Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

SPASMOFILIA

DISUSUN OLEH:

Ayu Annisa Charantia


1102011055

PEMBIMBING :

Dr. H. Nasir Okbah Sp.S

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN/ SMF


NEUROLOGI RSUD Dr. Slamet GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2015

0
PENDAHULUAN

Di Indonesia, istilah spasmofilia dikenal pada tahun 1972 oleh Prof. Yos Utama.
Spasmofilia dapat terjadi pada semua usia dan tersering pada usia 15-55 tahun.
Spasmofilia merupakan istilah yang sangat popular pada permulaan abad 20 dan
masih sering digunakan. Spasmofilia merupakan suatu keadaan terdapatnya gejala subjektif
yang samar-samar berupa nyeri perut, nyeri kepala, kelelahan, gugup, vertigo, kesemutan,
berdebar, sesak, tercekik, muntah, kehilangan berat badan, nyeri punggung dan nyeri haid
yang disertai tanda-tanda tetani laten dengan atau tanpa memperlihatkan tetani hiperventilasi.
Spasmofilia merupakan suatu tetani laten akibat hiperiritabilitas atau hipereksitabilitas saraf
(neuromuskular) yang bermanifestasi sebagai kejang otot dan berbagai gejala neurastenia
berupa nyeri kepala, gelisah, gangguan gastrointestinal, palpitasi, parestesia, sinkope, sampai
kejang tonik.
Spasmofilia adalah sebuah gangguan yang ditandai dengan kedutan otot, kram, dan
kejang carpopedal. Jika kondisinya parah bisa menyebabkan kejang-kejang. Kondisi ini
terjadi karena ketidakseimbangan elektrolit di dalam darah yang dapat terjadi karena
kekurangan kalsium (hypocalcemia) atau kekurangan serum magnesium yang mungkin
terkait dengan hiperventilasi, hipoparatiroidism, rakhitis, uremia, dan kondisi lain. Untuk
mendiagnosis spasmofilia biasanya dilakukan tes spasmofilia dengan menggunakan alat
elektromiografi (EMG). Pada tes ini akan dilihat gelombang dari sel-sel otot yang biasanya
mengalami kram atau kejang.
Spasmofilia juga sering disebut sebagai tetani laten, kriptogenik tetani, kronik
idiopatik tetani, genuine tetani dan sindrom tetani. Tetani laten adalah suatu keadaan di mana
saraf sargat peka terhadap keadaan iskemik (tanda Trousseau, spasme karpal), perkusi saraf
(tanda Chvostek), stimulasi listrik (tanda Erb), atau alkalosis (spasme karpal) dan tanda-tanda
ini sangat umum didapat pada orang-orang yang mengalami tetani oleh sebab apapun. Dalam
kamus kedokteran, spasmofilia diartikan sebagai suatu keadaan di mana saraf motorik
memperlihatkan sensitivitas yang abnormal terhadap rangsangan mekanik atau listrik dan
penderita menunjukkan kemudahan untuk mendapatkan spasme, tetani dan kejang.
Spasmofilia atau tetani laten, telah lama dikenal sebagai gangguan neurovegetatif yang
ditandai suatu keadaan hiperiritatif neuromuskular disertai tanda klinis, listrik dan humoral
yang khas. Di sini keadaan hiperiritatif neuromuskular merupakan sifat dasar spasmofilia.
Pada keadaan spasmofilia ditemukan hipokalsemi sebagai inti gangguan pada susunan saraf,

1
walaupun pada keadaan tetani laten yang idiopati kadar kalsium dalam darah hampir selalu
normal sehingga bentuk ini dinamakan juga spasmofilia.
Keadaan hiperiritatif susunan saraf pada spasmofilia sangat mencolok, hal ini tampak
bahwa kekuatan listrik galvanik terkecil masih memberikan suatu reaksi.
Spasmofilia yang merupakan suatu keadaan hiperiritabel neuromuskular dan
memberikan beragam gambaran klinis dapat dideteksi dengan baik oleh alat elektromiografi.
Pada pemeriksaan elektromiografi stimulus atau rangsangan akan menimbulkan suatu
potensial berupa gelombang listrik. Intensitas rangsangan supra maksimal yang berbeda dapat
memberi gelombang potensial listrik yang berbeda pula. Penderita tertentu dapat sangat peka
terhadap stimulasi listrik dan hal ini berkaitan dengan keadaan spasmofilia atau tetani laten.
Pada kepustakaan lain, spasmofilia juga disebut sebagai sindrom hiperventilasi yaitu
suatu sindrom yang mempunyai beberapa gejala klinis yang berhubungan dengan status
ansietas atau depresi. Sindroma hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ventilasi
berlebihan yang menyebabkan perubahan hemodinamik dan kimia sehingga menimbulkan
berbagai gejala.
Sindrom hiperventilasi menurut DSM IV tergolong pada reaksi ansietas panik atau
neurosis ansietas, Keadaan ini lebih sering ditemukan di daerah urban dibandingkan di daerah
rural. Prevalensinya sekitar 2-4 % pada umur dewasa dan terutama mengenai wanita dengan
rasio pria-wanita sebesar 1:4 sehingga diperkirakan faktor hormonal memegang peranan yang
cukup penting. Keadaan ini merupakan ekspresi dari flight or flight yang bermanifestasi
dalam bentuk otonomik dan somatik.
Dalam praktek sehari-hari sulit membedakan antara spasmofilia, hiperventilasi, dan
sindrom panik. Disimpulkan bahwa antara hiperventilasi dan sindrom panik mempunyai
gejala yang tumpang tindih. Gejala hiperventilasi ditemukan pada 50% pasien dengan
gangguan panik dan 60% gangguan agorafobia. Di Amerika Serikat, sindrom hiperventilasi
ditemukan pada 10% pasien penyakit dalam, sedangkan data di Indonesia belum ada.
Gejala umum sindrom hiperventilasi adalah dispnea, parestesi, nyeri dadam
takikardia, dizziness, palpitasi, black out, cemas. Sedangkan sindrom panik mempunyai
gejala klinis seperti kecemasan, takut, dispnea, palpitasi, dizziness, vertigo atau bergoyang,
parestesia, berkeringat, muka berubah-ubah, rasa tercekik. Dari kedua gejala tersebut dapat
dilihat bahwa sindrom hiperventilasi dan sindrom panik merupakan disfungsi primer yang
bersifat sentral dan sekunder berupa disfungsi otonom. Sedangkan spasmofilia mempunyai
gejala campuran yang berbeda yakni campuran antara somatik dan otonom dengan berbagai
gejala kliniknya. Cowley dan Roy Byrne berpendapat bahwa pasien lain yang mempunyai
2
gejala hiperventilasi dan panik mempunyai kelainan yang sama yakni kelainan biologis dan
mungkin digolongkan kelainan genetic pada hipersensitivitas sistem saraf.
Gregory J Morgan mengatakan hiperventilasi merupakan sindrom psikologis yang
normal dari stres yang berhubungan dengan hipokapnea dalam fase respiratorik alkalosis.
Gejala hiperventilasi yang sering muncul adalah dispnea, dizziness, nyeri dada, angina
pektoris, dan gejala neuropsikologis berupa kesemutan dan tebal terutama pada jari tangan
dan bibir, penglihatan kabur, nyeri kepala ringan, iritabel, kadang-kadang terjadi perubahan
kepribadian.

