Anda di halaman 1dari 46

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST OP


ANTEBRACHII DI RUANG POLI ORTHOPEDI RUMAH SAKIT
DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Nanda Ema Avista, S. Kep
NIM 182311101054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER,
2018
A. Konsep Teori tentang Fraktur Antebrachii 1. Review Anatomi Fisiologi
a. Os radius
Os radius adalah tulang di sisi lateral lengan bawah, merupakan tulang
pipa dengan sebuah batang dan dua ujung dan lebih pendek daripada ulna.
Ujung atas radius kecil memperlihatkan kepala berbentuk kancing yang
memiliki permukaan dangkal bersendi dengan kapitulum humerus. Sisi-sisi
kepala radius bersendi dengan takik radial ulna. Dibawah kepala terletak
leher, dan di bawah serta di sebelah medial leher ada tuberositas radii,
yang dikaitkan pada tendon insersi otot bisep (Pearce, 2009).
Batang radius. Batangnya lebih sempit dan lebih bundar di sebelah atas
daripada di bawah dan semakin melebar mendekati ujung bawah.
Batangnya melengkung ke sebelah luar dan terbagi dalam beberapa
permukaan, seperti ulna, memberi kaitan pada fleksor dan pronator yang
letaknya di sebelah posterior memberi kaitan pada ekstensor dan supinator
di sebelah dalam lengan bawah tangan. Ligamentum interosa berjalan dari
radius ke ulna dan memisahkan otot belakang dari depan lengan bawah
(Pearce, 2009).
Ujung bawah agak berbentuk segiempat dan masuk dalam formasi dua
buah sendi. Persendian inferior ujung bwah raius bersendi dengan skafoid
(os navikular radii) dan tulang semilunar (lunatum) dalam formasi ujung
bawah bersendi dengan kepala ulna dalam formasi persendian radio-ulnar
inferior. Sebelah lateral ujung bawah diperpanjang ke bawah menjadi
prosesus stiloid radius (Pearce, 2009).
b. Os Ulna
Ulna atau tulang hasta adalah sebuah tulang pipa yang mempunyai
sebuah batang dan dua ujung. Tulang itu adalah tulang sebelah medial
lengan bawah dan lebih panjang daripada radius atau tulang pengumpil.
Kepala ulna ada disebelah ujung bawah (Pearce, 2009).
Ujung proksimal (ujung atas) tulang ulna tampak seperti pilinan yang
terurai. Bagian atas pilinan tersebut adalah prosesus olecranon, yang
masuk dengan pas ke dalam fosa olecranon humerus saat lengan bawah
berekstensi penuh. Bagian bawah pilinan adalah prosesus koronoid, yang
masuk dengan pas ke dalam fosa koronoid humerus saat berfleksi penih.
Takik radial, yang terletak di bawah prosesus korornoid, mengakomodasi
bagian kepala dari tulang radius (Sloane, 2003).
Ujung distal (bawah) tulang ulna memiliki perpanjangan pilinan batang
yang disebut kepala. Bagian ini berartikulasi dengan prosesus ulnar tulang
radius. Bagian kepala memanjang ke atas prosesus stiloid tulang ulna
(Sloane, 2003).
c. Persendian pada antebrachii
1) Diasthrosis, yaitu sendi radioulnaris proksimalis & distalis
2) Synarthrosis, berupa syndesmosis radioulnaris (oblique interossea
antebrachii), arah serabut miring dari radial atas ke ulna bawah,
melanjutkan gaya dari radius Serabut yang lain berlawanan arah:
“chorda oblique”

d. Sistem Otot Lengan Bawah


Fungsi Otot Origo Insersio Nerve Action
Flexors m.biceps Caput longum: Bagian Musculocuta Flexi
brachii tuberositas posterior neus (C5,C6) shoulder dan
supraglenoidalis tuberositas elvow,
Caput brevis: radius supinasi
processus forearm
coracoideus
m.brachiali Setengah bawah Processus Muculocutan Flexi elbow
s permukaan depan coronoideus eus (C5, C6),
dari humerus, dan radial nerve
intermuscular tuberositas (C7)
septum ulna
m. Diatas 2/3 lateral Sisi lateral dari Radial nerve Flexi elbow
brachiora supracondylus radius di atas (C5, C6)
dialis humerus, lateral processus
intermuscular styloideus
septum
m.pronator Caput Pertengahan Median Pronasi
teres humerus:epicondyl dari nerve forearm,
us medialis huperi permukaan (C6,C7) flexi elow
Caput ularis: lateral radius
processus
coronoideus
Ektensor m. triceps Long head: Permukaan Radial nerve Ekstensi
brachii infraglenoid atas (C6-C8) elbow dan
shoulder
m.anconeus Permukaan Permukaan Radiel nerve Ekstensi
belakang lateral (C6-C8) elbow
epicondylus lateral olecranon,sep
humerus erempat atas
permukaan
belakang ulna
Pronators m.pronator Caput humerus: Pertengahan Median Pronasi
teres epicondylus dari nerve (C6, forearm,
medialis humeri permukaan C7) fleksi elbow
Caput ulnaris : lateral radius
processus
coronoideus
m.pronator Bagian bawah dari Bagian bawah Median Pronasi
quadratus permukaan depan dari nerve forearm
ulna permukaan (C7,C8)
depan radius
Supinators m.supinator Epycondylus Facies Posterior Supinasi
lateralis humeri, anterior radii interosseous forearm
ligcolaterale (proksimal dan nerv (C6,C7)
radiale dan anulare distal dari
radii crista musculi tuberositas
supinatori ulna radii)
m.biceps Caput longum: Bagian Musculocuta Fleksi
brachii tuberositas posterior neus (C5,C6) shoulder dan
supraglenoidalis tuberositas elbow,
Caput brevis: radius supinasi
processus forearm
coracoideus

Otot lengan tampak anterior


Otot lengan tampak anterior

Pada regio antebrachium, kompartemen dibagi menjadi 3 bagian yaitu:


