Pemerintah Republik Indonesia (yang diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud),
Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Pemerintah
Australia melalui Australian Aid (AusAID), Uni Eropa (UE) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) telah membentuk
Kemitraan Pengembangan Kapasitas dan Analisis Sektor Pendidikan (Education Sector Analytical and Capacity
Development Partnership/ACDP). ACDP adalah fasilitas untuk mendorong dialog kebijakan dan memfasilitasi
reformasi kelembagaan dan organisasi untuk mendukung pelaksanaan kebijakan dan untuk mengurangi
kesenjangan kinerja pendidikan. Fasilitas ini merupakan bagian integral dari Program Pendukung Sektor
Pendidikan (Eduction Sector Support Program/ESSP). Dukungan UE terhadap ESSP juga termasuk dukungan
anggaran sektor dan program pengembangan kapasitas tentang Standar Pelayanan Minimum. Dukungan
Pemerintah Australia adalah melalui Kemitraan Pendidikan Australia dengan Indonesia. Laporan ini disiapkan
dengan dukungan hibah dari AusAID dan Uni Eropa melalui ACDP.
Institusi-institusi yang bertanggung jawab melaksanakan studi ini adalah PT. TRANS INTRA ASIA bekerjasama
dengan Institute of Public Administration of Canada (IPAC).
Pendapat yang disampaikan dalam publikasi ini sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulisnya dan tidak
serta merta mewakili pandangan Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Australia, Uni Eropa atau Bank
Pembangunan Asia.
Pengembangan Strategi Kemitraan
Perguruan Tinggi, Industri, dan
Pemerintah di Indonesia
Daftar Isi
Daftar Isi ii
Daftar Singkatan vi
Ringkasan eksekutif ix
Bab 6. Rekomendasi 71
6.1 Perguruan tinggi 72
6.1.1 Pengembangan keahlian yang relevan dan kegiatan interdisiplin 72
6.1.2 Dukungan fasilitas yang bermutu 72
6.1.3 Penghargaan kepada ‘champions’ 73
6.1.4 Pengelolaan SDM yang fleksibel 73
6.1.5 Kepemimpinan, strategi, dan kapasitas pengelolaan 73
6.2 Strategi untuk pemerintah pusat 74
6.2.1 Menumbuhkan saling percaya 74
6.2.2 Kebijakan yang konsisten 74
6.2.3 Meningkatkan anggaran litbang 75
6.2.4 Penyaluran dana secara efektif 76
6.3 Strategi untuk Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 77
6.3.1 Dukungan Pengembangan Otonomi Perguruan Tinggi 77
6.3.2 Dukungan untuk pengembangan perguruan tinggi di kawasan Timur 77
6.4 Tindak lanjut untuk perbaikan informasi dan strategi 80
6.4.1 Pengembangan basis informasi UIP 80
6.4.2 Strategi untuk mendorong industri bernilai tambah dan berinovasi 80
6.4.3 Strategi peningkatan kapasitas dalam litbang biologi 80
6.5 Usulan Pendanaan Program 81
6.5.1 Hibah Pengembangan Kapasitas 81
6.5.2 Pengaturan Institusional Untuk Penyaluran Dana Hibah 83
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia iii
Daftar Isi
Daftar acuan 87
Daftar Lampiran
Lampiran A Proyeksi pendapatan mandiri tahun 2012 91
Lampiran B Paket anggaran penelitian untuk dikompetisikandi PTN 92
Lampiran C Perguruan tinggi yang melakukan studi pelacakan di proyek I-MHERE 93
Lampiran D Anggaran pemerintah untuk litbang tahun 2012 94
Lampiran E Paten dan publikasi yang dihasilkan oleh Universitas 95
Lampiran F Daftar Responden Wawancara 97
Daftar Annex
Annex I Makalah yang disajikan pd 10th Triple Helix Conference 2012 102
Annex II Mengukur Kualitas Pendidikan Sarjana 114
Annex III Komite Inovasi Nasional 116
Annex IV Hibah pengembangan kapasitas untuk kemitraan UIP 117
Annex V Hibah penguatan fasilitas dukungan UIP 120
Annex VI Kunjungan Studi Banding 122
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Koridor Ekonomi menurut MP3EI 2
Gambar 1.2 Ruang Inovasi Triple Helix III 2
Gambar 1.3 Karakteristik Kelembagaan 4
Gambar 1.4 Metodologi Studi 6
Gambar 2.1 Peningkatan produktivitas untuk daya saing dan keunggulan 13
Gambar 2.2 Perbedaan penilaian perusahaan dan karyawan/tim mengenai kelemahan pekerja 15
Gambar 2.3 Karakteristik sifat-sifat manajer yang lemah[World Bank, 2010] 15
Gambar 4.1 Kerangka utama Sistem Inovasi [MoRT, 2010] 43
Gambar 4.2 Pengeluaran litbang dan personalia iptek 46
Gambar 4.3 Sebaran dana hibah [DP2M, 2012] 48
Gambar 4.4 Tujuh penerima bantuan h[DP2M, 2012] 48
Gambar 6.1 Ruang kelembagaan serta pegetahuan, konsensus, dan inovasi 71
Daftar Tabel
Tabel 1-2 Daftar yang Diwawancarai 7
Tabel 3.1 Tingkat Pengangguran2009-2011 [BPS, 2012] 20
Tabel 3.2 Distribusi institusi pendidikan tinggi di koridor MP3EI [Dikti, 2012] 27
Tabel 3.3 Hasil Akreditasi [BAN-PT, 2009] 29
Tabel 3.4 Peringkat Institusi menurut THES and QS 30
Tabel 3.5 Kualifikasi Dosen [DGHE, 2010] 30
Tabel 3.6 Alokasi anggaran untuk Ditjen Dikti 2007-2012 [Dikti, 2012] 36
Tabel 3.7 Struktur otonomi dan akuntabilitas 38
Tabel 4.1 Pengeluaran Litbang/ PDB, di negara yang dipilih dalam miliar USD 45
Tabel 4.3 Sebaran dana hibah RAPID 2008-2012 [DP2M, 2012] 49
Daftar Box
Box 1 China and India: Menarik Litbang dari Investor Asing Langsung 10
Box 2 Cocoa Sustainability Partnership 11
Box 3 Pergeseran dari Ekspor Minyak Sawit Mentah ke Minyak Olahan 12
Box 4 Dosen yang aktif membina kemitraan dengan industri 17
Box 5 Tiga Politeknik Unggulan 21
Box 6 Dua contoh Perguruan Tinggi Swasta Kewirausahaan 22
Box 7 Kasus ekstrem: Institut Pertanian STIPER Yogyakarta (INSTIPER) 23
Box 8 Reformasi Pendidikan Tinggi Cina 24
Box 9 Tingkat Kebutuhan Teknis dan Sifat Hubungan 26
Box 10 Memperluas Program Sarjana [Chronicle, 2010; Peterson, 2012] 27
Box 11 Memperkenalkan Budaya Kualitas di AS (Brint, 2009) 29
Box 12 PT Ecomindo Saranacipta 32
Box 13 Pengalaman Universitas Universitas Cina dalam Spin Off 33
Box 14 Mengembangkan Eko-sistem 34
Box 15 Reformasi Pendidikan Tinggi di Jepang [MEXT, 2010] 39
Box 16 Sistim Inovasi –kasus di India [Mathew, 2010] 41
Box 17 Pusat Penelitian Produk Budaya dan Lingkungan – ITB 50
Box 18 Litbang di Kementerian Pekerjaan Umum 51
Box 19 PT Semen Padang 56
Box 20 Kesempatan Membangun jaringan atau Pertemuan terstruktur 56
Box 21 Hubungan MIT dengan industri [Hatakenaka 2004] 57
Box 22 Memperkenalkan budaya relevansi 60
Box 23 STORMA 66
Box 24 Mengembangkan Mekansime Internal untuk Karya Interdisiplin 72
Box 25 Peran Filantropis 75
Box 26 Keanekaragaman Pendanaan Litbang di AS 76
Daftar Singkatan
ATMI Politeknik ATMI Surakarta
ACDP Analytical and Capacity Development Partnership
ADB Asian Development Bank
AIPI Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
APK Angka Partisipasi Kasar
ARN Agenda Riset Nasional
BAN PT Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BHMN Badan Hukum Milik Negara
BINUS Universitas Bina Nusantara
BPS Badan Pusat Statistik
BPPS Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana
BPPT Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BLU Badan Layanan Umum
DI PT Dirgantara Indonesia
Ditjen Dikti Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
EU European Union
HAKI Hak Atas Kekayaan Intelektual
INSTIPER Institut Pertanian STIPER Yogyakarta
IPB Institut Pertanian Bogor
IPR Intellectual Property Rights
ITB Institut Teknologi Bandung
ITS Institut Teknologi Sepuluh Nopember
KAI PT Kereta Api Indonesia
KAIST Korean Advanced Institute of Science and Technology
KAIST ME KAITS - Mechanical Engineering Department
Kemendag Kementerian Perdagangan
Kemendikbud Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemenhan Kementerian Pertahanan
Kemenkes Kementerian Kesehatan
Kemenperind Kementerian Perindustrian
Kemen PU Kementerian Pekerjaan Umum
Kemenristek Kementerian Riset dan Teknologi
Kementan Kementerian Pertanian
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MALUT Maluku Utara
MIT Massachusetts Institute of Technology
MP3EI Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
NTB Nusa Tenggara Barat
NTT Nusa Tenggara Timur
OECD Organization for Economic Cooperation and Development
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia vii
viii Program Kemitraan untuk Pengembangan Kapasitas dan Analisis Pendidikan
Ringkasan Eksekutif
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia - Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Growth atau MP3EI yang
ambisius, dengan tujuan memajukan pertumbuhan yang tersebar tidak merata, dengan mendukung
tujuh koridor ekonomi di seluruh negeri. Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji status perguruan
tinggi di Indonesia saat ini dalam hal kapasitasnya untuk bekerja sama dengan industri dan pemerintah,
sehingga mereka dapat berkontribusi dalam mewujudkan visi tersebut dan memberi rekomendasi
mengenai strategi dan kegiatan di masa depan. Studi ini ditugaskan oleh Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah program
Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), didanai oleh Uni Eropa dan AusAID, dan
dikelola oleh Asian Development Bank (ADB).
a) sistem inovasi di Indonesia: pada tahap mana perkembangannya dan interaksi macam apa yang
terjadi di antara universitas, industri, dan pemerintah ?;
b) peran universitas: peran apa yang harus mereka mainkan, dan perubahan serta strategi
pengembangan seperti apa yang diperlukan agar dapat memainkan peran tersebut ?; dan
c) kegiatan dan program masa depan: kegiatan dan program spesifik apa yang diperlukan, bagaimana
harus dirancang, dan sumber daya apa yang diperlukan untuk membangun kemitraan UIP ?
Temuan awal studi ini disajikan pada Konferensi Triple Helix ke-10, yang diadakan di Bandung, 8 – 10
Agustus 2012, dan laporannya diterbitkan di dalam Procedia Social and Behavioral Sciences Elsevier.
Naskah lengkap artikel tersebut ditampilkan pada Annex I dokumen ini, dan tersedia di alamat situs
http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.468.
Studi ini menemukan bahwa perguruan tinggi, industri, dan pemerintah masih berada dalam dunianya
(sphere) masing-masing dan cukup jauh dari satu sama lain. Tim studi menemukan beberapa contoh
kemitraan produktif yang berhasil, dimana pengetahuan dikembangkan dan dimanfaatkan bersama.
Tim studi menjumpai satu kasus dimana ketiganya mengembangkan strategi dan gagasan bersama dan
membangun organisasi baru untuk menerapkannya. Walaupun demikian, kasus tersebut merupakan
kasus khusus dan bukan kasus umum dalam sistem inovasi.
Tim studi tidak menemukan pihak manapun yang siap mengambil kepemimpinan dalam pengembangan
sistem inovasi di Indonesia, sementara studi banding yang dilakukan ke Korea Selatan dan Cina
menunjukkan bahwa pemerintah mereka amat berperan dalam mendorong inovasi. Karena perbedaan
sistem politik, Pemerintah Indonesia tampaknya tidak dapat berperan proaktif dan memimpin seperti
halnya di Cina dan Singapura dalam mendorong inovasi. Selain itu, berbeda dengan Jepang dan Korea
Selatan, Indonesia tidak memiliki industri unggulan yang mendorong kemajuan inovasi. Tim studi
berkesimpulan bahwa perguruan tinggi merupakan pihak yang paling layak untuk mengambil inisiatif,
antara lain karena sebaran geografis pusat pertumbuhan dalam MP3EI. Oleh karena itu, penting bagi
Indonesia untuk mengembangkan perguruan tinggi di seluruh negeri sebagai institusi strategis.
Dalam aspek ukuran dan jangkauannya, secara umum pendidikan tinggi sudah memadai untuk dapat
mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun dirasakan amat penting untuk menerapkan diferensiasi
tugas dan misi, agar kebutuhan pembangunan yang tersebar secara geografis dapat dipenuhi. Setiap
koridor ekonomi setidaknya diharapkan untuk memiliki:
a) satu perguruan tinggi dengan fokus pada bidang keahlian yang relevan dengan kebutuhan
daerahnya atau “relevant research institution” –tidak berarti harus memiliki kemampuan untuk
meneliti di segala bidang;
b) perguruan tinggi yang menawarkan pendidikan praktis jangka pendek yang menyiapkan
mahasiswanya memasuki dunia kerja; dan
c) perguruan tinggi yang menawarkan pendidikan generik jenjang S-1 berkualitas, dan memberikan
kesempatan yang lebih luas kepada lulusannya untuk memilih bidang yang sesuai dengan
kebutuhan daerahnya.
Pada tingkat nasional, “relevant research institution” amat penting untuk dikembangkan sehingga
menjadi lebih luas cakupan bidang keahliannya, baik dari sisi fundamental maupun terapan untuk
mendukung industri yang berbasis pengetahuan.
Beberapa politeknik dan perguruan tinggi swasta sudah dapat dianggap mampu menawarkan
pendidikan berkualitas dengan orientasi praktis pada jenjang Diploma dan S-1. Sehingga dapat
dikatakan, best practices dalam menyediakan pendidikan relevan sebenarnya sudah ada. Langkah
berikutnya yang dibutuhkan adalah menyebarluaskan praktik tersebut ke lebih banyak perguruan
tinggi dan ke daerah yang lebih luas. Hal ini dianggap penting karena kritik dan ketidak-puasan pemberi
kerja atas kemampuan lulusan masih kuat, khususnya atas kemampuan dasar seperti Bahasa Inggris
dan keterampilan teknologi informasi.
