Anda di halaman 1dari 6

CBD dr Andy

Definisi

Nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72 jam. Karakteristik nyeri kepala
unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin
dan diikuti dengan nausea dan/atau fotofobia dan fonofobia.

Migrain adalah penyakit neurologis kronis paroksismal yang ditandai dengan serangan nyeri kepala
sedang atau berat disertai dengan gejala neurologis dan sistemik reversibel. Gejala yang sering
tampak pada migrain antara lain fotofobia, fonofobia, dan gejala gastrointestinal seperti mual dan
muntah. Istilah migrain refrakter digunakan untuk mendefinisikan nyeri kepala persisten yang sulit
ditangani atau tidak berespon dengan pemberian terapi standar dan/atau agresif.

Klasifikasi

Migrain tanpa Aura

Migrain dengan aura

Epidemiologi

Migraine merupakan penyakit neurologi yang paling umum di seluruh dunia, dengan prevalensi
global migraine mencapai 1.1 milyar di tahun 2019. Di tahun yang sama prevalensi poin migrain
berkisar antara 8,277 hingga 22,400,6 kasus per 100.000. Poit prevalensi tertinggi ditemukan di
belgia dan itali dengan 22.400 dan 20,337.7. Sedangkan yang paling rendah ditemukan di Etiopia dan
Djibouti dengan 8,277 dan 8,915 kasus.

Prevalensi global migraine meningkat pada tiga dekade terakhir. Menurut Global burden of Disease
tahun 2019 prevalensi migrain diestimasikan meningkat dari 721,9 juta pada tahun 1990 menjadi 1.1
milyar pada 2019.

Prevalensi migrain lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki laki pada semua rentang umur.
Pada tahun 2019 prevalensi global terstandardisasi-usia pada perempuan dan laki laki berturut turut
17,902.5 dan 10,337.6 per 100.000 populasi. Insidensi kasus migrain tertinggi berada pada rentang
usia 10-14 tahun, untuk kedua gender.

Faktor Resiko

Ketidakseimbangan hormon. Serangan migrain seringkali berhubungan dengan ketidakseimbangan


hormon. Hormon mengontrol zat kimia yang mempengaruhi sensasi nyeri, sehingga adanya ketidak
seimbangan hormon dapat memicu nyeri. Prevalensi migrain pada wanita hampir dua kali lipat
dibandingkan laki laki. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa terjadi perubahan pada insula
posterior dan korteks percuneus pada wanita migrain dibandingkan pria dan wanita sehat. Migrain
dapat dipengaaruhi oleh siklus menstruasi, kehamlan, menopause, dan penggunaan kontrasepsi
hormonal.

Faktor metabolik. Sindrom metabolik adalah sekelompok gangguan metabolik yang mencakup
obesitas abdominal, diabetes, dislipidemia, dan hipertensi. Obesitas merupakan faktor resiko
episodik dan migrain kronik pda wanita berusia < 55 tahun. Beberapa penelitian menemukan bahwa
hipertensi berhubungan dengan migrain terutama pada orang yang lebih tua. Hipertensi tak
terkontrol merupaka faktor risiko terhadap migrain dengan atau tanpa aura, dan hipertensi juga
dapat berperan dalam proses kronik migrain. Peningkatan total serum kolesterol juga merupakan
faktor resiko untuk migrain.

Genetik dan epigenetik. Faktor genetik memegang peran penting dalam perkembangan migran
dengan atau tanpa aura. Keparahan migrain, onset diusia dini berhubungan dengan skor resiko
poligenik dalam kasus familial.

Merokok, alkohol, dan penyalahgunaan obat. Penelitian sebelumnya mengidentifikasi asosiasi antara
mmigrain dan peningkatan resiko penyalahgunaan obat dan adiksi. Alkohol termasuk dalam 10 besar
pemicu migrain dan dapat meningkatakan resiko migrain hingga mencapai 51%

Usia dan Jenis Kelamin. Usia, jenis kelamin wanita dan status pendidikan rendah merupak
faktoresiko kronifikasi migrain. Penelitian epidemiologi menemukan bahwa wanita tiga kali lebih
mungkin terkena dibandingkan laki laki. Tingginya prevalensi migrain pada wanita mungkin
berhubungan dengan perbedaan biologis dan fisiologis antara keduanya, seperti hormon seks,
genetik, eksposur stressor lingkungan, serta level dan respons terhadap stress dan nyeri.

