Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

SKIZOFRENIA

Pembimbing:
dr. Nur Ikhwani

Disusun Oleh:
dr. Annisa Ramlis

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KECAMATAN MANDAU


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Skizofrenia termasuk jenis psikosis yang menempati urutan atas dari seluruh gangguan
jiwa. Menurut Maslim dalam Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa skizofrenia adalah suatu
deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui) dan perjalanan
penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tegantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya.1 Menurut
Davison.dkk (2006) skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran, emosi dan perilaku.2
Skizofrenia merupakan masalah global yang menjadi perhatian seluruh duina. World
Health Organization (2009) menyebutkan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa
utama atau sekumpulan gangguan yang menyebabkan gangguan pikiran, persepsi, afek dan
kebiasaan sosial. Hingga saat ini tidak ada satupun negara yang bebas dari skizofrenia, dan
WHO memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan jiwa.3
Menurut Depkes RI (2009) jumlah klien yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia
saat ini mencapai lebih dari 28 juta orang. Kejadian tersebut akan memberikan andil
meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun diberbagai negara. Angka
kejadian gangguan jiwa di Indonesia relatif bervariasi dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dinyatakan bahwa prevalensi gangguan jiwa
berat di Indonesia sebesar 4,6 per mil sedangkan pada tahun 2013 angka tersebut turun
menjad 1,7 per mil.4

II. TUJUAN
Untuk menjelaskan definisi, etiologi, diagnosis, klasifikasi dan penatalaksanaan yang
tepat dan akurat mengenai skizofrenia sehingga mendapatkan penanganan yang benar,
prognosis yang baik dan keselamatan pasien terjamin.

III. MANFAAT
Memberikan informasi kepada penulis dan pembaca tentang skizofrenia lebih
mendalam sehingga pada akhirnya lebih memudahkan dalam menegakkan diagnosis dan
memberikan penatalaksanaan yang tepat.
BAB II

LAPORAN KASUS

I. DATA PRIBADI
Nama : Tn. S
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar SMA
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 28/11/2017

II. ANAMNESIS
Keluhan utama:
Badan terasa panas sejak lebih kurang 1,5 bulan yang lalu
Riwayat penyakit sekarang:
 Sejak 1,5 bulan yang lalu pasien merasa badan terasa panas, terutama pada sore dan
malam hari. Keluhan disertai badan terasa lemas dan tidak nafsu makan. Keluhan
nyeri perut disangkal.
 Pasien juga mengeluh lebih sering menyendiri di kamar dan pergi keluar rumah pada
malam hari tanpa tujuan. Pasien mengeluh sering mendengar bisikan-bisikan yang
menyuruh pasien untuk keluar rumah malam-malam, pasien juga mendengar bisikan
tentang masa depan. Bisikan tersebut seperti suara seorang laki-laki dewasa. Bisikan
untuk bunuh diri dan membunuh orang lain disangkal.
 Sejak ±1 bulan yang lalu pasien merasa memiliki indera ke enam sehingga dapat
membaca masa depan semua orang. Pasien juga mengaku bisa melihat hantu dan
bayangan hitam yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Mengamuk di rumah
disangkal. Perasaan seperti dikejar-kejar (-).
Riwayat penyakit dahulu:
 Tidak ada riwayat kejang, demam tinggi (-)
 Tidakada riwayat trauma kepala
 Tidak ada riwayat penggunaan napza
Riwayat kehidupan pribadi:
 Pasien lahir cukup bulan, tidak ada masalah selama kehamilan dan kelahiran. Pasien
lahir di bidan. Tidak pernah kejang.
 Saat kanak-kanak hingga SMP pasien dikenal sebagai anak yang ramah, dan
memiliki banyak teman.
 Pasien ingin masuk SMK namun orang tua memaksa pasien untuk masuk SMA
supaya dapat masuk ke universitas negeri di Jawa. Saat ini pasien kelas 3 SMA,
selama di SMA pasien dikenal sebagai anak pendiam dan tidak memiliki banyak
teman.
 Sejak 1 bulan terakhir pasien lebih banyak mengurung diri di kamar, jarang
berangkat ke sekolah dan tidak pernah keluar lagi dengan teman-temannya.
Riwayat keluarga:
 Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
 Tidak ada keluarga dengan riwayat gangguan jiwa

