistem imun yang digunakan oleh CMV adalah dengan menurunkan MHC I untuk
mencegah pengenalan sel yang terinfeksi CMV. Akan tetapi, sel terinfeksi yang menurunkan
MHC I di permukaan menjadi target untuk dilisiskan oleh sel NK (Natural Killer), yang dapat
mengenali dan mengeliminasi. Sel yang terinfeksi CMV berrespon terhadap hal ini dengan
mensintesis MHC I virus yang dianalogkan dengan gpUL18 dan meningkatkan jumlah molekul
MHC I non klasik HLA E, untuk mencegah hal tersebut. Hal ini juga menjelaskan sitokin yang
dikodekan oleh virus (analog IL-10) yang menekan aktivasi imun lokal.1

Latensi didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terdapat DNA virus di dalam sel yang
terinfeksi, namun tidak terjadi produksi virion. Terjadi pembatasan transkripsi beberapa gen
IE, dan penghentian sintesis protein. Tempat utama berkumpulnya virus laten adalah di dalam
sel progenitor mieloid, termasuk sel punca (stem cell) pluripoten CD34+ dan monosit CD 14+,
yang merupakan prekursor makrofag, sel dendritik, dan granulosit. Organ berparenkim juga
dapat mengandung virus, sebagaimana organ yang ditransplantasikan dari individu yang
seropositif, namun sebaliknya donor yang sehat juga dapat menularkan virus. Meskipun orang
dapat berargumentasi bahwa ini dapat disebabkan oleh sel darah putih donor yang tertinggal,
hal ini tidak dapat menjelaskan mengapa organ yang ditransplantasi mempunyai risiko yang
sangat tinggi untuk infeksi CMV.1

Genom virus bertahan dalam sirkulasi selama fase laten. Ketika monosit yang terinfeksi secara
laten dan sel punca yang pluripoten tersimpan di dalam jaringan sistemik, kemudian akan
berdiferensiasi menjadi sel dendritik dan makrofag, kemudian infeksi akan berubah menjadi
infeksi litik. Sitolisis ini merupakan bagian yang besar, namun bukan awal cerita dari infeksi
CMV.1

7
CMV seringkali mengalami reaktivasi yang asimptomatik pada individu normal, dimana dapat
virus terdeteksi di dalam darah, urin, saliva, semen, dan sekret genital. Infeksi CMV muncul
dalam kondisi laten namun yang terjadi masih mungkin kondisi tingkat rendah yang persisten
terjadi bersamaan, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antigen IE pada otopsi terhadap
korban trauma yang sehat, tanpa adanya peradangan, antigen L CMV, atau sel sitomegali.
Reaktivasi virus CMV juga terjadi pada individu yang mengalami imunosupresi berkaitan
dengan transplantasi organ padat, transplantasi sel punca, dan pasien AIDS, dimana dua kondisi
terakhir memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadi reaktivasi, dan berlanjut menjadi
penyakit organ target yang berat. Pemicu spesifik pada pasien transplantasi yang seropositif
CMV termasuk iradiasi seluruh tubuh, kemoterapi sitotoksik, dan serum antilimfosit.
Tranplantasi alogenik juga menyebabkan reaktivasi CMV, seperti ditunjukkan pada model
mencit dan pada analisis retrospektif terhadap pasien transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang antar kembar alogenik mengalami pneumonitis CMV pada 20%
pasangan, namun tidak terjadi pada pasangan kembar identik singenik. Stresor lain yang diduga
menjadi penyebab reaktivasi CMV termasuk penyakit yang membutuhkan perawatan di ICU,
hipersensitif terhadap fenitoin, dan astronot.1

INFEKSI CMV PADA SISTEM SARAF PASIEN DEWASA – ENSEFALITIS

Pasien Imunokompeten

Ensefalitis CMV sangat jarang terjadi pada populasi normal bahkan jarang terjadi pada
individu yang mengalami imunosupresi. Pada sebagian besar kasus, gejala klinis yang tampak
adalah ensefalopati dengan demam yang tidak spesifik, namun defisit neurologi fokal, letargi
dan kejang cukup sering terjadi. Gambaran klinis ensefalitis CMV dapat mirip pada pasien
yang imunokompeten dan pasien yang immunocompromise, namun penyakitnya cenderung
lebih lama dan lebih berat pada individu yang immunocompromise. Pada individu normal,
ensefalitis CMV biasanya merupakan infeksi primer. Pada individu yang immunocompromise,
lebih sering merupakan reaktivasi CMV.1,3,5

Pada individu normal, penyakit dimulai dengan nyeri kepala, demam, konfusi, letargi,
kelemahan fokal, dan kejang, seringkali berkembang dari kondisi demam non spesifik.
Keluaran penyakit ini sangat bervariasi. Beberapa pasien dapat kembali bekerja, sementara
yang lainnya mengalami disabilitas berat, bahkan meninggal.1,3,5

