Anda di halaman 1dari 12

Latar Belakang Kesehatan adalah hak setiap orang.

Masalah kesehatan sama pentingnya dengan masalah


pendidikan, perekonomian dan lain sebagainya. Usia balita dan anak-anak merupakan usia yang rentan penyakit.
Hingga saat ini salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Akut) . ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita
yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode
ISPA setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan di puskesmas adalah oleh penyakit ISPA (Anonim,2009)
Masalah kesehatan tidak sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Namun sistem yang terkandung di dalamnya
turut membantu mencari inovasi yang baru, termasuk masyarakat. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai
kesehatan juga menjadi pemicu penyebab masalah kesehatan, khususnya ISPA. Penderita ISPA tiap tahun selalu
mangalami peningkatan. Hal ini dapat dikarenakan beberapa faktor misalnya, rendahnya tingkat pendidikan sehingga
pengetahuan mengenai kesehatan juga masih rendah atau faktor ekonomi yang menyebabkan tingkat kesehatan
kurang diperhitungkan. Pemerintah bisa melakukan banyak strategi untuk mencegah peningkatan masalah
kesehatan khususnya ISPA. Upaya yang dapat dilakukan misalnya saja promosi kesehatan mengenai nutrisi yang
baik dan seimbang, istirahat yang cukup dan kebersihan. 1.2 Tujuan Menjelaskan proses asuhan keperawatan pada
anak dengan gangguan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). 1.3 Rumusan Masalah Bagaimana proses asuhan
keperawatan pada anak dengan gangguan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)? 1.4 Manfaat 1. Mengetahui
proses asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan ISPA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi ISPA .
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran
pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti :
sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan
seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita
pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian Program Pemberantasan
Penyakit ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia
dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti
rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia.
Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik.
Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik
penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik (Rasmaliah, 2004) 2.2 Klasifikasi ISPA Program
Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut: 1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis
oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing). 2. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas
cepat. 3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada
kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia Berdasarkan hasil
pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2
bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun. Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi
penyakit yaitu : Pneumonia berada: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian bawah atau
napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih. Bukan
pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bu~an sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu : Pneumonia berat: bila disertai napas
sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat
diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta). Pneumonia: bila disertai napas cepat.
Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah
40 kali per menit atau lebih. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian
bawah dan tidak ada napas cepat(Rasmaliah, 2004). 2. 3 Etiologi ISPA Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis
bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus,
Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus. 2.4 Gejala ISPA Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat
menular, hal ini timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau
stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin
terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung
tampak merah dan membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung
bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin
terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan
pneumonia (radang paru). 2.5 Cara Penularan Penyakit ISPA Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara
yang telah tercemar, bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini
termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi
tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara
dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah
karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab 2.6 Faktor Yang
Mempengaruhi Penyakit ISPA a. Agent Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks
atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling sering
terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo. b. Manusia 1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat
ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2
tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit. 2. Jenis Kelamin Berdasarkan
hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama
ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. 3. Status Gizi Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi
masih merupakan penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang
meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya
daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam
tubuh. 4. Berat Badan Lahir Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram.
Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat
≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar akibat
infeksi pada bayi baru lahir. 5. Status ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang
bayi kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6
hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim,
Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. 6. Status
Imunisasi Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal
dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan
penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak. c. Lingkungan 1. Kelembaban Ruangan
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan
bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi,
diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali. 2. Suhu
Ruangan Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu
ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan
yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali. 3.
Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam
rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. 4. Kepadatan Hunian Rumah Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan
proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan
dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004, kepadatan
hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali. 5. Penggunaan Anti Nyamuk Penggunaan
Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan
karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak
mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan. 6. Bahan Bakar
Untuk Memasak Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara
menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun 2002,
hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta
kematian. 7. Keberadaan Perokok Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO),
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003),
secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002
penduduk. 8. Status Ekonomi dan Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa
bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang
membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu
dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu
yang status ekonominya rendah. BAB III ASUHAN KEPERAWATAN Menurut Khaidir Muhaj (2008): PENGKAJIAN
Identitas Pasien Umur :Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3
tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih
sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut(Anggana Rafika, 2009). Jenis kelamin :Angka kesakitan ISPA
sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki di negara Denmark (Anggana Rafika, 2009). Alamat : Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang,
jumlah anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Kochet al
(2003) membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat
.Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas
udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang
kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah
terjadinya ISPA anak (Anggana Rafika, 2009) Riwayat Kesehatan 1) Keluhan Utama: Klien mengeluh demam
2) Riwayat penyakit sekarang: Dua hari sebelumnya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan
lemah, nyeri otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit tenggorokan. 3) Riwayat penyakit
dahulu: Klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit sekarang 4) Riwayat penyakit keluarga: Menurut
anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit klien tersebut. 5) Riwayat sosial: Klien
mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat penduduknya c. Pemeriksaan Persistem
B1 (Breath) : 1) Inspeksi: Membran mucosa hidung faring tampak kemerahan Tonsil tanpak kemerahan
dan edema Tampak batuk tidak produktif Tidak ada jaringna parut pada leher Tidak tampak penggunaan otot- otot
pernapasan tambahan,pernapasan cuping hidung, tachypnea, dan hiperventilasi 2) Palpasi Adanya demam
Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher / nyeri tekan pada nodus limfe servikalis Tidak teraba
adanya pembesaran kelenjar tyroid 3) Perkusi Suara paru normal (resonance) 4) Auskultasi Suara napas
vesikuler / tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru B2 (Blood) : kardiovaskuler Hipertermi B3 (Brain) :
penginderaan Pupil isokhor, biasanya keluar cairan pada telinga, terjadi gangguan penciuman B4 (Bladder) :
perkemihan Tidak ada kelainan B5 (Bowel) : pencernaan Nafsu makan menurun, porsi makan tidak habis Minum
sedikit, nyeri telan pada tenggorokan B6 (Bone) : Warna kulit kemerahan(Benny:2010) Pemeriksaan
Penunjang 1) Pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai
dengan jenis kuman, 2) Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai
dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia 3) Pemeriksaan foto thoraks
jika diperlukan (Benny:2010) DIAGNOSA a) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi. b) Nyeri telan
berhubungan dengan inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil. c) Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan akumulasi sekret d) Nutrisi tidak seimbang berhubungan dengan anorexia. e) Resiko tinggi
penularan infeksi( Khaidir:2008) No Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalisasi 1.
