Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Persepsi Sensori


Persepsi adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti
penginderaan/sensasi : proses penerimaan rangsang. Jadi gangguan persepsi adalah
ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber internal
seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan stimulus eksternal. Dengan maksud
bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam membandingkan dan mengenal mana yang
merupakan respon dari luar dirinya.
Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara
rangsangan yang timbul dari sumber internal (pikiran, perasaan) dan stimulus eksternal
(Dermawan dan Rusdi, 2013).
Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara fantasi dan
kenyataaan. Mereka dalap menggunakan proses pikir yang logis, membedakan dengan
pengalaman dan dapat memvalidasikan serta mengevaluasinya secara akurat. Jika ego diliputi
rasa kecemasan yang berat maka kemampuan untuk menilai realitas dapat terganggu. Persepsi
mengacu pada respon reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal. Misalnya sensoris terhadap
rangsang, pengenalan dan pengertian akan perasaan seperti : ucapan orang, objek atau pemikiran.
Persepsi melibatkan kognitif dan pengertian emosional akan objek yang dirasakan. Gangguan
persepsi dapat terjadi pada proses sensoris dari pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan
dan pengecapan. Gangguan ini dapat bersifat ringan, berat, sementara atau lama. (Harber, Judith,
1987, hal 725)

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sensori


a. Usia
Bayi tidak bisa membedakan stimulus sensori karena jalur sarafnya belum matang. Lansia
mengalami perubahan degeneratif pada organ sensori dan fungsi persyarafan sehingga
mengalami penurunan ketajaman & lapang pandang, penurunan pendengaran, perubahan
gustatori dan olfaktori, dll.
b. Medikasi
Beberapa antibiotika (mis: streptomisin, gentamisin) bersifat ototoksik dan secara
permanen dapat merusak syaraf pendengaran. Kloramfenikol dapat mengiritasi syaraf
optic. Obat analgesik, narkotik, sedatif dan antidepresan dapat mengubah persepsi stimulus
c. Lingkungan
Stimulus lingkungan yang terlalu berlebih (ramai/bising) dapat menimbulkan beban sensori
yang berlebih, yang biasanya ditandai dengan kebingungan, disorientasi dan tidak mampu
membuat keputusan. Stimulus lingkungan yang terbatas (mis: isolasi) dapatmengarah pada
deprivasi sensori. Kualitas lingkungan yang buruk juga dapat memperparah keruakan
sensori. Mis: penerangan yang buruk, lorong yang sempit.
d. Tingkat kenyamanan
Nyeri dan kelelahan mengubah cara seseorang berpersepsi dan bereaksi terhadap stimulus
e. Penyakit yang diderita
Katarak dapat menyebabkan penurunan penglihata. Infeksi pada telinga dapat
menyebabkan gangguan pendengaran, dll.
f. Merokok
Penggunaan tembakau yang kronik dapat menyebabkan atrofi ujung2 saraf pengecap
sehingga mengurangi persepsi rasa
g. Tindakan medis
Intubasi endotrakea menyebabkan kehilangan kemampuan bebicara sementara.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi


Faktor faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Gangguan Otak seperti Kerusakan otak, keracunan, obat halusinogenik
b. Gangguan jiwa dimana keadaan emosi tertentu dapat mengakibatkan ilusi dan psikosa
dapat menyebabkan halusinasi
c. Pengaruh lingkungan sosiobudaya, mempengaruhi persepsi karena penilaian
sosiobudaya yang berbeda
2.4 Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran terjadi karena peningkatan ambang dengar dari batas nilai
normal (0–25 dBA) pada salah satu telinga ataupun keduanya (Soepardi, dkk., 2012).
Gangguan pedengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk
mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian gangguan pendengaran
berdasarkan tingkatan gangguan pendengaran yaitu mulai dari pendengaran ringan (20-30
dB), gangguan pendengaran sedang (30-39 dB) dan gangguan pendengaran berat (>40 dB).
(Djaafar dkk, 2007)
a. Jenis-jenis gangguan pendengaran
Terdapat tiga jenis gangguan pendengaran (Soepardi, dkk., 2012) yakni:
1) Tuli konduktif
Pada gangguan jenis tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara yang
disebabkan oleh kelainan/penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Gangguan
pendengaran konduktif biasanya pada tingkat ringan atau menengah dan bersifat
sementara. Gangguan pendengaran konduktif dapat diatasi dengan alat bantu
dengar atau implan telinga tengah.
2) Tuli sensorineural
Gangguan jenis tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan sel rambut pada organ
korti yang terjadi akibat suara yang keras, infeksi virus, meningitis, dan proses
menua. Gangguan pendengaran sensorineural biasanya pada tingkat ringan hingga
berat dan bersifat permanen. Pada tingkat ringan dapat diatasi dengan alat bantu
dengar atau implan telinga tengah. Sedangkan implan rumah siput seringkali
merupakan solusi atas gangguan pendengaran berat atau parah.
3) Tuli campuran
Tuli campuran merupakan kombinasi dari tuli konduktif serta tuli sensorineural dan
kedua gangguan tersebut bisa terjadi bersama-sama seperti contoh radang telinga
tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang
berlainan, misalnya tumor nervus VIII (sensorineural) dengan radang telinga tengah
(konduktif).
b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Daya Dengar
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi daya dengar adalah sebagai berikut:
1) Kebisingan
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (1996), kebisingan adalah bunyi yang
tidak diinginkan dari suatu kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan manusia khususnya gangguan pendengaran dan
kenyamanan lingkungan. Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh kebisingan
berkaitan erat dengan masa kerja dan intensitas kerja. Jika dilihat berdasarkan masa
kerja, pekerja yang pernah/sedang bekerja di lingkungan bising selama lima tahun
atau lebih maka berisiko terkena penyakit gangguan pendengaran dan jika dilihat
berdasarkan intensitas kerja, pekerja akan berisiko terkena penyakit gangguan
pendengaran bila bekerja lebih dari 8 jam/hari dengan intensitas bising yang
melebihi 85 dBA (Arifiani N , 2004)
2) Umur
Gangguan pendengaran akibat bertambahnya umur disebabkan oleh perubahan
patologi pada organ auditori Perubahan patologi yang terjadi antara lain pada
telinga luar dengan perubahan yang paling jelas berupa berkurangnya elastisitas
jaringan daun telinga dan liang telinga. Perubahan lainnya adalah adanya
penyusutan jaringan lemak yang memiliki fungsi sebagai bantalan pada telinga.
Penyusutan jaringan lemak tersebut menyebabkan kulit daun telinga dan liang
telinga menjadi kering dan mudah mengalami trauma. Pada bagian membran
timpani, tulang pendengaran serta otot-otot di bagian telinga tengah juga
mengalami perubahan yakni adanya penipisan dan kekakuan pada membran
timpani. Persendian yang berada di antara tulang-tulang pendengaran juga
mengalami artritis sendi, hal tersebut terjadi karena adanya degenerasi serabut otot
pendengaran.
Bagian yang paling rentan mengalami perubahan adalah koklea. Proses
degenerasi terjadi pada bagian sel rambut luar di bagian basal koklea. Koklea atau
yang sering disebut dengan rumah siput berfungsi untuk mengubah bunyi dari
getaran menjadi sinyal. Sinyal tersebut akan dikirimkan ke otak melalui saraf
auditori. Proses tersebut dilakukan oleh sel rambut yang berada di dalam koklea.
Jika rambut-rambut tersebut tidak berfungsi dengan baik maka seseorang akan
mengalami ketulian (Adams, dkk., 1997).
3) Penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik
Mengkonsumsi obat-obatan yang memiliki sifat ototoksik seperti antibiotic
aminoglikosid selama 14 hari baik diminum ataupun melalui suntikan akan dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran (Kusumawati, 2012). Ototoksik
adalah gangguan pendengaran yang terjadi akibat efek samping dari konsumsi
obatobatan. Beratnya gangguan pendengaran yang terjadi sebanding dengan lama
pemakaian, jenis obat dan jumlah obat yang diberikan serta kondisi ginjal.
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh penggunaan obat yang bersifat
ototoksik tidak dapat diobati maka sangat penting dilakukan proses pencegahan
ataupun penanggulangan seperti menghentikan konsumsi obat yang bersifat
ototoksik dan melakukan rehabilitasi dengan menggunakan alat bantu dengar.
4) Riwayat infeksi telinga
Otitis media (OA) merupakan peradangan telinga tengah yang disebabkan oleh
virus ataupun bakteri. Otitis media merupakan suatu infeksi yang memicu
terjadinya peradangan dan penumpukan cairan pada telingag tengah. Bakteri yang
dapat menyebabkan otitis media adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza dan Moraxella cattarhalis. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan
otitis media adalah Respiratory syncytial virus, Influenza virus, Rhinovirus dan
Adenovirus. Telinga yang terinfeksi bakteri atau virus dapat memicu timbulnya
tinnitus. Tinnitus adalah suara yang berdengung di satu atau pada kedua telinga.
Tinnitus dapat timbul pada telinga bagian luar, telinga bagian tengah, atau telinga
bagian dalam.
5) kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab terkena penyakit
gangguan pendengaran Kandungan pada rokok yang menjadi penyebab terjadinya
gangguan pendengaran adalah zat nikotin. Zat nikotin merupakan zat yang bersifat
ototoksik. Karbonmonoksida yang terkandung dalam rokok juga mempunyai
dampak menimbulkan penyakit gangguan pendengaran. Kandungan
karbonmonoksida pada rokok menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-
hemoglobin (ikatan antara CO dan hemogoblin), dengan terbentuknya ikatan
tersebut maka menyebabkan hemoglobin tidak efisien dalam mengikat oksigen.
Suplai oksigen ke organ korti di koklea menjadi terganggu dan menimbulkan efek
iskemia.