3
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Spasmofilia merupakan suatu keadaan dimana terjadi hiperiritabilitas susunan saraf
(neuromuskular) yang bermanifestasi sebagai kejang otot, dan berbagai gejala neuro astenia
berupa nyeri kepala, gelisah, gangguan gastro intestinal, palpitasi, sinkop, sampai kejang
tonik.

II. Etiologi
Dengan ditemukannya hipokalsemia dan hipomagnesemia pada penderita spasmofilia,
harus dipikirkan adanya suatu gangguan metabolik dari kation-kation tersebut pada susunan
saraf sebagai inti gangguannya. Dikatakan penurunan kalsium ion dalam plasma akan menuju
ke arah hipereksitabilitas/hiperirritabilitas neuron yang menimbulkan gejala spasmofilia.
Ansietas yang menginduksi hiperventikasi akan menimbulkan hipokapnia sehingga terjadi
peningkatan eksitabilitas aksonal yang akan menimbulkan gejala klinik spasmofilia.
Sementara Day (1990 ) dalam studi kasusnya menyebutkan tiga generasi mempunyai gejala
klinik yang mirip, hal ini memberi keyakinan bahwa spasmofilia diturunkan secara
dominan pada gangguan berupa hiperiritabilitas neuronal. Pada kesempatan lain
Riggs (1992) dalam penelitiannya menyatakan spasmofilia terjadi secara turun-temurun
dan penyebarannya luas.
Hipokalsemi dapat disebabkan oleh keadaan-keadaan defisiensi vitamin D, defisiensi
hormon paratiroid, pankreatitis akut, hiperfostatemia, defisiensi magnesium, sekresi berIebih
hormon adrenokortikal, keganasan, sindrom nefrotik, obat-obatan, transfusi darah, kehilangan
kalsium melalui urin, kondisi alkalosis (alkali, hiperventilasi, obstruksi saluran cerna),
kebutuhan kalsium yang meningkat dan sepsis.

III. Patofisiologi
Hipokalsemia yang sering terjadi pada spasmofilia atau tetani laten terjadi akibat
kelainan sistem regulasi homeostatik konsentrasi kalsium darah. Di dalam darah, 45% total
kalsium darah terikat dengan albumin, 10% sebagai ion kompleks dan 45% sisanya dalam
bentuk ion. Fraksi ion yang diatur oleh hormon paratiroid dan vitamin D ini ternyata sangat
berpengaruh terhadap fungsi neuromuskular dan neuropsikiatrik.

