Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PEDAHULUAN

CLOSED FRAKTUR RADIUS ULNA

A. Fraktur

1. Definisi Fraktur

Fraktur radius-ulna tertutup adalah terputusnya hubungan tulang radius

dan ulna yang disebabkan oleh cedera pada lengan bawah, baik trauma

langsung maupun trauma tidak langsung (Helmi, 2013). Menurut Hoppenfeld

(2011) fraktur kedua tulang bawah merupakan cedera yang tidak stabil.

Fraktur nondislokasi jarang terjadi. Stabilitas fraktur yang bergantung pada

jumlah energi yang diserap selama cedera dan gaya otot-otot besar yang

cenderung menggeser fragmen.

2. Anatomi Antebrachii

a. Tulang ulna

Menurut Hartanto (2013) ulna adalah tulang stabilisator pada lengan

bawah, terletak medial dan merupakan tulang yang lebih panjang dari dua

tulang lengan bawah. Ulna adalah tulang medial antebrachium. Ujung

proksimal ulna besar dan disebut olecranon, struktur ini membentuk

tonjolan siku. Corpus ulna mengecil dari atas ke bawah.


Gambar 2.1 Anatomi os Ulna
(Putz & Pabst, 2007)

b. Tulang Radius

Radius terletak di lateral dan merupakan tulang yang lebih pendek

dari dari dua tulang di lengan bawah. Ujung proksimalnya meliputi

caput pendek, collum, dan tuberositas yang menghadap ke medial.

Corpus radii, berbeda dengan ulna, secara bertahap membesar saat ke

distal. Ujung distal radius berbentuk sisi empat ketika dipoton


melintang. Processus styloideus radii lebih besar daripada processus

styloideus ulnae dan memanjang jauh ke distal. Hubungan tersebut

memiliki kepentingan klinis ketika ulna dan/atau radius mengalami

fraktur (Hartanto, 2013).

Gambar 2.2 Anatomi os Radius


(Putz & Pabst, 200
c. Sistem Otot

Tabel 2.1 Sistem otot lengan bawah


(Snell, 2012)

Fungsi Otot Origo Insersio Nerve Action


Flexors m. biceps Caput Bagian Musculocut Flexi
brachii longum: posterior aneus (C5, shoulder
tuberositas tuberositas C6) dan
supraglenoida radius elbow,
lis supinasi
Caput brevis: forearm
processus
coracoideus
m. Setengah Processus Musculocut Flexi
brachialis bawah coronoideus aneus (C5, elbow
permukaan dan C6), radial
depan dari tuberositas nerve (C7)
humerus, ulna
intermuscular
septum
m. Di atas 2/3 Sisi lateral Radial Flexi
brachiora lateral dari radius nerve (C5, elbow
dialis supracondylus di atas C6)
humerus, processus
lateral styloideus
intermuscular
septum
m. Caput Pertengahan Median Pronasi
pronator humerus: dari nerve (C6, forearm,
teres epicondylus permukaan C7) flexi
medialis lateral elbow
humeri radius
Caput
ulnaris:
processus
coronoideus
Extensors m. triceps Long head: Permukaan Radial Extensi
brachii infraglenoid atas nerve (C6- elbow
tubercle olecranon C8) dan
scapula shoulder
m. Permukaan Permukaan Radial Extensi
anconeus belakang lateral nerve (C6- elbow
epicondylus olecranon, C8)
lateral sepermpat
humerus atas
permukaan
belakang
ulna
Pronators m. Caput Pertengahan Median Pronasi
pronator humerus: dari nerve (C6, forearm,
teres epicondylus permukaan C7) flexi
medialis lateral elbow
humeri radius
Caput
ulnaris:
processus
coronoideus
m. Bagian bawah Bagian Median Pronasi
pronator dari bawah dari nerve (C7, forearm
quadratus permukaan permukaan C8)
depan ulna depan
radius
Supinators m. Epycondylus Facies Posterior Supinasi
supinator lateralis anterior interosseous forearm
humeri, lig radii nerve (C6,
colaterale (proximal C7)
radiale dan dan distal
anulare radii, dari
crista musculi tuberositas
supinatori radii)
ulna
m. biceps Caput Bagian Musculocut Flexi
brachii longum: posterior aneus (C5, shoulder
tuberositas tuberositas C6) dan
supraglenoida radius elbow,
lis supinasi
Caput brevis: forearm
processus
coracoideus
Gambar 2.3 Otot lengan tampak anterior
(Paulsen, 2010
Gambar 2.4 Otot lengan tampak posterior
(Paulsen, 2010)

