Anda di halaman 1dari 23

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara Hukum, dimana supremasi hukum sangat dijunjung tinggi,

oleh karenanya pembangunan hukum di Indonesia diarahkan pada terciptanya Tata Hukum

Nasional Indonesia, salah satunya adalah di bidang hukum Pemerintahan. Bertitik tolak dari

kondisi pemerintahan di era orde baru, maka memasuki era reformasi langkah awal untuk

menyerap aspirasi yang berkembang adalah membenahi sistem ketatanegaraan melalui

amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari aspek penyelenggaraan pemerintahan, perubahan yang terjadi adalah adanya

amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 yang

intinya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan menjalankan

roda Pemerintahan Daerah secara otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka terjadi pergeseran-pergeseran atau perubahan

paradigma yang dahulunya dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan

di Daerah dengan stelsel sentralisasi menjadi stelsel desentralisai melalui pemberian otonomi

luas kepada daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian

diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan

telah beberapa kali mengalami perubahan terhadap beberapa-ketentuan pasal-pasalnya yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.

Lebih lanjut Kota Mataram sebagai salah satu Kota diantara Kabupaten/Kota di Nusa

Tenggara Barat merupakan sebuah Daerah otonom, sehingga memiliki kewenangan untuk

melaksanakan otonomi, dalam melaksanakan otonomi daerah berhak membentuk Peraturan

Daerah sebagai perangkat regulasi untuk menjadi dasar legalitas untuk melaksanakan

pemerintahan dan pembangunan guna memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerahnya.

Sejak Pemerintahan Kota Mataram terbentuk telah banyak melahirkan produk hukum daerah
2
khususnya Perda, akan tetapi produk hukum berupa Peraturan Daerah yang bersumber dari

pelaksanaan atau penggunaan Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif) untuk

mengajukan rancangan peraturan daerah jumlahnya sangat minim dibandingkan dengan

rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh Pemerintah daerah (eksekutif). Mengingat

dalam ketentuan Pasal 140 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yang pada pokoknya mengamanatkan bahwa : “Rancangan Perda dapat

berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota”. Sejalan dengan hal tersebut, dalam

ketentuan Pasal 350 huruf (a) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, pada pokoknya mengamanatkan bahwa Anggota DPRD

Kabupaten/ Kota mempunyai hak untuk mengajukan rancangan peraturan daerah Kabupaten/

Kota. Hal inilah yang memberikan landasan hukum dan wewenang kepada anggota DPRD

untuk menggunakan haknya dalam mengajukan rancangan Peraturan daerah sesuai dengan

kehendak atau masukan dari masyarakat, karena DPRD merupakan representasi dari

masyarakat yang mereka wakili.

Hal inilah yang memberikan landasan hukum dan wewenang kepada anggota DPRD

untuk menggunakan haknya dalam mengajukan rancangan Peraturan daerah sesuai dengan

kehendak atau masukan dari masyarakat, karena DPRD merupakan representasi dari

masyarakat yang mereka wakili.

Menurut pendapat Solly Lubis, yang menyatakan bahwa selaku Wakil Rakyat yang

kepentingannya mereka wakili dan salurkan, harus berpegang teguh pada prinsip bahwa

mereka memainkan peranan ganda sekaligus, yakni :1

1) Meramu aspirasi rakyat, baik secara songsong bola ataupun jemput bola (menunggu rakyat
datang mengunjungi DPRD atau anggota DPRD itu turun ke lapangan langsung dialog
dengan rakyat).
2) Menyalurkan aspirasi rakyat ke forum-forum yang ada di DPRD, yaitu : Rapat Komisi,
Rapat Panitia Musyawarah, Rapat Pansus, Rapat Panitia Anggaran, Rapat Paripurna, dan
Pertemuan antara Legislatif dengan Eksekutif dan berusaha sedapat mungkin agar Perda-
Perda yang diterbitkan benar-benar menggambarkan tersalurnya aspirasi rakyat itu.
1
Solly, Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, halaman 60.
3

Sehingga diharapkan dalam pembentukan Peraturan Daerah aspirasi rakyat dapat

diakomodir. Dengan telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang antara lain mengatur tentang Prosedur dan

tekhnis pembentukan Peraturan Daerah. Dimana, dalam Ketentuan Bab XI Pasal 96 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah

diatur, bahwa masyarakat berhak memberi masukan baik secara lisan dan/atau tertulis dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan.

Keikutsertaan masyarakat dalam memberikan masukan terhadap pembentukan

peraturan Perundang-undangan merupakan suatu cerminan dari sebuah Negara Demokrasi

dimana keikutsertaan rakyat merupakan suatu hal yang niscaya, meskipun rakyat sudah

diresperentasikan oleh Wakil-wakil di lembaga Perwakilan Rakyat (DPR dan DPRD).

