Anda di halaman 1dari 28

Penatalaksanaan Insomnia pada Usia Lanjut

DISUSUN OLEH:
Caryn Miranda Saptari
406138032

PEMBIMBING:
dr. Noer Saelan, Sp. KJ

Kepaniteraan Klinik
Geriatri
Sasana Tresna Werdha Ria Pembangunan Cibubur
Periode 11 Agustus 2014 – 13 September 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Jakarta

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena atas
berkat dan rahmat-Nya lah sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini tepat
pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan.
Geriatri Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Sasana Tresna Werdha
Ria Pembangunan Cibubur periode 11 Agustus 2014 – 13 September 2014.
Dengan bekal pengetahuan dan pengarahan serta bimbingan yang diperoleh
sebelumnya dan selama menjalani kepaniteraan, saya menyusun referat berjudul
“Penatalaksanaan Insomnia pada Usia Lanjut“. Pada kesempatan ini, saya
mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Noer Saelan, Sp.KJ yang telah
membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam
menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
referat ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran saya terima dengan tangan
terbuka.
Akhir kata , saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta
semua pihak yang ingin mengetahui sedikit banyak mengenai “Penatalaksanaan
Insomnia pada Usia Lanjut”.

Jakarta , 1 September 2014

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang


untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu 1 .
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas
di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur
dan atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya
mengakibatkan gangguan kualitas hidup2. Sebanyak 95% orang Amerika telah
melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup
mereka1. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami
insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek.
Dalam beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut
sebagai gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks
situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini
biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan
stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau
serupa muncul dalam kehidupan pasien3.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya
berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti
kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis
adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat
dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien
dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia3.
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh
mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih,
dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan
fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien
dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.

3
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti
berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan
kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat
dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada
populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya
kinerja pekerjaan dan sosial.
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari
sejumlah gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya
menjadi prediksi sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi
medis atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko
kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa
insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan
pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi
pasien mereka3,4.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Tidur


Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian1,4.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses deaktivasi Sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron
di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai
pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut
sebagai pusat penggugah (arousal center).
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi
secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi
dalam empat stadium, antara lain:
1. Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium
ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran
kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7
siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
2. Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu
tidur. EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle
shaped) yang sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik,

5
lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini,
orang dapat dibangunkan dengan mudah.
3. Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga
2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
4. Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran
EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada
jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur
dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS).

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak
dibagi-bagi dalam stadium seperti dalm tidur NREM1,4.

6
Gambar 1. Perubahan tidur pada usia lanjut dibandingkan dengan orang
muda.

2.2 Definisi Insomnia


Menurut DSM –IV, gangguan tidur dibagi menjadi dyssomnias dan
parasomnias. Dyssomnias adalah gangguan dari kuantitas atau waktu tidur, dibagi
menjadi insomnia dan hypersomnia. Insomnia lebih diartikan pada gangguan
kualitas atau kuantitas tidur, yang bergantung pada keadaan tertentu. Bentuk dari
insomnia termasuk primary insomnia dan gangguan irama sirkardian tidur.
Hypersomnia menunjukan kondisi klinis sebagai rasa ngantuk yang berlebihan.
Parasomnia adalah tingkah laku yang tidak normal saat tidur atau transisi antara
tidur dan terbangun. 9
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal
kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang
berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau
gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases
mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur
yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The
International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur

7
yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala
yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan
pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi
dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

2.3 Klasifikasi Insomnia


a. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia
atau susah tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang
menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan
tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia primer ini.

b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya
kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan
dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari
10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan
rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan
biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau
susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping
dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan
obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini
dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi,


insomnia diklasifikasikan menjadi :
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)

8
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
8
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