8
Meskipun sebagian besar kasus ensefalitis CMV pada individu yang intak bersifat tidak
spesifik, gambaran klinis berupa sindrom mungkin terjadi, seperti sindroma lobus temporal
pada ensefalitis herpes simpleks. Sehubungan dengan itu, ada sebuah laporan yang menarik
tentang adanya defisit neurologis paroksismal, dimana timbul defisit neurologis fokal yang
membaik setelah beberapa jam, dan kemudian berulang beberapa kali setelah beberapa minggu.
Dalam sebuah kasus, pasien mengalami penyakit yang menyerupai flu yang seminggu
kemudian diikuti dengan parestesia pada sisi tubuh sebelah kiri, yang membaik satu jam
kemudian seiring dengan terjadinya nyeri kepala berdenyut. Beberapa hari kemudian, pasien
mengalami parestesi pada sisi tubuh sebelah kiri yang membaik dalam waktu setengah jam,
dan kemudian diikuti nyeri kepala lagi. Beberapa hari kemudian pasien mengalami gejala pada
sisi tubuh sebelah kanan disertai disfasia, yang lagi-lagi membaik seiring dengan terjadinya
nyeri kepala. Hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien normal, termasuk MRI otak,
angiografi, dan single photon emission computed tomography scan (SPECT). Pemeriksaan
PCR LCS menunjukkan hasil positif DNA CMV. Kemiripannya dengan migran klasik
(migrain dengan aura) sulit untuk dibedakan dan juga telah terjadi pada ensefalitis EBV. Bahwa
sindrom telah dijelaskan oleh beberapa kelompok yang independen, semakin menguatkan ciri
khas ensefaliis CMV. Gambaran klinis lain yang tidak biasa adalah mioklonus opsoklonus,
yang membaik setelah pemberian Ganciclovir, Kortikosteroid, dan Imunoglobulin.1

Mengingat langkanya kasus ensefalitis pada individu normal, maka hanya sedikit data
patologis yang tersedia. Dua contoh biopsi otak dari individu normal menunjukkan astrositosis
dan mikrogliosis (“rod cell proliferation”) namun sedikit infiltrasi perivaskuler. Dengan
demikian, pada individu normal, tampak bahwa sebagian besar kasus ensefalitis CMV terdapat
nodul mikroglia yang tersebar. Penting untuk diingat bahwa hal ini berdasarkan data yang
sangat terbatas (dan sangat mungkin terjadi bias). Di lain pihak, proses patologi ini sangat
mirip dengan yang terdapat pada model marmut dengan ensefalitis CMV, dimana tampak nodul
mikroglia yang tersebar dan beberapa infiltrasi perivaskuler. Nodul-nodul glia ini dibentuk
sebagian besar oleh mikroglia dan makrofag, dan sangat sedikit sel T, baik pada leptomeningen
dan parenkim. Hal ini sangat kontras dengan bentuk ensefalitis viral yang terbanyak, dimana
sel T sangat banyak ditemui.1

Efek pengobatan antiviral terhadap ensfalitis CMV pada individu normal masih belum jelas.
Dua kasus ensefalitis CMV diterapi dengan Vidarabine, satu pasien diterapi dengan Acyclovir,
dan seorang pasien ensefalitis dengan keterlibatan beberapa organ diterapi dengan Acyclovir.
Semuanya mengalami penyembuhan total. Sebuah penelitian terhadap 19 pasien ensefalitis

9
CMV yang imunokompeten, 6 orang menerima terapi Ganciclovir, 2 orang menerima terapi
Acyclovir, 1 orang menerima Valgancyclovir, dan 10 pasien tidak mendapatkan terapi
antiviral. Semua pasien dapat bertahan, meskipun tidak ada penjelasan mengenai derajat
kesembuhannya.1

Ensefalitis CMV yang berhubungan dengan AIDS

Pada pasien dengan penyakit HIV lanjut, ensefalitis CMV tidak jarang dijumpai. Dari 676
kasus (1965-1995), 574 kasus (85%) berhubungan dengan HIV, 81 kasus (12%) berhubungan
dengan bentuk imunosupresi lain, dan 21 kasus (3%) adalah individu yang imunokompeten.
Ada beberapa gambaran, dua diantaranya berbeda dan oleh karena itu menarik.1

Pada awal epidemik HIV, pasien diketahui mengalami perilaku yang melambat, menarik diri
dari lingkungan sosial, afek datar, tremor, dan kekakuan, sindrom yang kemudian dikenal
sebagai demensia HIV. CMV seringkali ditemukan pada otopsi otak, dan diperkirakan bahwa
pasien dengan demensia HIV faktanya disebabkan oleh ensefalitis CMV. Perbandingan pada
14 pasien ensefalitis CMV dan 17 pasien demensia HIV sebagai kontrol, ditemukan bahwa
kasus CMV relatif lebih konfusi, disorientasi, apatis, menarik diri, defisit neurologis fokal lebih
menonjol dan tanda primitif relatif lebih sedikit. Lebih jauh lagi, hubungan klinikopatologis
yang ditunjukkan menjadi sulit dengan adanya penyakit otak lain. Bahkan, pada pasien yang
sakit berat, otopsi dapat membuktikan ensefalitis CMV yang tidak terduga. Sangat mungkin
patologi yang serupa untuk menimbulkan gambaran klinis penyakit yang lain. Dalam sebuah 7
kasus serial dengan data klinis yang tersedia, nodul mikroglial ensefalitis ditemukan pada
semua kasus; dua pasien memiliki fungsi kognitif yang normal sementara 7 pasien lainnya
mengalami demensia. Satu pasien yang mengalami letargi progresif, konfusi, dan memori yang
buruk meninggal setelah beberapa bulan; otopsi membuktikan nodul mikroglia murni
ensefalitis CMV. Sejumlah kecil nodul mikroglia dan sel sitomegali tampaknya tidak akan
menimbulkan gejala. Namun, ensefalitis CMV mikroglia adalah penyakit yang secara klinis
subakut, dan demensia yang progresif.1