Penulisan mengenai Inisiatif DPRD dalam pembentukan Peraturan Daerah sebetulnya

bukanlah sesuatu yang baru sama sekali, sepanjang penelitian dan penulisan, ditemukan 1

(satu) tesis yang terkait, yaitu tesis ditulis oleh Muntoha pada Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Surakarta, tahun 2006 yang berjudul : Pelaksanaan Hak Inisiatif

DPRD (Studi Perbandingan Hak Inisiatif di DPRD Kabupaten Pemalang dan Kota

Pekalongan)2.

Berbeda halnya dengan kajian yang diteliti oleh penulis, dimana fokus kajiannya

mengenai proses pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui Inisiatif DPRD Kota

Mataram, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji implementasi asas keterbukaan dalam

pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram sebagai

amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

2
Rumusan Masalah yang diangkat, yaitu : (1) Bagaimanakah Pelaksanaan Hak Inisiatif di DPRD
Kabupaten Pemalang dan Kota Pekalongan; (2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Pelaksanaan Hak
Inisiatif di DPRD Kabupaten Pemalang dan Kota Pekalongan. Muntoha berkesimpulan (1) Pelaksanaan hak
inisiatif di DPRD Kabupaten Pemalang, tidak bisa dilaksanakan dikarenakan beberapa faktor terkait Prosedur
yang rumit, SDM anggota DPRD Kabupaten Pemalang yang belum mampu, Anggaran belum memadai.
Sedangkan Pelaksanaan hak inisiatif di DPRD Kota Pekalongan dapat berjalan baik, karena didukung oleh faktor
Prosedur yang mudah, SDM anggota DPRD Kota Pekalongan mempunyai komposisi pendidikan cukup baik dan
sudah dibantu oleh staf ahli, serta anggaran yang memadai.
4
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan., serta

mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi Pemerintahan Daerah Kota Mataram dalam

pembentukan Peraturan Daerah melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram.

Kemudian apabila melihat dalam pelaksanaannya di Pemerintah Kota Mataram produk

hukum berupa Peraturan Daerah yang bersumber dari pelaksanaan atau penggunaan Inisiatif

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mengajukan rancangan peraturan daerah jumlahnya

sangat minim dibandingkan dengan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh Pemerintah

daerah. Rendahnya tingkat partisipasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

Mataram terlihat pada Produk Peraturan Daerah sejak reformasi. Sebagaimana data rekapitulasi

jumlah Peraturan Daerah yang dihasilkan sejak tahun 1999 s/d 2012, dimana Peraturan Daerah

yang berasal dari Inisiatif DPRD Kota Mataram baru muncul pada tahun 2011 sebanyak 2

(dua) dan disusul pada tahun 2012 sebanyak 6 (enam).

Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka perlu dilakukan kajian dan penelitian untuk

menggali substansi permasalahan dengan mengangkat dalam sebuah tulisan dengan judul

“Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Melalui Inisiatif DPRD Kota

Mataram”.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui Inisiatif DPRD

Kota Mataram ?

2. Bagaimana implementasi Asas Keterbukaan dalam pembentukan Peraturan Daerah

melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram ?

3. Kendala-kendala apa yang dihadapi Pemerintahan Kota Mataram dalam pembentukan

Peraturan Daerah melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram ?


5
C. Landasan Teori

Dalam penelitian ini menggunakan 3 (tiga) teori sebagai alat bantu untuk menganalisis

permasalahan tersebut. Teori pertama yang digunakan adalah Teori Perundang-Undangan,

yang memuat pandangan-pandangan beberapa tokoh, yaitu : Hamid S. Attamimi dan Faria

Farida, yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan perundang-undangan merupakan ilmu

yang berhubungan dengan politik dan sosiologi, dimana peraturan perundang-undangan yang

baik, harus memenuhi syarat Landasan filosofis (filosofische grondslag), Landasan sosiologis

(socologische grondslag), Landasan yuridis (rechtsgrond), Landasan politis, ekologis, medis,

ekonomis, dan lain-lain.

Secara teoritik, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat dikaitkan dengan ajaran

Hans Kelsen mengenai Stufenbau des recht atau The Hierarchy of Law yang berintikan

bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap kadiah hukum yang lebih

rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi.3

Tata peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, didasarkan pada Pasal 7 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

Teori kedua yaitu Teori Konfigurasi Politik Pembentukan Hukum (Mahfud MD),

bahwa di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya

berkarakter responsif/ populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter,

maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.4

Kemudian Teori Sistem Hukum (Lawrence M. Friedman) menyatakan bahwa paling

tidak ada 3 (tiga) faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi proses pemberlakuan

hukum, yakni faktor substansi hukum (legal substance); faktor struktur hukum (legal

structure); faktor budaya hukum (legal culture).

3
Huda, Ni’ Matul dan Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Nusa Media, Bandung,
2011, halaman 23.
4
Mahfud MD, Moh, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers PT. RajaGraindo
Persada, Jakarta, 2011, halaman 66.
6
D. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis (empiris), sebagaimana

penelitian empiris, metode pendekatan yang digunakan pendekatan konseptual (Conceptual

Approach), dan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), serta pendekatan

Sosiologis (Sociological Approach). Teknik dan Analisa Data/ Bahan Hukum adalah dengan

melakukan wawancara (interview), kemudian membaca dan mempelajari secara mendalam

beberapa buku literatur.Kemudian dilakukan analisis kualitatif dan ditarik kesimpulan yang

dijabarkan dalam penulisan deskriptif.

II. PEMBAHASAN

A. Proses Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Melalui Inisiatif DPRD Kota

Mataram

Pembentukan Peraturan Daerah merupakan kewenangan Kepala Daerah bersama-sama

dengan DPRD, dimana inisiatif pembentukan Peraturan Daerah dapat berasal dari kepala

Daerah maupun inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Untuk pembentukan

Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram merujuk pada ketentuan

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010

tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram. Hal ini telah sesuai

dengan amanat Pasal 60 dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berlaku secara mutatis mutandis terhadap

penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Perlu diketahui bahwa Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota termasuk dalam jenis dan

hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga

dalam pembentukannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dimana berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa Pembentukan Peraturan


7
Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup

tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan.

Bahwa proses pembentukan Peraturan Daerah Pemerintahan Kota Mataram pada tataran

pelaksanaannya sudah memberikan ruang partisipasi masyarakat di dalam pembentukannya,

apabila dihubungkan proses pembentukan peraturan daerah baik melalui inisiatif kepala daerah

maupun melalui inisiatif DPRD Kota Matatam, maka indikator yang digunakan untuk

menentukan produk hukum yang dihasilkan berkarakter responsif atau ortodoks yaitu dari segi

fungsinya hukum, proses pembuatannya dan penafsiran atas sebuah produk hukum, maka

Rancangan yang berasal dari inisiatif kepala daerah bersifat positivis-instrumentalis, artinya

memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau

memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan

program pemerintah (top down). Dari segi proses pembuatannya yang bersifat sentralistik dalam

arti lebih didominasi oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini SKPD terkait, kemudian dari segi

penafsiran atas sebuah produk hukumnya memberi peluang luas kepada pemerintah untuk

membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi

sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis, hal tersebut jelas terlihat pada

ketentuan pasal 7 Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor : 8 tahun 2008 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mataram Tahun 2005-2025, yang pada

pokoknya menyatakan sebagai berikut :

“Hal-hal yang mengatur tentang pelaksanaan dan hal lain yang belum diatur dalam Peraturan
Daerah ini ditetapkan dengan Keputusan Walikota sesuai dengan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.”

Begitu juga halnya dengan Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mataram Tahun 2011 – 2031 yang memberikan

amanat di dalam Pasal-Pasalnya untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota sebanyak

21 (dua puluh satu ketentuan).


8
Ketentuan sebagaimana telah dikemukakan tersebut memberikan peluang yang besar

kepada pemerintah daerah untuk melakukan interpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak

pemerintah daerah, sehingga Peraturan Daerah yang berasal dari kepala daerah cenderung

berkarakter ortodoks.

Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Inisiatif DPRD Kota

Mataram bersifat aspiratif, artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan

aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya, sehingga produk hukum itu dapat

dipandang sebagai kristalisasi dan kehendak masyarakat (bottom up). Dari segi proses

pembuatannya yang bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi

masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat, kemudian

dari segi penafsiran atas sebuah produk hukumnya sangat sedikit memberikan peluang untuk

dilakukan penafsiran, hal tersebut terlihat jelas pada Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 7

Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pendirian, Pengawasan, Pengendalian dan Penyelenggaraan

Menara Telekomunikasi, dimana setelah dilakukan pengkajian baik materi maupun

substansinya sangat rinci diatur, kalau pun ada yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Walikota hanya sebatas teknis pelaksanaanya saja. Begitu juga halnya dengan ketentuan yang

diatur dalam Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penanggulangan

Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis Di Kota Mataram, sehingga Peraturan Daerah yang

berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram cenderung berkarakter responsif.

B. Implementasi Asas Keterbukaan Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Melalui Inisiatif

DPRD Kota Mataram

Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menganut paham kedaulatan rakyat, saat ini peran serta masyarakat

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dirumuskan dalam 139 ayat (1) dan ayat
9
(2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada pokoknya

menyatakan bahwa :

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman
kepada peraturan perundang-undangan.

Sejalan dengan hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa :

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-
undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas terkait dengan partisipasi masyarakat

sebagaimana telah dikemukakan, maka makna dari bunyi Pasal 96 ayat (1) : “Masyarakat

berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.” Dimana arti pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat

ditemukan di dalam Ketentuan umum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang pada pokoknya menyebutkan :

“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-


undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan.”

