Anda di halaman 1dari 7

PATOFISIOLOGI DAN GAMBARAN KLINIS

Pada manusia, infeksi V.cholerae O1 terjadi karena masuknya kuman melalui air atau makanan
yang terkontaminasi ke saluran cerna. Tergantung pada jumlah inokulum dan kerentanan
individu, masa inkubasi infeksi V.cholerae O1 berkisar antara 12 sampai 72 jam. Dibandingkan
dengan jumlah kuman yang diperlukan untuk terjadinya infeksi pada jenis enterik lain, jumlah
inokulum untuk terjadinya infeksi V.cholerae O1 relatif lebih besar. Ini mungkin disebabkan
karena V.cholerae O1 sangat tidak stabil dalam suasana asam sehingga sebagian besar
V.cholerae O1 yang masuk ke saluran cerna (ingested) terbunuh pada lingkungan asam di
lambung. Makanan mempunyai efek penyangga (buffering) seperti yang terlihat pada pemberian
sodium bikarbonat. Masuknya 106 organisme bersamaan dengan makanan seperti ikan dan nasi
dapat meningkatkan attack rate (100%) seperti bila inokula diberikan bersamaan dengan larutan
penyangga (buffer). Usus halus adalah tempat primer infeksi V.cholerae O1 dan merupakan asal
terjadinya diare sekretorik. Derajat kehilangan cairan paling tinggi pada jejunum. Kehilangan
cairan di bagian usus ini mencapai 11 ml/cm/jam

Vibrio cholerae O1 berkolonisasi di epitel intestinal tetapi tidak bersifat invasif atau
menyebabkan perubahan struktural dari epitel. Efek utama dari infeksi V.cholerae O1 adalah
meningkatnya secara aktif sekresi klorida dan bikarbonat, dan menurunnya absorpsi sodium
klorida. Kedua peristiwa ini terjadi melalui pekerjaan toksin kolera, yaitu (i) subunit B, yang
mengikatkan diri pada reseptor di permukaan mukosa epitel intestinal yang mengandung
glikolipid GM1 gangliosida, dan (ii) subunit A yang secara enzimatis mengaktifkan adenilat
siklase dan meningkatkan konsentrasi intraseluler AMP siklik (cAMP). Selanjutnya cAMP
bekerja sebagai pembawa perintah intraseluler kedua (intracellular second messenger) untuk
menghambat absorpsi sodium klorida yang terjadi secara aktif, dan sebaliknya meningkatkan
sekresi klorida dan bikarbonat.

Mekanisme lain selain peningkatan konsentrasi intraseluler dari cAMP yang juga dianggap
berperan di dalam sekresi cairan intestinal pada kolera adalah meningkatnya kadar prostaglandin.
Prostaglandin meningkatkan sekresi cairan intestinal secara in vitro dan meningkatnya
prostaglandin dapat dijumpai di dalam tinja penderita kolera. Gambaran klinis kolera yang paling
menyolok adalah produksi tinja cair yang jumlahnya besar dan terjadinya dehidrasi sebagai
akibat dari kehilangan cairan melalui tinja yang tidak diganti. Masa inkubasi kolera dapat
berkisar antara beberapa jam sampai beberapa hari tergantung kepada jumlah inokulum. Awal
terjadinya gejala penyakit dapat mendadak, dengan diare air yang hebat; atau mungkin didahului
oleh perasaan tidak enak perut, mual, dan diare ringan. Mula-mula tinja masih mengandung masa
dan berwarna kuning cokelat, tetapi dengan berkembangnya penyakit, tinja akan menjadi lebih
encer dan berwarna abu-abu pucat, dan selanjutnya akan menyerupai air cucian beras. Tinja
kolera ini tidak mengandung sel-sel radang atau eritrosit dan hampir tidak ada protein. Tidak
adanya sel-sel leukosit, eritrosit, dan protein ini mencerminkan penyakit yang sifatnya
noninflamatorik dan noninvasif. Diare sering diikuti muntah, terutama pada awal penyakit. Pada
beberapa penderita, muntah dapat sangat hebat. Penyebab dari muntah belum diketahui dengan
pasti, tetapi karena muntah biasanya berkurang dengan pemberian cairan dan elektrolit yang
adekuat, beberapa peneliti menduga bahwa muntah ini disebabkan karena adanya gangguan
elektrolit, khususnya gangguan keseimbangan asam-basa. Dehidrasi berat memberikan gambaran
yang khas dan menonjol sehingga kolera merupakan sedikit dari penyakitpenyakit pada orang
dewasa yang dapat didiagnosis secara tepat secara klinis. Nadi perifer tidak teraba, dan tekanan
darah tidak dapat diukur. Turgor kulit menurun sehingga memberi kesan kulit seperti adonan
kue; mata cekung dan kaki tangan keriput seperti terendam lama di air (washerwoman’s hands).
Suara penderita serak, penderita menjadi gelisah dan merasa sangat haus.