Sulit untuk menemukan perguruan tinggi unggulan di antara perguruan tinggi berorientasi pembelajaran
atau “teaching oriented”. Sebagian besar dari mereka berada dalam kelompok ini karena keterbatasan
kapasitas. Komitmen untuk meningkatkan kualitas umumnya kurang memadai, karena kebanyakan
terobsesi untuk menjadi perguruan tinggi riset, bukan pembelajaran. Tim studi juga amat prihatin atas
gejala lunturnya budaya kualitas yang sudah mulai terbangun sejak dasawarsa 2000an. Peningkatan
kualitas secara signifikan nampak di akhir 1990an dan 2000an, dengan best practices berkembang di
tingkat jurusan dan program studi. Namun budaya ini kurang berhasil dilembagakan di PTN, sehingga
budaya ini tampak mulai pudar beberapa tahun terakhir. Tidak hanya dibutuhkan dorongan kuat untuk
menghidupkan kembali semangat dan budaya kualitas tersebut di tingkat perguruan tinggi, namun
juga membudayakan pengembangan intangible skills yang diperlukan di dunia ekonomi. Penting agar
gerakan peningkatan kualitas dihidupkan kembali, khususnya untuk mendorong budaya kualitas di
tingkat institusi pada semua kategori institusi.
Salah satu isu yang paling penting adalah ketiadaan “relevant research institution”, walaupun kandidat yang
berpotensi cukup tersedia. Beberapa perguruan tinggi yang sudah mapan cukup memiliki sumberdaya,
serta rekam jejak dan hasrat untuk lebih aktif dalam kegiatan riset. Namun pengarahan yang diterima
lebih mendorong mereka ke riset fundamental dan publikasi riset internasional. Tidak ada dorongan bagi
para akademisi untuk bekerja sama dengan industri, menjadikan riset lebih relevan, dan mengembangkan
pola pikir aplikatif. Dalam situasi seperti ini, dosen yang ingin mengembangkan aplikasi industri menemui
banyak hambatan bahkan untuk sekedar menemukan mitra industri yang cocok.
Evaluasi tim studi atas kapasitas riset dan pengembangan juga menonjolkan kebutuhan akan tindak
lanjut perbaikan. Proporsi tenaga ahli ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia jika dibandingkan
dengan jumlah penduduk Indonesia, termasuk yang terendah di dunia. Investasi di bidang riset dan
pengembangan juga sangat rendah, yaitu 0.08% dari PDB, dibandingkan dengan 0.7% di Malaysia,
0.85% di India, dan 1.6% di Cina. Perguruan tinggi mewakili pemain penting dalam riset dan
pengembangan, dan walaupun alokasi anggaran pendidikan tinggi terus meningkat, alokasi dana riset
secara keseluruhan masih amat rendah, bahkan untuk riset strategis yang relevan dengan kebutuhan
nasional hampir tidak ada peningkatan.
Selain itu, terdapat beberapa isu yang membutuhkan perhatian serius. Isu utama yang mendasar
adalah tidak adanya saling percaya dan kesepahaman di antara ketiga pihak. Banyak perguruan tinggi
menyusun strategi riset tanpa melibatkan industri sama sekali, dan sebagian dosen memandang
industri sebagai “kapitalis” serta kurang memiliki idealisme. Di sisi lain, industri memandang perguruan
tinggi sebagai menara gading, birokratis, dan terlalu menekankan pada konsensus dalam pengambilan
keputusan. Untuk mengatasinya diperlukan lebih banyak ‘hybrid’, yaitu mendorong akademisi terlibat
dalam riset dan pengembangan di industri, dan peneliti industri terlibat di laboratorium perguruan
tinggi. Kesempatan untuk lebih saling mengenal (structured encounters), di mana peneliti industri dan
akademisi bertemu secara periodik, juga perlu difasilitasi untuk membangun pemahaman mengenai
fungsi dan cara kerja masing-masing. Dewan penyantun, advisory committee, asosiasi profesi, proyek
bersama, interaksi alumni, dan konsultasi dapat menyediakan kesempatan bagi kedua pihak untuk
saling mengenal. Kunjungan belajar tim studi ke Korea Selatan dan Cina menunjukkan bahwa perguruan
tinggi dapat dan harus menciptakan lebih banyak structured opportunities.
Isu penting kedua adalah lemahnya kerangka institusional di PTN dalam mengembangkan kemitraan
dengan industri. Tidak adanya otonomi pengelolaan keuangan PTN menyulitkan pelaksanaan proyek
yang efisien. Ketidakjelasan status hukum juga menimbulkan keraguan dalam negosiasi kontrak dan
permasalahan kekayaan intelektual. Tanpa otonomi, perkembangan institusi berjalan tanpa memiliki
mekanisme institusional ataupun kerangka strategis.
Isu ketiga adalah masalah disparitas antara koridor ekonomi. Kesenjangan antar perguruan tinggi
demikian besar, sehingga tanpa upaya khusus yang komprehensif akan sulit menerapkan MP3EI,
terutama di kawasan Indonesia Timur.
Tim studi juga mengidentifikasi dua isu yang lebih luas, yang mungkin berada di luar cakupan studi ini
untuk ditindaklanjuti. Isu pertama adalah kelangkaan struktur insentif yang secara komprehensif dapat
memberikan dorongan bagi industri untuk melakukan investasi riset dan pengembangan, terutama ke
arah hilir, dengan meningkatkan nilai tambah serta nilai strategis yang lebih tinggi pada produk seperti
pertambangan atau pertanian. Tim studi berpendapat bahwa MP3EI menjadi tidak laik tanpa kebijakan
afirmatif yang mendorong proses pendalaman industri. Isu kedua adalah perlunya penguatan kapasitas
riset dan pengembangan di bidang penelitian sumberdaya biologi, sejalan dengan keinginan untuk
menyeimbangkan upaya pelestarian dan eksploitasi hayati. Kedua isu penting tersebut membutuhkan
studi yang lebih mendalam serta pengembangan strategi dan program tindak lanjut.
Tim studi merekomendasikan perguruan tinggi untuk menjadi perguruan tinggi yang strategis
dengan budaya inovasi dan relevan. Pertama, mereka harus lebih strategis dalam memilih bidang
keahlian yang ditekuni, dengan mempertimbangkan keunggulan lokal dan nasional. Kedua,
perguruan tinggi perlu memperkuat dukungan untuk kemitraan UIP, seperti unit hubungan industri,
aspek legal dalam penyusunan kontrak industri, pengembangan kerjasama serta komersialisasi hasil
riset dan pengembangan, science parks, dan pengembangan inkubator. Fasilitas tersebut bukan saja
membutuhkan staf yang tangguh dan berkomitmen, tetapi juga memahami dunia akademik dan
memiliki keterampilan yang lebih dari sekedar akademisi paruh-waktu biasa. Ketiga, perguruan tinggi
perlu mengembangkan skema insentif kepada dosen yang berhasil mengembangkan kemitraan
dengan industri dan mengomersialkan hasil risetnya.
Jelas bahwa kerangka institusional harus berorientasi kepada pemberian otonomi kepada perguruan
tinggi. Disadari bahwa banyak hal yang harus dilakukan sehingga akan membutuhkan waktu yang
cukup panjang untuk mencapainya. Namun, ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam jangka
pendek oleh pemerintah untuk memfasilitasi kerjasama perguruan tinggi dengan industri, misalnya
mencari alternatif dalam penyaluran dana. Perubahan ini akan mendorong banyak PTN membentuk
unit-unit baru untuk perhubungan kerjasama universitas dengan industri.
Tim studi merekomendasikan pemerintah pusat untuk membangun kembali kepercayaan industri
swasta. Pertama, dengan membentuk fora tokoh perguruan tinggi, industri, dan pemerintah untuk
bertemu dan bertukar pikiran. Selanjutnya, dibutuhkan kebijakan komprehensif dan konsisten tentang
arah industrialisasi, melalui skema insentif dan kebijakan afirmatif yang mendorong industri untuk
melakukan investasi riset dan pengembangan di arah hilir dengan nilai tambah yang tinggi, misalnya di
sektor pertanian dan pertambangan. Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan anggaran untuk riset dan
pengembangan secara komprehensif.
Peningkatan anggaran riset dan pengembangan amat dibutuhkan, namun tim studi tidak menyarankan
sekedar peningkatan nilai moneter saja. Tim studi menemukan bahwa anggaran riset dan pengembangan
di Ditjen Dikti dan Kemenristek meningkat terus beberapa waktu ini, sehingga mereka dapat mendanai
proyek penelitian dengan baik. Yang masih amat dibutuhkan adalah mekanisme penyaluran dana
riset dan pengembangan melalui skema block grant, proses pencairan yang lebih cepat, dan proyek
bertahun jamak, untuk meningkatkan efektivitas penggunaan dana.
Tim studi memandang bahwa amat dibutuhkan peningkatan anggaran dari pemerintah untuk riset
strategis untuk memajukan tema riset yang bermuara pada relevansi nasional di masa depan. Menristek
telah mulai mendanai program seperti ini, namun sektor dan Kementerian teknis lain juga dibutuhkan
kontribusinya sesuai dengan kepentingan sektornya.
Tim studi skema hibah kompetisi amat dibutuhkan untuk menumbuhkan budaya baru di lingkungan
perguruan tinggi yang berorientasi pada kebutuhan industri dan relevansi. Skema kompetisi akan
memberikan insentif bagi pertumbuhan inovasi. Proposal awal untuk hibah ini harus disusun bersama
industri dan pemerintah karena seluruh program akan mendorong perencanaan pengembangan
perguruan tinggi. Lebih jelasnya tim studi merekomendasikan tiga jenis program.
Program hibah pertama ditujukan kepada akademisi dan staf industri yang ingin berkiprah di pihak
mitranya dalam program pertukaran, sehingga mereka memperoleh sudut pandang ‘hybrid’.
Program hibah kedua menyediakan dana bagi pengembangan perguruan tinggi untuk memberikan
dukungan teknis dan administratif pada kerjasama UIP, seperti hubungan perusahaan dan dukungan
komersialisasi.
Program hibah ketiga bertujuan mengembangkan kapasitas perguruan tinggi dalam bidang tertentu
sesuai dengan prioritas nasional dan kebutuhan industri. Tim studi menyarankan agar program terakhir
ini dirancang secara berlapis, agar disparitas antar koridor ekonomi ikut menjadi bahan pertimbangan
dengan dukungan terarah ke bagian Indonesia Timur. Beberapa program semacam ini dapat dimulai
secepatnya, dan tim studi merekomendasikan sistem hibah tertentu untuk memastikan bahwa
persiapan dan implementasi dilaksanakan dengan efektif.
Dalam jangka menengah sampai panjang, tim studi mengharapkan agar Ditjen Dikti dan instansi
pemerintah terkait lainnya dapat menarik industrialis untuk memberi saran dalam pengembangan
strategi, kebijakan, dan perancangan skema pendanaan. Dalam jangka pendek mungkin sulit untuk
mengidentifikasi industrialis yang tepat. Oleh karena itu, tim studi menyarankan agar inisiatif awal
ditangani oleh Ditjen Dikti, dengan memastikan bahwa pendapat pihak industrialis diikutsertakan
dalam (a) perancangan program melalui konsultasi dengan ahli bidang industri, (b) seleksi, monitoring,
dan evaluasi melalui percobaan kerjasama dengan ahli bidang industri, dan (c) penyusunan proposal
hibah, dengan syarat bahwa perguruan tinggi tidak dapat menyerahkan proposal tanpa konsultasi
dengan pihak industri.
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia xiii
Ringkasan Eksekutif
1.1 Pendahuluan
Walau terjadi perlambatan di berbagai bagian dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini
bertahan di tengah lemahnya ekonomi global. Indonesia sukses mempertahankan pertumbuhan di atas
6% (diproyeksikan 6.4% pada tahun 2012), defisit anggaran di bawah 2.5% dari PDB, serta perbandingan
utang publik terhadap PDB di bawah 25%. Sebagai emerging economy, Indonesia sekarang dianggap
sebagai negara dengan penghasilan menengah kebawah dan memasuki tahap ketiga perkembangan
ekonomi, atau disebut juga ‘ekonomi yang didorong efisiensi’ oleh World Economic Forum (WEF 2012).
Indonesia saat ini perlu menangani aspek yang lebih kompleks untuk meningkatkan daya saing, di
tengah masuknya Indonesia dalam ekonomi yang didorong efisiensi. Dalam konteks ini, pendidikan
tinggi menjadi penting untuk pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional. Sumber daya manusia
yang terdidik, penelitian iptek yang baik, dan hubungan dengan industri dan pemerintah dianggap
sebagai kunci keberhasilan oleh hampir semua negara anggota OECD. Dewasa ini semakin banyak
negara yang mengembangkan strategi inovasi dengan berbagai program pendukung untuk mendorong
universitas mengambil peran ekonomi yang lebih besar. Penekanan akan kerjasama Universitas-
Industri-Pemerintah (U-I-P) terjadi tidak hanya di negara OECD, tapi juga di emerging economy dan
negara berkembang.
Indonesia bukanlah pengecualian dalam hal ini. Pemerintah Indonesia baru-baru ini meluncurkan MP3EI
(Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development), yang dimaksudkan untuk
mendorong realisasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seimbang, adil, dan berkelanjutan, melalui
dua faktor kunci, yaitu percepatan dan perluasan (MP3EI, 2011). Indonesia berencana mempercepat
program pengembangan yang sudah ada, terutama dalam meningkatkan nilai tambah sektor ekonomi
primer, meningkatkan perkembangan infrastruktur dan penyediaan energi, serta pengembangan
sumberdaya manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain program percepatan, pemerintah
juga mengusahakan perluasan pengembangan ekonomi sehingga pengaruh positifnya dapat
dirasakan tidak hanya di setiap daerah di Indonesia, tapi juga oleh semua lapisan masyarakat. Strategi
perkembangan ekonomi ini membutuhkan kerjasama yang kuat antara universitas, industri, dan
pemerintah (UIP).
Tugas untuk melaksanakan studi ini diberikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di bawah program
Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), yang dibiayai oleh EU dan AusAID, dan dikelola
oleh Asian Development Bank (ADB). Tujuan utama studi ini adalah untuk membahas kondisi perguruan
tinggi di Indonesia saat ini dalam hal kapasitas untuk mengembangkan kerjasama dengan industri dan
berkontribusi terhadap strategi pengembangan ekonomi ini.
Gambar-1.1:
Gambar-1.1:Koridor
Koridor ekonomi menurutMP3EI
ekonomi menurut MP3EI
Produksi
dan
Pemroses
S
u
l
S a
u Kalima
w
m e
Prod. and proc. of minerals
energy reserves Maluku -
Produksi dan
Produksi dan
Pemrosesan
Pemrosesan SDA
SDA
Jawa Kesejahteraan
Ketahanan
Bali – Nusa
Industri dan jasa
Pariwisata dan
Ketahanan pangan
Model ini juga telah diperluas untuk menjelaskan posisi UIP terhadap satu sama lain. Dalam rezim
stasis (Triple Helix I), pemerintah memainkan peran utama, mengatur akademia dan industri. Dalam
rezim laissez-faire (Triple Helix II), industri menjadi penggerak, dengan dua pihak lain menjadi struktur
pendukung sampingan (Etzkowitz dan Ranga, 2010). Dalam masyarakat berdasarkan ilmu pengetahuan,
Industri
PEMERINTAH
PERGURUAN TINGGI
perguruan tinggi dan institusi penghasil ilmu lainnya berperan lebih besar1, sebagai pelaku aktif di
hubungan kerjasama dengan industri dan pemerintah, bahkan mengambil kepemimpinan untuk
inisiatif bersama, dalam model yang seimbang (Triple Helix III). Dalam model yang dipimpin perguruan
tinggi, perguruan tinggi akan menjadi pusat gravitasi yang memulai kerjasama, seperti diilustrasikan
pada Gambar-1.2. Dalam hal ini, langkah paling pertama untuk mencapai kerjasama produktif adalah
dengan mengadakan temu awal perguruan tinggi dengan industri dan pemerintah.
