Anda di halaman 1dari 18

PROPOSAL

PELAKSANAAN KEGIATAN DISKUSI REFLEKSI KASUS TENTANG


DISTRAKSI, RELAKSASI, HIPNOTIS MANAGEMENT NYERI PADA
PEGAWAI DI RUANG RB RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2018

A. Latar Belakang
Pada perkembangan dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkat
pesat. Kemajuan dibidang teknologi membawa manfaat yang besar bagi manusia.
Penambahan jalan raya dan penggunaan kendaraan bermotor yang tidak seimbang
menyebabkan jumlah korban kecelakaan lalu lintas meningkat, tetapi peningkatan
jumlah tertinggi lebih banyak terjadi di negara berkembang. Tingginya angka
kecelakaan menyebabkan angka kejadian fraktur semakin tinggi, dan salah satu
kondisi fraktur yang paling sering terjadi adalah fraktur , yang termasuk dalam
kelompok tiga besar kasus fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan
harus menjalani pembedahan dengan konsekuensi didapatkan efek nyeri setelah
operasi.
Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak luput juga
kemajuan ilmu dibidang kesehatan dan semakin canggihnya teknologi banyak pula
ditemukan berbagai macam teori baru, penyakit baru dan bagaimana
pengobatannya. Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan
dibidang kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Pemberian
analgesik biasanya dilakukan untuk mengurangi nyeri. Teknik relaksasi merupakan
salah satu metode manajemen nyeri non farmakologi dalam strategi
penanggulangan nyeri, disamping metode TENS (Transcutaneons Electric Nerve
Stimulation), biofeedack, plasebo dan distraksi. Relaksasi merupakan kebebasan
mental dan fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah 2 persepsi
kognitif dan motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat
mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi
pada nyeri (Potter & Perry, 2005).
Pemberian analgesik dan pemberian narkotik untuk menghilangkan nyeri tidak
terlalu dianjurkan karena dapat mengaburkan diagnosa (Sjamsuhidajat, 2005).
Perawat berperan dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pasien dan
membantu serta menolong pasien dalam memenuhi kebutuhan tersebut termasuk

1
dalam manejemen nyeri (Lawrence, 2002). Secara garis besar ada dua manajemen
untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non
farmakologi.
Manajemen nyeri dengan melakukan teknik 3 relaksasi merupakan tindakan
eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Manajemen
nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup latihan pernafasan diafragma, teknik
relaksasi progresif, guided imagery, dan meditasi, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam sangat efektif dalam menurunkan nyeri
pasca operasi (Brunner & Suddart, 2001).

B. Tujuan
1. TujuanUmum
Memberikan penyuluhan tentang Manajemen Nyeri dengan Tehnik Relaksasi
Hipnotis kepada Perawat Di Ruang RB RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. TujuanKhusus
1. Menjelaskan pengertian nyeri secara umum.
2. Memahami persepsi klien tentang Manajemen Nyeri.
3. Menjelaskan tujuan Manajemen Nyeri non pharmacologis.
4. Menyebutkan cara-cara sederhana mengatasi nyeri
5. Mendemontrasikan cara – cara mengatasi nyeri dengan Tehnik Relaksasi Hipnotis

C. Pelaksanaan
1. Topik Kegiatan
Sosialisasi tentang Manajemen Nyeri non pharmacologis terhadap pegawai Di Ruang
RB RSUP Haji Adam Malik Medan

2. SasaranKegiatan
Pegawai Di Ruang RB RSUP Haji Adam Malik Medan

3. Metode
Ceramah dan demonstrasi

2
4. Strategi:
a. Penyaji memberikan informasi dan mendemonstrasikan cara manajemen Nyeri
non pharmacologis dengan baik dan benar

