Cedera akibat trauma pleksus brakialis sering terjadi pada 3 kelompok berikut (paling
sering pada pria usia 15-25 tahun) :
1) Pasien dengan usia > 40 tahun dengan diskolasi glenohumeral secara terus menerus,
atau adanya fraktur pada proksimal humerus, diikuti dengan cedera seperti jatuh.
Cedera ini cenderung mengakibatkan lesi infraklavikular yang selalu melibatkan
nervus aksilaris.
2) Pasien dengan usia < 40 tahun dengan trauma kecelakaan. 30% pasien dengan trauma
kecelakaan akan mengalami trauma multipel meliputi kepala, lengan dan bagian
tubuh atas.
3) Penelitian lain oleh Narakas (1985) terdapat “rule of seven seventies” yang
mengatakan bahwa 70% terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. 70% pasien
akan mengalami trauma multipel, dan 70% mengalami cedera supraklavikular. Selain
itu, 70 % mengalami terputusnya persarafan, dan 70% yang mengalami adalah
persarafan bagian bawah C7-T1.
4) Kelompok pasien usia muda dengan trauma minor pada bahu seperti dislokasi bahu
atau fraktur proksimal humerus. Pada pasien ini, ruptur saraf jarang terjadi tetapi
dapat terjadi paralisis nervus infraklavikular yang bersifat sementara.
3. Mekanisme Cidera
Kebanyakan cedera pleksus brakialis terjadi sebagai akibat dari trauma tertutup.
Dalam kasus ini, penyebab cedera yang paling banyak yaitu kompresi dan traksi sekitar 95%.
1. ketika ada pelebaran paksa dari sudut bahu-leher, seperti cedera yang paling sering
terjadi yaitu pada kecelakaan motor. Pengendara motor jatuh dari sepeda motor
dengan kekuatan yang besar dan mendarat dengan bertumpu pada bahu. Disaat bahu
mendarat dengan keras, pada saat itu kepala dan leher diangkat secara ipsilateral
menjauhi bahu. Hal ini menyebabkan peregangan pleksus brakialis bagian atas di
antara dua titik tetap yang dapat menyebabkan terjadinya avulsi, ruptur, atau
regangan upper roots (C5, C6, C7), dengan bagian lower roots (C8, T1). Dalam
sebuah penelitian oleh Barnes (1949), menemukan bahwa ketika lengan dipegang
dalam posisi ventral di samping tubuh, sebagian besar tekanan mekanik ditempatkan
pada pleksus atas. Ketika lengan berada di belakang tubuh, semua akar pleksus
brakialis berada di bawah tekanan ekstrim (Gariepy et al., 1962).
2. Pola cedera yang sama juga terlihat pada orang yang mendapat pukulan yang sangat
berat di bagian bahu, karena dapat menyebabkan pergeseran bahu atau adanya traksi
lengan ke bawah yang keras.
3. Cedera pleksus brakialis bagian bawah (C8-T1), terlihat ketika lengan diabduksikan
ke atas secara maksimal.
4. Cedera pleksus brakialis yang berhubungan dengan traksi dapat dilihat ketika telah
ada pelebaran paksa dari sudut skapulohumeral, sebagian besar karena dislokasi bahu
dan fraktur humerus, menyebabkan terjadinya ketegangan pada bundel neurovaskular
infraklavikula di atas caput humerus, sehingga dapat menyebabkan rusaknya pleksus
infraklavikular. Mekanisme cedera pleksus brakialis infraklavikularis ini juga
bertanggung jawab untuk terjadinya ruptur arteri aksila, yang terletak dekat dengan
bagian medial, lateral dan posterior cord. Ruptur arteri diperkirakan terjadi hingga
50% dari cedera pleksus infraklavikular.
5. Cedera pleksus brakialis juga dapat disebabkan oleh kompresi karena fraktur atau
dislokasi, terutama pada klavikula atau caput humerus dan leher. Kompresi ini terjadi
secara gradual yang dapat disebabkan oleh adanya edema atau fibrosis yang dapat
terjadi pasca operasi.
6. Posisi ekstremitas atas dapat menentukan lokasi cedera atau ketegangan pleksus yang
dapat terjadi. Jika pada saat terjadinya cedera atau benturan posisi ekstremitas atas
melakukan adduksi, maka ketegangan terbesar akan terjadi pada pleksus bagian atas.
Jika ekstremitas atas diangkat atau diabduksikan secara maksimal, maka cedera atau
ketegangan terbesar akan berada di akar pleksus bagian bawah.
Klasifikasi cidera saraf menurut Sunderland (1951) dimodifikasi dari Seddon (1943) :
Cidera saraf derajat 1 dan 2 merupakan cidera saraf yang moderate karena tidak ada
kerusakkan pada akson sehingga dapat pulih spontan selama 2-3 bulan. Cidera saraf derajat 3
merupakan cidera saraf yang berat karena sudah terjadi lesi degenerasi pada akson sehingga
pertumbuhan akson dan pemulihan fungsinya berlangsung lebih lama. Bila cidera saraf lebih
berat yaitu pada derajat 4 maka regenerasi saraf hampir mungkin bisa terjadi. Cidera saraf
terberat yaitu cidera saraf derajat 5 karena terjadi kerusakan total saraf dan epineurium
sehingga pemulihan spontan tidak pernah terjadi tanpa intervensi operasi (surgical).