Pada perguruan tinggi -penelitian relevan (kuadran II), akademisi akan melakukan penelitian dasar
untuk menciptakan pengetahuan baru yang menjelaskan prinsip dasar, namun diilhami oleh aplikasi
dan kepentingannya untuk masyarakat. Contoh utamanya adalah sekelompok kecil perguruan tinggi2
penelitian di Amerika Serikat yang berorientasi pada relevansi, seperti MIT, Stanford University, dan
perguruan tinggi land-grant yang sejak awal berorientasi pada pelayanan kebutuhan masyarakat.
Institusi-institusi ini biasanya memiliki sistem institusional yang ekstensif untuk mendukung akademisi
bekerja dengan industri dan pihak lain yang berkepentingan. Mereka juga memiliki dan menekankan
mekanisme untuk mendukung penelitian antar disiplin yang relevan dalam menghadapi tantangan di
masyarakat.
Perguruan tinggi -penelitian dasar (Kuadran I) didorong oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan dasar, dengan
sedikit minat ataupun kapasitas untuk melayani kebutuhan masyarakat. Ini adalah perguruan tinggi
klasik “menara gading”, dengan kemampuan penelitian yang mumpuni; dulu sebagian besar perguruan
tinggi penelitian di dunia dianggap termasuk dalam kelompok ini – setidaknya sampai baru-baru ini,
saat kepentingan ekonomi menjadi prinsip global.
Kotak di bagian bawah-kanan berisikan perguruan tinggi berorientasi profesional (Kuadran IV) yang
bertujuan memenuhi kebutuhan pasar akan tenaga kerja yang berbasis ilmu dan keterampilan
praktis. Mereka memberikan pembelajaran yang relevan untuk memasuki dunia kerja dan sering
melakukan konsultasi serta penelitian yang berorientasi pada aplikasi dengan dan bersama industri.
Tujuan penelitian mereka bukan untuk menemukan prinsip dasar untuk publikasi, melainkan untuk
mengembangkan solusi atas masalah spesifik. Contohnya amat bervariasi; dari grandes écoles di
Perancis, yang dirancang untuk menyediakan pendidikan profesional kelas atas (walaupun mereka
mulai mengembangkan kapasitas penelitian dasar dalam beberapa dekade terakhir), University of
Applied Sciences di Jerman (sebelumnya disebut fachhocheschules), dan banyak politeknik di negara-
negara lain. Institusi semacam itu akan memiliki berbagai hubungan langsung dengan lapangan kerja
dan industri.
Pada perguruan tinggi yang terfokus pada pembelajaran (Kuadran III), tujuan utama penelitiannya adalah
agar para akademisinya mengetahui perkembangan terbaru; sehingga penelitian mereka lebih sesuai
disebut ‘beasiswa’. Perguruan tinggi liberal arts di AS adalah contoh yang baik: mereka berkomitmen
1 Istilah “perguruan tinggi” yang digunakan dalam dokumen ini mewakili semua jenis institusi pendidikan tinggi, antara lain
universitas, institusi, sekolah tinggi, akademi, dan politeknik.
2 Ini merupakan klasifikasi yang dibangun berdasarkan kerangka konsep yang diajukan oleh Stokes (Stokes, 1997), yang
mengusulkan bahwa penelitian dasar bisa diilhami oleh aplikasinya – berbeda jauh dengan kepercayaan ortodoks bahwa
ilmu pengetahuan dasar harus bebas dari kepentingan aplikasi (Hatakenaka, 2008).
ORITENASI
PADA ILMU
DASAR
Orientasi pd
profesi,
III IV
Fokus pada
pembelajaran mis. Politeknik,
mis. Liberal art colleges Akademi
komunitas,
Grande Ecoles
menawarkan mata kuliah yang beragam, dengan penekanan lebih pada keterampilan keterampilan
umum daripada keterampilan keterampilan profesional.
Pada banyak negara berkembang, sebagian besar perguruan tinggi secara otomatis masuk ke dalam
kategori yang terfokus pada pembelajaran – karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk benar-benar
aktif dalam penelitian, baik dasar maupun aplikatif. Banyak institusi juga tidak terbentuk sempurna,
hanya mencakup segelintir bidang ilmu, atau dengan sumberdaya manusia yang kurang memenuhi
kualifikasi. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Bila Indonesia ingin berhasil meraih tujuan dari MP3EI, sangat
penting dalam tingkat nasional untuk memiliki setidaknya beberapa perguruan tinggi penelitian relevan
(Kuadran II). Setiap koridor ekonomi juga harus memiliki perguruan tinggi dengan kapasitas penelitian
relevan, setidaknya dalam beberapa bidang yang relevan bagi daerah tersebut, yang akan disebut
sebagai “perguruan tinggi penelitian relevan daerah” (Kuadran II). Setiap ‘pusat’ utama dalam koridor
tersebut harus memiliki baik perguruan tinggi berorientasi profesional yang mampu memberi edukasi
relevan-industri dengan cepat (Kuadran IV) maupun perguruan tinggi terfokus pada pembelajaran
yang dapat memberi edukasi yang baik yang meliputi berbagai bidang spesialisasi akademik (Kuadran
III), sehingga dapat menyediakan tenaga ahli yang terlatih dan fleksibel.
• Peran apa yang perlu dimainkan oleh perguruan tinggi, serta perubahan dan strategi pengembangan
apa yang dibutuhkan?
Studi ini mengevaluasi kapasitas dan kelayakan perguruan tinggi untuk mengambil peran utama
seperti digambarkan dalam Triple Helix III. Dalam konteks MP3EI, terdapat beberapa prasyarat agar
dapat melakukan peran yang diharapkan dalam mengembangkan kemitraan UIP. Jika prasyarat
belum tercukupi, mungkin diperlukan adanya perubahan di lingkungan perguruan tinggi,
pemerintah, dan industri.
• Program spesifik apa yang dibutuhkan, bagaimana sebaiknya program itu dirancang, dan sumber daya
apa saja yang diperlukan untuk mengembangkan kemitraan UIP?
Studi ini mengembangkan semacam cetak biru yang perlu didukung oleh dana dari pemerintah,
bentuk pengaturan institusional untuk menjalankan program tersebut, opsi yang tersedia untuk
setiap daerah, dan sumber daya yang dibutuhkan.
3 Facebook : http://www.facebook.com/share.php?u=http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.468
Twitter: https://twitter.com/share?original_referer=http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.468
1.5 Metodologi
Studi ini diawali dengan kajian literatur yang berhubungan dengan Kemitraan U-I-P, dan bersamaan
dengan itu juga diselenggarakan sesi diskusi dan focused group discussion (FGD). Penemuan didasari
oleh kajian dokumen pemerintah, data yang sudah ada di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Ditjen Dikti), serta wawancara pendahuluan dengan beberapa individu dan diskusi dengan beberapa
kelompok yang mewakili para pemain utama dari perguruan tinggi, industri, dan pemerintah.
Selama masa studi, tim studi melakukan beberapa penyesuaian untuk mengatasi masalah yang
dihadapi, seperti yang dijelaskan pada bagian berikut,
Selain sesi diskusi, tim studi juga merencanakan studi banding ke dua lokasi di luar negeri. Tujuan
utama studi banding ini adalah untuk mempelajari pengalaman sukses internasional, dan tim studi
telah menyerahkan proposal ke Cina (taman industri di Tsinghua University); dan Korea Selatan (KAIST,
dan Daedeok Innopolis di Daejeon). Rencana awal tim studi adalah untuk melakukan studi banding di
tahap awal studi, namun tim studi memerlukan pengetahuan yang cukup luas mengenai kondisi di
Indonesia sebelum memutuskan informasi spesifik apa yang ingin diperoleh dari negara yang dipilih;
sehingga studi banding digeser ke tahap dua.
Sayangnya, terdapat beberapa masalah teknis yang tidak diantisipasi, yaitu tanggapan yang lambat
dari tuan rumah. Akhirnya tim studi melakukan studi banding di paruh kedua November 2012 dan awal
Desember 2012.
Gambar-1.4: Metodologi studi
Studi literatur
Data kuantitatif
Studi kasus
Sejak awal tim studi menyadari bahwa sumber daya dan waktu yang tersedia membatasi tim studi
untuk melakukan survei yang ekstensif dan kuantitatif. Dengan hanya 4 anggota, tim tim studi tidak
mampu mencakup seluruh sektor, koridor, dan institusi; oleh karena itu tim studi memilih beberapa
studi kasus untuk dianalisis dan dipelajari lebih lanjut. Tim studi melakukan sesi lanjutan dengan
para pejabat dan para ahli yang relevan dengan kasusyang dipilih. Tujuan studi kasus adalah untuk
mengidentifikasi dan menganalisis faktor yang berkontribusi terhadap suksesnya kemitraan UIP di
Indonesia. Untuk mengetahui penyebab utamanya, kisah kegagalan juga dianalisis untuk menemukan
solusi yang diperlukan.
Awalnya tim studi berencana memusatkan perhatian hanya pada beberapa kasus saja yang mewakili
perguruan tinggi dengan misi yang berbeda, yaitu yang berorientasi penelitian, profesional, dan
pembelajaran. Tapi seiring perjalanan, tim studi menemukan bahwa kasus yang menarik lebih tersebar
di antara banyak perguruan tinggi yang berbeda dan tidak terkonsentrasi di beberapa saja. Maka dalam
memilih kasus, tim studi tidak membatasi pilihan pada unit/departemen/institusi tertentu saja, dan
cenderung lebih fleksibel. Beberapa kasus kecil yang menarik diambil dari beberapa perguruan tinggi
berbeda. Kasus terpilih ditampilkan pada dokumen ini sebagai “box”.
Sesi wawancara
Tim studi menyadari bahwa mengidentifikasi responden yang tepat untuk diwawancarai adalah
faktor penentu sukses terpenting dalam mengumpulkan informasi yang diinginkan. Awalnya tim
studi mengadakan focus group discussion dengan mengirimkan surat undangan formal ke beberapa
organisasi target, namun tim studi menemukan bahwa banyak peserta focus group discussion bukan
pejabat yang tepat untuk mewakili organisasi mereka.
Maka, tim studi menyesuaikan strategi setelah sesi pertama, dari diskusi formal ke wawancara informal
langsung dengan individu yang diinginkan. Tim studi secara informal memberitahu individu tersebut
mengenai tujuan wawancara melalui email atau sms, mengatur waktu dan tanggal, dan akhirnya
melaksanakan wawancara. Strategi ini nampak lebih efektif, walau memerlukan lebih banyak waktu dan
usaha dari tim studi. Secara keseluruhan, tim studi telah mewawancarai 131 individu dan mengadakan
focus group discussion dengan 20 orang, seperti ditampilkan pada Lampiran D.
• Pemerintah
Karena keterbatasan sumber daya dan waktu, tim studi tidak mencakup seluruh institusi penelitian
pemerintah. Dalam beberapa kasus, pejabat penting tidak dapat memenuhi jadwal karena adanya
konflik dengan komitmen lain. Meski demikian, tim studi melakukan studi literatur ekstensif untuk
mendapat informasi lebih mengenai institusi-institusi tersebut. Tim studi mewawancarai beberapa
pejabat penting yang bertanggungjawab atas pengembangan kebijakan di BBPT, Kemenristek,
Ditjen Dikti, Kemenperin, and Kementerian PU.
• Industri
Pihak industri mencakup tidak hanya perusahaan besar, tapi juga usaha kecil dan menengah. Untuk
memahami visi dan strategi masa depan perusahaan, tim studi berusaha memfokuskan wawancara
dengan eksekutif tertinggi atau pemimpin perusahaan. Tim studi mewawancarai eksekutif dan
pemimpin dari industri farmasi, keuangan, properti, perikanan, manufaktur, perkebunan, makanan,
dan cokelat, sementara industri kecil meliputi industri makanan dan perangkat lunak.
Tim studi mengakui bahwa jumlah perwakilan industri yang tim studi wawancarai terbatas. Tidak
semua industrialis yang tim studi hubungi menyambut permohonan tim studi untuk melaksanakan
sesi wawancara. Meski demikian, tim studi merasa bahwa bobot dan kualitas para individu yang
diwawancarai cukup baik untuk mewakili sudut pandang pihak industri. Nama mereka, yang
diwawancarai ditampilkan pada Lampiran E, menunjukkan bahwa bobot pendapat mereka sangat
tinggi.
Bukti kuantitatif
Ternyata mengumpulkan data sekunder dari institusi pemerintah tidak sesederhana yang tim studi
kira. Dalam banyak kasus, data tersebar dan tidak tersusun rapi sehingga sulit melakukan analisis. Satu-
satunya informasi komprehensif yang tim studi dapatkan adalah berdasarkan survei institusi penelitian
pemerintah, dilakukan oleh Pappiptek LIPI beberapa tahun lalu.
Bagaimana konteks ekonomi di Indonesia dan kebutuhan apa yang diharapkan dapat terselesaikan
oleh kemitraan UIP dalam perkembangan ekonomi ke depan? Untuk menelusuri pertanyaan ini, bab
2 membahas perkembangan Indonesia di masa lalu, menjelajahi struktur industri saat ini, dan melihat
jalur perkembangan ekonomi di masa depan.
Saat ini, Indonesia berada pada apa yang disebut WEF sebagai fase perkembangan ekonomi yang
didorong efisiensi. Industri tidak lagi dapat mengandalkan pola padat karya yang bergaji rendah,
maupun melanjutkan ketergantungan pada sumber daya alam. Daya saingnya semakin didorong
oleh faktor yang meningkatkan produktivitas. Walaupun Indonesia berada di peringkat 50 untuk daya
saing global, nilainya rendah pada tiga dari enam faktor penting yang menjadi andalan pertumbuhan
ekonomi. Faktor-faktor ini yaitu pendidikan tinggi dan pelatihan (peringkat 73), pasar tenaga kerja yang
berfungsi baik (peringkat 120), serta kemampuan dalam memanfaatkan teknologi yang sudah ada
(peringkat 85). Bab ini menjelajahi konteks ekonomi dan industri Indonesia di masa sekarang untuk
mendalami kebutuhannya akan kemitraan perguruan tinggi-industri-pemerintah.
Sektor industri sudah pulih, tapi sektor manufaktur menurun dari posisi teratas ke posisi tengah dalam
ekonomi Indonesia. Isi dari ‘manufaktur’ juga berubah, dengan subsektor padat karya seperti tekstil
dan sepatu berganti menjadi subsektor padat modal termasuk industri berdasar bahan baku dan alat
elektronik. Pertumbuhan pertumbuhan manufaktur pasca krisis memang dianggap sebagai ‘jobless’.
Semakin banyaknya peraturan ketenagakerjaan yang kurang akrab dengan industri dianggap sebagai
salah satu kemungkinan penyebabnya [Aswicahyono et al., 2010].