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi Pasien akan menunjukkan termoregulasi(keseimbangan antara
produksi panas, peningaktan panas, dan kehilangna panas). Suhu tubuh kembali normal Nadi : 60-100 denyut per
menit Tekanan darah : 120/80 mmHg RR : 16-20 kali per menit Observasi : tanda-tanda vital Mandiri : Kompres pada
kepala / aksila. Atur sirkulasi udara kamar pasien Health Education: Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian tipis
dan dapat menyerap keringat Anjurkan klien untuk minum banyak 2000-2500 ml/hari. Anjurkan klien istirahat di
tempat tidur selama masa febris penyakit Kolaborasi : Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat Pemantauan
tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan perawatan selanjutnya Dengan memberikan kompres,
maka akan terjadi proses konduksi/perpindahan panas dengan bahan perantara Penyediaan udara bersih Proses
hilangnya panas akan terhalangi untuk pakaian yang tebal dan tidak menyerap keringat Kebutuhan cairan meningkat
karena penguapan tubuh meningkat. Berbaring mengurangi metabolisme Untuk mengontrol infeksi dan menurunkan
panas 1. Nyeri telan berhubungan dengan inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil. Nyeri berkurang skala
1-2 Observasi : Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya (dengan skala 0-10), faktor yang memperburuk atau
meredakan nyeri, lokasi, lama, dan karakteristiknya Mandiri : 1) Anjurkan klien untuk menghindari alergen atau iritan
terhadap debu, bahan kimia, asap rokok, dan mengistirahatkan atau meminimalkan bicara bila suara serak 2)
Anjurkan untuk melakukan kumur air hangat Kolaborasi : Berikan obat sesuai indikasi Identifikasi karakteristik nyeri
dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan
untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi yang diberikan 1) Mengurangi bertambah beratnya penyakit 2)
Peningkatan sirkulasi pada daerah tenggorokan serta mengurangi nyeri tenggorokan. Kortikosteroid digunakan untuk
mencegah reaksi alergi atau menghambat pengeluaran histamin dalam inflamasi pernafasan. Analgesik untuk
mengurangi nyeri 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi sekret Bersihan jalan nafas efektif Jalan nafas
paten dengan bunyi nafas bersih, tidak ada dyspnea, dan sianosis Mandiri : Kaji frekuensi atau kedalaman
pernafasan dan gerakan dada Auskultasi area paru, satat area penurunan atau tidak ada aliran udara dan bunyi
nafas adventisius, mis. Crackles, mengi. Bantu pasien latian nafas sering. Tunjukan atau bantu pasien mempelajari
melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi. Berikan cairan sedikitnay
2500 ml perhari(kecuali kontraindikasi). Tawrakan air hangat daripada dingin . Kolaborasi : Bantu mengawasi efek
pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain, mis. Spirometer insentif, IPPB, tiupan botol, perkusi, postural drainage.