1. Komparetemen volar:
Otot flexor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus ulnar dan nervus media

2. Kompartemen dorsal:
Otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus interosseous posterior

3. Mobile wad :
Otot ekstensor carpi radialis longus, Otot ekstensor carpi
radialis brevis, otot brachioradialis
Sistem saraf pada tulang ulna dan tulang radius adalah
a. Nervus ulnaris
Saraf ulnar memanjang dibelakang epikondilus medial. Saraf ini menginversi
m.flexor carpi ulnaris, bagian medial m.flexor digitorum dan otot-otot
intrinsik tangan
b. Nervus medianus
Nervus medianus masuk ke lengan bawah melalui celah antara caput ulna dan
radius. Berjalan turun ke m.flexor digitoum superficialis. Cabangnya nervus
interosseus anterior menginversi index dan juga m.flexor digitorum
profundus, m.flexor pollicis longus dan m.pronatur quadratus.
c. Nervus radialis
Di dalam fossa cubiti nervus radialis bercabang menjadi dua superfisial
(sensorik) dan dalam. Nervus radialis superfisial menginversi sensorik pada
punggung pergelangan tangan dan tangan. Cabang yang dalam menginversi
otot-otot ekstensor pada lengan bawah. Berjalan ke dalam menginversi
m.supinator dan keluar sebagai n.interosseus posterior.
Sistem pembuluh darah pada lengan bawah yaitu:
a. Arteri radialis keluar setinggi kolum radius dari bifurkasio arteri brakialis.
Arteri ini berjalan di atas tendon biseps dan terletak mula-mula di atas
m.supinator kemudian turun di sisi radialis lengan bawah, dibawah tepi
m.brakioradialis di setengah atas perjalanannya kemudian di antara tendon
brakioradialis dan m.fleksor karpi radialis di lengan bawah bagian bawah.
b. Arteri ulnaris dimulai sebagai akhir bifurkasio arteri brakialis setinggi kolum
radius. Arteri ini berjalan di sebelah profunda kaput profunda m.pronator
teres dan sebelah profunda arkus fibrosa fleksor digitorum superfisialis dan
turun pada m.fleksor digitorum profunda bersama dengan ulnaris di sebelah
medialnya dan m.fleksor kapi ulnaris menumpuk di atasnya pada setengah
proksimal lengan bawah
c. Vena chepalica adalah vena yang melintasi ke proksimal pada fascia
superficialis, mengikuti tepi lateral pergelangan tangan dan pada permukaan
antero lateral lengan bawah dan lengan atas
d. Vena basilica adalah vena yang melintasi pada fascia superficialis di sisi
medialis lengan bawah dan bagian distal lengan atas
e. Vena media cubiti merupakan penghubung antara vena basilica dan vena
cepalica sebelah depan daerah fossa cubiti

2. Pengertian Fraktur Antebrachii


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang penyebabnya dapat dikarenakan penyakit pengeroposan tulang
atau osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa, dan dapat juga
disebabkan karena kecelakaan (Mansjoer, 2000). Fraktur adalah biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga
tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price,
2003).
Fraktur antebrachii adalah terputusnya kontinuitas tulang yang terjadi di
tulang radius dan ulna yang diakibatkan oleh trauma langsung seperti
kecelakaan ataupun karena penyakit seperti osteoporosis. Pada anak biasanya
tampak angulasi anterior dan kedua ujung tulang yang patah masih
berhubungan satu sama lain. Gambaran klinis fraktur antebrachii pada orang
dewasa biasanya tampak jelas karena fraktur radius ulna sering berupa fraktur
yang disertai dislokasi fragmen tulang.

3. Etiologi
Penyebab fraktur dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Fraktur akibat trauma
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi
kemampuan tulang dalam menahan takanan. Tekanan pada tulang dapat
berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau
oblik, tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal,
tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertikal dapat menyebabkan
fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau
fraktur buckle pada anak-anak (Muttaqin, 2008).
Secara umum penyebab fraktur adalah sebagai berikut:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang. Fraktur pada anak-anak biasanya sebagai
akibat trauma dari kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
penganiayaan anak. Karena jaringan lunak pada anak-anak fleksibel,
fraktur terjadi lebih sering daripada cedera jaringan lunak (Muscari, 2005).

b. Fraktur patologis
Suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan
tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau
osteoporosis.

4. Klasifikasi Fraktur
Menurut Mansjoer (2000), jenis fraktur antebrachii adalah:
a. Fraktur Colles
Menurut Pearce (2008) fraktur Colles adalah patah transvers dari ujung
bawah radius, kira-kira 2,5 cm diatas pergelangan, pasien terjatuh dalam
keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke
dalam (endorotasi). Tangan terbuka terfiksasi di tanah berputar keluar
(eksorotasi supinasi). Fraktur ini terjadi dengan posisi tangan dorsofleksi,
segmen fraktur distal mengalami angulasi ke arah dorsal dan menyebabkan
deformitas seperti “sendok makan” (dinner fork deformity).
Gambar Fraktur Coll
Fraktur Colles dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:
1) Tipe IA : Fraktur radius ekstra artikuler
2) Tipe IB : Fraktur radius dan ulna ekstra artikuler
3) Tipe IIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radio karpal
4) Tipe IIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radio
karpal
1) Tipe IIIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radio ulnar
2) Tipe IIIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radio
ulnar
3) Tipe IVA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal dan
sendi radioulnar

4) Tipe IVB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radio
karpal dan sendi radio ulnar
b. Fraktur Smith
Fraktur Smith merupakan kebalikan dari Fraktur Colles, dengan
angulasi ke arah anterior (volar) dari fraktur radius. Fraktur ini biasa
terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan badan
sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan
dan pronasi. Garis patahan biasanya transversal, kadang intraartikular.
Penggeseran bagian distal radius bukan ke dorsal, melainkan ke arah
palmar. Patah tulang ini lebih jarang terjadi.
Gambar Fraktur Smith
c. Fraktur Galeazzi
Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai dislokasi
sendi radius ulna distal. Saat pasien jatuh dengan tangan terbuka yang
menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi pronasi
waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi. Gambaran
klinisnya bergantung pada derajat dislokasi fragmen fraktur. Bila ringan
nyeri dan tegang hanya dirasakan pada daerah fraktur; bila berat, biasanya
terjadi pemendekan lengan bawah. Pada fraktur ini tampak tangan bagian
distal dalam posisi angulasi kedorsal. Pada pergelangan tangan dapat
diraba tonjolan ujung distal ulna.

Gambar Fraktur Galeazzi


d. Fraktur Montegia
Fraktur Montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai
dislokasi sendi radius ulna proksimal. Dislokasi ini dapat terjadi ke lateral
dan juga ke posterior. Penyebabnya biasanya trauma langsung terhadap
ulna, misalnya sewaktu melindungi kepala pada pukulan, sehingga disebut
patah tulang tangkis. Terdapat 2 tipe yaitu tipe ekstensi (lebih sering) dan
tipe fleksi. Pada tipe ekstensi gaya yang terjadi mendorong ulna kearah
hiperekstensi dan pronasi. Sedangkan pada tipe fleksi, gaya mendorong
dari depan kearah fleksi yang menyebabkan fragmen ulna mengadakan
angulasi ke posterior.
Gambar Fraktur
Montegia

