Pendahuluan
Manusia yang secara biologi dinamakan Homo sapiens (People of Wisdom; Manusia
Bijak) di dalam ilmu sosial dinamakan juga Homo socius (People of Communal;
Manusia Hidup-bersama). Dinamakan H. socius karena pada kenyataannya manusia
tidak dapat hidup sendiri. Manusia memerlukan manusia lain seperti: orang tua untuk
membesarkan dan mendidiknya, guru untuk mendidiknya, petani untuk memberinya
makan, dan bahkan peminta-minta untuk disedekahinya. Fungsi kehidupan sosial di
jaman modern ini sudah sedemikian rumit dan kompleks sehingga komunitas manusia
disetarakan dengan sebuah jam; kehilangan satu saja mur yang kecil menyebabkan jam
tersebut berhenti berfungsi.
Salah satu pentingnya komunitas untuk seorang manusia adalah penghargaan yang
diberikan oleh komunitas untuk menyatakan keberadaan (existence) dan keberhasilan
(success) yang dicapainya. Hubungan manusia satu dengan yang lainnya menjadi
harmonis bila masing-masing mengakui keberadaan yang lainnya dan menghargai
keberhasilan yang dapat dicapai olehnya melebihi orang lain di dalam komunitas
tersebut.
Pengakuan Keberadaan
Pengakuan keberadaan seseorang dimulai sejak ibunya menyadari bahwa ia hamil. Sang
janin (= calon manusia) yang belum ketentuan akan jadi penjahit atau penjahat telah
diakui keberadaannya sejak saat itu. Sang ibu (dan sang bapak) telah mulai menyusun
rencana untuk janin tersebut; bahkan secara hukum negara melarang pengguguran sang
janin secara ilegal (abortus provocatus). Kakek, nenek, saudara-saudara dalam keluarga
batih maupun keluarga besar tidak luput untuk mengakui keberadaan sang janin.
Berbagai upacara dilakukan untuk pengakuan keberadaan ini misalnya: upacara tujuh
bulanan (kehamilan).
Begitu dilahirkan keberadaan sang bayi dinyatakan dengan akte kelahiran atas namanya.
Setidak-tidaknya keberadaan seseorang diakui berdasarkan nama yang disandangnya.
Mungkin juga atas nama orangtuanya yang bangsawan atau pejabat tinggi atau orang
kaya, dan lain-lain.
Pemantapan Keberadaan
Pernyataan keberadaan seseorang yang baik di awalnya (mulai dari kehamilan sampai
dengan kelahirannya) dapat berubah. Kemuliaan yang diperoleh karena menyandang
keberadaan orangtuanya yang bangsawan, pejabat tinggi, atau orang kaya mendadak
dapat hilang. Sebagaimana seorang anak terikut nama orang tuanya yang somebody
(masyhur), ia juga terikut nama orang tuanya yang nobody (hina atau papa), Sebagai
anak ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi keberadaan seseorang sebagai anak tidak
berarti apapun karena pada akhirnya ia harus menjalani proses pendewasaan untuk
menjadi pribadi yang mandiri.
Pemantapan keberadaan seorang anak menjadi dewasa merupakan suatu proses yang
tidak sederhana maupun mudah. Tidak jarang keluarganya sendiri atau orang yang
dekat dengannya tidak mendukung. Masyarakat sekitar (tetangga) mungkin merasa iri
hati. Padahal perjuangan untuk memenangkan keberadaan ini tidak mudah dan
Etika Suatu Pengantar: Bab IV. Hubungan Sosial – Halaman 35
Kebutuhan untuk berhasil (Need for Achievement) menjadi dasar hakiki untuk menjamin
keberadaan seseorang. Alam hanya memberi dua naluri dasar kepada seorang bayi
manusia untuk mempertahankan kehidupannya (= keberadaannya) yaitu (1) menangis
dan (2) mengisap. Kepintaran yang lain seperti tersenyum, berbicara ‘taatah’ ‘maamah’,
dan ‘paapah’, berdiri, dan berjalan dipelajari dari orangtuanya.
Kemampuan dasar (= naluri) menangis diperlukan oleh seorang bayi yang baru
dilahirkan karena ibunya tidak mungkin menjaganya selama 24 jam penuh setiap
harinya. Menangis merupakan tanda ‘waspada’ yang dikirim oleh sang bayi kepada
ibunya, entah itu untuk waspada lapar, kencing, berak, gatal, sakit, atau hanya sekedar
menyatakan bahwa ia terbangun di malam hari. Naluri mengisap diperlukan untuk
mengisap puting susu sang ibu. Bahkan sang bayi akan mengisap apa saja yang
diberikan ke mulutnya termasuk ibu jari sang bapak. Bayi yang tidak mampu mengisap
(menyusu) menjadi beban sang ibu untuk membesarkannya. Dengan dibekali dua naluri
ini sang bayi mencari sendiri (dengan bantuan orangtua dan saudara-saudaranya)
kebutuhan yang lain untuk berhasil hidup (survive) misalnya berbicara (untuk minta
tolong dalam keadaan bahaya), berjalan (untuk menjauhi bahaya), dan sebagainya.