Nampak bahwa tidak ada kelompok usaha yang jelas-jelas dapat memanfaatkan transfer teknologi
ataupun inovasi dengan efektif [Hill dan Tandon, 2010; Aswicahyono et al., 2010]. BUMN yang berorientasi
teknologi tinggi memperoleh investasi besar di masa lalu, sedangkan pemerintahan demokratis saat
ini tidak cukup kuat untuk melindungi mereka dari kompetisi untuk kemudian dapat bangkit kembali
menjadi kekuatan berarti –meski memiliki sejumlah sumber daya terlatih [Brodjonegoro, 2012]. Kinerja
finansial mereka umumnya rendah, seringkali ‘terbebani oleh tanggung jawab sosial dan rawan akan
pengaruh politik’ [Hill and Tandon, 2010]. Perusahaan asing merupakan pemeran penting dalam
ekonomi Indonesia, dan peran mereka terus meningkat sejak krisis. Keluaran keluaran manufaktur dari
perusahaan asing meningkat dari 22% pada tahun 1990 menjadi 37% di tahun 2005 dengan produk
otomotif dan elektronik sebagai kontributor terbesar [Aswicahyono et al., 2010].
Box 1: Cina dan India: Menarik Litbang dari Investor Asing Langsung
Dalam dekade terakhir terjadi perubahan besar dalam cara bekerja perusahaan multinasional di
negara berkembang, dengan bangkitnya litbang seperti yang tampak di Cina dan India. Sekarang
telah diakui secara luas bahwa investor asing langsung dapat termotivasi untuk melakukan
litbang di negara emerging economy karena beberapa alasan. Salah satu motivasi adalah adanya
kebutuhan meraih pasar baru dengan lebih baik dan untuk mengembangkan produk yang
memenuhi kebutuhan pasar lokal, seperti di Cina. Kebijakan proaktif pemerintah juga dapat
membantu. Pemerintah Cina khususnya sangat proaktif dalam kebijakan usaha patungan untuk
memenuhi permintaan pasar atas konten lokal, peningkatan teknologi dan kolaborasi dengan
institusi lokal termasuk perguruan tinggi. Ketersediaan tenaga kerja berpendidikan tinggi yang
murah juga bisa menjadi pancingan – seperti halnya di India.
Republik Ceko menemukan bahwa bahkan investor asing langsung terbesar mereka dalam
industri otomotif, Hyundai, sebelumnya tidak tertarik membangun fasilitas litbang. Namun,
adanya pemasok yang membawa pembangunan kapasitas lokal dengan kolaborasi jauh lebih
besar antara mereka dan perguruan tinggi lokal. Mirip dengan hal tersebut, kebijakan proaktif
Shanghai tidak hanya mengarah ke kapasitas perusahaan lokal, tapi juga ke banyak proyek litbang,
jabatan, dan fasilitas di perguruan tinggi lokal yang dibiayai oleh investor asing (Tuijl etal., 2012).
Mereka yang di masa lalu belum menjadi pemeran besar dalam agenda inovasi, melalui ketertarikan
pada pasar domestik Indonesia yang berkembang pesat, diperkirakan pada akhirnya akan ada yang
tertarik memperkuat posisi melalui investasi4 hulu dan/atau hilir (lihat box 1: Cina dan India: Menarik
Litbang dari Investor Asing).
4 Seorang pengusaha Jepang (yang diwawancarai) mengamati bahwa sifat dasar investasi Jepang berubah, dengan lebih
banyak perusahaan rantai pasok memasuki industri otomotif dan elektronik, yang dapat menyebabkan pendalaman industri
dan memberi kesempatan bagi Indonesia untuk maju lebih dari sekadar perakitan. Motivasi mereka berbeda di negara
tetangga seperti Malaysia, yang pasar domestiknya terlalu kecil untuk ‘menahan’ produksi asing.
total non-migas di tahun 2001 menjadi 34% di tahun 2011. Ekspor non-migas mencakup 80% dari total
ekspor tahun 2011, sementara ekspor manufaktur berbasis pertanian meningkat dari 18% menjadi 22%
[World Bank, 2012].
Kakao dianggap penting bagi Indonesia untuk setidaknya 3 alasan. Pertama, kakao memberi
lapangan kerja bagi lebih dari sejuta petani kakao kecil (perkebunan kakao besar tidak efektif ).
Kedua, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading
dan Ghana, menghasilkan 900 ribu biji MT di tahun 2009, hasil dari perkebunan-perkebunan
kecil seluas lebih dari 1.5 juta hektar. Ketiga, penghasilan kakao di Indonesia merupakan
yang terbesar di dunia (mencapai 800 kg/hektar dengan potensi mencapai 1-1.5 ton/hektar),
dibandingkan dengan300 kg/hektar di Afrika Barat. Para ahli mengatakan bahwa daya saing
utama Indonesia terletak pada kemampuannya menyediakan biji kakao dalam jumlah besar.
Namun, masa depan produksi kakao di Indonesia saat ini terancam karena permasalahan alih guna
lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, dan menurunnya produktivitas serta kualitas sebagai
konsekuensi atas keengganan petani untuk memakai pupuk dan penanganan pasca panen yang
tidak tepat. Sebagian besar biji kakao di Indonesia tidak difermentasi sehingga mempengaruhi
kesesuaiannya untuk dijadikan bubuk kakao atau liquor berkualitas. Buruknya lagi, struktur
pemasaran di pasar global tidak memberi insentif yang cukup untuk kualitas, dan cenderung
didorong oleh transaksi dalam volume besar tanpa memperhatikan kualitas, dan lebih memilih
biji kakao berharga rendah.
Sebagai tanggapan atas kebutuhan industri lokal pengolah kakao, pada tahun 2006 sebuah
forum yang dinamai Cocoa Sustainability Partnership (CSP) didirikan. Anggota CSP meliputi
industri lokal dan internasional, perkumpulan, perguruan tinggi, para ahli, pemerintah provinsi,
Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri. Misi CSP mencakup aktivitas koordinasi
untuk pengembangan dan pemindahan teknologi perkebunan kakao dan keahlian usaha
perkebunan kakao, mengenali isu keberlanjutan kakao, memperkuat petani kakao, mendukung
ekonomi pasar bebas kakao yang sehat dan transparan, dan membimbing proses sertifikasi
kakao secara berkelanjutan. Saat ini 2 kelompok kerja telah dibentuk, yang dinamai “Litbang
dan Transfer Teknologi” dan “Penguatan Petani dan Keberlanjutan Produksi Kakao”.
Di awal tahun 2000, sebuah fasilitas uji coba didirikan di Universitas Hasanuddin (UNHAS).
Fasilitas tersebut bertujuan untuk memberi mahasiswa pengalaman langsung dalam industri
kakao dan juga memberi pelatihan bagi pengusaha pengusaha kakao kecil dan menengah.
Sehubungan dengan didirikannya CSP, pimpinan UNHAS telah memutuskan untuk memperluas
pabrik kakao dengan menambah investasi sebesar Rp 10 miliar.
Gerakan Percepatan Revitalisasi Kakao Nasional (GERNAS) merupakan salah satu contoh terbaik
kerjasama antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah, yang diprakarsai oleh kebutuhan
bersama pemangku kepentingan, bukan keputusan pemerintah. Yayasan CSP, didirikan tahun 2011
untuk menyediakan gerakan tersebut infrastruktur legal yang layak, saat ini dibiayai oleh sumbangan
perusahaan, pemerintah, dan badan donor internasional lainnya (big bettor). Untuk mendorong
industri hilir lokal, pemerintah menetapkan pajak 5 persen untuk ekspor biji kakao mentah.
Di tahun 2012, Indonesia diharapkan menghasilkan 400.000 ton kakao olahan, suatu kenaikan
yang signifikan dari 280.000 ton tahun lalu. Kecenderungan ini mempengaruhi ekonomi nasional
dan industri kakao global secara signifikan pada tahun 2016, saat Indonesia akan mencapai
kapasitas produksi 1 juta ton kakao olahan dan mengekspor 250.000 ton di antaranya.
Dalam usahanya memajukan ekspor komoditas bernilai tambah, pemerintah secara aktif mendorong
pembangunan pabrik baru untuk mengolah komoditas pertanian mentah. Pajak baru ditetapkan dan
ditingkatkan untuk ekspor komoditas primer, sementara pajak komoditas olahan diturunkan. Hasilnya
adalah peningkatan ekspor komoditas olahan, menurunnya ekspor komoditas mentah secara signifikan,
dan melonjaknya pembangunan pabrik pengolahan.
Minyak sawit, minyak yang paling banyak diperdagangkan dan dikonsumsi di dunia, digunakan
terutama sebagai bahan makanan seperti biskuit, margarin, dan es krim, atau sebagai biofuel.
Indonesia merupakan produsen terbesar dunia dan mengekspor 17,6 juta ton di tahun 2011.
Meski harganya turun hingga kurang dari USD 1.000 per ton akhir-akhir ini, karena permintaan
pasar yang rendah di Eropa, Cina, dan India, peningkatan jumlah produksi telah mengimbangi
turunnya harga.
Minyak sawit adalah bagian dari usaha Indonesia yang menarik investor dan memeras lebih
banyak dari sumber daya alamnya; suatu kebijakan yang terkadang kontroversial. Pajak ekspor
minyak sawit mentah ditetapkan tahun 1994 untuk memastikan ketersediaan minyak goreng
untuk 200 juta rakyat Indonesia. Namun, sistem itu roboh ketika mata uang Rupiah ambruk
saat krisis finansial tahun 1998; mendorong perusahaan minyak sawit untuk mengekspor
lebih. Mempertimbangkan hal ini, pajak ekspor minyak sawit mentah dijaga jauh lebih rendah
daripada minyak sawit olahan untuk memenuhi ketersediaan domestik. Hal ini memusingkan
industri pengolahan dan banyak perusahaan berencana keluar dari Indonesia, mendorong
pemerintah untuk menaikkan pajak ekspor minyak mentah sampai 20% (kemudian diturunkan
ke 13,5% baru-baru ini) dan memotong pajak ekspor untuk minyak olahan.
Menanggapi kebijakan pemerintah, Indonesia memerlukan lebih dari USD 2,5 miliar investasi
untuk membangun industri pengolahan yang dapat menggandakan kapasitasnya menyediakan
kebutuhan konsumen makanan terbesar di Asia – India dan Cina. Survey Reuters yang mencakup
30 perusahaan di Indonesia – dari perusahaan minyak sawit terbesar di dunia, Wilmar, hingga
konglomerat Unilever – menunjukkan rencana untuk menggandakan kapasitas pengolahan
hingga 43 juta ton minyak sawit, atau 80% dari total produksi di dunia [Reuters 2012]. Industri
secara agresif melobi Jakarta untuk memotong pajak minyak sawit olahan hingga setengah dari
pajak minyak mentah.
Insentif pemerintah untuk mendorong usaha ke arah hilir cukup sukses, seperti dicontohkan pada
kasus kakao dan minyak sawit (lihat box 2 dan 3: Cocoa Sustainability Partnership, dan Pergeseran dari
Ekspor Minyak Sawit Mentah ke Minyak Olahan).
Bahkan dalam kasus minyak sawit, yang sukses berpindah dari ekspor mentah ke minyak olahan, masih
ada masalah yang tersisa. Pertama, perkebunan diperluas secara agresif dan saat ini mencakup 8,2 juta
hektar, seluas Negara Irlandia. Hal ini menuai banyak kritik dari organisasi lingkungan seluruh dunia
mengenai kerusakan lingkungan. Isu pelestarian keanekaragaman hayati menjadi lebih rumit karena
banyak sumber daya rusak yang sebenarnya dapat menjadi sumber daya yang bernilai ekonomi bila
dimanfaatkan dengan baik. Kedua, sebagian besar inovasi dalam teknologi pembibitan, pemanenan,
dan pengolahan saat ini diambil dari Malaysia. Peran pemerintah daerah terbatas hanya sekedar
memberi izin dan tidak ada peran perguruan tinggi lokal untuk membantu proses adaptasi teknologi.
Strategi yang jauh lebih komprehensif diperlukan untuk meraih target MP3EI, dan memastikan
perguruan tinggi ikut serta membangun kapasitas akademik yang relevan di bidang-bidang yang
diperlukan. Hal ini akan sangat penting untuk memastikan kapasitas berinovasi, bahkan di saat
teknologi masih diimpor, dan untuk menciptakan dasar yang kuat bagi litbang di masa depan.
Gambar 2.1: Peningkatan produktivitas untuk daya saing dan keunggulan [MP3EI 2011]
Keunggulan
lebihan
kompetitif
Daya saing
Peningkatan produktivitas
nasional
Keunggulan
lebihan Sumber daya alam Modal & teknologi Inovasi
komparatif padat karya Tenaga terampil SDM Intensif
Peningkatan Ekonomi
Sumber daya alam Industri Inovasi
Basis ekonomi:
Tenaga terampil Inovasi
Didorong oleh Padat karya
Dalam survei lain yang mencakup 11.400 perusahaan di Indonesia tahun 2009, World Bank menemukan
bahwa ‘tenaga kerja yang tidak cukup terdidik’ berada di peringkat lima, setara dengan ‘keprihatinan
atas transportasi’ di antara 10 kendala lingkungan usaha [World Bank, 2009]. Meski demikian, hal ini
bukan berarti kondisi perusahaan sudah sangat memprihatinkan dalam hal tenaga yang terlatih.
Perbandingan perusahaan yang mengkhawatirkan dalam hal ini masih relatif sedikit, sebesar 4.3%,
jauh di bawah angka 23% di Asia Timur dan Pasifik atau 27% di dunia [World Bank, 2009]. Sejumlah
perusahaan juga tidak menyatakan kekhawatiran tentang kualitas pendidikan tinggi. Pada survei
World Bank tahun 2008, perusahaan bahkan sangat terkesan dengan kualitas perguruan tinggi
secara umum, 88% dari mereka menilai perguruan tinggi baik atau sangat baik [World Bank, 2011].
Penilaian relatif beragam antara 95% untuk perguruan tinggi negeri dan 83% untuk perguruan tinggi
swasta.Perbedaannya tidak sejauh yang diperkirakan, melihat bahwa pandangan publik atas sektor
pendidikan swasta yang besar dan berkembang dan umumnya dianggap berkualitas rendah.
Interpretasi World Bank yaitu ‘baik’ bukan selalu berarti memiliki penilaian positif. Interpretasi tim studi
adalah bahwa sebagian besar perusahaan jasa dan manufaktur yang mapan, terutama di Jawa, berada
di sektor modern, dan memiliki daftar beberapa perguruan tinggi terkemuka dalam mencari karyawan,
serta cukup mengenali lulusan-lulusan terbaiknya. Bagi mereka, dalam lingkungan ‘jobless growth’,
kualitas lulusan secara umum akan meningkat setiap tahun karena perguruan tinggi tingkat atas sudah
memperbaiki praktik institusional untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, seperti yang dibahas di
bagian selanjutnya. Maka, tidak ada alasan untuk mengeluhkan kualitas yang menurun.