3. Etiologi Fraktur

Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, saat

tekanan yang diberikan pada tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu

ditanggungnya. Jumlah gaya pasti yang diperlukan untuk menimbulkan suat


fraktur dapat bervariasi, sebagian bergantung pada karakteristik tulang itu

sendiri. Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung, seperti saat sebuah

benda bergerak menghantam suatu area tubuh di atas tulang.

Menurut Nampira (2014) fraktur batang radius dan ulna biasanya terjadi

karena cedera langsung pada lengan bawah, kecelakaan lalu lintas, atau jatuh

dengan lengan teregang. Fraktur radius dan ulna biasanya merupakan akibat

cedera hebat. Cedera langsung biasanya menyebabkan fraktur transversa pada

tinggi yang sama, biasanya di sepertiga tengah tulang (Hartanto, 2013).

4. Patofisiologi Fraktur

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas

untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari

yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang

mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Rosyidi, 2013).

Terdapat beberapa faktor yang bisa menentukan lama penyembuhan

fraktur. Penyembuhan fraktur berkisaran antara tiga minggu sampai empat

bulan. Waktu penyembuhan pada anak secara kasar separuh waktu

penyembuhan daripada dewasa.

Tabel 2.2 Faktor-faktor penyembuhan fraktur


(Helmi, 2013)
Faktor Deskripsi
Umur penderita Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih
cepat daripada orang dewasa. Hal ini terutama
disebabkan karena aktivitas proses osteogenesis pada
periosteum dan endosteum, serta proses remodeling
tulang. Pada bayi proses penyembuhan sangat cepat dan
aktif, namun kemampuan ini makin berkurang apabila
umur bertambah.
Lokalisasi dan Lokalisasi fraktur memegang peran penting. Fraktur
konfigurasi metafisis penyembuhannya lebih cepat daripada diafisis.
fraktur Di samping itu konfigurasi fraktur seperti fraktur
transversal lebih lambat penyembuhannya dibandingkan
dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak.
Pergeseran awal Pada fraktur yang tidak bergeser di mana periosteum
fraktur tidak bergeser, maka penyembuhan dua kali lebih cepat
dibandingkan pada fraktur yang bergeser.
Vaskularisasi Apabila kedua fragmen mempunya vaskularisasi yang
pada kedua baik, maka penyembuhan biasanya tanpa komplikasi.
fragmen Namun, apabila salah satu sisi fraktur vaskularisasinya
buruk, maka akan menghambat atau bahkan tidak terjadi
tautan yang dikenal dengan non-union.
Reduksi serta Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk
mobilisasi vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya.
Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan
dan kerusakan pembuluh darah yang akan mengganggu
dalam penyembuhan fraktur.
Waktu Jika imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu
imobilisasi penyembuhan sebelum terjadi tautan (union), maka
kemungkinan terjadinya non-union sangat besar.
Ruangan di Jika ditemukan interposisi jaringan baik berupa
antara kedua periosteum maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya,
fragmen serta maka akan menghambat vaskularisasi kedua ujung
interposisi oleh fraktur.
jaringan lunak
Factor adanya Infeksi dan keganasan akan memperpanjang proses
infeksi dan inflamasi lokal yang akan menghambat proses
keganasan lokal penyembuhan dari fraktur.
Cairan sinovia Pada persendian, di mana terdapat cairan synovial,
merupakan hambatan dalam penyembuhan fraktur.
Gerakan aktif Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan
dan pasif meningkatkan vaskularisasi darah fraktur, tetapi gerakan
anggota gerak yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi
yang baik juga akan mengganggu vaskularisasi.
Nutrisi Asupan nutrisi yang optimal dapat memberikan suplai
kebutuhan protein untuk proses perbaikan. Pertumbuhan
tulang menjadi lebih dinamis bila ditunjang dengan
asupan nutrisi yang optimal.
Vitamin D Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang.
Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan
absorpsi tulang seperti yang terlihat pada kadar
hormone paratiroid yang tinggi. Vitamin D dalam
jumlah yang sedikit akan membantu kalsifikasi tulang
(membantu kerja hormone paratiroid), antara lain
dengan meningkatakan absorpsi kalsium dan fosfat oleh
usus halus.

Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang yaitu: (1) Fase

1: inflamasi, (2) Fase 2: proliferasi sel, (3) Fase 3: pembentukan dan

penulangan kalus (osifikasi), (4) Fase 4: remodeling menjadi tulang

dewasa.

1) Inflamasi

Respons tubuh pada saat mengalami fraktur sama dengan respons apabila ada cedera di

bagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada jaringan yang cedera dan pembentukan

hematoma pada lokasi fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena

terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah

putih besar) yang akan membersihkan daerah tersebut dari zat asing. Pada saat ini terjadi

inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan

hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri


2) Proliferasi sel

Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi.

Terbentuk benang-benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan

untuk revaskularisasi, serta invasi fibroblast dan osteoblast.

Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan

sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai

matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan

tulang rawan (osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar.

Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada

tempat patah tulang. Namun, gerakan yang berlebihan akan merusak

struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial

elektronegatif.

3) Pembentukan kalus

Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain

sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus,

tulang rawan, dan serat tulang imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk

menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan

pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung

dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi

digerakkan
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai

tiga minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial.

Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu

dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. Pada patah

tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga

sampai empat bulan.

4) Remodeling

Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan

mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.

Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun

bergantung pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi

tulang, dan stres fungsional pada tulang (pada kasus yang melibatkan

tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami penyembuhan

dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak, khusunya

pada titik kontak langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan

permukaan pada tulang tidak lagi negatif. Proses penyembuhan tulang

dapat dipantau dengan pemeriksaan sinar X. Imobilisasi harus memadai

sampai tanda-tanda adanya kalus tampak pada gambaran sinar X.

5. Metode penanganan fraktur antebrachii dengan internal fiksasi

Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasangan fiksasi interna

menimbulkan masalah risiko tinggi infeksi pasca bedah, nyeri akibat trauma

jaringan lunak, risiko tinggi trauma sekunder akibat pemasangan fiksas


eksterna, risiko kontraktur sendi siku akibat cara mobilisasi yang salah,

dampak psikologis ansietas sekunder akibat rencana bedah dan prognosis

penyakit serta pemenuhan informasi (Muttaqin, 2013).

Pelat kompresi adalah pelat logam tipis, persegi, dengan permukaan

lengkung yang sesuai dengan kelengkungan tulang dan dilekatkan dengan

sekrup sedemikian sehingga menciptakan kompresi pada tempat fraktur. Hal

tersebut memungkinkan reduksi dan fiksasi anatomi fraktur. Pelat ini

merupakan alat stress-shielding karena daerah fraktur di bawah akan terbebas

dari pembebanan. Seiring waktu, kondisi tulang di bawah pelat akan menipis

karena terbebaskan pemebebanan dan suplai darah yang berkurang. Pelat

kompresi paling sering digunakan pada ekstremitas atas, terutama radius ulna.

Penyembuhan tulang secara primer terjadi akibat rigiditas fiksasi,

kompresi pada tempat fraktur, dan reduksi anatomis. Karena penyembuhan

tulang secara primer merupakan suatu proses yang lambat maka fiksasi pelat

kompresi memerlukan waktu tanpa penanggungan beban yang lebih lama (3

bulan) untuk mencegah kegagalan.

6. Komplikasi

a. Komplikasi Awal

1) Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan tidak adanya

nadi, CRT (capillary refil time) menurun, sianosis bagian distal,

hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstremitas yang disebabka


oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,

tindakan reduksi, dan pembedahan.

