Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi Mycobacterium


tuberculosis (M.tuberculosis) yang dapat mengenai berbagai organ tubuh, tetapi
paling sering mengenai paru-paru yaitu TB paru. TB masih merupakan masalah
kesehatan dunia, terutama bagi negara yang sedang berkembang, seperti
Indonesia. Angka morbiditas dan mortalitas TB masih tinggi. World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa saat ini sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi TB dan tidak ada satu negara pun yang telah bebas TB. Setiap tahun
terdapat sekitar delapan juta penderita TB baru di seluruh dunia, atau dapat
dikatakan setiap detik minimal terdapat satu orang yang terinfeksi TB (WHO,
2009). Angka mortalitas penderita TB per tahun hampir tiga juta orang, atau dapat
dikatakan setiap 10 detik ada satu orang meninggal akibat TB. Angka mortalitas
kelompok wanita akibat infeksi TB hampir satu juta per tahun, jumlah ini lebih
besar dibandingkan angka mortalitas akibat proses kehamilan dan persalinan.
Angka mortalitas anak akibat TB yaitu sebesar 100.000 anak per tahun (Subagyo
dkk, 2006).
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga
akibat oleh berbagai sebab, seperti diagnosis tidak tepat, pengobatan tidak
adekuat, program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, infeksi
endemik HIV, migrasi penduduk, upaya mengobati diri sendiri (self treatment),
meningkatnya kemiskinan, dan pelayanan kesehatan kurang memadai (Depkes RI,
2009).Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak agar terus berupaya
mengendalikan infeksi TB. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan
TB di masyarakat yaitu dengan penegakan diagnosis TB dini secara definitif (Sub
Direktorat TB Depkes RI, 2008 ; WHO, 2008). WHO merekomendasikan kriteria
penting untuk penetapan dugaan diagnosis TB yaitu dengan menemukan Basil
Tahan Asam (BTA) pada pemeriksaan mikroskopik apus sputum (dahak)
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Apabila fasilitas sarana diagnosis TB di suatu

1
laboratorium atau pelayanan kesehatan memadai, maka dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang diagnosis TB lain seperti yang umum dilakukan di
Indonesia yaitu kultur M. Tuberculosis pada media padat yang mengandung telur,
yaitu media Ogawa atau Lowenstein Jensen. Saat ini telah banyak dikembangkan
media kultur secara otomatisasi berdasarkan prinsip radiometric/colormetric
komersial, yaitu BACTEC 460, BACTEC 9000 MB, MGIT, BacT/ALERT MB,
dan lain-lain (Kenyorini, Suradi, & Suryanto, 2006).
Metode penegakan diagnosis yang umum digunakan saat ini adalah
metode konvensional pemeriksaan mikroskopik bakteriologik apus sputum
dengan pewarnaan BTA dengan menggunakan teknik pewarnaan yang sering
digunakan adalah Ziehl Neelsen / Tan Thiam Hok atau pewarnaan fluorokrom
dengan Auramine-Rhodamine(Depkes RI, 2007). Pemeriksaan bakteriologis TB
paru yang paling ekonomis dan sederhana adalah pemeriksaan mikroskopik apus
sputum BTA dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelsen karena prosedur dan
interpretasi hasil pemeriksaan relatif mudah, sarana yang diperlukan untuk
interpretasi mikroskopik BTA cukup menggunakan mikroskopik cahaya dan
umumnya tersedia hingga di semua laboratorium kesehatan yang merupakan
ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia, yaitu Puskesmas di seluruh
pelosok tanah air. Metode pemeriksaan mikroskopik BTA sputum bersifat
subjektif dan kurang sensitif, tetapi merupakan sarana penunjang diagnosis TB
paru yang paling sering dilakukan. Hasil pemeriksaan mikroskopik BTA baru
memberikan hasil BTA positif bila minimal ada 5.000-10.000 bakteri/ mL sputum
(WHO, 2009). Kultur M. tuberculosis memiliki peranan penting pada penegakan
diagnosis TB karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada pemeriksaan mikroskopik BTA (Lyanda, 2012). Kultur Ogawa atau
Lowenstein Jensen (LJ) adalah media-media kultur yang umum digunakan di
Indonesia untuk identifikasi BTA M. tuberculosis, mempunyai sensitivitas 99%
dan spesifisitas 100%, tetapi interpretasi hasil kultur memerlukan waktu cukup
lama, yaitu sekitar 6-8 minggu. Hal ini akan mengakibatkan keterlambatan
penegakan diagnosis TB dan saat memulai pemberian terapi (WHO, 2009).

