Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Definisi

Menurut Suroto, 2019. Lesi Pleksus Brakialis adalah cedera anyaman


saraf tepi di daerah leher (Cervical) dan bahu yang berakibat pada
kelumpuhan otot-otot bahu, siku, pergelangan tangan, dan jari-jari tangan.
Anyaman saraf tepi daerah Cervical yang dibentuk oleh akar saraf Cervical
5,6,7,8 dan Thoracal 1, dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh
peregangan yang berlebihan, kompresi, atau terkena benda tajam dan
mengakibatkan terputus atau bahkan tercabut. Kerusakan yang terjadi dapat
sebagian maupun total dengan level cedera yang bervariasi, baik yang
supraclavicular maupun yang infraclavicular. Kelumpuhan akan terjadi pada
daerah bahu dan siku, jika kerusakan anyaman saraf tepi terjadi pada anyaman
saraf tepi leher bagian atas. Kelumpuhan akan terjadi pada daerah pergelangan
dan jari-jari tangan, jika kerusakan anyaman saraf tepi leher bagian bawah.
Kelumpuhan pada seluruh anggota gerak atas, mulai dari bahu, siku,
pergelangan tangan, dan jari-jari tangan terjadi jika kerusakan anyaman saraf
tepi terjadi pada keseluruhan bagian anyaman tersebut .

Memurut Trisnaningrum, 2013. Lesi plexus bracialis kejadiannya


adalah 10% dari lesi saraf perifer.Cedera ini mengakibatkan otot lemah dan
kesemutan tergantung bagian lesi yang terlibat.Pemulihan pada lesi ini
bervariasi dimana pada lesi yang ringan dapat terjadi pemulihan spontan dan
tidak meninggalkan banyak masalah fungsional, namun lesi berat pemulihan
fungsional sulit didapatkan.Pemulihan pada lesi saraf perifer ada pada tipe
klinis cidera syaraf Neuropraksia, Aksonotmesis dan Neurotmesis (Seddon,
1944).

Berdasarkan studi epidemiologis dari tahun 2005 hingga 2017 di SMF


Ortopedi dan Traumatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya, telah dilakukan
tindakan operasi terhadap lesi Pleksus Brakialis sebanyak 432 pasien. Sebaran
pasien yang telah ditangani berasal mulai dari Aceh hingga Papua, yang
sebagian besar (>90%) diakibatkan karena kecelakaan sepeda motor dan
terutama terjadi pada kelompok usia 21-30 tahun. Sesuai dengan keterlibatan

1
akar saraf yang cedera, maka lesi total Pleksus Brakialis C5–Th1 sebanyak
54%, lesi sebagian Pleksus Brakialis C5-6 sebanyak 24%, C 5-6-7 sebanyak
19%, dan C8-Th1 sebanyak 3% ( Heri Suroto,2019).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Pleksus Brachialis

Menurut Suroto, 2019. Plekus Brakialis mempunyai 10.200 hingga


16.600 akson yang berasal dari Anterior Primary Ramus (APR) Cervical 5,6 ,
7 ,8 dan Thoracal 1 . Sel kornu anterior adalah sel neuron utama serabut
motorik yang ada di medula spinalis. Neuron utama untuk sensoris berada di
Dorsal Root Ganglion (DRG) yang ada di foramen intervertebra. Akar saraf
ventral dan dorsal menyatu pada level distal dan DRG untuk membentuk saraf
spinalis. Saraf spinalis mengeluarkan cabang tepat setelah keluar dari foramen
vertebalis ke posterior yaitu Posterior Primary Ramus (PPR) yang
mempersarafi otot-otot para spinalis. Saraf spinalis melanjutkan diri sebagai
Anterior Primary Ramus (APR). APR inilah yang dinamakan akar saraf (root)
Pleksus Brakialis. Akar saraf dari C5 , C6 , C7, C8 , dan Th1 membentuk
anyaman yang saling berhubungan satu sama lain dan berada di daerah
Brakhii, sehingga disebut Pleksus Brakialis, sebelum akhirnya berakhir pada
cabang terminal.

Pleksus Brachialis adalah pangkal dari serabut-serabut saraf yang


berasal dari medulla spinalis yang mempersarafi ekstremitas superior. Pleksus
brakhialis merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks
saraf C5-T1. C5 dan C6 bergabung membentuk trunk superior, C7 membentuk
trunk medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk inferior. Trunkus
berjalan melewati klavikula dan disana membentuk divisi anterior dan
posterior. Divisi posterior dari masing-masing trunkus tadi akan membentuk
fasikulus posterior. Divisi anterior dari trunkus-trunkus superior dan media
membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior dari trunkus inferior membentuk
fasikulus medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk n. radialis dan n.
axilaris. Fasikulus lateral terbagi dua dimana cabang yang satu membentuk n.
muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan fasikulus media
untuk membentuk n. medianus. Fasikulus media terbagi dua dimana cabang

3
pertama ikut membentuk n. medianus dan cabang lainnya menjadi n. ulnaris
(Arimbawa et al, 2017)

Gambar A.1

Anatomi Pleksus Brachialis

Menurut Yueniwati 2020, Pleksus brakhialis mempunyai percabangan


saraf sebagai berikut :

1. Cabang dari radiks saraf spinal

 Saraf scapula dorsal yang asalnya dari radiks C5 dan


membentuk saraf otot mayor dan minor rhombhoideus dan
otot scapula levator.

 Saraf ke subclavius yang asalnya dari radiks C5, C6 dan


membentuk saraf otot subclavius.

 Saraf longus thorakalis yang asalnya dari radiks C5, C6 dan


C7 yang mebentuk saraf otot serratus anterior.

2. Cabang dari trunkus

 Saraf suprascapularis yang asalnya dari trunkus superior


dan membentuk saraf otot supraspinatus dan otot
infraspinatus.