Sehingga konsekuensi logisnya, maka dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah

baik yang berasal dari inisiatif DPRD maupun yang berasal dari inisiatif Pemerintah Daerah

hendaknya dapat mengakomodir aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat yang

dilakukan melalui beberapa tahapan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Adapun
10
tahapannya antara lain, meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, pengundangan. Dimana ruang partisipasi bagi masyarakat harus ada disetiap tahapan

tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat

mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Sehingga diharapkan akan lahir Peraturan Daerah yang

partisipatif, masyarakat yang kritis, dan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan sosial

(society need).5

Namun demikian, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah

merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahapan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, maupun pengundangan. Dalam konteks

hak asasi manusia, setiap hak masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga

haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas

partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut. Dimana jika dikaitkan dengan

pembentukan peraturan daerah melalui hak inisiatif DPRD maka berdasarkan ketentuan Pasal

139 ayat (1) penjelasan dan Pasal 141 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah serta Pasal 60 ayat (2) dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang pada pokoknya menyebutkan

bahwa tata cara mempersiapkan Raperda yang berasal dari DPRD diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Tata Tertib DPRD, namun setelah dilakukan pengkajian terhadap Peraturan DPRD

Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

Mataram. Secara khusus, dalam BAB VIII Penyusunan, penyampaian, pembahasan dan

penetapan rancangan peraturan daerah tidak dirumuskan tentang partisipasi publik dalam
5
Halim, Hamzah dan Putera, Kemal Redino Syahrul, Op.,Cit., halaman 136.
11
pembentukan Peraturan Daerah. Meskipun ada ketentuan tentang penyaluran aspirasi, yaitu

BAB VII paragraf kedua belas Pasal 111 : penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi

masyarakat, ternyata di dalamnya tidak disinggung masalah hak masyarakat untuk berpartisipasi

dalam pembentukan Peraturan Daerah.

Akan tetapi apabila dihubungkan dengan fakta yang ada, diketahui bahwa partisipasi

masyarakat yang dilaksanakan terhadap pembentukan Peraturan Daerah yang berasal dari

Kepala Daerah hanya terbatas pada tahap penyusunan yakni saat konsultasi publik saja, dimana

masyarakat diberikan wadah untuk memberikan kritik, saran maupun masukan terhadap

Rancangan Peraturan Daerah yang telah disusun sebelumnya oleh Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) terkait yang cenderung dihajatkan untuk melaksanakan ketentuan peraturan

perundang-undangan di atasnya dan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan

terhadap pembentukan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram,

diketahui bahwa proses pengajuan hak inisiatif tersebut didasarkan atas keluh kesah yang

sebelumnya telah ditampung oleh anggota DPRD Kota Mataram baik melalui media cetak,

elektronik maupun didapat pada saat anggota DPRD Kota Mataram melakukan kegiatan reses,

yang kemudian dicoba untuk diaktualisasikan dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah.

Kemudian setelah Raperda melalui proses penyusunan dan disetujui sebagai Hak Inisiatif

DPRD maka kembali diadakan kegiatan public hearing.6 Jadi masyarakat sebenarnya telah

dilibatkan dari awal perencanaan dan penyusunannya, meskipun di dalam tahapan pembahasan

Raperda bersama Kepala Daerah masyarakat tidak dilibatkan secara langsung akan tetapi

keberadaan anggota DPRD tersebut merupakan cerminan dari masyarakat yang diwakilinya,

sehingga seluruh tahapan dari Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana

diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, telah sepenuhnya dilaksanakan oleh DPRD Kota Mataram.

6
Wawancara dengan, Nyayu Ernawati, S.Sos., Anggota DPRD Kota Mataram, pada tanggal 15 Januari 2013.
12
Lebih lanjut, meskipun dalam tataran implementasinya partisipasi masyarakat telah

dilaksanakan akan tetapi perlu menjadi perbaikan dalam tataran yuridis, dimana Peraturan tata

tertib DPRD yang menjadi pedoman penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA)

ternyata tidak hanya sekadar mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010

tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kenyataannya Tatib yang disusun oleh DPRD Kota Mataram

yang dituangkan dalam Peraturan DPRD Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata

Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram, malah menyerupai Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini tentunya

mengakibatkan terjadinya kekaburan norma. Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun

2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata

Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pedoman/ acuan dan masih bersifat umum.

Rendahnya peran serta dalam penyusunan peraturan pada dasarnya lebih disebabkan

oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai itu kurang memberi kesempatan

pada publik (bahkan nyaris tak ada). Kemampuan yang minim dan elitisme pembuat peraturan

di tingkat daerah turut menyumbang sempitnya ruang partisipasi bagi publik. Selain itu,

birokrasi model lama masih mendominasi sehingga proses penyusunan peraturan yang

seharusnya dimungkinkan untuk melibatkan publik malah menjadi tertutup.

Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam

mengusulkan/ memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan

pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan di bidang

perundang-undangan adalah sangat penting untuk menghasilkan produk hukum/ Peraturan

Daerah (Perda) yang responsif.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan

peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik
13
hukum dan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan, sehingga pembangunan dan

pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem

hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam

masyarakat Indonesia yang berorientasi terciptanya hukum yang responsif.

Roman tomasic, dalam Saifudin7 mengemukakan bahwa proses pembentukan Peraturan

Perundang-undangan pada dasarnya dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap, dimana masyarakat dapat

berpartisipasi pada masing-masing tahapan tersebut, yakni :

1. Partisipasi pada tahap ante legislative dapat dilakukan, melalui :

a Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian


b Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar.
c Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengajuan usul inisiatif
d Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap suatu rancangan Peraturan
Perundang-undangan.

2. Partisipasi pada tahap legislative dapat dilakukan, melalui :

a Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi di lembaga perwakilan.


b Partisipasi masyarakat dalam bentuk rancangan Peraturan Perundang-undangan
alternatif.
c Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak.
d Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik.
e Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa.
f Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar.

3. Partisipasi pada tahap Post legislative dapat dilakukan, melalui :

a Unjuk rasa terhadap peraturan perundang-undangan yang baru.


b Tuntutan pengujian.
c Sosialisasi.

Dengan Demikian, dapat dipahami bahwa nomenklatur sebagaimana yang telah

diamanatkan dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yang pada pokoknya memberikan hak kepada masyarakat

untuk berpartisipasi dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan, harus

ditindaklanjuti dalam aturan pelaksanaannya dalam hal ini Peraturan Tata Tertib DPRD yang

mengatur secara jelas terkait kewajiban pemerintahan daerah untuk memberikan ruang terhadap

berbagai model partisipasi masyarakat.


7
Roman tomasic, dalam Saifudin, Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
FH UII Pres, Yogyakarta, 2009, halaman 306.
14
Kemudian dalam penelitian ini diketahui pula, bahwa Perkembangan konfigurasi politik

diikuti pula dengan perkembangan karakter produk hukum, khususnya Peraturan Daerah Di

Kota Mataram sebagaimana diuraikan di bawah ini :

1. Periode tahun 1994-1998

Pada periode ini tepatnya pada tahun 1994 merupakan awal terbentuknya

Pemerintahan Kota Mataram, dimana perkembangan pembentukan peraturan daerah masih

kuat di dominasi oleh kepala daerah, sehingga banyak produk hukum yang dihasilkan

khususnya Peraturan Daerah cenderung untuk melaksanakan perintah dari peraturan

perundang-undangan di atasnya, berdasarkan data yang penulis dapatkan bahwa Peraturan

Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Mataram dari Tahun 1994 di Jaman Orde

Baru yaitu sejak berdirinya Kota Mataram sampai dengan Tahun 1998 di awal bergulirnya

reformasi, sebanyak 109 (Seratus Sembilan) Peraturan Daerah yang dihasilkan, dimana

kecendrungan Peraturan Daerah tersebut bersifat otoriter yang ditandai dengan tidak adanya

Perda yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram sehingga indikasinya Perda tersebut

tidak aspiratif menyuarakan kepentingan masyarakat dan hanya mewakili kepentingan

penguasa dan golongan tertentu (pengaruh dari demokrasi terpimpin), sehingga karakter

poduk hukum pada periode ini cenderung konservatif/ ortodoks.

2. Periode tahun 1999-2003

Tidak jauh beda dengan periode sebelumnya, pada periode ini perkembangan

pembentukan peraturan daerah masih kuat di dominasi oleh kepala daerah dengan mengacu

pada Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan

perundang-undangan, dimana peran DPRD dibidang legislasi masih kalah kuat dengan

Pemerintah Daerah serta tidak terdapat ketentuan terkait partisipasi masyarakat di dalam

pembentukan Peraturan Daerah, sehingga karakter poduk hukum/ Peraturan Daerah pada

periode ini cenderung konservatif/ ortodoks.

3. Periode tahun 2004-2010


15
Pada periode ini perkembangan pembentukan Peraturan Daerah masih kuat di

dominasi oleh kepala daerah dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, meskipun di dalam peraturan

perundang-undangan terkait dengan pemerintahan daerah memberikan ruang kepada DPRD

untuk mengajukan Rancangan Peraturan Daerah serta telah diatur terkait partisipasi

masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi ketentuan

tersebut belum mampu diaplikasikan, mengingat aturan terkait partisipasi masyarakat tidak

secara jelas diatur terkait bentuk partisipasi masyarakat, sehingga pembentukan Peraturan

Daerah masih didominasi oleh kepala daerah, sehingga karakter poduk hukum/ Peraturan

Daerah pada periode ini cenderung konservatif/ ortodoks.

4. Periode tahun 2011-sekarang

Pada periode ini perkembangan pembentukan peraturan daerah khususnya di Kota

Mataram telah mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana sudah mulai menunjukkan peran

DPRD Kota Mataram dalam mengajukan rancangan Peraturan Daerah, dimana dari materi

maupun substansi yang diajukan di dalam Rancangan Peraturan Daerah merupakan jawaban

dari kebutuhan masyarakat (bottom up), sehingga karakter poduk hukum/ Peraturan Daerah

pada periode ini cenderung Responsif.

Berdasarkan data yang penulis peroleh bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh

Pemerintah Kota Mataram dari tahun 1999 sejak bergulirnya reformasi sampai dengan Tahun

2013 sebanyak 171 (seratus tujuh puluh satu) Peraturan Daerah. Dimana ada 2 (Dua) Peraturan

Daerah di Tahun 2011 dan 4 (Empat) Peraturan Daerah di Tahun 2012, serta 3 (tiga) Peraturan

Daerah di Tahun 2013 yang merupakan inisiatif dari DPRD Kota mataram.

Dengan demikian dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Peraturan Daerah yang

ditetapkan oleh Pemerintah Kota Mataram setelah reformasi lebih bersifat demokratis yang

ditandai dengan adanya Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram hal
16
ini mengindikasikan bahwa Peraturan Daerah tersebut berkarakter responsif serta

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat Kota Mataram. Dimana

dihajatkan untuk :

1. Menangani secara intensif perkembangan sosial yang dianggap sudah menyimpang dari
nilai-nilai luhur kemasyarakatan.
2. Meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangkat
mencapai perilaku hidup yang sehat dan sejahtera, serta untuk meningkatkan kualitas
lingkungan hidup.
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan kehidupan demokrasi di
daerah.

Munculnya Peraturan Daerah melalui inisiatif DPRD Kota Mataram mendapat apresiasi

positif dari beberapa kalangan baik akademisi maupun masyarakat, hal ini diketahui dari

beberapa pendapat sebagai berikut :

1. Drs. Muhammad Ali, M.Si (akademisi-pengamat kebijakan publik), menurutnya DPRD

Kota Mataram sudah bisa mengimbangi kepentingan masyarakat karena selama ini pada

dasarnya memang itulah yang dibutuhkan. Hal tersebut justru menggambarkan betapa

DPRD Kota Mataram sangat memiliki sikap yang responsibility akan hak-hak dan

kepentingan masyarakat.8

2. Suaeb Query (Ketua GP Ansor – NTB), menurutnya adanya hak inisiatif Dewan berarti telah

mencerminkan bahwa dewan sebagai wakil rakyat telah mampu mementingkan hajat

masyarakat banyak. Dengan kata lain, para wakil rakyat bisa mementingkan serta

memperjuangkan hak-hak yang menjadi milik masyarakat.9

3. Ida Md.Kartana.Spd (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk

Keadilan (LBH APIK) Provinsi Nusa Tenggara Barat)10, menurutnya adanya hak inisiatif

Dewan dalam pembentukan Peraturan Daerah merupakan implementasi dari perkembangan

demokrasi, dimana rakyat melalui wakil-wakilnya di DPRD dapat secara proaktif

8
Sekretariat DPRD Kota Mataram, Majalah Swara, Op. Cit., halaman 11.
9
Ibid.
10
Wawancara dengan, Ida Md.Kartana.Spd., Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan (LBH APIK) Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 9 Februari 2013.
17
menyuarakan kepentingan rakyat sehingga aturan yang dibentuk dalam Peraturan Daerah

dapat mengakomodir kepentingan umum dan bukan kepentingan tertentu saja.

C. Kendala Yang Dihadapi Pemerintahan Kota Mataram Dalam Pembentukan Peraturan

Daerah Melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram.

1. Lingkup Pemerintah Kota Mataram

a. Kendala substansi hukum (legal substance);

Belum diatur dengan jelas baik di dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kota Mataram maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun

2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, terkait dengan partisipasi masyarakat

yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Bagian Hukum Setda Kota

Mataram melalui kegiatan konsultasi publik, sehingga terhadap rancangan Peraturan Daerah

yang berasal dari inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram pada

tataran pelaksanaannya semua rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak diadakan

konsultasi publik.

b. Kendala struktur hukum (legal structure);

Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah yang memiliki kemampuan dibidang

perancangan produk hukum daerah (legislatif drafter) sangat terbatas. Dari keterangan yang

diperoleh bahwa pada Bagian Hukum Setda Kota Mataram hanya memiliki Sumber Daya

Aparatur yang memiliki kemampuan dibidang legislatif drafting sebanyak 2 (dua) orang,

padahal pekerjaan membuat rancangan produk hukum daerah sangat banyak baik yang

bersifat mengatur maupun bersifat penetapan. Dengan demikian antara pekerjaan

perancangan dengan jumlah personalia yang memiliki kemampuan perancangan produk

hukum daerah adalah tidak sebanding.

c. Kendala di bidang sarana


18
Sarana ini sangat dibutuhkan mengingat dalam merancang sebuah produk hukum

daerah, maka yang harus dipahami lebih awal adalah dasar kewenangan, materi muatan apa

yang akan diatur, dasar hukum sebagai rujukan, karenanya informasi dan dokumentasi

hukum sangat dibutuhkan, terutama adalah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

dan masih berlaku, akan tetapi fasilitas yang ada saat ini belum memadai mengingat Bagian

Hukum Setda Kota Mataram belum memiliki fasilitas tersebut.11

d. Kendala budaya hukum (legal culture);

Lamanya koordinasi antar lembaga/ instansi terkait dalam melakukan kajian

terhadap materi maupun substansi Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram terlebih lagi seringnya ketidak

tepatan waktu lembaga/ instansi terkait dalam memberikan jawaban kajian teknis terkait

Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.

Sehubungan dengan kendala-kendala yang dihadapi sebagaimana diuraikan sebelumnya,

maka berikut ini akan diuraikan mengenai solusi yang dilakukan dalam rangka mengatasi kendala-

kendala yang dihadapi tersebut.

a. Kendala substansi hukum (legal substance);

Pihaknya melakukan koordinasi secara intensif bersama Anggota Panitia Khusus yang

telah dibentuk melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram

dalam rangka menghasilkan Peraturan Daerah yang sesuai dengan amanat Ketentuan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.12

b. Kendala struktur hukum (legal structure);

Pihaknya dalam hal ini dibentuk tim pengkajian peraturan perundang-undangan

sehingga keterbatasan Sumber Daya Aparatur yang memiliki kemampuan dibidang

perancangan produk hukum daerah (legislatif drafter) dapat teratasi.

11
Wawancara dengan, Akmalul Aksan, SH. Kasubbag Peraturan Perundang-undangan Setda Kota Mataram,
pada tanggal 2 Januari 2013.
12
Wawancara dengan, I Nyoman Mustika, SH. Kepala Bagian Hukum Setda Kota Mataram, pada tanggal 2
Januari 2013.
19
c. Kendala di bidang sarana;

Pihaknya telah berupaya memanfaatkan fasilitas yang ada berupa layanan internet

dan di tahun anggaran 2013 Bagian Hukum Setda Kota Mataram telah menganggarkan dana

guna pengadaan buku-buku hukum dan literatur peraturan perundang-undangan yang berlaku

serta telah dianggarkan pula Aplikasi Jaringan Sistem Informasi Hukum yang terhubung

langsung dengan Kementerian Dalam Negeri.

d. Kendala budaya hukum (legal culture);

Dalam melakukan koordinasi tersebut pihaknya telah menyusun strategi dengan cara

mengundang lembaga/instansi terkait untuk melaksanakan rapat koordinasi dengan

melampirkan terlebih dahulu naskah rancangan Peraturan Daerah, yang kemudian masing-

masing perwakilan dari lembaga/instansi terkait dapat hadir dengan tepat waktu sekaligus

membawa hasil kajian teknis dari rancangan Peraturan Daerah dimaksud.13

2. Lingkup Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram

a. Kendala substansi hukum (legal substance);

Belum diatur dengan jelas di dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) mengenai hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan

Peraturan Daerah, dimana Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram yang

dituangkan dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram

Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram,

seharusnya terdapat pengaturan yang jelas terkait partisipasi masyarakat maupun kewajiban

Pemerintahan Daerah dalam memberikan ruang pada setiap tahapan pembentukan Peraturan

Daerah mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Akan tetapi Peraturan DPRD Kota Mataram

Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram

13
Wawancara dengan, I Nyoman Mustika, SH. Kepala Bagian Hukum Setda Kota Mataram, pada tanggal 2
Januari 2013.
20
terkesan menyerupai Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman

Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini tentunya mengakibatkan terjadinya kekaburan norma.

Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan

Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah merupakan pedoman/ acuan dalam penyusunan peraturan tata tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang masih bersifat umum.

b. Kendala struktur hukum (legal structure);

Masih terbatasnya kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram, dimana diketahui bahwa pada periode

keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram Tahun 2009 sampai

dengan Tahun 2014, dari 35 (tiga puluh lima) orang anggota Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram yang berpendidikan Strata Dua (S2) berjumlah 2

(dua) orang, Strata Satu (S1) berjumlah 22 (dua puluh satu) orang, SMA/sederajat berjumlah

11 (sebelas) orang. Dari keseluruhan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kota Mataram yang memiliki latar belakang pendidikan hukum berjumlah 9 (sembilan)

orang. Dengan melihat latar belakang pendidikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) Kota Mataram sangat mempengaruhi proses Pembentukan Peraturan

Daerah maupun hasil akhir dari suatu Peraturan Daerah.

c. Kendala di bidang sarana

Kurangnya dukungan sarana informasi dan dokumentasi hukum yang memadai

dalam mendukung proses pembentukan Peraturan Daerah melalui inisiatif Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram, sehingga terdapat beberapa aturan

pelaksanaan dalam Undang-Undang di atasnya yang belum dilakukan pengaturan lebih

lanjut, akan tetapi belum diketahui oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
21
Kota Mataram selaku pengusul Rancangan Peraturan Daerah melalui Inisiatif Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram.

d. Kendala budaya hukum (legal culture);

Belum memadainya waktu yang ditetapkan guna membahas Rancangan Peraturan

Daerah mengingat terikatnya jadwal sidang yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah

dalam suatu masa sidang, seringkali langkah-langkah tersebut diabaikan, terlebih lagi

padatnya agenda Dewan yang harus diselesaikan, mengingat selain Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) memiliki fungsi Legislasi, juga harus melaksanakan fungsi

anggaran dan pengawasan.14

Sehubungan dengan kendala-kendala yang dihadapi, maka berikut ini akan diuraikan

mengenai solusi yang dilakukan dalam rangka mengatasi kendala-kendala yang dihadapi tersebut.

a. Solusi yang dilakukan terhadap kendala substansi hukum (legal substance);

Meskipun dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram

Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram,

tidak diatur secara jelas terkait dengan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam

pembentukan Peraturan Daerah, akan tetapi di dalam proses pembentukan Peraturan Daerah

khususnya melalui inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram,

pihaknya melakukan interaksi langsung dengan masyarakat melalui masa reses, sehingga

setiap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram dapat menyalurkan,

memperjuangkan dan menindaklanjuti aspirasi tersebut pada rapat-rapat di Dewan. Adapun

dalam hal pengajuan usul Rancangan Peraturan Daerah melalui Inisiatif Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram selalu dilakukan indentifikasi terhadap kebutuhan-

kebutuhan masyarakat yang dituangkan dalam naskah akademik.15

b. Solusi yang dilakukan terhadap kendala struktur hukum (legal structure);

14
Wawancara dengan, Nyayu Ernawati, S.Sos., Anggota DPRD Kota Mataram, pada tanggal 15 Januari 2013.
15
Wawancara dengan, Drs. H. Muhamad Zaini, Ketua DPRD Kota Mataram, pada tanggal 8 Januari 2013.
22
Untuk mendukung kelancaran dalam pembentukan Peraturan Daerah dapat di atasi

dengan meminta bantuan Tim Ahli yang berasal dari Akademisi maupun Masyarakat sesuai

dengan kemampuannya untuk mengkritisi dan memberikan penyempurnaan dalam materi

Rancangan Peraturan Daerah. Kemudian selama ini Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) Kota Mataram selalu diikutsertakan dalam kegiatan Bimbingan Teknis

(Bintek) baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun Swasta.16

c. Solusi yang dilakukan terhadap kendala di bidang sarana.

Selama ini telah tersedianya fasilitas perpustakaan khusus, dalam hal ini buku-buku,

literatur maupun refrensi terkait dengan pelaksanaan fungsi dan tugas sebagai Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram. Kemudian tersedianya fasilitas internet di

lingkup Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram guna memudahkan di

dalam mencari informasi terkait aturan-aturan yang sudah ditetapkan, serta di dalam

pembentukan Peraturan Daerah pihaknya selalu berkoordinasi dengan instansi terkait guna

melakukan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap aturan-aturan yang berlaku.17

d. Solusi yang dilakukan terhadap kendala budaya hukum (legal culture);

Pihaknya selalu menekankan agar semua elemen yang terlibat dalam agenda Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram dapat berkomitmen terhadap jadwal yang

telah ditentukan oleh Badan Musyawarah (Bamus), sehingga manajemen waktu yang tepat,

terarah dan terencana dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.18

III. PENUTUP

A. Simpulan

Dari uraian pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diuraikan beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

16
Wawancara dengan, L. Aria Dharma BS, SH., Kepala Bagian Hukum dan Persidangan Setwan Kota
Mataram, pada tanggal 5 Januari 2013.
17
Wawancara dengan, H. Chaerul Hidayat, S.Ip., Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram
Kota Mataram, pada tanggal 5 Januari 2013.
18
Wawancara dengan, Nyayu Ernawati, S.Sos., Anggota DPRD Kota Mataram, pada tanggal 15 Januari 2013.
23
1. Proses pembentukan Peraturan Daerah, baik terhadap pembentukan Peraturan Daerah

melalui inisiatif DPRD Kota Mataram maupun dari Kepala Daerah pada tataran

pelaksanaannya sudah memberikan ruang partisipasi masyarakat di dalam pembentukannya.

akan tetapi memiliki perbedaan yang sangat mendasar, dimana Peraturan Daerah yang

berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram berkarakter responsif sedangkan Peraturan

Daerah yang berasal dari Kepala Daerah berkarakter ortodoks.

2. Implementasi Asas Keterbukaan dalam pembentukan Peraturan Daerah yang responsif

melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram telah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan

Perundang-Undangan yang berlaku. Kemudian lahirnya Peraturan Daerah melalui inisiatif

DPRD Kota Mataram merupakan wujud nyata konfigurasi politik demokratis, sehingga

menghasilkan Peraturan Daerah yang responsif.

3. Kendala yang dihadapi, antara lain: di bidang substansi hukum (legal substance), masih

belum terdapat aturan yang jelas terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan

peraturan daerah melalui inisiatif DPRD Kota Mataram, di bidang struktur hukum (legal

structure), terbatasnya kemampuan Sumber Daya Aparatur Pemerintah maupun Anggota

DPRD, di bidang sarana, kurangnya sarana Informasi dan Dokumentasi Hukum, serta di

bidang budaya hukum (legal culture), lamanya koordinasi dengan lembaga/ instansi terkait,

serta kurang optimalnya pemanfaatan waktu, mengingat padatnya jadwal Anggota DPRD

Kota Mataram.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penyempurnaan/ perubahan substansi terhadap Peraturan DPRD Kota

Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

Mataram, sehingga kepastian hukum terkait partisipasi masyarakat di dalam pembentukan

Peraturan Daerah dapat terwujud.

2. Perlu dilakukan peningkatan kualitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),

agar kualitasnya lebih baik dan dapat memahami penyusunan produk hukum.

Anda mungkin juga menyukai