2
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi Meningitis Tuberkulosa

Meningitis tuberkulosa adalah radang selaput otak akibat komplikasi


tuberkulosis primer. Secara histopatologik meningitis tuberkulosa merupakan
meningo-ensefalitis (tuberkulosa) dimana terjadi invasi ke selaput dan jaringan
susunan saraf pusat (Harsono, 2005).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak

Gambar 2.1. Anatomi selaput otak

Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi


struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:

2.2.1 Lapisan Luar (Durameter)


Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas
jaringan ikat padat yang berhubungan langsung dengan periosteum
tengkorak. Dura mater yang membungkus medulla spinalis
dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang
mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan

3
jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh
celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga
permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis
gepeng yang asalnya dari mesenkim (Drake, 2015).

2.2.2 Lapisan Tengah (Arakhnoid)


Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang
berkontak dengan duramater dan sebuah sistem trabekel yang
menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara
trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi cairan
serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini
membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari
trauma. Ruang subaraknoid berhubungan dengan ventrikel otak.
Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah.
Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura
mater karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit
trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada
beberapa daerah, araknoid menembus dura mater membentuk
juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura
mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan
serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus (Drake, 2015).
2.2.3 Lapisan Dalam (Piameter)
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang
mengandung banyak pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup
dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau
serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan
tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan
membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat
yang memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia
mater menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan

4
menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh
darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari
mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui
torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia
mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi
kapiler. Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah seluruhnya
dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia. (Drake, 2015).

2.3 Etiologi
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh kuman mikrobakterium
tuberkulosa varian hominis (Harsono, 1996)

2.4 Faktor Risiko


Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio-
ekonomi rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, perumahan
tidak memenuhi syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur
berdesakan, kekurangan gizi, higiene yang buruk, faktor suku atau ras, kurang
atau tidak mendapat fasilitas imunisasi dan sebagainya.
Meningitis tuberkulosa dapat terjadi pada setiap umur terutama pada anak
antara 6 bulan sampai 5 tahun, jarang terdapat dibawah umur 6 bulan kecuali
apabila angka kejadian tuberkulosis sangat tinggi. Paling sering terjadi dibawah
umur 2 tahun, yaitu antara 9 sampai 15 bulan (Harsono, 2005).

2.5 Patofisiologi
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis
primer diluar otak. Fokus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada
kelenjar getah bening, tulang, sinus nasales, traktus gastro-intestinalis, ginjal, dsb.
Dengan demikian meningitis tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran
tuberkulosis paru-paru.
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput
otak oleh hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil
(beberapa millimeter sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada

5
permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang, tulang. Tuberkel tadi
kemudian melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang subaraknoid dan ventrikulus
sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara mikroskopik tuberkel-tuberkel ini
tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel dibagian lain dari kulit dimana
terdapat penghijauan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit, sel-sel
plasma dan dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.
Penyebaran dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan
organ atau jaringan didekat selaput otak seperti proses dinasofaring, pneumonia,
bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus
kavernosus atau spondilitis. Penyebaran kuman dalam ruang araknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS, ruang subaraknoid dan
ventrikulus.
Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa
dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel
mononuklear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa dan fibroblas. Eksudat
ini tidak terbatas didalam ruang subaraknoid saja, tetapi terutama terkumpul
didasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah pia
dan menyerang jaringan otak dibawahnya, sehingga proses sebenarnya adalah
meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus Sylvii, foramen
Magendi, foramen Luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema papil
dan peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-
pembuluh darah yang berjalan dalam ruang subaraknoid berupa kongesti,
peradangan dan penyumbatan, sehingga selain ateritis dan flebitis juga
mengakibatkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula oblongata dan
ganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala
akibatnya (Harsono, 2005).

2.6 Klasifikasi

Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosa dapat


diklasifiksaikan menjadi tiga stage yang terdiri atas (Harsono, 1996):

Tabel 2.1. Klasifikasi Meningitis Tuberkulosa

6
Stage I Pasien sadar penuh, rasional dan tidak memiliki defisit
neurologis
Stage II Pasien confused atau memiliki defisit neurologis seperti
kelumpuhan saraf kranialis atau hemiparesis
Stage III Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang
berat

2.7 Manifestasi Klinis

Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita.


Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya
dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis
TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu (Nofareni, 2003).
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala
pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak
pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa
kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak
beraturan (Cavendish, 2011).
Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium
(Anderson, 2010) :
a. Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering
tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat
badan menurun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur
terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis. Pada orang dewasa
terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang

7
nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah.
b. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana
penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang-kadan
disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda
rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku,
terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubu menonjol dan
muntah yang lebih hebat.
c. Stadium III : Terminal
Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.

2.8 Kriteria Diagnostik

Anamnesis
Didahului oleh gejala prodromal berupa nyeri kepala, anoreksia,
mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah laku
dan penurunan kesadaran, onset subakut, riwayat penderita TB atau
adanya fokus infeksi sangat mendukung (PERDOSSI, 2017)
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti
demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah,
penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang,
penurunan kesadaran adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis.
Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai
sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,
muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga
pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa (Gleadle, 2007).