3. Cabang dari cord lateral

4
 Saraf pektoralis lateralis yang membentuk saraf otot
pektoralis mayor.

 Saraf muskulokutaneus yang asalnya dari C5 dan C6 serta


membentuk saraf otot korakobrakialis, otot brakialis dan
otot biceps brachii.

 Cabang lateral saraf medianus mengalokasikan cabang C5,


C6, C7 untuk saraf medianus.

4. Cabang dari cord posterior

 Saraf subscapularis superior yang membentuk saraf otot


subscapularis.

 Saraf thoracodorsalis yang membentuk saraf otot


latissimus dorsi.

 Saraf subscapularis inferior yang membentuk saraf bagian


bawah otot subscapularis dan otot teres major.

 Saraf aksilaris yang membentuk saraf otot deltoideus, otot


teres minor, sendi bahu, dan kulit diatas bagian inferior
otot deltoideus.

 Saraf radialis yang membentuk saraf otot brakhioradialis,


otot ekstensor lengan bawah, otot supinator, otot trisep
brachii, otot anconeus, bagian posterior lengan atas dan
bawah.

5. Cabang dari cord medial

 Saraf pektoralis medialis yang asalnya dari C8 dan T1 dan


membentuk saraf otot pektoralis mayor dan minor.

 Cabang medial saraf medianus, mengalokasikan cabang C8


dan T1 untuk saraf medianus

5
 Saraf kutaneus brachii medialis, yang membentuk saraf
kulit bagian medial lengan atas.

 Saraf kutaneus antebrachii medialis, yang membentuk saraf


kulit bagian medial lengan bawah.

Saraf ulnaris, yang membentuk saraf bagian satu setengah otot fleksor
bagian bawah dan otot-otot kecil tangan dan kulit tangan di sebelah medial. Pada
pleksus brakhialis juga dapat ditemukan struktur space. Space pada plexus
brakhialis yang relevan dengan klinis antara lain costaclavicular space,
interscalene triangledan retropectoralis minor space (subcoracoid tunnel)
(yueniwati, 2020).

Menurut Mardatillah, 2018. Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi


terutama oleh satu saraf spinalis. Ada 8 saraf cervical, 12 saraf thoracal, 5 saraf
lumbal dan 5 saraf sacral. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari
kulit yang dipersarafinya ke otak. Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang
neurologi untuk menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Karena
kesakitan terbatas dermatom adalah gejala bukan penyebab dari masalah yang
mendasari, operasi tidak boleh sekalipun ditentukan oleh rasa sakit. Sakit di
daerah dermatom mengindikasikan kekurangan oksigen ke saraf seperti yang
terjadi dalam peradangan di suatu tempat di sepanjang jalur saraf.

 C5 mempersarafi otot rhomboideus major dan minor, otot levator


scapulae, otot subclavius, otot serratus anterior.  otot coracobrachialis, otot
brachialis,dan otot biceps brachii, otot suprinatus dan infraspinatus.nervus
cutaneus lateralis dari lengan atas, nervus medianus.
 C6 mempersarafi otot subclavius, otot serratus anterior, otot
supraspinatus, otot infraspinatus,  otot coracobrachialis, otot brachialis,
dan otot biceps brachii, dan nervus medianus.
 C7 mempersarafi otot serratus anterior dan nervus medianus.
 C8 dan T1 mempersarafi otot pectoralis major dan otot pectoralis minor,
nervus medianus dan nervus ulnaris.

6
B. Patologi

Trauma adalah salah satu penyebab plexopati brakialis yang paling


umum. Cedera ini biasanya diakibatkan oleh kecelakaan sepeda motor atau
kecelakaan kendaraan bermotor berkecepatan tinggi, jatuh dari ketinggian
yang signifikan di bawah daya tarik atau pukulan langsung. Hal itu bisa terjadi
dengan luka tembus dan luka tembak. Bisa akibat dari cedera iatrogenik,
terutama sebagai komplikasi administrasi blok saraf. Pada cedera pleksus
brakialis traksi, kepala dan leher diregangkan dengan keras dari bahu. Cedera
pleksus atas biasanya terlihat jika lengan berada di samping karena rusuk
pertama bertindak sebagai tumpuan untuk mengarahkan daya traksi secara
istimewa sesuai dengan pleksus atas. Lesi pleksus bawah mendominasi saat
lengan diabduksi dan dielevasi dengan keras karena koraloid bertindak sebagai
titik tumpu dengan cara yang sama. Situs cedera praganglionik biasanya
terkait dengan avulsi radiks saraf, dengan radiks robek yang terlepas dari
sumsum tulang belakang, dan dengan demikian membawa prognosis yang
buruk. Cedera supraclavicular lebih sering terjadi dan lebih parah dan
memiliki prognosis yang lebih buruk daripada cedera infraclavicular
(Arimbawa,2017)

Ketika terjadi cedera pada Pleksus Brakialis, penting untuk dipahami


bahwa cedera yang terjadi pada level prosesus selular (kecuali pada avulsi
akar saraf) akan memengaruhi semua bagian dari sistem saraf perifer,
termasuk organ target baik sensoris maupun motoris. Respons terhadap cedera
tersebut secara simultan dialami baik pada sisi proksimal maupun distal dari
level cedera. Distal dari sisi cedera saraf ini terjadi degenerasi Wallerian, yaitu

7
proses disintegrasi stump akson yang dimulai setelah 24–48 jam dan berakhir
3–6 minggu. Proses ini diawali dengan adanya granulasi di dalam plasma yang
disebabkan oleh proteolisis dari mikrotubula dan neurofilamen. Proteolisis
terjadi karena disebabkan oleh aktivasi yang cepat dari enzim proteolisis
aksoplasmik sebagai respons dari influks kalsium intraselular. Di antara semua
struktur sitoskeletal, mikrotubuli adalah yang pertama mengalami disintegrasi,
dan hilangnya struktur mikrotubuli ini akan memengaruhi transportasi
aksonal. Disintegrasi neurofilamen akan mengikutinya dan biasanya selesai
dalam kurun waktu 7 –10 hari (suroto,2019).