Sedangkan, pada cidera pleksus brakialis, diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu:
1) Lesi preganglionik, misalnya pada avulsi saraf (avulsion of the nerve roots).
2) Lesi postganglionik, misalnya pada ruptur saraf atau lesi kontinuitas pada bagian
distal dari ganglion sensorik.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan lengkap akan membantu untuk
menentukan tingkat lesi. Sebagian besar pasien datang dengan paralisis total dan kurangnya
kekuatan otot lengan, tangan, dan pergelangan tangan. Pasien juga dapat hadir dengan
perubahan sensasi, pada kasus yang telah berlangsung lama otot-otot sekitar juga dapat
mengalami atropi. Gerakan aktif dan pasif dari bahu, lengan, dan pergelangan tangan melalui
berbagai gerakan pemeriksaan akan memberikan diagnosis tinggi level lesi yang akurat dan
baik. Misalnya, paralisis pada otot bahu dengan ketidakmampuan untuk abduksi lengan,
menunjukan kemungkinan lesi upper brachial plexus setinggi C5. Jika ada kelemahan pada
fleksi siku dan ekstensi pergelangan tangan maka ada keterlibatan dari C6. Jika lesi berada di
C7 maka otot-otot pergelangan tangan dan lengan bawah akan terpengaruh. Pada kasus
dimana lesi lower brachial plexus, pada C8-T1 maka pasien akan bermanifestasi kelumpuhan
pada fleksor lengan bawah dan otot intrinsik tangan.
Semua pasien dengan dugaan brachial plexus injuries harus diperiksa untuk melihat
tanda horner’s syndrome, anhidrosis, dan ptosis. Selain pemeriksaan motorik juga diperlukan
pemeriksaan distribusi dermatom sensorik, dan refleks. Mengamati tinel sign juga dapat
membantu dalam mengidentifikasi lokasi lesi.
6. Evaluasi Diagnosis
Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan radiografi harus dilakukan pada pasien yang mengalami cedera pada
kepala, leher, dan bahu untuk menemukan adanya kemungkinan cedera pleksus brakialis, X-
Ray thoraks AP dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur tulang rusuk pertama
dan kedua yang dapat mengindikasikan adanya cedera pada pleksus brakialis di atasnya.
Radiografi serviks dilakukan untuk menentukan kemungkinan fraktur servikal yang dapat
mengindikasikan avulsi akar pada tingkat yang sama.
MRI merupakan salah satu pemeriksaan yang sensitif dalam peniliaian cedera pleksus
brakialis, salah satu kelebihan MRI dibanding CT mielografi adalah prosedur tindakan yang
non-invasif dan menunjukkan kualitas gambar yang jauh lebih baik. MRI dapat dilakukan
pada kasus-kasus seperti lesi tumor jinak ataupun ganas dan menilai post-ganglionic brachial
plexus (Nakamura, 1997).
Electrodiagnostic Studies
Electromyelography (EMG) merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai
peningkatan aktivitas listrik yang dihasilkan oleh otot-otot tubuh. EMG dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis dari cedera pleksus brakialis, menentukan tinggi lesi,
memperkirakan derajat kerusakan akson dan mengeliminasi kemungkinan dari diagnosis-
diagnosis lain. Pada cedera tertutup pemeriksaan EMG direkomendasikan pada minggu ke 4
sampai minggu ke 6 paska cedera untuk melihat perkembangan pemulihan yang terjadi
(Jones et al., 1981).
7. Tatalaksana
Penatalaksanaan cedera pada plexus brakialis terdiri dari tatalaksana opeartif dan
konservatif. Tatalaksana konservatif diantaranya nerve grafts, nerve reconstruction,
neurotisation (nerve transfer) dan free muscle (pembebasan otot) disertai nerve
transplantation. Pemilihan metode operasi diatas dapat menggunakan tiga kriteria yaitu :
1. Apakah cedera dapat diobati dengan pengobatan konserfatif atau perlu dengan
operasi?
2. Jika dilakukan operasi, perlu dilihat kembali apakah cedera yang terjadi bersifat pre
atau post-ganglion?
Jika manajemen operatif dilakukan, maka sangat penting untuk menentukan waktu
pengambilan tindakan. Acute surgical exploration digunakan pada situasi luka insisi terbuka,
luka hancur, luka terbuka terkontaminasi atau ditemukan adanya avulse setidaknya pada salah
satu cabang (root). Early exploration, pada 1-2 minggu, direkomendasikan pada avulse
komplit pada C5-T1. Delayed exploration, direkomendasikan pada situasi dimana tidak ada
perbaikan, ataupun perubahan pada physical examination maupun EMG setelah 12 minggu
setelah cedera.
Jika memilih manajemen surgical, perlu diperhatikan bahwa beberapa penelitian
menunjukan bahwa surgical exploration di kontraindikasikan pada umur diatas 50 tahun.
Jika dilakukan nerve reconstruction injury , ditemukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
pada pasien dengan jarak dilakukan tindakan lebih dari 9 bulan. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Samii et al (1997) terdapat perbedaan signifikan antara pasien yang dilakukan
tindakan pada 6 bulan setelah cedera, dibandingkan dengan pasien yang diberikan tindakan
12 bulan pasca cedera.