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan Darah : 110/80mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 18x/menit
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Paru : Vesikuler (+/+), Rhonki(-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : BJ 1 dan 2 reguler normal
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), BU (+)normal,
hepatosplenomegali(-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2s

IV. IKHTISAR DAN KESIMPULAN PEMERIKSAAN PSIKIATRI


a. Deskripsi umum
1. Penampilan : rapi, wajah dan pakaian sesuai umur dan jenis kelamin
2. Perilaku dan aktivitas motorik : Tenang
3. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
b. Keadaan spesifik
1. Mood : hipotim
2. Afek : datar
3. Keserasian : Serasi
c. Pembicaraan
Menjawab sesuai pertanyaan namun dengan lambat dan suara pelan
d. Gangguan persepsi
Halusinasi dengar (+) halusinasi penglihatan (+)
e. Pikiran
1. Proses pikir : tidak logis
2. Bentuk pikir : inkoheren
3. Isi pikir : Waham kebesaran (+) memiliki indera keenam
f. Kesadaran dan kognisi
1. Taraf kesadaran dan kesiagaan : komposmentis
2. Orientasi : orientasi waktu, tempat dan orang baik
3. Daya ingat : baik
4. Konsentrasi dan perhatian : baik
5. Kemampuan membaca dan menulis : baik
6. Pikiran abstrak : baik
7. Intelegensi dan kemampuan informasi : baik
g. Pengendalian impuls : baik
h. Daya nilai dan Tilikan : Tilikan 1
i. Taraf dapat dipercaya : dapat dipercaya

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG: tidak dilakukan

VI. DIAGNOSIS AKSIS


Aksis I : F20.3 Skizofrenia tak terinci
Aksis II : tidak ada gangguan kepribadian dan retardasi mental
Aksis III : tidak ada gangguan pada aksis III
Aksis IV : masalah dengan primary support group (keluarga)
Aksis V : GAF 61-70 (beberapa gejala ringan & menetap, disabilitas ringan
dalam fungsi, secara umum masih baik

VII. TATALAKSANA
Clorpromazin tab 2x100mg
Trihexilfenidil tab 2x2mg
Rujuk Sp.KJ

VIII. PROGNOSIS
Psikoterapi & Edukasi
Psikoterapi yang diberikan pasien adalah psikoterapi suportif, psikoterapi reedukatif, dan
terapi kognitif-perilaku.
- Psikoterapi suportif bertujuan untuk memperkuat mekanisme defens (pertahanan) pasien
terhadap stres.
- Psikoterapi reedukatif bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien terhadap
penyakitnya serta mengembangkan kemampuannya untuk menunjang penyembuhan dirinya.
Selain itu juga meningkatkan pengetahuan keluarga untuk mendukung kesembuhan pasien.
Peningkatan pengetahuan dilakukan dengan edukasi baik terhadap pasien maupun keluarga.
- Psikoterapi rekonstruktif bertujuan untuk dicapainya tilikan akan konflik-konflik nirsadar
dengan usaha untuk mecapai perubahan struktur luas kepribadian.
- Edukasi
o Menyarankan kepada keluarga untuk pentingnya dukungan kepada pasien, jangan
membatasi aktivitas pasien secara wajar, ajak pasien bergembira, kurangi hal-hal yang dapat
meningkatkan stresor.
o Berdiskusi terhadap pentingnya pasien untuk teratur minum obat dan kontrol selain itu
kembali menyibukan diri seperti aktivitas dulu, kembali melakukan hal-hal yang
menyenangkan, jangan menyimpan emosi, bila mungkin bisa kontrol ke psikiater.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Menurut World Health Organization (WHO), skizofrenia merupakan suatu penyakit
yang ditandai dengan distorsi pikiran, persepsi, emosi, bahasa, dan tingkah laku, termasuk
didalamnya halusinasi auditorik dan delusi.5 Menurut Maslim, skizofrenia adalah suatu
deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak yang belum diketahui) dan perjalanan
penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tegantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya.1 Menurut
Davison.dkk (2006) skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan
utama dalam pikiran, emosi dan perilaku.2