Lakukan tindakan diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin. Berikan obat sesuai indikasi mukolitik,
ekspektoran, bronchodilator, analgesic. Takypnea, pernafasan dangkal, dan gerakan dada tidak simetris sering
terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan atau cairan paru Penurunan aliran udara terjadi pada
area konsolidasi dengan cairan. Bunyi nafas bronchial dapat juga terjadi pada area konsolidasi. Crackles, ronchi dan
mengi terdengar pada inspirasi dan atau ekspirasi pada respon teradap pengupulan cairan , secret kental dan
spasme jalan nafas atau obstruksi. Nafas dalam memudakan ekspansi maksimum paru-paru atau jalan nafas lebih
kecil. Batuk adalah mekanisme pembersiaan jalan nafas alami, membantu silia untuk mempertaankan jalan nafas
paten. Penenkanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinan upaya nafas lebih dalam
dan lebih kuat. Cairan (khususnya yang hangat)memobilisasi dan mengluarkan secret Memudahkan pengenceran
dan pembuangan secret. Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi secret. Analgesic diberikan
untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena
dapat menurunkan upaya batuk atau menekan pernafasan. 3. Nutrisi tidak seimbang berhubungan dengan anorexia
Nutrisi kembali seimbang A:Antropometri: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
Berat badan tidak turun (stabil) B: Biokimia: - Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl dan perempuan 12-16 g/dl) - Albumin
normal (dewasa 3,5-5,0 g/dl) C: Clinis: - Tidak tampak kurus - Rambut tebal dan hitam - Terdapat
lipatan lemak subkutan D: Diet: - Makan habis satu porsi - Pola makan 3X/hari Mandiri : Kaji kebiasaan
diet, input-output dan timbang BB setiap hari Berikan porsi makan kecil tapi sering dalam keadaan hangat Tingkatkan
tirah baring Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan klien Berikan heath education pada
ibu tentang Nutrisi : makanan yang bergizi yaitu 4 sehat 5 sempurna, hindarkan anak dari snack dan es, beri minum
air putih yang banyak Menjauhkan dari bayi lain Menjauhkan bayi dari keluarga yang sakit Berguna untuk
menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan BB dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi Nafsu makan dapat
dirangsang pada situasi rileks, bersih, dan menyenangkan Untuk mengurangi kebutuhan metabolik Metode makan
dan kebutuhan kalori di dasarkan pada situasi atau kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal Ibu dapat
memberikan perawatan maksimal kepada anaknya. Makanan bergizi dan air putih yang banyak dapat membantu
mengencerkan lendir dan dahak. Tidak terjadi penularan penyakit Tidak terjadi pemaparan ulang yang menyebabkan
bayi tidak segera sembuh 4. Resiko tinggi penularan infeksi Meminimalisir penularan infeksi lewat udara Anggota
keluarga tidak ada yang tertular ISPA Diposkan oleh M. Wahyu NC di 06.59 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat
Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP)
DIFTERI MOCH. WAHYU NUR CHOLIS PROGRAM STUDY SI KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU
KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAH LAMONGAN 2010/2011 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh
infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,
Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan
dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal,
yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab
umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT
(Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak
untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak
mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini. 1.2 Rumusan
Masalah 1.2.1 Bagaimana definisi difteri? 1.2.2 Bagaimana etiologi difteri? 1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis
difteri? 1.2.4 Bagaimana patofisiologi difteri? 1.2.5 Bagaimana penatalaksanaan difteri? 1.2.6 Bagaimana WOC dari
difteri? 1.2.7 Bagaimana komplikasi difteri? 1.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus difteri?
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri 1.3.2 Tujuan
Khusus 1. Mengetahui dan memahami definisi difteri. 2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri. 3. Mengetahui
dan memahami manifestasi klinis difteri. 4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri. 5. Mengetahui dan
memahami penatalaksanaan difteri. 6. Mengetahui dan memahami WOC dari difteri. 7. Mengetahui dan memahami
komplikasi dari difteri. 8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan difteri. 1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus difteri. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa
pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan
umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007) Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa
atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans,
ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala
umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Acang: 2008) Difteria adalah suatu penyakit
infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan
pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008) Difteria adalah suatu
penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang
diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae (C. diphtheriae).
Penyakit ini menyerang bagian atas mukosa saluran pernapasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat
dirasakan ialah sakit tekak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membran kelabu yang menutupi tonsil
serta bagian saluran pernapasan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Difteri) Gambar 1.Corynebacterium diphteriae
Klasifikasi Difteri Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950): - Infeksi ringan Pseudomembran
terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan - Infeksi sedang Pseudomembran menyebar
lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan
konservatif - Infeksi berat Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi Dapat disertai
gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut: Difteria Tonsil
Faring (fausial) Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan
mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis servikalis dan submandibularis, bila limfadentis terjadi
bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derjat
penetrasi toksin dan luas memban. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi. Dapat terjadi
paralis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian
dapat berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis dan neuritis. Pada kasus ringan membran akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. Diteria Laring Difteria laring biasanya
merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas
lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas
bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga Difteria kulit, difteria vulvovaginal,
diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi
jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna
dan sekret purulen dan berbau. 2.2 Etiologi Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau
biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak
dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau
media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid
saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa. Basil ini hanya tumbuh pada medium
tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium
Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari
warna abu-abu coklat. Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang
dapat memproduksi toksin, yaitu: Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit. Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravis ialah
dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa
memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda. Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah
termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain
toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di
laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya
memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi
toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene. Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui
dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara: Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949,
dan masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan
dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam. Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini
kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil
Hoffman, dan Corynebacterium serosis. Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut. Basil dapat membentuk : o
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari
fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil. o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung,
ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat
membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick. Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk
penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak
pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis
bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa
inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi
tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering. 2.3 Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil,
sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar
leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus
diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan
(throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gambar 2. pseudomembran Gejala diawali dengan
nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit
kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003) Masa tunas 3-7 hari
khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat
eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri
kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala
khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides,
sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan
saraf atau nefritis. 2.4 Patofisiologi Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler.
Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk
penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh,
bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan
pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama
sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat
berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga
menyerang kulit. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari
sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran
ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di
bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas
dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya
membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat
biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003) 2.5 Penatalaksanaan Difteri Tindakan Umum Tujuan : a.
Mencegah terjadinya komplikasi b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum c. Mengatasi gejala /akibat yang
timbul Jenis Tindakan : 1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi 2. Jamin intake cairan dan
makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair,
bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
3. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia, stool softener)
untuk mencegah mengedan berlebihan. 4. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal 5. Pemberian antitusif
untukmengurangi batuk (difteri laring) 6. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring. 7. Bila ada
tanda-tanda obstruksi jalan nafas : · Berikan Oksigen · Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu
laryngeal menurut Jackson : I. Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal II. Retraksi suprasternal lebih
dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah III. Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah IV.
Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah
tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
Tindakan Spesifik Tujuan : a. Menetralisir Toksin b. Eradikasi Kuman c. Menanggulangi infeksi sekunder Jenis
Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) : 1. Serum Anti Difteri (SAD) Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane
dan beratnya penyakit. · 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil
secara unilateral/bilateral. · 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil,
meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring. · 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck,
kombinasi difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut. Tabel 1. Dosis
ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe difteri Dosis DS (KI) Cara Pemberian Difteri hidung 20.000 IM
Difteri tonsil 40.000 IM atau IV Difteri faring 40.000 IM atau IV Difteri laring 40.000 IM atau IV Kombinasi lokasi di
atas 80.000 IV Difteri + penyulit, bullneck 80.000-120.000 IV Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja
80.000-120.000 IV SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc
NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu
serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini
maka harus dilakukan : Uji Kepekaan · Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran,
selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum. · Adrenalin 1:1000 dalam
dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im, maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit
). · Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia. Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari : Tes kulit
· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. · Dianggap positif
bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm. Tes Mata · 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl
0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah · 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada
mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian · Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah,
bengkak, lakrimasi ) · Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000 Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD
tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara
perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai
berikut: · 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan · 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan · 0,1 cc
dari pengenceran 1:10 secara subkutan · 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan · 0,3 cc tanpa pengenceran
secara subkutan · 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan · 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan · SAD
yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan adrenalin 1:1000. 2.
Antibiotik · Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari. · Eritromisin (bila alergi PP) 50
mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari. 3. Kortikosteroid · Indikasi : Difteri berat dan sangat berat
(membran luas, komplikasi bull neck) · Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu. · Dexamethazon 0,5-1
mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia) PEMERIKSAAN PENUNJANG Bakteriologik. Preparat apusan
kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab) Darah rutin : Hb, leukosit,
hitung jenis, eritrosit, albumin Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen Enzim CPK, segera saat masuk RS
Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal) EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil
menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi
biasa dilakukan 2-3x seminggu. Tes schick: Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi
difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah
diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas
suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif,
pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan
reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang
tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI
kapita selekta) Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami
kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin
difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan
(kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau
lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
(Sumarmo: 2008) Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap
toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam.
Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari. Tes hapusan spesimen:
Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies,uji
toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi. DIAGNOSA BANDING Difteri Hidung Pada difteri nasal,
penyakit yang menyerupai adalah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung,
snuffles (lues kongenital) Difteri Fausial Harus dibedakan dengan: - Tonsilitis folikularis atau lakunaris Terutama
bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap sebagai penderita difteriae bila panas terlalu
tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis
lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring an tonsil tampak
hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada
tonsil saja. - Angina Plaut Vincent Penyakit ini juga membran putih yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah
berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif). -
Infeksi tenggorokan oleh mononukleusus infeksiosa Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah
berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam
darah tepi. - Blood dyscrasia (misalnya leukimia) Mungkin pula ditemukan ulkus membranposa pada faring dan
tonsil. Difteri Laring Harus dibedakan dengan laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran
rapuh yang tidak berdarah), atau benda asing pada laring, yang semuanya akan memberikan gejala striddor inspirasi
dan sesak. Difteri Kulit Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau
stafilokokus. PENGOBATAN PENYULIT Pengobatan terutama ditujukan untuk menjagaagar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. PENGOBATAN KARIER Karier adalah mereka
yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji shick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaring.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi. Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak
Difteri Biakan Uji Shick Tindakan (-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria (+) (-) Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin
40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. (+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB +
ADS 20.000 KI (-) (+) Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas 2.7 Komplikasi Komplikasi
yang timbul pada pasien difteri : Miokarditis biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan
penyakit Pemerikasaan Fisik : Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-
tanda payah jantung. Gambaran EKG : Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel,
fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung Kolaps perifer Obstruksi jalan nafas dengan segala
akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis Urogenital : dapat terjadi nefritis Penderita difteri (10%) akan
mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik Terjadi pada akhir minggu
pertama perjalanan penyakit Tanda-tanda renjatan : TD menurun (systol ≤ 80 mmHg) Tekanan nadi menurun Kulit
keabu-abuan dingin dan basah Anak gelisah BAB III ASUHAN KEPERAWATAN Kasus Semu : Anak L usia 6 tahun
dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring,
kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi. Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT dan
juga terpasang nasal kanul dengan 3 lpm. Anamnesa: 1. Identitas pasien a. Nama : L b.