e. Fraktur Barton volar


Fraktur Barton volar sebetulnya masih bagian dari fraktur Smith.
Reduksi biasanya cukup dengan tarikan dan supinasi, tetapi karena garis
patah tulang miring reposisi yang dicapai biasanya tetap tidak stabil
sehingga kadang pembedahan akan lebih baik hasilnya. Epalsiolisis harus
diusahakan untuk reposisi secara anatomis mungkin agar tidak terjadi
gangguan pertumbuhan. Hal ini dapat dilakukan secara tertutup, kadang
secara terbuka. Dengan atau tanpa reposisi operatif dapat dipakai kawat K
yang kecil yang cukup kuat untuk fiksasi intern sehingga fiksasi dapat
dicapai tanpa merusak cakram epiflsis.
5. Patofisiologi
Apabila tulang normal mendapat tekanan yang berlebihan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan
tersebut mengakibatkan jaringan tidak mampu menahan kekuatan yang
mengenainya. Maka tulang menjadi patah sehingga tulang yang mengalami
fraktur dan akan terjadi perubahan posisi tulang, kerusakan hebat pada
struktur jaringan lunak dan jaringan di sekitarnya yaitu ligament, otot, tendon,
pembuluh darah dan persyarafan yang mengelilinginya (Long, B.C, 1996).
Periosteum akan terkelupas dari tulang dan robek dari sisi yang
berlawanan pada tempat terjadinya trauma. Ruptur pembuluh darah di dalam
fraktur akan menimbulkan nyeri. Tulang pada permukaan fraktur yang tidak
mendapat aliran darah akan mati sepanjang satu atau dua millimeter. Setelah
fraktur lengkap, fragmen-fragmen biasanya akan bergeser, sebagian oleh
karena kekuatan cidera dan bisa juga gaya berat dan tarikan otot yang
melekat.

Fraktur dapat tertarik dan terpisah atau dapat tumpang tindih akibat spasme
otot, sehingga terjadi pemendekan tulang, dan akan menimbulkan derik atau
krepitasi karena adanya gesekan antara fragmen tulang yang patah.
Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah pergelangan tangan
biasanya merupakan trauma langsung, yaitu jatuh pada permukaan tangan
sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah volar
menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal.
Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari
samping menyerupai garpu, seperti yang terjadi pada fraktur Colles.
Sebaliknya, jatuh pada permukaan tangan sebelah dorsal menyebabkan
dislokasi fragmen distal ke arah volar seperti yang terjadi pada fraktur Smith.
Pada keduanya masih terdapat komponen gaya ke arah deviasi radial dan
deviasi ulna yang dapat menyebabkan patahnya tulang karpus. Jatuh pada
permukaan tangan bagian volar dengan tangan dalam posisi deviasiradial
dapat menyebabkan fraktur pada tulang navikulare (os skafoid) sedangkan
jatuh dengan tangan dorsofleksi maksimal dapat menyebabkan dislokasi
tulang lunatum.
Diagnosis fraktur dengan fragmen terdislokasi tidak menimbulkan
kesulitan. Secara klinis, dengan mudah dapat dibuat diagnosis patah tulang
Colles atau fraktur Smith. Bila fraktur terjadi tanpa dislokasi fragmen
patahannya, diagnosis klinis dibuat berdasarkan tanda klinis patah tulang. Hal
yang mungkin terlewat dalam diagnosis adalah adanya fraktur tulang
navikulare atau adanya dislokasi tulang lunatum. Secara klinis pada fraktur
navikulare didapati nyeri tekan pada tabatier anatomik. Diagnosis kedua
kelainan ini ditegakkan dengan foto Rontgen. Pada foto antero-posterior biasa
sering tidak terlihat adanya fraktur navikulare. Untuk ini perlu foto dengan
proyeksi oblik 45° dan 135° atau foto diulang setelah satu minggu karena
mungkin retak tidak kelihatan pada cedera baru.
Ketika tulang patah, perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens
terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. Fagositosis
dan pembersihan debris dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk
di tempat patah dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur,
yang disebut kalus. Bekuan fibrin segera direabsorpsi dan tulang baru secara
perlahan mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. Tulang
sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi
(pengerasan). Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila
hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk atau
apabila sel tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan (Corwin,
2009).
6. Tanda dan Gejala
Secara umum tanda tanda dan gejala yang muncul menurut Nurarif dan
Kusuma (2013) dan Smeltzer dan Bare (2002) diantaranya:
a. Nyeri di lokasi cidera yang terus menerus dan bertambah berat sampai
fragmen tulang diimobilisasi. Nyeri ini muncul sebagai akibat ujung-ujung
saraf bebas mengalami kerusakan. Reseptor nyeri (nosiseptor) mencakup
ujung-ujung saraf bebas yang berespon terhadap berbagai rangsangan
termasuk tekanan mekanis (trauma), deformasi, suhu yang ekstrim, dan
berbagai bahan kimia. Energi dari stimulus-stimulus ini dapat diubah
menjadi energy listrik dan perubahan energi ini dinamakan transduksi.
Transduksi dimulai di perifer, ketika stimulus terjadinya nyeri
mengirimkan impuls yang melewati serabut saraf nyeri perifer yang
terdapat di panca indera, maka akan menimbulkan potensial aksi. Setelah
proses transduksi selesai, transmisi impuls nyeri dimulai.
b. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma
dan perdarahan yang mengalami fraktur. Selain itu juga diakibatkan karena
inflamasi akibat dari kerusakan sel. Kerusakan sel dapat mengakibatkan
pelepasan neurotransmitter seperti histamin, bradikinin, serotonin,
beberapa prostaglandin, ion kalium, ion hydrogen, dan substansi P.
Masing-masing zat tersebut tertimbun di tempat cedera termasuk fraktur,
hipoksia, atau kematian sel. Substansi yang peka terhadap nyeri yang
terdapat disekitar serabut nyeri di cairan ekstraseluler, menyebarkan pesan
adanya nyeri dan menyebabkan inflamasi (Potter & Perry, 2010).
c. Deformitas
d. Gangguan fungsi gerak utamanya pada area yang cidera
e. Krepitasi

Tanda dan gejala berdasarkan jenis fraktur antebrachii, diantaranya adalah:


