Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Kontribusi Padang Lamun Menyerap CO2 di Hamparan/Teritorial


Padang Lamun Tropis terhadap Gangguan Yang Dilakukan
Secara Pengujian
(Diana Deyanova, Martin Gullstrom, Liberatus D. Lyimo, Martin Dahl,
Mariam I. Hamisi, Matern S. P. Mtolera, Mats Bjork)

Oleh:
Abrar Mirandha

Sekolah Pasca Sarjana


Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Medan
2017
Daftar Isi

Bab I Pendahuluan I-1


1.1 Latar Belakang I-1
1.2 Ruang Lingkup Penelitian I-2
1.3 Tujuan dan Manfaat I-2

Bab II Isi II-1


2.1 Metode Penelitian II-1
2.2 Hasil Analisis II-2
2.3 Pembahasan II-6

Bab III Penutup III-1

Daftar Pustaka IV-1


Bab I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Padang lamun merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang memiliki nilai
konservasi tinggi khususnya dalam hal perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman hayati, daerah perikanan yang produktif dan
menyumbang produktifitas perairan di wilayah pesisir. Perairan pesisir merupakan
lingkungan yang memperoleh sinar matahari cukup yang dapat menembus sampai
ke dasar perairan. Di perairan ini juga kaya akan nutrien karena mendapat pasokan
dari dua tempat yaitu darat dan lautan sehingga merupakan ekosistem yang tinggi
produktivitas organiknya. Karena lingkungan yang sangat mendukung di perairan
pesisir maka tanaman lamun dapat hidup dan berkembang secara optimal. Secara
ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir. Lamun
merupakan produktifitas primer di perairan dangkal dan merupakan sumber
makanan penting bagi banyak organisme. Padang lamun merupakan ekosistem
dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Beberapa permasalahan dalam
perairan yang menggangu ekosistem khususnya padang lamun seperti keterbatasan
cahaya dan arus laut. Dalam ekosistem pesisir laut, masalah seperti keterbatasan
cahaya disebabkan oleh limpasan dari aliran sungai dan intensitas hujan yang tinggi
sehingga dapat mengurangi transparansi perairan. Perubahan-perubahan yang
terjadi ini tentunya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam
kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya.

Salah satu sumberdaya laut yang cukup potensial sebagai penyerap gas CO 2 adalah
padang lamun. Lamun (seagrass) merupakan tanaman berbunga yang memiliki
kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas
tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati.
Dalam beberapa tahun terakhir, peran padang lamun dalam menangkap karbon
sangat efisien dan diperkirakan padang lamun memberikan kontribusi hingga 15%
dari penyimpanan karbon total didalam perairan laut. Dampak akibat gangguan
antropogenik dapat mengancam habitat padang lamun di seluruh dunia.
Keterbatasan cahaya disebabkan oleh eutrofikasi dan sedimentasi merupakan salah
satu ancaman paling berat untuk tanaman padang lamun. Padang lamun

I-1
membutuhkan intensitas cahaya yang cukup untuk dapat tetap tumbuh. Padang
lamun dapat beradaptasi dengan keterbatasan cahaya dengan mengubah jumlah
klorofil atau dengan meningkatkan konsentrasi klorofil di dalam daun. Walau dapat
beradaptasi, keterbatasan cahaya yang berkepanjangan akan dapat merusak padang
lamun tersebut. Lamun dapat menyimpan karbohidrat cadangan di sistem akar
rimpang selama terjadinya gangguan/dampak terhadap tanaman tersebut atau
memindahkanya ke bagian tunas yang rusak untuk mendukung pertanaman.
Namunm jika gangguan/dampak ini terjadi secara terus menerus dalam rentan
waktu yang lama, maka akan terjadi tidak keseimbangan pada tanaman tersebut.
Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan hamparan padang lamun di
habitanya sendiri.

1.2. Ruang Lingkup Penelitian


Adapun aruang lingkup penelitian “Kontribusi Padang Lamun Menyerap CO2 di
Hamparan/Teritorial Padang Lamun Tropis terhadap Gangguan Yang Dilakukan
Secara Pengujian” yaitu:
a. Melakukan pengujian dampak dari keterbatasan cahaya terhadap padang lamun
dengan dua variabel yang berbeda yaitu keterbatasan cahaya dengan intensitas
sedang dan keterbatasan cahaya dengan intensitas rendah.
b. Melakukan pengujian dampak dari pemotongan terhadap padang lamun dengan
dua variabel yang berbeda yaitu pada bagian bawah daun dan bagian atas daun.
c. Melakukan perbandingan pengaruh pengujian keterbatasan cahaya dan
pemotongan padang lamun terhadap biomassa biometrik, pertanaman tunas,
lepidhokronologi, produktivitas selama 24 jam, total karbohidrat terlarut dan pati.

