Anda di halaman 1dari 9

1.

Insiden dan Penyebab

Cedera akibat trauma pleksus brakialis sering terjadi pada 3 kelompok berikut (paling
sering pada pria usia 15-25 tahun) :

1) Pasien dengan usia > 40 tahun dengan diskolasi glenohumeral secara terus menerus,
atau adanya fraktur pada proksimal humerus, diikuti dengan cedera seperti jatuh.
Cedera ini cenderung mengakibatkan lesi infraklavikular yang selalu melibatkan
nervus aksilaris.

2) Pasien dengan usia < 40 tahun dengan trauma kecelakaan. 30% pasien dengan trauma
kecelakaan akan mengalami trauma multipel meliputi kepala, lengan dan bagian
tubuh atas.

3) Penelitian lain oleh Narakas (1985) terdapat “rule of seven seventies” yang
mengatakan bahwa 70% terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. 70% pasien
akan mengalami trauma multipel, dan 70% mengalami cedera supraklavikular. Selain
itu, 70 % mengalami terputusnya persarafan, dan 70% yang mengalami adalah
persarafan bagian bawah C7-T1.

4) Kelompok pasien usia muda dengan trauma minor pada bahu seperti dislokasi bahu
atau fraktur proksimal humerus. Pada pasien ini, ruptur saraf jarang terjadi tetapi
dapat terjadi paralisis nervus infraklavikular yang bersifat sementara.

2. Anatomi dan fungsi

Lokasi Cabang terminal Fungsi

Rami/Akar Nervus dorsalis C5 Mempersarafi m. rhomboid mayor dan


scapularis minor
Nervus thoracicus C5-C7 Mempersarafi m. serratus anterior
longus
Trunkus Nervus ke C5-C6 Mempersarafi subclavius
subclavius
Nervus C5-C6 Mempersarafi m. supraspinatus dan
suprascapularis infraspinatus
Fasiculus
Fasiculus Nervus pectoralis C5-C7 Mempersarafi m. Pectoralis mayor
lateralis lateralis
Nervus C5-C7 Mempersarafi m. Coracobrachialis, m.
musculocutaneus Brachialis, dan m. Biceps brachii.
Selanjutnya cabang ini akan menjadi
nervus cutaneus lateralis.
Cabang lateral C5-C7 Memberikan cabang C5-C7 untuk
nervus medianus nervus medianus
Fasiculus Nervus pectoralis C8-T1 Mempersarafi m. pectoralis mayor dan
medialis medialis minor
Nervus cutaneus C8-T1 Mempersarafi kulit sisi medial lengan
medial pada bagian atas
lengan bawah/
Nervus cutaneus
brachii medialis
Nervus ulnaris C7, C8, Mempersarafi otot-otot intrinsik pada
T1 tangan (kecuali otot thenar 3 dan lateral
lumbrikalis 2), dan flexor carpi ulnaris.
Mempersarafi pada kulit di sekitar
palmar dan dorsal dari jari kelingking,
dan sebagian dari jari manis dan
pergelangan tangan.
Cabang medial C8,T1 Memberikan percabangan C8-T1 untuk
nervus medianus nervus medianus
Fasikulus Nervus C5-C6 Mempersarafi m. Subscapularis
posterior subscapularis
superior
Nervus Mempersarafi m. latissimus dorsi
torachodorsalis
Nervus axilaris Mempersarafi m. Deltoideus, m. Teres
minor, sendi bahu, dan kulit di atas
bagian inferior deltoideus
Nervus radialis Mempersarafi m. Triceps brachii, m.
Anconeus, m. Brachioradialis.
Nervus Cabang gabungan C5-T1 Mempersarafi semua otot pada bagian
Medianus antara fasikulus anterior lengan bawah (kecuali flecor
lateral dan medial carpi ulnaris). Juga mempersarafi ke 3
thenar dan 2 limbrikalis lateral.
Mempersarafi kulit pada bagian palmar
termasuk ibu jari, jari telunjuk, jari
tengah dan sebagian jari manis.

3. Mekanisme Cidera

Kebanyakan cedera pleksus brakialis terjadi sebagai akibat dari trauma tertutup.
Dalam kasus ini, penyebab cedera yang paling banyak yaitu kompresi dan traksi sekitar 95%.