Gangguan tidur. Terdapat hubungan yang kuat antara tidur dan migraine, dimana gangguan tidur
berhubungan dengan tipe migrain dan keparahan. Masalah tidur yang sering berhubungan dengan
migrain antara lain insomnia, obstruktive sleep apnea, restless leg syndrome, nacrolepsy, gangguan
tidur-bangun yang berkaitan dengan ritme sirkadian, dan parasomnia. Masalah tidur juga
merupakan faktor presipitasi migrain. Gangguan dan perubahan tidur seringkali merupakan pemicu
migrain.

Fatigue. Fatigue dan sindrom kronik fatigue banyak dialami oleh penderita migraine. Meskipun
hubungan antara fatigue, stress dan migrain adalah kompleks, namun penderita migrain sering
melaposkan penurunan kekuatan fisik dan energi.

Patofisiologi

Angiografi menunjukkan adanya vasodilatasi pada arteri intra dan ekstraserebral selama serangan,
spesifik pada sisi yang mengalami nyeri kepala. Patofisiologi migrain diduga melibatkan sistem
kompleks trigeminovaskular (TCC). TCC merupakan organ utama yang berperan dalam memicu
terhadinya nyeri kepala pada migrain. Sistem ini terdiri nucleus caudalis trigeminal, radiks posterior
segmen C1-C2 dari saraf spinal

Patofisiologi migrain diperkirakan melibatkan aktivasi sistem TCC melalui depolarisasi neuron
pseudounipolar yang menjalar dari ganglion trigeminal yang menginervasi struktur meningeal dan
vascular serebral, menyebabkan aktivasi dari neuron second-order pada nucleus caudalis trigeminal
(TNC) di medulla brainstem dan radiks posterior segmen saraf spinal servikal bagian atas.

Stimulasi dari neuron first-order nosiseptif trigeminal menyebabkan terjadinya aktivasi pola
somatotopic pada aksis rostrocaudal brainstem. Neuron second-order pada TNC dan radiks posterior
servikal diregulasi oleh nucleus raphe magnus, periaqueductal gray (PAG), trigeminal nuclei rostral,
dan sistem inhibitor cortical descending, meluas hingga nuclei dorsomedial dan ventroposteromedial
thalamus.

Nyeri trigeminal juga dikaitkan dengan aktivasi beberapa area kortikal, yaitu area insular korteks,
korteks cingulatum anterior, dan korteks somatosensory
Akson perifer ganglion trigeminal melepaskan calcitonin gene-related peptide (CGRP) pada TCC (6).
CGRP adalah neuropeptida yang diekspresikan pada neuron perifer dan sentral dan berperan
sebagai dilatator arteriolar cerebral yang poten dan modulator sirkuit nyeri sentral dan perifer. Pada
neuron second-order dan third-order, CGRP memainkan peran penting dalam regulasi mekanisme
nyeri sentral.

Thalamus merupakan jalur nosiseptif dimana input dari duramater dan area kutaneus dihantarkan
melalui neuron second-order trigeminovascular. Thalamus merupakan area sentral untuk
memproses dan mengintegrasikan stimuli nyeri, serta berhubungan dengan berbagai area korteks,
seperti korteks somatosensory, motor, visual, auditori, olfaktori, dan limbik. Thalamus merupakan
area aksis dari hipersensitivitas sensoris visual dan allodinia.

Hipotalamus merupakan bagian otak yang memiliki koneksi langsung dan tidak langsung terhadap
thalamus, neuron trigeminovaskular, dan nuclei simpatik dan parasimpatik. Selama fase awal
migrain spontan dan selama fase premonitory terjadi peningkatan aliran darah pada hipotalamus.
Hipotalamus terlibat sejak awal fase iktal hingga serangan migrain berlangsung. Gejala yang nampak
berkaitan dengan keterlibatan hipotalamus antara lain perubahan mood, ngidam makanan,
menguap, dan kelelahan. Onset migrain juga diduga berhubungan dengan sisten sirkadian yang
diatur hipotalamus. Sehingga perubahan atau gangguan fisiologis tidur-bangun dapat memicu
serangan migrain.

Selama fase premonitory terdapat hubungan antara hipotalamus dan korteks. Hiperaktivitas pada
korteks oksipital pada serangan migrain menyebabkan timbulnya aura visual. Pendereta denggan
fotofobia menunjukkan adanya hipereksitabilitas pada korteks visual yang mengakibatkan disritmia
thalamocortical.