Untuk menggambarkan proses degenerasi Wallerian secara lengkap,


diperlukan peran penting dari sel Schwann dan makrofag serta partisipasinya.
Sel Schwann akan menjadi sangat peka manakala kehilangan kontak dengan
akson. Pada kondisi denervasi, sel Schwann mengalami perubahan fenotip dari
“supportive” hingga “reactive”. Sel Schwann akan berhenti memproduksi
mielin. Keberlangsungan proliferasi sel Schwann akan diikuti dengan
pembentukan “Bands of Bungers” yang berfungsi sebagai penuntun
pertumbuhan kembali akson. Aktivasi sel Schwann diikuti dengan sekresi
berbagai substansi imunologis aktif. Pada beberapa hari pertama setelah
cedera, akan ditemukan Interleukin (IL)– IB, IL–6 , IL10– dan Leukemia
Inhibitory Factor (LIF), yang terdeteksi begitu banyak pada sisi cedera.
Substansi tersebut bertanggung jawab dalam hal penarikan sel-sel imun ke
ujung potongan saraf bagian distal dan berfungsi sebagaimana adanya. Pada
dua hari pertama setelah cedera saraf, sel makrofag dan sel T mulai
menginfiltrasi sisi cedera dan mencapai infiltrasi terbanyak pada hari ke-4 .
Sel-sel tersebut bertanggung jawab pada fagositosis debris akson dan residu
selaput mielin yang terlepas dari disintegrasi akson, hingga berakhirnya
kerusakan dan eliminasi dari akson tersebut (suroto,2019).

8
C. Epidemiologi

Sebagian besar traction injury akibat dislokasi terjadi pada kecelakaan


lalu lintas. Dari data yang terkumpul, 1173 pasien lesi plexus brachialis
dewasa, 82 % disebabkan karena kecelakaan saat mengendarai sepeda motor.
Korban jatuh saat mengendarai sepeda motor dengan kepala dan bahu
membentur tanah. Benturan yang terjadi dengan posisi bahu depresi dan
kepala fleksi ke arah yang berlawanan. Gerakan yang sangat tiba – tiba
tersebut juga menyebabkan cedera tarikan pada clavicula dan struktur di
bawahnya termasuk plexus brachialis dan vena subclavia. Apabila clavicula
sebagai penghubung paling kuat antara bahu dengan kepala patah, maka
semua gaya tarikan berpindah ke serabut neurovascular. Mekanisme cedera
semacam ini menyebabkan kerusakan yang parah pada serabut saraf bagian
atas. Hiperabduksi shoulder atau tarikan yang kuat yang menyebabkan
melebarnya sudut scapulohumeral kebanyakan mempengaruhi akar saraf C8
dan T1, cedera traksi dengan kecepatan tinggi bisa menyebabkan avulsi
(robek) akar saraf dari medulla spinalis (Trisnaningrum, 2013).

Kejadian trauma pleksus brakhialis juga sering terjadi pada bayi


makrosomia dengan shoulder dystocia. Bayi makrosomia dengan berat badan
antara 4000 gram dan 4500 gram kejadiannya 86,25% kasus dan antara 4.500
gram dan 5000 gram kejadiannya 12,25% kasus. Semua kasus ini terjadi saat
persalinan pervagina (Arimbawa, 2017).

D. Etiologi

Menurut yueniwati, 2020. Umumnya pada lesi pleksus brachialis ada beberapa
penyebab antara lain :

1. Trauma

Trauma merupakan penyebab sering terjadinya cedera, baik pada orang


dewasa maupun bayi yang baru lahir.

Mekanisme trauma pada cedera pleksus brachialis dapat berupa


beberapa hal berikut:

9
 Trauma tertutup, misalnya pada cedera kecelakaan sepeda
motor, olahraga, dan jatuh dari ketinggian.

 Cedera terbuka, misalnya luka tusuk dan luka tembak.

 Cedera iotrogenik, misalnya pada lesi yang berkaitan dengan


prosedur oprasi atau pembukaan dinding dada, anastesi blok
regional, dan pemasangan kanula. Pada neonates terjadi saat
proses kelahiran sulit yang berkaitan dengan distosia bahu dan
kasus bayi besar.

2. Tumor

Jenis tumor yang menyebabkan terjadinya cedera pleksus brachialis


antara lain :

 Tumor neural sheath : neurofibroma, schwannoma, tumor


malignant peripheral nerve sheath dan meningioma.

 Tumor nonneural : kanker kelenjar mamae, dan kanker paru.

3. Induksi radiasi

Diprediksi sebesar 1-8-4,9% insiden pleksopati brachialis


dirangsang oleh faktor radiasi dan paling umum terjadi pada seorang
dengan kanker toraks dan paru.

4. Entrapment

Keadaan terjadi pada sindrom thoracic outlet. Bentuk tubuh dengan


bahu yang lemah dan dada yang rapuh menyebabkan thoracic outlet
menyempit dan akibat menekan struktur neuravaskular.

5. Idiopatik

Sering kali seseorang mengidap parsonage turner syndrome


mengalami pleksitis brachialis, tanpa dipahami factor pemicu yang

10
pasti. Timbulnya gejala klasik yaitu nyeri yang disertai onset atau
serangan permulaan rasa takut yang terjadi selama satu sampai dua
minggu baru kemudian muncul kerja otot yang mulai lemah.

6. Compression syndrome

Pada daerah bahu sering kali terjadi sindrom kompresi dan hal
ini mengakibatkan terjadinya cedera pleksus brachialismisalnya
sindrom scalene. Sindrom kompresi ini dapat disebabkan oleh tekanan
sabuk pengaman saat berkendaraan, kompresi yang disebabkan oleh
memikul beban berat di bahu, sindrom hyperabduction dan sindrom
costoclavicular.

E. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada lesi plexus brachialis adalah ditandai dengan
adanya paralisis pada otot deltoid, otot biceps, otot ekstensor karpi radialis
brevis dan ekstensor karpi radialis longus, kadang – kandang juga otot
supraspinatus dan infraspinatus yang disebabkan Karena tergangguna otot
yang terdinerfasi oleh percabangan syaraf plexus brachialis. Kemudian akan
menyebabkan hilangnya gerakan abduksi, adduksi, fleksi dan ekstensi
shoulder, endorotasi dan eksorotasi shoulder, gerakan fleksi dan ekstensi
elbow, gerakan dorso fleksi dan palmar fleksi, serta kadang-kadang adanya
hilang rasa sensoris di area dermaton C5-Th1 dan atrofi bahkan kontraktur
pada grup otot fleksor dan ekstensor lengan (trisnaningrum,2013).

F. Pemeriksaan Fisik

Secara klinis trauma pleksus brakhialis dibagi sesuai lokasi trauma


yaitu pleksus brakhialis tipe upper (Erb`s Palsy) dan pleksus brakhialis tipe
lower (Klumpke`s palsy). Dalam trauma supraklavukula bahu akan adduksi
dan internal rotasi yang akan mengakibatkan pronasi siku. Trauma nervus
supraskapular yang berlokasi di posterior suprascapular notch akan
memberikan gambaran klinis nyeri diatas notch, kelemahan otot saat abduksi
bahu, dan eksternal rotasi. Lesi pada level spinoglenoid notch memberikan

11
gambaran klinis kelemahan otot infraspinatus. Trauma pada tingkat
infraklavikula mungkin disebabkan oleh mekanisme trauma energi tinggi pada
bahu dan berhubungan dengan rupturnya arteri aksilaris. Nervus aksilaris,
supraskapular, dan muskulokutaneus akan terpengaruh pada trauma tersebut.
Evaluasi nervus medianus, ulnaris, dan radialis dilakukan pada pemeriksaan
pergelangan tangan dan jari tangan. Lesi nervus muskulokutaneus dan lesi
pada nervus medianus diperiksa dengan fleksi dan ekstensi pada siku. Nervus
aksilaris diperiksa dengan abduksi bahu secara aktif dan peregangan otot
deltoid. Latisimus dorsi diinervasi oleh nervus thorakodorsal yang merupakan
cabang bagian posterior dan berlokasi di dalam dinding posterior fossa
aksilaris. Pektoralis mayor menerima inervasi dari saraf medial dan lateral.
Nervus lateral anterior thoracic menginervasi klavikula, nervus medial anterior
thoracic menginervasi otot sternokostal kepala (Arimbawa, 2017).

Menurut Then Zuwanda 2020, pemeriksaan fisik pada pleksus


brachialis sebagai berikut :

 C5 : retraksi bahu. abduksi bahu. 


 C6 : fleksi elbow, ekstensi wrist. 
 C7 : ekstensi elbow, fleksi wrist. 
 C8 : fleksi jari tangan. ekstensi jempol tangan. 
 T1 : Jari abduksi dan adduksi. 

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Imaging

12
Pencitraan radiografi setelah cedera girdle leher atau bahu dapat
menunjukkan bukti adanya lesi neurologis secara bersamaan. Radiografi
tulang belakang servikal, shoulder girdle, humerus, dan dada seharusnya
diperoleh. Radiografi tulang belakang servikal harus dievaluasi untuk
patah tulang, yang bisa mengindikasikan bahwa sumsum tulang belakang
berada dalam bahaya. Terlebih lagi, adanya fraktur transversal pada
servikal menunjukkan kemungkinan avulsi radix pada tingkat yang sama.
Fraktur klavikula juga menunjukkan kemungkinan cedera pleksus
brakialis. Radiografi klavikula dapat menunjukkan fraktur tulang rusuk
pertama atau kedua, yang mungkin menyebabkan cedera pada bagian atas
pleksus brakialis. Selain itu, meticulous inspection pada radiografi dada
dapat menunjukkan fraktur tulang rusuk terakhir, yang sangat penting
dalam hal transfer saraf interkostal, karena saraf interkostal sering cedera
oleh patah tulang rusuk yang sesuai. Ketika trauma saraf frenik,
ditunjukkan dengan adanya hemidiafragma yang tinggi dan
lumpuh(Arimbawa, 2017).

Computed tomography (CT), bersama dengan computed


tomographic myelography (CTM), memberikan kontribusi yang besar
terhadap evaluasi tingkat cedera saraf. Dalam kasus avulsi radiks servikal,
dapat terbentuk pseudomeningocele, dalam proses penyembuhan dura
mater. Segera setelah cedera, bekuan darah muncul di titik avulsi.
Gumpalan ini terlihat jelas dalam myelography sebagai titik bayangan
pada lesi dan sekitarnya. Selama hari pertama setelah cedera, temuan
positif mungkin tidak dapat diandalkan, karena duramaternya mungkin
telah pecah tanpa avulsi radiks servikal bersamaan. Untuk alasan ini, CT
myelography harus dilakukan 3 sampai 4 minggu posttrauma untuk
memastikan bahwa ada cukup waktu agar gumpalan darah diserap dan
untuk pembentukan pseudomeningocele yang merupakan tanda indikatif
cedera avulsi radiks pada CTM (Arimbawa, 2017).

MRI memiliki kelebihan tertentu. MRI adalah metode noninvasif


yang dapat menggambarkan lebih banyak lesi, bagian dari cedera radiks
pseudomeningocele yang terbentuk. MRI dapat memperlihatkan neuromas

13
posttraumatik, bersamaan dengan respon inflamasi dan edema jaringan
sekitarnya (Arimbawa, 2017).

