Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma berkekuatan tinggi pada ekstremitas atas dan leher bisa menyebakan berbagai
cedera pada Pleksus Brakhialis. Cedera tersebut mengakibatkan kelemahan otot pada otot-
otot yang terinerfasi oleh C5, C6, C7, C8, dan Th1. Yang tersering adalah kecelakaan saat
mengendarai sepeda motor. Korban jatuh saat mengendarai sepeda motor dengan kepala dan
bahu membentur tanah. Gerakan yang sangat tiba-tiba tersebut juga menyebabkan cedera
tarikan pada clavicula dan struktur di bawahnya termasuk pleksus brakhialis dan vena
subclavia.1
Penatalaksanaan pasien dengan cedera pleksus brakhialis merupakan masalah
kompleks yang memerlukan kerjasama yang erat dari sebuah tim terdiri dari dokter ortopedi,
neurologi, dan kedokteran fisik dan rehabilitasi beserta tim okupasional terapis, fisioterapis,
psikolog, pekerja sosial dan konselor vokasional. Setiap anggota tim harus memiliki
pemahaman menyeluruh terhadap anatomi dan fisiologis pleksus brakhialis serta penilaian
fungsional neuromuskuler ekstremitas superior. Strategi rehabilitasi harus disusun secara
khas dan spesifik untuk tiap-tiap pasien, dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah dilakukan
evaluasi menyeluruh kondisi pasien.1
Menurut Office of Rare Disease of National Institutes of Health informasi yang
didapat mengenai insiden cedera saraf perifer adalah kejadiannya kurang dari 200.000 jiwa
per tahun dihitung pada populasi di Amerika Serikat. Sebagian besar korbannya adalah pria
muda yang berusia 15-25 tahun. Sementara itu cedera pleksus brakhialis terus meningkat pula
di kota-kota besar di Indonesia. Di Surabaya kebanyakan pasien dengan pleksus brakhialis
trauma adalah laki-laki berusia antara 15 dan 25 tahun.. 70% dari trauma pleksus brakhialis
terjadi karena kecelakaan kendaraan bermotor.1,3
Pasien yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat memperburuk
kondisinya, dengan adanya kontraktur sendi, subluksasi sendi bahu serta bertambahnya
kelemahan dan atrofi otot akibat disuse.1,2
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1. Anatomi

Pleksus brakhialis adalah pangkal dari serabut-serabut saraf yang berasal dari medulla
spinalis yang mempersarafi ekstremitas superior. Pleksus brakhialis merupakan serabut saraf
yang berasal dari ramus anterior radiks saraf C5-T1. C5 dan C6 bergabung membentuk trunk
superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk inferior.
Trunkus berjalan melewati klavikula dan disana membentuk divisi anterior dan posterior.
Divisi posterior dari masing-masing trunkus tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi
anterior dari trunkus-trunkus superior dan media membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior
dari trunkus inferior membentuk fasikulus medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk
n. radialis dan n. axilaris. Fasikulus lateral terbagi dua dimana cabang yang satu membentuk
n. muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan fasikulus media untuk
membentuk n. medianus. Fasikulus media terbagi dua dimana cabang pertama ikut
membentuk n. medianus dan cabang lainnya menjadi n. ulnaris.2,3,4

Gambar 1. Anatomi Pleksus Brakhialis


Cabang-cabang pleksus brakialis3,4,5
1. Cabang dari radiks saraf spinalis
 Nervus dorsalis skapula. Berasal dari ramus C5, mempersarafi m. rhomboideus major
dan minor serta m. levator skapulae
 Nervus ke subklavius. Berasal dari ramus C5 dan C6, mempersarafi m. subklavius
 Nervus thorakalis longus. Berasal dari ramus C5, C6, dan C7, mempersarafi m.
serratus anterior
2. Cabang dari trunkus
 Nervus supraskapularis. Berasal dari trunkus superior, mempersarafi m. supraspinatus
dan m. infraspinatus
3. Cabang dari korda lateralis
 Nervus pektoralis lateralis. Mempersarafi m. pektoralis mayor
 Nervus muskulokutaneus. Berasal dari C5 dan C6, mempersarafi m. coracobrachialis,
m. brachialis, dan m. biceps brachii
 Cabang lateral nervus medianus. Memberikan cabang C5, C6, C7 untuk nervus
medianus
4. Cabang dari korda posterior
 Nervus subskapularis superior. Mempersarafi m. subskapularis
 Nervus thoracodorsalis. Mempersarafi m. latissimus dorsi
 Nervus subskapularis inferior. Mempersarafi bagian bawah m. subskapularis dan m.
teres mayor
 Nervus axillaris. Mempersarafi m. deltoideus, m. teres minor, sendi bahu, dan kulit di
atas bagian inferior m. deltoideus
 Nervus radialis. Mempersarafi, m. brachioradialis, m. ekstensor lengan bawah, m.
supinator, m. triceps brachii, m. anconeus, bagian posterior lengan atas dan lengan
bawah
5. Cabang dari korda medialis
 Nervus pektoralis medialis. Berasal dari C8 dan T1, mempersarafi m. pektoralis
mayor dan m. pektoralis minor
 Cabang medial nervus medianus, memberikan cabang C8 dan T1 untuk nervus
medianus
 Nervus kutaneus brachii medialis, mempersarafi kulit sisi medial lengan atas
 Nervus kutaneus antebrachii medialis, mempersarafi kulit sisi medial lengan bawah
 Nervus ulnaris, mempersarafi satu setengah otot fleksor lengan bawah dan otot-otot kecil
tangan, dan kulit tangan di sebelah medial

