Anda di halaman 1dari 16

1.

Pendahuluan

Neomycin ialah suatu antibiotika aminoglikosida yang


ditemukan dalam banyak obat topikal seperti krim, salep, dan obat
tetes mata. Penemuan kembali ke penanggalan tahun 1949.
Antibiotik ini ditemukan di lab Selman Waksman, yang kemudian
dianugerahi Hadiah Nobel dalam bidang Fisiologi dan kedoteran
pada tahun 1951. Neomycin miliknya kelas antibiotik
aminoglikosida yang mengandung dua atau lebih gula amino yang
terikat oleh ikatan glikosida. Karena nefrotoksisitas oto-dan
melekat pada zat ini, penggunaan sistemik telah menurun, sebagai
alternatif yang lebih aman telah tersedia.
Suatu antibiotika berspektur luas, yang di hasilkan oleh
jasad renik Strptomyces fradiae. Antibiotika ini sangat efektif dalam
pengbobatan berbagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Shigella salmonella, Leptospira, dan Staphlococcus. Karena itu
neomisin sering dipakai untuk pengobatan berbagai penyakit
seperti keracunan makanan, disentri basiler, dan infeksi kulit.

Neomisin menyebabkan pembentukan protein abnormal


atau menghambat pembentukan protein dalam tubuh kuman.
Antibiotika ini sering diberikan melalui suntikan, karena penyerapan
di usus sangat kurang. Efek samping yang mungkin timbul pada
pemakaian yang lama adalah kerusakan ginjal dan gangguan
pendengaran.
Neomycin secara khas digunakan sebagai sediaan topikal,
seperti Neosporin. Antibiotik ini juga diberikan melalui mulut, di
mana ia biasanya dikombinasikan dengan antibiotik lain. Neomycin
tidak diserap dari saluran pencernaan dan telah digunakan sebagai
ukuran pencegahan untuk hepatic encephalopathy dan
hiperkolesterolemia.

1
2

2. Farmasi – Farmakologi

2.1. Sifat fisiko kimia dan rumus kimia obat

Neomycin miliknya kelas antibiotik aminoglikosida yang


mengandung dua atau lebih gula amino yang terikat oleh ikatan
glikosida. Karena nefrotoksisitas oto-dan melekat pada zat ini,
penggunaan sistemik telah menurun, sebagai alternatif yang lebih
aman telah tersedia.Rumus molekul neomycin C23H46N6O13 dengan
berat molekul 614,644 g/mol.
Nama Sistematik (IUPAC) - nya adalah ( 2RS, 3S, 4S, 5R ) -
5-amino-2-(aminometil) - 6 - ( 2R, 3S, 4R, 5S ) – 5 - ( 1R, 2R, 5R,
6R ) - 3,5 - diamino-2- ( 2R, 3S, 4R, 5S ) – 3 – amino – 6 - (
aminometil ) - 4,5 - dihidroksitetrahidro - 2H - piran-2 - iloksi ) – 6 –
hidroksisikloheksiloksi ) – 4 – hidroksi – 2 - ( hidroksimetil )
tetrahidrofuran – 3 – iloksi ) tetrahidro -2H -piran-3,4-diol.

2.2. Farmakologi Umum

2.2.1. Absorbsi
Neomysin di absorbsi dengan buruk dari saluran
gastrointestinal. Dosis oral sebesar 3 g hanya menghasilkan
konsentrasi puncak plasma 1 hingga 4 µg/ml ; dosis harian total 10
g selama 3 hari menghasilkan konsentrasi dalam darah dibawah
konsentrasi yang menyebabkan toksisitas sistemik jika fungsi ginjal
normal. Pasien dengan insufisiensi ginjal dapat mengakumulasi
obat ini. Walaupun neomycin dapat diberikan secara oral untuk
anak yang masih sangat kecil, namun pada dosis besar 100 mg/kg
per hari, penggunaannya pada pasien seperti ini selama lebih dari
3 minggu harus dihindari karena adanya absorbsi sebagian dari
saluran intestinal, terutama jika terjadi pada lokasi penyakit.
3

2.2.2. Distribusi
Karena sifatnya yang polar, sebagian besar dikeluarkan dari
kebanyakan sel, dari sistem saraf pusat dan mata. Volume
distribusi nyata 25% dari bobot badan tanpa lemak dan mendekati
volume cairan ekstraseluler. Konsentrasi tinggi hanya ditemukan
pada bagian korteks ginjal serta bagian endolimfe dan perilimfe
telinga bagian dalam.