2.4 Tanda dan Gejala Insomnia



Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

Sering terbangun pada malam hari

Bangun tidur terlalu awal

Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

Iritabilitas, depresi atau kecemasan

Konsentrasi dan perhatian berkurang

Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

Ketegangan dan sakit kepala

Gejala gastrointestinal 1,3,6

2.5 Etiologi Insomnia

Insomnia diklasifikasikan sebagai gangguan tidur sementara (tidak lebih


dari beberapa malam), akut (kurang dari 3-4 minggu), dan kronis (lebih dari 3-4
minggu). Insomnia sementara atau akut biasanya terjadi pada orang yang tidak
memiliki riwayat gangguan tidur dan sering berhubungan dengan penyebab yang
dapat diidentifikasi. Pencetus insomnia akut termasuk penyakit medis akut,
perubahan pada lingkungan tidur, obat- obatan, jet lag, dan stresor psikososial
akut atau berulang. Insomnia kronis atau jangka- panjang dapat dikaitkan dengan
berbagai dasar kondisi medis, perilaku, dan lingkungan dan berbagai obat-obatan.

Penyebab Insomnia Kronis

1) Gangguan tidur spesifik primer: Gangguan irama sirkadian:

9
1) Sindrom fase tidur lanjut

2) Sindrom fase tidur terlambatApnea tidur (obstruktif, pusat, atau


campuran)Sindrom tungkai resah, Gangguan gerak ekstremitas periodik
(mioklonus malam) REM, gangguan perilaku

2) Penyakit Fisik:Nyeri: artritis, nyeri muskuloskeletal, kondisi menyakitkan


lainnya

 Jantung pembuluh darah: gagal jantung, sesak napas malam hari, angina
malam hari

 Paru: penyakit paru obstruktif kronik, rinitis alergi (sumbatan hidung)

 Gastrointestinal: penyakit refluks gastroesofageal, penyakit tukak


lambung, sembelit, diare.

 Inkontinensia urin.

 inkontinensiaSistem saraf pusat: stroke, penyakit Parkinson, penyakit


Alzheimer, gangguan kejang

 Psikiatri: kecemasan, depresi, psikosis, demensia, delirium

 Pruritus

 Henti haid.

3) Perilaku: tidur siang, penggunaan tempat tidur dini, menggunakan tempat tidur
untuk aktivitas lain (misalnya, membaca dan menonton televisi), makan berat,
kurang olahraga, dan gaya hidup bermalas-malasan.

4) Lingkungan: suara, cahaya dan gangguan lainnya, suhu ekstrim, tempat tidur
tidak nyaman, dan kurangnya pajanan sinar matahari

5) Pengobatan:Stimulan sistem saraf pusat: sympathomimetics, kafein, nikotin,

10
antidepresan, amfetamin, efedrin, fenilpropanolamin, fenitoin.

 Antidepresan: bupropion, penghambat selektif ambilan-kembali serotonin,


venlafaksin

 Obat anti-Parkinsonian agen: levodopa

 Dekongestan: pseudoefedrin

 Bronkodilator: teofilin

 Jantung: penghambat-β, diuretik

 Antihipertensi: klonidin, metildopa, kortikosteroid

 Antihistamin,

 Penghambat H 2: simetidin

 Antikolinergik

 Alkohol

 Obat herbal

 Pencahar

2.6 Faktor Resiko Insomnia


Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi
resiko insomnia meningkat jika terjadi pada :
1. Wanita
Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan
hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan

11
peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot
flashes sering mengganggu tidur.
2. Usia lebih dari 60 tahun
Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat
sejalan dengan usia.
3. Memiliki gangguan kesehatan mental
Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar
dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.
4. Stres
Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia.
5. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja
Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.1,4
2.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:
a. Pola tidur penderita.
b. Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
c. Tingkatan stres psikis.
d. Riwayat medis.
e. Aktivitas fisik
f. Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk


menentukan pola tidur dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak
dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai tujuan yang sama Anda bisa
mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu
permasalahan yang bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah
juga dilakukan untuk menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang
bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan
dan pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi,
gerakan mata, dan gerakan tubuh5.

12
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ6
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk.
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan.
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan.
e. Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak
menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
f. Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan
adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan
yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”)
tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0)
atau gangguan penyesuaian (F43.2)

2.8 Tatalaksana
1. Non Farmakoterapi
Penanganan terapi non farmakologi terdiri dari cognitive and behavioral
therapy.
a. Sleep Hygiene

Sleep hygiene adalah salah satu komponen terapi perilaku untuk


insomnia. Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas tidur pasien. Langkah – langkah ini meliputi mencuci
muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, berolahraga secara rutin
minimal 20 menit sehari, idealnya 4-5 jam sebelum waktu tidur, hindari
memaksa diri untuk tidur, hindari caffeine, alcohol, dan nikotin 6 jam
sebelum tidur, hindari kegiatan lain yang tidak ada kaitannya dengan tidur,
Mempertahankan suhu yang nyaman di kamar tidur, meminimalisir

13
kebisingan semaksimal mungkin, batasi asupan cairan pada malam hari.

b. Terapi Tingkah Laku


Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang
baru dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi
tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap
pertama untuk penderita insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi :
1. Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
2. Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat
biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu
mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu
Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
3. Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur
dengan pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan
pada konseling tatap muka atau dalam grup.
4. Stimulus Control Therapy
Stimulus control therapy terdiri dari beberapa langkah
sederhana yang dapat membantu pasien dengan gejala insomnia,
dengan pergi ke tempat tidur saat merasa mengantuk, hindari
menonton TV, membaca, makan di tempat tidur. tempat tidur hanya
digunakan untuk tidur dan aktivitas seksual. Jika tidak tertidur 30
menit setelah berbaring, maka bangun dan pergi ke ruangan lain
lalu melanjutkan teknik relaksasi. Pengaturan jam alarm untuk
bangun pada waktu tertentu setiap pagi sangatlah penting, hindari
bangun kesiangan, dan hindari tidur siang panjang di siang hari
(Daniel, 2011).
5. Restriksi Tidur.
Membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga
dapat meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini disebut pembatasan
tidur. Hal ini dicapai dengan rata-rata waktu di tempat tidur

14
dihabiskan hanya untuk tidur. Pasien dipaksa untuk bangun pada
waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa
mengantuk. Ini mungkin membantu tidur pasien yang lebih baik
pada malam berikutnya karena kurang tidur dari malam
sebelumnya. Sleep restriction ini didasarkan atas pemikiran
bahwa waktu yang terjaga di tempat tidur adalah kontra produktif
sehingga mendorong siklus insomnia. Metode ini memiliki tujuan
untuk menigkatkan efisiensi tidur sampai setidaknya 85%.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang
dihabiskan di tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam
berikutnya3,5.

c. Gaya hidup dan pengobatan di rumah


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari
libur

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca,
latihan pernapasan atau beribadah

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan
menyulitkan tidur pada malam hari.

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga
30 menit setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum
tidur.

15

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin.

Menghindari makan besar sebelum tidur.

Cek kesehatan secara rutin.

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik1,2,3,5

2. Farmakologi
Prinsip dasar terapi pengobatan insomnia yaitu, jangan menggunakan
obat hipnotik sebagai satu-satunya terapi, pengobatan harus
dikombinasikan dengan terapi non farmakologi, pemberian obat golongan
hipnotik dimulai dengan dosis yang rendah, selanjutnya dinaikan perlahan
–lahan sesuai kebutuhan, khususnya pada orang tua, hindari penggunaan
benzodiazepin jangka panjang, hati –hati penggunaan obat golongan
hipnotik khususnya benzodiazepin pada pasien dengan riwayat
penyalahgunaan atau ketergantungan obat, monitor pasien untuk melihat
apakah ada toleransi obat.
Pemberian edukasi kepada pasien mengenai efek penggunaan obat
hipnotik penting meliputi gejala-gejala efek samping yaitu mual dan
sedatif yang dapat mengakibatkan mengantuk saat mengendarai kendaraan
yang mengakibatkan kecelakaan saat mengemudi atau bekerja, khususnya
golongan obat jangka panjang. Edukasi lain yaitu mengenai penghentian
obat secara perlahan untuk menghindari terjadi rebound insomnia (Liya,
2013).

Terapi pengobatan insomnia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :


Benzodiazepin, Nonbenzodiazepin -hipnotik, dan obat –obat yang lain
yang dapat memberikan efek tertidur.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :


- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)

16
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting). Misalnya pada
gangguan anxietas.
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah
bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu golongan
heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya pada
gangguan depresi.
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres
psikososial.

a. Benzodiazepin
Dalam penggunaanya, efek benzodiazepin yang diinginkan adalah
efek hipnotik-sedatif. Sifat yang diinginkan dari penggunaan hipnotik-
sedatif antara lain adalah perbaikan anxietas, euporia dan kemudahan tidur
sehingga obat ini sebagai pilihan utama untuk insomnia.

