Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDIKSITIS

RUANG RAWAT INAP “B” RUMAH SAKIT WAVA HUSADA KEPANJEN

DI SUSUN OLEH :

SITI AULIYA ULFAH

1730054

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

PROGRAM STUDI NERS

TAHUN AJARAN 2017/2018


LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan “APPENDIKSITIS” di Ruang Rawat


Inap B Rumah Sakit Wava Husada Kepanjen Malang yang dilakukan oleh :

Nama : Siti Auliya Ulfah

NIM : 17.30.054

Prodi : Profesi Ners

Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik departemen Keperawatan
Anak, yang dilaksanakan pada tanggal 05 Februari - 10 Februari 2018, yang telah
disetujui dan disahkan pada :

Hari :……………………

Tanggal :……………………

Malang,………………………….

Mahasiswa

(Siti Auliya Ulfah)

Mengetahui :

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(…………………………..) (…………………………..)

Kepala Ruang

(…………………………..)
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira–kira
10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Apendiks
makanan yang mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. karena tidak
efektif, dan lumennya kecil, apenddiks cenderung tersumbat dan terutama
rentan terhadap infeksi (Smeltzer & Bare, 2002)
Apendisitis merupakan penyakit bedah minor yang sering terjadi usia
remaja dan dewasa muda. Kejadian ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari – hari (Lindseth , 2005)
Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau
umbai cacing ( apendiks ). Usus buntu sebenarnya adalah sekum(caecum).
Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan
bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. ( Wim de
Jong et al, 2010).Apendisitis merupakan inflamasi akut pada apendisitis
verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen
darurat. (Brunner&Suddarth, 2014).
Appendiktomi merupakan pengangkatan apendiks terinflamasi, dapat
dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan pendekatan
endoskopis. Adanya perlengketan multipel, posisi reteroperitonial dari
apendiks, atau robek perlu dilakukan prosedur pembukaan (Doenges, 2000)

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendiks akut dan
apendiks kronik
1. Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering timbul dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut
adalah nyeri samar-samar dan tumpul, nyeri visceral didaerah epigastrium di
sekitar umbilikus. Keluhan ini sering di sertai mual dan kadang ada muntah.
Umumnya nafsu makan menurun dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya. Sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
2. Apendisitis Kronik
Diagnosis apendiksitis kronik baru dapat di tegakkan jika di penuhi semua
syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopis dan mikroskopik, dan
keluhan menghilang setelah apendiktomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis
kronis adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial
atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa, dan sel inflamasi kronik. Insidens apendiksitis kronik antara 1-5%.
(Sjamsuhidajat, 2004).

C. ETIOLOGI
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai
berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. berbagai hal sebagai faktor
pencetusnya:
a. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, tumor apendiks dan cacing
askaris.
b. Penyebab lain penyebab apendiks karena parasit seperti E. hystolitica.
c. Penelitian Epidemiologi mengatakan peran kebiasaan makan makanan
yang rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menarik bagian intrasekal, yang berakibat timbulnya
tekanan intrasekal dan terjadi penyumbatan sehingga meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon (R Tsamsuhidajat & Wim De jong, 2010).

Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
a. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2) Adanya fekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian
4) Striktur lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus.
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30
tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendiks yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009).
D. PATOFISIOLOGIS
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mucus
tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut
dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek
dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
E. PATHWAY

Invasi&Multiplika Hipertermi Febris


si

Apendistisis Peradangan Kerusakan control


Jaringan suhu terhadap
inflamasi

Operasi Sekresi mukus berlebih pada lumen

Luka Insisi
Ansietas Apendiks Teregang

Kerusakan Jaringan Pintu masuk kuman

Ujung saraf putus


Risiko Infeksi Tekanan intraluminal lebih
Prostaglandin lepas dari tekanan vena
Kerusakan Integritas
Stimulasi Dihantarkan Jaringan Hipoxia jaringan apendiks