Dengan demikian kebutuhan akan keberhasilan menjadi salah satu tuntutan hidup
bermasyarakat. Masyarakat hanya memandang pribadi-pribadi yang berhasil (to be
somebody). Pribadi-pribadi yang kurang/tidak berhasil hanya menjadi anybody atau
bahkan nobody.
Keberhasilan merupakan akhir suatu usaha yang bersifat multifaset. Seperti mata faset
pada serangga, keberhasilan mempunyai kemajemukan. Artinya, (1) keberhasilan yang
satu mengundang keberhasilan yang lain seperti pada contoh wisudawan juara I
universitas akan lebih berhasil mendapat pekerjaan dan gaji yang lebih baik daripada
wisudawan juara XI. Atau, (2) keberhasilan di tempat/bidang lain menggantikan
kegagalan di bidang yang ia inginkan pertama kalinya. Contohnya seorang alumnus
yang biasa-biasa saja dari Fakultas Pertanian jurusan Budidaya Pertanian ternyata
menjadi guru matematika di salah satu SMP dan disukai oleh para siswanya.
Tidak ada keberhasilan yang bersifat dadakan. Kalau toh ada, keberhasilan itu tidak
abadi. Misalnya seseorang yang tahu-tahu menjadi ngetop karena ia berhasil
menyelamatkan seseorang dari terbawa hanyut di pantai. Sang penolong pastinya tidak
berniat untuk meneruskan keberhasilannya menjadi anggota search and rescue untuk
sepanjang karirnya. Ia akan kembali ke dunianya yang sebenarnya sebagai seorang
mahasiswa Fakultas Hukum yang kebetulan saat itu sedang berlibur di pantai, atau
kembali menjadi penjual es krim yang mangkal di pantai tersebut.
Etika Suatu Pengantar: Bab IV. Hubungan Sosial – Halaman 37
Keberhasilan Alternatif
Tanpa mengaji ulang perencanaan dan tujuan keberhasilan yang disesuaikan dengan PS
AET, sang mahasiswa akan sulit untuk beradaptasi dengan ‘nasibnya’ atau malah
kerjanya hanya berkeluh-kesah. Kalau toh ia kemudian mengambil tes ulang di tahun
berikutnya dan diterima di jurusan yang ia inginkan, ia telah membuang waktu satu
tahun penuh.
Keberhasilan alternatif tidak buruk bila diberikan kesempatan dan perhatian yang sama
dengan perencanaan keberhasilan awal yang gagal dicapai tersebut. Keberhasilan
alternatif memberi tantangan yang bermanfaat dalam pendewasaan diri. Sikap
menerima (content) dan melaksanakannya dengan sepenuh hati (commit) membuat
pilihan alternatif berguna dan menguntungkan. Dalam hal ini sebagai alumnus PS AET
ia lebih mampu untuk berswadiri atau berwiraswasta alih-alih mengantri pekerjaan
sebagai PNS atau di perusahaan swasta.
Keberhasilan alternatif sering membawa kekecewaan dan tidak dihargai oleh yang
bersangkutan, walaupun masyarakat tetap memberi pengakuan dan penghargaan
Etika Suatu Pengantar: Bab IV. Hubungan Sosial – Halaman 38
Hubungan sosial atas dasar keberhasilan berbentuk pengakuan dan penghargaan akan
kesetaraan (acknowledge for equal). Seorang dokter akan disapa sebagai ‘sejawat’ oleh
dokter yang lainnya sedangkan orang lain di luar komunitas dokter akan menyapanya
‘dokter’ atau hanya ‘bapak’ atau ‘ibu’ saja. Untuk sarjana nonkedokteran, sapaan
tersebut lebih jujur yaitu hanya ‘bapak’, ‘ibu’, ‘mas’, atau ‘mbak’ kecuali bila sang
sarjana telah menjadi ‘Doktor’ atau ‘Profesor’. Sapaan yang tidak sesuai menandai
bahwa sang penyapa adalah orang di ‘luar’ komunitas atau ‘tidak sopan’. Di luar
hubungan antarsarjana, terdapat juga hubungan sosial atas dasar ‘kekayaan’, ‘haji’, atau
‘atasan’ dan ‘bawahan’ di dalam sistim perkantoran (dinas).