Benzodiazepin (BZD) memperbaiki insomnia dengan mengurangi


fase REM, menurunkan latensi tidur, dan menurunkan terbangun malam
hari. Penyerapan BZD tidak terpengaruh oleh penuaan, namun penurunan
massa otot, penurunan protein plasma, dan peningkatan lemak tubuh yang
terlihat pada usia lanjut mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat tak-
terikat dan peningkatan waktu paruh eliminasi.

Jika keadaan ini terjadi terus menerus, maka pola penggunaanya


akan menjadi kompulsif sehingga terjadi ketergantungan fisik. Hampir
semua golongan obat-obatan hipnotik-sedatif dapat menyebabkan
ketergantungan. Efek ketergantungan ini tergantung pada besar dosis yang
digunakan tepat sebelum penghentian penggunaan dan waktu paruh serta
golongan obat yang digunakan. Obat-obatan hipnotik-sedatif dengan

17
waktu paruh lama akan dieliminasi lama untuk mencapai penghentian obat
bertahap sedikit demi sedikit. Sedangkan pada obat dengan waktu paruh
singkat akan dieliminasi dengan cepat sehingga sisa metabolitnya tidak
cukup adekuat untuk memberikan efek hipnotik yang lama. Oleh karena
itu, penggunaan obat dengan waktu paruh singkat sangat bergantung dari
dosis obat yang digunakan tepat sebelum penghentian penggunaan. Gejala
gejala abstinensi dapat terjadi pada penggunaan berbagai golongan obat
hipnotik-sedatif. Gejala –gejala ini dapat berupa lebih sukar tidur
dibanding sebelum penggunaan obat-obatan hipnotik-sedatif (Liya, 2013).

18
b. Nonbenzodiazepin Hipnotik
Nonbenzodiazepin hipnotik adalah sebuah alternatif yang baik dari
penggunaan benzodiazepin tradisional, selain itu obat ini menawarkan
efikasi yang sebanding serta rendahnya insiden amnesia, tidur sepanjang
hari, depresi respirasi , ortostatik hipotensi dan terjatuh pada lansia. Obat
golongan non-benzodiazepin juga efektif untuk terapi jangka pendek
insomnia. Obat-obatan ini relative memiliki waktu paruh yang singkat
sehingga lebih kecil potensinya untuk menimbulkan rasa mengantuk pada
siang hari; selain itu penampilan psikomotor dan daya ingat nampaknya

19
lebih tidak terganggu dan umumnya lebih sedikit mengganggu arsitektur
tidur normal dibandingkan obat golongan benzodiazepine (Liya, 2013).
c. Sleep-promoting Agents (Melatonin)
Melatonin adalah hormon yang dibentuk di glandula pineal, yaitu
sebuah kelenjar yang hanya sebesar kacang tanah yang terletak di antara
kedua sisi otak. Hormon ini mempunyai fungsi yang sangat khas karena
produksinya dipicu oleh gelap dan hening tetapi dapat dihambat oleh sinar
yang terang. Hormon ini sedang menjadi fokus para peneliti saat ini.
Sebenarnya belum ada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan
langsung antara peningkatan melatonin dengan lelapnya tidur seseorang.
Berdasarkan teori yang ada, hormon melatonin ini meningkat pada saat
seseorang tertidur, terutama pada saat suasana sekitarnya gelap, sesuai
dengan sebutan hormon ini, “hormone of the darkness.” Adanya hormon
ini dikatakan dapat membantu meningkatkan kualitas tidur seseorang. Dari
beberapa penelitian klinik menunjukkan bahwa penggunaan melatonin
untuk insomnia ternyata sangat signifikan dalam menurunkan waktu yang
dibutuhkan seseorang untuk jatuh tertidur, memperpanjang durasi tidur
termasuk kualitas tidurnya, sehingga seseorang tidak mengantuk lagi saat
beraktifitas di pagihari. Dosis melatonin yang direkomendasikan ialah 3
mg dan dapat ditingkatkan hingga 12 –15 mg. Efek samping yang
dilaporkan ialah sakit kepala, pusing,lemah, iritabel. Megadosis (300mg
perhari) dapat menghampat fungsi ovarium. Kontraindikasi pada Wanita
hamil dan menyusui (Liya, 2013).
d. Antihistamin
Three–diphenhydramine hydrochloride, dypenhydramine citrate dan
doxylamine yang sering digunakan untuk membantu tidur. Efek samping
penggunaanya adalah pusing, lemah, mual (Liya, 2013).
e. Antidepresan
Dosis rendah pada antidepresan yg memiliki efek sedasi seperti
trazodone (desyrel), amitriptyline (elavil), doxepine (sinequen, adapin) dan
mirtazapin ( remeron) sering diresepkan pada pasien bukan depresi untuk
pengobatan insomnia, antidepresan sering diberikan untuk insomnia
karena pemberiannya tidak terjadwal, relatif tidak mahal, dan memiliki