5. Media/alat
Media : Power Point

6. Waktu dan Tanggal


Hari : Selasa
Tanggal : 6 Februari 2018
Waktu : 14.00 WIB

7. PengorganisasianWaktu
a. Acara diawali dengan pembukaan: Rodiah, S. Kep
b. Penyaji tentang Manajemen Nyeri non pharmacologis : Ns. Jek Amidos Pardede,
M.Kep, Sp. Kep.J
b. Sosialisasi tentang Manajemen Nyeri non pharmacologis
c. Berlangsungselama30 menit, disampaikanoleh : Ns. Jek Amidos Pardede,
M.Kep, Sp. Kep.J
d. Penutupan oleh : Nasrawati S, S.Kep
e.
8. Organisasi Kepanitiaan
Ketua : Rodiah, S. Kep
Sekretaris : Tiara Indah Wirdhani, S.Kep
Bendahara : Jen Renni Sinaga, S.Kep
Penyaji : Ns. Jek Amidos Pardede, M.Kep, Sp. Kep.J
f. Co-Leader : Nasrawati S, S.Kep
Fasilitator : Anggara Prawinto, S.Kep
Sie .Perlengkapan/Tempat : Nia Nurnanda, S.Kep
M. Rajab Lubis, S.Kep
Dany F Marpaung, S.Kep
Sie. Dokumentasi : Esa Osman Zalukhu, S.Kep
Wildani Fadlan, S. Kep

3
Aradi M, S.Kep
9. Uraian Tugas
a. Ketua
Bertanggung jawab terhadap kelangsungan acara sejak perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, hingga berakhirnya kegiatan serta mengkoordinasikan
pelaksanaan kegiatan.
b. Sekretaris
Bertanggung jawab mendokumentasikan seluruh kegiatan (perencanaan,
persiapan, pelaksanaan dan evaluasi).
c. Penyaji
Bertanggung jawab memimpin dan mengarahkan proses acara, merencanakan
pertemuan berikutnya dan menutup acara.
d. Moderator
Bertanggung jawab dalam memfasilitasi masyarakat untuk menggali informasi
yang berhubungan dengan kesehatan.
e. Perlengkapan
Bertanggung jawab sepenuhnya atas semua perlengkapan yang dipakai dari
awal hingga berakhirnya kegiatan.

10. Susunan Acara


a. Pembukaan oleh Moderator : Nasrawati, S.Kep
b. Kata Sambutan :
1) Ketua : Rodiah, S.Kep
2) Dosen Pembimbing :Ns. Masri Saragih, S.Kep, M. Kep
3) Penyampaian materi: Ns. Jek Amidos Pardede, M.Kep, Sp. Kep.J
c. Demonstrasi melakukan manajemen nyeri
d. Penutup oleh Protokol Nasrawati, S.Kep

4
11. Setting Tempat

Keterangan:

= Mahasiswa

= Pegawai

11. Metode
a. Ceramah
b. Tanya Jawab
c. Demonstrasi

12. KriteriaEvaluasi
a. EvaluasiStruktur
Waktu pelaksanaan sudah ditentukan yaitu :
1) Hari : Selasa/ 6 Februari 2018
2) Waktu : 14.00 s/d selesai

b. Evaluasi Proses

5
1) 100% peserta mengerti diadakannya Sosialisasi manajemen nyeri dan tehnik
hipnotis 5 jari
2) 100% peserta aktif mengikuti demonstrasi cara manajemen nyeri dan tehnik
mengatasi nyeri dengan hipnotis 5 jari

c. Evaluasi Hasil
1) Pegawai ruangan RB dapat menerapkan kembali cara manajemen nyeri dengan
tehnik relaksasi hipnotis.

6
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TAHUN 2018

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)


Pokok Bahasan : Relaksasi Hipnotis Manajemen Nyeri
Lama Pertemuan : 30 menit
Sasaran :Pegawai DI Ruang RB RSUP Haji Adam Malik Medan
Hari/ Tanggal : Selasa, 5 Februari 2018
Sub Pokok Bahasan :
1. Pengertian Nyeri
2. Tipe Nyeri
3. Respon terhadap nyeri
4. Hambatan dalam memberikan manajemen nyeri yang tepat
5. Manajemen nyeri non Farmakologi
6. Implikasi Keperawatan

B. Tujuan Instruksional Umum


Setelah dilakukan Sosialisasi, pegawai mampu melakukan relaksasi hipnotis
manajemen nyeri

C. Tujuan Instruksional
Setelah diberikan Sosialisasi selama 15 menit, diharapkan pegawai dapat menerapkan
relaksasi hipnotis manajemen nyeri.