1.3. Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat keseluruhan dari penelitian ini adalah untuk menilai dan
memahami dampak dari keterbatasan cahaya dan simulasi pemotongan pada
kontribusi padang lamun menangkap CO2 dalam hamparan padang lamun tropis
(didominasi oleh Thalassia hemprichii) dari dua pengujian yang akan dilakukan.
Secara khusus, mengukur produksi bersih tanaman (berdasarkan aktivitas
fotosintesis, biomassa dan morfologi), pertanaman tanaman (berdasarkan
pertanaman/perpanjangan daun dan lepidochronology) dan alokasi sumber daya
(berdasarkan pati dan kandungan karbohidrat).

I-2
Bab II
Isi

2.1. Metode Penelitian


Lokasi percobaan penelitian dilakukan di Teluk Chwaka di pantai timur dari Pulau
Unguja, Zanzibar (06˚09'S, 39˚26'E), mulai dari Bulan November 2013 sampai Maret
2014. Teluk Chwaka adalah teluk yang tertutup dan pusatnya hamparan
keseragaman padang lamun. Terdapat lebih dari 11 spesies lamun di lokasi tersebut.
Salinitas di lokasi penelitian adalah 26-35, dengan suhu air 25-35 o C saat air surut.

Percobaan dilakukan di daerah yang didominasi oleh lamun T. hemprichii. Dua puluh
plot area dari 10 m2 dilakukan pengujian secara acak dengan lima perlakuan,
masing-masing perlakuan dilakukan dengan empat (blok) secara terus menerus
(Gambar 2.1 dan Gambar 2.2). Percobaan terdiri dari dua tingkat intensitas
keterbatasan cahaya, dua tingkat intensitas simulasi pemotongan, dan kontrol (tanpa
ada perlakuan khusus) (Gambar 2.1). Layar penutup untuk pengujian intensitas
keterbatasn cahaya dipasang sekitar 40 cm di atas permukaan sedimen dengan
tujuan untuk mengurngasi intesitas cahaya mencapai tanaman. Rata-rata redaman
cahaya dihitung sebagai pengurang persen dari kontrol dan diukur menjadi 64% dan
75% dari radiasi aktif fotosintesis untuk tingkat rendah (satu layar) dan tingkat
intensitas tinggi (dua layar). Dalam percobaan ini layar yang digunakan akan
dibersihkan setiap hari dari puing dan potensi organisme penggangu, dan diganti
dua kali selama percobaan. Simulasi pemotongan tunas lamun (dengan gunting)
dilakukan pada interval satu minggu secara terus menerus sepanjang percobaan.
Percobaan dilakukan dengan memotong daun bagian bawah dan daun bagian ats.
Semua pengukuran dilakukan pada akhir percobaan (pertengahan Maret) selama
tiga minggu saat air surut. Perlakuan percobaan yang berbeda selanjutnya akan
disebut shading (pengujian intensitas cahaya) sebagai LS-low, HS-high, Clipping
(Pemotongan daun) LC-low, HC-high, dan C-control (Gambar 2.1).

II - 1
Gambar 2.1 A) Control (C), Shading LS-Low, Shading HS-High, Clipping LC-Low, dan Clipping HC-
High. (B) Layout Percobaan Pengujian menunjukkan rancangan secara acak (n = 4), dengan pola
mengisi sesuai dengan percobaan yang disajikan dalam (A). (C) Struktut tanaman padang lamun
Thalassia hemprichii. Lingkaran menunjukkan lokasi di mana klorofil berada.