20
sedikit potensi untuk disalahgunakan. Namun demikian harus digunakan
secara konservatif untuk insomnia karena keberhasilannya terbatas dan
berpotensi menghasilkan efek samping yang bermakna (Liya, 2013).

Terapi untuk gangguan pola tidur pada usia lanjut sebaiknya dengan
menggunakan dosis obat seminimal mungkin. Setiap intervensi obat dapat
menimbulkan potensi bahaya pada orang tua dengan lanjut usia. Pemeliharaan
terhadap kondisi fungsional pasien merupakan tujuan dari terapi. Manipulasi
lingkungan dan penyebab eksternal yang potensial merupakan pendekatan yang
terbaik. Berbagai tindakan non-spesifik yang disebut higiene tidur dapat
memperbaiki pola tidur (Kapplan et al., 2007).

Pengaturan Dosis
- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi
tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat).
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi.
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut.

Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak
lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.

21
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-
insomnia (waktu paruh) :
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam). Gejala rebound
lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik.
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan.
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang
over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”.

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat


terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”.

Interaksi obat
- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan
potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”.
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus
- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)

22
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan
melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)1,3,7.

2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang
teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

23
Komplikasi insomnia meliputi :
 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi. Lebih buruk jika gangguan ini disertai
skizophrenia.

24
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam
mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan

25
fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan
berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan
kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola
tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan
stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.

Mengingat prevalensi insomnia pada populasi usia lanjut dan ketersediaan


pengobatan yang tepat, maka sangat penting untuk menapis individu usia lanjut
yang memiliki gangguan tidur. Pasien harus diberi pengetahuan tentang
perubahan normal terkait siklus tidur, dan memberikan pengertian masalah tidur
bukan merupakan bagian dari penuaan normal. Gangguan tidur mungkin memiliki

dampak negatif pada kesehatan dan kualitas hidup yang terkait kesehatan.

Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non


farmakologi, bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang
biasanya digunakan untuk mengatasi insomnia dapat berupa golongan
benzodiazepin (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam), dan non benzodiazepine
(Chloral-hydrate, Phenobarbital). Tatalaksana insomnia secara non farmakologis
dapat berupa terapi tingkah laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di
rumah seperti mengatur jadwal tidur.

3.2. Saran
Karena kurangnya data mengenai epidemiologi insomnia di Indonesia,
maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran insomnia di
Indonesia.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International
Classification of Sleep Disorders. American Academy of Sleep Medicine

27
Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2.
Westchester, Ill: American Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.
3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.
(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses
tanggal 28 April 2013)
4. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
5. Insomnia.
(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alter
native-medicine Diakses tanggal 28 April 2013)
6. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
7. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
8. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry.
London: Oxford University Press
9. Hazzard, William R, et. Al. Principle of geriatric medicine and
gerontology. Second edition. McGrow Hill Inc. USA, 1990.
10. Daniel J. 2008. Chronic insomnia. Am J Psychiatry June 2008 165: 678 -
685
11. Liya S. 2013. Penanganan Insomnia. E-journal Medika Udayana Vol 2 No.
5

28

Anda mungkin juga menyukai