1. Fraktur Colles
Fraktur ini dapat terlihat penonjolan punggung pergelangan tangan dan
depresi di depan. Pada pasien dengan sedikit deformitas mungkin hanya
terdapat nyeri tekan lokal dan nyeri bila pergelangan tangan digerakkan.
Selain itu juga didapatkan kekakuan, gerakan yang bebas terbatas, dan
pembengkakan di daerah yang terkena. Gambaran klinisnya yaitu:
a. Fraktur metafisis distal radius dengan jarak kurang lebih 2,5 cm dari
permukaan sendi distal radius
b. Dislokasi fragmen distalnya ke arah posterior/dorsal
c. Subluksasi sendi radioulnar distal
d. Avulsi prosesus stiloideus ulna.
e. Nyeri
2. Fraktur Smith
Penonjolan dorsal fragmen proksimal, fragmen distal di sisi volar
pergelangan, dan deviasi ke radial (garden spade deformity), dan adanya
Nyeri pada fraktur. Gambaran radiologis dari fraktur ini yaitu terdapat fraktur
pada metafisis radius distal; foto lateral menunjukkan bahwa fragmen distal
bergeser dan miring ke anterior-sangat berlawanan dengan fraktur colles.
3. Fraktur Galeazzi
Fraktur Galeazzi jauh lebih sering terjadi daripada fraktur Monteggia.
Pada pergelangan tangan dapat diraba tonjolan ujung distal ulna. Tampak
tangan bagian distal dalam posisi angulasi ke dorsal. Pada pergelangan tangan
dapat diraba tonjolan ujung distal ulna. Ujung bagian bawah ulna yang
menonjol merupakan tanda yang mencolok. Perlu dilakukan pemeriksaan
untuk lesi saraf ulnaris yang sering terjadi. Gambaran klinisnya bergantung
pada derajat dislokasi fragmen fraktur. Bila ringan. Nyeri dan tegang hanya
dirasakan pada daerah fraktur; bila berat, biasanya terjadi pemendekan lengan
bawah.
Tampak-tangan bagian distal dalam posisi angulasi kedorsal.
4. Fraktur Montegia
Terdapat 2 tipe yaitu tipe ekstensi (lebih sering) dan tipe fleksi. Pada tipe
ekstensi gaya yang terjadi mendorong ulna ke arah hiperekstensi dan pronasi.
Sedangkan pada tipe fleksi, gaya mendorong dari depan ke arah fleksi yang
menyebabkan fragmen ulna mengadakan angulasi ke posterior. Nyeri pada
bagian fraktur.
5. Fraktur atau dislokasi tulang karpus
Gambaran klinis sering kurang jelas. Biasanya ada keluhan nyeri
dipergelangan tangan. Pada pemeriksaan didapatkan empat tanda yang jelas,
ialah nyeri tekan di tabatiere pada posisi deviasi ulna yang menyebabkan
penonjolan tulang skafoid di tabatiere, nyeri tekan pada penonjolan
navikulare di sebelah volar pada deviasi radier, nyeri sumbu pada pukulan
martil perkusi pada kaputmetakarpale pada tangan sikap tinju dan nyeri di
dalam pergelangan tangan padafleksi maupun ekstensi ekstrem.

7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur menurut American College
of Surgeons Comittee on Trauma dalam Parahita dan Kurniyanta (2012)
adalah:
a. Perdarahan arteri
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat
arteri mampu menghasilkan trauma arteri. Cidera ini dapat menimbulkan
pendarahan besar pada luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak.
Ekstrimitas yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas
menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar
dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskular. Cidera ini menjadi
berbahaya apabila kondisi hemodinamik pasien tidak stabil.

b. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot
dibatasi oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga
berfungsi sebagai lapisan penahan. Kompartemen akibat edema yang timbul
akibat revaskularisasi sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena
penyusutan isi kompartemen yang disebabkan tekanan dari luar misalkan
balutan yang menekan. Tanda dan gejala sindroma kompartemen adalah :
1) Pain (nyeri) bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif
yang meregangkan otot bersangkutan. Nyeri terjadi karena saraf mendapat
tekanan dari luar.
2) Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya sensasi
atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut.
3) Pale atau pucat karena pembuluh darah juga mendapat tekanan dari luar.
4) Paralysis
5) Pulseless, denyut nadi menjadi melemah atau menghilang karena
pembuluh darah mendapat tekanan dari luar.
c. Osteomyelitis
Osteomyelitis dalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum
dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh)
atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat
masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka
tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka
amputasi karena trauma dan fraktur-fraktur dengan sindrom kompartemen
atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar.
d. Mal union
Mal union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk angulasi pemendekan atau union secara
menyilang misalnya pada fraktur tibia-fibula.
e. Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena
suplai darah ke tulang menurun. Delayed union adalah fraktur yang tidak
sembuh setelah waktu tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan
untuk anggota gerak bawah.
f. Non union
Non union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak
didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu).
Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga terjadi
bersamasama infeksi.
g. Fat Embolism Syndrom (FES)
Fat Embolism Syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipnea, demam.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya
dislokasi. Lihat kesegarisan antara kondilus medialis, kaput radius, dan
pertengahan radius. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada pasien
fraktur diantaranya:
a. Foto rongten digunakan untuk mengetahui lokasi dan garis fraktur.
b. X ray digunakan untuk menentukan jenis fraktur dan mekanisme
terjadinya trauma. Umumnya menggunakan proyeksi anteroposterior dan
lateral.
c. CT scan dapat digunakan untuk menggambarkan anatomi tulang khusunya
pada cedera plafon.
d. MRI digunakan untuk mengkaji adanya cedera pada tulang rawan,
ligament dan tendon.

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur antebrachii adalah sebagai berikut:
a. Fraktur Colles
1) Pada fraktur Colles tanpa dislokasi hanya diperlukan imobilisasi dengan
pemasangan gips sirkular di bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai
dislokasi diperlukan tindakan reposisi tertutup. Dilakukan dorsofleksi
fragmen distal, traksi kemudian posisi tangan volar fleksi, deviasi ulna
(untuk mengoreksi deviasi radial) dan diputar ke arah pronasio (untuk
mengoreksi supinasi). Imobilisasi dilakukan selama 4 - 6 minggu.
2) Fraktur tak bergeser (atau hanya sedikit sekali bergeser), fraktur dibebat
dalam slab gips yang dibalutkan sekitar dorsum lengan bawah dan
pergelangan tangan dan dibalut kuat dalam posisinya.
3) Fraktur kominutif berat dan tak stabil tidak mungkin dipertahankan
dengan gips; untuk keadaan ini sebaiknya dilakukan fiksasi luar, dengan
pen proksimal yang mentransfiksi radius dan pen distal, sebaiknya
mentransfiksi dasar-dasar metakarpal kedua dan sepertiga.
4) Fraktur yang bergeser harus direduksi di bawah anestesi. Tangan
dipegang dengan erat dan traksi diterapkan di sepanjang tulang itu
(kadang-kadang dengan ekstensi pergelangan tangan untuk melepaskan
fragmen; fragmen distal kemudian didorong ke tempatnya dengan
menekan kuat-kuat pada dorsum sambil memanipulasi pergelangan
tangan ke dalam fleksi, deviasi ulnar dan pronasi.
Posisi kemudian diperiksa dengan sinar X. Jika posisi memuaskan,
dipasang slab gips dorsal, membentang dari tepat di bawah siku sampai leher
metakarpal dan 2/3 keliling dari pergelangan tangan itu. Slab ini
dipertahankan pada posisinya dengan pembalut kain krep. Posisi deviasi ulnar
yang ekstrim harus dihindari; cukup 20 derajat saja pada tiap arah.

b. Fraktur Smith
Dilakukan reposisi dengan posisi tangan diletakkan dalam posisi
dorsofleksi ringan, deviasi ulnar, dan supinasi maksimal (kebalikan posisi
Colles). Lalu diimobilisasi dengan gips di atas siku selama 4 - 6 minggu.

c. Fraktur Galeazzi
Dilakukan reposisi dan imobilisasi dengan gips di atas siku, posisi netral
untuk dislokasi radius ulna distal, deviasi ulnar, dan fleksi.
d. Fraktur Montegia
Dilakukan reposisi tertutup. Asisten memegang lengan atas, penolong
melakukan tarikan lengan bawah ke distal, kemudian diputar ke arah
supinasi penuh. Setelah itu, dengan jari kepala radius dicoba ditekan ke
tempat semula. Imobilisasi gips sirkuler dilakukan di atas siku dengan
posisi siku fleksi 90° dan posisi lengan bawah supinasi penuh. Bila gagal,
dilakukan reposisi terbuka dengan pemasangan fiksasi interna (plate-
screw).