Spinal Cord Spasme dinding Ulcerasi


apendiks
Cotex Serebri
Nyeri Perforasi
Nyeri
dipersepsikan
Risiko Akumulasi sekret
ketidakefektifan
Defisit perawatan diri gastrointestinal Ketidakefektifan
jalan nafas
Anestesi-> Peristaltik Anoreksia
usus->Distensi
abdomen- Mual dan muntah Ketidakseimbangan
>Gangguan rasa nutrisi kurang dari
nyaman kebutuhan
Risiko kekurangan
volume cairan
F. MANIFESTASI KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang di dasari dengan
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis
adalah:
1. Nyeri visceral epigastrium.
2. Nafsu makan menurun.
3. Dalam beberapa jam nyeri pindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney.
4. Kadang tidak terjadi nyeri tapi konstipasi.
5. Pada anak biasanya rewel, nafsu makan turun karena focus pada nyerinya,
muntah-muntah, lemah, latergik, pada bayi 80-90% apendisitis terjadi
perforasi (Tsamsuhidajat & Wong de jong, 2010).

Manisfestasi klinis lainya adalah:

1. Nyeri dikuadran kanan bawah disertai dengan demam ringan, dan terkadang
muntah kehilangan nafsu makan kerap dijumpai konstipasi dapat terjadi.
2. Pada tiik Mc Burney (terletak diantara pertengahan umbilicus dan spina
anterior ileum), terasa nyeri tekan local dan kekakuan otot bagian bawah
rektus kanan.
3. Nyeri pantul dapat dijumpai lokasi apendiks menentukan kekuatan nyeri
tekan, spasme otot dan adanya diare atau konstipasi.
4. Jika apendiks pecah, nyeri lebih menyebar abdomen menjadi lebih
terdistensi akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
(Brunner&Suddarth, 2014)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi: Akan tampak adanya tanda pembengkakan (swelling), rongga
perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
b. Palpasi: Dibagian perut kanan bawah akan terasa nyeri (Blumbeng
Sign) yang mana merupakan kunci dari diagnosis apendsitis akut.
c. Dengan tindakan tungkai dan paha kanan ditekuk kuat / tungkai di
angkat tingi-tinggi, maka rasa nyeri akan semakin parah (Psoas Sign).
d. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin parah apabila
pemeriksaan dubur dan vagina terasa nyeri.
e. Suhu dubur atau rectal yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih
menunjang lagi adanya radang usus buntu.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan dari sel darah putih hingga sekitar 10.000-18.000/mm3. jika
terjadi peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks telah
mengalami perforasi (pecah).
3. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang
membantu).
b. Ultrasonografi/USG
c. CT-Scan.
Berdasarkan referensi diatas, yang menjadi kunci tata laksana
penentuan diagnosa apendisitis yaitu dengan dilakukan pemeriksaan fisik
yaitu salah satunya dengan mempalpasi bagian perut bagian kanan bawah
akan terjadi blumbeng sign, lalu dengan memeriksa laboratorium dengan
melihat peningkatan leukosit dan pemeriksaan USG.
a. SDP; Leukositosis diatas 12.000/mm3, Neutrofil meningkat sampai
75%,
b. Urinalisis: Normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada.
c. Foto abdomen: Dapat menyatakan adanya pergeseran, material
apendiks (fekalit), ileus terlokalisir. (Doengoes, Marilynn E, 2014).
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
a. Pembedahan (konvensional atau laparaskopi) apabila diagnose
apendisitis telah ditegakan dan harus segera dilakukan untuk mengurangi
risiko perforasi.
b. Berikan obat antibiotik dan cairan IV sampai tindakan pemebedahan
dilakukan.
c. Agen analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakan.
d. Operasi (apendiktomi), bila diagnosa telah ditegakan yang harus
dilakukan adalah operasi membuang apendiks (apendiktomi). Penundaan
apendiktomidengan cara pemberian antibiotik dapat mengakibatkan
abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan drainage.
(Brunner&Suddarth, 2014).
2. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Tujuan keperawatan mencakup upaya meredakan nyeri, mencegah defisit

volume cairan, mengatasi ansietas, mengurangi risiko infeksi yang

disebabkan oleh gangguan potensial atau aktual pada saluran

gastrointestinal, mempertahankan integritas kulit dan mencapai nutris

yang optimal.

b. Sebelum operasi, siapkan pasien untuk menjalani pembedahan, mulai

jalur Intra Vena berikan antibiotik, dan masukan selang nasogastrik (bila

terbukti ada ileus paralitik), jangan berikan laksatif.

c. Setelah operasi, posisikan pasien fowler tinggi, berikan analgetik

narkotik sesuai program, berikan cairan oral apabila dapat ditoleransi.

d. Jika drain terpasang di area insisi, pantau secara ketat adanya tanda-tanda

obstruksi usus halus, hemoragi sekunder atau abses sekunder.