Oleh karena V.cholerae O1 tidak bersifat invasif terhadap mukosa intestinal, dan tidak
menyebabkan terjadinya repons inflamatorik pada penderita-penderita maka suhu badan
biasanya normal atau subnormal; demam derajat rendah mungkin terdapat pada sekitar 20%
penderita, terutama pada anak-anak, yang mungkin disebabkan karena adanya vasokonstriksi
perifer.

PENGOBATAN

Pemberian cairan dan elektrolit merupakan hal yang paling penting di dalam pengobatan
penderita kolera. Pemberian cairan secara dini dapat menghindarkan terjadinya dehidrasi,
sedangkan bilamana diberikan setelah terjadi dehidrasi maka upaya ini penting untuk
memulihkan keseimbangan cairan dan menghindarkan kematian. Terapi cairan dibagi dua fase:
(i) fase rehidrasi, pada saat di mana air dan elektrolit yang hilang karena dehidrasi diganti, dan
(ii) fase maintenance, di mana cairan tinja yang keluar diganti. Terapi cairan intravena atau
intravenous fluid therapy (IVFD) merupakan pengobatan terpilih untuk rehidrasi penderita
dehidrasi berat dan untuk penggantian cairan pada penderita dengan muntah yang persisten.
Sedangkan cairan per oral diberikan pada penderita dengan dehidrasi ringan/sedang yang tidak
mengalami muntah hebat dan sebagai maintenance hidrasi setelah keadaan dehidrasi terkoreksi.

Ada beberapa larutan yang dapat digunakan untuk terapi cairan intravena, larutan yang paling
ideal adalah yang memiliki komposisi elektrolit yang serupa dengan cairan tinja kolera.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan larutan Ringer’s lactate sebagai cairan
yang terbaik untuk IVFD. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi dengan pemberian IVFD,
larutan rehidrasi oral (oral rehydration solution/ORS) dapat diberikan kepada penderita untuk
mempertahankan (maintenance) hidrasi.

Ada banyak pilihan antibiotika untuk pengobatan infeksi V.cholerae O1. Tetrasiklin adalah
antibiotika pertama yang secara sistematis dikaji penggunaannya dalam pengobatan kolera dan
hingga kini masih merupakan antibiotika yang paling umum digunakan untuk kolera. Antibiotika
lain yang juga efektif untuk kolera adalah eritromisin, furazolidon, trimetoprimsulfametoksazol
dan golongan quinolone (norfloksasin). Dalam dua dekade terakhir, pengobatan antibiotika
terhadap kolera menjadi lebih kompleks karena adanya galur-galur V.cholerae O1 yang resisten
terhadap banyak antibiotika (multiresisten), seperti yang dilaporkan di India dan Afrika. Untuk
ini dapat dipakai norfloksasin atau jenis quinolon yang lain yang kesemuanya efektif untuk
kolera.