Gambar 2. Skematik Percabangan Saraf Dari Pleksus Brakhialis

Gambar 3. Dermatom Pleksus Brakhialis

2.2. Defenisi
Cedera pleksus brakhialis adalah cedera pada jaringan saraf perifer yang membentuk
pleksus brakhialis, mulai dari radiks saraf hingga saraf terminal. Cedera ini dapat
menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik maupun otonom pada anggota gerak atas.
Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus brakhialis atau pleksopati
brakhialis.4,5
2.3. Epidemiologi

Studi epidemiologis pada trauma pleksus brakialis sulit diketahui dengan pasti dan
epidemiologi dapat bervariasi di berbagai negara. Menurut penelitian yang dilakukan di India
Pusat tahun 2012 menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas menyumbang 94% pasien dan
kecelakaan lalu lintas 90% melibatkan roda dua. Cedera pleksus brakhialis membentuk
bagian multitrauma pada 54% kelompok penelitian dan 46% telah mengisolasi cedera pleksus
brakhialis. Cedera terkait seperti patah tulang, cedera vaskular dan cedera kepala jauh lebih
kecil kemungkinannya karena kecepatan kendaraan yang lebih rendah dibandingkan dengan
dunia barat. Lima puluh tujuh persen telah bergabung kembali bekerja rata-rata 8,6 bulan.
Diperlukan waktu rata-rata 6,8 bulan untuk pasien trauma pleksus brakhial global untuk
menulis di tangan mereka yang tidak dominan.1,3,4

2.4. Etiologi
Trauma adalah salah satu penyebab plexopati brakialis yang paling umum. Cedera ini
biasanya diakibatkan oleh kecelakaan sepeda motor atau kecelakaan kendaraan bermotor
berkecepatan tinggi, jatuh dari ketinggian yang signifikan di bawah daya tarik atau pukulan
langsung. Hal itu bisa terjadi dengan luka tembus dan luka tembak. Bisa akibat dari cedera
iatrogenik, terutama sebagai komplikasi administrasi blok saraf.5,6
Beberapa faktor risiko yang menjadi penyebab terjadinya cedera pleksus brakhialis
pada bayi baru lahir (obstetrical brachial plexus injury) antara lain distosia bahu, persalinan
dengan forceps atau vakum, makrosomia, letak sungsang. Cedera supraclavicular lebih sering
terjadi dan lebih parah dan memiliki prognosis yang lebih buruk daripada cedera
infraclavicular.5,6,7

Gambar 4. Trauma pleksus brakhialis tipe upper terjadi ketika kepala dan leher
bergerak menjauh dari bahu ipsilateral.
Gambar 5. Trauma pleksus brakhialis tipe lower terjad saat lengan atas
diabduksikan keatas secara maksimal.7

2.5. Patofisiologi

Sebagian besar patologi dari lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa adalah karena
trauma tertutup. Lesi pada saraf dalam kasus ini disebabkan oleh traksi (95% kasus) atau
kompresi. Pada kasus traksi, saraf dapat mengalami ruptur, avulsi pada tingkat medulla
spinalis, atau tertarik secara signifikan tetapi tetap intak. Cedera dapat mempengaruhi setiap
tingkat pleksus.6,7,8
Terdapat lima tingkat dimana pleksus dapat mengalami lesi, yaitu 5 :6,7,8
1. Radiks
2. Cabang anterior dari saraf spinal
3. Trunkus
4. Korda
5. Saraf perifer
David Chuang juga membagi 2 tipe lesi pada cedera pleksus brakhialis yang
dibedakan untuk tujuan perbedaan pengobatannya :7,8
1. Avulsi : mengacu pada saraf yang robek dari perlekatannya (disebut avulsi proksimal
jika perlekatannya terlepas dari spinal cord, disebut avulsi distal jika perlekatannya
terlepas dari otot)

2. Ruptur : adalah cedera saraf yang diakibatkan oleh trauma traksi yang terbelah secara
inkomplit sehingga menyebabkan bentuk akhir iregular proksimal dan distal.
Gambar 6. Mekanisme cedera saraf pleksus brachialis

Terdapat dua mekanisme terjadinya avulsi radiks yaitu secara sentral dan perifer.
Mekanisme perifer lebih sering terjadi, dikarenakan daya tarikan pada lengan melebihi
penyokong di sekitar rootlets. Radiks anterior dapat mengalami avulsi dengan atau tanpa
rootlets posterior. Epidural sac dapat robek tanpa avulsi komplit rootlets. Mekanisme sentral
avulsi jarang terjadi dan biasanya diakibatkan oleh trauma servikal langsung dan terjadi
karena medula spinalis bergeser secara longitudinal atau transversal karena trauma yang
signifikan. Radiks saraf C5 dan C6 memiliki perlekatan pada vertebra yang kuat sehingga
lebih jarang mengalami avulsi dibandingkan dengan radiks saraf C7 hingga T1.6,7

Cedera pada pleksus brakhialis dapat terjadi pada daerah supraklavikuler (radiks saraf
spinalis, trunkus), retroklavikuler (divisi), dan/atau infraklavikuler (korda, cabang terminal).
Cedera paling banyak mengenai daerah supraklavikuler. Daerah supraklavikuler ini dibagi
menjadi menjadi preganglionik dan postganglionik. Pada lesi preganglionik, akar saraf
tertarik dari medulla spinalis sehingga serabut saraf motorik terpisah dengan badan sel
motorik pada kornu anterior. Serabut dan badan sel sensorik masih terhubung dengan
ganglion radiks dorsalis, namun serabut eferen yang memasuki kolumna dorsalis terputus.
Karena inilah maka masih terdapat potensi aksi saraf sensorik (SNAP) pada pemeriksaan
EMG. Lesi ini menyebabkan paralisis yang menetap pada otot yang dipersarafi dan hilangnya
sensorik sesuai dermatomnya. Sebaliknya, pada lesi postganglionik menunjukkan bahwa sel-
sel saraf motorik maupun sensorik terputus dengan serabut sarafnya sehingga terdapat
abnormalitas baik pada potensi aksi motorik maupun sensorik dan badan sel secara anatomis
masih baik sehingga diharapkan terjadi regenerasi saraf. Perbaikan cedera preganglioner
memerlukan prosedur neurotisasi, sedangkan perbaikan lesi postganglioner dapat dilakukan
dengan pembedahan atau graft saraf.6,7,8
Gambar 7. Preganglion dan postganglion