2.2. Hasil Analisis


2.2.1. Biomassa dan Biometrik
Hasil selama lima bulan percobaan menunjukan terjadi penurunan yang signifikan
dari biomassa daun di semua plot area yang diperlakukan secara khusus (percobaan)
dengan plot kontrol (Gambar 2.2 A). Penurunan terbesar yaitu >50% biomasa dari
rimpang dan akar terjadi pada percobaan HC. Biomasa pada rimpang dan akar pada
percobaan HS serta biomassa rimpang dalam percobaan LC juga jauh di bawah
tingkat kontrol (Gambar 2.2 A). Dari ujung hingga akar, ratio biomassa berkurang
dalam percobaan HC dibandingkan dengan semua perlakuan lain dan kontrol (uji
SNK, p<0,05). Densitas tunas berkurang secara signifikan hanya dalam percobaan
HC (sekitar 50% kurang dari area plot kontrol), sedangkan perubahan perlakuan
lainnya tidak signifikan (Gambar 2.2 B). Panjang daun dari daun ketiga menunjukan
hasil yang negatif dipengaruhi oleh percobaan LC dan percobaan HC (Gambar 2.2 C),
dan lebar daun berkurang secara signifikan dalam percobaan HS, LC, dan HC
(Gambar 2.2 D). Jumlah daun per-tunas berkurang di kedua percobaan intensitas
cahaya (shading) dibandingkan kontrol, namun untuk percobaan pemotongan
(clipping) hasilnya tidak berbeda jauh dari kontrol (Gambar 2.2 E). Indeks Lokasi
Daun jelas lebih rendah pada kedua percobaan pemotongan ( clipping) dibandingkan
kontrol, sementara tidak ada efek yang terlihat dalam percobaan intensitas cahaya
(shading) (Gambar 2.2 F).
2.2.2. Pertanaman Tunas
Tingkat pertanaman/perpanjangan daun berkurang secara signifikan pada HS dan
Percobaan HC dibandingkan kontrol (Gambar 2.3 A). Pertanaman biomassa daun
berkurang secara signifikan pad LS, percobaan HS, dan HC dibandingkan kontrol
(Gambar 2.3 B).
2.2.3. Lepidochronologi

II - 2
Rekonstruksi tunas muda dan pertanaman rimpang (Gambar 2.4 A) mengungkapkan
dampak dari percobaan pada pengembangan tanaman selama periode percobaan.
Ketinggian rata-rata tunas 1 meningkat pada percobaan HS tetapi tidak signifikan,
sedangkan tunas 2 secara signifikan lebih pendek pada percobaan HC (Gambar 2.4
B). Ruas panjang berbeda di setiap perlakuan, sedangkan jumlah ruas tidak (Tabel
2.1). Dalam segi usia tunas, baik panjang ruas dan jumlahnya menunjukan hasil
yang antara tunas 1 dan tunas 2 (Tabel 2.1). Ada interaksi antara percobaan dan
usia tunas terhadap panjang ruas (Tabel 2.1). Panjang ruas rimpang melintang
antara ujung meristematik dan tunas 1 berkurang secara signifikan di semua
perlakuan dibandingkan kontrol (uji SNK, p<0,05). Efek yang sama bisa dilihat pada
ruas antara tunas 1 dan 2 hanya pada percobaan HS dan HC (uji SNK, p<0,05).
Antara tunas 1 dan ujung meristematik, jumlah ruas lebih tinggi pada HC
dibandingkan semua percobaan ataupun kontrol, meskipun perbedaan jika
dibandingkan dengan kontrol tidak terlalu signifikan.
2.2.4. Produktivitas Selama 24 Jam
Fluktuasi selama 24 jam pada saat pasang surut tertinggi, PAR, F PSII, dan ETR
diilustrasikan oleh replika perwakilan tunggal (Gambar 2.5). Perubahan dalam F PSII
dan ETR diikuti oleh fluktuasi dalam intensitas cahaya, meskipun terjadi penurunan
yang signifikan dalam FPSII dapat diamati selama rezim pasang surut terendah, baik
pada siang hari maupun pada malam hari, karena akan berdampak terhadap
pengeringan pada tanaman tersebut. Pemulihan kapasitas fotosintesis, diukur
sebagai Fv/Fm, setelah kegaitan pengeringan didapat hasil yang tidak berbeda
secara signifikan antara kontrol dan salah satu percobaan, meskipun percobaan HS
dan HC ditampilkan variasi kecil dari 90-97% dan 90-95%, secara masing-masing.
Produktivitas bersih padang lamun per-wilayah dan per-hari (mol e - m-2 hari-1)
berkurang lebih dari 62% di semua percobaan dibandingkan kontrol, dan berkurang
89% dalam percobaan HC (Gambar 2.6). Dihitung dari P/R rasio untuk seluruh
tanaman, jaringan fotosintesis, dan jaringan non-fotosintetis serta produktivitas
bruto dalam 24 jam, P (g CO 2 g DW-1), estimasi untuk semua percobaan ditampilkan
di Tabel 2.2. Kemudian, membandingkan perkiraan produktivitas bersih dalam 24
jam di setiap daerah bawah (gCO2 m-2 dibawah
24h-1) jelas menunjukkan nilai yang lebih rendah untuk semua percobaan
dibandingkan dengan kontrol (ANOVA, p<0,05), dengan kedua percobaan intensitas
cahaya (shading) dan percobaan HC menghasilkan nilai fiksasi karbon menunjukan
hasil negatif selama siklus 24 jam (Gambar 2.7).