Manifestasi klinis

Pada migrain episodic, migrain terjadi dalam beberapa fase gejala: fase premonitori, fase gejala
neurologis transien, fase nyeri kepala intense, dan fase postdrome. Di antara episode migrain,
terdapat fase interictal, di mana penderita tidak mengalami gejala. Akan tetapi, pada fase ini
penderita tetap berisiko tinggi terpengaruh oleh factor pemicu
1. Fase premonitori : diawali gejala prodromal, merupakan gejala yang mendahului nyeri
kepala beberapa jam sebelum onset nyeri. Gejala ini timbul karena keterlibatan
hipotalamus, brainstem, korteks, sistem limbik. Beberapa gejala pada migrain seperti mual,
muntah, lakrimasi, kongesti nasal, dan rhinorrhea merupakan indikasi gangguan fungsi
sistem saraf autonom. Ganggaun sistem saraf simpatis mmaupun parasimpatis dapat
ditemukan spenajang fase postdromal
a. Gejala hipotalamus (kelelahan, depresi, iritabel, ngidam makanan, dan menguap)
b. Brainstem (kaku leher dan nyeri otot0
c. Korteks (sensitivitas abnormal terhadap cahaya, suara, dan baubauan)
d. Sistem limbik (depresi dan anhedonia)
2. Aura. Gejala aura terjadi pada fase gejala neurologis transien. Gejala Aura adalah gejala
neurologis fokal sementara. Gejala ura yang paling sering terjadi adalah gangguan visual,
namun gejala seperti gangguan sensorik, bicara dan bahasa, gangguan motorik, fungsi luhir
juga dapat terjadi.
3. Headache. Pada fase nyeri kepala, terjadi aktivasi jalur trigeminothalamic ascending.
Eksitabilitas saraf menyebabkan timbulnya nyeri kepala. Ketika nyeri kepala terjadi, nyeri
kepala biasanya akan berdenyut, dan meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan
intracranial. Gejala seperti mual, muntah, fotofobia dan fonofobia, dapat menyertai nyeri
kepala. Pada nyeri kepala berat, dapat terjadi gangguan aktivitas hingga disabilitas selama
nyeri kepala berlangsung. Pada beberapa kasus, dapat terjadi allodynia dan nyeri otot
4. Postdromal. Gejala nyeri kepala akan menghilang saat fase postdromal, namun gejala
kelelahan dan disabilitas dapat menetap.

Diagnosis

Migrain tanpa aura

Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D

Sekurang-kurangnya nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (belum diobati atau sudah diobati
akan tetapi belum berhasil)
Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua di antara karakteristik berikut:

lokasi unilateral

kualitas berdenyut

intensitas nyeri sedang atau berat

keadaan diperberat oleh aktivitas fisik atau di luar kebiasaan aktivitas fisik rutin (seperti
berjalan atau naik tangga)

Selama nyeri kepala disertai salah satu di bawah ini:

nausea dan/atau muntah

fotofobia dan fonofobia

Tidak memenuhi kriteria diagnosis International Classification of Headache Disorders-3 (ICHD-3)


yang lain
Daftar Pustaka

1. Abyuda, KPP., Kurniawan, SN., 2021. Review Article : Complicated Migraine. Journal of Pain
Headache and Vertigo. 2021(1):28-33. [online] DOI: 10.21776/ub.jphv.2021.002.02.2
2. Dodick, David W. (2018). A Phase-by-Phase Review of Migraine Pathophysiology. Headache:
The Journal of Head and Face Pain, 58(), 4–16. doi:10.1111/head.13300
3. Amiri P., Kazeminasab, S., nejadghaderi, SA., Mohammadinasab, R., Pourfathi, H., Khodaei,
MA., et.al. (2022) Migraine : A Review on Its History,, Global Epidemiology, Risk Factores,
and Comorbidities. Forntiers in Neurology, 2(12): 1-15. doi: 10.3389/fneur.2021.800605
4. Konsensus Nasional V Kelompok Studi Nyeri Kepala Perdossi. (2018). Diagnosis dan
Penatalaksanaan Nyeri Kepala, Surabaya : Airlangga Universitu Press
5. Bigal ME, Lipton RB. The prognosis of migraine. Curr Opin Neurol. 2008 Jun;21(3):301-8. doi:
10.1097/WCO.0b013e328300c6f5. PMID: 18451714.
6. MacGregor EA. Diagnosing migrain. J Fam Plan Reprod Health Care; 2016. 42(4):280–6. DOI:
10.1136/jfprhc-2015-101193 3. D’Antona L, Matharu M. Identifying and managing refractory
migrain: Barriers and opportunities? J Headache Pain; 2019. 20(1). DOI: 10.1186/s10194-
019- 1040-x

Anda mungkin juga menyukai