Akibat cedera, pada serabut bermielin dapat terjadi demielinisasi dan kerusakan
aksonal.8,9
1. Demielinisasi
Cedera saraf yang dapat menyebabkan abnormalitas motorik dan sensorik dimana
terjadi kerusakan dari mielin tetapi akson tetap intak.

Gambar 8. Demielinisasi. A: saraf normal. B: kerusakan mielin pada bagian yang cedera.

Hal ini akibat dari tekanan yang menyebabkan suatu episode iskemik sementara atau
edema dan neuropati perifer. Perbaikan dapat terjadi :
 self limited; iskemik sementara dapat menghilang dengan segera tetapi edema
memerlukan waktu beberapa minggu.
 Remielinisasi; Ini adalah suatu proses perbaikan dimana bagian yang mengalami
demielinisasi membentuk mielin baru oleh sel-sel Schwann. Mielin baru ini lebih
tipis dengan jarak internodal yang lebih pendek menyebabkan kecepatan
konduksi lebih lambat dari normal.
Gambar 9. Remielinisasi. A: pemendekan mielin dan proliferasi sel Schwann. B: mielin menghilang.
C: komplet remielinisasi

2. Cedera Akson
Terdapat dua tipe cedera pada akson yaitu degenerasi aksonal atau degenerasi
Wallerian.
Keduanya dapat mengenai badan sel dan menyebabkan khromatolisis sentral.
 Degenerasi aksonal merupakan cedera saraf yang memperlihatkan suatu bentuk
kematian saraf yang mulai dari distal dan menjalar ke proksimal.
 Degenerasi Wallerian merupakan cedera saraf yang memperlihatkan kerusakan saraf
fokal atau multifokal setelah 4 – 5 hari (Gambar 11). Ini terjadi secara lengkap untuk
saraf motorik dalam 7 hari atau 11 hari untuk saraf sensorik. Degenerasi aksonal
bagian distal dari lokasi cedera dan bagian proksimal intak.
Kerusakan aksonal dapat terjadi akibat kerusakan fokal, regangan, transeksi atau
neuropati perifer. Perbaikan terjadi secara collateral sprouting (proses perbaikan dimana
suatu neurit akson mulai tumbuh dari unit motorik intak dan mempersarafi serabut otot
denervasi pada unit motorik yang cedera) dan pertumbuhan kembali aksonal (suatu proses
perbaikan dimana akson akan tumbuh kembali sesuai alurnya menuju serabut saraf,
memerlukan kira-kira 1 mm/hari atau 1 inci/bulan jika jaringan ikat penyokong tetap intak
dan bila tidak intak akan terbentuk neuroma.9.10
Gambar 10. Degenerasi Wallerian. a) Saraf normal, b) degenerasi wallerian, c) regenerasi
(Seckel,1984)

Klasifikasi menurut Seddon terdapat 3 derajat dari cedera saraf yaitu :11,12,13

1. Neuropraksia: suatu hambatan konduksi lokal yang berhubungan dengan demielinisasi


sementara (terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak). Pada tipe cedera seperti ini
tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan
merupakan derajat kerusakan paling ringan. Biasanya akibat dari penekanan dan sembuh
karena perbaikan oleh sel Schwann, dimana memerlukan waktu beberapa minggu sampai
bulan.
2. Aksonotmesis: suatu cedera yang lebih berat dari neuropraksia dan menyebabkan
degenerasi Wallerian. Terjadi kerusakan akson tetapi selubung endoneural tetap intak.
Biasanya akibat dari traksi atau kompresi saraf yang berat. Regenerasi saraf tergantung
dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi (perbaikan lebih baik pada jarak lesi
yang pendek dan letaknya lebih ke distal. Pemulihan fungsi sensorik lebih baik daripada
motorik, karena reseptor sensorik lebih lama bertahan dari denervasi dibandingkan motor
end plate (kira-kira 18 bulan).
3. Neurotmesis: kerusakan saraf yang komplet dan paling berat, dimana proses pemulihan
sangat sulit kecuali dilakukan neurorrhaphy. Penyembuhan yang terjadi sering
menyebabkan reinervasi yang tidak lengkap atau salah sambung dari serabut saraf.
Klasifikasi Sunderland berdasarkan pada derajat perineural yang terkena yaitu:11,12,13

1. Tipe I: hambatan dalam konduksi (neuropraksia)


Konduksi sepanjang akson secara fisiologis terputus, tetapi akson tetap intak. Tidak terjadi
degenerasi Wallerian, penyembuhan spontan biasanya terjadi dalam beberapa hari atau
minggu.
2. Tipe II: cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis)
Biasanya terjadi karena terjepit atau traksi ringan. Terdapat disrupsi akson, dengan
terjadinya degenerasi Wallerian distal dari tempat cedera. Integritas endoneural masih
intak.
3. Tipe III: aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan
epineural masih intak.
Akson dan endoneural terputus, gangguan neurologis komplit ditemukan pada penemuan
klinis.
4. Tipe IV: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih
intak.
Akson dan endoneural terputus, tetapi beberapa epineural dan mungkin beberapa
perineural masih intak sehingga tidak terjadi pemutusan seluruh serabut saraf. Degenerasi
retrogard lebih berat.
5. Tipe V: aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural
(neurotmesis).
Serabut saraf terpotong secara komplit, menyebabkan terbentuk gap antara ujung-ujung
saraf. Kemungkinannya kecil akan terjadi penyambungan karena pertumbuhan ujung
akson, demikian pula kemungkinan pulihnya fungsi tanpa pembedahan yang tepat.