2. Tes Histamin

Tujuan tes ini adalah untuk membedakan lesi preganglionik dan


posganglionik. Injeksi intradermal histamine menyebabkan triple respon
(reaksi memerah oleh karena dilatasi kapiler wheal terjadi karena
ekstravasasi cairan dari permeabilitas tinggi dan flare yang terjadi karena
dilatasi arteriolar dan reflek axon di nervus sensoris). Jika responnya flare
pada region kulit yang tidak diinjeksikan, kemudian lesi di proksimal
dorsal root ganglion, hal tersebut mengindikasikan trauma avulsi.
Sebaliknya, ketika lesi di posganglionik, tes akan negatif saat kontinuitas
antara kulit dan dorsal root ganglion terganggu (Arimbawa, 2017).

3. Elektrodiagnostik

Tes elektrodiagnostik merupakan bagian integral dari evaluasi pra


operasi dan intraoperatif, dengan ketentuan bahwa konduksi dan evaluasi
hasilnya tepat. Evaluasi elektrodiagnostik dapat mengkonfirmasi
diagnosis, menentukan lesi, menentukan tingkat keparahan diskontinuitas
aksial, dan mengeliminasi entitas klinis lainnya dari diagnosis banding.
Pada luka tertutup, pemeriksaan elektromiografi dan kecepatan konduksi
saraf dapat dilakukan 3-4 minggu setelah cedera, saat potensial konduksi
tersebut berhenti di sepanjang saraf dengan cedera postganglionik akibat
degenerasi Wallerian. Tanda awal pemulihan otot bisa dideteksi pada
EMG (terjadinya potensi baru, penurunan jumlah potensial fibrilasi,
peningkatan motor unit potensial). Tanda-tanda ini berkontribusi terhadap
pemulihan klinis yang diharapkan dalam minggu atau bulan. Namun,
pemulihan EMG tidak selalu memastikan pemulihan klinis yang relevan
(Arimbawa, 2017).

H. Terapi Bedah

1. Neurolisis

14
Terapi ini digunakan pada lesi saraf kontinuitas. Teknik ini penting
untuk memelihara struktur interfascikular dan selubung saraf. Karena
memiliki risiko rusaknya vaskular, tidak disarankan menggunakan
neurolisis interfascikular, sebagai gantinya dapat digunakan
epineurorektomi untuk menghilangkan jaringan fibrous. Penggunaan
stimulasi saraf sebelum dan sesudah neurolisis dapat memperlihatkan
peningkatan konduksi saraf. Hasil klinis neurolisis tidak mudah untuk
diidentifikasi, banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan funsgsional,
selain neurolisis (Arimbawa, 2017).

2. Nerve grafting

Menurut Arimbawa, 2017. Teknik memotong area yang trauma


kemudian menyambungkan dengan area yang lebih proksimal. Hasilnya
akan dipengaruhi oleh panjang saraf yang akan disambung/ dicangkok,
munculnya jaringan skar pada daerah luka. Pembedahan Saraf
menggunakan graft dibagi menjadi:

a. Perbaikan Intra pleksus

Pada kasus trauma postganglionik, dimana terdapat donor


radix, radix stumps akan bergabung dengan target saraf yang lebih
distal dengan bantuan autologous grafts. Hal ini dapat dikerjakan pada
penggunaan graft pendek, yang memungkinkan pengambilan graft dan
vaskularisasinya secara bebas. (Arimbawa, 2017).

b. Perbaikan Ekstra pleksus

Teknik ini menggunakan graft yang berasal dari luar pleksus


seperti nervus intercostal sampai musculokutaneus digunakan untuk
graft pada nervus biseps dan nervus spinal accessory sampai nervus
suprascapular.untuk menginervasi rotatory cuf (Arimbawa, 2017).

c. Transfer saraf distal

15
Menurut Arimbawa 2017, konsep dasarnya adalah
menggunakan fascikula atau cabang saraf distal yang masih fungsional
untuk menginervasi area otot yang mengalami denervasi. Saraf donor
biasanya mengalami sedikit penurunan fungsional tetapi otot resipien
terdekat akan cepat dipersarafi dan akan menjadi fungsional, sebagai
contoh:

 Fascikula nervus ulnaris sampai nervus muskulokutaneus untuk


otot biseps.

 Fascikula nervus ulnaris sampai nervus muskulokutaneus untuk


otot biseps.

 Cabang nervus muskulokutaneus sampai otot brakhialis diberikan


kepada nervus medianus untuk fleksi jari-jari tangan.

3. Transfer kontralateral C7

Tranfer kontralteral C7 digunakan pada kelemahan global atau


ketika pilihan transfer lokal tidak dapat digunakan, namun untuk
mengurangi jarak ke saraf target, graft yang terhubung dengan
kontralateral radiks saraf, telah ditempatkan dibawah otot anterior skalenus
dan otot longus colli dan kemudian melewati ruang retroesofagus untuk
memberikan sinya pada saraf resipien. Rata-rata panjang graft yang
digunakan adalah 6.8 ± 1.9 cm (Arimbawa, 2017).

I. Fisioterapi

Dari aspek fisioterapi, lesi plexus brachialis menimbulkan gangguan


yaitu Impairment, seperti penurunan kemampuan sensoris, menurunya
kekuatan otot, keterbatasan lingkup gerak sendi dan volume otot.Functional
limitation seperti sholat, memakai baju, menulis, mencuci dan mengendarai
kendaraan. Partisipation Restriction yaitu ketidak mampuan melaksanakan
suatu aktivitas atau kegiatan tertentu dalam lingkungan sosial misalnya kerja
bakti di masyarakat (trisnaningrum,2013).

16
Adapun peran fisioterapi dalam penanganan kondisi lesi plexus
brachialis adalah bermacam – macam modalitas fisioterapi yang dapat
diberikan pada permasalahan penurunan kemampuan sensoris, penurunan
kekuatan otot, keterbatasan lingkup gerak sendi dan adanya atrofi. Untuk
kondisi ini modalitas fisioterapi yang digunakan Electrical Stimulation dan
Terapi Latihan. Dengan pemberian modalitas tersebut, tujuan fisioterapi yang
ingin dicapai antara lain mempertahankan volume otot, meningkatkan
kemampuan sensoris, meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan lingkup
gerak sendi(trisnaningrum,2013).