II. ETIOLOGI
Etiologi skizofrenia terdiri dari faktor-faktor biologik, psikososial dan genetik.
a. Faktor-faktor biologik
1. Neurokimiawi otak
- Hipotesis dopamin
Hipotesis ini menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas
dopaminergik yang berlebihan. Teori dasar ini tidak mengelaborasi apakah
hiperaktivitas dopaminergik itu sehubungan dengan terlalu banyak pelepasan
dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, hipersensitivitas reseptor dopamin
terhadap dopamin atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme ini.6
- Hipotesis serotonin
Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai penyebab gejala
positif dan negatif pada skizofrenia.6
- Hipotesis Gamma-aminobutiryc acid (GABA)
Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid (GABA)
dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada penemuan bahwa
beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di
hipokampus. GABA memiliki efek regulatory pada aktivitas dopamin, dan
kehilangan neuron inhibitory GABA-ergic dapat menyebabka hiperaktivitas
neuron-neuron dopaminergik. 6
- Hipotesis glutamat
Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu antagonis
glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa dengan skizofrenia. 6
2. Hipotesis degeneratif saraf
Sejumlah proses degeneratif saraf dihipotesiskan, berkisar dari apoptosis
abnormal yang diprogram secara genetik, degenerasi dari neuron-neuron yang
kritis, pemaparan prenatal terhadap anoksia, toksin-toksin, infeksi atau malnutrisi,
proses kehilangan neuronal yang dikenal sebagai excitotoxicity akibat aksi
berlebihan dari neurotransmiter glutamat. Jika neuron-neuron tereksitasi ketika
memperantarai gejala-gejala positif, kemudian mati akibat proses toksik yang
disebabkan neurotransmisi excitatory yang berlebihan, ini membawa ke stadium
residual burn out dan gejala-gejala negatif. 6
3. Hipotesis Perkembangan Saraf
Banyak teori-teori tentang skizofrenia menyatakan gangguan ini berasal dari
abnormalitas dalam perkembangan otak. Sebagian menyatakan bahwa problem
didapatkan dari lingkungan otak janin. Skizofrenia dapat berawal dengan proses
degeneratif yang didapat yang berpengaruh dengan perkembangan saraf. Sebagai
contoh skizofrenia meningkat pada orang-orang dengan riwayat semasa janin
mengalami komplikasi obstetrik saat dalam kehamilan ibu, berkisar dari infeksi
virus, kelaparan, proses autoimun dan masalah-masalah lain yang menyebabkan
gangguan pada otak di awal perkembangan janin, dapat berkontribusi terhadap
penyebab skizofrenia. Faktor-faktor ini juga akhirnya dapat mengurangi faktor-
faktor pertumbuhan saraf dan merangsang proses-proses tetentu yang membunuh
neuron-neuron yang kritis, seperti sitokin, infeksi virus, hipoksia, trauma, kelaparan
atau stres. 6
4. Elektrofisiologi
Studi-studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa banyak pasien skizofrenia
mempunyai rekaman elektrofisiologik abnormal, peningkatan sensitivitas terhadap
prosedur aktivasi (aktivitas spike yang sering setelah kurangnya tidur, penuruna
aktivitas alfa, peningkatan aktivitas theta dan delta). 6
5. Psikoneuroimunologi
Sejumlah abnormalitas berkaitan dengan skizofrenia, mencakup penurunan
produksi T-cell interleukin-2, pengurangan jumlah dan respons limfosit perifer,
reaktivitas humoral dan seluler abnormal terhadap neuron, adanya antibodi brain-
directed (antibrain). 6
6. Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin pada pasien
skizofrenia dan kelompok kontrol. Contohnya: abnormalitas dexamethason
suppression test, penurunan luteinizing hormone dan follicle-stimulating hormone. 6
b. Faktor psikososial
1. Psikoanalitik
Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari perkembangan yang
terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada perkembangan ego dan defek-
defek ini memberikan kontribusi terhadap gejala-gejala skizofrenia. 6
2. Dinamika keluarga
Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang disfungsi.
Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan stres emosional yang merupakan
hal yang rentan pada pasien skizofrenia untuk mengatasinya. 6
c. Faktor genetik
Terdapat kontribusi genetik pada sebagian atau mungkin semua bentuk skizofrenia,
dan proporsi yang tinggi dari variasi dalam kecenderungan skizofrenia sehubungan
dengan efek genetik. Risiko menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika
tidak ada keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia maka
insidens untuk menderita skizofrenia sebesar 12%. Insidens skizofrenia pada kembar
dizigotik jika salah satu menderita skizofrenia sebesar 12%, pada kembar monozigotik
sebesar 47%. Jika kedua orang tua menderita skizofrenia insidensnya sebesar 40%.6