2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis cedera plexus brakhialis mempunyai banyak variasi tergantung dari
letak lesi dan derajat kerusakan pleksus brakhialis.10,11
1. Nyeri
Sebagian besar pasien dengan gangguan pleksus brakhialis merasakan nyeri berupa
sakit, rasa terbakar di sekitar bahu, lengan atas, atau lengan bawah, yang bertambah
berat bila menggerakkan lengan atas atau bahu, dan jarang diperburuk oleh Valsava
maneuver yang lebih khas pada radikulopati.
2. Gangguan Sensorik dan Parestesia
Gangguan sensorik umum dijumpai pada pasien dengan cedera pleksus brakhialis,
meskipun ini mungkin teralihkan atau tidak diketahui saat pasien mengalami derajat
yang tinggi dari nyeri dan kelemahan. Kehilangan sensorik secara umum mengikuti
distribusi dermatom. Pasien dengan lesi pleksus brakhialis trunkus superior
mengalami kehilangan sensorik pada lateral lengan atas dan lengan bawah, lesi
pleksus trunkus brakhialis medial pada dorsal lengan bawah dan tangan, serta lesi
pleksus brakhialis trunkus inferior pada medial tangan dan lengan bawah.
3. Kelemahan dan Atrofi
Kelemahan dan atrofi otot sering terjadi pada pasien dengan pleksopati. Kelemahan
tergantung pada bagian yang terkena dari pleksus. Secara umum, kelemahan
mengikuti distribusi miotom, dengan kelemahan pada pleksus brakhialis secara
menonjol mengenai abduksi, eksternal rotasi dan fleksi lengan pada lesi pleksus
superior; fleksi dan ekstensi lengan dan jari-jari tangan dengan lesi trunkus media,
dan kelemahan instrinsik tangan dengan lesi pleksus inferior.
Pleksopati supraklavikular
Lesi terjadi di tingkat radik, trunkus atau kombinasinya. Lesi di tingkat ini 2 – 7 kali
lebih sering terjadi dibandingkan pleksopati infraklavikular. Pleksopati supraklavikular
dibagi menjadi :10,11,12
1. Lesi pada tingkat radiks
Lesi pada tingkat ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan
dermatom dan miotom. Pada lesi di tingkat radiks ini dapat terjadi parsial paralisis atau
hilangnya sensorik inkomplit karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersarafi oleh
beberapa radiks.
2. Lesi pleksus atas (radik C5, C6/trunkus superior)
Ini adalah kelompok yang paling sering terjadi pada pleksopati supraklavikular.
Sering timbul secara sendirian, tetapi dapat juga berkaitan dengan pleksus tengah atau
kombinasi dengan lesi pleksus tengah dan bawah (lesi pan-pleksus supraklavikular).
Umumnya terjadi akibat trauma, terutama traksi tertutup yang menyebabkan pelebaran
secara paksa sudut bahu-leher, kecelakaan sepeda motor, jatuh yang mengenai bahu, dan
pukulan pada bahu (mis. oleh benda yang jatuh). Sedangkan penyebab lainnya adalah
iatrogenik (paralisis akibat tindakan persalinan).
Otot yang terkena terutama yang terletak di dekat bahu. Bila lesi pada tingkat radik,
otot yang terkena meliputi otot seratus anterior, rhomboid dan spinatus. Bila lesi pada
tingkat proksimal trunkus superior, otot seratus anterior dan rhomboid tidak terkena. Bila
lesi lebih ke distal lagi, pada tingkat medial dan distal trunkus superior, otot spinatus tidak
terkena. Biasanya terdapat gangguan sensorik pada lateral deltoid, sisi lateral lengan atas
dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. Reflek bisep dan brakhioradialis menurun atau
hilang. Pada keadaan yang berat, ekstremitas atas menggantung lemah di sisi badan,
adduksi dan internal rotasi, sehingga telapak tangan tampak dari belakang (waiter’s,
bellhop’s, atau policeman’s tip position).
3. Lesi pleksus tengah (radik C7 / trunkus media)
Cedera radik C7 / trunkus media secara sendirian jarang sekali. Perubahan klinis pada lesi
pleksus tengah meliputi gangguan pronasi lengan bawah, fleksi sisi radial tangan, ekstensi
lengan bawah dan pergelangan tangan serta 1 atau lebih jari-jari tangan. Gangguan sensorik
terjadi pada dorsal lengan bawah, tangan dan jari-jari tangan sisi radial serta mengenai reflek
trisep. Lesi ini disebabkan oleh traksi (akibat tindakan operatif) dan neoplasma.
4. Lesi pleksus bawah (radik C8, T1/trunkus inferior)
Pada lesi ini, gerakan pergelangan tangan dan jari-jari terganggu terutama posisi
fleksi, bila cedera komplit dan semua fungsi otot intrinsik terganggu. Gangguan sensorik
yang terjadi tidak hanya sepanjang bagian medial dari lengan atas, lengan bawah, dan
tangan, juga dua jari sebelah medial. Jika terjadi avulsi radik, sering ditemukan sindrom
Horner’s. Beberapa disebabkan oleh trauma, terutama saat terjadi peregangan kuat bagian
atas dari pleksus. Penyebab nontraumatik meliputi neoplasma dan TOS, sedangkan sebab
iatrogenik meliputi sternotomy median dan tindakan operasi pada TOS.
5. Lesi Pan-supraklavikular (Radik C5-T1/semua trunkus)

Tipe ini merupakan lesi yang luas dan jarang kecuali akibat cedera traksi tertutup (dengan
trauma yang sangat kuat dan tindakan persalinan). Penyebab lain adalah nontraumatik (mis.
tumor ganas yang luas) dan iatrogenik (blok anestesi regional). Otot-otot anggota gerak atas
terkena, penurunan sensorik sepanjang anggota gerak dan sering terdapat nyeri.