1. ketika ada pelebaran paksa dari sudut bahu-leher, seperti cedera yang paling sering
terjadi yaitu pada kecelakaan motor. Pengendara motor jatuh dari sepeda motor
dengan kekuatan yang besar dan mendarat dengan bertumpu pada bahu. Disaat bahu
mendarat dengan keras, pada saat itu kepala dan leher diangkat secara ipsilateral
menjauhi bahu. Hal ini menyebabkan peregangan pleksus brakialis bagian atas di
antara dua titik tetap yang dapat menyebabkan terjadinya avulsi, ruptur, atau
regangan upper roots (C5, C6, C7), dengan bagian lower roots (C8, T1). Dalam
sebuah penelitian oleh Barnes (1949), menemukan bahwa ketika lengan dipegang
dalam posisi ventral di samping tubuh, sebagian besar tekanan mekanik ditempatkan
pada pleksus atas. Ketika lengan berada di belakang tubuh, semua akar pleksus
brakialis berada di bawah tekanan ekstrim (Gariepy et al., 1962).
2. Pola cedera yang sama juga terlihat pada orang yang mendapat pukulan yang sangat
berat di bagian bahu, karena dapat menyebabkan pergeseran bahu atau adanya traksi
lengan ke bawah yang keras.
3. Cedera pleksus brakialis bagian bawah (C8-T1), terlihat ketika lengan diabduksikan
ke atas secara maksimal.
4. Cedera pleksus brakialis yang berhubungan dengan traksi dapat dilihat ketika telah
ada pelebaran paksa dari sudut skapulohumeral, sebagian besar karena dislokasi bahu
dan fraktur humerus, menyebabkan terjadinya ketegangan pada bundel neurovaskular
infraklavikula di atas caput humerus, sehingga dapat menyebabkan rusaknya pleksus
infraklavikular. Mekanisme cedera pleksus brakialis infraklavikularis ini juga
bertanggung jawab untuk terjadinya ruptur arteri aksila, yang terletak dekat dengan
bagian medial, lateral dan posterior cord. Ruptur arteri diperkirakan terjadi hingga
50% dari cedera pleksus infraklavikular.
5. Cedera pleksus brakialis juga dapat disebabkan oleh kompresi karena fraktur atau
dislokasi, terutama pada klavikula atau caput humerus dan leher. Kompresi ini terjadi
secara gradual yang dapat disebabkan oleh adanya edema atau fibrosis yang dapat
terjadi pasca operasi.
6. Posisi ekstremitas atas dapat menentukan lokasi cedera atau ketegangan pleksus yang
dapat terjadi. Jika pada saat terjadinya cedera atau benturan posisi ekstremitas atas
melakukan adduksi, maka ketegangan terbesar akan terjadi pada pleksus bagian atas.
Jika ekstremitas atas diangkat atau diabduksikan secara maksimal, maka cedera atau
ketegangan terbesar akan berada di akar pleksus bagian bawah.

4. Klasifikasi Cidera Saraf

Klasifikasi cidera saraf menurut Sunderland (1951) dimodifikasi dari Seddon (1943) :

Klasifikasi Klasifikasi Deskripsi Gambaran klinis


Paralisis Paralisis Atrofi otot
oleh oleh Seddon patologis
motorik sensorik
Sunderland
Derajat 1 Neuropraksia Blok fokal Komplit Parsial Sangat sedikit
konduksi saraf
tanpa
kerusakkan
akson
Derajat 2 Aksonotmesis Ruptur akson Komplit Progresif Komplit
tetapi
endoneurium
masih intak
Derajat 3 Aksonotmesis Ruptur serabut Komplit Progresif Komplit
saraf tetapi
perineurium
masih intak
Derajat 4 Aksonotmesis Ruptur Komplit Progresif Komplit
funikuli tetapi
kontinuitas
jaringan
epineural
masih baik
Derajat 5 Neurotmesis Kerusakkan Komplit Progresif Komplit
seluruh
percabangan
saraf
Root Root avulsed Avulsi saraf Komplit Progresif Komplit
avulsed korda spinalis