Menurut Putra 2015, Pada kasus plexus brachialis injury ini


menggunalan interfensi dengan Elektrikal Stimulasi (ES) dengan IDC
(interrupted direct current) dan Terapi Latihan.

Stimulasi elektris adalah suatu modalitas fisioterapi dengan


menggunakan arus listrik untuk mengkontraksikan salah satu otot ataupun
grup otot (Inverarity, 2005 ). Alat listrik yang bisa digunakan adalah
Interrupted Direct Current, Interfernsi dan TENS (Kuntoro, 2007). Sistem
saraf pusat mempunyai kempuan yang progress untuk penyembuhan dari
injury melalaui proses collateral sprouting dan synaptic reclamation. Neuro
plasiticity merupakan hal yang sangat penting untuk mengajarkan kembali
fungsi otot dan aplikasi fasilitasi (Ashadi,2014)

Menurut Ashadi, 2014. Terapi Latihan adalah salah satu modalitas


fisioterapi dalam pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara pasif
maupun secara aktif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan,
dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas, fleksibilitas, stabilitas, rileksasi,
koordinasi, keseimbangan, dan kemampuan fungsional (Kisner, 2007) terapi
latihan yang diberikan antara lain:

1. Gerak Aktif

Gerak aktif adalah latihan yang dilakukan oleh otot-otot yang


bersangkutan dengan malawan gravitasi. Tujuan dari latihan ini adalah melatih
elastisitas otot, meningkatkan sirkulasu darah, meningkatkan kekuatan otot,

17
serta mengembangkan koordinasi dan ketrampilan untuk aktivitas fungsional.
Gerakan aktif dibagi menjadi 2, yaitu gerak yang tidak disadari (involuntary
movement) dan gerak yang disadari (voluntary movement). Gerak yang
disadari dibagi menjadi 3 yaitu :

 Free Active Movement, yaitu pasien diminta untuk menggerakan


persendiannya secara mandiri
 Active Resisted Movement, yaitu pasien diminta untuk menggerakan
persendiannya dengan sedikit tahanan oleh terapis.
 Active Asissted Movement, yaitu pasien diminta untuk menggerakan
persendiannya secara mandiri dan semampu mungkin, kemudian
terapis memberi bantuan.

2.Gerak pasif

Gerakan pasif adalah latihan yang tidak bersangkutan dengan melawan


grafitasi, dengan kata lain terapis menggerakan setiap persendian pasien tanpa
harus melawan grafitasi. Tujuan dari gerakan ini yaitu untuk mengetahui end
feel, mencegah atrofi, memperlancar sirkulasi darah, mencegah kontraktur,
serta memfasilitasi otot. Gerakan ini dibagi menjadi 3 juga, yaitu :

 Relax passive, yaitu terapis menggerakan persendian pasien tanpa


perlu tenaga yang berarti
 Force passive movement, yaitu terapis menggerakan persendian pasien
dengan sedikit penguluran (stretching)
 Terapi manipulasi, yaitu gerak pasif yang dilakukan pada pasien yang
tidak sadar

Latihan pada anggota gerak atas dengan cara posisi pasien tidur
terlentang, terapis memberikan latihan sesuia dengan pola- pola gerakan
lengan yang ada dalam teknik PNF yaitu fleksi-aduksi- eksorotasi, ekstensi-
adduksi-endorotasi, ekstensi-abduksi-endorotasi (Ashadi,2014)

Menurut kushartini 2009, terapi latihan antara lain sebagai berikut :


1. Codman's Pendulum Smng (Mengayun lengan)

18
Letakkan lengan sehat ke meja unmk menyangga mbuh.
Bungkukkan badan dan biarkan lengan/bahu yang cedera
mengganmng rileks. Perlahan ayunkan lengan memutar searah dan
berlawanan arah dengan jarum jam, kemudian ke depan-belakang
dan samping-menyamping. Ulangi 30 kali pada masing-masing
arah.
2. Wall Lader (Merambat tembok)
Berdirilah menyamping tembok, jangkaulah tembok dengan lengan
cedera dalam posisi lurus. Merambatiah ke atas dengan banman
jari-jari tangan setinggi mungkin, kemudian pertahankan posisi
tersebut. Ulangi 3-5 kali. Lakukan latihan ini dengan menghadap
tembok maupun menyamping tembok.
3. Supine Flexion (Tekuk lengan ke belakang)
Tidur terlentang dan peganglah T-Bar atau tongkat dengan kedua
tangan. Angkat lengan di atas kepala sejauh mungkin dan tahan 5-
10 detik. Kembali ke posisi semula dan ulangi kembali gerakan ini.
Apabila fleksibiiitas dan kekuatan sudah bertambah, boleh
ditambahkan beban pada tongkat.
4. Bent Arm Flexion (Angkat lengan ke depan-atas)
Sangga lengan yang cedera dengan tangan yang sehat, dan perlahan
angkat lengan cedera tersebut ke depan dan ke atas sejauh
mungkin. Pertahankan dan mrunkan kembali ke posisi semula.
Istirahatkan, dan ulangi gerakan ini sebanyak 30 kali.
5. T-BarFlexion (Angkat lengan dengan T-Bar)
Pegang secara kendor ujung T-Bar dengan lengan yang cedera, dan
lengan sehat memegang ujung panjang T-Bar. Angkat lengan
cedera dengan mendorong T-Bar setinggi mungkin, kemudian
tahan dan turunkan kembali secara perlahan. Ulangi 30 kali. T-Bar
Flexion (Angkat lengan dengan T-Bar). Pegang secara kendor
ujung T-Bar dengan lengan yang cedera, dan lengan sehat
memegang ujung panjang T-Bar. Angkat lengan cedera dengan
mendorong T-Bar sctinggi mungkin, kemudian tahan dan turunkan
kembali secara perlahan. Ulangi 30 kali.
6. Active Flexion (Angkat lengan Secara Aktif)