2.2.3. Metabolisme
Berdifusi melalui saluran berair yang dibentuk oleh protein
porin pada membran luar bakteri gram negatif untuk memasuki
ruang periplasma. Pengangkutan melalui membran sitoplasma
tergantung pada transpor elektron, sebagian kerena kebutuhan
akan potensial elektris membran untuk mengarahkan permeasi.
Fase ini merupakan penentu laju dan dapat diblok oleh kation
bervalensi dua, hiperosmolaritas penurunan pH dan anaerobiasis.
Kedua kondisi ini mengganggu kemampuan bakteri dalam
mempertahankan potensi membran, yang merupakan tenaga
penggerak yang diperlukan untuk transpor.

2.2.4. Ekskresi
Neomysin diekskresikan oleh ginjal. Sekitar 97% dosis oral
neomycin tidak diabsorbsi dan dieliminasi dalam bentuk tidak
berubah pada feses.
4

2.3. Farmakodinamik

Mekanisme kerja: penghambat biosintesis Protein (inhalasi


dan elongasi) melalui ikatan pada subunit 30S. selain itu,
menyebabkan salah baca pada mRNA, yang mengakibatkan
pembentukan protein “nonsense”. Namun efek bakterisid senyawa
ini disebabkan oleh gangguan permeabilitas dari membrane
sitoplasma.

Tipe efek: bakterisid primer (juga kuman dalam fase istirahat


dapat dibasmi)

Spectrum aktivitas: 1) sedang; 2) terutama bakteri gram


negative, yang penting adalah efek dari senyawa baru (kelompok
Gentamisin) terhadap kelompok Pseudomonas.

Perkembangan resistensi terjadi dengan cepat (resistensi


satu langkah). Di antara anggota aminoglikosid terdapat resistensi
silang parsial (untuk sebagian bersifat sepihak).

2.4. Farmakokinetik

Semua golongan aminoglikosid mempunyai sifat


farmakokinetik yang hampir sama. 15–30 menit paska pemberian
intravena mengalami distribusi ke ruang ekstraseluler dan
konsentrasi puncak dalam plasma dialami setelah 30-60 menit
paska pemberian. Waktu paruh (half-life) aminoglikosid rerata
antara 1.5 hingga 3.5 jam pada fungsi ginjal yang normal, waktu
paruh ini akan memendek pada keadaan demam dan akan
memanjang pada penurunan fungsi ginjal. Ikatan aminoglikosid
dan protein sangat lemah (protein binding < 10%) dan eliminasi
5

obat ini terutama melalui filtrasi glomerulus. Lebih 90% dari dosis
aminoglikosid yang diberikan secara intravena akan terdeteksi
pada urin dalam bentuk utuh pada 24 jam pertama, sebagian
kecil secara perlahan akan mengalami re-siklus kedalam lumen
tubulus proksimalis, akumulasi dari resiklus ini yang akan
mengakibatkan toksik ginjal. Volume distribusi (Vd) aminoglikosid
0.2-0.3 L/k, setara dengan cairan ekstraseluler sehingga akan
mudah tercapai konsentrasi terapeutik dalam darah, tulang,
cairan sinovia dan peritonium tetapi mempunyai konsentrasi
distribusi yang rendah pada paru dan otak. Dua prinsip utama
farmakodinamik aminoglikosid yaitu: concentration-dependent
killing dan postantibiotic effect (PAE).

Absorpsi Ikatan t½ Eliminasi


protein
plasma
Neomisin Secara Kecuali 2-3 jam Di ginjal,
oral tidak streptomisin, (pada secara
diabsorpsi 30-35% insufisiensi filtrasi
praktis tidak ginjal 30- glumerular
terikat 150 jam) dalam
bentuk
tidak
berubah

Aminoglikosid menembus sawar plasenta dan mencapai


fetus. Kadar yang tercapai di ASI rendah (±2% nilai serum).
6

2.5. Toksisitas

2.5.1. Alergi
Potensinya untuk menimbulkan alergi rendah.
Kadang-kadang dapat terjadi reaksi kulit memerah, eosinofilia,
demam, kelainan darah, dermatitis, angioudem, stomatitis dan syok
anafilaksis.