2) Kompartment Sindrom

Kompartment sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi

karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam

jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang

menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan

dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda

sindrom kompartemen (5P) sebagai berikut: (1) Pain (nyeri lokal), (2)

Pallor (pucat bagian distal), (3) Pulsessness (tidak ada denyut nadi,

perubahan nadi, perfusi yang tidak baik dan CRT>3 detik pada bagian

distal kaki), (4) Paraestesia (tidak ada sensasi), (5) Paralysis

(kelumpuhan tungkai).

3) Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus

fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow

kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang

ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hipertensi, tachypnea, demam


4) Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada

trauma osthopedic infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk

ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga

karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan sperti pin dan plat.

5) Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang

rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan

diawali dengan adanya Volkman Ischemia (Helmi, 2013).

b. Komplikasi Dalam Waktu Lama

1) Delayed Union

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi

(bergabung) sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk

menyambung.

2) Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan

memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9

bulan.

3) Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang di tandai dengan perubahan

Bentuk.
B. Problematika Fisioterapi

1. Impairment

a. Nyeri

Menurut Parjoto (2006) nyeri adalah rasa yang tidak menyenangkan

dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan dengan

kerusakan jaringan aktual maupun potensial dan terkadang nyeri

digunakan untuk menyatakan adanya kerusakan jaringan. Penyebab nyeri

dapat disebabkan oleh karena adanya rangsangan mekanisme, kimiawi dan

fisik yang menimbulkan kerusakan pada suatu sistem jaringan.

b. Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi

Keterbatasan lingkup gerak sendi merupakan suatu keadaan dimana

sendi tidak dapat digerakkan secara penuh. Permasalahan ini disebabkan

karena adanya nyeri sehingga menyebabkan pasien takut atau tidak ingin

bergerak dan beraktivitas.

c. Penurunan Kekuatan Otot

Penurunan kekuatan otot terjadi jika dalam waktu yang lama dan terjadi karena

otot tidak digunakan secara maksimal. Maka sering disebut disuse atrophy, masalah

tersebut perlu dilakukan penanganan dengan cepat berupa latihan-latihan gerak sehingga

memungkinkan terjadinya masalah tersebut kecil


2. Functional Limitation

Pada functional limitation terdapat adanya keterbatasan aktivitas

fungsional seperti (1) Pasien kesulitan dalam dressing, (2) Pasien kesulitan

dalam aktifitas feeding, dan (3) Pasien kesulitan ketika bathing.

3. Disability

Disability merupakan ketidakmampuan pasien dalam melaksanakan

kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya yaitu pasien

kesulitan mengikuti kegiatan pengajian rutin yang mengharuskan pasien

mengendarai motor menuju ke tempat pengajian tersebut.

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

1. Infra Red

Sinar IR adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang

gelombang 7.700 – 4.000.000 A (Libriana, 2005). Klasifikasi infra red

berdasarkan panjang gelombang: (1) Gelombang panjang (non penetrating),

panjang gelombang diatas 12.000 A - 150.000 A. Daya penetrasi sinar ini

hanya sampai pada lapisan superficial epidermis, yaitu sekitar 0,5 mm, (2)

Gelombang pendek (penetrating), adalah gelombang yang dengan panjang

gelombang antara 7.700 – 12.000 A.

Infra red merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang bertujuan untuk

meningkatkan metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah dan mengurangi

nyeri. Seperti pada kasus pasca operasi fraktur yang menimbulkan nyeri, infr
red dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Panas terapeutik meningkatkan

sirkulasi lokal dan regional, mengurangi viskositas jaringan, dan memperbaiki

elastisitas kolagen. Terapi ini juga mengurangi kecepatan transmisi baik

reseptor spindle otot maupun nyeri perifer (nosiseptor). Jika diberikan dan

diterapkan dengan tepat, panas sangat berguna untuk mengurangi nyeri dan

relaksasi otot, panas terapeutik juga dapat mendorong penyembuhan dengan

meningkatkan aliran darah regional. Panas akan meningkatkan kecepatan

metabolisme dan sirkulasi yang dibutuhkan di area tempat terapi

diaplikasikan, dan bila diterapkan dengan salah, dapat menyebabkan luka

bakar dan iskemia lokal atau regional (Kuncara, 2011).