(Brunner&Suddarth, 2014).
3. Penatalaksaan Keperawatan

Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendiktomi.

Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.

Teknik laparoskopi sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang

lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi luka

yang lebih rendah. Akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra

abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk

diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada

wanita. (Rahayuningsih dan Dermawan, 2010).

I. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi apabila terjadi keterlambatan penanganan.

Faktor keterlambatan dapat terjadi dari pasien ataupun tenaga medis. Faktor

penderita dapat berasal dari pengetahuan dan biaya. Faktor tenaga medis dapat

berupa kesalahan dalam mendiagnosa, keterlambatan mengangani maslah dan

keterlambatan dalam merujuk ke rumah sakit dan penangggulangan. Hal ini

dapat memacu meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi yang

sering adalah terjadi pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% lebih

sering terjadi pada anak kecil dibawah usia 2 tahun dan 40-75%% terjadi pada

orang tua. Pada anak-anak dinding apendiks masih sangat tips, omentum lebh

pendek, dan belum berkembang secara sempurna sehingga mudah terjadi

apendisitis. Sedangkan pada orang tua, terjadi gangguan pada pembuluh

darah.Adapun jenis omplikasi diantaranya:


a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba
massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-
mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung
pus. Hal ini terjadi bila Apendisitisgangren atau mikroperforasi ditutupi
oleh omentum
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga
bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam
pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi
dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang
timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak
toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c. Peritontis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis. (Mansjoer, 2007)
Komplikasi menurut (Brunner&Suddarth, 2014):
1. Komplikasi utama adalah perforasi apendiks yang dapat menyebabkan
peritonitis pembentukan abses (tertampungnya materi purulen), atau
flebilitis portal.
2. Perforasi biasanya terjadi setelah 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
yang muncul antara lain: Demam 37,7’C, nyeri tekan atau nyeri
abdomen.
Berdasarkan penjelasan diatas, hal yang bisa mengakibatkan
keparahan/komplikasi penyakit apendisitis dikarenakan dua hal yaitu faktor
ketidaktahuan masyarakat dan keterlambatan tenaga medis dalam
menentukan tindakan sehingga dapat menyebabkan abses, perforasi dan
peritonitis.

J. KONSEP POST OP APPENDIKTOMI


1. Pengertian
Perawatan post operasi merupakan tahap lanjutan dari perawatan
pre dan intra operatif yang dimulai saat klien diterima di ruang
pemulihan/pasca anastesi dan bearkhir sampai evaluasi selanjutnya
2. Patofisiologis

Mual & muntah Appendiks terinflamasi

Meningkatkan tekanan
Resiko tinggi
intraluminal
kekurangan volume
cairan
Menghambat aliran limfe

Ulserasi pada dinding mukosa

Gangren dan perforasi

appendektomy

Luka post op

Resiko tinggi infeksi Nyeri akut


K. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Dalam proses keperawatan, ada lima tahap dimana tahap terebut tidak
dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Tahap-tahap tersebut secara bersama-
sama membentuk pola pemikiran dan tindakan yang kontinu, yang mengulangi
kontak dengan pasien (Tarwoto & Wartonah, 2011).
Tahap-tahap dalam proses keperawatan tersebut adalah:
1. Pengkajian

Merupakan tahap dinamis yang terorganisasi, dan meliputi tiga

aktivitas dasar, yang pertama mengumpulkan data secara sistematis; kedua

memilah dan mengatur data yag dikumpulkan dan ketiga

mendokumentasikan data dalam bentuk format yang dibuka kembali.

Data data diperoleh dari riwayat keperawatan, keluhan utama pasien,

pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang atau tes diagnostic. Dalam

melakukan pengkajian diperlukan keahlian-keahlian seperti wawancara,

pemeriksaan fisik dan observasi. Hasil pengkajian tersebut dikelompokan

kembali menjada data subjektif dan objektif.