2.5.2. Reaksi iritasi:


Reaksi iritasi berupa rasa nyeri di tempat penyuntikan.
Suntikan diikuti radang dan peningkatan suhu 0,5-1,5 derajat C.
Misal: pada penyuntikan sreptomisin i.m.

2.5.3. EFEK TOKSIK


Reaksi toksik dapat terjadi pada SSP berupa :
- Efek Ototoksik (gangguan pendengaran dan keseimbangan)
- Efek Nefrotoksik (gangguan pada ginjal)

Gejala lain pada SSP adalah gangguan pernafasan. Kadar


plasma yang menimbulkan efek toksik tidak jauh dari kadar yang
dibutuhkan untuk efek terapi. Penyesuaian dosis dapat dilakukan
dengan memperpanjang interval pemberian atau mengurangi
dosis, atau keduanya.

Efek Ototoksik:

Efek ototoksik terjadi pada saraf otak ke 8 (nervus


auditorius) yang mengenai komponen vestibular dan akustik.
7

Setiap aminoglikosida berpotensi menyebabkan dua efek toksik


dalam derajat yang berbeda.Streptomisin dan gentamisin lebih
mempengaruhi vestibular. Neomisin, kanamisin, amikasin dan
dihidrostreptomisin lebih mempengaruhi akustik. Tobramisin
mempengaruhi akustik dan vestibular.

Gangguan vestibular:
—Gejala:- sakit kepala
– pusing
– mual
– muntah
– gangguan keseimbangan

— Pemulihan : 12-18 bulan ada yang menetap, dapat meluas


ke ujung serabut saraf kohlea.—Dosis toksik: 2 g sehari selama
60-120 harikejadian toksik sampai 75% 1 g sehari selama 60-120
hari kejadian toksik sampai 25 %

Gangguan akustik:
—- Gangguan tidak langsung di kedua telinga sekaligus ttp
bertahap.
—- Dapat berkembang jadi tuli saraf.
—- Kerusakan berupa degenarasi sel rambut organ corti.
—- Gangguan akustik terjadi pada anak-anak.
—- Gejala awal : tinnitus

—Frekuensi kejadian:
Streptomisin 4-15%
Gentamisin, amikasin, tobramisin 25 %
Kanamisin 30%
8

Neomisin paling sering menimbulkan tuli saraf.


—Neomisin topikal 5% juga dapat menimbulkan tuli saraf.

Efek nefrotoksik:
Gejala:

 Kemampuan ginjal menurun


 Protein uria ringan
 Filtrasi glomerulus menurun
 Nekrosis tubuli berat ditandai dengan kenaikan
 kreatinin, hipokalemia, hipokalsemia.
 Gangguan terjasi reversibel
—Nefrotoksik
Terkuat : Neomisin
Terlemah : Streptomisin

Efek neurotoksik lain:

 Streptomisin i.p menyebabkan gangguan pernafasan.

Perubahan biologi:
—Gangguan mikroflora tubuh dan absorpsi usus.
—Dapat menyebabkan superinfeksi pseudomonas: kanamisin

Kandidiasis: Penggunaan oral gentamisin


9

2.6. Contoh penulisan resep

Dr. Astra
SIP : 13700251
Fakultas kedokteran wijayakusuma
Jl. Dukuh kupang
surabaya

Surabaya 23-9-2012

R/ Neomisin fls No.I

S omnihora gtt I o.d.s

Pro : Lulung
Umur : 25 tahun
10

3. Pembahasan

Tujuan percobaan kali ini adalah untuk memahami cara pembuatan


tetes mata neomisin sulfat dan cara menguji kualitas dari sediaan steril
yang dibuat. Sediaan tetes mata merupakan larutan steril, yang
dalam pembuatannya memerlukan pertimbangan yang tepat terhadap
pemilihan formulasi sediaan, seperti penggunaan bahan aktif, pengawet,
isotonisitas, dapar, viskositas, dan pengemasan yang cocok (Ansel,
1989). Sediaan yang di buat pada formulasi menggunakan bahan aktif
neomisin sulfat. Neomisin Sulfat merupakan antibiotik aminoglikosida
yang digunakan sebagai terapi topikal untuk mengobati infeksi bakteri
pada konjungtivitis dan otitis media.