Ventrikuloensefalitis CMV adalah sindrom dengan penurunan fungsi kognitif progresif,


kelumpuhan nervus kranialis, dan keterlibatan ependim yang menonjol terjadi pada pasien
AIDS. Penyakit dimulai dengan perilaku yang melambat, apatis, dan disorientasi dan berlanjut
menjadi defisit nervi kraniales dengan kelumpuhan nervus fasialis, nistagmus, dan
dysconjugate gaze. Pasien-pasien ini cenderung memiliki signal periventrikel yang abnormal
pada gambaran MRI, dengan penyangatan dan atrofi. LCS menunjukkan gambaran yang tidak

10
biasa, dengan pleositosis netrofil dan hipoglikorakasia yang sangat menyolok. Pernah dijumpai
seorang pasien ensefalitis CMV dengan kadar glukosa LCS 0. Karena meragukan, tes diulang,
dan hasilnya kadar glukosa LCS tetap 0. Pasien-pasien tersebut juga mengalami kesulitan
dalam regulasi metabolisme natrium, dengan lebih dari 80% mengalami hipo/hipernatremia.
Tidak diketahui apakah hal ini disebabkan oleh keterlibatan adrenal, keterlibatan diensefalon,
ataukah keduanya. Adrenalitis CMV sering terjadi pada pasien ensefalitis CMV dan pada
otopsi dijumpai sebanyak 26 kasus dari 29 kasus. Sebelum masa cART (combined anti
retroviral therapy), prognosisnya buruk, meskipun dengan terapi antiviral seperti Ganciclovir
dan Foscarnet. Pasien yang diterapi dengan Ganciclovir yang diselang seling dengan Foscarnet
sementara mengalami fase stabil namun meninggal 8 bulan kemudian. Dalam sebuah ilustrasi
yang gamblang mengenai inefikasi relatif Ganciclovir dalam beberapa kasus, 5 pasien
mengalami ensefalitis CMV ketika sedang mendapat terapi Ganciclovir karena retinitis CMV.1

Pada masa terapi cART, dengan imunitas selular yang terjaga dengan baik atau mengalami
rekonstitusi, karakter penyakit dapat berubah. Dalam penelitian terhadap 31 pasien ensefalitis
CMV terkait HIV, kombinasi terapi Ganciclovir (5 mg/kgBB 2 kali sehari selama 3 minggu,
kemudian sekali sehari setelahnya) dan Foscarnet (90 mg.kgBB 2 kali sehari selama 3 minggu,
kemudian sekali sehari setelahnya) digunakan dalam cara label terbuka. Terapi yang ditemukan
tampaknya bersifat lebih toksik, meskipun terdapat efikasi jangka pendek. Rata-rata pasien
dapat bertahan selama 3 bulan. Salah satu hal yang menarik, 2 yang pasien mulai dilibatkan
dalam penelitian ketika cART tersedia dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun kemudian
dengan menggunakan cART tanpa satupun antiviral CMV. Kasus ensefalitis CMV lain yang
dapat bertahan dalam jangka waktu lama dengan menggunakan cART tanpa antiviral CMV
telah dilaporkan.1

Sebuah patogenesis novel ensefalitis CMV pada masa cART adalah munculnya penyakit
selama rekonstitusi imun. Seorang wanita, 38 tahun yang didiagnosis infeksi oportunistik yang
berhubungan dengan AIDS mulai menggunakan cART 2 bulan kemudian. Ia mengalami nyeri
kepala berat. Jumlah CD4 pada awal adalah 42 sel/mm3 dan jumlah virus HIV 95000 kopi/mL.
Selama masa nyeri kepala yang bertambah, jumlah CD4 meningkat menjadi 159 sel/mm3 dan
jumlah HIV menjadi tidak terdeteksi. MRI menunjukkan gambaran ventrikulitis yang khas dan
analisa LCS menunjukkan pleositosis dengan netrofil sebanyak 44% dan hipoglikorakhia
sedang. Ia mulai terapi menggunakan Ganciclovir dan dilanjutkan dengan Foscarnet. Akhirnya
terjadi pemulihan total dengan perbaikan abnormalitas. Ia dalam kondisi baik 16 bulan setelah
terapi anti CMV dihentikan.1

11
Hal ini tampaknya menjadi sebuah contoh Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome
(IRIS), yang timbul sehubungan dengan ensefalitis CMV. IRIS adalah sebuah fenomena pada
sistem imun yang tersupresi dibebaskan dari penghambatnya dengan pemulihan kekebalan dan
mengakibatkan terjadinya rebound inflamasi yang tidak tepat, yang dapat merusak organ
target. Pemulihan kekebalan tubuh ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah CD4 dan
menurunnya jumlah HIV di dalam darah. IRIS biasanya ditunjukkan dengan adanya antigen
spesifik dan IRIS dapat dihubungkan dengan Mycobacteria, Cryptococcus, CMV, dan virus
lainnya.1