D. Pokok Materi Sosialisasi


1. Pengertian Nyeri
2. Tipe Nyeri
3. Respon terhadap nyeri
4. Hambatan dalam memberikan manajemen nyeri yang tepat

7
5. Manajemen nyeri non Farmakologi
6. Implikasi Keperawatan
Kegiatan Sosialisasi
Tahap KegiatanSosialisasi Kegiatanpeserta Waktu
Sosialisasi
Pendahuluan 1. Mengucapkansalam. Menjawabsalam 5 menit
2. Memperknalkandiri Mendengarkan
3. Menyebutkan TIU dan TIK Memperhatikan
4. Apersepsi
Penyajianma 1. Menjelaskan tentang Nyeri Mendengarkan
teri

Mendengarkan 20 menit

Mendengarkan

Mendengarkan

Menjawab

Demonstrasi Mendemontrasikan tehnik Memperhatikan 10 menit


relaksasi hipnotis Mendemonstrasikan
manajemen nyeri

Penutup Observasi respon perawat Sharing tentang 5 menit


terhadap sosialisai tehnik pelaksanaan relaksasi
relaksasi hipnotis manajemen hipnotis manajemen
nyeri nyeri di lapangan

8
E. Metode
1. Ceramah
2. Demonstrasi
3. Tanya Jawab

F. Media
Power Point

9
MATERI

A. DEFINISI.
Menurut IASP 1979 (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah “ suatu
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan
jaringan “, dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif
dimana individu mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung
berhubungan dengan luka (injuri), yang dimulai dari awal masa kehidupannya.
Pada tahun 1999, the Veteran’s Health Administration mengeluarkan kebijakan untuk
memasukan nyeri sebagai tanda vital ke lima, jadi perawat tidak hanya mengkaji suhu
tubuh, nadi, tekanan darah dan respirasi tetapi juga harus mengkaji tentang nyeri.
Sternbach (1968) mengatakan nyeri sebagai “konsep yang abstrak” yang merujuk kepada
sensasi pribadi tentang sakit, suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan
terjadinya kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk melindungi organisme dari
bahaya.McCaffery (1979) mengatakan nyeri sebagai penjelasan pribadi tentang nyeri
ketika dia mengatakan tentang nyeri “ apapun yang dikatakan tentang nyeri dan ada
dimanapun ketika dia mengatakan hal itu ada “.

C. TIPE NYERI.
Pada tahun 1986, the National Institutes of Health Consensus Conference on Pain
mengkategorisasikan nyeri menjadi tiga tipe yaitu Nyeri akut merupakan hasil dari injuri
akut, penyakit atau pembedahan, Nyeri kronik non keganasan dihubungkan dengan
kerusakan jaringan yang dalam masa penyembuhan atau tidak progresif dan Nyeri kronik
keganasan adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau proses penyakit lain yang
progresif.

D. RESPON TERHADAP NYERI.


Respon terhadap nyeri meliputi respon fisiologis dan respon perilaku. Untuk nyeri akut
repon fisiologisnya adalah adanya peningkatan tekanan darah (awal), peningkatan denyut
nadi, peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, dan keringat dingin, respon perilakunya
adalah gelisah, ketidakmampuan berkonsentrasi, ketakutan dan disstress.

10
Sedangkan pada nyeri kronis respon fisiologisnya adalah tekanan darah normal, denyut
nadi normal, respirasi normal, pupil normal, kulit kering, dan respon perilakunya berupa
imobilisasi atau ketidak aktifan fisik, menarik diri, dan putus asa, karena tidak ditemukan
gejala dan tanda yang mencolok dari nyeri kronis ini maka tugas tim kesehatan, perawat
khususnya menjadi tidak mudah untuk dapat mengidentifikasinya.