Pleksopati Infraklavikular
Pada lesi ini dapat mengenai fasikulus, saraf terminal atau keduanya. Tipe lesi
fasikulus menimbulkan gangguan distribusi dari dua atau lebih saraf perifer atau bagian-
bagian dari saraf perifer, meliputi :10,11,12
1. Lesi di fasikulus lateral;
gangguan fleksi lengan bawah, pronasi lengan bawah dan fleksi radial pergelangan
tangan. Gangguan sensorik terjadi sepanjang lateral lengan bawah dan jari tangan I –
III, serta mengenai reflek bisep.
2. Lesi di fasikulus medial;
mengenai semua fungsi otot intrinsik tangan, seperti fleksi, ekstensi dan abduksi jari-
jari tangan serta fleksi dan deviasi pergelangan tangan. Kelainan motorik hampir
menyerupai lesi pada trunkus inferior kecuali otot yang dipersarafi oleh saraf
pektoralis medial dan radik C8 melalui saraf radialis (mis. ekstensor polisis brevis dan
ekstensor indisis proprius) tidak terkena. Gangguan sensorik terdapat sepanjang
medial lengan atas, lengan bawah, tangan dan dua jari tangan sisi medial.
3. Lesi di fasikulus posterior;
beberapa gerakan anggota gerak atas terganggu seperti abduksi, fleksi, dan eksternal
rotasi lengan atas, serta ekstensi lengan bawah, tangan dan jari-jari tangan. Gangguan
sensorik dapat terjadi sepanjang posterior dan lateral deltoid, bagian dorsal lengan
atas, lengan bawah, tangan dan tiga jari tangan sisi radial serta mengenai reflek trisep.
2.7. Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan keluhan pasien seperti kelemahan, gangguan sensorik pada
ekstremitas atas yang terkena dan adanya keterbatasan untuk melakukan aktivitas fungsional
serta ditanyakan adanya riwayat trauma sebelumnya, kronologi kejadian/mekanisme
trauma.11

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi, yaitu melihat posisi lengan terutama
saat istirahat. Avulsi pada radiks saraf dapat diketahui dengan adanya sindroma Horner dan
kelemahan otot-otot paraspinal. Sisi kontralateral dan ekstremitas bawah perlu dinilai juga
untuk menyingkirkan lesi di medula spinalis.11,12
Pada pasien trauma, palpasi klavikula, costa dan humerus dilakukan jika dicurigai
adanya fraktur atau dislokasi. Evaluasi juga perlu dilakukan pada :11,12
 m.trapezius, m.serratus anterior dan m.rhomboideus: kelemahan pada otot-otot ini
akan menyebabkan terjadinya winging scapula
 m.supraspinatus, m.infraspinatus, m.deltoid, m.teres minor: gangguan pada otot-
otot ini akan menyebabkan kelemahan saat abduksi dan rotasi eksternal bahu
 m.latissimus dorsi, m.teres mayor: gangguan pada otot-otot ini akan
menyebabkan kelemahan saat adduksi, ekstensi dan internal rotasi bahu
 Fungsi motorik m.biceps, m.triceps, otot-otot fleksor dan ekstensor lengan atas,
lengan bawah, pergelangan tangan dan jari-jari.
 Pergerakan sendi: bahu (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi interna dan
rotasi eksterna), siku, pergelangan tangan dan jari (fleksi dan ekstensi) ; pada
bahu juga perlu diperhatikan apakah terdapat subluksasi sendi bahu
 Perhatikan apakah terdapat kontraktur pada m.pektoralis mayor (dinilai dengan
palpasi pada regio aksilaris anterior saat rotasi eksterna sendi bahu), kontraktur
pada m.subskapularis (dinilai dengan palpasi regio aksilaris posterior pada saat
abduksi bahu).

