LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH:
Nanda Ema Avista, S. Kep
NIM 182311101054
2. Kompartemen dorsal:
Otot ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan,
nervus interosseous posterior
3. Mobile wad :
Otot ekstensor carpi radialis longus, Otot ekstensor carpi
radialis brevis, otot brachioradialis
Sistem saraf pada tulang ulna dan tulang radius adalah
a. Nervus ulnaris
Saraf ulnar memanjang dibelakang epikondilus medial. Saraf ini menginversi
m.flexor carpi ulnaris, bagian medial m.flexor digitorum dan otot-otot
intrinsik tangan
b. Nervus medianus
Nervus medianus masuk ke lengan bawah melalui celah antara caput ulna dan
radius. Berjalan turun ke m.flexor digitoum superficialis. Cabangnya nervus
interosseus anterior menginversi index dan juga m.flexor digitorum
profundus, m.flexor pollicis longus dan m.pronatur quadratus.
c. Nervus radialis
Di dalam fossa cubiti nervus radialis bercabang menjadi dua superfisial
(sensorik) dan dalam. Nervus radialis superfisial menginversi sensorik pada
punggung pergelangan tangan dan tangan. Cabang yang dalam menginversi
otot-otot ekstensor pada lengan bawah. Berjalan ke dalam menginversi
m.supinator dan keluar sebagai n.interosseus posterior.
Sistem pembuluh darah pada lengan bawah yaitu:
a. Arteri radialis keluar setinggi kolum radius dari bifurkasio arteri brakialis.
Arteri ini berjalan di atas tendon biseps dan terletak mula-mula di atas
m.supinator kemudian turun di sisi radialis lengan bawah, dibawah tepi
m.brakioradialis di setengah atas perjalanannya kemudian di antara tendon
brakioradialis dan m.fleksor karpi radialis di lengan bawah bagian bawah.
b. Arteri ulnaris dimulai sebagai akhir bifurkasio arteri brakialis setinggi kolum
radius. Arteri ini berjalan di sebelah profunda kaput profunda m.pronator
teres dan sebelah profunda arkus fibrosa fleksor digitorum superfisialis dan
turun pada m.fleksor digitorum profunda bersama dengan ulnaris di sebelah
medialnya dan m.fleksor kapi ulnaris menumpuk di atasnya pada setengah
proksimal lengan bawah
c. Vena chepalica adalah vena yang melintasi ke proksimal pada fascia
superficialis, mengikuti tepi lateral pergelangan tangan dan pada permukaan
antero lateral lengan bawah dan lengan atas
d. Vena basilica adalah vena yang melintasi pada fascia superficialis di sisi
medialis lengan bawah dan bagian distal lengan atas
e. Vena media cubiti merupakan penghubung antara vena basilica dan vena
cepalica sebelah depan daerah fossa cubiti
3. Etiologi
Penyebab fraktur dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Fraktur akibat trauma
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi
kemampuan tulang dalam menahan takanan. Tekanan pada tulang dapat
berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau
oblik, tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal,
tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertikal dapat menyebabkan
fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau
fraktur buckle pada anak-anak (Muttaqin, 2008).
Secara umum penyebab fraktur adalah sebagai berikut:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang. Fraktur pada anak-anak biasanya sebagai
akibat trauma dari kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
penganiayaan anak. Karena jaringan lunak pada anak-anak fleksibel,
fraktur terjadi lebih sering daripada cedera jaringan lunak (Muscari, 2005).
b. Fraktur patologis
Suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan
tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau
osteoporosis.
4. Klasifikasi Fraktur
Menurut Mansjoer (2000), jenis fraktur antebrachii adalah:
a. Fraktur Colles
Menurut Pearce (2008) fraktur Colles adalah patah transvers dari ujung
bawah radius, kira-kira 2,5 cm diatas pergelangan, pasien terjatuh dalam
keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke
dalam (endorotasi). Tangan terbuka terfiksasi di tanah berputar keluar
(eksorotasi supinasi). Fraktur ini terjadi dengan posisi tangan dorsofleksi,
segmen fraktur distal mengalami angulasi ke arah dorsal dan menyebabkan
deformitas seperti “sendok makan” (dinner fork deformity).