4
Peti dkk, melakukan penelitian pada 82 anak dengan umur antara 2-12 tahun
mendapatkan 46 orang menderita spasmofilia dan dari 46 penderita spasmofilia tersebut 31
diantaranya didapatkan dengan hipokalsemia. Namun pada penelitian lain yang dilakukan
oleh Nuti dan oleh Widiastuti, didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada
kadar kalsium plasma antara penderita spasmofilia dengan populasi kontrol. Penelitian yang
dilakukan oleh Felinger menyatakan bahwa spasmofilia atau tetani laten terjadi akibat
hipokalsemia dan begitu juga dengan hipomagnesemia yang signifikan menyebabkan
spasmofilia. Riggs menunjukkan bahwa hipokalsemia dan hipomagnesemia menyebabkan
sistem saraf pusat maupun perifer menjadi iritabel dengan kejang dan respek terhadap tetani.
Secara fisiologis dan klinis, hipokalsemi sering terjadi karena kekurangan hormon
paratiroid, vitamin D, metabolit aktifnya atau respon yang abnormal dari tulang, usus dan
ginjal (target organ). Gejala dan tanda akan limbul bila konsentrasi ion kalsium dalam darah
di bawah 4 mg/dL, dan ini kira-kira kurang dari 8 mg/dL total kalsium. Pada hipokalsemi
yang kronik, sering didapatkan kadar kalsium darah sekitar 5-6 mg/dL dan ini biasanya
asimptomatik.
Rangsangan neuromuskular diatur menurut hukum LOEB di mana ada keseimbangan
antara ion K, Na, OH di satu pihak dengan ion Ca, Mg, H di lain pihak. Penurunan kadar
kalsium atau jumlah kalsium total dalam darah akan menuju ke arah hipereksitasi dalam arti
praktis hanya perlu pemeriksaan hipokalsemi yang merupakan tanda pokok.
Tempat asal aktivitas tetani masih diselidiki, yang jelas bahwa tempatnya bukanlah
pada otot itu sendiri dan diduga jaringan saraf yang berperan dalam aktivitas tetani adalah
pusat spinal, motor end plate atau motorneuron di kornu anterior, sedangkan para psikolog
menganggap bahwa hiperiritabel neuromuskular merupakan suatu fenomena perifer yang
meliputi motor¬neuron sampai motor end plate.
Konsentrasi kalsium pada cairan serebrospinalis ternyata tetap konstan pada keadaan
hipokalsemi dan hiperkalsemi, di sini mungkin faktor lain berperanan penting dalam
mengatur jumlah kalsium pada jaringan otak. Perubahan kadar kalsium ternyata tidak
menunjukkan perubahan pada elektroensefalografi.
Keluhan neurologi atau neuromuskular paling sering sebagai manifestasi dari keadaan
hipokalsemi kronis yang tidak diobati.
Gregory mengatakan bahwa spasmofilia merupakan kelainan fungsional yang
disebabkan oleh hipereksitabilitas dari sistem saraf. Lazuardi menjelaskan bahwa spasmofilia
sama dengan sindrom hiperventilasi di mana ansietas yang menginduksi hiperventilasi akan
menimbulkan hipokapnea dan hipokalsemia yang akan bermanifestasi sebagai parestesi pada
5
muka dan tangan. Hal ini terjadi bila PCO 2 turun sampai 20 mmHg namun aktivitas EMG
spontan baru akan terlihat apabila PCO 2 menurun lagi sebesar 4 mmHg. Penurunan PCO 2
akan meningkatkan eksitabilitas akson kutan dan motorik saraf perifer dan perubahan
kelistrikan selaput akson disebabkan oleh menurunnya kadar ion kalsium plasma.
Diperkirakan pula bahwa letupan spontan kutan tersebut adalah sama dengan potensial
repetitif pada pemeriksaan spasmofilia. Dengan menghirup udara dalam kantong bertujuan
meningkatkan kadar PCO2 sehingga eksitabilitas akson akan menurun dan akan
menormalisasi kadar kalsium.
Pitts dan Mc Clure menemukan bahwa para penderita ini sangat rentan terhadap
sodium lactate 0,5 M. Mereka akan memperlihatkan gejala gelisah, berdebar dan peningkatan
tensi. 15 menit setelah dipasang infus tersebut. Pemberian infus ini kemudian dapat
dipergunakan sebagai tes penyaringan untuk membedakannya dengan penyebab lain.
Pemberian obat anti ansietas dan preparat kalsium dapat mencegah timbulnya gejala
tersebut.
Menurut David Sheehan keadaan ini disebabkan oleh adanya gangguan pada locus
ceruleus yang menimbulkan cetusan yang sering serupa epilepsi. Pengeluaran katekolamin
berlebihan bermanifestasi sebagai ekspresi saraf simpatik yang eksesif akibat keadaan
hipersensitivitas berlebihan terhadap perubahan pH, kadar PCO2, ion H dan asam laktat.
Menurut Chrousous selain komponen locus ceruleus norepinefrin (LC-NE) atau
susunan saraf simpatik tersebut, didapatkan pula adanya komponen lain yaitu corticotrophin
releasing hormone dan vasopresin yang berpusat di nukleus paraventrikuler hypothalamus
(PVN-CRH). Pemberian CRH intraventikuler dalam jumlah besar akan menimbulkan gejala
ansietas.
Sedemikian pula aktivasi LC-NE akan melepas NE yang merupakan aktivitas aksis
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Kedua komponen tersebut saling mengaktivasi satu
sama lain. Neurotransmiter serotonin dan asetilkolin mengeksitasi, sedangkan GABA dan
peptida opioid menginhibisi kedua komponen tersebut. Sistem stres CRH dan LC-NE
tersebut juga erat kaitannya dengan sistem reproduksi aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium
(hypothalamus-pituitary-ovarian / HPO), sistem tiroid, pertumbuhan dan sistem imunologi,
sehingga sering terlihat perubahan pada sistem-sistem tersebut pada stress yang
berkepanjangan. Merendahnya daya tahan tubuh ini mudah menimbulkan penyakit autoimun
seperti penyakit Grave, lupus eritematosus, asma, rheumatoid arthritis, colitis ulseratif dan
penyakit kanker.