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Imaging

Pemeriksaan foto rontgen vertebra regio servikal diperlukan untuk identifikasi trauma
osteal di daerah pleksus brakhialis dan menyingkirkan adanya kemungkinan fraktur yang
tidak stabil atau dislokasi. Adanya fraktur pada prosessus transversus meningkatkan
kecurigaan kemungkinan avulsi atau ruptur neural root. Fraktur klavikula, fraktur humerus
atau dislokasi dari sendi bahu mungkin berkaitan dengan cedera pleksus pada tingkat yang
sama. Elevasi satu sisi diafragma yang terlihat dari hasil foto rontgen thoraks
mengindikasikan paralisis nervus frenikus, sehingga kemungkinan terjadi cedera pada roots
bagian atas pleksus brakhialis.13
Computed tomography (CT), bersama dengan computed tomographic myelography
(CTM), memberikan kontribusi yang besar terhadap evaluasi tingkat cedera saraf. Dalam
kasus avulsi radiks servikal, dapat terbentuk pseudomeningocele, dalam proses penyembuhan
duramater. Segera setelah cedera, bekuan darah muncul di titik avulsi. Gumpalan ini terlihat
jelas dalam myelography sebagai titik bayangan pada lesi dan sekitarnya. Selama hari
pertama setelah cedera, temuan positif mungkin tidak dapat diandalkan, karena duramaternya
mungkin telah pecah tanpa avulsi radiks servikal bersamaan. Untuk alasan ini, CT
myelography harus dilakukan 3 sampai 4 minggu posttrauma untuk memastikan bahwa ada
cukup waktu agar gumpalan darah diserap dan untuk pembentukan pseudomeningocele yang
merupakan tanda indikatif cedera avulsi radiks pada CTM.13,14
MRI memiliki kelebihan tertentu. MRI adalah metode noninvasif yang dapat
menggambarkan lebih banyak lesi, bagian dari cedera radiks dan pseudomeningocele yang
terbentuk. MRI dapat memperlihatkan neuromas posttraumatik, bersamaan dengan respon
inflamasi dan edema jaringan sekitarnya. Beberapa kekurangan yang dimiliki MRI
konvensional yaitu irisan yang diambil memiliki jarak yang cukup jauh antara keduanya,
untuk meyakinkan digunakan signal to noise ratio (SNRs), dengan resolusi rendah dan
ketidakmampuan untuk mendiagnosis lesi yang mendasari. Selain itu, adanya artefak yang
disebabkan oleh gerak seperti gerakan menelan, tremor, pernapasan, dan jantung dada, serta
gangguan aliran cairan serebrospinal yang bisa menurunkan kualitas pencitraan.13,14
2. Tes Histamin
Tujuan tes ini adalah untuk membedakan lesi preganglionik dan postganglionik.
Injeksi intradermal histamine menyebabkan triple respon (reaksi memerah oleh karena
dilatasi kapiler wheal terjadi karena ekstravasasi cairan dari permeabilitas tinggi dan flare
yang terjadi karena dilatasi arteriolar dan reflek axon di nervus sensoris). Jika responnya flare
pada region kulit yang tidak diinjeksikan, kemudian lesi di proksimal dorsal root ganglion,
hal tersebut mengindikasikan trauma avulsi. Sebaliknya, ketika lesi di posganglionik, tes akan
negatif saat kontinuitas antara kulit dan dorsal root ganglion terganggu.13,14
3. Elektrodiagnosis
Tes elektrodiagnostik merupakan bagian integral dari evaluasi pra operasi dan
intraoperatif, dengan ketentuan bahwa konduksi dan evaluasi hasilnya tepat. Evaluasi
elektrodiagnostik dapat mengkonfirmasi diagnosis, menentukan lesi, menentukan tingkat
keparahan diskontinuitas aksial, dan mengeliminasi identitas klinis lainnya dari diagnosis
banding. Pada luka tertutup, pemeriksaan elektromiografi dan kecepatan konduksi saraf dapat
dilakukan 3-4 minggu setelah cedera, saat potensial konduksi tersebut berhenti di sepanjang
saraf dengan cedera postganglionik akibat degenerasi Wallerian.13,14,15
Pengujian serial bersamaan dengan pemeriksaan fisik berulang setiap beberapa bulan
dapat mendokumentasikan dan mengukur reinnervasi atau denervasi yang sedang
berlangsung. Uji elektromiografi (EMG) dilakukan saat istirahat dan selama aktivitas
berlangsung. Perubahan denervasi (potensial fibrilasi) dapat dilihat pada usia 10 sampai 14
hari setelah cedera pada otot proksimal dan 3 sampai 6 minggu pada otot distal. Pada trauma
pleksus brakhial posttraumatik, amplitudo potensial aksi otot umumnya rendah dan
berhubungan dengan jumlah total serat otot fungsional. Potensi aksi saraf sensorik sangat
penting dalam melokalisasi lesi sebagai preganglionik atau postganglionik.14,15
SNAPs digunakan pada lesi yang proksimal pada dorsal root ganglia, karena tubuh sel
saraf sensoris masih utuh di dalam dorsal root ganglia. Sehingga pada lesi preganglionik
terdapat SNAP normal dalam dermatom yang tidak memiliki insensat dan potensi aksi otot
tidak ada. SNAPs tidak akan ada dalam lesi postganglionik atau kombinasi pra-dan
postganglionik. Saat inervasi sensorik tumpang tindih, terutama di jari telunjuk, perhatian
harus diberikan ketika lokalisasi lesi preganglionik berdasarkan pada SNAP eksklusif. Tanda
awal pemulihan otot bisa dideteksi pada EMG (terjadinya potensi baru, penurunan jumlah
potensial fibrilasi, peningkatan motor unit potensial). Tanda-tanda ini berkontribusi terhadap
pemulihan klinis yang diharapkan dalam minggu atau bulan. Namun, pemulihan EMG tidak
selalu memastikan pemulihan klinis yang relevan.14,15
Selain itu, pada EMG, reinnervasi yang sedang berlangsung mungkin tidak terdeteksi
pada lesi dimana organ target akhir lebih distal. Penggunaan tes elektrodiagnostik
intraoperatif merupakan bagian integral dari bedah pleksus brakialis. Kombinasi teknik
elektrodiagnostik seperti nerve action potentials (NAPs), somatosensory evoked potentials
(SSEPs), dan compound muscle action potentials (CMAPs) dapat memberikan informasi
tambahan yang memadai untuk membantu ahli bedah dalam pengambilan keputusan.14,15
Tabel 2. Temuan neurofisiologikal pada trauma saraf perifer