Gambar Fraktur Coll
Fraktur Colles dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:
1) Tipe IA : Fraktur radius ekstra artikuler
2) Tipe IB : Fraktur radius dan ulna ekstra artikuler
3) Tipe IIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radio karpal
4) Tipe IIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radio
karpal
1) Tipe IIIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radio ulnar
2) Tipe IIIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radio
ulnar
3) Tipe IVA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal dan
sendi radioulnar
4) Tipe IVB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radio
karpal dan sendi radio ulnar
b. Fraktur Smith
Fraktur Smith merupakan kebalikan dari Fraktur Colles, dengan
angulasi ke arah anterior (volar) dari fraktur radius. Fraktur ini biasa
terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan badan
sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan
dan pronasi. Garis patahan biasanya transversal, kadang intraartikular.
Penggeseran bagian distal radius bukan ke dorsal, melainkan ke arah
palmar. Patah tulang ini lebih jarang terjadi.
Gambar Fraktur Smith
c. Fraktur Galeazzi
Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai dislokasi
sendi radius ulna distal. Saat pasien jatuh dengan tangan terbuka yang
menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi pronasi
waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi. Gambaran
klinisnya bergantung pada derajat dislokasi fragmen fraktur. Bila ringan
nyeri dan tegang hanya dirasakan pada daerah fraktur; bila berat, biasanya
terjadi pemendekan lengan bawah. Pada fraktur ini tampak tangan bagian
distal dalam posisi angulasi kedorsal. Pada pergelangan tangan dapat
diraba tonjolan ujung distal ulna.
Fraktur dapat tertarik dan terpisah atau dapat tumpang tindih akibat spasme
otot, sehingga terjadi pemendekan tulang, dan akan menimbulkan derik atau
krepitasi karena adanya gesekan antara fragmen tulang yang patah.
Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah pergelangan tangan
biasanya merupakan trauma langsung, yaitu jatuh pada permukaan tangan
sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah volar
menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal.
Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari
samping menyerupai garpu, seperti yang terjadi pada fraktur Colles.
Sebaliknya, jatuh pada permukaan tangan sebelah dorsal menyebabkan
dislokasi fragmen distal ke arah volar seperti yang terjadi pada fraktur Smith.
Pada keduanya masih terdapat komponen gaya ke arah deviasi radial dan
deviasi ulna yang dapat menyebabkan patahnya tulang karpus. Jatuh pada
permukaan tangan bagian volar dengan tangan dalam posisi deviasiradial
dapat menyebabkan fraktur pada tulang navikulare (os skafoid) sedangkan
jatuh dengan tangan dorsofleksi maksimal dapat menyebabkan dislokasi
tulang lunatum.
Diagnosis fraktur dengan fragmen terdislokasi tidak menimbulkan
kesulitan. Secara klinis, dengan mudah dapat dibuat diagnosis patah tulang
Colles atau fraktur Smith. Bila fraktur terjadi tanpa dislokasi fragmen
patahannya, diagnosis klinis dibuat berdasarkan tanda klinis patah tulang. Hal
yang mungkin terlewat dalam diagnosis adalah adanya fraktur tulang
navikulare atau adanya dislokasi tulang lunatum. Secara klinis pada fraktur
navikulare didapati nyeri tekan pada tabatier anatomik. Diagnosis kedua
kelainan ini ditegakkan dengan foto Rontgen. Pada foto antero-posterior biasa
sering tidak terlihat adanya fraktur navikulare. Untuk ini perlu foto dengan
proyeksi oblik 45° dan 135° atau foto diulang setelah satu minggu karena
mungkin retak tidak kelihatan pada cedera baru.
Ketika tulang patah, perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens
terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. Fagositosis
dan pembersihan debris dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk
di tempat patah dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur,
yang disebut kalus. Bekuan fibrin segera direabsorpsi dan tulang baru secara
perlahan mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. Tulang
sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi
(pengerasan). Penyembuhan dapat terganggu atau terhambat apabila
hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk atau
apabila sel tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan (Corwin,
2009).