III. DIAGNOSIS
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman diagnostik skizofrenia terdiri dari beberapa hal
sebagai berikut:1
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
1. Isi pikiran:
- “thought echo” yang merupakan isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan.
- “thought insertion or withdrawal” merupakan isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal)
- “thought of broadcasting” merupakan isi pikiran yang tersiar ke luar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya.
2. Waham:
- “delusion of control” merupakan waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar
- “delusion of influence” merupakan waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar
- “delusion of passivity” merupakan waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar (merujuk pada gerakan tubuh/anggota
gerak, tindakan atau penginderaan khusus)
- “delusional perception” merupakan pengalaman inderawi yang tidak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, seperti mistik atau mukjizat.
3. Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien
- Mendiskudikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara)
- Jenis suara halusinasi lain yangberasal dari salah satu bagian tubuh
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
bisa mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia
lain).
b. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
1. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas, ataupun disetai ide-ide berlebihan yang menetap atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
2. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat inkoherensi
atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme
3. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu, atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan strupor
4. Gejala-gejala “negatif” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
c. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurung waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal)
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari berbagai aspek perilaku pribadi (peronal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

IV. KLASIFIKASI
a. Skizofrenia Paranoid
Untuk mendiagnosis skizofrenia paranoid, berikut adalah pedoman diagnosis
berdasarkan PPDGJ-III:1
1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
2. Sebagai tambahan:
- Halusinasi dan atau waham harus menonjol:
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung
atau bunyi tawa.
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual, atau lain-
lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tapi jarang menonjol
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan,
dipengaruhi, atau “passivity” dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka
ragam adalah yang paling khas
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol
b. Skizofrenia Hebefrenik
Penegakan diagnosis skizofrenia hebefrenik meliputi pedoman diagnostik sebagai
berikut:1
1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
2. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya 15-25 tahun)
3. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas pemalu dan senang menyendiri
(solitary) namun tidak harus demikian untuk mennetukan diagnosis
4. Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontiniu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan:
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, serta
mannerisme; cenderung untuk sendiri dan perilaku menunjukkan hampa tujuan
dan hampa perasaan
- Afek apsien dangkal dan tidak wajar, sering disertai cekikikan atau perasaan
puas diri, senyum sendiri atau oleh sikap tinggi hati, tertawa menyeringai,
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau, dan kata kata diulang-ulang.
5. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol.
c. Skizofrenia Katatonik
Untuk mendiagnosis skizofrenia katatonik, berikut adalah pedoman diagnosis
berdasarkan PPDGJ-III:1
1. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
2. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
- Stupor (kurang dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta
aktivitas spontan) atau mutisme (tidak bicara)
- Gaduh gelisah
- Menampilkan posisi tubuh tertentu
- Negativisme
- Rigiditas
- Fleksibilitas cerea
- Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah) dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
3. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
d. Skizofrenia Tak Terinci
Untuk mendiagnosis skizofrenia tak terinci, berikut adalah pedoman diagnosis
berdasarkan PPDGJ-III:1
1. Memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
2. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, herbefrenik, atau
katatonik
3. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia
e. Depresi Pasca Skizofrenia
Pedoman diagnosis:1
1. Diagnosis harus ditegakkan hanya jika:
- Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir
- Beberapa gejala skizofrenia masih ada tapi tidak lagi mendominasi gambaran
klinisnya
- Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2
minggu
2. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi
Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih menonjol maka diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
f. Skizofrenia Residual
Untuk mendiagnosis skizofrenia residual, berikut adalah pedoman diagnosis
berdasarkan PPDGJ-III:1
1. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif,
kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang
buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.
2. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
3. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata telah sangan berkurang dan telah timbul sindrom
negatif dari skizofrenia
4. Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan organik lain, depresi kronis atau
penyebab lain yang menjelasan disabilitas negatif tersebut.
g. Skizofrenia Simpleks
Untuk mendiagnosis skizofrenia simpleks, berikut adalah pedoman diagnosis
berdasarkan PPDGJ-III:1
1. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung
pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari:
- Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham atau manifestasi lain dari episode psikotik
- Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu
tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara sosial.
2. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan sub tipe skizofrenia
lainnya