Ensefalitis CMV pada Pasien Transplantasi dan Kemoterapi

Ensefalitis CMV merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada pasien transplantasi dan
kemoterapi, karena beberapa pasien diawasi secara ketat untuk infeksi sistemik CMV dan
diberikan terapi profilaksis atau preemptif. Pada literatur jaman dahulu, banyak pasien
mengalami ensefalopati dan ensefalitis mikroglial difus, sebuah penanda prognosis yang buruk.
Laporan ini menekankan pada gambaran patologis yang bervariasi pada otopsi otak, namun
pada sel yang secara jelas teridentifikasi adanya inklusi mirip herpes, hampir pasti CMV.1

Beberapa kasus ventrikuloensefalitis telah dijelaskan dalam literatur transplantasi. Beberapa


diantaranya disebabkan oleh turunan CMV yang resisten terhadap beberapa obat anti CMV
yang sering digunakan. Beberapa kasus ventrikuloensefalitis CMV onset lambat yang
berhubungan dengan transplantasi sel punca (stem cell) telah dilaporkan, sehingga hal ini tetap
menjadi kemungkinan diagnostik, khususnya pada pasien dengan terapi imunosupresi jangka
panjang.1

Ensefalitis CMV pada Imunodefisisensi Bentuk Lain

CMV merupakan komplikasi yang jarang pada pasien imunosupresi yang kurang jelas. Telah
dilaporkan sebuah kasus yang menarik, pasien sindrom Good (thymoma dan
hipogamaglobulinemia) dengan mioklonus, yang berhubungan dengan ensefalitis CMV. Pada
usia 64 tahun, pasien mengalami bangkitan mioklonus pada lengan kiri, berkembang ke kedua
lengan dan tungkai dalam beberapa bulan, dengan kesadaran normal. Episode mioklonus
meningkat frekuensinya dan menjadi berkelanjutan. Pemeriksaan penunjang memberikan hasil
tidak spesifik, sampai pasien menderita retinitis CMV. Pada pemeriksaan LCS dan serum
dijumpai jumlah virus CMV yang tinggi dan dimulai pemberian terapi Ganciclovir dan
Imunoglobulin. Perekaman elektroensefalografi (EEG) berkelanjutan dan elektomiografi
(EMG) menunjukkan aktivitas periodik yang berkelanjutan pada kedua otot. Imunodefisiensi

12
pasien berlanjut, dan pasien meninggal karena infeksi oportunistik. Kasus lain mengenai
ensefalitis CMV pada sindroma Good, mengalami konfusi yang progresif (diperkirakan
disebabkan oleh pseudodemensia depresif) dengan episode vertigo, vomitus dan diplopia. Hal
ini membutuhkan pemeriksaan neurologis segera. Terdapat gambaran abnormal di serebelum
dan periventrikuler. Dimulai pemberian Aciclovir dan Imunoglobulin intravena. Pada
pemeriksaan PCR LCS, hasilnya positif CMV. Progresifitas penyakitnya berlanjut, dan pasien
meninggal meskipun terapi telah diganti dengan Foscarnet. Otopsi menunjukkan
ventrikuloensefalitis difus dengan sitomegali.1

Telah dilaporkan sebuah kasus menarik ensefalitis CMV pada pasien penyakit Hodgkin. Pasien
berhasil diterapi dengan enam siklus kemoterapi yang dilanjutkan dengan terapi radiasi, diikuti
dengan nyeri kepala dan rasa tebal yang hilang timbul pada tungkai kiri, dan berkembang
menjadi somnolen. Hasil pemeriksaan menunjukkan retinitis CMV. CMV ditemukan di dalam
darah dan LCS. MRI menunjukkan gambaran lesi yang tersebar di substansia alba serebelum,
ganglia basalis dan batang otak. Pasien tersebut diterapi dengan Foscarnet (200 mg/kgBB/hari),
Ganciclovir (10 mg/kgBB/hari) dan imunoglobulin CMV. Pasien mengalami pemulihan yang
baik, bertahan seidaknya selama 1 tahun, setelah masa yang berat.1

DIAGNOSIS

Diagnosis ensefalitis CMV ditegakkan berdasarkan adanya gambaran klinis yang sesuai dan
adanya gambaran CMV dalam analisa LCS. Hal ini telah divalidasi pada populasi HIV, dan
umumnya digunakan pada pasien immunocompromise lain seperti pasien yang menjalani
transplantasi. Pada populasi AIDS, jumlah virus pad LCS berhubungan dengan tingkat
keparahan ensefalitis. Pada pasien yang dalam kondisi kritis, penting untuk
mempertimbangkan kemungkinan diagnosis lain seperti kejang, ensefalopati sepsis, dan efek
terapi seperti Cyclosporine. Metode uji serologi, seperti peningkatan titer antibodi CMV, tidak
bermanfaat.6