Masalah ini lebih serius lagi bila melihat prospek masa depan. Bila pertumbuhan seperti sekarang ini terus
berlanjut, atau bahkan dipercepat, kesenjangan keterampilan yang ditemukan tahun 2008 berpotensi
memburuk. Ini disebabkan kondisi ‘jobless growth’ saat ini, yang muncul sebagai hasil dari peraturan
ketenagakerjaan yang ketat dan kekurangan tenaga terampil di lapisan bawah [World Bank-c 2012], yang
akan menuntut perusahaan untuk bermigrasi ke industri padat modal, yang umumnya membutuhkan
kemampuan manajerial lebih tinggi dan kemampuan profesional lulusan masa depan, khususnya dalam
mengadaptasi teknologi asing dan melaksanakan proses inovasi.
Lebih buruk lagi, bila pertumbuhan ini tersebar merata dan mencakup daerah di luar Jawa, maka
ketimpangan ini akan sangat besar. Dari wawancara tim studi yang lebih terfokus pada perusahaan
besar dan global, belum ditemukan kekhawatiran serius mengenai masalah akademik oleh mereka yang
mempekerjakan lulusan dari 10-20 perguruan tinggi terbaik di Jawa. Namun, beberapa di antaranya
menyuarakan kekhawatiran tentang kesulitan mengisi lowongan pekerjaan di luar Jawa. Beberapa
perusahaan juga mengkhawatirkan perbedaan kualitas yang amat jauh antar perguruan tinggi –
khususnya rendahnya kualitas perguruan tinggi di luar Jawa, yang disebabkan oleh tiga masalah utama
yaitu kualitas staf yang secara umum lebih rendah, infrastruktur dan fasilitas yang buruk, dan mahasiswa
yang kurang siap.
Hal yang berbeda nampak pada survei pekerja ketika ditanyakan kelemahan perguruan tinggi. Lebih
dari setengahnya menganggap panjangnya masa studi sebagai suatu kelemahan, dan kelemahan
lainnya berdasarkan peringkat adalah sebagai berikut: kualitas belajar mengajar (13%), kecakapan
spesifik (11%), kualitas fasilitas (8%), dan relevansi dengan pasar tenaga kerja (7%).
Survei World Bank menemukan bahwa 80% dari perusahaan yang disurvei menemukan adanya kesulitan
Gambar2.1: Perbedaan
mengisi penilaian
jabatan untuk perusahaan
manajer dan karyawan/ti
dan 60% kesulitan mengenai
mengisi jabatan kelemahan
profesional. pekerja
Meski kepentingan
relatif dari 3 kelemahan utama seorang pekerja ternyata sama, perbandingan mereka yang memilih 3
aspek ini sangat berbeda antara perusahaan dan pekerja, seperti ditampilkan Gambar 2.1.
50%
40%
Kecakapan yang dinilai
30% paling kurang oleh perusahaan adalah Bahasa Inggris (44% perusahaan
menyatakan kurangnya 20% keterampilan), kepemimpinan (41%), dan kemampuan menggunakan
komputer (36%), diikuti
10% oleh kemampuan berorganisasi (35%), komunikasi (33%), dan keterampilan
Karyawan
berpikir kritis (33%). 0%
Perusahaan juga mengamati bahwa para manajer dan profesional tidak memiliki
pengetahuan praktis (18%) ataupun teoritis (18%) yang berhubungan dengan pekerjaan mereka.
Perusahaan
Gambar 2.2: Perbedaan penilaian perusahaan dan karyawan/ti mengenai kelemahan pekerja
50%
40%
30%
Kecakapan yangyangyang dinilaipaling kurang oleh perusahaan adalah Bahasa Inggris (44% perusahaan
Karyawan
menyatakan kurangnya keterampilan),
20% kepemimpinan (41%), dan kemampuan menggunakan komputer
Perusahaan
(36%),diikuti oleh kemampuan
10% berorganisasi (35%), komunikasi (33%), dan
keterampilantrampilanketerampilan berpikir kritis(33%). Perusahaan juga mengamati bahwa para manajer
0%
dan profesional tidak memiliki pengetahuan praktis (18%) ataupun teoritis (18%) yang berhubungan
ris
n
pi
la
In
im
pi
sa
m
ha
pe
tra
Ke
Ke
kemampuan menyelesaikan masalah (11%), kepemimpinan (10%), keterampilan komputer (10%), kreativitas
(9%), dan kecakapan teknis (8%). Kepemimpinan tidak dipilih sebagai kelemahan yang penting menurut
para karyawanKaryawan
ini. junior yang disurvei menyatakan adanya kekurangan kemampuan berbahasa Inggris (17%),
kemampuan menyelesaikan masalah (11%), kepemimpinan (10%), keterampilan komputer (10%),
kreativitas (9%), dan kecakapan teknis (8%). Kepemimpinan tidak dipilih sebagai kelemahan yang
Gambar 2.2menyajikan tanggapan perusahaan yang disurvei ketika ditanyai mengenai karakteristik
penting menurut para karyawan ini.
kelemahan manajer.
Gambar 2.2 menyajikan tanggapan perusahaan yang disurvei ketika ditanyai mengenai karakteristik
kelemahan
Gambarmanajer.
2.2: Karakteristik sifat-sifat manajer yang lemah [World Bank 2010]
Gambar 2.3: Karakteristik sifat-sifat manajer yang lemah [World Bank 2010]
Komitmen utk
bekerja keras
12%
12%
Kejujuran
20%
20% 25%
25%
Kehandalan dan
21%
21% 22%
22%
kecermatan
Keinginan belajar
dan beradaptasi
Lainnya
ahli las di kawasan industri Batam, Kemenperin mengadakan program pelatihan bagi 1.000 pekerja
untuk mendapatkan sertifikat ahli las. Seusai pelatihan, lebih dari setengahnya langsung direkrut untuk
dipekerjakan di Korea Selatan, sehingga industri Batam masih kekurangan ratusan ahli las.
Analisis pendahuluan studi pelacakan yang dilakukan 19 perguruan tinggi meliputi 7,440 lulusan di
bawah proyek I-MHERE pada tahun 2012 mengkonfirmasi hasil survei World Bank5 [IMHERE 2012].
Hanya 62.84% lulusan yang dilacak berpendapat bahwa pekerjaan mereka relevan dengan bidang
studi mereka dan 16% di antara mereka menyatakan bahwa pekerjaan mereka saat ini sama sekali tidak
relevan. Sementara itu, 17,10% membutuhkan lebih dari 6 bulan untuk mendapat pekerjaan pertama.
Hal ini mengindikasikan adanya ketersediaan lapangan kerja, namun posisi dan penempatan yang
relevan sulit didapat. Di pihak perguruan tinggi, beberapa pemimpin universitas tidak memahami betul
pentingnya untuk melakukan studi pelacakan, dan menganggap studi ini hanyalah prasyarat untuk
proses akreditasi.
Secara keseluruhan, gambaran yang muncul adalah bahwa terdapat masalah serius mengenai hubungan
antara perguruan tinggi dengan pemberi pekerjaan, khususnya dalam memahami kebutuhan akan
keterampilan, mulai dari hal yang sederhana seperti Bahasa Inggris serta keterampilan teknologi
informasi dan komunikasi, sampai perilaku sikap dan berpikir seperti kepemimpinan, kemampuan
menyelesaikan masalah, dan kreativitas. Beberapa keterampilan spesifik merupakan isu tersendiri, baik
praktis maupun teoritis, namun nampaknya tidak berlaku umum jika dibandingkan dengan keterampilan
lainnya. Dalam wawancara tim studi, satu perusahaan sangat vokal dalam menyatakan keprihatinannya
bahwa mahasiswa/i di perguruan tinggi elit umumnya lebih kompeten dan termotivasi, namun mereka
kekurangan ‘emotional quotient’ atau kecerdasan atau kematangan emosional. Menarik bahwa baik
pemberi kerja maupun lulusan berpandangan kritis mengenai ‘value for money’ di perguruan tinggi –
pemberi pekerjaan menilai biaya sebagai yang terendah, sedangkan lulusan menilainya tertinggi.
Studi ini menggaris bawahi bahwa beberapa perusahaan merasa perlu belajar dari best practices
internasional, sementara beberapa lainnya merasa frustrasi bahwa staf mereka tidak mengenal
dunia internasional. Memang, satu area yang secara konsisten diinginkan oleh subyek wawancara
tersebut adalah menjalin hubungan internasional agar baik staf akademik maupun mahasiswa/idapat
mempunyai wawasan internasional.
Dalam wawancara, tim studi menemukan sejumlah perusahaan yang beradaptasi secara sederhana
dengan teknologi yang sudah ada, seperti mekanisasi perkebunan sesuai dengan prosedur yang sudah
dikembangkan sebelumnya di negara lain, katakanlah Malaysia, hingga perusahaan yang beroperasi
di tingkat global dan terbiasa mengontrak pekerjaan pengembangan kepada perusahaan konsultan
teknologi profesional. Bahkan perusahaan yang paling intensif melakukan litbang pun membatasi diri
pada penelitian aplikasi dan tidak berencana memasuki inovasi dalam penelitian dasar. Seperti yang
dikatakan oleh salah satu pemimpin perusahaan farmasi, “Serahkan saja hal dasar untuk negeri industri
maju, kita punya cukup banyak masalah untuk diselesaikan dalam hal aplikasi.”
5 Proyek I-MHERE adalah proyek yang dibantu World Bank, bertujuan meningkatkan kualitas pengajaran serta kapasitas
manajemen universitas negeri dan swasta tertentu. Daftar universitas yang diikutsertakan dalam studi tracer disajikan pada
Lampiran C dokumen ini.
Dalam wawancara tim studi dengan beberapa dosen yang sangat aktif berkolaborasi dengan
industri, tim studi menggaris bawahi bahwa ada aspek yang sama dalam latar belakang mereka:
semua mempunyai keterkaitan dengan penelitian yang relevan terhadap industri selama atau
dalam waktu singkat setelah mereka mengambil PhD di luar negeri.
Seorang profesor dari ITB mendapat PhD dari universitas di Denmark dan mengajukan beberapa
paten selama ia masih mahasiswa. Sebelum kembali ke Indonesia, ia bekerja di beberapa
perusahaan baik di Eropa maupun AS, dan di sebuah perguruan tinggi di Australia.
Profesor lain dari UGM memiliki ketertarikan sejak awal tentang aplikasi bidang teknologi
sebelum ia mengambil PhD di Australia. Sebagai hasil ketertarikannya itu, ia memanfaatkan
waktunya di Australia untuk mencatat aktivitas industri terkait bidang teknologi, yang banyak
membantu pekerjaannya sendiri setelah ia kembali ke Indonesia.
Profesor lain dari bidang teknik di Universitas Andalas ditunjuk sebagai kepala jurusan ketika
baru lulus dari ITB, dan harus bekerja dengan industri lokal mengembangkan perencanaan
untuk universitas yang relevan dengan kebutuhan industri lokal sebelum pergi ke Jerman untuk
PhD. Sekembalinya, tidak banyak masalah yang dihadapi dalam bekerja dengan industri lokal,
dan hal ini juga terjadi pada dosen lain yang bergabung ke departemen tersebut dengan cara
yang sama.
Sebagian besar subyek wawancara tim studi memiliki hubungan tertentu dengan perguruan
tinggi dan berharap untuk menjalin hubungan yang lebih di masa depan. Ada keinginan dari
pihak mereka agar dosen di perguruan tinggi mengembangkan pemahaman yang lebih luas
mengenai aplikasi. Seorang industrialis yang tidak banyak berhasil dalam bekerjasama dengan
perguruan tinggi walau sudah banyak berusaha, merasa bahwa dosen tidak memiliki kapasitas
untuk menentukan apakah mereka bisa mengerjakan sesuatu atau tidak. Secara umum industri
bersemangat untuk mendapat kesempatan lebih dalam menjajaki hubungan dengan dosen
secara individu, dan menyambut baik kesempatan seperti pertemuan teratur, taman iptek,
program pertukaran, dan kerjasama institusional.
Secara konsisten ditemui pendapat bahwa Indonesia semestinya secara strategis lebih fokus pada
pengolahan pertanian, kelapa sawit, karet, kakao, rumput laut, dengan penekanan pada mekanisasi,
terutama untuk mengejar Malaysia, dan kemudian menjadi pemimpin pertanian tropis yang
termekanisasi, keahlian yang tidak dimiliki sebagian besar negeri maju. Terdapat ‘peran besar’ yang
bisa diharapkan dari perguruan tinggi dalam gagasan tersebut, namun merupakan sesuatu yang
belum dapat dipenuhi. Wawancara tim studi sendiri menunjukkan bahwa banyak pengembangan yang
berhubungan dengan aplikasi amat bergantung pada pemahaman praktik internasional. Tim studi
juga menemukan bahwa sebagian besar dosen yang aktif di industri tidak hanya memiliki pengalaman
akademik di luar negeri yang ekstensif, seperti PhD, tapi juga pemaparan pada dunia komersil selama
di luar negeri, yang tampaknya memperkaya kemampuan mereka untuk membantu perusahaan
Indonesia (lihat box 4: Dosen yang aktif membina kemitraan dengan industri).
satu badan saja. Sebuah perusahaan pengolah minyak sawit tidak melihat adanya masa depan bila
berpindah ke biofuel, karena tidak mungkin berkompetisi dengan bahan bakar yang disubsidi besar-
besaran. Hambatan seperti itu, ditambah lagi perlindungan hak cipta intelektual yang lemah, tampak
sebagai hambatan paling serius ketika mengembangkan litbang industri. Hal ini bukan ditemukan
dari wawancara tim studi saja, namun oleh peneliti lain [Hill dan Tandon, 2010], dan sepertinya lebih
penting daripada tidak adanya insentif spesifik, yang disebut oleh salah satu perusahaan yang sudah
melakukan banyak litbang. Kesan yang tim studi dapatkan adalah bahwa ada jauh lebih banyak isu
mengenai menciptakan lingkungan kondusif bagi litbang industri untuk meningkatkan nilai tambah,
dibandingkan dengan sekadar memberi insentif finansial untuk litbang.
Bab ini menyajikan analisis kondisi pendidikan tinggi di Indonesia dalam hal kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan ekonomi, khususnya bila laju pertumbuhan tetap tinggi dan
pengaruhnya secara merata terasa di semua daerah. Yang pertama akan dibahas adalah kelayakan
sektor pendidikan tinggi dalam hal (a) menyediakan akses pendidikan sesuai kebutuhan tenaga kerja,
(b) diferensiasi institusional untuk menyalurkan pendidikan relevan dan jasa litbang baik secara
nasional maupun regional dengan lokasi geografis yang berbeda dan (c) kualitas pendidikan.
Secara keseluruhan, ukuran sektor ini memadai dan berkembang cukup cepat dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi. Akan tetapi, agar jasa pendidikan dan litbang terkait kebutuhan lokal dapat
terpenuhi, maka kebutuhan akan diferensiasi misi institusi menjadi mendesak.
Tim studi menggaris bawahi kebutuhan akan perlunya ‘gerakan’ nasional peningkatan kualitas
pendidikan sarjana. Pada dua bagian terakhir, tim studi memfokuskan pada dua isu kebijakan yang
menjadi faktor penting, untuk memberikan insentif perkembangan institusional di masa depan yaitu
pendanaan dan otonomi institusional.
Keberagaman ini terlihat dari adanya 92 perguruan tinggi negeri dan lebih dari 3,200 perguruan tinggi
swasta, belasan perguruan tinggi kedinasan, 52 perguruan tinggi di bawah Kemenag, dan 1 universitas
terbuka. Namun, tidaklah seberagam yang terlihat. Seperti dijelaskan secara rinci di bawah, perguruan
tinggi dikelompokkan dalam: (a) kelompok perguruan tinggi berorientasi praktis (Kuadran IV) yang
kecil namun berkembang; (b) sebagian kecil perguruan tinggi berorientasi penelitian, walaupun belum
sepenuhnya dapat untuk dikelompokkan sebagai perguruan tinggi penelitian dasar (Kuadran I) maupun
penelitian relevan (Kuadran II); dan (c) sebagian besar perguruan tinggi yang tidak bisa dikelompokkan.
Tidak adanya perbedaan yang jelas menjadi masalah bagi penerapan MP3EI karena tiap koridor harus
didukung oleh sekelompok perguruan tinggi yang masing-masing mampu memberi kontribusi berbeda.
Setiap daerah harus memiliki perguruan tinggi berorientasi praktis dan fleksibel yang dapat dengan cepat
memenuhi kebutuhan akan tenaga profesional spesifik dari lapangan kerja lokal. Juga penting bagi tiap
daerah untuk memiliki perguruan tinggi pembelajaran yang lebih generik untuk dapat menciptakan
keberagaman sumber daya manusia yang penting bagi perkembangan daerah. Setiap koridor ekonomi
perlu memiliki perguruan tinggi penelitian relevan dengan spesialisasi yang cocok untuk mendukung
profil industri di koridor tersebut. Dengan demikian setiap daerah akan memiliki keahlian dan sumber
daya manusia yang sesuai untuk bergerak ke produksi dan jasa bernilai tambah tinggi.
Meski semua politeknik secara teori seharusnya termasuk kategori ini, belum semuanya berfungsi
secara efektif. Kesan yang didapat tim adalah bahwa kemungkinan terdapat belasan politeknik yang
cukup baik di Indonesia, dan terdapat beberapa yang sangat baik (lihat box 5: Tiga Politeknik Unggulan).
Namun, pendidikan politeknik di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi harapan akan kepastian
pekerjaan. Tabel-3.1 menunjukkan bahwa pengangguran lulusan Diploma (termasuk politeknik)
secara konsisten lebih tinggi daripada lulusan universitas. Walau BPS tidak membagi Diploma dalam
jenis institusi pendidikan secara spesifik (politeknik, program Diploma di universitas, atau akademi),
cukup jelas bahwa sebagian besar program diploma jangka pendek tidak memenuhi fungsinya sebagai
penyedia pendidikan yang relevan terhadap pekerjaan.
Tingkat pengangguran 2009 (Febr) 2010 (Febr) 2011 (Febr) 2012 (Febr)
Sampai dengan sekolah dasar 4.51 3.71 3.37 3.69
Sekolah menengah pertama 9.38 7.55 7.83 7.80
Sekolah menengah atas 12.36 11.9 12.17 10.34
Sekolah kejuruan 15.69 13.81 10.00 9.51
Diploma 15.38 15.71 11.59 7.50
Universitas/Institut 12.94 14.24 9.95 6.95
Total 8.14 7.41 6.80 6.32
Mengapa banyak politeknik berada di luar kategori ini ? Meski hal tersebut berada diluar mandat studi
ini untuk ditelaah secara lebih mendalam oleh tim studi, kesan yang didapat tim studi dari para subjek
wawancara adalah bahwa banyak politeknik belum memiliki ‘budaya organisasi’ yang berorientasi pada
praktik yang baik. Tidak seperti beberapa perguruan tinggi unggulan nasional, sebagian besar dari
mereka belum mendapat bantuan ataupun intervensi asing yang signifikan pada tahun-tahun awal
mereka berdiri, dan banyak politeknik yang masih menghadapi kesulitan untuk tetap setia pada misi
awalnya.
Beberapa kebijakan baru menyulitkan mereka untuk tetap bertahan sebagai perguruan tinggi
berorientasi praktis. Kebijakan Ditjen Dikti yang mengharuskan staf pengajar memiliki gelar S2 tidak
membantu perguruan tinggi semacam ini karena sebagian besar dosen mereka semestinya memiliki
keterampilan praktis, bukan gelar akademik. Ketidakmampuan beroperasi sebagai perguruan tinggi
dengan otonomi finansial juga menyulitkan, karena menjadi sangat sulit untuk melakukan dan
mengatur kontrak dengan industri. Padahal, hal ini sangat penting agar mereka tetap dekat dengan
Politeknik Manufaktur Bandung (Polman) memiliki reputasi yang baik sebagai institusi yang
berdedikasi pada misinya dengan menerapkan konsep “pendidikan yang berdasarkan produksi”,
menarik industri untuk outsourcing produksi melalui kontrak. Dengan demikian, Polman dapat
menciptakan lingkungan industri dalam workshop mereka, memberikan pengalaman industri
yang berharga bagi siswa dan karyawan, serta menambah penghasilan untuk mengatasi
dana pemerintah yang tidak cukup untuk membiayai operasional dan perawatan. Keahlian
mereka telah diakui secara internasional; mereka sekarang bekerja bagi Pemerintah Malaysia
untuk membantu mengembangkan pendidikan yang berdasarkan produksi dan berencana
bekerja dengan perguruan tinggi di Jepang untuk memperdalam keahlian mengenai teknologi
pengecoran.
ATMI Surakarta merupakan institusi lain yang memiliki perusahaan sendiri untuk menghasilkan
produk dan melakukan produksi khusus bagi klien industri, di mana keduanya dimanfaatkan
untuk mengenalkan mahasiswa pada lingkungan kerja nyata. Mereka juga melakukan penelitian
yang berorientasi pada produksi dan pengembangan. Sejak 2001, ATMI bekerjasama dengan
Pemerintah Kota Surakarta dan industri di sekitarnya, menyediakan pelatihan kejuruan jangka
pendek bagi lulusan SMA. Kesuksesan mereka dalam kerjasama ini berlanjut ke arah berdirinya
Solo Technopark di tahun 2011 dan pelatihan lebih dari seribu karyawan/ti, yang direkrut oleh
lebih dari 60 perusahaan.
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) juga merupakan politeknik dengan reputasi
baik yang menawarkan keterampilan dalam elektronika, IT dan multimedia, dengan sedikit
penekanan dalam teori pengajaran yang diseimbangkan dengan praktik praktik baik dalam
laboratorium maupun magang dan keterampilan umum. Mereka menerapkan penekanan
‘dasar’ seperti teori dan matematika dalam pengajaran mereka dalam hal perlunya menghadapi
teknologi yang cepat berubah seperti elektronika, di mana keterampilan kejuruan dapat dengan
cepat tertinggal dibanding kemajuan teknologi. Mereka memiliki beberapa ‘pusat litbang’ yang
berorientasi produksi di bidang tertentu seperti ‘pusat penelitian risiko dan bencana’ atau ‘pusat
penelitian robotika pertanian dan pendidikan’, tempat mereka melakukan penelitian mendalam,
seringkali bekerjasama dengan industri dan universitas asing. Mereka menunggu kerjasama
pengembangan institusional dengan Universitas Toyohashi Gijutsu, salah satu perguruan tinggi
teknologi terapan terbaik di Jepang.
permasalahan industri, untuk menambah pendapatan finansial, dan menyediakan kesempatan untuk
memperkaya pembelajaran mahasiswa dan pengembangan staf profesional. Mereka juga harus mampu
merekrut staf dan pengajar di luar peraturan umum, agar dapat berkembang secara fleksibel dengan
keterampilan mereka sendiri.
Untuk perguruan tinggi swasta, ditemukan bahwa beberapa institusi yang mapan dikategorikan ke
dalam kategori perguruan tinggi berorientasi praktis – lebih sebagai perguruan tinggi profesional dalam
bidang seperti IT, bisnis, hukum, dan teknik daripada pelatihan akademis. Mereka menawarkan S1,
seringkali S2, kadang bahkan S3, namun sebagian besar memiliki silabus yang secara pragmatis dibuat
sepadan dengan perubahan dunia kerja. Mereka memiliki budaya dan praktik institusional yang mapan
untuk memastikan hubungan yang dekat dengan industri, seperti yang terjadi pada Universitas Bina
Nusantara dan Universitas Surabaya (lihat box 6: Dua contoh Perguruan Tinggi Swasta Kewirausahaan)
Mereka tidak hanya bekerja sistematis dengan industri untuk menjaga kurikulum mereka tetap
mutakhir dan relevan, tetapi juga melihat pentingnya bagaimana isi kurikulum tersebut disampaikan,
sehingga mahasiswa mendapat keterampilan khusus, pengetahuan, dan keterampilan umum seperti
Universitas Surabaya (UBAYA) menawarkan pendidikan S1 dalam tujuh fakultas yang ‘relevan
secara profesional’ mulai dari fakultas hukum, psikologi, farmasi, hingga teknik industri. Mereka
bangga bahwa pendidikan teknik mereka berbeda dari institusi berorientasi akademik seperti
ITS, bahwa mahasiswa UBAYA belajar ilmu dan keterampilan yang lebih relevan dan ‘siap kerja’.
Meski demikian, mahasiswa terbaik mereka tetap dapat diterima di program S2 di institusi
terkemuka di luar negeri seperti NUS dan NTU di Singapura.
Mereka memiliki hubungan terstruktur dengan lapangan kerja, dengan unit layanan karir yang
dilengkapi lima staf penuh waktu, yang mengatur job fair setiap dua tahun dan menerima
masukan dari para perusahaan peserta secara sistematis. Setiap progam studi membuat ulasan
tahunan mengenai relevansi perusahaan. Setiap fakultas memiliki kerjasama yang khas, tidak
hanya dengan industri tapi juga dengan publik: dari ‘teaching industry’ yang fungsinya mirip
seperti ‘teaching hospital’ dalam bidang teknik, fakultas bisnis yang menyediakan jasa bisnis dan
konsultasi kepada industri, hingga pusat farmasi yang menyediakan informasi umum mengenai
obat-obatan tradisional. Pusat-pusat ini juga menyediakan aktivitas yang memberi kesempatan
bagi perkembangan profesional staf. Setiap kali ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas
staf, mereka mengikutsertakan industri untuk memastikan pengajaran yang relevan.
Universitas Bina Nusantara (BINUS) bermula sebagai program pelatihan ilmu komputer jangka
pendek di tahun 1970an, dan sejak saat itu telah berubah menjadi universitas swasta penuh
yang menawarkan S1, S2, dan S3. Hingga saat ini, program studinya yang terkait IT merupakan
program studi yang paling terkenal, namun BINUS juga menawarkan banyak mata kuliah lain
seperti bisnis, teknik, hukum, dan bahasa (Cina dan Jepang).
Seperti halnya UBAYA, BINUS juga memiliki hubungan terstruktur dengan industri untuk
mengembangkan kurikulum dan memastikan rekrutmen lulusan berjalan efektif. Cara mereka
mengatur strategi institusional sangat mirip seperti strategi berbisnis. Mereka menganggap
diri mereka sebagai universitas yang mampu menghasilkan karyawan taraf global dan
wirausahawan, dan mampu menentukan tujuan utama yang akan dicapai sesegera mungkin.
Staf senior secara berkala melakukan studi banding internasional untuk belajar dari best
practices. Mereka memperhatikan soft skills seperti kerjasama, komunikasi, dan juga bahasa
asing, dan mewajibkan kuliah kewirausahaan, Bahasa Inggris, dan pembangunan karakter bagi
semua mahasiswa. Program kewirausahaan yang telah berjalan 10 tahun, baru-baru ini dilipat
gandakan menjadi 6 SKS, dengan dosen tamu rutin dari industri, dan aktivitas pengembangan
rencana bisnis dilakukan oleh kelompok mahasiswa. Mereka memiliki sistem ‘tutor’ yang inovatif,
yaitu 300 mahasiswa mengajari mahasiswa lainnya – menciptakan komunitas belajar berisikan
1000+ orang. Program S3 mereka memberi kesempatan mahasiswa untuk mempelajari praktik
praktik manajemen terbaik secara internasional dan ikut serta dalam aktivitas penelitian dengan
tujuan menciptakan keterampilan penelitian yang relevan bagi para akademisi, dan juga sebagai
konsultan dan manajer bisnis. Strategi pengembangan institusional mereka yang agresif mulai
melihat kebutuhan masa depan akan akreditasi internasional dan peringkat global. Dengan
demikian, tujuan kinerja mereka mulai mengikutsertakan ukuran penelitian konvensional
seperti publikasi internasional.
Bahasa Inggris dan soft skills. Meski tim studi tidak memiliki waktu dan kesempatan yang cukup untuk
mengkaji lebih banyak perguruan tinggi swasta, menurut tim studi sejumlah kecil pun dapat mewakili.
Dilihat dari pola rekrutmen institusi di luar Jawa, sangat mungkin bahwa perguruan tinggi yang sukses
adalah yang terpusat di kota-kota besar di Jawa.
Namun, seperti kasus politeknik, sebagian besar perguruan tinggi swasta yang menawarkan program
sarjana tidak memiliki standar kualitas yang layak untuk dapat memenuhi permintaan pasar tenaga kerja.
Meskipun penilaian mengenai perguruan tinggi swasta di luar lingkup studi ini, dari pengamatan tim
sebelumnya diduga bahwa hanya sebagian kecil perguruan tinggi swasta yang dapat dikelompokkan
dalam Kuadran II. Mengingat bahwa perguruan tinggi swasta cenderung memberikan kuliah yang tidak
membutuhkan banyak peralatan, sehingga cenderung sedikit yang menawarkan program teknologi
berbasis laboratorium, atau kedokteran. Disamping itu, perguruan tinggi swasta yang sukses cenderung
hanya terpusat di kota besar di Jawa, karena lebih mudah untuk mendapatkan staf yang berkualitas dan
bekerja dengan bisnis modern.
Dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah memiliki sejumlah perguruan tinggi yang bermitra dengan
industri di Kuadran IV – menyediakan pendidikan dan keterampilan relevan terhadap praktik industri
(lihat box 7: Kasus Ekstrem INSTIPER). Namun demikian, tidak dapat dipastikan dengan jelas apakah
mereka akan tersebar merata di seluruh sektor ataupun daerah. Masih menjadi pertanyaan apakah
mereka berkapasitas untuk berkembang ke bidang baru di luar keahlian utama mereka untuk
memenuhi kebutuhan baru, ataupun kemampuan berkembang menjadi jauh lebih berorientasi
pengajaran multidisiplin yang relevan terhadap dunia kerja. Beberapa perguruan tinggi swasta telah
mengembangkan hubungan yang sistematis dan luas dengan lapangan kerja untuk membentuk
program pendidikan mereka.
INSTIPER memilih perkebunan sebagai kompetensi inti mereka sejak didirikan tahun 1958.