II - 3
Gambar 2.2 ( A) biomassa kering, (B) jumlah tunas, (C) panjang daun, dan (D) ketebalan daun
yang diukur pada percobaan dan plot-plot kontrol pada bulan ke empat akhir percobaan.
Pengukuran-pengukuran yang berarti ± SE, dan huruf kecil di atas bar menunjukkan percobaan
dipisahkan oleh Student-Newman-Keuls post hoc analisis p<0,05).

Gambar 2.3 Tingkat perpanjangan daun (A) dan hasil pertumbuhan biomassa (B) dalam percobaan
dan plot-plot kontrol pada bulan ke empat akhir percobaan. Pengukuran-pengukuran yang berarti
± SE, dan huruf kecil di atas bar menunjukkan percobaan dipisahkan oleh Student-Newman-Keuls
post hoc analisis p<0,05).

II - 4
Gambar 2.4 (A) Skema pertumbuhan dengan dua tunas dari lamun Thalassia hemprichii: a-panjang
segmen ruas dari rimpang horisontal; h1 dan h2 -panjang dari tunas 1 dan tunas 2. (B) Panjang
tunas 1 (muda) dan tunas 2 (tua) dibiarkan tumbuh selama percobaan tingkat perpanjangan.
Pengukuran-pengukuran yang berarti ± SE, dan huruf kecil (tunas 1) dan huruf besar (tunas 2) di
atas bar menunjukkan percobaan dipisahkan oleh Student-Newman-Keuls post hoc analisis
p<0,05).

Tabel 2.1 Hasil dua arah ANOVA menguji efek usia menembak dan pengobatan pada panjang ruas
dan nomor ruas. nilai-nilai yang signifikan ( p < 0,05) akan ditampilkan dalam huruf tebal.

Dampak Panjang Ruas Jumlah Ruas


df MS p df MS p
Tunas 4 4.259 <0.001 4 118.79 0.039
Percobaan 1 3.487 <0.001 1 1339.21 <0.001
Percobaan*Tuna 4 0.441 <0.001 4 101.71 0.070
s
Error 1287 0.035 116 45.55

Parameter yang berasal dari RLCs ditampilkan di tabel 2.2 . ETR max secara signifikan
lebih rendah dalam percobaan HS dibandingkan kontrol (tabel 2.2). Awal kemiringan
RLCα untuk kedua LS dan percobaan HS secara signifikan lebih rendah dari kontrol,
sedangkan percobaan HC secara signifikan lebih tinggi (tabel 2.2). E k tidak berbeda
jauh antara percobaan dan kontrol (tabel 2.2).
2.2.5. Total Karbohidrat Terlarut dan Pati
Konsentrasi total karbohidrat terlarut di daun secara signifikan dipengaruhi oleh
semua percobaan dibandingkan dengan kontrol (Gambar 2.8 A). Dalam rimpang,
penurunan yang signifikan dari total karbohidrat terlarut dapat dilihat baik dalam
percobaan HS dan HC, yang terakhir menyebabkan penurunan lebih dari 50%,
sedangkan konsentrasi total karbohidrat terlarut di akar tidak terpengaruh oleh
percobaan (Gambar 2.8 A). Hasil juga menunjukan kadar pati berkurang secara
signifikan hanya pada rimpang: percobaan HC memiliki dampak yang cukup drastis,
sehingga menyebabkan penurunan hingga 75% dalam konsentrasi pati, percobaan
HS dan LC menyebabkan penurunan dengan kategori sedang, sedangkan percobaan
LS tidak berpengaruh (Gambar 2.8 B).

2.3. Pembahasan
Studi ini menggambarkan bagaimana dampak dari percobaan keterbatasan cahaya
(shading) secara berkepanjangan dan simulasi pemotongan ( clipping) menunjukan
penurunan produktivitas secara keseluruhan pada padang lamun, produksi, dan
karbohidrat yang tersimpan, menunjukan hasil produktivitas areal yang turun secara
drastis mengakibatkan penurunan kapasitas sink karbon dari padang lamun tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian menemukan bahwa pengurangan substansi dalam