E. HAMBATAN DALAM MEMBERIKAN MANAJEMEN NYERI YANG TEPAT.


Menurut Blumenfield (2003), secara garis besar ada 2 hambatan dalam manajemen nyeri
yaitu :
1) Ketakutan akan timbulnya adiksi.
Seringkali pasien, keluarga, bahkan tenaga kesehatanpun mempunyai asumsi akan
terjadinya adiksi terhadap penggunaan analgetik bagi pasien yang mengalami nyeri, adiksi
sering persepsikan sama dengan pengertian toleransi dan ketergantungan fisik.
Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan dosis zat
psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara mendadak. Toleransi adalah kebutuhan
untuk terus meningkatkan dosis zat psikoaktif guna mendapatkan efek yang sama,
sedangkan adiksi adalah suatu perilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang
dari suatu zat psikoaktif, meskipun telah diketahui adanya efek yang merugikan.Ketakutan
tersebut akan lebih nyata pada pasien atau keluarga dengan riwayat penyalahgunaan
alkohol atau zat psikoaktif lainnya, mereka biasanya takut untuk mendapatkan pengobatan
nyeri dengan menggunakan analgetik apalagi bila obat itu merupakan golongan narkotika.
Hal ini salah satunya disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan
mengenai hal itu, sebagai bagian dari tim yang terlibat dalam pelayanan kesehatan perawat
semestinya mempunyai kapasitas yang cukup hal tersebut diatas.
2) Pengetahuan yang tidak adekuat dalam manajemen nyeri.
Pengetahuan yang tidak memadai tentang manajemen nyeri merupakan alasan yang paling
umum yang memicu terjadinya manjemen nyeri yang tidak memadai tersebut, untuk itu
perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga tercipta tenaga kesehatan yang
handal, salah satu terobosan yang sudah dilakukan adalah dengan masuknya topik nyeri
dalam modul PBL dalam pendidikan keperawatan, hal ini diharapkan dapat menjadi
percepatan dalam pendidikan profesi keperawatan menuju kepada perawat yang
profesional.

11
Dalam penanganan nyeri, pengkajian merupakan hal yang mendasar yang menentukan
dalam kualitas penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus harus dilakukan baik
pada saat awal mulai teridentifikasi nyeri sampai saat setelah intervensi, mengingat nyeri
adalah suatu proses yang bersifat dinamik, sehingga perlu dinilai secara berulang-ulang
dan berkesinambungan. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk menilai
nyeri yaitu Simple Descriptive Pain Distress Scale, Visual Analog Scale (VAS), Pain
Relief Visual Analog Scale, Percent Relief Scale serta 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale
, diantara kelima metode tersebut diatas 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale yang paling
sering digunakan, dimana pasien diminta untuk “merating” rasa nyeri tersebut berdasarkan
skala penilaian numerik mulai angka 0 yang berarti tidak da nyeri sampai angka 10 yang
berarti puncak dari rasa nyeri, sedangkan 5 adalah nyeri yang dirasakan sudah bertaraf
sedang.

F. MANAJEMEN NYERI.
Tindakan Non Farmakologis.

Saat ini marak dikembangkan terapi tambahan untuk mengatasi nyeri, seperti:
 Kompres hangat/dingin.
 Latihan nafas dalam.
 Musik.
 Aromatherapi.
 Imajinasi terbimbing.
 Hipnosis.
Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada
pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan
penaganan berdasarkan :

1. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi :

 Stimulasi kulit.
Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan
masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu
mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri.
 Stimulasi electric (TENS).

12
Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara ini bisa
melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan
massase, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik
transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi
pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda
luar.
 Akupuntur.
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk mengobati
nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik
tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok transmisi nyeri ke otak.
 Plasebo.
Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan merupakan zat tanpa kegiatan
farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul,
cairan injeksi dan sebagainya.
2. Intervensi perilaku kognitif meliputi :

 Relaksasi.
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan
keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan
bebrapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah
persepsi terhadap nyeri.

Latihan Relaksasi
1 Ambil posisi senyaman mungkin, jangan silangkan tangan dan kaki anda.
2 Mulailah dengan konsentrasi untuk menarik nafas dalam.
3 Jika pikiran anda terpecah, kembalilah dengan konsentrasi pada nafas anda.
4 Jadikan diri anda menyadari dan merasakan irama nafas anda.
5. Rasakan setiap tarikan nafas anda melalui seluruh tubuh anda, memberikan energi yang
dapat membantu menyembuhkan diri anda.
6. Saat anda menghembuskan nafas, lepaskan ketegangan diri anda, lepaskan semua keluhan
anda.
7. Lemaskan seluruh serat otot anda mulai dari atas, kepala anda menjadi lemas dan relaks,
turunkan kebawah keleher anda, kedua tangan, dada, dan punggung anda.
Lanjutkan untuk melemaskan serat otot paha nada, betis dan kaki anda.

13
9. Hal ini akan menjadikan diri anda menjadi relaks lebih dalam, kenyamanan anda mulai anda
rasakan lebih baik.
10. Anda dapat mulai membayangkan hal yang dapat membuat anda lebih senang dan
nyaman, lanjutkan dengan lebih menikmati kondisi tersebut, resapi dan hayati, dan nikmati
lebih mendalam.
12. Kondisi relaks dan nyaman ini dapat anda rasakan dan anda dapatkan kapanpun anda
menginginkannya.