2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan suportif berfokus pada kontrol nyeri dan disertai dengan
penatalaksanaan aspek rehabilitasi. Operasi diindikasikan pada lesi pleksus brakhialis berat
dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak dianjurkan jika telah lebih dari 6
bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal. Jika lesi sangat luas dan perbaikan keseluruhan
tidak memungkinkan maka tujuan utama perbaikan bedah adalah mengembalikan fungsi
fleksi siku, kemudian dapat dilanjutkan dengan fungsi ekstensi pergelangan tangan dan fleksi
jari-jari.16,17
Beberapa faktor penting sebagai panduan dalam menentukan pilihan penanganan pada
lesi pleksus brakhialis yaitu :16,17,18
1. Mekanisme trauma:
pada trauma terbuka tajam merupakan indikasi eksplorasi segera dan
penyambungan primer pada pleksus brakhialis yang terputus.
2. Lama waktunya dari cedera:
secara umum waktu yang optimal untuk intervensi bedah adalah sebelum 6 bulan.
Hasil pembedahan yang lambat, yaitu antara 9-12 bulan atau bahkan lebih dari 12
bulan adalah jelek.
3. Prioritas penanganan:
jika tidak didapatkan tanda-tanda pemulihan spontan dan masih dalam kurun
waktu 6 bulan, maka rencana rekonstruksi sudah harus diformulasikan.
1. Fase akut
 RICE (rest, ice, compression and elevation)
a) Istirahat
b) Terapi dingin: digunakan untuk mengurangi rasa nyeri, dapat diberikan dengan
modalitas sederhana seperti cold pack atau cryotherapy
c) Kompresi : dilakukan pada ekstremitas yang edema.
d) Elevasi : pada cedera pleksus brakhialis berat (adanya avulsi radiks), dapat terjadi
edema yang signifikan pada ekstremitas yang terkena. Ini dikarenakan oleh pompa
aliran darah balik abnormal yang biasanya dilakukan oleh otot yang lumpuh diatas
batas jantung. Pada malam hari dapat dilakukan dengan cara diganjal dengan bantal
dan pada beberapa kasus dimodifikasi menggunakan splint.
 Preventif
Dilakukan untuk mempertahankan ROM dan mencegah kelemahan lebih lanjut,
meliputi :
- Proper positioning
- Splinting
- Latihan ROM
- Pemeriksaan rutin dan perlindungan terhadap daerah yang mengalami
gangguan sensorik
2. Fase subakut dan kronik
 Manajemen Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang umum dikeluhkan oleh pasien cedera pleksus brakhialis.
Nyeri yang dikaitkan dengan pleksopati sering dideskripsikan sebagai nyeri
neuropatik. Berbeda dengan nyeri nosiseptif akibat inflamasi yang diakibatkan oleh
kerusakan aktual jaringan, nyeri neuropatik lebih diakibatkan oleh perubahan patologi
pada saraf perifer maupun saraf pusat yang normalnya bertanggung jawab pada
persinyalan nyeri. Penting untuk dapat mengidentifikasi komponen neuropatik pada
keluhan nyeri pasien karena diperlukan kelas obat analgesik yang berbeda untuk
mengatasi tipe nyeri ini secara efektif. Penanganan non farmakologis untuk nyeri tipe
ini dapat menggunakan Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS).
 Latihan18,19
a. Latihan pada ekstremitas yang lumpuh pada awal terapi bertujuan untuk
memelihara lingkup gerak sendi (LGS) dan mencegah atrofi otot, dimana
umumnya sering menjadi masalah pada masa penyembuhan. Latihan LGS
yang diberikan dapat pasif, aktif maupun aktif dibantu (active assisted).
b. Latihan peningkatan kekuatan dapat diberikan bilamana terdapat kontraksi
otot secara aktif. Pada otot dengan kekuatan di bawah 2, pasien seringkali
mengalami kesulitan berpartisipasi dalam program penguatan karena mereka
tidak mendapatkan feedback bahwa mereka telah mengkontraksikan otot.
Penggunaan biofeedback misalnya dengan EMG atau elektrostimulasi bagian
otot untuk menghasilkan kontraksi dapat membantu untuk kasus semacam ini.
c. Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) merupakan stimulasi listrik
yang lebih kuat dari pada TENS. Alat ini digunakan untuk menambah
kekuatan dan memelihara massa otot walaupun tanpa usaha volunter dari
subyek. Pada penderita cedera pleksus brakhialis berat dengan adanya
denervasi otot, terapi NMES berguna untuk mencegah terjadinya atrofi otot.
Diberikan minimal 10 kontraksi/repetisi sebanyak 3 set per hari dengan waktu
istirahat antar set selama 2 menit, 3 kali per minggu.
 Okupasi Terapi21,22,
Pada tahap rehabilitasi ini, pasien dievaluasi seputar kemampuannya untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Bila pasien diresepkan ortosis, maka diberikan latihan dengan
menggunakan ortosis tersebut yang disesuaikan dengan aktivitas kehidupan sehari-
hari (AKS) pasien. Strategi lain dalam meningkatkan AKS termasuk latihan
penggunaan satu tangan pada penderita dengan monoplegia serta edukasi penggunaan
alat-alat bantu dirumah.
 Orthotik21,22
Pada lesi C5-C6 fungsi tangan distal masih baik namun gerakan bahu dan fleksi siku
terganggu (waiter’s tip position), maka ortosis dibuat untuk menstabilkan bahu dan
siku serta memberikan posisi fungsional pada tangan. Pemakaian ortosis yang paling
tepat dapat berupa elbow and shoulder articulated orthoses dilengkapi dengan elbow
ratchet lock untuk memberikan posisi fungsional pada tangan penderita. Wilmer
Orthosis merupakan contoh ortosis yang banyak dipakai untuk pasien lesi pleksus
brakhialis seperti ini. Ini merupakan ortosis bahu yang sangat efektif dalam mencegah
subluksasi bahu dan memegang siku dalam posisi fleksi sehingga tangan berada
dalam posisi yang dapat dipakai untuk aktivitas contohnya mengetik. Namun
kekurangannya adalah pada penggunaan jangka lama dapat menyebabkan kontraktur
siku. Di Inggris, Stanmore Brachial Plexus Orthoses merupakan ortosis yang paling
sering diresepkan. Ortosis ini dikatakan dapat memenuhi semua kebutuhan pasien
dimana terdapat bagian lengan bawah yang menyokong pergelangan tangan dan
tangan, kemudian terdapat batang besi disamping yang menghubungkannya dengan
bagian siku. Bagian siku ini dapat diatur dalam 6 posisi. Dari bagian siku kemudian
terdapat batang besi yang menghubungkannya dengan socket bahu. Beban lengan
dijaga oleh socket bahu ini.