Oleh karena adanya multiresistensi dari V.cholerae O1, maka di daerah-daerah di mana kolera
endemik, pola kepekaan antibiotika dari kuman ini perlu diawasi dari waktu ke waktu.

PENCEGAHAN

Dua jenis vaksin secara oral tersedia saat ini yaitu an attenuated live vaccine berdasarkan
genetically modified V.cholerae galur O1 (Orochol) yang diberikan dalam dosis tunggal dan sel
dari galur O1 V.cholerae yang sudah dimatikan dengan purified cholera toxin (Dukoral) yang
memberikan pencegahan yang sangat kuat diberikan dalam 2 dosis 1-6 minggu secara terpisah.
Orochol tidak dianjurkan bagi wisatawan untuk penggunaan secara rutin bila berkunjung ke
daerah endemic kolera, kecuali mereka yang mempunyai risiko tinggi seperti petugas kesehatan
yang bertugas di daerah endemik. Wisatawan dianjurkan makan dan minum yang bersih. Dosis
ulang dibutuhkan karena imunitas tidak berlangsung lama. Vaksin Dokoral saat ini sedang
dicoba di Mozambique untuk menurunkan insidens pada populasi yang berisiko tinggi. Vaksin
baru sedang dicoba berdasarkan pemahaman molekuler dari patognenitas kolera.

PENUTUP

Pada awal abad ke-21 ini penyakit kolera tetap merupakan penyakit yang sifatnya epidemic dan
endemik untuk banyak negara di dunia. Penelitian telah memberikan banyak informasi mengenai
patogenesis dan genetik V.cholerae. Juga melalui penelitian telah diketahui cara-cara pengobatan
yang sederhana dan efektif terhadap penyakit kolera. Namun demikian, agaknya untuk waktu
yang lama kolera tidak akan mungkin dapat dilenyapkan. Jenis-jenis baru Vibrio akan selalu
timbul seperti misalnya kejadian dengan munculnya V.cholerae O139 yang baru-baru ini
menimbulkan wabah besar di seluruh dunia. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ekologi
kuman ini sangat perlu dan akan banyak membantu di dalam upaya mengatasi dan membatasi
penyebaran dari infeksi V.cholerae.

ETIOLOGI :

Cholera pada manusia disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Bakteri ini merupakan salah satu
spesies dari genus Vibrio yang merupakan famili Vibrionaceae. Genus Vibrio terdiri lebih dari
30 spesies yang biasanya ditemukan pada lingkungan perairan. Vibrio yang pathogen terhadap
manusia adalah Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio vulnificus. Hampir semua
genus Vibrio menghasilkan enzim Oxydase dan memberikan hasil uji Indol yang positif. Genus
Vibrio terdiri dari non-halophilic yang tidak memerlukan garam dalam pertumbuhannya,
diantaranya adalah Vibrio cholerae dan halophilic yang memerlukan garam dalam
pertumbuhannya , diantaranya adalah Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio vulnificus.

Vibrio cholerae merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek dengan ukuran sekitar
0,5 μm x 1,5-3 μm. Bakteri ini tampak berbentuk seperti tanda koma pada awal isolasi, oleh
karena itu Robert Koch sempat memberi nama bakteri tersebut sebagai Komabacillus.

Pada biakan tua, bakteri ini akan tampak berbentuk batang lurus mirip dengan bakteri enterik
Gram negatif . Vibrio cholera bersifat motil, aktif bergerak dengan menggunakan flagella
tunggal yang terletak di salah satu ujungnya.
Vibrio cholerae merupakan bakteri fakultatif anaerob yang mempunyai suhu optimum
pertumbuhan sekitar 18°C - 37°C. Sistim metabolismenya adalah respiratif maupun fermentatif.
Bakteri ini tumbuh baik pada media sederhana yang mengandung sumber karbohidrat , bahan-
bahan anorganik nitrogen, sulfur, phosphor dan berbagai macam mineral. Tingkat keasaman /pH
optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,0 tetapi bakteri ini toleran pada pH alkalis sampai 9,0 .
Olleh karena itu pH alkalis ini dijadikan dasar untuk membuat media isolasi Vibrio cholerae.
Pada tingkat keasaman /pH acid ≤6,0 bakteri ini akan mati. Sebagai media seletif untuk bakteri
ini adalah TTGA/Tellurite Taurocholate Gelatin Agar atau TCBS/Thiosulfate Citrate Bile
Sucrose Agar. Vibrio cholerae umumnya memfermentasi sucrosa dan manosa tetapi tidak
memfermentasi arabinosa.