Prosedur penatalaksanaan fraktur antebrachii adalah sebagai berikut: a.


Pembedahan
Metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya saat ini
adalah pembedahan. Berikut ini jenis pembedahan pada pasien fraktur
antebrachii:
1) ORIF (Open Reduction Internal Fixation) yaitu prosedur pembedahan
untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan stabilitas dan
mengurangi rasa nyeri pada tulang yang patah yang telah direduksi dengan
skrup, paku dan pin logam
2) Reduksi terbuka dengan melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah
terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemanjangan tulang yang patah
3) Fiksasi ekterna yaitu mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak dimana garis fraktur direduksi, disejajarkan dan diimobilisasi dengan
sejumlah pin yang dimasukkan ke dalam fragmen tulang.
b. Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk
tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah:
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur;
2) Istirahatkan dan stabilisasi;
3) Koreksi deformitas;
4) Mengurangi aktifitas;
5) Membuat cetakan tubuh orthotic.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah:
1) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan;
2) Gips patah tidak bisa digunakan;
3) Gips yang terlalu kecil atau longgar sangat membahayakan klien;
4) Tidak merusak / menekan gips;
5) Tidak memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk; 6)
Tidak meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama.

Penatalaksanaan lanjut yang dapat dilakukan, antara lain:


Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipertimbangkan pada saat menangani
fraktur:
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa daan tindakan selanjutnya.
b. Reduksi (Manipulasi/Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan segera mungkinuntuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan.
c. Retensi (Imobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaranyang benar sampai
terjadi penyatuan.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai
melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh
dan mobilisasi. Rehabilitasi terdiri dari: reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan, pemberian analgetik untuk mengurangi
nyeri, status neurovaskuler (misal: peredaran darah, nyeri, perbaan gerakan)
dipantau dan latihan isometrik dan setting otot diusakan untuk meminimalkan
atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.

Penatalaksanaan Keperawatan Perioperatif


1. Preoperatif
Tindakan keperawatan pre operatif merupakan tindakan keperawatan yang
dilakukan dalam rangka mempersiapkan pasien sebelum dilakukan tindakan
pembedahan dengan tujuan menjamin keselamatan pasie saat dalam fase
intraoperative. Peran perawat dalam tahap ini ada dua yaitu:
a. Fase Pengkajian dan Persiapan Pasien, fase ini dilakukan untuk tindakan
pengkajian, perencanaan dan evaluasi persiapan pasien untuk melakukan
operasi tindakan yang dilakukan meliputi pengkajian riwayat pasien,
manajemen alergi pada pasien, manajemen pengobatan,riwayat keluarga,
lingkungan sosial pasien, pengkajian fisik, pemeriksaan laboratorium,
informed consent dan health education. Pendidikan kesehatan yang perlu
perawat berikan untuk klien adalah sebagai berikut.
1) Teknik mengurangi kecemasan dan mengurangi nyeri setelah operasi,
teknik yang dapat diajarkan pada pasien adalah relaksasi nafas dalam,
guide imagery, teknik distraksi, dan terapi musik. Pasien diajarkan untuk
melakukan nafas dalam untuk mengurangi kecemasan yang dialami pasien
sebelum operasi. Teknik relaksasi nafas dalam juga berguna untuk
mengurangi nyeri post operasi yang dialami pasien. Teknik ini dilakukan
dengan cara menarik nafas dari hidung kemudian ditahan selama 2-3 detik
lalu hembuskan melalui mulut, dapat juga dilakukan latihan batuk efektif
untuk membantu pasien dalam mengatasi efek anastesi yang
mungkindialami pasien setelah operasi.

2) Persiapan operasi, sebelum operasi pasien diminta untuk berpuasa 6-8 jam
sebelum operasi. Pasien juga diminta untuk tidak makan makanan yang
dapat meningkatkan sekresi asam lambung seperti permen dan permen
karet 6-8 jam sebelum operasi. Meminta pasien untuk menghentikan
merokok. Membersihkan bagian tubuh yang akan dilakukan operasi,
membantu pasien memakai baju operasi, menjaga keselamatan pasien saat
tranportasi ke ruang OK dengan memasang side rail, memasang kateter
jika diperlukan, dan menjelaskan kepada keluarga pasien terkait tindakan
operasi dan fasilitas yang dapat digunakan keluarga.
b. Fase Presurgical Clearance, memastikan identitas pasien, prosedur operasi,
bagian tubuh yang akan dioperasi dan check list persiapan pasien.

2. Intra Operative
1) Transport
a) Memastikan identitas pasien
b) Memastikan prosedur operasi, lokasi operasi, dan jenis operasi
c) Memastikan kembali apakah pasien memiliki riwayat alergi obat,
makanan, latex
2) Pemeliharaan Keselamatan
a) Atur posisi pasien
b) Kesejajaran fungsional
c) Pemajanan area pembedahan
d) Mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi
e) Memberikan dukungan fisik
f) Memastikan bahwa jumlah spongs, jarum dan instrumen tepat.
3) Pematauan Fisiologis
a) Memperhitungkan efek dari hilangnya atau masuknya cairan secara
berlebihan pada pasien (mencegah hypovolemia)
b) Membedakan data kardiopumonal yang normal dengan yang abnormal
c) Melaporkan perubahan-perubahan pada nadi, pernafasan, suhu tubuh
dan tekanan darah pasien.