Ada beberapa cara dalam pengelompokan data, yaitu:

a. Berdasarkan sistem tubuh.

b. Berdasarkan kebutuhan dasar.

c. Berdasarkan teori keperawatan.

d. Berdasarkan pola kesehatan fungsional.


2. Masalah Yang Mungkin Muncul
a. Nyeri
b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
c. Hipertermi
d. Resiko Infeksi
e. Kerusakan Integritas Jaringan
f. Defisit Keperawatan Diri
g. Ketidakefektifan Jalan Napas
h. Resiko Kekurangan Volume Cairan
i. Gangguan Rasa Nyaman
j. Resiko Ketidakefektifan Gastrointestinal
3. Intervensi

NO Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 Nyeri NOC: NIC
Batasan karakteristik: a. Pain level a. Pain management
a. Perubahan selera makan b. Pain Control 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
b. Perubhana tekanan darah c. Comfort level\ komperehensif termasuk lokasi,
c. Perubahan frekuensi Kriteria Hasil: karakteristtik, durasi, frekuensi, kualitas
jantung a. Mampu mengontrol nyeri (tahu dan faktor presipitasi
d. Perubahan frekuensi penyebab nyeri, mampu 2. Gunakan komunikasi terapeutik untuk
pernapasan menggunakan tekhnik mengetahui pengalaman nyeri pasien,
e. Diaforesis nonfarmakologis, mencari 3. Observasi reaksi nonverbal dari
f. Perilaku distraksi bantuan), ketidaknyamanan
g. Mengekspresikan b. Melaporkan nyeri berkurang 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon
perilaku (merengek, dengan menggunakan nyeri
menagis) manajemen nyeri, 5. Evaluasi respon nyeri masa lampau
h. sikap tubuh melindungi c. Mampu mengenali nyeri 6. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
i. Gangguan tidur (skala, intensitas, frekuensi dan dan menemukan dukungan
j. Melaporkan nyeri secara tanda), 7. Kontrol lingkungan yang dapat
verbal d. Menyatakan rasa nyaman mempengaruhi nyeri seperti suhu
k. Perubahan posisi setelah nyer berkurang ruangan, pencahayaan, dan kebisingan,
8. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
9. Ajarkan tekhnik non farmakologis
(relaksasi genggam jari)
10. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
11. Tingkatkan istirahat
12. Evaluasi keefektifan control nyeri
13. Monitor penerimaan pasien tentang
mmanajemen nyeri.
b. Analgesik Admistration
1. Tentukan karakteristik, lokasi kualitas
dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis dan frekuensi
3. Pilih analgesic yang diperlukan atau
kombinasi dari analgetik ketika
pemberian lebih dari satu
4. Tentukan pilihan anlgesik tergantung tipe
dan berat nyerinya
5. Tentukan anlgesik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal,
6. Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian anlgesik pertama kali
7. Berikan analgesic tepat waktu terutama
ketika nyeri.
8. Evaluasi efektivitas analgesic, tanda dan
gejala.
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
2. Ketidakseimbangan nutrisi NOC NIC
kurang dari kebutuhan a. Nutritional status a. Nutrition management
berhubungan dengan b. Nutritional status : food and 1. Kaji adanya alergi makanan
anoreksia. fluid intake 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
c. Nutritional status : nutrient menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
Batasan karakteristik : intake weight control. dibutuhkan pasien
a. Kram abdomen 3. Anjurkan pasien untuk
b. Nyeri abdomen Kriteria hasil : meningkatkanprotein dan vitamin C
c. Menghindari makanan a. Adanya peningkatan berat 4. Berikan substansi gula
d. Berat badan 20% atau badan sesuai dengan tujuan 5. Yakinkan diet yang dimakan mengandung
lebih dibawah berat b. Berat badan sesuai dengan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
badan ideal tinggi badan 6. Berikan makanan yang terpilih (sudah
e. Kerapuhan kapiler c. Mampu mengidentifikasi dikonsultasikan dengan ahli gizi)
f. Diare kebutuhan nutrisi 7. Ajarkan pasien bagaimana membuat
g. Kehilangan rambut d. Tidak ada tanda-tanda mal catatan makanan harian
berlebihan nutrisi 8. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
h. Bising usus hiperaktif e. Menunjukkan peningkatan kalori
i. Kurang makanan fungsi pengecapan dari 9. Kaji kemampuan pasien untuk
j. Kurang informasi menelan mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
k. Kurang minat pada f. Tidak terjadi penurunan berat b. Nutrition monitoring
makanan badan yang berarti 1. BB pasien dalam batas normal
l. Penurunan berat badan 2. Monitor adanya penurunan berat badan
dengan asupan makanan 3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
adekuat biasa dilakukan
m. Tonus otot menurun 4. Monitor turgor kulit
n. Cepat kenyang setelah 5. Monitor kulit kering dan perubahan
makan pigmentasi
o. Sariawan rongga mulut 6. Jadwalkan pengobatan dan dan tindakan
tidak dilakukan pada saat jam makan
7. Monitor mual dan muntah
8. Monitor pertumbuhan dan perkembangan
9. Monitor kemerahan, pucat dan kekeringan
jaringan konjungtiva
10. Monitor kalori dan intake nutrisi