Antigen penting untuk serologic typing terhadap Vibrio cholerae adalah antigen O atau Somatic
antigen. Hingga saat ini tercatat lebih dari 130 serogrup O. Serogrup O1 terdiri dari biotype el tor
dan cholerae yang menyebabkan classic epidemic cholerae. Biotype el tor berbeda dengan
biotype cholera/classic karena kemampuannya menghasilkan hemolisin dan kepekaannya
terhadap polymixin B, el tor menghasilkan hemolisin dan resisten terhadap polymixin B
sedanghan cholerae/classic tidak menghasilkan hemolisin serta sensitif terhadap polymixin B.
Kedua biotype tersebut secara serologis terdiri dari serotype Ogawa, Inaba dan Hikojima.
Serogrup non O1 menyebabkan diare yang lebih ringan pada manusia. Semua strain Vibrio
cholerae mempunyai antigen H/flagellar yang sama. Antigen O dari Vibrio cholera merupakan
bagian dari LPS/lipopolysacharide , yaitu komponen dari dinding selnya.

DIAGNOSA LABORATORIS :

Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi Vibrio cholerae dari serogrup O1 atau O139 dari feces
penderita. Bila fasilitas laboratorium tidak tersedia, medium transport misalnya Cary-Blair dapat
digunakan untuk membawa atau menyimpan specimen yang berupa rectal swab/ apus dubur
penderita. Diagnosa klinis presumptif secara cepat dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis memakai dark-field microscope untuk melihat gerakan dari bakteri yang khas
seperti bintang jatuh /”shooting stars” .Untuk keperluan epidemiologis diagnosa presumptive
dibuat berdasarkan adanya kenaikan titer antitoksin dan antibody spesifik yang bermakna. Di
daerah non-endemis, bakteri yang diisolasi dari kasus yang dicurigai sebaiknya dikonfirmasikan
dengan pemeriksaan biokimiawi dan pemeriksaan serologis yang tepat serta dilakukan uji
kemampuannya untuk menghasilkan choleragen. Pada saat terjadi wabah, sekali telah dilakukan
konfirmasi laboratorium dan uji sensitivitas antibiotika, maka terhadap semua kasus yang lain
tidak perlu lagi dilakukan uji laboratorium.

Mula – mula specimen yang berupa feces penderita diinokulasi pada APW / Alkaline Pepton
Water, pada media ini nantinya Vibrio cholerae akan tumbuh secara cepat dan terakumulasi di
bagian permukaan media setelah diinkubasi selama 3-6 jam. Selanjutnya inokulum diinokulasi
pada media TCBS, pada medium ini Vibrio cholera akan tumbuh sebagai koloni yang berwarna
kuning dan memfermentasi sucrose. Selanjutnya dilakukan uji oxydase dan aglutinasi.

PENGOBATAN :

Pada dasarnya ada 3 macam cara pengobatan terhadap penderita Cholera yaitu terapi rehidrasi
yang agresif, pemberian antibiotika yang tepat serta pengobatan untuk komplikasi bila ada.