Selama dua dekade terakhir, jumlah pendaftar dalam semua program studi pertanian secara
nasional cenderung menurun, termasuk INSTIPER. Karena penghasilan perguruan tinggi swasta
di Indonesia bergantung hampir seluruhnya dari uang kuliah mahasiswa, kecenderungan ini
menjadi ancaman besar. Untuk mengatasinya, INSTIPER mengubah program pendidikannya agar
lebih memenuhi kebutuhan lapangan kerja di tahun 2005. Mereka memanfaatkan alumni untuk
menciptakan kerjasama dengan hampir semua industri besar kelapa sawit. Setiap perusahaan
diundang untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mereka bersama
dengan INSTIPER. Beasiswa penuh disediakan oleh tiap perusahaan untuk mahasiswa yang
mengambil program spesifik ini. Selain kompetensi teknis di bidang perkebunan dan pengolahan
kelapa sawit, mahasiswa juga diberi pelatihan dalam budaya organisasi perusahaan, termasuk
satu bulan latihan militer. Mahasiswa bahkan memakai seragam perusahaan selagi di kampus,
dan tidak jarang terlihat mahasiswa dengan seragam berbeda di dalam kampus. Pada dasarnya,
program pendidikan telah menjadi pelatihan internal, yang di-outsource para perusahaan
kepada INSTIPER.
Meski banyak menuai kritik karena fokusnya yang sempit, jumlah pendaftar terus bertambah.
Saat ini jumlah mahasiswanya mencapai 2020 orang, jauh di atas 500-1000 yang biasanya
merupakan ambang batas keberlangsungan suatu perguruan tinggi swasta. Sebagian besar
lulusannya dipekerjakan bahkan sebelum lulus. INSTIPER mungkin merupakan contoh ekstrem
bagaimana institusi pendidikan menanggapi kebutuhan pendidikan berorientasi relevan.
melaksanakan penelitian aplikatif. Ada sekitar belasan perguruan tinggi yang dapat dianggap layak, jika
didasarkan pada profil staf, sebagai perguruan tinggi berorientasi penelitian - setidaknya di beberapa
bidang tertentu. Mereka memiliki potensi sebagai perguruan tinggi penelitian relevan (Kuadran II),
meski saat ini tampaknya mereka lebih ‘terdorong’ menjadi perguruan tinggi penelitian dasar (Kuadran
I) melalui penelitian dan publikasi internasional. Tidak berarti tidak ada yang tertarik di Kuadran II,
karena semua menekankan aspek ‘proyek relevan’, khususnya untuk mendapat tambahan penghasilan,
dan sebagian mengembangkan kapasitas untuk dapat secara proaktif bermitra dengan industri. Bagi
perguruan tinggi yang didirikan oleh pemerintah kolonial, profil akademik memang ditujukan untuk
memenuhi bidang yang bermanfaat bagi pemerintah kolonial. Subjek yang umum dan relevan untuk
masyarakat menjadi komponen utama; sehingga tidak mengherankan bila mereka memiliki cakupan
bidang ‘relevan’ untuk berkembang ke arah ‘institusi berorientasi penelitian relevan’. Meski demikian,
etika organisasi mereka saat ini tidak terfokus pada penelitian relevan (lihat box 8: Reformasi Pendidikan
Tinggi Cina).
Pada sebagian besar perguruan tinggi semacam ini, banyak dosen terlibat pekerjaan konsultasi untuk
menambah penghasilan – seringkali secara individual atau sering disebut “moonlighting”. Perguruan
tinggi ini juga memiliki pengalaman terlibat dalam sejumlah kontrak atau proyek jasa yang dibiayai
oleh lembaga eksternal, umumnya badan pemerintah tapi tak jarang juga oleh industri. Kegiatannya
antara lain adalah pengembangan staf, kontrak pelatihan untuk badan pemerintah atau perguruan
tinggi lain, serta jasa teknis lainnya dengan badan pemerintah atau perusahaan besar. Maka diharapkan
dosen perguruan tinggi ini memiliki pengalaman signifikan dalam bekerja dengan pemerintah atau
industri melalui konsultasi individual ataupun proyek bersama – yang semestinya menjadi cikal bakal
kemitraan UIP. Bahkan di ITB, dimana profesi teknik umumnya dianggap lebih dekat dengan industri,
para dosen mengeluh mengenai kesulitan berpindah dari konsultan ke kerjasama yang lebih berarti
dengan industri. Hal ini amat berbeda di negara lain, di mana pengalaman konsultan dianggap sebagai
langkah besar untuk menjadi partner industri. Pertanyaannya adalah, apa yang berbeda di Indonesia?
Sejak tahun 1980an, Pemerintah Cina sudah mengambil langkah aktif untuk mereformasi sistem
pendidikan tinggi untuk menjamin manfaat ekonomi. Langkah yang diterapkan sangat konsisten
mendorong perguruan tinggi utama ke arah model perguruan tinggi Amerika yang berorientasi
penelitian relevan (Ma, 2007). Dalam reformasi iptek yang dimulai tahun 1980an, peran bidang ini
dalam perkembangan ekonomi amat ditekankan. Perguruan tinggi negeri mengubah orientasi
penelitian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dan untuk pertama kalinya perguruan tinggi
mengembangkan kapasitas penelitian yang relevan bagi masyarakat. Dukungan resmi tidak
berarti bahwa dana pemerintah disalurkan untuk penelitian. Meski Yayasan Ilmu Pengetahuan
Nasional Cina telah didirikan di tahun 1986 untuk memberikan dana hibah kompetitif untuk
proyek penelitian dasar institusi penelitian negeri dan universitas, anggaran perguruan tinggi
dipotong dan sangat ketat. Perguruan tinggi mendapat insentif besar bila dapat menghasilkan
pendapatan sendiri melalui kerjasama kontrak dengan industri (Ma, 2007). Ini mengawali era
perguruan tinggi untuk mulai mengembangkan hubungan dengan industri melalui penelitian
kontrak, konsultasi, serta mendirikan perusahaan sendiri.
Pemerintah Cina juga mendukung munculnya perguruan tinggi penelitian elit melalui berbagai
program khusus, mulai dari program universitas unggulan dan program laboratorium unggulan
di tahun 1980an hingga Proyek 211 dan 985 yang terkenal di tahun 1990an, yang masing-masing
memusatkan dana pemerintah pada 100 dan 9 universitas terbaik (Ma, 2007). Bersama dengan
perkembangan bertahap dana kompetitif untuk penelitian, program ini memberi insentif
besar bagi perguruan tinggi untuk berorientasi penelitian dan berkompetisi secara global
sebagai institusi kelas dunia (Ma, 2007). Bukan kebetulan bahwa salah satu penilaian peringkat
perguruan tinggi global dirancang oleh universitas Cina; institusi Cina saat itu mengembangkan
indikator untuk memperkirakan posisi mereka di dunia.
Dalam wawancara dengan berbagai dosen dari perguruan tinggi berorientasi penelitian dan juga
industri, ditemukan dua hal yang dapat menjadi penyebab. Pertama, sebagian besar konsultasi atau
proyek tidak membutuhkan kemampuan teknis yang tinggi, atau tidak berhubungan langsung dengan
bidang keahlian dosen, sehingga dosen hanya bekerja sebagai konsultan berbasis pengetahuan umum.
Kedua, para dosen belum cukup aktif meneliti untuk memiliki reputasi keahlian di bidang tertentu
sehingga dapat disebut mitra industri. Kemungkinan kedua ini dapat muncul karena bidang yang
kurang berkembang dengan tidak adanya fasilitas penelitian yang mencukupi. Dapat juga dijelaskan
bahwa dosen tidak bijak memilih bidang keahlian yang dibutuhkan industri.
Mungkin ada penyebab lain mengapa dosen sulit menemukan mitra industri yang sesuai. Masalah
dalam ‘proses pencarian’ mitra industri seringkali disebabkan oleh kurangnya informasi dari kedua
pihak. Perguruan tinggi tidak banyak berusaha ‘menjembatani’ individu dosen dengan mitra industri
yang berpotensi; misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih baik mengenai keahlian dosen,
atau mendirikan unit khusus sebagai perantara. Mungkin juga bahwa industri tidak cukup mengerti
bagaimana sebaiknya bekerja dengan perguruan tinggi, dan cenderung memperlakukan mereka
seperti kontraktor teknis biasa – suatu harapan yang tidak realistis bahkan bagi sebagian besar
perguruan tinggi di dunia. Dugaan tim studi adalah bahwa bukan salah satu faktor yang diuraikan tadi
saja yang berperan, tetapi semua faktor ini sekaligus berperan (lihat box 9: Tingkat Kebutuhan Teknis
dan Sifat Hubungan).
Hasil pengamatan terakhir tim studi adalah kepemimpinan institusional belum bekerja baik pada
perguruan tinggi di manapun dalam kelompok ini; belum dapat bagi mereka untuk menjadi
strategis dalam perkembangan institusional. Bahkan beberapa tidak berambisi sama sekali untuk
mengembangkan kapasitas penelitian relevan.
Situasi ini menjadi lebih buruk ketika distribusi geografis di pendidikan tinggi ikut dipertimbangkan.
Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economy (MP3EI) 2011-2025 menetapkan 6
koridor pengembangan ekonomi, masing-masing dengan daya saing dan kelebihan tersendiri. 6
koridor ini yaitu 1) Sumatera, 2) Jawa, 3) Kalimantan, 4) Sulawesi and Maluku Utara, 5) Bali, NTB, dan
NTT, dan 6) Maluku dan Papua [MP3EI, 2011]. Perguruan tinggi dan jumlah mahasiswa tersebar tidak
merata di antara 6 koridor ekonomi ini, seperti ditunjukkan pada Tabel-3.2. Bila karakter dan kualitas
perguruan tinggi dianalisis lebih lanjut, tampak jelas bahwa sebagian besar koridor di luar Jawa tidak
didukung secara maksimal oleh perguruan tinggi yang berpotensi untuk mengambil peran aktif dalam
pembangunan ekonomi regional.
Tim studi menemukan dua responden industri yang memiliki pandangan yang sangat berbeda
mengenai ITB. Salah satu mengatakan bahwa ITB telah menyelesaikan banyak masalah
perusahaan selama bertahun-tahun, sedangkan lainnya mengatakan bahwa walau telah dicoba
berkali-kali, ITB hanya memberikan sedikit nilai tambah. Dalam diskusi selanjutnya, ditemukan
beberapa kemungkinan penyebab, yaitu tingkat kebutuhan teknologi, sifat hubungan kedua
pihak, dan harapan industri yang berbeda.
Perusahaan yang berpendapat positif merupakan perkebunan, dimana sebagian besar masalah
teknisnya sederhana dan dapat diselesaikan dengan teknologi yang sudah ada. Perusahaan
yang berpendapat negatif adalah produsen alutsista pertahanan yang aktif secara global,
dengan kebutuhan teknologi yang jauh lebih ketat dan mutakhir. Tidak mengejutkan bahwa ITB
dapat mengatasi masalah perkebunan; lebih baik daripada kontraktor alutsista.
Meski demikian, terdapat perbedaan penting lainnya. Perusahaan perkebunan tersebut memiliki
manajer yang mengenal baik ITB dari pengalaman kerja sebelumnya. Awalnya bekerjasama
melalui LAPI, namun seiring dengan waktu ia mengidentifikasi individu tertentu yang cocok
untuk diikutsertakan dalam proyek (seharusnya proses ini dilakukan oleh LAPI), dan bekerjasama
dengan dosen ITB ini untuk menyelidiki sifat permasalahan. Perusahaan tersebut tidak pernah
mengajukan masalah ke ITB dan mengharapkan solusi dalam enam bulan. Permasalahan yang
diselidiki bersama biasanya tidak terstruktur dan mencakup berbagai faktor dan risiko – dan
perusahaan perkebunan tersebut berani mengambil risiko.
Perusahaan alutsista jauh lebih terbiasa bekerja dengan perusahaan konsultan teknologi yang
efisien, yang ketika diberikan masalah terstruktur mampu bekerja cepat untuk memberi solusi.
Tim studi menduga cara perusahaan tersebut mencoba ‘memakai’ ITB serupa dengan cara
mereka ‘memakai’ konsultan seperti itu. Secara internasional, perguruan tinggi bukan pihak
yang tepat untuk mengatasi masalah terstruktur dengan tenggat waktu ketat – mereka jauh
lebih baik ketika mengatasi masalah tidak terstruktur dengan waktu yang lebih longgar.
Dalam pandangan tim studi, kedua perusahaan ini tidak ‘sesuai’ untuk ITB. Perusahaan perkebunan
mungkin mendorong ITB ke bawah – menyelesaikan masalah sederhana yang semestinya tidak
dilakukan oleh perguruan tinggi terbaik bangsa. Opportunity cost ITB menyelesaikan masalah
seperti ini terlalu tinggi bagi negara. Perusahaan alutsista mungkin terlalu spesifik dalam
meminta solusi, mengingat bahwa keahlian teknis ITB bukanlah mengatasi masalah spesifik
dalam waktu yang singkat – perusahaan itu tidak mengerti bagaimana sebaiknya bekerja
dengan akademisi. Namun, kesimpulan yang akan diambil oleh perusahaan alutsista tersebut
mungkin berbeda; mereka akan menyimpulkan bahwa ITB tidak memiliki keahlian teknis yang
memadai untuk mengatasi masalah. Seiring waktu, kesimpulan semacam ini akan menyebabkan
berbagai masalah bagi perkembangan ITB. Semakin banyak ITB diminta menyelesaikan berbagai
masalah sederhana, semakin sedikit waktu bagi dosen mengembangkan keahlian dalam bidang
teknologi tinggi yang dibutuhkan negara. Semakin banyak perusahaan teknologi tinggi yang
tidak yakin dengan kapasitas ITB, semakin sedikit kesempatan ITB untuk ikut serta dalam
memajukan teknologi yang praktis. Penting bahwa (a) ITB bekerja dengan perusahaan dengan
tingkat teknologi yang tepat; dan (b) perusahaan diberi kesempatan belajar bekerjasama lebih
baik dengan universitas.
Satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini adalah dengan secara sistematis menciptakan
institusi tingkat dua dan tiga yang cukup mampu mengatasi masalah seperti pada perusahaan
perkebunan – lebih baik bila lokasinya dekat dengan lokasi perkebunan, sehingga ITB dapat
fokus pada isu yang lebih tinggi.
Selama satu dekade terakhir, banyak upaya yang terstruktur untuk memperluas pendidikan
sarjana dengan mengembangkan baik pengalaman interdisiplin yang terintegrasi maupun
praktik mengajar yang kondusif, sehingga menghasilkan pemikiran kritis. Salah satu contohnya
adalah model Melbourne, yaitu usaha dari Melbourne University untuk menawarkan ijazah
S1 dari enam bidang yang luas untuk memberi pelatihan interdisiplin yang terintegrasi
sejak 2008. Lainnya adalah melonjaknya peminat pendidikan liberal arts di seluruh dunia
untuk memperkenalkan luasnya pendidikan yang digabung dengan pemikiran kritis untuk
mempersiapkan kaum elit generasi baru. Delapan perguruan tinggi di Belanda mendirikan
sekolah liberal arts dalam dekade terakhir (Peterson, 2012). Beberapa perguruan tinggi Cina
mendirikan sekolah sarjana liberal arts dengan target mahasiswa kaya (Chronicle, 2010).
Beberapa perguruan tinggi di Inggris mulai membuka program liberal arts sejak 2011 (UCL dan
King’s College). Singapura saat ini mengembangkan pendidikan liberal arts bekerjasama dengan
Yale University.