Cidera saraf derajat 1 dan 2 merupakan cidera saraf yang moderate karena tidak ada
kerusakkan pada akson sehingga dapat pulih spontan selama 2-3 bulan. Cidera saraf derajat 3
merupakan cidera saraf yang berat karena sudah terjadi lesi degenerasi pada akson sehingga
pertumbuhan akson dan pemulihan fungsinya berlangsung lebih lama. Bila cidera saraf lebih
berat yaitu pada derajat 4 maka regenerasi saraf hampir mungkin bisa terjadi. Cidera saraf
terberat yaitu cidera saraf derajat 5 karena terjadi kerusakan total saraf dan epineurium
sehingga pemulihan spontan tidak pernah terjadi tanpa intervensi operasi (surgical).
Sedangkan, pada cidera pleksus brakialis, diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu:

1) Lesi preganglionik, misalnya pada avulsi saraf (avulsion of the nerve roots).
2) Lesi postganglionik, misalnya pada ruptur saraf atau lesi kontinuitas pada bagian
distal dari ganglion sensorik.

3) Kombinasi lesi preganglionik dan post ganglionik.

5. Presentasi Klinis dan Pemeriksaan

Sebagian pasien dengan cedera pleksus brakialis sering bermanifestasi tambahan


dengan trauma bagian torso. Hal ini menyebabkan diagnosis untuk cedera pleksus brakialis
sering kali terlambat, dan sebagai konsekuensinya pemulihan untuk cedera pleksus brakialis
juga tidak maksimal.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan lengkap akan membantu untuk
menentukan tingkat lesi. Sebagian besar pasien datang dengan paralisis total dan kurangnya
kekuatan otot lengan, tangan, dan pergelangan tangan. Pasien juga dapat hadir dengan
perubahan sensasi, pada kasus yang telah berlangsung lama otot-otot sekitar juga dapat
mengalami atropi. Gerakan aktif dan pasif dari bahu, lengan, dan pergelangan tangan melalui
berbagai gerakan pemeriksaan akan memberikan diagnosis tinggi level lesi yang akurat dan
baik. Misalnya, paralisis pada otot bahu dengan ketidakmampuan untuk abduksi lengan,
menunjukan kemungkinan lesi upper brachial plexus setinggi C5. Jika ada kelemahan pada
fleksi siku dan ekstensi pergelangan tangan maka ada keterlibatan dari C6. Jika lesi berada di
C7 maka otot-otot pergelangan tangan dan lengan bawah akan terpengaruh. Pada kasus
dimana lesi lower brachial plexus, pada C8-T1 maka pasien akan bermanifestasi kelumpuhan
pada fleksor lengan bawah dan otot intrinsik tangan.

Pada pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan pemeriksaan terminal branches.


Sebagai contoh, pemeriksaan dari arah belakang pasien untuk pemeriksaan otot-otot
rhomboid dan seratus anterior. Otot rhomboid di inervasi oleh dorsal scapular nerve (C4-C5),
dan lesi pada level ini memungkinkan terjadi atropi pada otot rhomboid. Otot seratus anterior
dipersarafi oleh long thoracic nerve (C5-C7), dan kerusakan pada saraf ini akan
menghasilkan fenomena “winging” scapular pada saat pasien mengulurkan tangan ke depan.
Pemeriksaan gerakan jari dan pergelangan tangan akan mengevaluasi safar median, ulnaris,
dan radialis. Sedangkan fleksi dan ekstensi siku dapat mengevaluasi fungsi saraf
muskulokutaneus.
Bagian spinal cord posterior dipastikan dengan gerakan ekstensi siku dan pergelangan
tangan serta abduksi dari sendi bahu. Lesi pada spinal cord posterior mempengaruhi otot
deltoid yang dipersarafi nervus aksilaris (C5-C6), dan otot lain yang di inervasi nervus
radialis (C5-C6). Pemeriksaan palpasi pada otot pectoralis dapat membantu mengetahui
fungsi saraf pektoral medial dan lateral. Cabang akhir spinal cord posterior adalah saraf
torakodorsal yang menginervasi otot latisimus dorsi, jika saraf ini mengalami lesi maka akan
terjadi atrofi pada lipatan aksila posterior.

Semua pasien dengan dugaan brachial plexus injuries harus diperiksa untuk melihat
tanda horner’s syndrome, anhidrosis, dan ptosis. Selain pemeriksaan motorik juga diperlukan
pemeriksaan distribusi dermatom sensorik, dan refleks. Mengamati tinel sign juga dapat
membantu dalam mengidentifikasi lokasi lesi.