8
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis
biasanya adalah pemeriksaan rangsang meningeal yaitu sebagai berikut
(Sidharta, 2009):
a) Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif
berupa fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa
nyeri dan spasme otot.
b) Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh
mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi
sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di
ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti
rasa nyeri.
c) Brudzinski I (Brudzinski leher)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan
pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila
gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut
dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.
d) Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter padasendi panggul dan lutut kontralateral.

9
e) Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu
jari pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski
III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas superior.
f) Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu
jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila
terjadi flexi involunter extremitas inferior.
g) Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua
tungkainya. Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya
lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat
tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari
60° pada lansia.
Pemeriksaan Penunjang (Supantini, 2013)
 Pemeriksaan Laboratorium : pemeriksaan LCS (bila tidak
ada tanda tanda peninggian tekanan intrakranial),
pemeriksaan darah rutin kimia, elektrolit.
 Pemeriksaan sputum BTA (+)
 Pemeriksan Radiologik
 Foto polos paru
 CT-Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan pungsi
lumbi bila dijumpai peninggian tekanan intrakranial.
Pemeriksaan penunjang lain (Supantini, 2013)
 IgG anti TB (Untuk mendapatkan antigen bakteri diperiks
counter-immunoelectrophoresis, radioimmunoassay atau
teknik ELISA).
 PCR

10
Pada Pemeriksaan Laboratorium (Supantini, 2013)
 Pemeriksaan LCS (bila tidak ada tanda-tanda peninggian
tekanan intrakranial)
 Pelikel (+) / Cobweb Appearance (+)
 Pleiositosis 50-500/mm3, dominan set mononuklear,
protein meningkat 100-200 mg%, glukosa menurun < 50%
- 60% dari GDS, kadar laktat, kadar asam amino,
bakteriologis Ziehl Nielsen (+), kultur BTA (+).

2.9 Penatalaksanaan
A. Umum
B. Terapi kausal : Kombinasi Obat Anti Tuberkulosa (OAT).
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :
1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti
tuberkulosis, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol.
2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu
isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.

Tabel 2.2. RHZE / RHZS


Obat Dosis
Isoniazid 7-15 mg/kgBB/hari
Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari
Pirazinamid 30-40 mg/kgBB/hari
Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari
Streptomisin 20 mg/kgBB/hari

C. Kortikosteroid
Steroid diberikan untuk:
- Menghambat reaksi inflamasi
- Mencegah komplikasi infeksi

11
- Menurunkan edema serebri
- Mencegah perlekatan
- Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
- Kesadaran menurun
- Defisit neurologist fokal
Dosis steroid :
Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg
intravena selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan
selama 1 bulan (Levin, 2009).

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Tai, 2013) :
1. Hidrosefalus
2. Cairan subdural
3. Abses otak
4. Cedera kepala
5. Gangguan pendengaran
6. Peningkatan tekanan dalam otak (tekanan itrakranial)
7. Kerusakan otak
8. Kejang
9. Serangan otak
10.Araknoiditis
2.11 Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan
perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis
juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci
tangan dengan bersih sebelum makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat
dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi
kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas

12
klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah
penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan ke
lemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang
misalnya tuli atau ketidak mampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi
juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat (Thomas, 2011).

2.12 Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya didiagnosa dan
diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningococcal
akan dijumpai gejala sisanya. Secara umumnya, penderita meningitis dapat
sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau mental atau meninggal
tergantung : - Umur penderita. - Jenis kuman penyebab - Berat ringan infeksi -
Lama sakit sebelum mendapat pengobatan - Kepekaan kuman terhadap antibiotik
yang diberikan - Adanya dan penanganan penyakit. Prognosis yang buruk terjadi
pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan pasien dengan penyakit yang
menular atau dengan peningkatan tekanan intrakranial (Thomas, 2011).

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Meningitis tuberkulosis (TB) merupakan komplikasi hasil dari
penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari
infeksi primer pada paru ke meningen. Insidensi meningitis TB di Indonesia
masih banyak sehingga diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat.
Meningitis TB merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan
penanganan tepat karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas
meningitis TB memiliki gangguan neurologis walaupun telah di berikan
antibiotik yang adekuat. Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat
diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan neurologis yang mungkin dapat
bertambah parah jika tidak ditangani.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press; 2005
2. Repository USU. “Meningitis”. 18 September 2017.
http://repository.USU.ac.id/bitstream/123456789/56150/4/chapter%2011.pdf
3. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press; 1996.
4. Standar Pelayanan Medik (SPM), PERDOSSI. http://kniperdossi.org/5-spm-
neurologi
5. Supantini, Dedeh. 2013. Upaya untuk meningkatkan perolehan hasil kultur
positif dari cairan serebrospinal penderita meningitis TB. Bandung:
Universitas Kristen Maranatha

15

Anda mungkin juga menyukai