4) Dukungan Psikologis (sebelum induksi dan jika pasien sadar)


a) Memberikan dukungan emosional pada pasien
b) Berdiri dekat dan menyentuh pasien selama prosedur dan induksi
c) Terus mengkaji status emosional pasien
d) Mengkomunikasikan status emosional pasien ke anggota tim perawatan
kesehatan lain yang sesuai.
5) Penatalaksanaan Keperawatan
a) Memberikan keselamatan untuk pasien
b) Mempertahankan lingkungan aseptik dan terkontrol
c) Secara efektif mengelola sumber daya manusia

3. Post Operative
a. Pengkajian
1) Kepatenan jalan nafas
2) Tanda-tanda vital
3) Balance cairan
4) Status kesadaran (GCS, orientasi orang, tempat, waktu, ukuran pupil
dan reflek pupil)
5) Kaji kekuatan otot
6) Kaji kepatenan IV line, kateter
7) Kaji kondisi luka (dressing, drains)
8) Kaji warna kulit dan membrane mukosa
9) Kaji kenyamanan pasien
b. Manajemen jalan nafas (airway management)
c. Regulasi suhu tubuh
d. Manajemen cairan dan elektrolit
e. Manajemen mual dan muntah
f. Manajemen nyeri (pain management)
Nyeri yang dialami oleh klien yang mengalami fraktur dapat dikontrol
dengan beberapa cara, yaitu dengan imobilisasi tulang yang mengalami
farktur, dan memberikan latihan teknik relaksasi. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Galuh (2010) teknik nafas dalam dapat menurukan
intensitas nyeri pada klien yang mengalami post operasi fraktur femur,
penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2013) bahwa teknik relaksasi
dapat menurunkan intensitas nyeri pada klien post operasi fraktur.
g. Perawatan post operatif pada pasien dengan fraktur antebrachii dengan
melakukan rehabilitation exercise dengan tujuan utama dalam progam
latihan yaitu untuk mengebalikan fungsi, kinerja, kekuatan otot dan daya
tahan ke tingkat sebelum terjadinya trauma. Terapi latihan yang dapat
dilakukan antara lain:
1) Active Exercise
Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan sendi melalui gerakan
penuh atau parsial sesuai dengan keinginannya sendiri. Tujuan
latihan ini untuk menghindari kehilangan ruang gerak yang ada pada
sendi. Latihan ini diindikasi pada fase awal penyembuhan tulang,
saat tidak ada atau sedikitnya stabilitas pada tempat fraktur. Umpan
balik sensorik langsung pada pasien dapat membantu mencegah
gerakan yang dapat menimbulkan nyeri atau mempengaruhi
stabilitas tempat fraktur.
Gambar Active Exercise

2) Active Assisted ( Gerak aktif dengan bantuan)


Pasien dilatih dengan menggunakan kontraksi ototnya sendiri untuk
menggerakkan sendi, sedangkan professional yang melatih
memberikan bantuan atau tambahan tenaga. Latihan ini sering digunakan
untuk keadaan kelemahan atau inhibisi gerak akibat nyeri atau rasa takut,
atau untu meningkatkan kisaran gerak yang ada. Pada latihan ini
dibutuhkan stabilitas pada tempat fraktur, seperti jika sudah ada
penyembuhan tulang atau sudah dipasang fiksasi fraktur.

Gambar Active Assisted

3) Resisted Exercise
Latihan penguatan meningkatkan kemampuan dari otot. Latihan ini
meningkatkan koordinasi unit motor yang menginervasi suatu otot
serta keseimbangan antara kelompok otot yang bekerja pada suatu
sendi. Latihan penguatan bertujuan untuk meningkatkan ketegangan
potensial yang dapat dihasilkan oleh elemen kontraksi dan statis
suatu unit otot-tendon.

Gambar Resisted Exercise

4) Hold Relax
Latihan yang menggunakan otot secara isometric kelompok
antagonis dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kontraksi isometric
kemudian otot menjadi rileks sehingga gerakan kearah agonis lebih
mudah dilakukan dan dapat mengulur secara optimal. Mekanisme
kontraksi isometric terjadi karena sarcomere otot yang semula
memendek akan dapat memanjang kembali dan berakibat
kembalinya fungsi otot secara normal kemudian diikuti dengan
relaksasi grup otot antagonis, mobilitas menjadi baik, nyeri
berkurang, sehingga pasien akan lebih mudah untuk menggerakkan
sendi yang semula terbatas. Menurut Adler (2008) tujuan dari latihan
ini adalah untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak
sendi (LGS). Indikasi dilakukannya latihan ini yaitu pasien
mengalami penurunan LGS, dan nyeri, sedangkan kontraindikasi
latihan ini pada pasien yang tidak dapat melakukan kontraksi
isometric. Latihan ini dilakukan dengan cara pasien atau terapis
menggunakan sendi siku kearah fleksi sampai batas nyeri pasien, lalu
pasien diminta untuk mengkontraksikan kelompok antagonis tersebut
tanpa terjadi gerakan atau kontraksi isometric, kontraksi
dipertahankan selama 5-8 detik, kemudian hitungan ke 8 pasien
rileks, tunggu sampai pasien benar-benar rileks kemudian terapis
melakukan penguluran kearah pola agonis, penguatan pola gerak
agonis dengan cara menambah LGS pasien. Gerakan ini diulang
hingga 6-8 kali (Adler, 2008).

Gambar Hold Relaxy

h. Memberikan Pendidikan Kesehatan Terkait Nutrisi


Nutrisi merupakan salah satu aspek yang sering dilupakan pada proses
penatalaksanaan fraktur, karena sebagian besar terfokus pada penggunaan
obat, penggantian balutan dan gips, serta fisioterapi saja (Situmorang,
2012). Asupan nutrisi yang baik seperti cukupnya vitamin A, vitamin D,
kalsium, vitamin C, fosfor, magnesium, dll dapat membantu
pertumbuhan dan pembentukan tulang yang kuat dan sempurna (Smeltzer
& Bare, 2002).
Vitamin A sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel, termasuk
perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam
pertumbuhan gigi, demikian halnya pada pasien fraktur. Sedangkan
fosfor digunakan sebagai mineral yang memperkuat struktur tulang
bersama dengan kalsium. Buah-buahan merupakan sumber vitamin A
yang baik untuk tulang. Fosfor terdapat di dalam semua makanan
terutama makanan kaya protein seperti daging, ayam, ikan, telur, susu,
dan hasilnya, kacangkacangan dan hasilnya, serta serealia (Almatsier,
2001)

10. Konsep Penyembuhan Tulang

a. Fase penyembuhan tulang (Bone Healing)