Formulasi yang dibuat mengandung bahan aktif Neomisin


sulfat 0,5%; Benzalkonium klorida 0,01%; Natrium Edetat 0,1%; Natrium
Metabisulfit 0,1 %; NaCl 0,7384%; dan Aqua pro injeksi hingga 10
mL. Neomisin sulfat sebagai bahan aktif dalam terapi untuk mengobati
infeksi bakteri pada konjungtivitis dan otitis media. Benzalkonium klorida
sebagai pengawet atau antimikroba dalam sediaan yang biasa digunakan
dalam sediaan tetes mata steril dengan bahan aktif neomisin sulfat.
Natrium Edetat digunakan untuk mencegah kontaminasi dengan logam
yang berasal dari wadah gelas agar dalam sediaan tetes mata yang
dibuat tidak terdapat cemaran logam. Natrium Metabisulfit sebagai bahan
antioksidan untuk mencegah kemungkinan terjadinya oksidasi bahan saat
proses pembuatan sediaan dan sterilisasi. NaCl sebagai bahan
pengisotonis karena sediaan ditujukan untuk pengobatan infeksi pada
mata sehingga sediaan harus isotonis. Aqua pro injeksi digunakan
sebagai pelarut dan pembawa karena bahan-bahan larut dalam air, selain
11

itu aqua pro injection lebih steril dibandingkan dengan aquadest biasa
sehingga adanya kemungkinan kontaminasi lebih kecil.

Pembuatan sediaan dilakukan dengan pertama-tama ditimbang


semua bahan. Melarutkan bahan aktif dan bahan tambahan yaitu
Neomisin Sulfat, Natrium Edetat, dan Na metabisulfit dengan Aqua pro
injeksi secukupnya sampai larut. Tambahkan NaCl dan pengawet
Benzalkonium Klorida kemudian mengecek pH-nya. Menyaring larutan
tersebut dengan kertas saring yang telah dijenuhkan dengan Aqua pro
injeksi sebelumnya dan kemudian menampungnya dalam gelas ukur.
Menambahkan Aqua pro injeksi sampai volume tercapai 10 ml. Dilakukan
pengemasan di dalam vial dan sediaan disterilisasi. Larutan yang sudah
disaring dimasukkan ke dalam vial sebanyak 10 mL dan disterilkan
menggunakan cara sterilisasi A yaitu menggunakan autoklaf pada suhu
121°C selama 15 menit. Lalu terakhir dilakukan pengujian sediaan.

Sediaan yang telah disterilisasi kemudian dilakukan pengujian. Uji


yang dilakukan untuk sediaan ini ada empat yaitu uji kejernihan, uji
kebocoran, uji pH dan uji sterilitas. Uji kejernihan pada sediaan yang
dilakukan dengan cara melihat kejernihan sediaan dengan cara visual dan
diamati apakah ada partikel-partikel dalam larutan.

Uji yang dilakukan berikutnya adalah uji pH. Uji ini dilakukan
dengan cara mencelupkan kertas indikator pH kedalam sediaan kemudian
dibandingkan warnanya dengan warna pembanding pH. Uji berikutnya
adalah uji kebocoran. Pengujian dilakukan dengan cara mencelupkan
kemasan sediaan kedalam gelas Bekker 250 mL yang berisi air dicampur
dengan metilen blue kemudian didiamkan selama 10 menit. Sediaan
dikatakan tidak memiliki kebocoran jika pewarna metilen blue tidak masuk
kedalam sediaan sehingga sediaan menjadi berubah warna dan kemasan
12

tidak mengeluarkan gelembung udara ketika dicelupkan. Uji yang terakhir


dilakukan adalah uji sterilitas.