Rehidrasi dapat dilakukan per oral maupun intra vena tergantung kebutuhan dan hal ini ditujukan
untuk memperbaiki kekurangan cairan dan elektrolit pada penderita. Untuk memperbaiki
dehidrasi, acidosis dan hipokalemia pada penderita dengan dehidrasi ringan hingga sedang cukup
diberikan larutan rehidrasi secara per oral/oralit yang mengandung glukosa 20g/l atau sukrosa
40g/l atau air tajin 50g/l, NaCl 3½ g/l, KCl 1½ g/l, dan trisodium sitrat dihidrat 2.9 g/l atau
NaHCO3 2½g/l. Oralit formula baru yang disahkan WHO Expert Committee pada Juni 2002
mengandung glukosa 75mmol/l, NaCl 75 mmol/l, KCL 20 mmol/l, trisodium sitrat dihidrat
10mmol/l dengan total osmolaritas 245mOsm/l. Cairan ini diberikan lebih dari 4-6 jam agar
jumlah cairan yang diberikan dapat mengganti cairan yang diperkirakan hilang yaitu 5% dari
Berat Badan untuk dehidrasi ringan dan 7% Berat Badan untuk dehidrasi sedang. Pada penderita
dengan kehilangan cairan yang berlangsung terus dapat diberikan cairan rehidrasi per oral selama
lebih dari 4 jam sebanyak 1½ kali dari volume cairan diare yang hilang.

Penderita yang mengalami shock sebaiknya diberikan rehidrasi cepat secara intravena dengan
larutan multielektrolit seimbang yang mengandung kira-kira 130mEq/l Na+, 25-48 mEq/l
bikarbonat, asetat atau ion laktat, dan 10-15mEq/l K+. Larutan yang bermanfaat antara lain
Ringer’s lactate. Larutan pengobatan diare dari WHO yang terdiri dari 4g NaCl, 1g KCl, 6½g
Natrium Asetat dan 8g glukosa/l, atau larutan Dacca yang terdiri dari 5g NaCl, 4g NaHCO3 , dan
1g KCl/l dapat dibuat di tempat pada keadaan darurat.
Antibiotika yang tepat dapat memperpendek lamanya diare, mengurangi volume larutan rehidrasi
dan memperpendek ekskresi bakteri melalui feces. Antibiotika Tetrasiklin 500 mg 4 x per hari
pada usia dewasa atau 12,5 mg /kg Berat Badan 4x per hari selama 3 hari . Dengan adanya strain
yang resisten maka perlu informasi tentang sensitivitas dari strain local terhadap beberapa
antibitiotika terlebih dahulu. Sebagai obat alternatif dapat diberikan Trimethoprim 320mg dan
1600 sulfamethoxazol 2 x per hari untuk dewasa atau Trimethoprim 8mg/kg Berat Badan dan
40mg/kg Berat Badan sehari dibagi dalam 2 dosis untuk anak anak selama 3 hari. Selain itu
dapat dipakai Furazolidon, erytromisin atau siprofloksasin.

PENCEGAHAN:

Secara primer pencegahan terhadap cholera adalah dengan cara perbaikan hygiene pribadi dan
masyarakat yang ditunjang dengan penyediaan sistim pembuangan kotoran / feces yang
memenuhi syarat serta penyediaan air bersih yang memadai. Penderita harus secepatnya
mendapatkan pengobatan dan benda – benda yang tercemar muntahan atau tinja penderita harus
didisinfeksi.

Pemberian imunisasi aktif dengan vaksin mati whole cell per enteral kurang bermanfaat untuk
penanggulangan wabah ataupun kontak, karena vaksin ini hanya memberikan perlindungan
parsial sekitar 50% dalam jangka waktu yang pendek sekitar 3-6 bulan di daerah endemis tinggi
dan tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik, oleh karena itu pemberian
imunisasi ini tidak direkomendasikan. Dua macam vaksin oral yaitu CVD103-HgR atau SSV1
sedang dipertimbangkan untuk digunakan dalam upaya pemberantasan cholera sebagai upaya
tambahan terutama dalam situasi darurat seperti pada bencana alam di kalangan pengungsi. Uji
lapangan berskala besar telah dilakukan di Mozambique pada tahun 2003-2004.

Anda mungkin juga menyukai