II - 5
parameter yang diukur, yaitu biomassa, biometrik, pertumbuhan, kinerja fotosintesis,
dan simpanan cadangan, terjadi lima bulan kemudian, menghasilkan keseimbangan
karbon negatif dan mengurangi produktivitas total harian (bersih dan kotor) dari T.
hemprichii di semua pengujian. Perubahan morfologi seperti berkurangnya ukuran
daun, jumlah daun, dan tunas sangat penting untuk diamati. Penurunan tingkat
pertumbuhan, kekurangan cadangan karbohidrat, dan berkurangnya kinerja
fotosintesis akan menimbulkan gangguan pada lamun. Keterbatasan cahaya yang
tersedia untuk produksi, sementara rusak atau berkurangnya daun akan
mengganggu produktivitas tanaman. Meskipun dampak yang ditimbulkan berbeda-
berbeda, berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa kedua percobaan shading
dan simulasi clipping memiliki konsekuensi yang sama untuk produksi tanaman
secara keseluruhan dan untuk kapasitas lamun untuk menyerap karbon.

Gambar 2.5 Fluktuasi selama 24 jam terhadap tingginya air pasang, PAR, ΦII, dan ETR untuk
semua percobaan (yaitu, kontrol, Low Shading, High Shading, Low Clipping, dan High Clipping).
Pengukuran dilakukan pada bulan ke lima akhir percobaan.

II - 6
Gambar 2.6 Fotosintesis lamun per-area dan hari. Pengukuran-pengukuran yang berarti ± SE, dan
huruf kecil di atas bar menunjukkan percobaan dipisahkan oleh Student-Newman-Keuls post hoc
analisis p<0,05).

Tabel 2.2 Hasil dari pengujian ANOVA antara kontrol dan semua percobaan pada Electron Transport
Rate (ETRmax, μmol e−m-2 s-1), kemiringan awal RLC (α) dan intensitas radiasi (Ek, μmol photons m-2 s-1),
produktivitas (P, gCO2 gDW-1), dan ratio P/R untuk seluruh tanaman (P/R plant), jaringan fotosintesis
(P/Rps), dan jaringan non-fotosintetis (P/Rnps).

II - 7
Gambar 2.7 Menghitung produktivitas 24 jam sebagai fiksasi CO 2 per area hamparan padang lamun
dan hari, ditampilkan dalam berbagai nilai minimal dan maksimal.

Gambar 2.8 (A) Jumlah kadar gula terlarut dan (B) pati dalam daun, rimpang, dan akar.

II - 8
Bab III
Penutup

Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi karbohidrat yang terlarut dan pati dalam
rimpang, ditemukan bahwa sumber cadangan utama untuk pertumbuhan tanaman
berkurang di semua percobaan shading dan clipping. Jika gangguan ini terjadi secara
terus menerus, dampak yang ditimbulkan akan mengurangi kemampuan dan
kapasitas tumbuhan untuk dapat pulih kembali. Jangka panjangnya dampak ini akan
menggangu fungsi ekosistem, termasuk kapasitas dan kemampuan padang lamun
dalam menyerap karbon.

III - 1
Daftar Pustaka

Gattuso J-P, Gentili B, Duarte CM, Kleypas JA, Middelburg JJ, Antoine D. Light availability in
the coastal ocean: impact on the distribution of benthic photosynthetic organisms
and contribution to primary production. Biogeosciences Discuss. 2006;
3(4):895±959.
Anthony KRN, Ridd P V., Orpin AR, Larcombe P, Lough J. Temporal variation in light
availability in coastal benthic habitats: Effects of clouds, turbidity, and tides. Limnol
Oceanogr. 2004; 49(6):2201±11.
Harper JL. Population Biology of Plants. London: Academic press; 1977. 892 p.
Valentine JF, Heck KL, Busby J, Webb D. Experimental evidence that herbivory increases
shoot density and productivity in a subtropical turtlegrass (Thalassia testudinum)
meadow. Oecologia. 1997; 112 (2):193±200.
https://doi.org/10.1007/s004420050300 PMID: 28307570
Kelkar N, Arthur R, Marbà N, Alcoverro T. Greener pastures? High-density feeding
aggregations of green turtles precipitate species shifts in seagrass meadows. J Ecol.
2013; 101(5):1158±68.
Laffoley D, Grimsditch G. The Management of Natural Coastal Carbon Sinks. 2009.
BjoÈrk M, Short FT, McLeod E, Beer S, Iucn. Managing Seagrasses for Resilience to Climate
Change. IUCN Resilience Science Group Working Paper Series. The International
Union for the Conservation of Nature and Natural Resources / The Nature
Conservancy; 2008. 56 p.
Costanza R, D'Arge R, de Groot R, Farber S, Grasso M, Hannon B, et al. The value of the
world's ecosystem services and natural capital. Nature. 1998; 387(6630):253±60.
Duarte CM, CebriaÂn J. The fate of marine autotrophic production. Limnol Oceanogr. 1996;
41(8):1758± 66.
McRoy C, McMillan C. Production ecology and physiology of seagrasses. In: McRoy C,
Helfferich C, editors. Seagrass Ecosystems. New York: Marcel Dekker; 1977. p. pp
53±87.
Orth RJ, Carruthers TJB, Dennison WC, Duarte CM, Fourqurean JW, Heck KL, et al. A Global
Crisis for Seagrass Ecosystems. Bioscience. 2006; 56(12):987.
Waycott M, Duarte CM, Carruthers TJB, Orth RJ, Dennison WC, Olyarnik S, et al.
Accelerating loss of seagrasses across the globe threatens coastal ecosystems. Proc

IV - 1
Natl Acad Sci USA. 2009; 106 (30):12377±81.
https://doi.org/10.1073/pnas.0905620106 PMID: 19587236
Cayabyab NM, EnrõÂquez S. Leaf photoacclimatory responses of the tropical seagrass
Thalassia testudinum under mesocosm conditions: a mechanistic scaling-up study.
New Phytol. 2007; 176(1):108±23. https://doi.org/10.1111/j.1469-
8137.2007.02147.x PMID: 17696981
Dennison WC, Orth RJ, Moore K a, Stevenson JC, Carter V, Kollar S, et al. Assessing Water
Quality with Submersed Aquatic Vegetation. Bioscience. 1993; 43(2):86.
Ruiz JM, Romero J. Effects of disturbances caused by coastal constructions on spatial
structure, growth dynamics and photosynthesis of the seagrass Posidonia oceanica.
Mar Pollut Bull. 2003; 46(12):1523± 33.
https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2003.08.021 PMID: 14643778
Short FT, Wyllie-Echeverria S. Natural and human-induced disturbance of seagrasses.
Environ Conserv. 1996; 23(1):17.
Ralph PJ, Durako MJ, EnrõÂquez S, Collier CJ, Doblin M a. Impact of light limitation on
seagrasses. J Exp Mar Bio Ecol. 2007; 350(1±2):176±93.
Camp DK, Cobb SP, Van Breedveld JF. Overgrazing of Seagrasses by a Regular Urchin,
Lytechinus variegatus. American institute of Biological Sciences. 1973.
Rose CD, Sharp WC, Kenworthy WJ, Hunt JH, Lyons WG, Prager EJ, et al. Overgrazing of a
large seagrass bed by the sea urchin Lytechinus variegatus in Outer Florida Bay. Mar
Ecol Prog Ser. 1999; 190:211±22.
Peterson BJ, Rose CD, Rutten LM, Fourqurean JW. Disturbance and recovery following
catastrophic grazing: studies of a successional chronosequence in a seagrass bed.
Oikos. 2002; 97(3):361±70. EkloÈ f JS, de la Torre-Castro M, GullstroÈm M, Uku J,
Muthiga N, Lyimo T, et al. Sea urchin overgrazing of seagrasses: A review of current
knowledge on causes, consequences, and management. Estuar Coast Shelf Sci.
2008; 79(4):569±80.
Larkum AWD, Orth R., Duarte C. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Dordrecht:
Springer; 2006. 691 p.
Duarte CM, Marba N, Gacia E, Fourqurean JW, Beggins J, Barron C, et al. Seagrass
community metabolism: Assessing the carbon sink capacity of seagrass meadows.
Global Biogeochem Cycles. 2010; 24 (4):1±8.
Olive I, Silva J, Costa MM, Santos R. Estimating Seagrass Community Metabolism Using
Benthic Chambers: The Effect of Incubation Time. Estuaries and Coasts. 2016;
39(1):138±44.

IV - 2
Dahl M, Deyanova D, Lyimo LD, NaÈslund J, Samuelsson GS, Mtolera MSP, et al. Effects of
shading and simulated grazing on carbon sequestration in a tropical seagrass
meadow. J Ecol. 2016; 104 (3):654±64.
GullstroÈm M, LundeÂn B, Bodin M, Kangwe J,OÈ hman MC, Mtolera MSP, et al. Assessment
of changes in the seagrass-dominated submerged vegetation of tropical Chwaka Bay
(Zanzibar) using satellite remote sensing. Estuar Coast Shelf Sci. 2006;
67(3):399±408.
CederloÈ f U, Rydberg L, Mgendi M, Mwaipopo O. Tidal Exchange in a Warm Tropical
Lagoon: Chwaka Bay. Ambio. 1995; 24:458±64.
Mussaka ANN, Kangwe JW, Nyandwi N, WannaÈs KO, Mtolera MSP, M. B. Preliminary results
of sediment sources, grain size distribution and percentage cover of sand producing
Halimeda species and associated flora in Chwaka bay, Tanzania. In: 20th Anniversary
Conference on Advances on Marine Sciences in Tanzania 28 June- 1 July 1999,
Zanzibar (Tanzania), IMS/WIOMSA. 1999. p. 569.
Marba, Hemminga MA, Mateo MA, Duarte CM, Mass YEM, Terrados J, et al. Carbon and
nitrogen translocation between seagrass ramets. Mar Ecol Prog Ser. 2002;
226:287±300.
Short FT, Duarte CM. Methods for the measurement of seagrass growth and production. In:
Short FT, Coles RG, editors. Gobal Seagrass Research Methods. Amsterdam:
ELSEVIER; 2001. p. 155±82.
Beer S, BjoÈrk M, Gademann R, Ralph P. Measurements of photosynthetic rates in
seagrasses. In: Short FT, Coles RG, editors. Global Seagrass Research Methods.
Elsevier Sicience; 2001. p. 183±98.
Beer S, BjoÈrk M, Beardall J. Photosynthesis in the Marine Environment. Second. Wiley
Balckwell; 2014. 224 p.
Herzka SZ, Dunton KH. Seasonal photosynthetic patterns of the seagrass Thalassia
testudinum in the western Gulf of Mexico. Mar Ecol Prog Ser. 1997;
152(1±3):103±17.
Fourqurean JW, Zieman JC. Photosynthesis, respiration and whole plant carbon budget of
the seagrass Thalassia testudinum. Mar Ecol Prog Ser. 1991; 69(1±2):161±70.
Buesa RJ. Photosynthesis and Respiration of Some Tropical Marine Plants. Aquat Bot. 1977;
3:203± 216.
Hena MKA, Misri K, Sidik BJ, Hishamuddin O, Hidir H. Photosynthetic and Respiration
Responses of Dugong Grass Thalassia hemprichii (Ehrenb) Aschers. at Teluk Kemang
Seagrass Bed, Malaysia. Pakistan J Biol Sci. 2001; 4(12):1487±9.

IV - 3
Agawin NSR, Duarte CM, Fortes MD, Uri JS, Vermaat JE. Temporal changes in the
abundance, leaf growth and photosynthesis of three co-occurring Philippine
seagrasses. J Exp Mar Bio Ecol. 2001; 260 (2):217±39. PMID: 11358580
Qasim S, Bhattathiri PMA, Reddy CVG. Primary production of an atoll in the Laccadives. Int
Rev ges Hydrobiol. 1972; 57(2):207±25.
Jassby AD, Platt T. Mathematical formulation of the relationship between photosynthesis and
light for phytoplankton. Limnol Oceanogr. 1976; 21(July):540±7.
Hedge JE, Hofreiter BT. Carbohydrate chemistry 17. Whistler RL, Be Miller JN, editors. New
York: Academic press; 1962.
Thayumanavan B, Sadasivan S. Physiocochemical basis for the preferential uses of certain
rice varieties. Plant Foods Hum Nutr. 1984; 34:253±9.
Levene H. Robust Tests for Equality of Variances. In: Olkin I, Ghurye S, Hoeffding W,
Madow W, Mann H, editors. Contributions to Probability and Statistics: Essays in
Honor of Harold Hotelling. Stanford, Calif: Stanford University Press; 1960. p.
278±92.
BjoÈrk M, Uku J, Weil A, Beer S. Photosynthetic tolerances to desiccation of tropical
intertidal seagrasses. Mar Ecol Prog Ser. 1999; 191:121±6.
Silva J, Barrote I, Costa MM, Albano S, Santos R. Physiological responses of Zostera marina
and Cymodocea nodosa to light-limitation stress. PLoS One. 2013 Jan; 8(11):e81058.
https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0081058 PMID: 24312260
Briske D, Richards J. Plant responses to defoliation: A physiological, morphological and
demographic evaluation. Wild plants Physiol Ecol Dev Morphol. 1995;635±710.
VergeÂs A, PeÂrez M, Alcoverro T, Romero J. Compensation and resistance to herbivory in
seagrasses: Induced responses to simulated consumption by fish. Oecologia. 2008;
155(4):751±60. https://doi.org/10.1007/s00442-007-0943-4 PMID: 18193292
Belsky AJ, Carson WP, Jensen CL, Fox GA. Overcompensation by plants:herbivore
optimization or red herring? Evol Ecol. 1993; 7(1):109±21.
Ruiz JM, Romero J. Effects of in situ experimental shading on the Mediterranean seagrass
Posidonia oceanica. Mar Ecol Prog Ser. 2001; 215:107±20.
Carlson PR, Acker JC. Effects of in situ shading on Thalassia testudinum: preliminary
experiments. In: Webb FJ, editor. 12th Ann Conf Wetland Restoration Creation.
Tampa, Florida; 1985. p. 64±73.
Collier CJ, Lavery PS, Ralph PJ, Masini RJ. Shade-induced response and recovery of the
seagrass Posidonia sinuosa. J Exp Mar Bio Ecol. Elsevier B.V.; 2009;
370(1±2):89±103.

IV - 4
Czerny AB, Dunton KH. The Effects of in situ Light Reduction on the Growth of Two
Subtropical Seagrasses, Thalassia testudinum and Halodule wrightii. Estuaries. 1995;
18(2):418.
EkloÈ f JS, GullstroÈm M, BjoÈrk M, Asplund ME, Hammar L, Dahlgren a., et al. The
importance of grazing intensity and frequency for physiological responses of the
tropical seagrass Thalassia hemprichii. Aquat Bot. 2008; 89(3):337±40.
Suzuki J, Stuefer J. On the ecological and evolutionary significance of storage in clonal
plants. Plant Species Biol. 1999;11±7.
Lacey EA, Collado-Vides L, Fourqurean JW. Morphological and physiological responses of
seagrasses (Alismatales) to grazers (Testudines: Cheloniidae) and the role of these
responses as grazing patch abandonment cues. Rev Biol Trop. 2014; 62(4):1535±48.
PMID: 25720186
Lee KS, Dunton KH. Effects of in situ light reduction on the maintenance, growth and
partitioning of carbon resources in Thalassia testudinum Banks ex Konig. J Exp Mar
Bio Ecol. 1997; 210(1):53±73.
Collier CJ, Waycott M, Ospina AG. Responses of four Indo-West Pacific seagrass species to
shading. Mar Pollut Bull. Elsevier Ltd; 2012; 65(4±9):342±54.
https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2011.06.017 PMID: 21741666
Gordon DM, Grey KA, Chase SC, Simpson CJ. Changes to the structure and productivity of a
Posidonia sinuosa meadow during and after imposed shading. Aquat Bot. 1994;
47(3±4):265±75.
Hemminga MA. The root/rhizome system of seagrasses: an asset and a burden. J Sea Res.
19980; 39 (3±4):183±96.
Longstaff B., Loneragan N., O'Donohue M., Dennison W. Effects of light deprivation on the
survival and recovery of the seagrass Halophila ovalis (R.Br.) Hook. J Exp Mar Bio
Ecol. 1999; 234(1):1±27.
Alcoverro T, Mariani S. Patterns of fish and sea urchin grazing on tropical Indo-Pacific
seagrass beds. Ecography (Cop). 2004; 27(3):361±5.
Marbà N, Hemminga MA, Duarte CM. Resource translocation within seagrass clones:
Allometric scaling to plant size and productivity. Oecologia. 2006; 150(3):362±72.
https://doi.org/10.1007/s00442-006-0524-y PMID: 16944245
Cebrian J, Duarte CM, Agawin NSR, Merino M. Leaf growth response to simulated herbivory:
a comparison among seagrass species. J Exp Mar Bio Ecol. 1998; 220:67±81.
Collier CJ, Prado P, Lavery PS. Carbon and nitrogen translocation in response to shading of
the seagrass Posidonia sinuosa. Aquat Bot. 2010; 93(1):47±54.

IV - 5
Nayar S, Collings GJ, Miller DJ, Bryars S, Cheshire AC. Uptake and resource allocation of
inorganic carbon by the temperate seagrasses Posidonia and Amphibolis. J Exp Mar
Bio Ecol. 2009; 373(2):87±95.
Ferraro D, Oesterheld M. Effect of defoliation on grass growth. A quantitative review. Oikos.
2002; 1:125±33.
Pedersen O, Colmer TD, Borum J, Zavala-perez A, Kendrick GA. Heat stress of two tropical
seagrass species during low tides±impact on underwater net photosynthesis, dark
respiration and diel in situ internal aeration. New Phytol. 2016;1±12

IV - 6

Anda mungkin juga menyukai