Gambaran Klinis

Karena kemungkinan lesi serebral CMV (khususnya ensefalitis nodul mikroglia dan
ventrikuloensefalitis) memiliki riwayat yang berbeda, maka sebaiknya dihubungkan antara
temuan klinis dan temuan patologis. Meskipun demikian, beberapa laporan telah menjelaskan

13
temuan klinis yang berhubungan dengan sel sitomegali yang terisolasi, nodul mikroglia, atau
nekrosis parenkim fokal. 7

Gambaran klinis ensefalitis CMV didominasi oleh konfusi (bingung/disorientasi) dan letargi,
dan perjalanan penyakitnya relatif cepat dengan progresifitas subakut menjadi koma dan
meninggal. Selain itu, pasien ensefalitis CMV juga menunjukkan gambaran klinis defisit
neurologis berupa nistagmus, ataxia, kelumpuhan nervi kraniales unilateral atau bilateral,
biasanya melibatkan nervus okulomotor (N. III) atau nervus fasialis (N. VII), yang merupakan
defisit neurologis yang paling sering terjadi.7

Pada awalnya gambaran klinis ensefalitis CMV sulit dibedakan dengan demensia HIV,
dikarenakan pada keduanya terdapat gangguan kesadaran. Namun sebuah penelitian yang
membandingkan 2 kelompok, yaitu kelompok ensefalitis CMV (14 pasien) dan kelompok
demensia HIV (17 pasien). Beberapa defisit neurologis seperti gangguan memori, kemunduran
psikomotor, dan gangguan atensi hampir sama di kedua kelompok. Namun, konfusi dan
disorientasi, apatis dan menarik diri, kelumpuhan nervi kraniales, dan abnormalitas elektrolit
serum lebih banyak terjadi pada kelompok ensefalitis CMV.7

Tabel 1. Gambaran klinis ensefalitis CMV

Gambaran Klinis Jumlah Pasien (%)


Nistagmus 11 (34)
Kelemahan tungkai 8 (25)
Kejang 8 (25)
Ataksia 6 (19)
Nyeri kepala 4 (12)
Vertigo 3 (9)
Demensia 3 (11)
Berdasarkan penelitian otopsi pada 32 pasien dengan ventrikuloensefalitis, tanpa riwayat
proses neuropatologis yang melibatka otak selain ensefalopati HIV.7

Pemeriksaan Cairan Serebro Spinal (CSS – Liquor Cerebro Spinal/LCS)

Analisa LCS pasien infeksi CMV menunjukkan hasil yang tidak spesifik. Yaitu dapat dijumpai
protein yang meningkat dan kadar glukosa yang sedikit menurun.8 Pada analisa LCS pasien

14
dengan ventrikuloensefalitis CMV diperoleh hasil kadar lekosit dan protein yang rendah,
dengan predominan sel mononuklear.7

LCS pada infeksi CMV pada masa pra-AIDS seringkali tidak terdeteksi, dengan pleositosis
minor (seringkali kurang dari 100 sel/μL) dan peningkatan protein. Pada pasien dengan mielitis
CMV, pleositosis awal 202 sel/ μL (dengan 8% netrofil) menurun menjadi 6 sel/ μL seminggu
kemudian. Deteksi CMV di dalam LCS merupakan bukti kuat untuk diagnosis ensefalitis CMV
dan tentunya, ini digunakan untuk mendiagnosis ensefalitis CMV pada individu normal sejak
awal 1990an.1

Pada pasien AIDS, analisa LCS lebih bervariasi dan pleositosis pada LCS bervariasi dari 25
sampai 3179 sel/ μL. Kebanyakan sel adalah netrofil. Tidak didapatkan pleositosis pada analisa
LCS pasien dengan ensefalitis nodul mikroglia. Proporsi tambahan kasus ventrikuloensefalitis
terdapat pleositosis. Jumlah virus yang lebih tinggi di dalam LCS berhubungan dengan
penyakit di ependim, dan hanya pada kasus ventrikulitis yang memiliki jumlah virus lebih dari
103 genom/μL LCS. Beberapa penelitian menunjukkan deteksi CMV di dalam LCS sangat
sensitif dan spesifik untuk ensefalitis CMV.1

Kuantitas CMV dalam sel yang diketahui dengan pemeriksaan PCR berhubungan dengan
gambaran penyakit. Pada pasien yang terbukti ensefalitis CMV melalui otopsi, jumlah genom
dalam sel LCS tinggi, pada pasien AIDS tanpa ensefalitis CMV jumlah genom dalam sel LCS
rendah, dan pada pasien negatif HIV juga rendah, tanpa adanya tumpang tindih diantaranya.
Metode deteksi PCR yang sangat sensitif menemukan jumlah virus yang tinggi di dalam LCS
pada ensefalitis CMV, satu tingkat lebih rendah pada pasien positif HIV tanpa ensefalitis CMV
dan 3 tingkat lebih rendah pada pasien negatif HIV. Sangat sering terjadi CMV yang terdeteksi
pada pasien tanpa CMV menggambarkan virus yang laten daripada virus yang berreplikasi.
Hal ini selanjutnya semakin menambah sensitifitas dan spesifisitas deteksi virus dengan PCR
pada LCS. Yang menarik, ditunjukkan jumlah virus CMV dalam LCS lebih tinggi pada
poliradikulopati dibandingkan ensefalitis.1