19
Berdirilah dengan siku lurus dan ujung jari menghadap ke depan.
Angkat lengan cedera ke atas di depan mbuh sctinggi mungkin,
pertahankan dan mrunkan secara perlahan. Ulangi gerakan ini.
7. Bent Arm Extension (Tarik lengan ke bclakang-bawah)
Sangga lengan yang cedera dengan telapak tangan yang sehat, dan
perlahan dorong lengan cedera ke belakang sejauh mungkin.
Pertahankan, dan kemudian kembali ke posisi semula secara
perlahan. Ulangi 30 kali.
8. T-Bar Extension (Tarik ke bclakang-bawah dengan T-Bar)
Genggam renggang ujung T-Bar dengan lengan cedera, dan pegang
ujung lain dengan tangan yang sehat. Gunakan tangan sehat untuk
mendorong lengan cedera ke belakang mbuh sejauh mungkin.
Pertahankan dan kembalikan ke posisi awal. Ulangi 30 kali.
9. Prone - Extension (Lengan menempel panggul)
Tidurlah telungkup dengan lengan cedera menggantung kearah
lantai. Dengan lengan cedera yang diputar keluar, angkat ke
belakang menuju panggul, sehingga sejajar dengan lantai. Tidak
perlu lebih dari sejajar lantai.
10. Bent Am Abduction (Angkat lengan menjauhi mbuh)
Letakkan lengan cedera di tangan yang sehat, dan dengan perlahan
bawa lengan cedera menjauhi mbuh semaksimal mungkin.
Pertahankan dan kembalikan pelan ke posisi semula. Rilekskan
sebentar dan ulangi 30 kali.
11. T-Bar Abduction (Angkat menjauhi mbuh dengan T-Bar)
Pegang ujung T-Bar dengan lengan cedera, dan ujung lain dengan
lengan sehat. Pergunakan tangan sehat unmk mengangkat lengan
cedera menyamping menjauhi mbuh semaksimal mungkin.
Pertahankan dan kembalikan perlahan ke posisi semula. Ulangi 30
kali.
12. Active Abduction (Angkat menjauh dari mbuh secara aktif)
Berdirilah dengan siku lurus. Angkat lengan cedera menjauhi mbuh
setinggi mungkin. Pertahankan dan mrunkan perlahan. Ulangi
kembali.
13. Prone Horizontal Abduction (Angkat menjauhi mbuh)

20
Tidurlah tengkurap di meja. Angkat keluar lengan cedera menjauhi
tubuh sampai sejajar lantai. Pertahankan, kembalikan ke posisi
semula dan ulangi gerakan tersebut.
14. Adducted Internal / External Rotation (Memutar lengan ke dalam
dan keluar)
Dengan lengan cedera disamping badan dan menekuk siku 90
derajat, putarlah lengan menyilang mbuh ke perut sejauh mungkin.
Pertahankan, kemudian ganti putar ke luar dan pertahankan.
Dengan perlahan kembalikan ke posisi semula dan ulangi 30 kali.
15. Side Lying Internal Rotation (Putar lengan ke dalam dengan posisi
tidur miring)
Tidurlah miring ke sisi lengan cedera dengan siku menekuk 90
derajat. Dengan perlahan, angkat tangan cedera ke perut.
Pertahankan, kemudian kembalikan ke posisi semula. Ulangi
beberapa kali.
16. Side Lying External Rotation (Putar lengan ke luar dengan posisi
tidur miring)
Tidurlah miring ke sisi lengan yang sehat dengan siku terletak di
dada dan menekuk 90 derajat. Perlahan angkat tangan ke atas
menjauhi tubuh semaksimal mungkin. Pertahankan dan turunkan
kembali. Ulangi gerakan ini beberapa kali.
17. Supine Internal/External Rotation (Putar lengan ke depan dan ke
luar dengan posisi tidur terlentang)
Tidurlah terlentang di meja dengan bahu renggang dan siku
tersangga dalam posisi menekuk. Perlahan angkat tangan ke atas
dan ke depan sejauh mungkin. Pertahankan 1-2 detik, dan
kembalikan ke posisi semula. Usahakan punggung tangan
menyentuh meja pada posisi ke belakang dan telapak tangan
menyenmh meja pada posisi ke depan. Ulangi gerakan ini beberapa
kali.
18. Supraspinatus
Berdirilah dengan siku lurus dan lengan memutar ke dalam. Angkat
tangan setinggi mata dengan sudut 30 derajat terhadap tubuh. Jaga

21
jangan sampai lebih tinggi dari mata. Pertahankan, dan kembalikan
ke posisi semula. Ulangi gerakan ini beberapa kali.
19. Shrugs
Berdirilah dengan lengan disamping badan. Angkat bahu ke telinga
dan pertahankan. Tarik bahu ke belakang, sehingga saling
mendekat. Pertahankan dan kemudian rilekskan. Ulangi beberapa
kali.
20. Towel Squeeze (Memeras handuk dengan lengan atas)
Lipat handuk menjadi 1/8, kemudian letakkan diantara dada dan
lengan cedera. Perlahan tekankan lengan ke handuk dan dada
dengan lengan bawah menyilang di depan mbuh pada sudut 45
derajat. Pertahankan kontraksi isometrik ini 5-10 detik, kemudian
rilekskan. Ulangi gerakan ini beberapa kali.
21. Supine Triceps Extension (Ekstensi trisep dalam posisi terlentang)
Berbaringlah terlentang dengan siku menekuk di dekat kepala.
Letakkan lengan cedera ke bahu sehat. Perlahan luruskan siku
sejauh mungkin tanpa menggerakkan lengan atas. Perlahan kembali
ke posisi semula. Ulangi gerakan ini beberapa kali.
22. Standing Triceps Press (Tekan trisep dalam posisi berdiri)
Angkat lengan cedera ke atas kepala. Sangga siku dengan lengan
sehat. Perlahan luruskan lengan di atas kepala. Pertahankan dan
kembalikan ke posisi semula. Ulangi beberapa kali.
23. Seated Dips
Duduklah di tepi meja atau kursi dengan tangan memegang tepian
meja/kursi. Perlahan luruskan lengan dan angkat pantat.
Pertahankan 3-5 detik dan kembali ke meja dengan perlahan.
Ulangi beberapa kali.
24. ChairDips
Letakkan bagian belakang badan di pinggiran kursi dengan kaki
menjulur ke depan. Perlahan turunkan badan ke lantai sampai
lengan atas sejajar lantai. Angkat badan ke atas dengan hari-hati
dan pertahankan. Secara perlahan kembalilah ke posisi semula dan
ulangi gerakan ini beberapa kali.
25. Biceps Curls