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi


3. Hipertermi berhubungan NOC : NIC
dengan penyakit atau Thermoregulation a. Fever Treattment
trauma insisi. 1. Monitor suhu sesering mungkin
Kriteria Hasil : 2. Monitor IWL
Batasan karakteristik : a. Suhu tubuh dalam rentang 3. Monitor warna dan suhu kulit
a. Konvulsi normal 4. Monitor tekanan darah, RR dan nadi
b. Kulit kemerahan b. Nadi dan RR dalam rentang 5. Monitor penurunan tingkat kesadaran
c. Peningkatan suhu tubuh normal 6. Monitor WBC, Hb, dan Hct
diatas kisaran normal c. Tidak ada perubahan warna 7. Monitor intake dan output
d. Kejang kulit dan tidak ada pusing 8. Berikan anti piretik
e. Takikardi 9. Berikan pengobatan untuk mengatasi
f. Takipnea demam
g. Kulit terasa hangat 10. Selimuti pasien
11. Berikan tapid sponge
12. Kolaborasi dalam pemberian cairan
intravena
13. Kompres pasien pada lipat paha dan
aksila
14. Tingkatkan sirkulasi udara
15. Berikan pengobatan untuk terjadinya
menggigil
b. Temperature regulation
1. Monitor suhu minimal 2 jam
2. Rencanakan monitor suhu secara
kontinyu
3. Monitor TD, nadi dan RR
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7. Selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
8. Ajarkan kepada pasien untuk cara
mencegah keletihan akibat panas
9. Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency
yang diperlukan
11. Berikan anti piretik jika perlu
c. Vital sign monitor
1. Monitor TD, nadi, RR dan suhu
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Auskultasi TD pada kedua lengan lalu
bandingkan
4. Monitor TD, nadi, RR sebelum, selama
dan sesudah aktivitas
5. Monitor kualitas dari nadi
6. Monitor frekuensi dan irama dan
pernafasan
7. Monitor suara paru
DAFTAR PUSTAKA

Evarica, 2015, Pemberian Teknik Relaksasi Genggam Jari terhadap Penurunan


Intensitas Nyeri pada Pasien Post Op Apendisitis dikutip dalam
(http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/27/01-gdl-evaricawid-1323-1-
ktievar-4.pdf diakses pada tanggal 4 Februari 2018)

Liana, 2008. Teknik Relaksasi Genggam Jari Terhadap Keseimbangan Emosi. Diakses
pada tanggal 4 Februari 2018 dalam
(http://www.pembelajar.com/category/kolomnis/emmy-liana-dewi)

Lukman, 2008, Gambaran pasien Apendisitis yang Mengalami Perforasi Di RSUP


Hasan Sadikin Bandung dalam (http://elibrary.unisba.ac.id/files/08-
6155_Fulltext_Duplikat.pdf di akses pada 4 Februari 2018)

Solihah, 2014, Pemberian Teknik Relaksasi Genggam Jari terhadap Penuruanan


Intensitas Nyeri pada pasien Post Op Lumpektomi di kutip dalam
(http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/17/01-gdl-solikhahha-844-1-
ktisoli-1.pdf diakses pada tanggal 4 Februari 2018)

Anda mungkin juga menyukai