Pemeriksaan Imaging

Tidak ada gambaran imaging yang khas pada ensefalitis CMV, meskipun sebagian besar
pemeriksaan imaging otak menunjukkan hasil abnormal, seringkali disebabkan oleh penyakit
penyerta pada sebagian besar pasien.1

15
− Computed Tomography Scan (CT Scan)
Hasil CT scan dapat normal, atau hanya menunjukkan gambaran atrofi serebri difus,
pembesaran ventrikel, maupun penyangatan periventrikel.7 Pada penelitian terhadap 10
CT scan otak pasien ensefalitis CMV yang dikonfirmasi pada saat otopsi, seluruhnya
menunjukkan gambaran abnormal, namun hanya tiga diantaranya menunjukkan gambaran
yang mendukung CMV. Abnormalitas yang dijumpai pada otopsi melebihi abnormalitas
pada CT scan. Dapat terlihat pula lesi bentuk lain.1
− Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI lebih sensitif, namun dapat juga menunjukkan hasil yang normal atau
hanya menunjukkan atrofi non spesifik difus. Bentuk ventrikulitis menunjukkan gambaran
abnormal di ependim . Atrofi menyeluruh dan ventrikulomegali seringkali terlihat,
meskipun kurang spesifik.1

Gambar 3. gambaran MRI: temuan spektrum yang merupakan gambaran khusus


ensefalitis cytomegalovirus.
A: potongan axial, FLAIR (kiri) menunjukkan fokus gambaran abnormal T2 di lapisan dalam
serebral dan substansia alba periventrikel. T1 axial dengan gadolinium (kanan) menunjukkan
penyangatan yang tidak terlalu terlihat di ependim pada genu ventrikel lateral.

16
B: rangkaian diffusion weighted (kiri dan tengah) menunjukkan ependim yang menebal, yang
terbatas pada genu dan kornu posterior. Pada FLAIR potongan axial (kanan) menunjukkan
gambaran abnormalitas T2 yang sesuai. Terdapat pelebaran ventrikel.
C: DWI (kiri) menunjukkan adanya penebalan ependim. FLAIR potongan axial (tengah)
menunjukkan penebalan ependim dengan gambaran abnormalitas T2 periventrikel yang luas.
T1 potongan axial dengan gadolinium (kiri) menunjukkan penyangatan ependim yang abnormal
di sekitar kornu anterior dan genu ventrikel lateral kiri. Tampak pelebaran ventrikel.

Gambar 4. Gambaran MRI pada pasien dengan ventrikulitis CMV.


A. Penyangatan ependim (tanda panah) setelah injeksi gadolinium – DTPA, tampak
pada potongan koronal T1-weighted. B. Tanda abnormalitas ependimal (tanda panah) pada
potongan aksial otak pada proton density-weighted

Kultur Virus
Dengan sedikit pengecualian, pada pasien ensefalitis CMV yang terkait AIDS, pemeriksaan
kultur virus dari LCS memberikan hasil negatif. Beberapa bukti menunjukkan adanya
hubungan antara jumlah sel berinti dalam LCS dengan kemampuan virus untuk pulih sehingga
terjadi reaktivasi.7
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR telah menjadi metode penting untuk mengenali terjadinya ensefalitis CMV sebelum
pasien meninggal.7
Sebuah ‘jebakan’ yang potensial pada PCR sebagai tes diagnostik untuk ensefalitis CMV
adalah terlalu sensitif, sehingga dapat mendeteksi ensefalitis CMV pada pasien yang gambaran

17
klinisnya tidak signifikan. Sebuah penelitian merekomendasikan bahwa kadar DNA CMV
yang tinggi dalam LCS sebagai marker bagi pasien yang gambaran klinisnya signifikan sebagai
ensefalitis CMV. Arribas dan kawan-kawan menemukan bahwa pasien dengan
ventrikuloensefalitis, radikulomielitis, atau keduanya memiliki kadar DNA CMV yang tinggi
dalam LCS (sekitar 106 genom per 8 μl LCS). Senada dengan itu, Cinque dan kawan-kawan
menemukan bahwa pasien dengan lesi yang tidak terlalu berat memiliki kadar DNA CMV yang
lebih rendah. Arribas dan kawan-kawan menyebutkan bahwa makna dari kadar DNA CMV
yang rendah dalam LCS masih belum diketahui.7
Metode Lain
Metode lain yang disebutkan potensial untuk bermanfaat dalam mendiagnosis ensefalitis CMV
adalah deteksi antigen pp65 dalam lekosit LCS, peningkatan rasio antibodi CMV dalam LCS
dan serum, dan hibridisasi in situ lekosit LCS.7
Elektroensefalografi (EEG)
Terdapat kurangnya data mengenai pemeriksaan EEG pada pasien ensefelitis CMV. Pada satu
pasien dengan nyeri kepala dan letargi terdapat gambaran perlambatan pada regio temporal.
Pada pasien ensefalopati dengan kejang yang dilakukan EEG serial menunjukkan perubahan
dari perlambatan difus menjadi perubahan pada hemisfer kiri dan gelombang paku (spike) di
temporal kanan.1