6
Hipertensi esensial timbul sebagai akibat hiperfungsi simpatis yang berkepanjangan,
sedangkan ulkus peptikus disebabkan oleh hiperfungsi parasimpatis yang berkepanjangan.
Kedua keadaan ini merupakan suatu manifestasi kaitan aksis hypothalamus-pituitary-adrenal
dengan saraf otomom. Kelainan hormon seks menurut penelitian mungkin disebabkan oleh
kaitan sistem CRH dan LC-NE dan sistem reproduksi tersebut.
Menurut Newton E, sindrom hiperventilasi dapat terjadi akut dan kronis. Keadaan
akut ditemukan 1 % kasus. Sedangkan pada kasus kronis dapat berupa gejala respirasi,
kardiak, neurologik, atau gastrointestinal. Mekanisme terjadinya sindrom hiperventilasi
belum jelas diketahui. Pada populasi saat ini diketahui bahwa penyebab stres tertentu dapat
mencetuskan gangguan ini. Menurut Arautigam, secara psikologis penyebab yang
mencetuskan gangguan ini ialah perubahan pernapasan yang biasanya disebabkan oleh faktor
emosional / stres psikis.
Dapat disimpulkan, pada sindrom hiperventilasi, jenis pernapasan pada pasien-pasien
ini telah berubah, yaitu bernapas terutama dengan dada dan hampir tidak menggunakan
diafragma. Ternyata pernapasan dengan torakal saja akan menyebabkan PCO2 dibawah 40
mmHg. Pada analisis gas darah arteri terdapat alkalosis respiratori akibat berkurangnya
PCO2. Akibat turunnya PCO2 terjadi perubahan-perubahan sekunder sebagai berikut :
1. Alkalosis respiratori dengan penurunan ion kalsium serum, fosfat organik, dan ion
magnesium. Selain itu, pada alkalosis, akibat rendahnya kadar ion H+ dalam plasma,
maka ion kalium (K+) plasma akan meningkat. Keadaan ini mungkin menjelaskan
timbulnya palpitasi. Selain itu, perubahan pH darah akan menyebabkan efisiensi enzim
menurun sehingga menyebabkan gangguan yang bermanifestasi sebagai berbagai gejala
klinis di atas.
2. Hipereksitabilitas saraf dan otot (neuro-muscular hiperexitability) dengan gejala-gejala
tetani (parestesi, fenomena Chvostek dan Trousseau, spasme karpopedal, kejang tangan
kaki) disebabkan oleh pergeseran ion-ion, yaitu berkurangnya ion kalsium dan ion
magnesium.
3. Perubahan perdarahan regional. Pada hiperventilasi alveolar akut, peredaran darah di
otak berkurang yang dapat menimbulkan pre-kolaps dengan pandangan kabur. Ini karena
rangsang terkuat untuk sirkulasi otak ialah perubahan konsentrasi CO2 dalam darah.
4. Aktivasi simpatik : hiperventilasi merangsang sistem saraf simpatik. Hingga terjadi
kenaikan nadi dan terjadi perubahan EKG dengan ekstrasistol.
Grigss menyebutkan bahwa spasmofilia adalah normokalsemi tetani idiopatik yang
bersifat herediter dan didapat. Kelainan yang didapat mirip dengan neuromiotonia (sindrom
7
Isaac) di mana hipereksitabilitas saraf perifer meningkat menjadi kram otot dan gerakan
menyentak (twitching).
Pertama, pada keadaan tekanan darah rendah, aliran darah kedalam kelenjar paratiroid
berkurang, sehingga produksi hormon paratiroid juga menurun. Kedua, pada keadaan
renjatan anafilaktik ion kalsium plasma darah masuk kedalam sel mast dan sel lekosit basofil.
Ketiga, absobsi kalsium dalam ginjal berkurang (2,5). Gejala-gejala yang timbul kemudian
setelah kerja berat mungkin disebabkan kadar ion kalsium darah yang menurun karena terikat
oleh asam laktat yang terbentuk bila metabolisma dalam otot kurang sempurna.
Pada keadaan kadar ion kalsium yang menurun hebat, timbul tetani dengan gejala-gejala
spasmus carpopedal, yaitu fleksi plantar kedua kaki, fleksi tangan disertai menguncupnya
jari-jari. Mungkin terjadi laringospasmus. Bila derajat penurunan kadar kalsium tidak begitu
banyak, terjadi keadaan tetani laten atau spasmofilia. Pada keadaan hipokalsemi ini
iritabilitas saraf dan otot meninggi. Iritabilitas saraf dan otot tergantung pada kosien: Na+
OHCa++ Mg++ H+ Demikianlah iritabilitas saraf otot meninggi pada keadaan hipokalsemia,
hipomagnesemia, alkalosis, hipernatremia, atau kombinasi keadaan-keadaan ini.

Seperti yang dijelaskan oleh Maruli dkk hipokalsemia yang sering terjadi pada
spasmofilia akibat kelainan sistim regulasi homeostatik konsentrasi kalsium dalam darah
Dalam darah 45 % total kalsium darah terikat dengan albumin, 10% sebagai ion komplek, 45
% sisanya dalam bentuk ion. Fraksi ion yang diatur oleh hormon tiroid dan Vitamin D
ternyata berpengaruh terhadap fungsi neuromuskuler dan neuropsikiatri (lO).

Paci .A dkk (1984) melakukan penelitian pada 82 anak dengan umur antara 2-12 tahun
mendapatkan 46 orang menderita spasmofilia, dari 46 orang tersebut 31 diantaranya
didapatkan dengan hipokalsemia. Rangsangan neuromuskuler diatur menurut hukum LOEB
dimana ada keseimbangan antara ion K,N.OH disatu pihak dan Ca, Mg, H dilain pihak.
Penurunan kadar kalsium atau jumlah kalsium total dalam darah akan menuju kearah
hipereksitasi dalam arti praktis. Pada kesempatan lain Nuti dkk (1987) dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna kadar kalsium plasma antara yang
menderita spasmofilia dengan yang tidak menderita spasmofilia.

Pada kesempatan lain dikatakan spasmofilia atau tetani laten terjadi akibat hipokalsemia
seperti yang dikatakan oleh Fehlinger (1985 ),begitu juga hipomagnesium juga dikatakan
signifikan menyebabkan spasmofilia. Riggs 1989 menunjukkan bahwa hipokalsimea dan
hipomagnesimea menyebabkan sistim saraf pusat maupun perifer menjadi irritebel

8
dengan kejang dan respek terhadap tetani. Namun dari penelitian Widiastuti S.tentang
kalsium darah arteri dan vena disimpulkan tidak terdapat perbedaan laporan karya ilmiah
akhir yang bermakna antara kalsium darah penderita spasmofilia dengan yang non
spasmofilia.