Hubungan sosial atas dasar keberhasilan pada dasarnya penuh formalitas. Di rumahnya,
apapun pangkat atau jabatannya, sang bapak disapa sebagai ‘bapak’, ‘ayah’, ‘papa’ atau
‘buya’ oleh anak-anaknya; demikian juga sang ibu disapa sebagai ‘ibu’, ‘mama’ ‘atau
‘umi’. Hubungan sosial ini dikatakan berdasarkan atas kekeluargaan.
Hubungan sosial atas dasar kekeluargaan bersifat informal tetapi penuh kasih sayang dan
penghargaan yang tulus. Seorang anak yang menyapa ‘bapak’ dan ‘ibu’ kepada
Etika Suatu Pengantar: Bab IV. Hubungan Sosial – Halaman 39
Hubungan sosial atas dasar kekeluargaan juga dapat mendekatkan dua individu manusia
yang bukan kerabat. Hal ini karena sapaan kekeluargaan ‘bapak’, ‘ibu’, ‘mas’, ‘mbak’
menempatkan sang penyapa sebagai keluarga yang disapa. Dan tentu saja mendapat
respon yang sama ramahnya dari yang disapa.
Sapaan kekeluargaan ini berkembang luas di kosa kata bahasa Indonesia, dan merupakan
etika khas bangsa Indonesia. Kita bahkan menyapa ‘encek (bapak)’, ‘encim (ibu)’,
‘engkoh (mas)’, atau ‘enci (mbak)’ kepada pemilik toko Cina untuk penyesuaian
penghormatan.
Sapaan seperti ini tidak terdapat di bahasa Inggris. ‘Father’ atau ‘daddy’, ‘mother’ atau
‘mommy’ , atau ‘sis (sister)’ dan ‘bro (brother)’ hanya digunakan oleh anggota keluarga,
tidak oleh orang di luar keluarga. Di dalam budaya Barat, orang sah-sah saja disapa
hanya namanya tanpa sandangan penghormatan tersebut. Di Indonesia sangat tidak
sopan menyebut dosen dengan nama saja tanpa sandangan ‘Pak’ atau ‘Bu’ walaupun
sang dosen tidak berada di situ.
Dalam menjalin hubungan sosial yang tulus dan harmonis memerlukan saling hormat.
Penghormatan merupakan pengakuan atas keberadaan (dan kesuksesan) orang lain.
Di dalam satu keluarga batih (inti), anak mengakui keberadaan orangtua dan saudara-
saudaranya dengan menggunakan sandangan yang tepat seperti ‘Bapak’. ‘Ibu’, ‘Kakak’,
dan sebagainya. Tidak pernah menyapa hanya nama. Sang orangtua juga
membahasakan diri mereka sendiri sebagai ‘Bapak’ atau ‘Ibu’; tidak pernah ‘Saya’.
Sang orangtua juga membahasakan ‘Kakak X’ atau ‘Adik Y’ bila menyapa anaknya;
Etika Suatu Pengantar: Bab IV. Hubungan Sosial – Halaman 40
tidak pernah hanya ‘Kamu’. Melalui sapaan penghormatan ini keharmonisan di dalam
keluarga terjamin walaupun keluarga dalam suasana marah.
Saling hormat merupakan hubungan timbal balik. Bahkan di dalam keluarga batih
orangtua harus menghormati anak-anak mereka sebesar penghormatan yang mereka
terima dari anak-anak itu.
Rasa hormat anak terhadap orangtua jarang yang bisa diragukan. Rasa hormat anak
terhadap orangtua hampir merupakan pemujaan. Bagi anak, orangtua tidak dapat
dibantah, apalagi disuruh. Setiap kritikan terhadap orangtua yang diterimanya dari
siapapun dianggap sebagai pernyataan permusuhan.
Etika Suatu Pengantar: Bab IV. Hubungan Sosial – Halaman 41
Orangtua juga sering menyuruh anak tanpa preambul kesopanan, seperti “Tolong dong,
ambilkan bapak minum”. Dan setelah diambilkan minum, tidak terdengar ucapan
“Terima kasih, nak”. Kedua ucapan “Tolong” dan “Terima kasih” merupakan ucapan
wajib untuk ‘menyuruh’ dan ‘telah dipatuhi suruhannya’ dari orangtua kepada anak
sebagai bentuk penghargaan orangtua kepada anak.