6. Tanda dan Gejala
Secara umum tanda tanda dan gejala yang muncul menurut Nurarif dan
Kusuma (2013) dan Smeltzer dan Bare (2002) diantaranya:
a. Nyeri di lokasi cidera yang terus menerus dan bertambah berat sampai
fragmen tulang diimobilisasi. Nyeri ini muncul sebagai akibat ujung-ujung
saraf bebas mengalami kerusakan. Reseptor nyeri (nosiseptor) mencakup
ujung-ujung saraf bebas yang berespon terhadap berbagai rangsangan
termasuk tekanan mekanis (trauma), deformasi, suhu yang ekstrim, dan
berbagai bahan kimia. Energi dari stimulus-stimulus ini dapat diubah
menjadi energy listrik dan perubahan energi ini dinamakan transduksi.
Transduksi dimulai di perifer, ketika stimulus terjadinya nyeri
mengirimkan impuls yang melewati serabut saraf nyeri perifer yang
terdapat di panca indera, maka akan menimbulkan potensial aksi. Setelah
proses transduksi selesai, transmisi impuls nyeri dimulai.
b. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma
dan perdarahan yang mengalami fraktur. Selain itu juga diakibatkan karena
inflamasi akibat dari kerusakan sel. Kerusakan sel dapat mengakibatkan
pelepasan neurotransmitter seperti histamin, bradikinin, serotonin,
beberapa prostaglandin, ion kalium, ion hydrogen, dan substansi P.
Masing-masing zat tersebut tertimbun di tempat cedera termasuk fraktur,
hipoksia, atau kematian sel. Substansi yang peka terhadap nyeri yang
terdapat disekitar serabut nyeri di cairan ekstraseluler, menyebarkan pesan
adanya nyeri dan menyebabkan inflamasi (Potter & Perry, 2010).
c. Deformitas
d. Gangguan fungsi gerak utamanya pada area yang cidera
e. Krepitasi
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur menurut American College
of Surgeons Comittee on Trauma dalam Parahita dan Kurniyanta (2012)
adalah:
a. Perdarahan arteri
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat
arteri mampu menghasilkan trauma arteri. Cidera ini dapat menimbulkan
pendarahan besar pada luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak.
Ekstrimitas yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas
menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar
dengan cepat, menunjukkan adanya trauma vaskular. Cidera ini menjadi
berbahaya apabila kondisi hemodinamik pasien tidak stabil.
b. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot
dibatasi oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga
berfungsi sebagai lapisan penahan. Kompartemen akibat edema yang timbul
akibat revaskularisasi sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena
penyusutan isi kompartemen yang disebabkan tekanan dari luar misalkan
balutan yang menekan. Tanda dan gejala sindroma kompartemen adalah :
1) Pain (nyeri) bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif
yang meregangkan otot bersangkutan. Nyeri terjadi karena saraf mendapat
tekanan dari luar.
2) Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya sensasi
atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut.
3) Pale atau pucat karena pembuluh darah juga mendapat tekanan dari luar.
4) Paralysis
5) Pulseless, denyut nadi menjadi melemah atau menghilang karena
pembuluh darah mendapat tekanan dari luar.
c. Osteomyelitis
Osteomyelitis dalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum
dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh)
atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat
masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka
tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka
amputasi karena trauma dan fraktur-fraktur dengan sindrom kompartemen
atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar.
d. Mal union
Mal union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk angulasi pemendekan atau union secara
menyilang misalnya pada fraktur tibia-fibula.
e. Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena
suplai darah ke tulang menurun. Delayed union adalah fraktur yang tidak
sembuh setelah waktu tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan
untuk anggota gerak bawah.
f. Non union
Non union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak
didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu).
Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga terjadi
bersamasama infeksi.
g. Fat Embolism Syndrom (FES)
Fat Embolism Syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, takipnea, demam.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya
dislokasi. Lihat kesegarisan antara kondilus medialis, kaput radius, dan
pertengahan radius. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada pasien
fraktur diantaranya:
a. Foto rongten digunakan untuk mengetahui lokasi dan garis fraktur.
b. X ray digunakan untuk menentukan jenis fraktur dan mekanisme
terjadinya trauma. Umumnya menggunakan proyeksi anteroposterior dan
lateral.
c. CT scan dapat digunakan untuk menggambarkan anatomi tulang khusunya
pada cedera plafon.
d. MRI digunakan untuk mengkaji adanya cedera pada tulang rawan,
ligament dan tendon.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur antebrachii adalah sebagai berikut:
a. Fraktur Colles
1) Pada fraktur Colles tanpa dislokasi hanya diperlukan imobilisasi dengan
pemasangan gips sirkular di bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai
dislokasi diperlukan tindakan reposisi tertutup. Dilakukan dorsofleksi
fragmen distal, traksi kemudian posisi tangan volar fleksi, deviasi ulna
(untuk mengoreksi deviasi radial) dan diputar ke arah pronasio (untuk
mengoreksi supinasi). Imobilisasi dilakukan selama 4 - 6 minggu.
2) Fraktur tak bergeser (atau hanya sedikit sekali bergeser), fraktur dibebat
dalam slab gips yang dibalutkan sekitar dorsum lengan bawah dan
pergelangan tangan dan dibalut kuat dalam posisinya.
3) Fraktur kominutif berat dan tak stabil tidak mungkin dipertahankan
dengan gips; untuk keadaan ini sebaiknya dilakukan fiksasi luar, dengan
pen proksimal yang mentransfiksi radius dan pen distal, sebaiknya
mentransfiksi dasar-dasar metakarpal kedua dan sepertiga.
4) Fraktur yang bergeser harus direduksi di bawah anestesi. Tangan
dipegang dengan erat dan traksi diterapkan di sepanjang tulang itu
(kadang-kadang dengan ekstensi pergelangan tangan untuk melepaskan
fragmen; fragmen distal kemudian didorong ke tempatnya dengan
menekan kuat-kuat pada dorsum sambil memanipulasi pergelangan
tangan ke dalam fleksi, deviasi ulnar dan pronasi.
Posisi kemudian diperiksa dengan sinar X. Jika posisi memuaskan,
dipasang slab gips dorsal, membentang dari tepat di bawah siku sampai leher
metakarpal dan 2/3 keliling dari pergelangan tangan itu. Slab ini
dipertahankan pada posisinya dengan pembalut kain krep. Posisi deviasi ulnar
yang ekstrim harus dihindari; cukup 20 derajat saja pada tiap arah.
b. Fraktur Smith
Dilakukan reposisi dengan posisi tangan diletakkan dalam posisi
dorsofleksi ringan, deviasi ulnar, dan supinasi maksimal (kebalikan posisi
Colles). Lalu diimobilisasi dengan gips di atas siku selama 4 - 6 minggu.
c. Fraktur Galeazzi
Dilakukan reposisi dan imobilisasi dengan gips di atas siku, posisi netral
untuk dislokasi radius ulna distal, deviasi ulnar, dan fleksi.
d. Fraktur Montegia
Dilakukan reposisi tertutup. Asisten memegang lengan atas, penolong
melakukan tarikan lengan bawah ke distal, kemudian diputar ke arah
supinasi penuh. Setelah itu, dengan jari kepala radius dicoba ditekan ke
tempat semula. Imobilisasi gips sirkuler dilakukan di atas siku dengan
posisi siku fleksi 90° dan posisi lengan bawah supinasi penuh. Bila gagal,
dilakukan reposisi terbuka dengan pemasangan fiksasi interna (plate-
screw).
2) Persiapan operasi, sebelum operasi pasien diminta untuk berpuasa 6-8 jam
sebelum operasi. Pasien juga diminta untuk tidak makan makanan yang
dapat meningkatkan sekresi asam lambung seperti permen dan permen
karet 6-8 jam sebelum operasi. Meminta pasien untuk menghentikan
merokok. Membersihkan bagian tubuh yang akan dilakukan operasi,
membantu pasien memakai baju operasi, menjaga keselamatan pasien saat
tranportasi ke ruang OK dengan memasang side rail, memasang kateter
jika diperlukan, dan menjelaskan kepada keluarga pasien terkait tindakan
operasi dan fasilitas yang dapat digunakan keluarga.
b. Fase Presurgical Clearance, memastikan identitas pasien, prosedur operasi,
bagian tubuh yang akan dioperasi dan check list persiapan pasien.