Black & Hawks (2009), menyebutkan bahwa tulang yang fraktur akan
melewati beberapa tahap penyembuhan diantaranya:
1) Fase Inflamasi, yaitu terjadi respons tubuh terhadap cedera yang
ditandai oleh adanya perdarahan dan pembentukan hematoma pada
tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami divitalisasi
karena terputusnya aliran darah, lalu terjadi pembengkakan dan nyeri,
tahap inflamasi berlangsung beberapa hari.
2) Fase Proliferasi, pada fase ini hematoma akan mengalami organisasi
dengan membentuk benang-benang fibrin, membentuk revaskularisasi
dan invasi fibroblast dan osteoblast. Kemudian menghasilkan kolagen
dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang,
terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid) berlangsung
setelah hari ke lima.
3) Fase Pembentukan Kalus, Pertumbuhan jaringan berlanjut dan
lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah
sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan
jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Waktu yang
dibutuhkan agar fragmen tulang tergabung adalah 3-4 minggu.
4) Fase penulangan kalus/Ossifikasi, adalah pembentukan kalus mulai
mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalui
proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun
sampai tulang benar-benar bersatu. Pada patah tulang panjang orang
dewasa normal, penulangan tersebut memerlukan waktu 3-4 bulan.
5) Fase Remodeling/konsolidasi, merupakan tahap akhir perbaikan patah
tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru
ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu
berbulan bulan sampai bertahun-tahun.
Gambar 1. Bone Healing Process

b. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang


Banyak faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan fraktur atau
penghambat dalam proses penyembuhan fraktur, yaitu:
1) Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur, yaitu reduksi
fragmen tulang, agar benar – benar akurat dan dipertahankan
dengan sempurna agar penyembuhan benar –benar terjadi. Aliran
darah memadai, nutrisi yang baik, latihan pembebanan berat untuk
tulang panjang, hormon-hormon pertumbuhan : tiroid kalsitonin,
vitamin D, steroid anabolik.
2) Faktor yang menghambat penyembuhan fraktur, yaitu kehilangan
tulang, imobilisasi tidak memadai, adanya rongga atau jaringan
diantara fragmen tulang, infeksi, keganasan lokal, penyakit
metabolik, nekrosis avaskuler, fraktur intraartikuler, usia (lansia
sembuh lebih lama), dan pengobatan

B. Clinical Pathways
Tindakan Bedah

Post Op

Efek Anastesi Luka Insisi

Inflamasi bakteri
Mual, muntah

Resiko Infeksi
Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
C. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara terhadap
pasien dengan fraktur antebrachii yaitu:
a. Identitas pasien
1) Nama
2) Jenis kelamin: kebanyakan terjadi pada laki-laki karena biasanya sering
ngebut saat mngendarai motor)
3) Umur: wanita dengan usia lanjut lebih berisiko karena terjadi
penurunan hormon, penurunan kalsium, proses penuaan dan kurangnya
ambulasi. Pada usia muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan.
4) Status perkawinan, agama, suku bangsa, bahasa yang digunakan,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, dan sumber informasi
b. Riwayat keperawatan
1) Riwayat perjalanan penyakit
a) Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan :
nyeri pada ekstremitas atas
b) Apa penyebabnya, waktu: kecelakaan atau trauma, berapa
jam/menit yang lalu
c) Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
d) Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
e) Kehilangan fungsi
2) Riwayat pengobatan sebelumnya
a) Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis
kortikosteroid dalam jangka waktu lama
b) Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama
pada wanita
c) Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
d) Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Pemeriksaan fisik
1) Look/inspeksi
a) Bandingkan dengan bagian yang sehat, posisi dan bentuk dari
ekstrimitas (deformitas)
b) Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan
c) Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
d) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
e) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
pemendekan
f) Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organorgan lain
g) Keadaan vaskularisasi
h) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi)
i) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi
j) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan pada area luka

2) Feel/palpasi
a) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
b) Krepitasi
c) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma
d) Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
e) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time à Normal > 3 detik
f) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
g) Tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi
h) Benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya

3) Move/gerakan
a) Periksa pergerakan dengan menggerakkan secara aktif dan pasif
sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma
b) Memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi
c) Gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan
d) Range of motion dan kekuatan serta kita melakukan pemeriksaan
untuk melihat apakah ada gerakan tidak normal atau tidak

2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan fraktur tulang, spasme otot, edema,
kerusakan jaringan lunak
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penonjolan tulang
(fraktur terbuka)
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
nyeri/ketidaknyamanan, gangguan fungsi musculoskeletal,
immobilisasi
4) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma
jaringan
b. Diagnosa Keperawatan Intra Operasi
1) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
2) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma
jaringan
c. Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan alat traksi/immobilisasi
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tindakan pembedahan

3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan


nyeri/ketidaknyamanan, gangguan fungsi musculoskeletal,
imobilisasi
4) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan

5) Resiko disuse sindrom berhubungan dengan nyeri pada tulang


6) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan fungsi
musculoskeletal
3. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam NIC: Manajemen nyeri
dengan fraktur tulang, pasien menunjukkan hasil: (1400)
spasme otot, edema dan Kontrol nyeri (1605) 1. Lakukan pengkajian
kerusakan jaringan lunak Tujuan yang komprehensif yang
No. Indikator Awal meliputi lokasi,
1 2 3 4 5 karakteristik,
Mengenali kapan onsert/durasi, frekuensi,
160502 3 √
nyeri terjadi kualitas, intensitas nyeri
Menggambarkan 2. Berikan informasi
160501 3 √ mengenai nyeri, seperti
faktor penyebab
Menggunakan penyebab nyeri, berapa
tindakan lama nyeri akan
160504 3 √ dirasakan dan antisipasi
pengurangan nyeri
akan ketidaknyamanan
tanpa analgesik
akibat prosedur.
Menggunakan 3. Ajarkan prinsip-prinsip
160505 analgesik yang di 3 √ manajemen nyeri
rekomendasikan 4. Ajarkan teknik non
Melaporkan farmakologis (seperti:
perubahan terhadap relaksasi , terapi music)
160513 gejala nyeri pada 3 √ 5. Pastikan perawatan
profesional analgesik bagi pasien
kesehatan dilakukan dengan
Mengenali apa yang pemamtauan yang ketat
terkait dengan 6. Berikan penurun nyeri
160511 3 √
gejala nyeri yang optimal dengan