Usia : 6 Tahun c. Jenis Kelamin : Laki-laki 2. Keluhan Utama : Keluhan utama yang di rasakan
pasien adanya sesak nafas. 3. Riwayat Penyakit Sekarang : Anak L demam, sesak nafas dan tidak
mau makan. Sehingga anak L dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy. 4.
Riwayat penyakit keluarga 5. Riwayat penyakit masa lalu Pemeriksaan Fisik B1 : Breathing (Respiratory
System) RR tak efektif (Sesak nafas) B2 : Blood (Cardiovascular system)
tachicardi B3 : Brain (Nervous system) Normal B4 : Bladder (Genitourinary
system) Normal B5 : Bowel (Gastrointestinal System) Anorexia, nyeri menelan,
kekurangan nutrisi B6 : Bone (Bone-Muscle-Integument) Lemah pada lengan, turgor kulit
Diagnosa keperawatan: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan. Tujuan:
Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal Kriteria Hasil: Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas Pernapasan tetap
pada batas normal No Intervensi Rasional 1. Oksigenasi dengan pemasangan nasal kanul Mempertahankan
kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien 2. Tirah baring selam 2 minggu di ruang isolasi Untuk mepertahankan
atau memperbaiki keadaan umum 3. Pemberian SAD 40.000 KI secara IM atau IV Menetralisir toksin sehingga
mengurangi peradangan Diagnosa keperawatan: Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan berhubungan
dengan peradangan pada faring Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat. Kriteria Hasil: Pasien mendapat
nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan yang memuaskan. No Intervensi Rasional 1. Beri
makan melalui Naso Gastric Tube (NGT) Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian makanan oral memungkinkan.
2. Pantau masukan keluaran dan berat badan. Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi. Diagnosa
keperawatan: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT Tujuan: Pasien tidak
mengalami infeksi. Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso Gastric Tube
No Intervensi Rasional 1. Bersihkan kateter sesering mungkin Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam tubuh
Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena pemasangan
NGT. Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan. Kriteria Hasil: Pasien istirahat dengan tenang,
sadar bila terjaga. Mulut tetap bersih dan lembab. Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada. No Intervensi
Rasional 1. Beri stimulasi taktil (mis; membelai, mengayun). Untuk memudahkan perkembangan optimal dan
meningkatkan kenyamanan. 2. Beri perawatan mulut. Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan membran mukosa
lembab. 3. Dorong orangtua untuk berpastisipasi dalam perawatan anak. Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.
Diagnosa keperawatan : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung Tujuan : Denyut
jantung normal dan pasien tidak gelisah Kriteria hasil: - bunyi jantung normal - tidak ditemukan tanda-
tanda payah jantung. - gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST No. Intervensi Rasional 1. Pemberian
ADS 40.000 KI secara IM atau IV - Menetralisir Toksin - Eradikasi Kuman - Menanggulangi infeksi
sekunder 2. Pemberian obat sedative (diazepam/luminal) Untuk mengurangi rasa gelisah anak 3. Pantau terus
hasil perekaman EKG Untuk evaluasi segala kedaaan dari miokard DOWNLOAD : WOC ASKEP DIFTERI BAB IV
PENUTUP 4.1 Kesimpulan Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran
pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan
menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung. 4.2 Saran Karena difteri adalah penyebab kematian pada
anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib
pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian
mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick. Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es
karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan
tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular
dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu
makan makanan 4 sehat 5 sempurna. DAFTAR PUSTAKA Biofarma. 2007.Vaksinasi. http:/www.biofarma.com,2007
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman
Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010, 16.00 WIB.
Kadun I Nyoman.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV Infomedika: Jakarta Raya, Rheny. 2010.
Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri. www.raya.blogspot.com. 15 Oktober 2010 Carpentino, Lynda
Juall.2001.Buku Saku : Diagnosa keperawatan edisi : 8 Penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta Doengoes, E
Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta Ngastiyah. 1997.