TERAPI

Terapi ensefalitis CMV dapat menjadi sulit, dengan adanya masalah kombinasi optimal dan
penentuan dosis obat-obatan yang bersifat toksik, penetrasi ke dalam SSP, dan resistensi virus
yang masih harus diperjelas.1

Ganciclovir, Foscarnet, dan Cidovovir

Obat antiviral utama yang digunakan dalam mengobati penyakit CMV adalah Ganciclovir,
Foscarnet, dan Cidovovir. Obat-obat ini telah diteliti dalam penelitian klinis pada transplantasi
dan retinitis CMV, namun tidak pada penyakit neurologis. Seringkali ensefalitis CMV yang
berhubungan dengan AIDS tidak disebabkan oleh virus yang resisten, tidak seperti penyakit
yang berhubungan dengan transplantasi, kemungkinan karena pada kelompok kedua diberikan
profilaksis atau terapi preemptif jangka panjang. Pada masa sebelum cART, nilai tengah
bertahannya pasien adalah 42 hari, baik yang diterapi dengan Ganciclovir atau Foscarnet, atau

18
tanpa terapi. Ketika digunakan kombinasi ganciclovir dan foscarnet, rerata waktu bertahan
hidup pasien meningkat menjadi 94 hari.1

Derajat penetrasi obat ke dalam SSP belum diketahui, namun tampaknya kira-kira setara antara
foscarnet dan ganciclovir. Cidofovir tidak dapat penetrasi ke dalam SSP dengan baik, dan tidak
direkomendasikan oleh panduan Infectious Diseases Society of America.1

Kedua obat memiliki toksisitas yang signifikan. Ganciclovir dapat menyebabkan netropenia
dan hitung jenis darah harus diawasi, khususnya sejak banyak pasien menerima terapi lain yang
juga dapat bersifat toksik terhadap sumsum tulang. Foscarnet dapat bersifat nefrotoksik.1

Risestensi terhadap obat anti CMV tampaknya muncul seiring dengan penggunaan obat jangka
panjang. Pada masa sebelum cART, kejadian resistensi terhadap ganciclovir sebanyak 8%
pasien setelah 3 bulan, 11% setelah 6 bulan dan 27,5% setelah 9 bulan terapi. Setelah masa
cART, kejadian resistensi sangat jarang dijumpai dan umumnya terjadi pada pasien yang tidak
patuh dalam terapi antiretroviral.1

ENSEFALITIS DAN ATEROSKLEROSIS

Baik replikasi CMV itu sendiri dan respon imun melawan CMV dapat mendorong terjadinya
perubahan pada sel endotelial yang berhubungan dengan pertumbuhan abnormal dan
patogenesis aterosklerosis. Sekretom dari sel endotelial yang terinfeksi CMV mengandung
faktor pro-angiogenik, termasuk IL-6 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor
(GM-CSF). Interleukin-6 menginduksi ekspresi survivin, kemokin yang mendukung sel
endotelial untuk bertahan dan membentuk pertumbuhan abnormal endotelium vaskuler.
Interleukin-8 (IL-8), kemokin yang diproduksi oleh sel endotelial yang terinfeksi CMV,
menarik netrofil, yang diperkirakan menjadi perantara dalam kerusakan sel endotelial, untuk
memulai siklus kerusakan sel, kematian sel, dan pertumbuhan sel. Sel imun yang berrespon
terhadap infeksi CMV dapat secara independen mengaktifkan kaskade, yang berakibat pada
perusakan sel endotelial dan memperberat efek sekretom CMV. Ketika sel mononuklear darah
tepi (peripheral blood mononuclear cells/PBMC) dari individu dengan respon sel T anti CMV
yang kuat diinkubasi dengan antigen CMV, IFN-γ dan tumor necroting factor (TNF)
dilepaskan dari sel T spesifik CMV yang distimulasi oleh destruksi sel endotelial dengan
produksi kemokin Fractalkine (CX3CL1), RANTES, dan protein inflamasi makrofag 1 α
(macrophage inflammatory protein-1-α/MIP-1α). Sementara RANTES dan MIP-1α mungkin

19
mempertahankan inflamasi in vivo dengan mengumpulkan lekosit, fractalkine tampaknya
menjadi mediator kunci dalam proses netralisasi yang hampir sepenuhnya menghentikan
kerusakan sel endotelial. Studi yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan hubungan antara
ketebalan tunika intima dan tunika media arteri karotis dengan frekuensi sel T CD4+ yang
menghasilkan reseptor fractalkine. Bagian dari sel T ini terpusat pada dinding arteri koroner,
menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar, dan sebagian besar terdiri atas sel T
CD4+ spesifik CMV. Sehubungan dengan temuan ini, penebalan dinding arterial yang
berhubungan dengan infeksi CMV dapat masuk akal melibatkan efek langsung dari replikasi
CMV, replikasi CMV dengan konsekuensi aktivasi sel imun, atau bahkan infeksi CMV laten
dan aktivasi imun residual dengan peningkatan kadar IFN-γ dan IL-6. Dengan demikian,
hubungan antara CMV dan aterosklerosis dapat menggambarkan konstelasi kompleks dari
virus, imunologis, dan gangguan interaktif, memuncak dalam pertumbuhan siklik, kerusakan,
dan perbaikan sel endotelial. Kolaborasi imuno-viral serupa juga dapat mendasari peningkatan
kadar agen proinflamasi yang menghubungkan infeksi CMV dengan penyakit lain.6