 Gate Control dan Masase Kutanus.


Teori gate control nyeri bertujuan menstimulasi serabut-serabut yamg
menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi, impuls nyeri.
Beberapa strategi penghilang nyeri nonfarmakologis. Termasuk menggosok kulit dan
menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan mekanisme ini.
Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada
punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti
reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Masase
dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
 Terapi Es dan Panas.
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada
beberapa keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan
studi lebih lanjut. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor
tidak nyeri (non-noniseptor) dalam reseptor yang sama seperti pada cedera.
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor
nyeri dan subkutan lain [ada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar
efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area
dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.
Namun demikian, menggunakan panas kering dengan lampu pemanas tampak tidak
seefektif penggunaan es. Baik terapi panas kering dan lembab kemungkinan memberi
analgesia tetapi penelitian tambahan diperlukan untuk memahami mekanisme kerjanya dan
indikasi penggunaannya yang sesuai. Baik terapi es maupun panas harus digunakan
dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.
 Stimulasi Saraf Elektris Transkutan.

14
Stimulasi saraf transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai
dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan ,
menggetar atau menegung pada area nyeri. TENS telah digunakan baik pada nyeri akut
dan kronik. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak
nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut yang menstrasmisikan
nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori nyeri gate control. Reseptor tidak nyeri diduga
memblok transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asendens saraf pusat.
Mekanisme ini akan menguraikan keefekitan stimulasi kutan saat digunakan pada
araea yang asama seperti pada cedera. Sebagai contoh, saat TENS digunakan apda pasien
pasca operatif elektroda diletekkan disekitar luka bedah. Penjelasan lain untuk keefektifan
TENS adalah efek placebo (pasien mengharapkannya agar efektif) dan pembentukan
endorphin, yang juga memblok transmisi nyeri.
 Distraksi.
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selai pada
nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme
yang bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz dkk., 1991; Devine
dkk., 1990). Seseorang, yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit
perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri.
Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem control
desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.
Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan
membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum meningkat dalam
hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang
dipakai dan minat individu dalam stimuli. Karenanya, stimuli penglihatan, pendengaran,
dan sentuhan mungkin akan efektif dalam menurunkan nyeri disbanding stimuli satu
indera saja.
 Imajinasi Terbimbing.
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara
yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Jika imajinasi terpadu
diharapkan agar efektif, doibutuhkan waktu yang banyak untuk menjelaskan tekniknya dan
waktu untuk pasien mempraktekkannya. Biasanya, pasien diminta untuk mempraktikkan
imajinasi terbimbing selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Beberapa hari praktik
mungkin diperlukan sebelum intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami

15
efek rileks dari imajinasi terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda
dapat berlanjut selam berjam-jan setelah imajinasi digunakan.
Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi
pada beberapa orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari
bentuk pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah
tekinik ini efektif.
 Hipnosis.
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang
dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam memberikan
peredaan pada nyeri terutama dalam situasi sulit. Mekanisme bagaimana kerjanya hipnosis
tidak jelas tetapi tidak tampak diperantari oleh sistem endorfin. Keefektifan hipnosis
tergantung pada kemudahan hipnotik individu.

G. IMPLIKASI KEPERAWATAN.
1. Perawat dituntut untuk mempunyai kapasitas yang memadai sebagai upaya untuk
memberikan asuhan keperawatan yang adekuat terhadap nyeri yang dirasakan oleh pasien,
untuk itu diperlukan suatu pendidikan khusus mengenai nyeri dan penangannya dimana hal
ini bisa dilakukan dalam masa pendidikan maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan
secara terpadu.
2. Mengingat kompleknya aspek nyeri, dan banyaknya keluhan ini ditemukan pada pasien
maka sudah saatnya perawat membentuk suatu tim keperawatan yang khusus yang
menangani nyeri baik di tatanan rawat jalan maupun rawat inap.
3. Perawat dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan pasien terkait dengan nyeri dan
penanganannya sesuai dengan kebutuhan pasien.
4. Pengetahuan dan ketrampilan mengenai penanganan nyeri baik pendekatan non
farmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak diperlukan dan
dikuasai oleh perawat.

16
17
18

Anda mungkin juga menyukai