Perawatan Anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan
Anak. Salemba Medika: Jakarta Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam: Jakarta Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta Behrman,
Kliegman dan Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta Diposkan
oleh M. Wahyu NC di 06.58 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke
Facebook Bagikan ke Pinterest ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PERTUSIS MOCH. WAHYU NUR CHOLIS
PROGRAM STUDY SI KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAH
LAMONGAN 2010/2011 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup
tinggi.Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang
dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total. Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi
maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.Namun demikian penyakit ini masih merupakan salah
satu masalah kesehatan terutama mengenai bayi- bayi dibawah umur. Pertusis sangat infesius pada orang yang
tidak memiliki kekebalan.Penyakit ini mudah menyebar ketika si penderita batuk.Sekali seseorang terinfeksi pertusis
maka orang tersebut kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang – kadang
kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian.Pada saat ini vaksin pertusis tidak dianjurkan bagi orang
dewasa.Walaupun orang dewas sering sebagai penyebab pertusis pada anak – anak, mungkin vaksin orang dewasa
dianjurkan untuk masa depan. 1.2 Rumusan Masalah 1.Bagaimana Konsep teori dari pertusis ? 2.Bagaimana
asuhan keperawatan pada anak dengan pertusis? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui dan memahami
bagaimana membuat Asuhan Keperawatan masalah Pernapasan dengan gangguan Pertusis. 1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa akan mampu: Memahami definisi pertusis Mengetahui etiologi terjadinya pertusis Mengetahui
patofisiologi terjadinya pertusis Mengeidentifikasi manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien anak pertusis
Mengidentifikasi penatalaksanaan klien anak dengan pertusis Merumuskan asuhan keperawatan pada klien anak
dengan pertusis meliputi WOC, analisis data, pengkajian, diagnosis, intervensi 1.4 Manfaat Bisa lebih mengetahui
dan memahami bagaimana gangguan pertusis terjadi, bagaimana cara mengobati serta bagaimana menyusun
Asuhan Keperawatannya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pertusis Pertusis adalah suatu infeksi akut
saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman,
1992). Definisi Pertusis lainnya adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan
ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang
meninggi. (Rampengan, 1993). Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk semakin berat. Batuk
adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertusis. Seranagn batuk terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti
hingga seluruh udara di dalam paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah
kekurangan udara shingga bernapas dengan cepat, suara pernapasan berbunyi separti pada bayi yang baru lahir
berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada pertusis biasanya
sangat parah hingga muntah-muntah dan penderita sangat kelelahan setelah serangan batuk. 2.2 Etiologi Pertusis
Pertusis biasanya disebabkan diantaranya sebagai berikut : Bordetella pertussis (Hemophilis pertusis). Suatu
penyakit sejenis telah dihubungkan dengan infeksi oleh bordetella para pertusis, B. Bronchiseptiea dan virus. 2.3
Patofisiologi Pertusis Infeksi diperoleh oleh inhalasi yang mengandung bakteri Bordetella pertusis. Perubahan
inflamasi dipandang sebagai organisme proliferasi di mukosa sepanjang saluran pernafasan, terutama di dalam
bronkus dan bronkiolus, mukosa yang padat dan disusupi dengan neutrofil, dan ada akumulasi lendir lengket dan
leukosit di lumina bronkial. gumpalan basil terlihat dalam silia epitel trakea dan bronkial, di bawahnya yang ada
nekrosis dari apithelium basiliar. Obstruksi parsial oleh plak lendir di saluran pernapasan.(Wong,2004) 2.4
Manifestasi Klinis Pertusis Pada Pertusis, masa inkubasi 7-14 hari, penyakit berlangsung 6-8 minggu atau lebih dan
berlangsung dalam 3 stadium yaitu : Stadium kataralis / stadium prodomal / stadium pro paroksimal a. Lamanya 1-2
minggu b. Gejala permulaannya yaitu timbulnya gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, yaitu timbulnya rinore
dengan lender yang jernih. 1) Kemerahan konjungtiva, lakrimasi 2) Batuk dan panas ringan 3) Anoreksia kongesti
nasalis c. Selama masa ini penyakit sulit dibedakan dengan common cold d. Batuk yang timbul mula-mula malam
hari, siang hari menjadi semakin hebat, sekret pun banyak dan menjadi kental dan lengket. 2. Stadium
paroksimal / stadium spasmodic Lamanya 2-4 minggu Selama stadium ini batuk menjadi hebat ditandai oleh whoop
(batuk yang bunyinya nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik nafas pada akhir serangan batuk. Batuk
dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tak dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak mulai menarik
nafas denagn cepat dan dalam. Sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah. Batuk
ini dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih
berat. Selama serangan, wajah merah, sianosis, mata tampak menonjol, lidah terjulur, lakrimasi, salvias dan
pelebaran vena leher. Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional missal menangis dan aktifitas fisik (makan,
minum, bersin dll). 3. Stadium konvaresens Terjadi pada minggu ke 4 – 6 setelah gejala awal Gejala yang muncul
antara lain : Batuk berkurang Nafsu makan timbul kembali, muntah berkurang Anak merasa lebih baik Pada
beberapa penderita batuk terjadi selama berbulan-bulan akibat gangguan pada saluran pernafasan. 2.5
Pemeriksaan Diagnostik Pada stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic jumlah leukosit meninggi kadang
sampai 15.000-45000 per mm3 dengan limfositosis, diagnosis, dapat diperkuat dengan mengisolasi kuman dari
sekresi jalan napas yang dikeluarkan pada waktu batuk.Secara laboratorium diagnosis pertusis dapat ditentukan
berdasarkan adanya kuman dalam biakan atau dengan pemeriksaan imunofluoresen. 2.6 Penatalaksanaan Anti
mikroba Pemakai obat-obatan ini di anjurkan pada stadium kataralis yang dini. Eritromisin merupakan anti mikroba
yang sampai saat ini dianggap paling efektif dibandingkan dengan amoxilin, kloramphenikol ataupun tetrasiklin. Dosis
yang dianjurkan 50mg/kg BB/hari, terjadi dalam 4 dosis selama 5-7 hari. Kortikosteroid a. Betametason oral dosis
0,075 mg/lb BB/hari b. Hidrokortison suksinat (sulokortef) I.M dosis 30 mg/kg BB/ hari kemudian diturunkan perlahan
dan dihentikan pada hari ke-8 c. Prednisone oral 2,5 – 5 mg/hari Berguna dalam pengobatan pertusis terutama pada
bayi muda dengan seragan proksimal. Salbutamol Efektif terhadap pengobatan pertusis dengan cara kerja : a. Beta 2
adrenergik stimulan 1) Mengurangi paroksimal khas 2) Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop 3) Mengurangi
frekuensi apneu b. Terapi suportif 1) Lingkungan perawatan penderita yang tenang 2) Pemberian makanan, hindari
makanan yang sulit ditelan, sebaiknya makanan cair, bila muntah diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral 3)
Pembersihan jalan nafas 4) Oksigen BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK
An. A., di Ruang Anak RSUD DR Soetomo Surabaya Tanggal Pengkajian : 8 September 2010 Jam
11.30 WIB IDENTITAS KLIEN Nama Bayi : An A TTL : 7/09/03 Umur : 7 tahun 1 hari Nama Ayah/ Ibu : Tn. M (Alm) /
Ny.M Pekerjaan Ibu : Buruh Alamat : Penanggulan RT 04 RW I Pegandon - Kendal Agama : Islam Suku bangsa :
Jawa Pendidikan ayah : SD Pendidikan Ibu : SD Diagnosa : Pertusis I. RIWAYAT SAKIT DAN KESEHATAN
Keluhan Utama : Batuk Rejan Riwayat Penyakit Sekarang : An A tinggal bersama orang tuanya di tempat yang
padat penduduk. Satu minggu terakhir an A mengeluh pusing kepada ibunya. Ibu mengetahui an A demam dan
batuk yang timbul mula-mula malam hari. Setiap kali batuk an A disertai rasa muntah, terkadang sampai muntah.
Nafs makan an A menurun karena seringnya batuk. Hingga karena batuknya semakin hebat, ibunya memutuskan
untuk di bawa kerumah sakit. Riwayat Penyakit dahulu : Tidak ada Riwayat Keluarga : Tidak Ada II.
OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK 2.1 Keadaan Umum : Baik, Kesadaran Kompos Mentis 2.2 Tanda-Tanda
Vital : S : 37,40 N :102 x/mnt TD :110/80 mmHg RR : 30 x/mnt III.
REVIEW OF SYSTEM 3.1 Pernafasan B1 (breath) Bentuk dada : normal Pola nafas : tidak teratur Suara
napas : ronchi Batuk : ya, ada sekret Retraksi otot bantu napas : ada Alat bantu pernapasan : nasal kanul
3 lpm 3.2 Kardiovaskular B2 (blood) Irama jantung : regular Nyeri dada : tidak Bunyi jantung ; normal Akral : panas
3.3 Persyarafan B3 (brain) Keluhan pusing (+) Gangguan tidur (+) Penglihatan (mata) : anemia Pendengaran
(telinga) : tidak ada gangguan Penciuman (hidung) : tidak ada gangguan 3.4 Perkemihan B4 (bladder) Kebersihan :
bersih Bentuk alat kelamin : normal Uretra : normal 3.5 Pencernaan B5 (bowel) Nafsu makan : menurun Porsi
makan : tidak habis, 3 kali sehari Mulut : bersih Mukosa : lembap 3.6 Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Kemampuan pergerakan sendi : bebas 4. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah lengkap(DL) jumlah
leukosit antara 11.000-75.000 sel / m³darah. Kultur Bordetella Pertusis Foto Thorax menunjukkan adanya atelektasis
DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi mucus 2. Pola napas
tidak efektif b/d tidak adekuatnya ventilasi 3. Gangguan rasa aman dan nyaman b/d aktivitas batuk yang meningkat.
4. Resiko kekurangan volume cairan b/d intake klien yang kurang 5.Resiko kekurangan nutrisi b/d adanya mual dan
muntah. 6. Hyperthermy b/d infeksi salurn nafas. INTERVENSI KEPERAWATAN No DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI RASIONAL 1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d sekresi yang berlebihan dan kental Tujuan : status
ventilasi saluran pernafasan baik Kriteria hasil : 1.RR normal : 18-30 kali/menit 2. Suara nafas tambahan tidak ada 3.
Pernafasan menjadi mudah - Memberikan cairan hangat sedikitnya 1,9- 2,8 liter/hari -Beri tahukan orang tua tentang
perlunya batuk efektif bagi anak, sekalipun upaya itu menyakitkan - Kolaborasi : pemberian obat depresan batuk,
ekspektorant sesuai indikasi -secret kental dapat menyebabkan atelektasis (penyempitan bronkus) - Jelaskan dan
demonstrasikan manfaat latihan batuk yang dapat meningkatkan kerjasama antara orangtua dan anak - untuk
menurunkan sekresi secret dijalan napas dan menurunkan resiko keparahan 2. Pola napas tidak efektif Tujuan :
menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal Criteria hasil: 1. Frekuensi
pernapasan normal (18-30kali/menit) 2. Retraksi otot bantu nafas normal - Posisikan anak dalam keadaan semifowler
- Memberikan oksigenasi dengan pemberian nasal kanul 3 lpm - Posisi semifowler membantu mempermudahkan
pernafasan -Dengan pemberian oksigenasi ,kebutuhan oksigen terpenuhi sehingga pola nafas menjadi efektif 3.
Hyperthermi Tujuan : Suhu Tubuh Normal Kriteria Hasil : 1. Suhu tubuh normal (36-37,5 C) 2. Tidak terdapat tanda
infeksi (rubor,dolor,kalor, tumor,fungsiolesa) - Memberikan kompres hangat -kolaborasi pemberian antipirektik -
Memonitor suhu tubuh setiap 2 jam - Merangsang pusat pengatur panas untuk menurunkan produksi panas tubuh -
merangsang pusat pengatur panas di otak - Deteksi dini terjadinya perubahan abnormal fungsi tbuh 4. Resiko
kekurangan volume cairan b/d intake klien yang kurang Tujuan : intake sama dengan output Kriteria Hasil : 1.
tekanan vital stabil 2. Turgor kulit baik 3. turgor kulit baik 4. membrane mukosa lembab 5. Pengisian kapiler cepat -
Memberikan cairan berupa teh encer, jus apel dalam jumlah 15 mL, tetapi sering - Observasi turgor kulit, kelembaban
membrane mukosa (bibir dan lidah) - Catat cairan Intake dan Output - Pantau masukan dan haluaran,catat warna,
karakter urine. Hitung keseimbangan cairan - Pemunuhan dasar kebutuhan cairan menurunkan resiko dehidrasi -
indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane mukosa mulut mungkin kering karena napas
mulut dan oksigen tambahan - Penurunan sirkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan pemekatan
urine - memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian 5. Gangguan rasa
aman dan nyaman b/d aktivitas batuk yang meningkat. - Menemani dan membantu anak pada saat batuk bila anak
muntah. - Meminimalkan anak untuk menangis atau tertawa/bercanda yang berlebihan - Pemberian obat setelah
anak mendapat serangan batuk dan sudah reda - Mengurangi rasa gelisah dan kesulitan bernafas pada anak -
Penyebab serangan batuk dapat berkurang - Obat tidak akan terbuang sia-sia kalau diberikan setelah anak
mendapat serangan batuk 6. Resiko kekurangan nutrisi b/d adanya mual dan muntah Tujuan : kebutuhan nutrisi
terpenuhi Criteria hasil : 1. Menunjukkan peningkatan nafsu makan 2. Mempertahankan/ meningkatkan berat badan -
Berikan asupan gizi dengan jumlah kalori = 80/kkal kg BB Berikan protein sebanyak 40 gram - Identifikasi factor yang
menimbulkan mual/muntah ,misalnya sputum banyak, pengobatan aerosol, dispnea berat ,nyeri - Meminimalkan
pemberian susu yang terlalu manis atau makanan yang digoreng atau terlalu asin - Nutrisi yang kurang
menyebabkan daya tahan tubuh semakin menurun - pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah - Susu
yang terlalu manis dan goreng-gorengan dapat merangsang reflek batuk yang meningkat IV. EVALUASI 1) status
ventilasi saluran pernafasan baik 2) menunjukkan pola napas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang
normal dan paru jelas atau bersih 3) tidak terjadi resiko infeksi 4) pasien dapat tidur dan istirahat sesuai
kebutuhannya 5) kekurangan volume cairan tidak terjadi 6) resiko kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tidak
terjadi 7) melaporkan/menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas BAB IV PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai berikut : Pertusis
adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Bordotella pertusis. Pertusis dapat mengenai semua
golongan umurdan terbanyak mengenai anak 1-5 tahun Tiga tahapan dari penyakit pertusis adalah tahap kataralis,
paroksimal dan konvelesensi. Asuhan keperawatan pada penderita pertusis secara garis besar adalah menjaga
kebersihan jalan napas agar terbebas dari bakteri pertusis. 3.2 Saran Sebagai perawat diharapkan mampu untuk
melakukan asuhan keperawatan terhadap penderita pertusis dan diftei. Karena seringkali pada penderita pertusis
dan difteri disertai dengan komplikasi. Keadaan ini akan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan. Oleh
karena itu, penyakit batuk rejan dan difteri perlu dicegah. Cara yang paling mudah adalah dengan pemberian
imunisasi bersama vaksin lain yang biasa disebut DPT dan polio. Perawat juga harus mampu berperan sebagai
pendidik. Dalam hal ini melakukan penyuluhan mengenai pentingnya imunisasi dan imunisasi akan berdaya guna
jika dilakukan sesuai dengan program. Selain itu perawat harus memberikan pengetahuan pada orang tua
mengenai penyakit pertusis secara jelas dan lengkap.Terutama mengenai tanda-tanda, penanganan dan
pencegahannya. DAFTAR PUSTAKA Hidayat, A. Aziz Alimul.2006.Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.Jakarta
:Salemba Medika Ngastiah.2005.Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta:EGC Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
FKUI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:Info Medika Suriadi, dan Yuliani Rita. 2001. Asuhan Keperawatan Pada
Anak. Edisi 1. Jakarta : PT Fajar Interpratama. Wong, Donna L. 2004. Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef

Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef

Anda mungkin juga menyukai