2.5 Gangguan Pengelihatan


Kerusakan penglihatan merupakan konsekuensi dari kehilangan penglihatan fungsional.
Gangguan mata yang dapat menyebabkan kerusakan penglihatan dapat mencakup
degenerasi retina, albinisme, katarak, glaukoma, masalah otot yang mengakibatkan
gangguan visual, gangguan kornea, retinopati diabetik, kelainan bawaan, kelainan refraksi
dan infeksi (NICHCY, 2004).
Penurunan penglihatan atau low vision adalah penurunan fungsi penglihatan yang tidak
dapat dikoreksi dengan kacamata standar atau lensa kontak dan mengurangi kemampuan
seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu atau semua tugas. (Medicaldictionary, 2008).
a. Definisi Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi adalah suatu kondisi ketika sinar datang sejajar pada sumbu mata
dalam keadaan tidak berakomodasi yang seharusnya direfraksikan oleh mata tepat pada
retina sehingga tajam penglihatan maksimum tidak direfraksikan oleh mata tepat pada
retina baik itu di depan, di belakang maupun tidak dibiaskan pada satu titik. Kelainan ini
merupakan bentuk kelainan visual yang paling sering dan dapat terjadi akibat kelainan
pada lensa ataupun bentuk bola mata (Istiqomah, 2004).
b. Klasifikasi kelainan refraksi
1) Emetropi
Emetropi berasal dari kata Yunani emetros yang berarti ukuran normal atau dalam
keseimbangan wajar sedang arti opsis adalah penglihatan. Mata dengan sifat
emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar mata dan
berfungsi normal.
Pada mata ini daya bias mata adalah normal, dimana sinar jauh difokuskan
sempurna di daerah macula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar tidak
difokuskan pada macula lutea disebut ametropia.
2) Presbiopia
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibatKelemahan otot
akomodasi dan Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat
sklerosis lensa. Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari
40 tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair
dan sering terasa pedas.
Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat yang
berkekuatan tertentu, biasanya :
+ 1.0 D untuk usia 40 tahun
+ 1.5 D untuk usia 45 tahun
+ 2.0 D untuk usia 50 tahun
+ 2.5 D untuk usia 55 tahun
+ 3.0 D untuk usia 60 tahun
Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3.0 dioptri adalah lensa positif
terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak melakukan
akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena benda yang dibaca terletak pada
titik api lensa + 3.00 dioptri sehingga sinar yang keluar akan sejajar.
c. Ametropia
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan
dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya
pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan
membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda
yang dekat.
Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan
panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa
miopia, hipermetropia, atau astigmat.
d. Miopia
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan
pembiasan media refraksi terlalu kuat. Myopia biasanya muncul pada usia 5-20
tahun. Myopia yang berhubungan dengan prematuritas sering muncul lebih awal
pada kehidupan anak. Myopia yang tinggi (lebih dari 9 dioptri) sering kali herediter.
Pasien dengan myopia yang rendah akan mengalami pertambahan myopia yang
melambat pada decade 2 dan 3 tahun, dan akhirnya akan mencapai masa stabil
(Rudolph, dkk, 2006).
e. Hipermetropia
Jika sinar sejajar masuk terfokus di belakang retina dengan mata dalam keadaan
istirahat (tidak berakomodsi), berarti ada hiperopia atau terang jauh. Ini dapat terjadi
karena diameter antro-posterior mata terlalu pendek, karena kekuatan refraksi kornea
dan lensa kurang dari normal atau karena lensa terdislokasi ke posterior (Nelson,
2000).
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di
belakang makula lutea (Ilyas, 2008).
f. Astigmat
Astigmatisma ini menggambarkan keadaan ketika berkas cahaya mengalami
refraksi yang berbeda bergantung pada meridian mana sinar tersebut memasuki mata
(Rudolph, dkk, 2000).
Pada astigmat berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada
retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang paling tegak lurus yang terjadi akibat
kelainan kelengkungan permukaan kornea. Pada mata dengan astigmat lengkungan
jari-jari meridian yang tegak lurus padanya.
Daftar pustaka

1. Dermawan, D. & Rusdi. (2013). Keperawatan jiwa: konsep dan kerangka kerja asuhan
keperawatan jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing
2. Soepardi, Arsyad, Iskandar, Nurbaiti, dkk.2011. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: FK UI
3. Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D. 2007. Kelainan Telinga Tengah. In: Soepardi, E.A.,
Iskandar, N., Bashiruddin, S., Restuti, R.D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Arifiani, N. 2004. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja. Cermin
Dunia Kedokteran.
5. Anonim, 2012. Medical Dictionary [internet] http:// medical-dictionary. the
freedictionary.com/ethanol. Diakses 12 februari 2018.
6. Istiqomah, Umi. 2003. Upaya Menuju Generasi Tanpa Merokok Pendekatan. Analisis
Untuk Menangulangi Dan Mengantisipasi Remaja Merokok. Surakarta: CV. SETIA AJI

Anda mungkin juga menyukai