resepan analgesik dari


dokter.
2. Hambatan mobilitas denganfisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam NIC: Bantuan perawatan
berhubungan pasien menunjukkan hasil: diri: IADL (1805)
ketidaknyamanan, gangguan Toleransi terhadap aktivitas (0005) 1. Tentukan kebutuhan
muskuloskeletal, immobilisasi Tujuan individu terkait dengan
No. Indikator Awal bantuan dalam IADL
1 2 3 4 5 2. Tentukan peningkatan
000509 Kecepatan berjalan 3 √ kebutuhan dirumah
000510 Jarak berjalan 3 √ (misalnya, ada
Toleransi pegangan tangan di
000511 dalam 3 √ jalan, pegangan tangan
dikamar mandi)
menaiki tangga
3. Dapatkan alat-alat
Kekuatan untuk membantu dalam
000517 tubuh bagian 3 √ aktivitas sehari-hari
bawah 4. Dapatkan alat
Kemudahan dalam pengaman visual atau
000518 melakukan aktivitas 3 √ teknik yang
hidup harian bisa dilihat
5. Instruksikan individu
dan caregiver mengenal
apa yang bisa
dilakukan saat individu
sakit karena
cedera lain
3. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam NIC: Pengecekan kulit
jaringan dengan berhubunga pasien menunjukkan hasil: (3590)
pembedahan n tindakan Integritas Jaringan: Kulit & Membran Mukosa (1101) 1. Periksa kulit dan selaput
Tujuan membran terkait
No. Indikator Awal 1 2 3 4 5 dengan adanya
kemerahan,
110103 Elastisitas 3 √ kehangatan ekstrim,
110104 Hidrasi 3 √ edema, dan drainase
110111 Perfusi jaringan 3 √ 2. Gunakan alat pengkajian
110113 Integritas kulit 3 √ untuk mengidentifikasi
110117 Jaringan parut 3 √ pasien yang berisiko
mengalami kerusakan
110120 Penebalan kulit 3 √
kulit (missal Skala
Braden)
3. Monitor infeksi terutama
dari daerah edema
4. Dokumentasikan
perubahan membrane
mukosa
5. Lakukan langkah-langkah
untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut
(misalnya, melapisi
Kasur, menjadwalkan
reposisi
6. Ajarkan anggota keluarga
mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit
4 Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam NIC : kontrol infeksi
dengan kerusakan kulit, pasien menunjukkan hasil: (6540)
trauma jaringan No. Indikator Awal Tujuan 1. Bersihkan lingkungan
1 2 3 4 5 dengan baik setelah
1. Tekanan darah digunkan untuk setiap
2 √ pasien
sistolik
2. Tekanan darah 2. Ganti peralatan perawatan
2 √
diastolic per pasien sesuai protocol
3. Stabilitas institusi
2 √ 3. Anjurkan pengunjung
hemodinamik
4. Suhu tubuh 2 √ untuk mencuci tangan pada
saat memasuki dan
5. Laju nadi radialis 2 √
meninggalkan pasien
4. Batasi jumlah pengunjung
5. Pastikan teknik perawatan
luka yang tepat
Kontrol infeksi;
Intraoperatif (6545)
1. Bersihkan debu dan
permukaan mendatar
dengan pencahayaan di
ruang operasi
2. Monitor dan jaga aliran
udara yang berlapis
3. Verifikasi keutuhan
kemasan steril

5 Resiko disuse sindrom Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam Terapi Latihan : Mobilitas
berhubungan dengan nyeri pasien menunjukkan hasil: Sendi (0224)
pada tulang Status Neurologi: Sensori tulang punggung/ fungsi motorik (0914) 1. Tentukan batas pergerakan
Indikator Awal Tujuan sendi dan efeknya
1 2 3 4 5
terhadap fungsi
091401 Gerakan kepala dan
bahu
sendi

091402 Fungsi otonomik 2. Kolaborasikan dengan


091403 Refleks tendon dalam
091405 Kekuatan tubuh bagian ahli terapi fisik dalam
atas mengembangkan dan
091410 Kekuatan tubuh bagian menerapan sebuah
bawah
program latihan
Keterangan:
1. Sangat terganggu
3. Dukung latihan ROM
2. Banyak terganggu aktif, sesuai jadwal yang
3. Cukup terganggu teraktur dan terencana
4. Sedikit terganggu 4. Instruksikan pasien atau
5. Tidak terganggu keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan
aktif
5. Bantu pasien ntuk
membuat jadwal ROM
6. Sediakan petujuk tertulis
untuk melakukan latihan
6 Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam NIC: Bantuan perawatan
pasien menunjukkan hasil: diri: mandi/kebersihan
No. Indikator Awal Tujuan (1801)
1. Fasilitasi pasien untuk
1 2 3 4 5
menggosok gigi dengan
1. Mencuci wajah 2 √
tepat
2. Mencuci badan
2 √ 2. Fasilitasi pasien untuk
bagian atas
seka dengan tepat
3. Mencuci badan
2 √
bagian bawah

4. Membersihkan area 2 √ 3. Monitor kebersihan kuku


perineum
4. Monitor integritas kulit
5. Jaga kebersihan
secara berkala
6. Dukung keluarga
berpartisipasi dalam
mempertahankan
kebersihan dengan tepat
7. Nutrisi Kurang dari Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam NIC : Terapi Nutrisi (11200
Kebutuhan Tubuh pasien menunjukkan hasil: 1. Lengkapi pengkajian nutrisi
Status Nutrisi (1004) 2. Monitor intake
No. Indikator Awal Tujuan makanan/cairan
dan hitung masukan kalori
1 2 3 4 5 perhari
3. Tentukan jumlah kalori dan
1. Asupan Gizi √ tipe
2. Asupan Makanan √ nutrisi yang
diperlukan untuk
3. Asupan Cairan √ memenuhi kebutuhan nutrisi
4. Energi √ dengan
berkolaborasi dengan ahli
5. Rasio berat badan atau √ gizi
tinggi badan 4. Motivasi pasien untuk
mengkon
6. Hidrasi √ sumsi makanan yang tinggi
kalsium
Keterangan ; 5. Motivasi untuk
1. Sangat menyimpang dari rentang normal mengkonsumsi
2. Banyak menyimpang dari rentang normal
3. Cukup menyimpang dari rentang normal makanan dan minuman yang
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal tinggi
5. Tidak menyimpang dari rentang normal kalium sesuai kebutuhan
6. Pastikan bahwa dalam diet
mengan
dung makanan yang tinggi
serat
untuk mencegah konstipasi
7. Berikan nutrisi enteral, sesuai
kebu
tuhan
8. Berikan nutrisi yang
dibutuhkan Sesuai batas diet
yang dianjurkan
DAFTAR PUSTAKA

Aquilino, Mary Lober, Et al. 2008. Nursing Outcomes Classification. Fifth


Edition. United State of America: Mosby Elsevier

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa oleh Nike Budhi.
Jakarta: EGC

Dochterman, Janne McCloskey dan Bulcchek, Gloria M. 2008. Nursing


Interventions Clarifications. Fifth Edition. United State of America: Mosby
Elsevier.

Doenges M, 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan


dan Pemdokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III. Jakarta: EGC

Graber, Mark A. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga.Jakarta: EGC

Herdman, T. Heather. 2018. NANDA Internasional Inc. Diagnosa Keperawatan:


Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC

Long, B.C, 2000. Perawatan Medikal Bedah. Edisi VII. Bandung: Yayasan
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II. Media
Aesculapius: Jakarta.

Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa


oleh Alfrina Hany. Jakarta: EGC

Pearce, Evelyn C. 2008.Anatomi Fisiologi untuk Paramedis.Jakarta: Gramedia

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.


Volume 2. Jakarta: EGC.

Schwartz, Seymour I.2000.Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah.Jakarta: EGC

Smeltzer dan Bare. 2002. Keperawatan Medical Bedah Bruner dan Sudarth.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai