KEPULAUAN INDONESIA
A. PENDAPAT PARA AHLI MENGENAI ASAL USUL MANUSIA DI KEPULAUAN
INDONESIA
1. Prof. Dr. H. Kern dengan Teori Imigrasi menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari
Asia (Campa, Kochin China dan Kamboja) . Hal ini didukung oleh adanya perbandingan
bahasa yang digunakan di kepulauan Indonesia yang akar bahasanya adalah bahasa
Austronesia.
2. Van Heine Geldern berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Pendapat ini
didkukung oleh adanya artefak-artefak yang ditemukan di Indonesia memiliki banyak
persamaan dengan yang ada di daratan Asia.
3. Moh. Yamin, mengatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Indonesia. Dia melihat
bahwa banyak penemuan artefak maupun fosil tertua di Indonesia dalam jumlah yang besar.
4. Drs. Moh Ali, mengatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Yunan, Cina Selatan.
5. NJ. Krom, berpendapat bahwa asal-usul bangsa Indoensia berasal dari daerah Cina Tengah.
6. Dr. Brandes, mengatakan bahwa bangsa yang bermukim di kepulauan Indonesia memiliki
banyak persamaan dengan bangsa-bangsa di daerah yang terbentang dari sebelah Utara
Formosa, sebelah Barat Madagaskar, sebelah Selatan Pulau Jawa-Bali, sebelah Timur sampai
tepi Barat Amerika melalui perbandingan bahasa.
Zaman Arkaekum yaitu zaman tertua dan diperkirakan sekitar 1500 juta
tahun.
Zaman Tersier
Zaman Kuarter
1. Max Muller menyatakan bahwa asal dari bangsa indonesia adalah daerah
Asia Tenggara. Namun dari pendapat Max Muller ini tidak begitu jelas
alasannya. Barangkali max muller menarik kesimpulan dari pendapat-
pendapat para ahli lainnya.
2. Prof. Dr. H. Kern menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah
Campa, kochin Cina, Kamboja. Kern juga menyatakan bahwa nenek moyang
bangsa indonesia mempergunakan perahu-perahu bercadik menuju
kepulauan indonesia. Pendapat kern ini didukung dengan adanya persamaan
nama dan bahasa yang dipergunakan di daerah-daerah tersebut dengan
daerah-daerah di indonesia. Hal ini disebabkan karena obyek penelitian dari
kern adalah tentang persamaan bahasa, pada nama-nama binatang dan alat-
alat perang. Di samping itu, pendapat kern ini sangat besar dipengaruhi oleh
pendapat Willem Smith.
5. Drs. Moh. Ali menyatakan bahwa bangsa indonesia berasal dari daerah
Yunan. Pendapat Moh Ali ini dipengaruhi oleh pendapat Mens yang
berpendapat bahwa bangsa indonesia berasal dari daerah mongol dan
terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat. Akibat terdesak, mereka
menyebar ke arah selatan hingga sampai ke wilayah indonesia. Namun
menurut Moh Ali (untuk memperkuat pendapatnya itu) menyatakan bahwa
nenek moyang bangsa indonesia berasal dari hulu-hulu sungai besar di Asia
dan kedatangannya di indonesia secara bergelombang, gelombang pertama
dari tahun 3000 SM – 1500 SM dan gelombang yang kedua dari tahun 1500
SM – 500 SM. Ciri-ciri gelombang pertama adalah berkebudayaan Neolitikum
dengan jenis perahu bercadik satu dan gelombang kedua menggunakan
perahu bercadik dua.
6. Prof. Dr. Kroom menyatakan bahwa asal-usul bangsa indonesi dari daerah
Cina Tengah, karena pada daerah cina tengah terdapat sumber sungai besar.
Mereka menyebar ke wilayah indonesia sekitar tahun 2000 SM sampai tahu
1500 SM
8. Prof. Moh. Yamin menentang semua pendapat yang dikemukakan oleh para
ahli. Moh Yamin berpendapat bahwa asal bangsa indonesia dari daerah
indonesia sendiri. Bahkan bangsa-bangsa lain yang ada di wilayah Asia ada
yang berasal dari daerah indonesia. Pendapat Moh yamin didukung oleh
suatu pernyataannya tentang Blood und Breden Unchro yang berarti adalah
darah dan tanah bangsa indonesia berasal dari indonesia sendiri. Ia
menyatakan bahwa fosil dan artefak itu lebih banyak dan lebih lengkap
ditemukan di wilayah indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah lainya di
Asia. Misalnya dengan penemuan manusia purba sejenih Homo Sapiens,
homo wajakensis dan sebagainya.
1. Meganthropus palaeojavanicus
3.Homo sapiens
2. Kebudayaan rohani
3. Kehidupan Budaya
2. Kehidupan Sosial
5. Kehidupan Budaya
Grabah terbuat dari tanah liat yang dibakar. Alat – alat ini
digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda – benda
perhiasan.
6. Perhiasan
Pada masa kehidupan masyarakat bercocok tanam telah
dikenal berbagai bentuk perhiasan. Bahan dasar pembuatan
perhiasan diambil dari bahan – bahan ayang ada di sekitar
lingkungan alam tempat tinggalnya.
Dari penemuan benda – benda budaya dong son itu, diketahui cara
pembuatannya dengan menggunakan cetak lilin hlang yaitu dengan
membuat bentuk benda dari lilin.
Sebuah artikel yang cukup menggugah nalar dan mengguncang tatanan sejarah bangsa ini.
Sayangnya saya tidak menemukan author dari artikel ini. Selamat meresapi dan merenung.
Kembali ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan
yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa
pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa
sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah
manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti
Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya.
Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini
dikenal sebagai penduduk asli Australia.
Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah
kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa
kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah
dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian
kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-
Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk
bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap
dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian
juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah
dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan
demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau
karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap
perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh
bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang
mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan
bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk
meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap
maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap
hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih
rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka
membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-
lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari
luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.
Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai
modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang
dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju
adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau
kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di
lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih
mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun
semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka
pilihan atas tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan.
Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga
wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya.
Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan
kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers,
alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau
febble, kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal
yaitu:
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-
harem untuk melayani para pemenang perang.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan
pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia
yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah
Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan
bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-
sungai lainnya di daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah
pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak
meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol.
Dari artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak
persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini
berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju
dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat
menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat
menetap secara lebih permanen.
Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan
awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk
mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar
membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik.
Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang
ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan
dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-
peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan
peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli.
Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-
sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku
bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak
Dalam.
Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam
perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga
yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan
menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.
Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk
dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan
mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa
Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang
menempati wilayah mereka.
Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran
darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di
Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke
pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu
serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya,
orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau
Melanesia.
Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang
Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut
orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini
lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam
sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda
mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai
terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan
kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak
ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman,
Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat
berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-
bakal bangsa Indonesia sekarang.
Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak
seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan
kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau
kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua
menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan
tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang
menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning
(mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa
Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.
Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba
yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia
terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis
terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri
kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa
pendatang.
Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia- Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
bahwa lingkungan alam bumi ini terus mengalami perubahan. Pada kala pleistosen, di bumi
terjadi empat kali masa glasial dan tiga kali masa interglasial. Pada zaman glasial, suhu bumi
makin dingin sehingga sebagian besar belahan bumi utara dan selatan tertutup oleh lapisan es
tebal. Permukaan air laut menurun dan laut yang dangkal ini berubah menjadi daratan.
Kondisi demikian memungkinkan bagi manusia ataupun hewan yang hidup pada masa itu
melakukan migrasi. Migrasi atau perpindahan dari suatu daerah ke daerah lain
dilatarbelakangi oleh upaya untuk mempertahankan hidup. Selain didorong untuk mencari
daerah yang lebih nyaman dan hangat, perpindahan dilakukan juga untuk mencari daerah-
daerah yang masih sangat kaya akan sumber makanan. Kita ingat bahwa pada masa itu
manusia sangat tergantung pada alam. Dengan keterbatasan pemikiran dan kemampuan,
mereka menyandarkan hidup sepenuhnya pada alam. Apabila alam tempatnya hidup sudah
tidak lagi menyediakan sumber makanan, maka mereka berpindah ke tempat yang masih
kaya akan sumber makanan. Manusia pada masa ini masih bersifat food gathering yang
artinya kemampuannya hanya terbatas pada mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di
alam dan belum pada taraf food producing, yaitu kemampuan untuk mengolah alam sehingga
menghasilkan sumber makanan atau dalam hal ini kemampuan bercocok tanam.
Para ahli geologi memperkirakan bahwa pada kala pleistosen khususnya ketika terjadinya
glasiasi, Kepulauan Nusantara ini bersatu dengan daratan Asia. Laut dangkal yang ada di
antara pulau-pulau di Nusantara bagian barat surut sehingga membentuk paparan yang
disebut dengan Paparan Sunda yang menyatukan Indonesia bagian barat dengan daratan Asia.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia bagian timur. Di daerah ini terbentuk paparan yang
kemudian dinamakan Paparan Sahul yang menyatukan Indonesia bagian timur dengan
daratan Australia. Adanya Paparan Sunda memungkinkan terjadinya perpindahan manusia
dan hewan dari daratan Asia ke Indonesia bagian barat, atau sebaliknya. Adapun Paparan
Sahul memungkinkan terjadinya perpindahan manusia dan hewan dari daratan Australia ke
Indonesia bagian timur, atau sebaliknya.
Hal di atas dibuktikan dengan hasil kajian yang dikembangkan oleh Wallace yang
menyelidiki tentang persebaran fauna (zoogeografi) di Kepulauan Indonesia. Fauna yang
terdapat di daerah Paparan Sunda, yaitu daerah-daerah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan,
mempunyai persamaan dengan fauna yang terdapat di Daratan Asia. Adapun fauna yang
terdapat di daerah Paparan Sahul, yaitu daerah Papua (Irian) dan sekitarnya mempunyai
persamaan dengan fauna yang terdapat di Australia. Wallace menyimpulkan bahwa Selat
Lombok merupakan garis yang membagi dua jenis daerah zoogeografi di Indonesia. Di
sebelah barat garis tersebut terdapat fauna Asia, sedangkan di timurnya terdapat fauna
Australia. “Garis pemisah” fauna ini kemudian oleh Huxley diberi nama “garis Wallace”.
Selanjutnya ia kemudian melengkapi dengan menarik garis itu lebih jauh ke arah utara, yaitu
dimulai dari Selat Lombok sampai Selat Makasar dan terus lagi ke utara melewati selat antara
Kepulauan Sangir dan Mindanao (Filipina).
Terhubungnya pulau-pulau akibat pengesan yang terjadi pada masa glasial memungkinkan
terjadinya migrasi manusia dan fauna dari daratan Asia ke kawasan Nusantara. Berdasarkan
hasil penelitian, migrasi ini didahului oleh perpindahan binatang yang kemudian diikuti oleh
manusia dan diperkirakan terjadi pada kala pleistosen. Sebagai bukti adanya proses migrasi
awal binatang dari daratan Asia ke wilayah Indonesia ialah ditemukannya situs paleontologi
tertua di daerah Bumiayu yang terletak di sebelah selatan Tegal (Jawa Tengah) dan Rancah di
sebelah timur Ciamis (Jawa Barat).
Fosil tersebut, yaitu Mastodon Bumiayuensis (spesies gajah) dan Rhinoceros Sondaicus
(spesies Badak). Bila dibandingkan dengan fosil binatang di daratan Asia, fosil-fosil tersebut
berumur lebih muda dari fosil-fosil yang terdapat dalam kelompok fauna Siwalik di India.
Proses migrasi yang terjadi pada masa pleistosen ini menyebabkan wilayah Nusantara mulai
dihuni oleh manusia. Timbul pertanyaan tentang asal-usul manusia yang bermigrasi ke
wilayah Nusantara ini. Menilik dari segi fisik manusia Indonesia sekarang ini, mayoritas
dapat dikelompokkan ke dalam ras Mongoloid dan Austroloid. Para ahli memperkirakan
bahwa pada sekitar abad ke-40 sebelum masehi, Pulau Jawa merupakan daerah pertemuan
dari beberapa ras dan daerah pertemuan kebudayaan. Ciri-ciri Mongoloid yang terdapat pada
manusia Indonesia, nampaknya disebabkan adanya arus migrasi yang berasal dari daratan
Asia. Kedatangan mereka pada akhirnya menyingkirkan manusia yang sudah hidup
sebelumnya di tanah Nusantara, yaitu dari ras yang disebut Austroloid. Bangsa pendatang
dari Asia ini mempunyai kebudayaan dan tingkat adaptasi yang lebih baik sebagai pemburu
dibandingkan dengan manusia pendahulunya. Keturunan dari ras Austroloid ini nampaknya
tidak ada yang dapat hidup di Jawa, tetapi mereka saat ini dapat ditemukan sebagai suku
Anak Dalam atau Kubu di Sumatera Tengah dan Indonesia bagian timur. Arus migrasi para
pendatang dari wilayah Asia ke Kepulauan Nusantara terjadi secara bertahap. Pada sekitar
3.000 – 5.000 tahun lalu, tiba arus pendatang yang disebut proto-Malays (Proto Melayu) ke
Pulau Jawa. Keturunan mereka saat ini dapat dijumpai di Kepulauan Mentawai Sumatera
Barat, Tengger di Jawa Timur, Dayak di Kalimantan, dan Sasak di Lombok.
Setelah itu, tibalah arus pendatang yang disebut Austronesia atau Deutero- Malays (Detro
Melayu) yang diperkirakan berasal dari Taiwan dan Cina Selatan. Para ahli memperkirakan
kedatangan mereka melalui laut dan sampai di Pulau Jawa sekitar 1.000 – 3.000 tahun lalu.
Sekarang keturunannya banyak tinggal di Indonesia sebelah barat. Orang Detro Melayu ini
datang ke wilayah Nusantara dengan membawa keterampilan dan keahlian bercocok tanam
padi, pengairan, membuat barang tembikar/pecah-belah, dan kerajinan dari batu.
Seorang ahli bahasa, yaitu H. Kern, melalui hasil penelitiannya menyatakan bahwa terdapat
keserumpunan bahasa-bahasa di Daratan Asia Tenggara dan Polinesia. Menurut pendapatnya, tanah
asal orang-orang yang mempergunakan bahasa Austronesia, termasuk bahasa Melayu, harus dicari
di daerah Campa, Vietnam, Kamboja, dan daratan sepanjang pantai sekitarnya. Hal ini menimbulkan
dugaan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah CinaSelatan yaitu di daerah
Yunan. Selain itu, R. von Heine Geldern yang melakukan penelitian tentang distribusi dan kronologi
beliung dan kapak lonjong yang ada di Indonesia tiba pada kesimpulan bahwa alat-alat tersebut
merupakan hasil persebaran komplek kebudayaan Bacson-Hoabinh yang ada di daerah Tonkin
(Indocina) atau Vietnam sekarang ini. Sebenarnya terdapat beberapa teori yang membahas tentang
asal-usul manusia yang sekarang menghuni wilayah Nusantara ini. Teori-teori tersebut antara lain
sebagai berikut.
a. Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia menurut Teori Yunan
Teori Yunan didukung oleh beberapa sarjana seperti R.H Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen,
Slametmuljana, dan Asmah Haji Omar. Secara keseluruhan, alasan-alasan yang menyokong
teori Yunan yaitu sebagai berikut.
1) Kapak Tua yang ditemukan di wilayah Nusantara memiliki kemiripan dengan Kapak Tua yang
terdapat di Asia Tengah. Hal ini menunjukkan adanya migrasi penduduk dari Asia Tengah ke
Kepulauan Nusantara.
2) Bahasa Melayu yang berkembang di Nusantara serumpun dengan bahasa yang ada di Kamboja.
Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di Kamboja mungkin berasal dari Dataran Yunan dengan
menyusuri Sungai Mekong.
Arus perpindahan ini kemudian dilanjutkan ketika sebagian dari mereka melanjutkan perpindahan
dan sampai ke wilayah Nusantara. Kemiripan bahasa Melayu dengan bahasa Kamboja sekaligus
menandakan pertaliannya dengan Dataran Yunan.
Migrasi dari Sungai Mekong