22
Lengan lurus disamping badan dengan tangan menghadap ke
depan. Perlahan tekuklah siku kearah bahu sejauh mungkin.
Pertahankan dan rilekskan ke posisi semula. Ulangi gerakan ini
beberapa kali.

26. Supine Press


Berbaringlah terlentang dengan siku disamping dada dan menekuk
90 derajat. Perlahan angkat dan luruskan lengan ke atas.
Pertahankan dan kembalikan perlahan ke posisi semula. Ulangi
beberapa kali.
27. Progressive Push-Ups
Peganglah tepian tempat tidur atau meja dengan kedua kaki sejajar
dan berjarak 3-4 kaki dari tempat tidur. Perlahan turunkan badan
kearah tepi tempat tidur, tapi tidak sampai menyenmhnya.
Kembalilah ke posisi semula dan ulangi gerakan ini. Tingkatkan
dengan menggunakan tempat tidur/meja yang semakin rendah dan
pada akhirnya di lantai.
28. Bent Over Rows
Bungkukkan badan sehingga sejajar dengan lantai dan lengan
mengganmng. Perlahan tariklah lengan ke atas sehingga tangan
setinggi dada, seperti orang menggcrgaji. Turunkan dan kembali ke
posisi awal. Ulangi gerakan ini beberapa kali.

23
BAB III
KESIMPULAN

Lesi Pleksus Brakialis adalah cedera anyaman saraf tepi di daerah leher
(Cervical) dan bahu yang berakibat pada kelumpuhan otot-otot bahu, siku,
pergelangan tangan, dan jari-jari tangan. Anyaman saraf tepi daerah Cervical yang
dibentuk oleh akar saraf Cervical 5,6,7,8 dan Thoracal 1, dapat mengalami kerusakan
yang disebabkan oleh peregangan yang berlebihan, kompresi, atau terkena benda
tajam dan mengakibatkan terputus atau bahkan tercabut. Kerusakan yang terjadi dapat
sebagian maupun total dengan level cedera yang bervariasi, baik yang
supraclavicular maupun yang infraclavicular. Kelumpuhan akan terjadi pada daerah
bahu dan siku, jika kerusakan anyaman saraf tepi terjadi pada anyaman saraf tepi
leher bagian atas. Kelumpuhan akan terjadi pada daerah pergelangan dan jari-jari
tangan, jika kerusakan anyaman saraf tepi leher bagian bawah. Kelumpuhan pada
seluruh anggota gerak atas, mulai dari bahu, siku, pergelangan tangan, dan jari-jari
tangan terjadi jika kerusakan anyaman saraf tepi terjadi pada keseluruhan bagian
anyaman tersebut.
Trauma adalah salah satu penyebab plexopati brakialis yang paling umum.
Cedera ini biasanya diakibatkan oleh kecelakaan sepeda motor atau kecelakaan
kendaraan bermotor berkecepatan tinggi, jatuh dari ketinggian yang signifikan di
bawah daya tarik atau pukulan langsung. Hal itu bisa terjadi dengan luka tembus dan
luka tembak. Adapun peran fisioterapi dalam penanganan kondisi lesi plexus
brachialis adalah bermacam – macam modalitas fisioterapi yang dapat diberikan pada
permasalahan penurunan kemampuan sensoris, penurunan kekuatan otot, keterbatasan
lingkup gerak sendi dan adanya atrofi. Pada kasus plexus brachialis injury ini
menggunalan interfensi dengan Elektrikal Stimulasi (ES) dengan IDC (interrupted
direct current) dan Terapi Latihan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ashadi Arjun Gholpa. Penatalaksanaan Stimulasi Elektris dan Terapi Latihan pada
Hemiparese Sinistra Post Stroke Non Hemoragik di Rsua Ponorogo. Program Studi
Diploma III Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.

Arimbawa Komang I dkk. 2017. “Trauma Pleksus Brakhialis”. Dalam Rangka


Mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya Di Bagian/Smf Ilmu Penyakit Saraf Fk
Unud/Rsup Sanglah. Denpasar.

Kushartini Wara BM. 2009. Terapi Latihan Pascacedera Bahu. Medikora Vol. V, No.
2, Oktober 2009: 212 – 22. Yogyakarta.

Nugroho Agung, 2017. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Brachial Plexus


Injury Sinistra di Rumah Sakit Ortopedi Prof.Dr. Soeharso Surakarta. Program Studi
Diploma III Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.

Putra Sandi Nico. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Plexus Brachialis Injury
Sisnistar Di Rs Orthopedi Prof Dr Soeharso. Program Studi Diploma Iii Fisioterapi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Suroto Heri. 2019. Lesi Pleksus Brakialis Tata Laksana Komprehensif. Pusat
Penerbitan dan Percetakan UNAIR. Surabaya.

Trisnaningrum Devi Ayu. 2013. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Lesi Plexus


Brachialis Dextra di Rsal. Dr. Ramelan Surabaya. Program Studi Diploma III
Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.

Yueniwati Yuyun dan Habiba Aurora. 2020. Cedera Pleksus Brachialis Anatomi,
Pencitraan, dan Pnggunaan Klinis Hasil Pencintraan. UB Press. Malang

25
26

Anda mungkin juga menyukai