2. Intra Operative
1) Transport
a) Memastikan identitas pasien
b) Memastikan prosedur operasi, lokasi operasi, dan jenis operasi
c) Memastikan kembali apakah pasien memiliki riwayat alergi obat,
makanan, latex
2) Pemeliharaan Keselamatan
a) Atur posisi pasien
b) Kesejajaran fungsional
c) Pemajanan area pembedahan
d) Mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi
e) Memberikan dukungan fisik
f) Memastikan bahwa jumlah spongs, jarum dan instrumen tepat.
3) Pematauan Fisiologis
a) Memperhitungkan efek dari hilangnya atau masuknya cairan secara
berlebihan pada pasien (mencegah hypovolemia)
b) Membedakan data kardiopumonal yang normal dengan yang abnormal
c) Melaporkan perubahan-perubahan pada nadi, pernafasan, suhu tubuh
dan tekanan darah pasien.
3. Post Operative
a. Pengkajian
1) Kepatenan jalan nafas
2) Tanda-tanda vital
3) Balance cairan
4) Status kesadaran (GCS, orientasi orang, tempat, waktu, ukuran pupil
dan reflek pupil)
5) Kaji kekuatan otot
6) Kaji kepatenan IV line, kateter
7) Kaji kondisi luka (dressing, drains)
8) Kaji warna kulit dan membrane mukosa
9) Kaji kenyamanan pasien
b. Manajemen jalan nafas (airway management)
c. Regulasi suhu tubuh
d. Manajemen cairan dan elektrolit
e. Manajemen mual dan muntah
f. Manajemen nyeri (pain management)
Nyeri yang dialami oleh klien yang mengalami fraktur dapat dikontrol
dengan beberapa cara, yaitu dengan imobilisasi tulang yang mengalami
farktur, dan memberikan latihan teknik relaksasi. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Galuh (2010) teknik nafas dalam dapat menurukan
intensitas nyeri pada klien yang mengalami post operasi fraktur femur,
penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2013) bahwa teknik relaksasi
dapat menurunkan intensitas nyeri pada klien post operasi fraktur.
g. Perawatan post operatif pada pasien dengan fraktur antebrachii dengan
melakukan rehabilitation exercise dengan tujuan utama dalam progam
latihan yaitu untuk mengebalikan fungsi, kinerja, kekuatan otot dan daya
tahan ke tingkat sebelum terjadinya trauma. Terapi latihan yang dapat
dilakukan antara lain:
1) Active Exercise
Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan sendi melalui gerakan
penuh atau parsial sesuai dengan keinginannya sendiri. Tujuan
latihan ini untuk menghindari kehilangan ruang gerak yang ada pada
sendi. Latihan ini diindikasi pada fase awal penyembuhan tulang,
saat tidak ada atau sedikitnya stabilitas pada tempat fraktur. Umpan
balik sensorik langsung pada pasien dapat membantu mencegah
gerakan yang dapat menimbulkan nyeri atau mempengaruhi
stabilitas tempat fraktur.
Gambar Active Exercise
3) Resisted Exercise
Latihan penguatan meningkatkan kemampuan dari otot. Latihan ini
meningkatkan koordinasi unit motor yang menginervasi suatu otot
serta keseimbangan antara kelompok otot yang bekerja pada suatu
sendi. Latihan penguatan bertujuan untuk meningkatkan ketegangan
potensial yang dapat dihasilkan oleh elemen kontraksi dan statis
suatu unit otot-tendon.