ENSEFALITIS DAN VASKULITIS

Spektrum penyakit SSP yang disebabkan oleh CMV sangat bervariasi. Infeksi CMV pada
sistem saraf tidak selalu membangkitkan respon inflamasi, dan badan inklusi CMV yang
diisolasi mungkin merupakan satu-satunya abnormalitas temuan patologis. Sementara nodul
mikroglia sering ditemukan pada infeksi CMV pada SSP, dan abnormalitas yang lebih berat
juga dapat terlihat, misalnya nekrosis ependim, plexitis choroid, demyelinasi otak dan medula
spinalis, radikulomielitis, meningoensefalitis, hidrosefalus obstruktifus, dan vaskulitis frank.
Sekali lagi, pasien yang immunocompromise lebih berrisiko untuk terserang komplikasi infeksi
CMV, dimana sampai dengan 30% pasien AIDS yang diotopsi menunjukkan bukti adanya
ensefalitis CMV.8

Vaskulitis SSP yang disebabkan oleh infeksi CMV tercatat telah terjadi pada pasien AIDS,
meskipun secara keseluruhan insidensinya rendah, bervariasi antara 2% - 13% dari spesimen
yang diotopsi. Pemeriksaan post mortem menunjukkan badan inklusi CMV dan nekrosis
fibrinoid pada pembuluh darah meningeal pada pasien dengan ensefalitis dan meningitis.
Vaskulitis juga terjadi pada pembuluh darah otak dan medula spinalis ekstra dura,
menghasilkan lesi neksrosis subpial diserta perdarahan dan edema aksonal. Temuan tersebut

20
tidak terbatas pada pasien yang terinfeksi HIV. Sebuah kasus vaskulitis CMV berat yang
menyebabkan infark luas pada otak dan medula spinalis telah ditunjukkan pada pasien yang
awalnya didiagnosis limfoma. Pasien tersebut mengalami arteritis oklusif yang dramatis,
mencakup gray matter dan white matter.8

Gambar 5. Vaskulitis pada pembuluh darah pulmo dengan dinding pembuluh darah
yang mengalami nekrosis, badan inklusi CMV (panah besar), dan infiltrasi netrofil
(panah kecil).

Sebagai kesimpulan, infeksi CMV pada sel endotel pembuluh darah di SSP dapat menyebabkan
vaskulitis dan defisit neurologis yang bervariasi. Beberapa mekanisme telah dirumuskan untuk
menjelaskan jejas pada SSP yang disebabkan oleh CMV, termasuk efek sitopatik virus
langsung, mediator inflamasi seperti tumor necroting factor (TNF), membahayakan pembuluh
darah, dan membuat jaringan parut pada astroglia.8

Mengingat manifestasi klinis yang beragam dan kemungkinan terjadinya beberapa infeksi
secara bersamaan pada pasien AIDS, perlu adanya kecurigaan tinggi terhadap adanya infeksi
CMV pada vaskulitis umum dan vaskulitis yang terkait virus khususnya terhadap semua pasien
imunosupresi, meskipun dengan gambaran imaging dan analisa LCS yang normal.8

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Tselis AC. Cytomegalovirus infections of the adult human nervous system. In: Tselis Ac,
Booss J, editors. Handbook of Clinical Neurology, Neurovirology. Detroit: Elsevier BV;
2014.
2. Maschke M, Kastrup O, Diener HC. CNS Manifestations of Cytomegalovirus Infections
Diagnosis andd Treatment. CNS Drugs. 2002; 16(5): 303-15
3. Proesch S, Schielke E, Reip A, Meisel H, Volk HD, Einhaepul KM, et al. Human
Cytomegalovirus (HCMV) Encephalitis in an Immunocompetent Young Person and
Diagnostic Reliability of HCMV DNA PCR Using Cerebrospinal Fluid of
Nonimmunosuppresed Patients. Journal of Clinical Microbiology. 1998; 36: 3636-40
4. Anonym. Cytomegalovirus. Available from: http://www.emedicine.medscape.com
5. Jain M, Duggal S, Chugh TD. Cytomegalovirus infection in non-immunosupressed
critically ill patients. J Infect Dev Ctries. 2011; 5(8): 571-9
6. Tselis A. Epstein-Barr Virus and Cytomegalovirus Infections. In: Jackson AC, editor.
Viral Infections of the Human Nervous System. Detroit: Springer Basel; 2013
7. Arribas JR, Storch GA, Clifford DB, Tselis AC. Cytomegalovirus Encephalitis (Clinical
Review). Annals of Internal Medicine. 1996; 125(7): 577-587
8. Golden MP, Hammer SM, Wanke CA, Albrecht MA. Cytomegalovirus Vasculitis.
Medicine. 1994; 73(5): 246-255
9. Solomon T, Hart IJ, Beeching NJ. Viral encephalitis: a clinician’s guide. Pract Neurol.
2007; 7: 288-305

22

Anda mungkin juga menyukai