V. PENATALAKSANA
Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada dasarnya
semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen. Perbedaan utama
pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosik yang
dominan dan efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif
pilihannya adalah obat antipsikosik atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala
positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan
generasi pertama). Antipsikotik tidak bersifat kuratif (karena tidak mengeliminasi gangguan
berpikir mendasar), tetapi biasanya membantu pasien berfungsi normal. Obat-obat ini hanya
memperbaiki ketidakseimbangan untuk sementara dan tidak dapat memecahkan masalah
fisiologis yang mendasar. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus pasien yang kambuh
setelah menghentikan penggunaan obat-obat ini.
a. Antipsikotik tipikal (FGA)
Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai aksi untuk
mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini lebih efektif untuk mengatasi gejala
positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan
antipsikotik tipikal sehingga muncul antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-
obatan yang termasuk dalam antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin, tiorizadin,
flufenazin, haloperidol, loxapin, dan perfenazin.
Sediaan obat anti psikosis dan dosis anjuran:7
No Nama Generik Sediaan Dosis
1 Klorpromazin Tab 25mg dan 100mg, Inj 25mg/mL 150-600mg/hari
2 Haloperidol Tab 0,5mg, 1,5mg dan 5mg, Inj 5mg/ml 5-15mg/hari
3 Perfenazin Tab 2mg, 4mg, dan 8mg 12-24mg/hari
4 Flufenazin Tab 2,5mg dan 5mg 10-15mg/hari
5 Flufenazin dekanoat Inj 25mg/mL 25mg/2-4minggu
7 Trifluperazin Tab 1mg dan 5mg 10-15mg/hari
8 Tioridazin Tab 50mg dan 100mg 150-600mg/hari
10 Pimozid Tab 1mg dan 4mg 1-4mg/hari

b. Antipsikotik atipikal (SGA)

Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada tahun 1990an. Aksi obat
ini yaitu menghambatreseptor 5-HT2 dan memiliki efek blokade pada reseptor dopamin yang
rendah. Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek
sampingnya yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal.
Antipsikotik atipikal menunjukkan penurunan dari munculnya efek samping karena
penggunaan obat dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap
pengobatan (Shen, 1999). Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun
negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin, risperidon,
olanzapin, ziprasidon, dan quetiapin.7

No Nama Generik Sediaan Dosis


1 Sulpiride Tab 200mg, Amp 50mg/mL 300-600mg/hari, 3-
6amp/hari
2 Risperidon Tab 1,2,3mg, Vial 25mg/ml, Vial 2-6mg/hari, 25-50mg
50mg/ml (im) tiap 2 minggu
3 Clozapin Tab 25mg, 100mg 25-100mg/hari
4 Olanzapin Tab 5mg dan 10mg 10-20mg/hari
5 Quetiapine Tab 25mg, 100mg dan 200mg 50-400mg

c. Efek samping antipsikotik


- Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
- Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering,
kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
- Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor,
bradikinesia, rigiditas).
- Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (Jaundice), hematologik
(agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.
- Efek samping dapat juga “irreversible” : tardive dyskinesia (gerakan berulang
involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada
waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka
panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak
berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis (non dose related).
Bila terjadi gejala tersebut : obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan, bisa dicoba
pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h, (dopamine depleting agent), pemberian obat
antiparkinson atau L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat pengganti anti-
psikosis yang paling baik adalah Clozapine 50-100 mg/h.

VI. PROGNOSIS
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang
mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu
sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Sampai
saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa
yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor
pencetus jelas, onset akut, riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah,
riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan
memberikan prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset
tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga
skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi
dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim, R. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III


Jakarta : Departemen Kesahatan RI.2013
2. Davison. Dkk. Psikologi Abnormal. Edisi ke 9. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perdasa.
2006
3. WHO. Schizophrenia and public health.Geneva: WHO.2009
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta:
Depertemen Kesehatan RI. 2013
5. WHO. Fact Sheet: Schizophrenia. Online version. 2016. Available on :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs397/en/
6. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. Behavior Sciences
/Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p.527-30.
7. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik : PT Nuh Jaya, 1999

Anda mungkin juga menyukai