4) Hold Relax
Latihan yang menggunakan otot secara isometric kelompok
antagonis dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kontraksi isometric
kemudian otot menjadi rileks sehingga gerakan kearah agonis lebih
mudah dilakukan dan dapat mengulur secara optimal. Mekanisme
kontraksi isometric terjadi karena sarcomere otot yang semula
memendek akan dapat memanjang kembali dan berakibat
kembalinya fungsi otot secara normal kemudian diikuti dengan
relaksasi grup otot antagonis, mobilitas menjadi baik, nyeri
berkurang, sehingga pasien akan lebih mudah untuk menggerakkan
sendi yang semula terbatas. Menurut Adler (2008) tujuan dari latihan
ini adalah untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak
sendi (LGS). Indikasi dilakukannya latihan ini yaitu pasien
mengalami penurunan LGS, dan nyeri, sedangkan kontraindikasi
latihan ini pada pasien yang tidak dapat melakukan kontraksi
isometric. Latihan ini dilakukan dengan cara pasien atau terapis
menggunakan sendi siku kearah fleksi sampai batas nyeri pasien, lalu
pasien diminta untuk mengkontraksikan kelompok antagonis tersebut
tanpa terjadi gerakan atau kontraksi isometric, kontraksi
dipertahankan selama 5-8 detik, kemudian hitungan ke 8 pasien
rileks, tunggu sampai pasien benar-benar rileks kemudian terapis
melakukan penguluran kearah pola agonis, penguatan pola gerak
agonis dengan cara menambah LGS pasien. Gerakan ini diulang
hingga 6-8 kali (Adler, 2008).
B. Clinical Pathways
Tindakan Bedah
Post Op
Inflamasi bakteri
Mual, muntah
Resiko Infeksi
Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
C. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara terhadap
pasien dengan fraktur antebrachii yaitu:
a. Identitas pasien
1) Nama
2) Jenis kelamin: kebanyakan terjadi pada laki-laki karena biasanya sering
ngebut saat mngendarai motor)
3) Umur: wanita dengan usia lanjut lebih berisiko karena terjadi
penurunan hormon, penurunan kalsium, proses penuaan dan kurangnya
ambulasi. Pada usia muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan.
4) Status perkawinan, agama, suku bangsa, bahasa yang digunakan,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, dan sumber informasi
b. Riwayat keperawatan
1) Riwayat perjalanan penyakit
a) Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan :
nyeri pada ekstremitas atas
b) Apa penyebabnya, waktu: kecelakaan atau trauma, berapa
jam/menit yang lalu
c) Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
d) Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
e) Kehilangan fungsi
2) Riwayat pengobatan sebelumnya
a) Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis
kortikosteroid dalam jangka waktu lama
b) Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama
pada wanita
c) Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
d) Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Pemeriksaan fisik
1) Look/inspeksi
a) Bandingkan dengan bagian yang sehat, posisi dan bentuk dari
ekstrimitas (deformitas)
b) Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan
c) Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
d) Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
e) Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
pemendekan
f) Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organorgan lain
g) Keadaan vaskularisasi
h) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi)
i) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi
j) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan pada area luka
2) Feel/palpasi
a) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
b) Krepitasi
c) Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma
d) Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai
e) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time à Normal > 3 detik
f) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
g) Tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi
h) Benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya
3) Move/gerakan
a) Periksa pergerakan dengan menggerakkan secara aktif dan pasif
sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma
b) Memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi
c) Gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan
d) Range of motion dan kekuatan serta kita melakukan pemeriksaan
untuk melihat apakah ada gerakan tidak normal atau tidak
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan fraktur tulang, spasme otot, edema,
kerusakan jaringan lunak
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penonjolan tulang
(fraktur terbuka)
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
nyeri/ketidaknyamanan, gangguan fungsi musculoskeletal,
immobilisasi
4) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma
jaringan
b. Diagnosa Keperawatan Intra Operasi
1) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan
2) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma
jaringan
c. Diagnosa Keperawatan Post Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan alat traksi/immobilisasi
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
tindakan pembedahan
5 Resiko disuse sindrom Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam Terapi Latihan : Mobilitas
berhubungan dengan nyeri pasien menunjukkan hasil: Sendi (0224)
pada tulang Status Neurologi: Sensori tulang punggung/ fungsi motorik (0914) 1. Tentukan batas pergerakan
Indikator Awal Tujuan sendi dan efeknya
1 2 3 4 5
terhadap fungsi
091401 Gerakan kepala dan
bahu
sendi
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa oleh Nike Budhi.
Jakarta: EGC
Long, B.C, 2000. Perawatan Medikal Bedah. Edisi VII. Bandung: Yayasan
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II. Media
Aesculapius: Jakarta.
Smeltzer dan Bare. 2002. Keperawatan Medical Bedah Bruner dan Sudarth.
Jakarta: EGC.