2.9. Prognosis
Beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis pada trauma saraf perifer:19,20

Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis


BAB III
KESIMPULAN

1. Trauma berkekuatan tinggi pada ekstremitas atas dan leher bisa menyebakan
berbagai cedera pada Pleksus Brakhialis.
2. Pasien yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat memperburuk
kondisinya, dengan adanya kontraktur sendi, subluksasi sendi bahu serta
bertambahnya kelemahan dan atrofi otot akibat disuse.
3. Rehabilitasi pasien dengan cedera pleksus brakhialis memerlukan kerjasama yang
erat dari sebuah tim terdiri dari dokter-dokter ahli dari bagian yang berbeda dan
diperlukan juga kolaborasi dengan bidang lain seperti okupasional terapis,
fisioterapis, psikolog, pekerja sosial dan konselor vokasional.
4. Penatalaksanaan suportif berfokus pada kontrol nyeri dan disertai dengan
penatalaksanaan aspek rehabilitasi. Operasi diindikasikan pada lesi pleksus
brakhialis berat dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak
dianjurkan jika telah lebih dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sandi Putra N, Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Plexus Brachialis Injury Di Rs


Orthopedi Prof Dr Soeharso 2015;52
2. Foster, MR. Traumatic brachial plexus injury. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1268993
3. Spinner RJ, Shin AY, Hybert-Blouin MN, Elhassan BT, Bishop AT. Traumatic Brachial
Plexus Injury. In: Wolfe SW, Hotchkiss RM, Pederson WC, Kozin SH (Editor). Green’s
Operative Hand Surgery. Elsevier Churchill Livingstone, 2011. Chapter 38
4. Sabapathy S, Jain D, Bhardwaj P, Venkataramani H. An epidemiological study of
traumatic brachial plexus injury patients treated at an Indian centre. Indian Journal of
Plastic Surgery. 2012;45(3):498.
5. Khadilkar S, Khade S. Brachial plexopathy. Annals of Indian Academy of Neurology.
2013;16(1):12.
6. Ensrud E, King JC. Plexopathy Brachial. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo DR.
Essential Of Physical Medicine And Rehabilitation. Elsevier Saunders. Philadelphia,
2008;773-78
7. Subagyo, H. Cedera Pleksus Brakhialis. Terdapat pada : www.ahlibedahorthopedic.com
8. Narakas A Sakellariou VI, Badilas NK, Mazis GA, Stavropoulos NA, Kotoulas HK,
Kyriakopoulos S, et al. Brachial Plexus Injuries in Adults : Evaluation and Diagnostic
Approach. Hindawi Publishing Corporation; 2014;2014.
9. Sakellariou VI, Badilas NK, Stavropoulos NA, Mazis G, Kotoulas HK, Kyriakopoulos S,
et al. Treatment Options for Brachial Plexus Injuries. Hindawi Publishing Corporation;
2014;2014.
10. Thatte MR, Babhulkar S, Hiremath A. Brachial plexus injury in adults : Diagnosis and
surgical treatment strategies. 2013;16(1):26–33
11. Kaplan RJ. Radiation-induced brachial plexopathy. Available at : www.emedicine.com
12. Kaiser R, Waldauf P, Haninec P. Types and severity of operated supraclavicular
brachial plexus injuries caused by traffic accidents. Acta Neurochirurgica.
2012;154(7):1293-1297.
13. Malanga GA, Nadler SF, Bowen JE. Sports medicine. In: DeLisa JA (editors). Physical
medicine & rehabilitation, principles and practice. Vol. 1. 4th ed. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia, 2005; 557-76.
14. Brachial plexus assessment and common injuries. Available at: www.patient.co.uk.
15. Freeman TL, Johnson E, Freeman ED, Brown DP. Electrodiagnostic medicine and
clinical neuromuscular physiology. In: Cuccurullo S (editor). Physical medicine and
rehabilitation board review. Demos Medical Publishing. New York, 2004; 343-51.
16. Thomas MA, Felsenthal G, Fast A, Young M. Peripheral neuropathy. In: DeLisa JA
(editors). Physical medicine & rehabilitation, principles and practice. Vol. 1. 4th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, 2005; 895-912.
17. Birch L. Management of Brachial Plexus Injury. In: Greenwood RJ, Barners MP,
McMillan TM, Ward CD. Handbook Neurological Rehabilitation. Psichology Press,
New York. 2003, 663- 711.
18. Goetz CG. Textbook of clinical neurology. 3rd ed. Saunders. Philadelphia, 2007
19. Suroto H, 2011. How to manage Brachial Plexus Injuries? In: Suroto, H. (ed.) Current
Diagnosis and Comprehensive Treatment. Surabaya
20. Songcharoen F. Management of brachial plexus injury in adults. Scandinavian Journal of
Surgery 2008. 97 : 317-323
21. Dombovy ML. Rehabilitation Management of neuropathies. In: Dyck PJ, Thomas PK.
Peripheral neuropathy. 4th ed. Philadelphia, Elsevier Saunders, 2005 ;2621-34
22. Kolegium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia. Modul Tatalaksana
Kedokteran Fisk dan Rehabilitasi Pada Lesi Pleksus Brakhialis Sejak Lahir. 2008

Anda mungkin juga menyukai