6. Evaluasi Diagnosis
 Evaluasi Diagnostik

Pemeriksaan radiografi harus dilakukan pada pasien yang mengalami cedera pada
kepala, leher, dan bahu untuk menemukan adanya kemungkinan cedera pleksus brakialis, X-
Ray thoraks AP dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur tulang rusuk pertama
dan kedua yang dapat mengindikasikan adanya cedera pada pleksus brakialis di atasnya.
Radiografi serviks dilakukan untuk menentukan kemungkinan fraktur servikal yang dapat
mengindikasikan avulsi akar pada tingkat yang sama.

Dengan kemajuan teknologi saat ini, mielografi selalu dikombinasikan dengan CT


(Computerized Tomography), CT mielografi merupakan gold standar pemeriksaan pada
trauma pleksus brakialis akut sampai saat ini dan merupakan pemeriksaan yang paling akurat
dalam menilai cedera avulse (Kline, 2004). Dalam keadaan tertetntu mielografi standar
terbukti lebih sensitif daripada CT mielografi dalam menilai avulse akar pada C8-T1.

MRI merupakan salah satu pemeriksaan yang sensitif dalam peniliaian cedera pleksus
brakialis, salah satu kelebihan MRI dibanding CT mielografi adalah prosedur tindakan yang
non-invasif dan menunjukkan kualitas gambar yang jauh lebih baik. MRI dapat dilakukan
pada kasus-kasus seperti lesi tumor jinak ataupun ganas dan menilai post-ganglionic brachial
plexus (Nakamura, 1997).

 Electrodiagnostic Studies
Electromyelography (EMG) merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai
peningkatan aktivitas listrik yang dihasilkan oleh otot-otot tubuh. EMG dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis dari cedera pleksus brakialis, menentukan tinggi lesi,
memperkirakan derajat kerusakan akson dan mengeliminasi kemungkinan dari diagnosis-
diagnosis lain. Pada cedera tertutup pemeriksaan EMG direkomendasikan pada minggu ke 4
sampai minggu ke 6 paska cedera untuk melihat perkembangan pemulihan yang terjadi
(Jones et al., 1981).

7. Tatalaksana

Penatalaksanaan cedera pada plexus brakialis terdiri dari tatalaksana opeartif dan
konservatif. Tatalaksana konservatif diantaranya nerve grafts, nerve reconstruction,
neurotisation (nerve transfer) dan free muscle (pembebasan otot) disertai nerve
transplantation. Pemilihan metode operasi diatas dapat menggunakan tiga kriteria yaitu :

1. Apakah cedera dapat diobati dengan pengobatan konserfatif atau perlu dengan
operasi?

2. Jika dilakukan operasi, perlu dilihat kembali apakah cedera yang terjadi bersifat pre
atau post-ganglion?

3. Pemilihan prosedur operasi yang cocok harus dipertimbangkan menurut faktor


indikasi yang spesifik, misalnya umur, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi lesi, serta jarak
waktu antara terjadinya cedera hingga tindakan operasi.

Penggunaan EMG (electromyelography) pada saat diagnosis membantu pemeriksa


dalam menentukan kerusakan yang bersifat non-degeneratif. Jika seperti itu, digunakan
manajemen konservatif. Meliputi penggunaan balut bidai untuk mencegah pergerakan yang
tidak terkontrol sehingga pasien merasa lebih nyaman.

Jika manajemen operatif dilakukan, maka sangat penting untuk menentukan waktu
pengambilan tindakan. Acute surgical exploration digunakan pada situasi luka insisi terbuka,
luka hancur, luka terbuka terkontaminasi atau ditemukan adanya avulse setidaknya pada salah
satu cabang (root). Early exploration, pada 1-2 minggu, direkomendasikan pada avulse
komplit pada C5-T1. Delayed exploration, direkomendasikan pada situasi dimana tidak ada
perbaikan, ataupun perubahan pada physical examination maupun EMG setelah 12 minggu
setelah cedera.
Jika memilih manajemen surgical, perlu diperhatikan bahwa beberapa penelitian
menunjukan bahwa surgical exploration di kontraindikasikan pada umur diatas 50 tahun.
Jika dilakukan nerve reconstruction injury , ditemukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
pada pasien dengan jarak dilakukan tindakan lebih dari 9 bulan. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Samii et al (1997) terdapat perbedaan signifikan antara pasien yang dilakukan
tindakan pada 6 bulan setelah cedera, dibandingkan dengan pasien yang diberikan tindakan
12 bulan pasca cedera.

Anda mungkin juga menyukai