Uji ini dilakukan pada media Tioglikolat cair. Sediaan dimasukkan


kedalam media dengan cara disuntikkan sebanyak 1 mL. Proses ini
dilakukan di dalam laminar air flow. Media yang telah berisi sediaan ini
diinkubasi pada suhu 30°C dan dilakukan pengamatan pada hari ke-3,5
dan 7.
Sebelum dilakukan pembuatan sediaan terlebih dahulu dilakukan
sterilisasi alat. Cara sterilisasi alat dilakukan dengan dua metode yaitu
metode pemanasan cara basah dengan menggunakan autoklaf dan
metode pemanasan cara kering dengan menggunakan oven. Metode
pemanasan cara basah dengan menggunakan autoklaf untuk alat yang
tidak tahan panas suhu tinggi yang berupa gelas dan wadah lain yang
tidak tahan panas kering, plastik dan karet. Sterilisasi dilakukan pada
suhu 121°C selama 15 menit. Prosesnya semua alat yang sudah
dibungkus dengan kertas perkamen seperti karet pipet tetes, tutup vial
dan syringe dimasukkan kedalam autoklaf kemudian ditutup rapat.
Pemanasan dilakukan hingga suhu mencapai 111°C, setelah itu katup
udara dibuka sehingga udara dalam autoklaf keluar dan tekanan didalam
autoklaf meningkat. Berikutnya autoklaf dipanaskan lagi hingga suhu
mencapai 121° C. Ketika suhu sudah mencapai 121°C, suhu
dipertahankan selama 15 menit (disebut dengan waktu pembinasaan).
Setelah 15 menit katup udara dibuka hingga uap air keluar semuanya
(disebut dengan waktu pendinginan).

Cara sterilisasi lainnya adalah menggunakan oven.


Metode pemanasan cara kering dengan menggunakan oven untuk alat
yang tahan dengan pemanasan tinggi yang berupa alat gelas, alat
porslein dan alat logam. Sterilisasi dilakukan pada suhu 180°C selama 30
menit. Proses sterilisasi yaitu alat yang sudah dibungkus dengan kertas
13

perkamen ( gelas beaker , batang pengaduk, kaca arloji, pinset, pipet


tetes, spatula, gelas ukur, corong kaca, vial dan kertas saring yang
dimasukkan dalam beaker glass) dimasukkan kedalam oven dan ditutup.
Pemanasan dilakukan sampai mencapai suhu 180° C (waktu menaik).
Setelah suhu mencapai 180° C dilakukan proses sterilisasi selama 30
menit. Waktu pemanasan disini bertujuan untuk meningkatkan suhu dari
0° sampai 180°C. Setelah suhu mencapai 180° C maka suhu akan stabil
(waktu kesetimbangan) dan dilakukan sterilisasi selama 30 menit (waktu
pembinasaan). Waktu pembinasaan bertujuan untuk membinasakan
mikroorganisme yang ada di alat-alat tersebut. Waktu tambahan jaminan
sterilitas yaitu waktu dimana sterilisasi yang telah melebihi 30 menit
namun tetap dilakukan pembinasaan, maka waktu tersebut digunakan
untuk menambah jaminan sterilitas suatu sediaan. Kemudian turukan
suhu sampai 0° C (waktu pendinginan). Waktu pendinginan bertujuan
untuk mendinginkan alat-alat yang telah selesai disterilisasi agar alat-alat
yang akan digunakan tidak dalam keadaan panas tinggi namun tetap
steril.
14

4. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh pada percobaan kali ini adalah :


1. Sediaan tetes mata Neomisin sulfat yang dibuat memiliki indikasi sebagai
terapi topikal untuk mengobati infeksi bakteri pada konjungtivitis dan otitis
media.

2. Formulasi yang dibuat mengandung bahan aktif Neomisin sulfat 0,5%;


Benzalkonium klorida 0,01%; Natrium Edetat 0,1%; Natrium Metabisulfit
0,1 %; NaCl 0,7384%; dan Aqua pro injection ditambahkan sampai
volume sediaan 10 mL.

3. Uji evaluasi yang dilakukan untuk sediaan ini ada empat yaitu uji
kejernihan, uji kebocoran, uji pH dan uji sterilitas.

4. Cara sterilisasi alat dilakukan dengan dua metode yaitu


metode pemanasan cara basah dengan menggunakan autoklaf dan
metode pemanasan cara kering dengan menggunakan oven
15

DAFTAR PUSTAKA

 Bagian Farmakologi FKUI. 1995. Farmakologi Dan Terapi Edisi IV.


Jakarta.

 Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta.

 Depkes RI. 1978. Formularium Nasional Edisi Kedua. Jakarta.

 Goodman & Gilman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi Volume 2. Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

 ADME (Dasar Farmakologi Terapi Hal.1196, 1200, 1210)

 MIMS Indonesia Edisi 15 Tahun 2014.

 ISO Indonesia Volume 46 Tahun 2011-2012.

 Voight R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi ke-5.Gajah Mada


University Press. Yogyakarta.

 Anief, M. 1999. Ilmu Meracik Obat . Gajah Mada University Press.


Yogyakarta.
16

Anda mungkin juga menyukai