2. Terapi Latihan

Tujuan utama program latihan adalah mengembalikan fungsi, kinerja,

kekuatan otot, dan daya tahan ke tingkat sebelum terjadinya trauma. Atrofi

otot dan hilangnya kekuatan otot karena tidak dipergunakan berkisar antara

5% per hari sampai 8% per minggu (Kuncara, 2011).

a. Active Exercise

Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan sendi melalui gerakan

penuh atau parsial yang ada sesuai keinginannya sendiri. Tujuan latihan

kisaran gerak aktif adalah menghindari kehilangan ruang gerak yang ada

pada sendi. Latihan ini diindikasikan pada fase awal penyembuhan tulang,

saat tidak ada atau sedikitnya stabilitas pada tempat fraktur. Umpan balik

sensorik langsung pada pasien dapat membantu mencegah gerakan yan


dapat menimbulkan nyeri atau mempengaruhi stabilitas tempat fraktur

(Kuncara, 2011).

b. Active assisted (Gerak aktif dengan bantuan)

Pada latihan ini, pasien dilatih menggunakan kontraksi ototnya sendiri

untuk menggerakkan sendi, sedangkan professional yang melatih,

memberikan bantuan atau tambahan tenaga. Latihan ini paling sering

digunakan pada keadaan kelemahan atau inhibisi gerak akibat nyeri atau

rasa takut, atau untuk meningkatkan kisaran gerak yang ada. Pada latihan

ini dibutuhkan stabilitas pada tempat fraktur, misalnya bila sudah ada

penyembuhan tulang atau sudah dipasang fiksasi fraktur. (Kuncara, 2011).

c. Resisted Exercise

Latihan penguatan meningkatkan kemampuan dari otot. Latihan ini

meningkatkan koordinasi unit motor yang menginervasi suatu otot serta

keseimbangan antara kelompok otot yang bekerja pada suatu sendi.

Latohan penguatan bertujuan untuk meningkatkan tegangan potensial yng

dapat dihasilkan oleh elemen kontraksi dan statis suatu unit otot-tendon.

Latihan penguatan ada berbagai macam (Kuncara, 2011).

d. Hold Relax

Hold rilex adalah suatu latihan yang menggunakan otot secara

isometric kelompok antagonis dan diikuti relaksasi otot tersebut. Dengan

kontraksi isometric kemudian otot menjadi rileks sehingga gerakan kearah

agonis lebih mudah dilakukan dan dapat mengulur secara optimal


Mekanisme kontraksi isometric pada penguluran otot ini karena

sarcomere otot yang semula memendek akan dapat memanjang kembali

dan berakibat pada kembalinya fungsi otot secara normal kemudian diikuti

dengan relaksasi grup otot antagonis, mobilitas menjadi baik, nyeri

berkurang. Maka pasien akan lebih mudah untuk menggerakkan sendi

yang semula terbatas.

Menurut Adler (2008) tujuan dari latihan hold-rilex ini adalah

mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS). Indikasi

dilakukannya latihan hold-rilex ini adalah pasien yang mengalami

penurunan lingkup gerak sendi (LGS), dan merasakan nyeri, serta kontra

indikasinya dalah apabila pasien tidak dapat melakukan kontraksi

isometrik.

Latihan dilakukan dengan cara pasien atau terapis menggerakkan sendi

siku kearah flexi hingga batas nyeri pasien, lalu pasien diminta

mengkontraksikan kelompok antagonis tersebut tanpa terjadi gerakan atau

kontraksi isometrik, kontraksi dipertahankan selama 5-8 detik, kemudian

hitungan ke-8 pasien rilek, tunggu sampai pasien benar-benar rilek

kemudian terapis melakukan penguluran ke arah pola agonis, penguatan

pola gerak agonis dengan cara menambah lingkup gerak sendi (LGS)

pasien. Gerakan ini diulang sampai 6-8 kali (Adler, 2008).


ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut
atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau
siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker
tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan
tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada
indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada
lesi, simetris, tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
(6)Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill
time  Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan
terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak
pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi
lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif
(imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta

Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC

Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.

Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di


Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika

Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai