Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TOKSIKOLOGI DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

(INTERAKSI ZAT DALAM TOKSIKOLOGI)

Oleh :
Kelas :A
Kelompok :6
Anggota Kel. :
1. FRANSISKA SANJAYA
2. MARIA E. SUHARTIN
3. PATRICIA C. SIDORE
4. YUNI L. SANDA

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia (Casarett and
Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari kerusakan/cedera pada organisme
(hewan, tumbuhan, manusia) yang diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi,
mempelajari racun, tidak saja efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada
organisme dan mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Banyak sekali
peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila dikaitkan dengan lingkungan
dikenal istilah toksikologi lingkungan dan ekotoksikologi.
Dua kata toksikologi lingkungan dengan ekotoksikologi yang hampir sama maknanya
ini sering sekali menjadi perdebatan. Toksikologi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari
racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan menimbulkan pencemaran
lingkungan (Cassaret, 2000) dan Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia
dan fisik pada mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem,
termasuk jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan (Butler, 1978). Dengan
demikian ekotoksikologi merupakan bagian dari toksikologi lingkungan.
Kebutuhan akan toksikologi lingkungan meningkat ditinjau dari :
Proses Modernisasi yang akan menaikan konsumsi sehingga produksi juga harus
meningkat, dengan demikian industrialisasi dan penggunaan energi akan
meningkat yang tentunya akan meningkatkan resiko toksikologis.
Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi yang
akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang meningkat.
Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas lingkungan yang
mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi juga akan
meningkat.
Toksikologi oleh Loomis didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari aksi
berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Pakar lainnya, yaitu Doull dan Bruce
mendefenisikan toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari pengaruh zat kimia yang
merugikan atas sistem biologi. Timrel, mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang
mempelajari interaksi antar zat kimia dan sistem bilogi.
Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang diartikan sebagai kapasitas
suatu zat kimia/beracun yang dapat menimbulkan efek toksik tertentu pada makhluk hidup.
Istilah toksisitas merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak terjadinya kerusakan
tergantung pada jumlah unsur kimia yang terabsopsi. Sedangkan istilah bahaya (hazard)
adalah kemungkinan kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat tertentu; kondisi
penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama. Risiko didefinisikan sebagai
kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek yang tidak diinginkan akibat paparan
berbagai bahan kimia atau fisik.
Istilah toksikokinetik merujuk pada absopsi, distribusi, ekskresi dan metabolisme
toksin, dosis toksin dari bahan terapeutik dan berbagai metabolitnya. Sedangkan istilah
toksikodinamik digunakan untuk merujuk berbagai efek kerusakan unsur tersebut pada
fungsi fital.
Paracelcus yang dianggap sebagai bapak toksikologi tidak membedakan anatara obat
dengan zat beracun berdasarkan toksisitasnya. Paracelcus berpendapat bahwa yang
membedakan antara obat dengan racun atau zat yang bukan racun dengan racun adalah
dosisnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja senyawa yang berpotensi sebagai toksik ?
2. Bagaimana proses terjadinya interaksi zat dalam toksikologi ?
3. Apa pengaruh zat toksik dalam interaksi zat dalam toksikologi ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui zat-zat apa saja yang bersifat dan berpotensi sebagai toksik.
2. Untuk mengetahui dan memahami proses terjadinya interaksi zat dalam toksikologi.
3. Untuk mengetahui ,memahami, dan apa saja pengaruh interaksi zat dalam
toksikologi.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Zat-zat yang berpotensi sebagai toksik

Zat toksik dapat berasal dari berbagai macam sumber, salah satunya yaitu zat
toksik yang berasal dari bahan kimia. Toksisitas senyawa kimia sendiri didefinisikan
sebagai kemampuan senyawa kimia mengakibatkan bahaya terhadap metabolism
jaringan makhluk hidup. Racun yang berasal dari zat atau senyawa kimia dapat berada
di dalam lingkungan secara alamiah atau yang sengaja dibuat oleh manusia. Harus
diakui bahwa zat kimia beracun kebanyakan berasal dari aktivitas manusia dan
meliputi berbagai aspek kehidupan. Senyawa kimia beracun juga dapat hadir di dalam
lingkungan secara alamiah. Kehadiran zat kimia beracun alamiah di dalam lingkungan
diasumsikan akan selalu konstan,kecuali ditambah oleh aktivitas manusia seperti
penambahan logam beracun kedalam lingkungan oleh kegiatan-kegiatan industry dan
kemajuan teknologi. Pengaruh kehadiran berbagai jenis zat kimia beracun tersebut di
dalam lingkungan mungkin dapat diketahui dengan cepat,akan tetapi pengaru negative
pada umumnya baru diketahui setelah masuknya zat kimia tersebut dalam jangka
waktu cukup lama.
Kehadiran zat kimia beracun alamiah mungkin dapat semakin meningkat atau
bahkan semakin menurun, tergantung kondisi lingkungan. Sebagai contoh, jumlah
bakteri dan jamur yang mengkotaminasi makanan saat ini mungkin semakin
berkurang sesuai dengan tersedianya peralatan yang dapat menjaga makanan terbebas
dari bakteri dan jamur. Akan tetapi perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini
juga memungkinkan akan munculnya species baru yang atahan terhadap berbagai
kondisi anti bakteri dan anti jamur baru yang sangat immun terhadap berbagai jenis
kondisi dapat meningkatkan jumlah racun alamiah di dalam lingkungan.
Beberapa senyawa kimia beracun alamiah dan pengaruh toksiknya terhadap
makhluk hidup yang suda diidentifikasi seperti pada table di bawah ini :
NO Pengaruh Toksik
Jenis zat toksik Kehadiran di dalam Pasti Diduga
1 Logam Pb, Hg, Air, makanan dan Inhibitor enzim, sel Karsigonenik,
As, Sb, Cu, Cr, debu atmisfer racun. Efekneurology.
Mn, Se, Ni.
2 Gas CO, NO2, Sedikit do atmosfer Iritasi pada paru-paru -
SO2, SO3. dan mata
3 Alkaloid, Pada sayuran,jumlah Efek toksik -
peptide, protein besar pada tumbuhan
sterol. beracun
4 Bakteri toksin Di dalam makanan Racun -
terkontaminasi
5 Jamur toksin Di dalammakanan Keracunan hati Karsinogenik
fermentasi
6 Radioaktif Di dalam udara, air Mutasi Karsinogenik,
(bukan dan makanan dalam leukaemia.
senyawa) jumlah kecil.

1.2 Interaksi zat dalam toksikologi


Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederatan proses mulai dari
proses biokimia, fisika dan biologi yang begitu kompleks. Proses ini umumnya
dikelompokkan dalam tiga fase, yaitu:
 Fase eksposisi meliputi paparan bahan kimia.
 Fase toksokinetik meliputi absorbsi, distribusi penyimpanan, metabolisme dan
ekskresi.
 Fase toksodinamik meliputi interaksi antara tokson dengan reseptor dalam organ.

a. Interaksi selama fase eksposisi


 Kombinasi Zat yang membahayakan
Kombinasi zat yang membahayakan adalah kombinasi dari zat-zat yang
hanya berbahaya jika diberikan bersama-sama. Zat semacam ini harus disimpan
secara terpisah, harus dibungkus dan diangkut secara terpisah pula. Contohnya, jika
asam berkontak dengan sianida akan terbentuk gas asam sianida yang sangat toksik
(HCN). Berbagai peroksida dapat menimbulkan ledakan kalau berkontak dengan
logam atau senyawa logam tertentu.
Logam alkali, aluminium dan magnesium bubuk tidak boleh berkontak
dengan halogen dan karbontetraklorida, karena akan bereaksi dengan hebat (Ingat
peristiwa bom di Bali). Untuk meminimalkan bahaya, maka diperlukan penanganan
dalam hal pengangkutan dan penyimpanan zat yang berisiko menimbulkan bahaya.
Risiko ledakan atau kebakaran harus dinyatakan secara jelas dengan tanda khusus
pada kemasan atau ruang penyimpanan.
 Bahaya kebakaran dan penanggulangannya
Penggunaan air pada penanggulangan kebakaran mempunyai masalah
tersendiri. Berbagai zat kimia, bila bereaksi dengan air membebaskan gas yang
mudah terbakar (misalnya logam alkali natrium dan kalium, kalsiumkarbida). Bila
terkena air akan terurai dan membentuk gas beracun serta kalor dalam jumlah besar
(misalnya aluminium klorida, fosfortriklorida, dan fosfida). Uap dan gas beracun
dapat pula terbentuk pada kebakaran atau pada penanggulangan kebakaran. Jika
pada pembuatan kerangka kapal digunakan pembakar asetilen, serta kapal dicat
dengan zat warna yang mengandung timbal atau senyawa timbal, akan sangat
berbahaya kalau pekerjaan tersebut dilakukan dalam ruang tertutup.
 Pembentukan produk toksik dalam lingkungan
Pada reaksi kimia antara zat-zat yang mencemari lingkungan, terdapat bahaya
timbulnya produk toksik, bahkan tanpa perlakuan apapun oleh manusia. Contohnya
adalah kabut fotokimia. Kabut terdiri dari zat yang terbentuk karena interaksi
nitrogen oksida dan hidrokarbon tertentu dengan oksigen, dibawah pengaruh sinar
matahari. Ozon dan peroksida organik merangsang selaput lendir dengan sangat
kuat.
Hasil pembakaran industri dan mobil dapat berubah menjadi kabut fotokimia
pada kondisi cuaca tertentu, misalnya pada penyinaran oleh sinar matahari dan tak
ada angin. Contoh lain adalah berubahnya senyawa raksa anorganik menjadi
senyawa raksa organik oleh mikroorganisme, terutama metil dan dimetil raksa (II).
Karena senyawa raksa organik bersifat lipofil, maka akan tertimbun dalam ikan dan
anjing laut. Hal yang sama terjadi pada DDT, yang menyebabkan terjadinya
pemekatan sepanjang rantai makanan, dan hewan/organisme yang ada pada ujung
rantai ini akan terkena bahayanya.
 Adsorbensia dalam Filter
Penggunaan adsorbensia dalam filter (termasuk filter pada topeng gas) juga
dapat dilihat sebagai interaksi zat selama fase eksposisi. Karena terdapat begitu
banyaknya racun yang berbeda-beda, maka tidak dapat digunakan filter universal.
Tergantung pada jenis uap atau gas racun yang mungkin terjadi, maka digunakan
filter tertentu yang ditandai dengan nomor atau warna.
 Pembentukan produk toksik oleh kerja sistem biologik
Pembentukan senyawa metil dan dimetil raksa (II) yang relatif toksik
daripada raksa anorganik oleh mikroorganisme, serta pembentukan HCN dari
sianogen (misalnya, dari amigdalin dengan bantuan ludah) merupakan contoh
pembentukan produk toksik karena kerja sistem biologi. Contoh lain adalah
pembentukan asam sulfida yang toksik selama proses pembusukan.
Pembentukan nitrosamin karsinogenik pada reaksi antara nitrit dengan
sejumlah amin pada pH rendah, misalnya dalam lambung. Nitrit terdapat dalam
produk-produk daging dan dapat juga terjadi dari nitrat yang terdapat dalam air
tanah dan sayur yang pada penanamannya menggunakan pupuk yang mengandung
N dalam jumlah besar.

 Peningkatan absorpsi racun oleh ikan


Untuk perlindungan lingkungan perlu diketahui bahwa ikan yang berkontak
dengan deterjen, akan menyebabkan absorpsi berbagai racun melalui insang ikan
tersebut diperbesar. Hal ini berarti bahwa pemeriksaan dengan zat tunggal untuk
menentukan batas toleransi akan dapat memberikan hasil yang salah, karena
toksisitas akan dapat sangat dipertinggi dengan adanya deterjen yang secara praktis
terdapat dalam semua air limbah.
b. Interaksi selama fase toksikokinetik
Interaksi semacam ini akan meyebabkan naik atau turunnya konsentrasi zat
dalam plasma atau menyebabkan bertambah lama atau bertambah singkatnya
obat/zat ada dalam organisme. Berbagai zat, mulai dari zat kimia biasa sampai
obat-obatan bahkan komponen makanan dapat ikut ambil bagian disini.
 Interaksi antara senyawa yang menginhibisi biotransformasi zat asing dengan zat
toksik
Inhibisi enzim yang berperan pada biotransformasi dapat menaikkan kerja
biologik suatu zat dan dengan demikian akan memperkuat efek toksiknya. Karena
sejumlah besar senyawa kimia yang masuk ke dalam organisme, pada
metabolismenya diuraikan oleh beberapa enzim yang sama, maka seringkali terjadi
interaksi pada proses enzimatiknya. Induksi enzim, disamping dapat timbul karena
insektisida (DDT) atau obat-obatan tertentu, juga dapat disebabkan oleh zat kimia
yang digunakan di industri.
 Interaksi akibat reaksi pendesakan
Pendesakan zat toksik dari berbagai tempat ikatan, dapat mengubah distribusi
zat tersebut dalam jaringan, dan kerja toksik akan meningkat atau pada keadaan
tertentu juga dapat turun. Yang paling berarti adalah interaksi pada ikatan protein
plasma. Karena pendesakan suatu tokson dari tempat ikatannya pada protein
plasma, maka konsentrasinya dalam jaringan akan naik.
 Interaksi kimiawi langsung
Berbagai antidot bekerja dengan melakukan interaksi dengan zat toksik yang
ada dalam tubuh. Jika pada keracunan secara oral digunakan emetika atau laksansia
(misalnya magnesium atau natrium sulfat), maka interaksi terjadi pada peralihan
dari fase eksposisi ke fase farmakokinetik. Contoh lain dari interaksi kimiawi
langsung ialah perubahan asam sianida menjadi asam rodanida dengan pemberian
tiosulfat, atau menciptakan terjadinya methemoglobinemia secara sengaja dengan
nitrit pada keracunan HCN. Tidak seperti hemoglobin, methemoglobin mengikat
HCN dan dengan demikian mencegah inhibisi sistem redoks pada rantai pernapasan
di dalam sel.
 Cara mempengaruhi laju ekskresi
Pada ekskresi juga dapat terjadi interaksi, dan interaksi ini akan menyebabkan
perubahan laju ekskresi. Zat pengasam atau pembasa yang mengubah pH urin akan
dapat mempengaruhi laju ekskresi asam atau basa lemah. Pengaruh pada ekskresi
ini terjadi pada transpor pasif, artinya pada absorpsi ulang zat bersangkutan dari
urin melalui epitel tubulus masuk ke dalam plasma.
Interaksi pada proses angkutan aktif, antara lain dalam ginjal, terjadi jika
suatu zat mengusir zat lain dari sistem pengemban (carrier) yang berperan pada
transpor aktif. Produk konjugasi, yang terbentuk sebagai produk akhir metabolisme
zat asing dalam tubuh, pada umumnya diekskresi melalui transpor aktif. Karena
sistem transpor untuk ekskresi sangat terbatas untuk sejumlah zat, maka interaksi
pada transpor aktif sering terjadi.
c. Interaksi selama fase toksikodinamik
Masuknya beberapa racun bersama-sama, yang cara kerjanya sangat berbeda
satu dari yang lainnya, seringkali mempertinggi risiko karena dengan kerja zat yang
satu tidak jarang kemampuan pertahanan tubuh berkurang hingga daya tahan tubuh
terhadap racun lainnya juga berkurang.
Dalam hal ini terutama pada kerja karsinogenik dan mutagenik, karena
biasanya jika dua karsinogen atau dua mutagen bekerja, akan terjadi sumasi
(penjumlahan) dari kerja kedua zat tersebut. Juga kontak sebelumnya dengan zat
karsinogen atau mutagen patut diperhitungkan. Sumasi kerja dapat pula terjadi pada
kerusakan kronis yang terjadi sebelumnya. Contohnya, perokok berat terutama
rokok putih seringkali menderita bronkhitis kronis, dan patut dipertanyakan apakah
orang ini harus ditempatkan pada kedudukan dimana terjadi rangsangan tambahan
lagi bagi saluran napasnya.
Pada umumnya setiap orang yang bekerja pada suatu tempat yang
mengharuskannya berkontak dengan zat yang dengan cara apapun dapat
menimbulkan kerusakan kronis, sebaiknya waktu kerja dibatasi. Misalnya, setelah
waktu eksposisi tertentu, diadakan pertukaran atau mutasi kerja.
Risiko keracunan di tempat pekerjaan akan lebih tinggi pada orang yang
selalu minum obat atau yang selalu merokok. Penggolongan interaksi
toksikodinamik dari zat aktif biologi dapat digunakan untuk mengenal dan
mengatasi persoalan yang timbul akibat pemakaian kombinasi beberapa zat.
Pada kombinasi dua zat dapat terjadi kemungkinan berikut: (1) kombinasi
suatu zat aktif A dengan zat B yang tak aktif akan tetapi dapat mengubah kerja zat
A, dan (2) kombinasi dua zat, yang keduanya aktif.
 Antagonisme
1. Antagonisme Persaingan (Kompetitif).
Pada jenis antagonisme ini, agonis dan antagonis bekerja pada pusat aktif
yang sama, reseptor yang sama. Antagonis mendesak agonis dari tempat kerjanya.
Jenis antagonisme semacam ini terjadi antara metabolit dan antimetabolit, vitamin
dan antivitamin, histamin dan antihistamin, kolinergika dan antikolinergika, dll.
Antagonis persaingan (kompetitif) dapat mengambil tempat agonis tetapi tak dapat
mengambil alih fungsi agonis tersebut. Antagonisme persaingan penting dalam
bidang toksikologi, karena banyak antidot mendasarkan kerjanya pada antagonisme
ini.
2. Antagonisme Kimia.
Antagonisme kimia atau antagonisme dengan penetralan (netralisasi) adalah
suatu bentuk antagonisme, yang dalam peristiwa ini antagonis bereaksi secara
kimia dengan agonis dan kemudia menginaktifkannya. Jenis antagonisme ini juga
sering berguna pada penanganan keracunan. Antagonisme kimia terjadi pada fase
toksokinetik.
3. Antagonisme non-kompetitif.
Pada antagonisme non kompetitif, antagonis mengganggu timbulnya efek
oleh agonis. Tanpa bereaksi sendiri dengan agonis ataupun reseptor spesifiknya.
Hal ini berarti bahwa suatu antagonis non kompetitif bekerja pada salah satu tingkat
reaksi biokimia atau biofisika, yang ada setelah interaksi agonis-reseptor menuju
efek sesungguhnya.
Beberapa antagonis non kompetitif dengan cara kerja yang berbeda dapat saja
mengantagonisasi agonis yang sama, sedangkan satu antagonis non kompetitif
dapat pula mengantagonis (melawan) berbagai agonis dengan tempat kerja yang
berbeda. Sejumlah antidot terutama yang digunakan untuk penanganan
simptomatik keracunan, bekerja sebagai antagonis non kompetitif.

4. Antagonisme fungsi.
Antagonisme fungsi adalah jika efek suatu agonis diperlemah oleh efek
berlawanan dari agonis lain yang bekerja pada sistem sel yang sama tetapi pada
reseptor yang berlainan.
5. Antagonisme fisiologi.
Antagonisme fisiologi mirip dengan antagonisme fungsi. Disini juga terjadi
antagonisme antara dua agonis, tetapi agonis bekerja pada sistem sel yang berbeda
dan menimbulkan efek berlawanan pada sistem sel ini sehingga efek yang diukur
merupakan resultante kedua efek tersebut.
 Sinergisme
Berbagai jenis sinergisme terjadi pada interaksi selama fase eksposis dan
toksokinetik. Misalnya, sinergisme antara suatu tokson dengan zat, yang
meninggikan absorpsinya atau yang menghambat inaktivasi biokimia atau
ekskresinya.
Sinergisme lain yang juga terjadi pada fase toksikokinetik, ialah naiknya
pembentukan metabolit toksik oleh senyawa yang menaikkan kapasitas sistem
enzim di hati dengan induksi. Sedangkan sinergisme pada fase toksikodinamik
terutama sinergisme zat karsinogenik dan mutagenik.
1.3 Pengaruh Zat Toksik

Masuknya racun ke dalam tubuh makhluk hidup dapat melalui berbagai cara
seperti melalui absorbsi, tertelan melalui mulut, terhirup dan lain-lain. Jalur utama
bahan toksik untuk dapat masuk ke dalam tubuh manusia adalah melalui absorpsi,
distribusi dan ekskresi pada paru-paru (pernapasan/inhalasi), kulit (topikal),
pencernaan (ingesti) dan injeksi.
1. Absorpsi
Bahan toksik akan diserap oleh tubuh melalui paru-paru, kulit dan saluran
pencernaan kemudian masuk ke dalam aliran darah dan sistem kelenjar getah bening.
Bahan toksik tersebut kemudian diangkut ke seluruh tubuh. Selain berbahaya tanpa
diabsorbsi, bahan toksik tersebut tajam dan menyebabkan karat (korosif) yang
bereaksi pada titik singgungnya.
a. Via paru-paru
Faktor yang berpengaruh pada absorpsi bahan toksik dalam sistem pernapasan
adalah bentuk bahan misalnya gas dan uap; aeroso; dan ukuran partikel; zat yang
terlarut dalam lemak dan air. Paru-paru dapat mengabsorbsi bahan toksik dalam
jumlah besar karena area permukaan yang luas dan aliran darah yang cepat.

b. Via kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis (lapisan terluar), dermis (lapisan
tengah) dan hypodermis (lapisan paling dalam). Epidermis dan dermis berisi keringat,
kantung minyak dan akar rambut. Bahan toksik paling banyak terabsorbsi melalui
lapisan epidermis. Absorbsi bahan toksik melalui epidermis tergantung pada kondisi
kulit, ketipisan kulit, kelarutannya dalam air dan aliran darah pada titik singgung.
Akibat bahan toksik antara lain pengikisan atau pertukaran lemak pada kulit yang
terekspos dengan bahan alkali atau asam dan pengurangan pertahanan epidermis.
c. Via saluran pencernaan
Absorbsi bahan toksik dapat terjadi di sepanjang saluran pencernaan (gastro-
intestinal tract). Faktor yang mempengaruhi terjadinya absorbsi adalah sifak kimia
dan fisik bahan tersebut serta karakteristiknya seperti tingkat keasaman atau kebasaan.
2. Distribusi
Setelah absorbsi bahan toksik terjadi, maka bahan tersebut didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui darah, kelanjar getah bening atau cairan tubuh yang lain oleh
darah. Distribusi bahan beracun tersebut :
- Disimpan dalam tubuh pada hati, tulang dan lemak
- Dikeluarkan melalui feses, urine atau pernapasan Mengalami biotransformasi
- Metabolisme dimana bentuk akhirnya lebih siap dikeluarkan
3. Ekskresi
Ekskresi bahan toksik dapat terjadi melalui hembusan udara atau pernapasan,
dan dari sekresi melalui keringat, air susu, feses dan urine. Toksikan dikeluarkan
dalam bentuk asal, sebagai metabolit dan atau konjugat.
a. Ekskresi urin
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa dengan
mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme faali, yaitu
dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler dan sekresi tubuler.
b. Ekskresi empedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi toksikan,
terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi (anion dan kation), konjugat yang
terikat pada protein plasma, dan senyawa yang BM-nya lebih besar dari 300. Pada
umumnya begitu senyawa ini berada dalam emped, senyawa ini tidak akan diserap
kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. Tetapi ada pengecualian,
misalnya konugat glukuronoid yang dapat dihidrolisis oleh flora usus menjadi
toksikan bebas yang diserap kembali.
c. Paru-paru
Zat yang berbentuk gas pada suhu badan terutama diekskresikan lewat paru-
paru. Cairan yang mudah menguap juga dengan mudah keluar lewat udara ekspirasi.
Cairan yang mudah larut misalnya kloroform dan halotan mungkin diekskresikan
sangat lambat karena ditimbun dalam jaringan lemak dan karena terbatasnya volume
ventilasi. Ekskresi toksikan melalui paru-paru terjadi karena difusi sederhana lewat
membran sel.
d. Jalur lain
Saluran cerna bukan jalur utama ekskresi toksikan. Oleh karena lambung dan
usus manusia masing-masing mesekresi kurang lebih tiga liter cairan setiap hari, maka
beberapa toksikan dikeluarkan bersama cairan tersebut. Hal ini terjadi terutama lewat
difusi sehingga lajunya bergantung pada pKa toksikan dan pH lambung dan usus.
Ekskresi toksikan lewat air susu ibu (ASI), ditinjau dari sudut toksikologi amat
penting karena lewat air susu ibu ini racun terbawa dari ibu kepada bayi yang
disusuinya. Ekskresi ini terjadi melalui difusi sederhana. Oleh karena itu seorang ibu
yang sedang menyusui harus berhati-hati dalam hal makanan terutama kalau sedang
mengkonsumsi obat.
Racun yang berasal dari zat kimia umumnya mempunyai pengaruh local dan
sistematik. Pengaruh local adalah pengaruh zat kimia secara local (daerah tertentu)
yang diakibatkan oleh adanya kontak langsung zat kimia dengan objek (bagian tubuh
makhluk hidup),misalnya kebakaran kulit oleh kehadiran asam kuat atau basa kuat.
Sedangkan pengaruh sistematik adalah pengaruh yang diakibatkan oleh zat kimia
yang menyebar ke berbagai bagian tubuh maikhluk hidup yang disebabkan oleh
absorbsi zat kimia ke dalam bagian tubuh, misalnya pengaruh keracunan yang
disebabkan oleh masuknya merkuri atau timbale ke dalam tubuh yang dapat
mempengaruhi berbagai jenis target di dalam tubuh makhluk hidup dan manusia.
Pengaruh sistematik dapat berupa pengaruh akut dan pengaruh kronik.
Pengaruh akut adalah keracunan yng berlangsung sangat cepat oleh kehadiran zat
kimia di dalam tubuh makhluk hidup, sedangkan pengaruh kronik adalah keracunan
yang berlangsung sangat lambat oleh kehadirn zat kimia di dalam tubuh makhluk
hidup dan pengaruh ini baru diketahui setelah dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pengaruh akut sangat mudah mudah dikenali karena kehadiran zat kima ke dalam
tubuh akan langsung memberikan dampak negative berupa luka, terbakar, sakit, atau
gejala lainnya yang berlangsung sangat cepat. Akan tetapi pengaruh kronik sangat
sulit untuk dikenali karena berlangsungnya lambat, yaitu meembutuhkan waktu yang
lamamulai dari masuknya zat kedalam tubuh sampai terjadinya gejala penyakit dan
sakit yang diakibatkan oleh racun tersebut.
Sebagai contoh, pengaruh sistematik akut dapat dilihat melalui perbandingan
pengaruh beberapa zat kimia yang masuk ke dalam tubuh manusia,yaitu masuknya
sianida ke dalamtubuh dapat mengakibatkan kematian hanya beberap detik saja,
masuknya gas CO pada konsentrasi tertentu akan dapat mengakibatkan kematian
dalam beberapa menit. Sedangkan kehadiran zat kimia lain seperti parathion ke dalam
tubuh akan dapat mrngakibatkan kematian setelah beberapa jam, sementaran
konsumsi thalium akan mengakibatkan kematian setelah beberapa hari. Keracunan
sistematik yang akut dapat juga tidak diprngsruhi fatal terhadap makhluk hidup
karena hanya memberikan luka pada bagian organ tubuh. Selain jenis zat kimia,
pengaruh akut zat kmia ini juga sangat berhubungan dengan konsentrasi zat kimia
yang masuk ke dalam tubuh sehingga pada dosis yang aman maka makhluk hidup
akan terhindar dari keracunan, sementara pada dosis diluar ambang batas akan
mengakibatkan efek racun.

Pengaruh Toksisitas Sistemik Kronik

Pengaruh toksisitas sistematik kronik adalah pengaruh racun yang diakibatkan


oleh kehadiran zat kimia dalam jumlah kecil dalam jangka waktu yang cukup lama.
Gejala yang ditimbulkan dari racun yang bersifat kronik ini baru timbul setelah
berlangsung dalam jangka waktu yang relative lama. Misalnya beberapa tahun setelah
kontak atau mengkonsumsi zat kimia tersebut, sehingga sering kali dalam
diagnosisnya nama zat kimia yang menjadi penyebabnya sulit ditelusuri. Beberapa
senyawa yang mempunyai efek kronik digolongkan sebagai senyawa karsinogenik,
mutagenic, teratogenik dan sensitisers.

1. Karsinogenik
Karsinogenik adalah senyawa kimia yang dapat mengakibatkan penyakit
kanker. Senyawa karsinogenik diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Karsinogenik Tipe I
Yaitu senyawa kimia yang sudah pasti diketahui menyebabkan kanker
pada manusia, misalnya asbestos, senyawa aromatis.
b. Karsinogenik Tipe II,
Yaitu senyawa kimia yang diketahui sudah pasti menyebabkan kanker
kepada hewan dan diduga akan mengakibatkan kanker pada manusia,
misalnya formaldehida.
c. Karsinogenik Tipe III
Yaitu senyawa kimia yang perlu dipertimbangkan dan diduga memiliki
potensi akan mengakibatkan kanker akan tetapi belum cukup data untuk
meyakinkannya,misalnya kloroform.
2. Mutagenic
Mutagenic adalah senyawa kimia yang dapat mengakibatkan perubahan
kimia bahan genetic (DNA) di dalaminti sel (nucleus). Efek mutagenic mungkin tidak
atau belum nyata terlihat kepada individu yang terkena senyawa mutagenic tersebut,
akan tetapi perubahan DNA (mutasi) akan dapat mengakibatkan pengaruh terhadap
generasi berikutnya, misalnya terjadinya cacat lahir atau penyakit genetic lainnya
pada keturunan pertama atau generasi berikutnya.
3. Terotogenik
Terotogenik adalah senyawa kimia yang dapat merusak janin yang
mengakibatkan kelainan (cacat lahir). Beberapa senyawa yang diduga memiliki efek
teratogenik di dalam lingkungan diantaranya adalah senyawa dioksin yang dihasilkan
dari pembakaran sampah, senyawa organic merkuri yang terbentuk dari limbah
merkuri, dan karbon monoksida yang dihasilkan dari mesin industry dan kenderaan
bermotor.
4. Sensitizer
Sensitizer adalah senyawa kimia yang dapat mengakibatkan alergi terhadap
individu tertentu namun keberadaan senyawa itu ditoleransi oleh sebagian besar
populasi di dalam lingkungannya. Contoh dari efek sensitizer adalah terjadinya gejala
berupa gatal-gatal, asma, sakit kepala, atau bahkan ada yang pingsanoleh kehadiran
senyawa penisilin atau racun di dalam tubuh. Beberapa senyawa lain yang dapat
dikategorikan sebagai senyawa sensitizer adalah formaldehida (HCHO) yang terdapat
di dalam plastic, kertas dan lem. Senyawa lain seperti isosianat yang terdapat di dalam
cat, pelingkut dan produk busa plastic juga dikategorikan sebagai senyawa sensitizer.
KESIMPULAN

1. Zat toksik dapat berasal dari berbagai macam sumber, salah satunya yaitu zat
toksik yang berasal dari bahan kimia.
2. Proses interaksi zat dalam toksikologi umumnya dikelompokkan dalam tiga fase
yaitu : Fase Eksposisi meliputi paparan bahan kimia di ambien pada gas/uap,
debu, kabut dan fume ; Fase Toksokinetik meliputi absorpsi, distribusi
penyimpanan, metabolisme, dan eksresi ; Fase Toksodinamika meliputi interaksi
antara tokson dengan reseptor dalam organ .
3. Jalur utama bahan toksik untuk dapat masuk ke dalam tubuh manusia adalah
melalui absorpsi, distribusi dan ekskresi pada paru-paru (pernapasan/inhalasi),
kulit (topikal), pencernaan (ingesti) dan injeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Cotton dan Wilkinson . 2009 . Kimia Anorganik Dasar . Jakarta : UI-Press

Des W. Connel & Gregory J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia

E.J. Ariens, E. Mutschler & A.M. Simonis. 1987. Toksikologi Umum, Pengantar.
Terjemahan oleh Yoke R.Wattimena dkk. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar. Terjemahan oleh Edi Nugroho. Jakarta: Universitas
Indonesia Press. ¨ H.J. Mukono. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga
University Press.

J. H. Koeman. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses mulai dari proses
biokimia, fisika dan bilogi yang begitu kompleks. Proses ini umumnya dikelompokkan
dalam tiga fase yaitu :

1. Fase Eksposisi meliputi paparan bahan kimia di ambien pada gas/uap, debu, kabut dan fume
2. Fase Toksokinetik meliputi absorpsi, distribusi penyimpanan, metabolisme, dan eksresi
3. Fase Toksodinamika meliputi interaksi antara tokson dengan reseptor dalam organ

SuaSuatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses mulai dari proses
biokimia, fisika dan bilogi yang begitu kompleks. Proses ini umumnya dikelompokkan dalam tiga fase
yaitu :

1. Fase Eksposisi meliputi paparan bahan kimia di ambien pada gas/uap, debu, kabut dan fume
2. Fase Toksokinetik meliputi absorpsi, distribusi penyimpanan, metabolisme, dan eksresi
3. Fase Toksodinamika meliputi interaksi antara tokson dengan reseptor dalam organ

Anda mungkin juga menyukai