Pujian “Anak Bapak memang pintar” juga jarang diberikan kepada anak yang
memperoleh nilai rapor yang ranking. Sebaliknya bila sang anak tidak ranking, maka
yang mengambil rapor diserahkan kepada kakak atau pembantu.
Penghargaan orangtua kepada anak pantas dan harus diberikan untuk menghindarkan
KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Orang tua yang sering memuji anak-anaknya
akan malu bila melakukan KDRT. Selanjutnya anak yang dibesarkan dan dididik di
dalam keluarga yang santun juga akan tumbuh menjadi orangtua yang santun dan anti
KDRT.
Sebagai anak, batita dan balita yang lasak dan aktif langsung mempraktikkan
pengetahuan yang diterimanya tanpa mengerti baik atau buruknya. Ilmu kedokteran
psikiatri maupun psikologi sebagai contoh melarang orangtua memaki anak balita
mereka sebagai pencuri karena sang balita belum mempunyai pengertian apa itu
mencuri. Balita yang mengisap jempolnya ditandai sebagai ekspresi kesepian sehingga
Etika Suatu Pengantar: Bab IV. Hubungan Sosial – Halaman 42
sang orangtua harus lebih banyak memberi perhatian. Bahkan balita yang bermain
dengan kemaluannya tidak boleh dikasari karena mereka memang dalam fase ingin
mengetahui dan mencoba bukan karena penggila seks.
Studi psikologi di Amerika Serikat yang juga diikuti dengan studi yang sama di
Indonesia menyimpulkan bahwa sifat KDRT bukan sifat yang diturunkan (genetik)
tetapi sifat yang dipelajari. Malangnya KDRT dipelajari bukan dari luar keluarga karena
semua keluarga baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia memberi perlindungan
yang sangat ketat terhadap anggota keluarganya terutama yang belum dewasa. KDRT
dipelajari oleh sang anak dari sikap sang Ayah kepada sang Ibu, mulai dari melontarkan
kata-kata kasar atau makian sampai dengan kekerasan fisik seperti memukul. Sang Ibu
juga pada gilirannya melakukan KDRT terhadap PRT. Walau sang Anak terlindungi
dari kemarahan dan kekasaran sang Ayah maupun sang Ibu, sang Anak belajar
menganggap bahwa KDRT terhadap Istri maupun PRT dibolehkan. Apalagi kalau sang
Anak memang menjadi korban KDRT, ia akan melakukan kekasaran dan kekerasan fisik
kepada adiknya atau teman peernya di luar keluarga. Pelaku KDRT selalu mencari
korban yang dianggapnya lebih lemah.
Etika Suatu Pengantar: Bab IV. Hubungan Sosial – Halaman 43
Studi psikologi yang lain mempelajari tentang bagaimana matinya rasa keingintahuan
seorang anak. Studi ini juga membuktikan bahwa matinya rasa ingintahu seorang anak
dimulai dari dalam keluarga. Secara alamiah seorang anak terutama batita dan balita
adalah peneliti terbaik. Mereka melihat, mendengar, dan meniru tingkah laku orangtua
dan kakak-kakaknya dengan sangat baik bahkan menimbulkan kelucuan. Apa yang
mereka tidak ketahui mereka tanyakan, sekaligus melatih dan memperbanyak
perbendaharan kata yang mereka miliki. Orangtua atau kakak dianjurkan untuk
menjawab pertanyaan anak/adik balita sesederhana tetapi sejelas mungkin, karena satu
pertanyaan akan disusul oleh banyak pertanyaan yang lain. So far so good, sampai sang
orangtua atau sang kakak menjadi kesal dan berkata kasar agar sang balita berhenti
bertanya. Sang balita menerima kekasaran tersebut dengan keterkejutan dan tidak tahu
apa yang harus dilakukan selanjutnya. Walaupun sang orangtua atau sang kakak
mencoba kembali ramah pada saat itu juga, kerusakan permanen telah terjadi. Sang
balita menjadi takut untuk bertanya. Dianjurkan bila sang orangtua atau sang kakak
menjadi kesal, alihkan perhatian sang balita kepada permainan sehingga ia berhenti
bertanya untuk saat itu. Begitu kekesalan sang orangtua atau sang kakak sudah berlalu,
mereka dapat mengajuk lagi sang balita untuk memulai rentetan pertanyaannya. Yang
perlu diperhatikan, jawaban harus benar walaupun sederhana. Kalau tidak tahu, katakan
tidak tahu dan mengajak sang balita bersam-sama mencari jawabannya di buku.
Kegiatan ini akan mendorong sang balita untuk gemar membaca. Jawaban yang bohong
akan menimbulkan masalah lain karena kebohongan tidak dapat ditutupi.