Gregory dkk.l987 mengatakan spasmofilia merupakan kelainan fungsional yang


disebabkan oleh hipereksitabilitas dari sistim saraf (11) Lazuardi S (1995) menjelaskan
bahwa spasmofilia sama dengan sindroma hiperventilasi , dimana ansietas yang
menginduksi hiperventilasi akan menimbulkan hipokapnia dan hipokalsemia, keadaan ini
bermanifestasi sebagai parestesi pada muka dan tangan. Hal ini terjadi bila PC02 turun
sampai 20 mmHg namun aktivitas EMG spontan baru akan terlihat bila PC02 menurun lagi
sebesar 4 mmHg. Penurunan PC02 akan meningkatkan eksitabilitas akson kutan dan motorik
saraf perifer dan perubahan perubahan kelistrikan selaput akson disebabkan oleh menurunnya
kadar ion kalsium plasma. Diperkirakan pula letupan spontan kutan tersebut adalah sama
dengan potensial repetitif pada pemeriksaan spasmofilia. Dengan menghirup udara dalam
kantung bermaksud meningkatkan kadar PC02 sehingga terjadi eksitabilitas aksonal
menurun dan akan menormalisasi kadar kalsium.

Day.1990 .meneliti kasus spamofilia dimana tiga generasi mempunyai gejala yang
mirip, hal ini memberi keyakinan bahwa spasmofilia diturunkan secara dominan pada
gangguan berupa hiperirritabilitas neuronat.

Riggs (1992) meneliti bahwa spasmofilia terjadi secara turun temurun dan
penyebarannya luas.

Griggs .C.R, (1994) menyebutkan bahwa spasmofilia adalah normokalsemi tetani


idiopatik yang bersifat herediter dan didapat . Kelainan yang didapat mirip dengan
neuromiotonia "Isaac's syndrome" yang mana hipereksitabilitas saraf perifer meningkat
menjadi kram otot dan gerakan menyentak "twitching" (J).

Dikatakan spasmofilia bersifat herediter, dimana pada keadaan herediter terdapat gen-
gen tertentu yang tidak ada atau fungsinya tidak optimal. Disebutkan bahwa gen adalah
protein,protein yang berfungsi sebagai protein enzim. Protein enzirn berfungsi sebagai
metabolisme neuron, pada metabolismc neuron terjadi sintesa zat-zat aktif yang penting
yang digunakan dalam penghantaran impuls. Disamping itu dalam metabolisme neuron
terjadi sintesa protein aktif baik yang bersifat enzim dan zat-zat lainnya untuk pengganti.

9
Juga terjadi pembentukan energi yang diperlukan untuk memelihara potensial listrik(Na,
K). Bila terjadi gangguan dalam metabolisme neuron maka terjadi suatu keadaan
hipereksitabilitas dengan berbagai gejala klinisnya

IV. Gejala klinis


Gejala klinis yang sering dikeluhkan sangat bervariasi dan tidak khas misalnya, spasme
laring, spasme karpopedal, epilepsi, migren psikotik, nyeri perut, nyeri kepala, kelelahan,
ketakutan, emosi labil, vertigo, nyeri haid, kram otot, dan lainnya.
Serangan yang khas biasanya didahului oleh rasa kesemutan pada ekstremitas terutama
tangan dan daerah mulut disertai oleh parestesia di daerah bibir dan lidah. Rasa kesemutan ini
bertambah nyata dan menyebar ke proksimal sampai daerah muka, beberapa saat kemudian
timbul rasa tegang dan spasme pada otot-otot mulut, tangan dan tungkai bawah. Keadaan
spasme ini juga meluas sampai ke muka bahkan ke bagian tubuh lainnya.
Kontraksi tonik pada otot-otot distal lengan dan otot-otot interosea menyebabkan
gambaran spasme karpopedal di mana jari-jari dalam keadaan fleksi pada persendian
metakarpofalangeal dan ekstensi pada sendi interfalangeal. Jari-jari dalam keadaan aduksi
dan ibu jari dalam keadaan aduksi dan ekstensi sedangkan pada kaki dijumpai plantar fleksi
di pergelangan kaki dan aduksi jari-jari kaki.
Pada rangsangan yang lebih hebat, otot-otot yang spasme menjadi lebih luas, pada
ekstrimitas atas siku menjadi fleksi; dan bahu mengalami aduksi. Pada tungkai terjadi fleksi
sendi lutut dan aduksi paha. Otot-otot kepala juga mcngalarni spasme dengan trismus dan
retraksi pada sudut mulut (risus sardonikus) mata agak tertutup (blefarospasme) dan bila otot-
otot bulber kena terutama laring maka terjadi laringospasme dengan stridor. Spasme pada
otot-otot tubuh dan leher rnemberi gambaran opistotonus serta sering didapatkan kejang tonik
klonik.

10
Gambar 1. Carpopedal spasme
Dalam bentuk yang laten dapat memberi gambaran hiperiritabel neuromuskular dalam
beberapa bentuk yaitu bentuk viseral berupa gangguan digestif dengan kolik lambung dan
muntah, bentuk neurologis berupa serangan tetani dengan kejang epilepsi dan penurunan
kesadaran, sakit kepala, sedangkan bentuk lain berupa bentuk neuropsikotik.
Penelitian pada penderita nyeri kepala dengan spasmofilia positif, terdapat beberapa
gejala menarik yaitu sering dikeluhkan adanya nyeri kepala yang berdenyut di daerah pelipis
yang disertai oleh nyeri ketuk pada daerah nyeri tersebut, sedangkan di daerah tersebut sering
ditemukan adanya gangguan perasaan (hipestesia).
Peti menyebutkan gejala klinik yang sering muncul adalah nyeri kepala tegang, kram,
spasme abdominal, ansietas, dan tanda Chvostek.
Sedangkan Widiasturi-Samekto dalam penelitian terhadap 62 pasien dengan kelugan
nyeri kepala, sering pusing, parestesia, kram, nyeri otot, malaise mendapatkan hasil tes
provokasi EMG positif sebanyak 98,3 %. Dari pemeriksaan menyeluruh didapatkan 80,6 %
di antaranya sering mengalami sakit kepala atau dizziness 59,6 % di antaranya dengan
parestesia sepintas, 64,5 % mengalami tangan terasa dingin, 59,7 % merasa tegang di

11
tengkuk, 29 % mengalami spasme atau kram pada ekstremitas, 11,3 % dengan keluhan
dispepsia atau nyeri lambung, 8,1 % mengalami gejala kardiovaskular (nyeri dada, palpitasi),
dan 91,9 % mempunyai tanda Chvostek yang positif.
Hiperiritabilitas saraf somatik terjadi pada spasme otot dan berubah mengalami distrofia
sebagai hasil dari nyeri kronik seperti nyeri tengkuk, bahu tangan, punggung, nyeri kepala
tegang yang merupakan konsekuensi dari metabolism yang meningkat dan sirkulasi darah
yang menurun pada otot tersebut. Impuls nyeri itu akan menyebabkan iritasi saraf motorik
dalam keadaan kronik dan sebagai hasil dari suatu keadaan yang disebut sirkulus vitiosus
seperti yang dikemukakan oleh Travel dan Simons.
Pemeriksaan Chvostek yang positif sebagai indikasi adanya hipereksitabilitas serat
motorik pada saraf fasialis. Komponen simpatik dari sistem saraf otonom memberikan rasa
dingin dan parestesia pada tangan dan kaki, sedangkan komponen parasimpatis memberikan
gejala nyeri lambung, dispnea, dan nyeri dada. Berdasarkan gejala klinik di atas, timbul
pertanyaan apakah dapat diterangkan bahwa gejala klinik yang disebabkan oleh
hipereksitabilitas sistem saraf somatik dan gejala klinik yang disebabkan oleh
hipereksitabilitas sistem saraf otonom dapat dijadikan pegangan untuk mendiagnosis
spasmofilia. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Widiastuti-Samekto yang
merekomendasikan enam gejala dan tanda dengan sensitivitas dan spesifisitas 80 %. Oleh
karena itu, 2 gejala somatik dan satu gejala otonom dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis spasmofilia tanpa pemeriksaan tes provokasi EMG.

V. Diagnosis

Selain pemeriksaan elektromiografi pada penderita spasmofilia, dapat diperiksa lebih


dahulu tanda fisik yang berhubungan dengan hiperiritabilitas sistem neuromuskular.
Pemeriksaan tersebut antara lain: tanda Chvostek, tanda Trousseau, tanda Weiss, tanda Erbs
(arus galvanik), tanda Hoffman (mekanik, elektris, tanda Kashida (termik), tanda Pool
(tegangan), tanda Schlesinger (tegangan), tanda Schultze (ketukan), tanda Lust (ketukan) dan
tanda Hochisngers.

Salah satu tanda yang penting adalah tanda Chvostek yang ditimbulkan melalui ketukan
pada bagian lunak dari pertengahan garis ujung telinga ke ujung mulut tepat di bawah
apofisis zigomatikus. Reaksi positif terdiri atas kontraksi ipsilateral muskulus orbikularis oris
yang terutama nyata pada bagian tengah bibir. Bila tanda ini meragukan sebaiknya dilakukan
dahulu hiperventilasi. Tanda Chvostek ini dikenal ada 3 tingkatan yaitu :

12
 Tingkat 1 : bila reaksinya hanya di bibir
 Tingkat 2 : bila reaksinya menjalar ke ujung hidung
 Tingkat 3 : bila seluruh muka ikut berkontraksi

Gambar 2. Tanda Chvostek

Tanda lain yang tak kalah pentingnya adalah tanda Trousseau, kompresi lengan atas,
baik dengan cara meremas atau mengikat dengan torniket atau manset tensimeter, di mana
mula-mula timbul rasa kesemutan pada distal ekstremitas, kemudian timbul kejang pada jari-
jari dan tangan yang membentuk suatu spasme karpopedal (kontraksi otot termasuk fleksi
pada pergelangan tangan dan sendi metakarpofalangeal, hiperekstensi jari-jari, serta fleksi ibu
jari). Modifikasi tehnik ini dengan tehnik Von Bonsdorff di mana manset tensimeter
diperrtahankan selama 10 menit kemudian dibuka dan dilakukan hiperventilasi akan
mengakibatkan spasme yang khas (spasme karpopedal) yang lebih cepat pada lengan yang
iskemik dibanding dengan lengan yang lain.

Tanda Weiss ditimbulkan dengan mengetok sudut lateral orbita yang menyebabkan
m.orbikularis okuli mengerut bila positif

13
Gambar 3. Trousseau’s Sign

Pemeriksaan Elektromiografi

Turpin dan Kugelberg adalah orang yang pertama kali meneliti tentang elektromiografi
pada penderita tetani.

Spasme pada tetani selain disertai aksi potensial yang repetitif dan ireguler pada motor
unit, dan pada saat tetani selalu motor unit potensial akan melepaskan muatan secara spontan
berkekuatan 5-15 Hz.

Pemeriksaan EMG pada spasmofilia merupakan baku emas dalam menegakkan


diagnosis. Gambaran elektromiografi pada spasmofilia merupakan gambaran yang khas dari
manifestasi neuromuskular perifer dan dimulai dengan adanya fibrilasi dan fasikulasi serta
bersamaan dengan meningkatnya frekuensi akan terlihat twitching otot. Gambaran khas
tersebut berupa gambaran-gambaran duplet, triplet, bahkan multiplet yang merupakan
potensial aksi yang repetitif di mana gelombang yang belakangan cenderung mempunyai
amplitudo yang lebih besar.

Gambaran ini diduga ada hubungannya dengan tempat di kornu anterior dan beberapa
peneliti menduga hal ini sebagai suatu fenomena perifer yang meliputi motor neuron sampai
motor end plate, walaupun secara keseluruhan belum jelas benar mekanismenya.

Gambaran elektromiografi yang khas ini tidak pada keadaan hiperiritabel lainnya.
Pemeriksaan EMG dilakukan dengan cara memasang tournikuet pada lengan atas dan
dipompa sampai tekanannya sedikit melebihi tekanan sistolik sampai timbul iskemia. Iskemia
ini dipertahankan selama 5 menit dan pembacaan EMG dilakukan melalui elektroda kulit

14
yang dipasang pada otot interoseus dorsalis. Pembacaan rekaman EMG baru dilakukan
setelah hiperventilasi selama 3 menit. Spasmofilia positif terlihat adanya potensial repetitif
spontan dengan frekuensi 100 sampai 200 cps yang bermanifestasi sebagai duplet, triplet,
kuadriplet, atau multiplet selama 2 menit. Gradasi pemeriksaan ini adalah sebagai berikut :

 Ringan (+) : 2-6 potensial repetitif dalam waktu lebih dari 2 menit setelah hiperventilasi.

 Sedang (++) : sekelompok potensial repetitif yang berlangsung lebih dari 2 menit setelah
hiperventilasi atau 2-6 potensial repetitif selama lebih dari 2 menit setelah 10 menit
iskemia.

 Berat (+++) : tetani yang nyata setelah hiperventilasi atau lebih dari 6 kelompok per
detik potensial repetitif selama minimal 2 menit setelah 10 menit iskemia.

 Sangat berat (++++) : langsung tetani atau kelompok potensial repetitif yang terjadi
selama fase iskemik

Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

Pada penelitian terhadap 100 kasus yang berhasil dikumpulkan, 67% di antaranya adalah
wanita dan 65% dengan spsmofilia. Dari kelompok dengan spasmofilia 73,2% adalah wanita.
Tiga parameter EEG yang dperoleh dari rekaman hiperventilasi menunjukkan korelasi yang
relatif kuat dengan spasmofilia :

1. Peningkatan frekuensi gelombang tajam/runcing

2. Peningkatan amplitudo gelombang tajam dan runcing

3. Peningkatan frekuensi gelombang paroksimal lambat.

Rasio prevalens kedua parameter EEG yang lain adalah :

1. Adanya gelombang tajam/runcing : 2.34 (95% ; CI : 0,89 – 6,17)

2. Adanya gelombang paroksimal lambat beramplitudo tinggi (50µV ) : 3.40 (95% ; CI :


1.10 – 10.55)

15
Gambar 4. Gambaran EEG pada penderita spasmofilia

Selain itu, diketahui bahwa hiperventilasi diinduksi oleh hipokapnea, maka perlu juga
dilakukan pemeriksaan tekanan PCO2 agar dapat dilakukan breathing retraining. Begitu juga
pemeriksaan kadar kalsium dan magnesium plasma perlu dilakukan agar dapat mengobati
kausa yang mendasari spasmofilia.

Diagnosis spasmofilia dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik


neurologis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan elektromiografi sebagai baku emas.

Pada anamnesis, didapatkan penderita dengan keluhan-keluhan nyeri kepala, nyeri perut,
nyeri haid, kram otot, epilepsi, migren, vertigo, ketakutan emosi yang labil, kesemutan,
bahkan pada penderita dengan gejala-gejala psikotik.

Dari pemeriksaan fisik neurologis sangat mungkin timbul tanda-tanda hiperiritabilitas


neuromuskular. Di samping tanda-tanda Erbs, Hoffman, Weiss, Lust dan lain-lain, yang
sangat penting adalah tanda fasial dari Chvostek, tanda Trousseau, serta pemeriksaan
hiperventilasi.
Pemeriksaan laboratorium terutama ditunjukkan pada pemeriksaan ion-ion kalsium,
magnesium serta pemeriksaan lain misalnya kalium, fosfat dan analisa gas darah.

16
Yang paling penting adalah pemeriksaan elektromiografi di mana gambaran duplet,
triplet dan multiplet yang merupakan manifestasi hiperiritabilitas saraf dan sensitivitas saraf
adalah khas untuk spasmofilia.

Pada penelitian yang dilakukan Widiastuti-Samekto, direkomendasikan bahwa 6 gejala


maupun tanda yang mempunyai nilai diagnostik yang tinggi untuk spasmofilia tanpa
melakukan tes provokasi EMG, yaitu :

1. Kaku otot

2. Nyeri otot sebagai konsekuensi spasme kronik

3. Spasme akut

4. Tanda Chvostek

5. Komponen simpatis (tangan atau kaki basah atau berkeringat)

6. Komponen parasimpatis (nyeri dada, nyeri/ketidaknyamanan pada epigastrium)

VI. Penatalaksanaan
Pasien disuruh bernafas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam sungkup kantong plastic bila
didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam darah naik. Seperti diketahui intervensi
sindroma hiperventilasi adalah dengan menghirup udara dalam kantung, yaitu untuk
meningkatkan kadar PCO2 sehingga eksitabilitas aksonal akan menurun kembali dan
menormalisir kadar kalsium. Belajar bernafas torakoabdominal dengan menggerakan
diafragma.
Pada keadaan akut dapat diberikan kalsium, terutama kalsium glukonas 10% sebanyak
10-20 mL intravena atau secara oral diberikan kalsium laktat 12 gram/hari atau kalsium
glukonas 16 gram/hari. Bila hipokalsemi sangat berat dapat diberikan 100 mL kalsium
glukonas 10% dalam 1 L dektrose 5% secara lambat, lebih dari 4 jam.
Bila masih belum dapat mengatasi tetani, dapat diberikan magnesium karena tetani
sering berhubungan dengan hipomagnesemia dengan dosis 2 mL MgSO4 50% secara intra
muskuler. Di samping hal tersebut di atas, dapat diberikan juga hidroklortiazid (HCT) dengan
dosis 50-100 miligram/hari, vitamin D, koreksi pH darah bila ada alkalosis.
Pemberian vitamin B6 100 mg dapat membantu metabolisme serotonin serta absorpsi
dan uptake magnesium oleh sel.

17
Selain itu, psikoterapi dapat membantu dalam penatalaksanaan spasmofilia.
Psikoterapi membantu menyelesaikan masalah emosional pada pasien termasuk di dalamnya
adalah terapi perilaku (cognitive behavioral therapy).
Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panik maka dapat
diberikan obat antiansietas golongan benzodiazepine atau SSRI (selective serotonin reuptake
inhibitor).

VII. Prognosis
Spasmofilia dapat disembuhkan. Pasien biasanya dapat diberikan asupan suplemen
kalsium, magnesium dan kalium. Selain itu pasien juga perlu memperbaiki pola diet dengan
mengonsumsi makanan-makanan yang banyak mengandung sumber kalsium, kalium dan
magnesium. Selain itu, pasien juga perlu berolahraga ringan dan melakukan pemijatan otot
untuk relaksasi otot.
Prognosis serangan akut adalah baik. Pada kasus kronik 65 % mengalami perbaikan dan
26% keluhan hilang dalam 7 tahun. Prognosis dapat diperbaiki dengan latihan pernafasan dan
psikoterapi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Lazuardi.S. Spasmofilia dan nyeri kepala. Dalam .Neurona majalah kedokteran


neurosains) OSSI vol2 (4) 1995: 27-35.
2. Griggs R.C. Muscle spasm, cramps and episodic weakness. In Horriso11 principles of
internal medicine. J D Wilson et a! (eds.) 13 th ed. New York Me Grow Hill inc.
1994.
3. Widiastuti .M.S .Simple clinical symtoms and signs for diagnosing spasmophilia . To
graduate program Gajah Mada University. Yogyakarta.1995
4. Manili M, Anna M.G; Hadinoto S. Spasmofilia aspek klinis dan elektromiografi.
Dalam : Kejang Otot.Editor Hadinoto S,Soetedjo, Timotius J. Semarang.Badan
penerbit Universitas Diponogoro. 1995: 39-47.
5. Paci. A, Sartucci. F, Rossi B,Migliaccio P, Palleri R. Clinical manifestation of
spasmophilia in developing age. Pediatr Med Chir 1984. 6 (6) :823-829.
6. Nuti R, TurchettiV, Martini G, Righig, Galli M, Lore F. Pathophysiological aspects
of calcium metabolism spasmophilia.Biomed Pharmacother.1987. 41(2): 96-100
7. Riggs J E.Neurological manifestation of fluid and electrolyt disturbances .Neurol Clin
1989. 7(3): 509-523.
8. Utama J .Spasmofilia, Majalah Kedokteran Indonesia 1972 :22: 93-98.
9. Maruli M, Anna MG, Hadinoto S. Spasmofilia aspek klinis dan elektromiografi.
Dalam: Hadinoto S, Timotius J. Kejang Otot. Semarang. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. 1995:39-47.
10. Magarian GJ, Olney RK. Absence spells. Hyperventilation syndrome as a previously
unrecognized cause. Am J Med. 1984;76(5):905-9.
11. Day JW, Parry GJ. Normocalcemic tetany abolished by calcium infusion. Ann Neurol.
1990;27(4):438-440.
12. Fensterheim H, Wiegand B. Group treatment of hyperventilation syndrome. Int J
Group Psychother. 1991;41(4):399-403.
13. Cowley DS, Roy-Byrne PP. Hyperventilation and panic disorder. Am J Med.
1987;83(5):929-937.
14. Markam S, Latief M. Spasmofilia yang disertai gejala mudah terkejut pada keadaan
kesadaran menurun. Cermin Dunia Kedokteran. 1980;18:35-36.
15. Schuitemaker GE. Spasmophilia. J Orthomol Med. 1988;3(3):145-146.

19
16. Roth B. Nevsimal O. EEG study of tetany and spasmophilia. Electroenceph Clin
Neurophysiol. 1964;17:36-45.
17. Galland L. Magnesium, Stress, and Neuropsychiatric Disorders. Diakses: 11 Januari
2011. Diunduh dari: http://www.mdheal.org/magnesiu1.htm.
18. Urbano FL. Sign of Hypocalemia : Chovstek’s and Trosseau’s Signs. Hospital
Physician. March 2000:43-45

20

Anda mungkin juga menyukai