Negeri Swasta
Institusi Pendidikan Institusi Pendidikan
Koridor ekonomi Politeknik Politeknik
Tinggi Tinggi
Sumatera 7 16 17 762
Jawa 9 23 68 1102
Kalimantan 2 4 7 84
Sulawesi, Maluku Utara 4 8 6 336
Bali, NTB. NTT 5 6 11 151
Maluku, Papua 3 5 5 130
Total 30 62 114 2565
6 Untuk perguruan tinggi swasta: a) perkiraan 2010, dan b) Maluku Utara termasuk dalam koridor 6.
atau sumber daya yang lebih baik seperti infrastruktur, peralatan, buku-buku, dan dosen. Mengutip
salah seorang ahli senior pada organisasi penjaminan mutu internasional7 , “kualitas tergantung dari
siapa yang memandang.” [Vroeijenstein, 1995].
Hal ini adalah alasan mengapa amat penting bahwa tanggungjawab penjaminan mutu semestinya
berada di tingkat institusional, di mana pemangku kepentingan terlibat langsung, dan sistem
penjaminan mutu internal dimanfaatkan oleh institusi untuk kemajuan mereka sendiri. Mengikuti
‘keperluan eksternal’ penting untuk menentukan akuntabilitas, meskipun sulit meningkatkan kualitas
pendidikan dalam jangka panjang hanya dengan mengandalkan keperluan eksternal saja. Hal ini
karena untuk menciptakan ‘budaya peningkatan kualitas’ saja tidak cukup, seperti contoh di AS
(lihat box 11: Memperkenalkan Budaya Kualitas di AS).
Indonesia telah melakukan usaha nasional yang signifikan melalui berbagai cara untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dalam 20 tahun terakhir; dengan memberi insentif pada perguruan tinggi untuk
membangun ‘kapasitas institusional untuk peningkatan kualitas’ dan dengan struktur akuntabilitas
yang mapan (diuraikan dalam Annex II).
Hibah kompetisi untuk memberi insentif bagi peningkatan kualitas program sarjana dimulai di Indonesia
sejak 1995 melalui proyek Quality of Undergraduate Education (QUE) yang dibantu oleh World Bank.
Hibah kompetisi untuk peningkatan kualitas dikembangkan lebih lanjut melalui proyek TPSDP yang
didukung ADB di tahun 1998, yang menghasilkan inovasi kunci seperti pengikut sertaan perguruan
tinggi swasta. Program ini kemudian mendorong dilaksanakannya sejumlah program kompetisi lain
yang dibiayai langsung oleh pemerintah pada dasawarsa 2000an. Pemberian dana hibah belum tentu
dapat dijadikan ukuran kualitas program studi, terutama karena kompetisi dilakukan dalam sistem
berlapis, untuk menjamin bahwa perguruan tinggi yang lebih ‘lemah’ mendapat kesempatan mendapat
hibah bila memiliki motivasi dan komitmen. Fakta menarik adalah bahwa dana hibah kompetisi telah
melahirkan ‘gerakan kualitas’ di sektor pendidikan tinggi Indonesia, seperti yang terjadi di AS
(lihat box 11: Memperkenalkan Budaya Kualitas di AS).
Sistem akreditasi diterapkan pada tahun 1995 untuk mengembangkan mekanisme akuntabilitas bagi
kualitas pendidikan tinggi. Perbandingan program sarjana yang dinilai ‘sangat baik’ atau A oleh BAN
PT meningkat dari 9.1% pada tahun 2000 menjadi 13% di tahun 2006 (World Bank-a, 2012) dan 14% di
tahun 2009. Tabel-3.3 menunjukkan bahwa hasil akreditasi program di perguruan tinggi negeri lebih
baik secara signifikan daripada perguruan tinggi swasta.
Meski sebagian besar program perguruan tinggi swasta berkualitas rendah dan diikuti oleh sedikit
mahasiswa, beberapa program yang ditawarkan oleh perguruan tinggi swasta yang besar lebih baik
daripada program yang ditawarkan oleh perguruan tinggi negeri terendah.
Pada tahun 2010, hanya ada 11,185 program studi yang telah melalui proses akreditasi atau sekitar 63%
dari 18,298 program studi, baik karena ketidakmampuan mereka dalam memenuhi standar kualitas atau
karena keterbatasan Badan Akreditasi Nasional (BAN PT) untuk melakukan proses penilaian setiap tahun.
Untuk mengejar beban kerja yang terus bertambah, BAN PT saat ini dalam proses mengubah strategi
menjadi evaluasi institusi, bukan lagi program studi.
Secara bertahap peraturan juga diperketat. Tahun 2005, Ditjen Dikti mulai mengharuskan semua
perguruan tinggi memiliki unit penjaminan mutu atau Quality Assurance (QA). Program pelatihan
nasional diselenggarakan untuk mengajarkan staf yang ditugaskan pada unit QA ini, agar dapat lebih
efektif melakukan tugasnya. Pada tahun 2008, semua perguruan tinggi diminta menyerahkan dokumen
yang menjelaskan prosedur kerja QA internal mereka, dan tim pengkaji dibentuk untuk menilai
7 Ton Vroeijenstijn adalah Sekretaris Jenderal European Association for Quality Assurance in Higher Education (EAQAHE) dan
International Network of Quality Assurance and Accreditation of Higher Education (INQAAHE)
Kualitas pembelajaran merupakan isu utama di AS dalam 30 tahun terakhir. Telah dilakukan dua
usaha reformasi di sekolah dan perguruan tinggi AS untuk mengatasinya: gerakan reformasi
pembelajaran yang dipimpin oleh para filantropis liberal, dan reformasi akuntabilitas yang
dipimpin oleh negara dan di kemudian hari oleh badan akreditasi. Steven Brint, sosiolog
pendidikan yang terkenal yang saat ini menjabat sebagai wakil dekan pendidikan sarjana di
salah satu perguruan tinggi di California, berpendapat bahwa reformasi pengajaran jauh lebih
sukses dalam meningkatkan praktik pengajaran daripada reformasi yang dipaksakan lewat
‘akuntabilitas’. Gerakan kualitas pengajaran yang didukung oleh filantropis dengan sukses
mempertanyakan ‘orientasi penelitian’ dan membantu menyebarkan metode pendidikan
progresif di seluruh sekolah. Di sisi lain, reformasi akuntabilitas hanya berpengaruh sedikit,
sebagian karena ‘aturan’ atau ‘norma’ yang ditentukan oleh badan eksternal tidak selalu konsisten;
tergantung waktu dan tempat, dan perguruan tinggi cenderung ‘patuh pada syarat minimal’
terhadap permintaan akreditor. Gerakan pertama menangkap imajinasi para akademisi dan
mendorong dosen perguruan tinggi untuk memikirkan apa yang mereka lakukan, membangun
praktik pengajaran yang lebih baik dari bawah ke atas; sedangkan gerakan kedua hanya
mendorong mereka untuk ‘taat’ pada aturan luar, yang tidak menghasilkan perubahan jangka
panjang dalam pemikiran internal.
dokumen tersebut serta melakukan kunjungan ke lokasi. Setelah Ditjen Dikti menetapkan peraturan
ini, tahun 2008 terdapat 24 perguruan tinggi negeri dan 44 perguruan tinggi swasta yang dianggap
memiliki mekanisme QA yang baik. Saat ini, hampir semua perguruan tinggi sudah memiliki unit QA,
namun efektifitas mereka masih harus dinilai lebih lanjut.
Saat ini, kualitas perguruan tinggi di Indonesia sangat beragam. Hanya ada tiga perguruan tinggi di
Indonesia yang berada dalam peringkat 500 dunia, seperti ditunjukkan oleh Tabel-3.4. Sementara
beberapa perguruan tinggi sudah berada di tingkat dunia, sebagian bahkan belum terakreditasi BAN-
PT. Beberapa program studi di jalur profesional yang diwawancarai tim studi juga telah mendapat status
akreditasi yang diberikan oleh organisasi profesional internasional seperti ABET (Accreditation Board for
Engineering and Technology) dan WFME (World Federation of Medical Education).
Meski S-3 tidak dapat dianggap berkaitan langsung dengan kualitas perguruan tinggi, jumlah dosen
S-3 memberi indikasi adanya kapasitas perguruan tinggi untuk melakukan penelitian dasar. Saat ini,
lebih dari dua di antara tiga pemegang S-3 berada di perguruan tinggi di Jawa, seperti ditunjukkan
pada Tabel-3.5. Hal ini merupakan ilustrasi mengenai betapa besarnya ketimpangan geografis dalam
hal kapasitas penelitian.
Tabel-3.4: Peringkat institusi menurut THES dan QS [THES dan QS, 2012]
Aspek lain yang menimbukan keprihatinan adalah bahwa sebagian besar dosen perguruan tinggi luar
Jawa melanjutkan studi di Jawa, dan hanya sedikit yang melakukannya di luar negeri. Walau memasok
mahasiswa yang baik untuk program pasca sarjana domestik, hal ini tidak menciptakan sumber daya
manusia yang membawa ‘etika dan budaya organisasi baru’ ke perguruan tinggi mereka, padahal etika
ini penting bagi perguruan tinggi. Mereka juga tidak memiliki wawasan dengan konteks ekonomi
internasional yang penting bagi daerahnya. Bila ilmu pengetahuan yang berkualitas ingin diciptakan
di luar Jawa, butuh upaya yang jauh lebih luas untuk melatih sejumlah besar dosen dengan pendidikan
tingkat lanjut yang relevan di luar negeri.
Bila perguruan tinggi diharapkan menjadi perintis dalam peningkatan kualitas pendidikan, maka analisis
kebutuhan pasar tenaga kerja perlu dilakukan terus menerus. Namun kondisi lingkungan saat ini hanya
sedikit membantu gerakan peningkatan kualitas. Dihapuskannya skema hibah kompetisi sejak tahun
2010 dan keharusan mengikuti berbagai peraturan yang mengurangi otonomi perguruan tinggi, akan
mengubah perguruan tinggi mengikuti budaya ‘penurut’.
Tim studi juga melihat adanya krisis di aspek ini, khususnya di antara para pemimpin di perguruan tinggi
negeri. Bila perguruan tinggi diharuskan inovatif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masa depan,
mereka harus bisa berfungsi secara mandiri. Tantangan bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan
budaya mandiri dan akuntabilitas belum pernah sekeras ini sebelumnya, karena mereka saat ini
sekaligus juga harus menghadapi tantangan untuk meningkatkan kualitas bagi masa depan Indonesia.
Seiring dengan meningkatnya tuntutan untuk perluasan akses, pendidikan tinggi juga menghadapi
kesulitan untuk meningkatkan relevansinya. Meski persentasi lulusan yang menganggur sedikit
menurun pada 2 tahun terakhir seperti ditunjukkan Tabel-3.1, sebagian besar industri masih mengeluh
tentang kesulitan dalam merekrut lulusan yang kompeten. Industri secara khusus berpandangan kritis
tentang kemampuan perguruan tinggi melakukan litbang relevan dan memberi hasil yang bermanfaat
bagi sektor industri.
akan tumbuhnya kewirausahaan atau inovasi, yang disuarakan bukan hanya oleh badan pemerintah,
namun juga oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan acara-acara yang diselenggarakan oleh
industri. Gerakan ini bersifat ‘sporadis’ dan tidak konsisten dalam menuntut perguruan tinggi untuk
mengembangkan kemitraan UIP.
3.3.1 Paten
Perguruan tinggi tampaknya mulai merespon, terutama melalui penekanan pada pendaftaran paten,
program kewirausahaan, dan taman iptek. Hal ini ‘umum’ ditemui sebagai reaksi pertama di seluruh
dunia, tapi masih kurang memadai. Kesuksesan masa depan tidak hanya bergantung pada peningkatan
keahlian profesional individu, namun pada perubahan budaya perguruan tinggi itu sendiri, dan
kemudian menjadi ‘sumber’ bagi gagasan baru dan inovasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak perguruan tinggi yang mendaftarkan aplikasi paten
dengan dukungan pemerintah. Ini berbeda dengan masa lalu ketika dosen secara pribadi menyerahkan
hak kekayaan intelektual pada mitra industrinya. Ditjen Dikti telah memfasilitasi aplikasi paten dengan
menyediakan dana bagi perguruan tinggi. Seperti yang ditunjukkan pada tabel yang ditampilkan pada
Lampiran D, perguruan tinggi dengan tradisi penelitian yang kuat mendominasi jumlah paten yang
telah didaftarkan. Jumlah ini hanya mewakili sebagian kecil dari semua paten yang didaftarkan oleh
perguruan tinggi, karena sisanya didaftarkan tanpa bantuan Ditjen Dikti.
Meski jumlah paten meningkat, perguruan tinggi hanyalah sebagian kecil dari seluruh pemegang paten
di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Penting bagi perguruan tinggi untuk meningkatkan
kapasitas dalam memperoleh hak paten, karena perguruan tinggi baru berada pada ‘langkah awal’.
Sebagian besar perguruan tinggi hanya memiliki gambaran yang samar tentang paten; mereka tidak
memahami bagaimana cara memasarkan paten, dengan sedikit pengertian bagaimana ‘keuntungan’
dapat dibagi antara perguruan tinggi dan akademisi.
Secara umum, kecil kemungkinan bagi perguruan tinggi untuk memperoleh keuntungan finansial
dari HKI dalam jangka pendek dan menengah. Dorongan awal untuk mendaftarkan paten biasanya
ditekankan pada ‘jumlah’ pendaftaran tanpa melihat kualitas teknologinya. Dibutuhkan tidak hanya
sejumlah besar ‘akademisi aktif di bidang industri’ untuk menghasilkan kualitas teknologi paten yang
lebih baik, tapi juga kapasitas institusional untuk menyaring teknologi yang tepat untuk dipatenkan,
menulis aplikasi secara benar, dan dibutuhkan kapasitas lebih besar lagi untuk memasarkan paten
tersebut bila ingin sukses.
Mendaftarkan paten membutuhkan biaya besar karena memerlukan bantuan profesional untuk
mengembangkan izin aplikasi dan pemasaran. Bahkan di AS, banyak perguruan tinggi menyadari
bahwa tidak mudah untuk sekadar balik modal dalam hal paten / perizinan kecuali mereka memiliki
sejumlah besar paten dalam portfolio mereka, yang dikembangkan oleh unit pendukung profesional,
dan aktivitas penelitian berukuran signifikan untuk mendapat ide paten baru.
PT Ecomindo Saranacipta merupakan sebuah perusahaan yang didirikan oleh Fakultas Ilmu
Komputer UI pada bulan September 1999. Perusahaan ini dianggap oleh Fakultas sebagai uji
coba awal spin off. Modal awal perusahaan disediakan oleh Fakultas, dari pendapatan PNBP.
Usaha ini berhasil melewati masa-masa sulit yang disebabkan oleh kurangnya keterampilan dan
pengetahuan dalam menjalankan bisnis, serta terbatasnya bantuan dan pelatihan. Perusahaan
ini telah mengubah strategi dari spin off menjadi usaha baru (start up), dengan mengubah fokus
dari memasarkan produknya sendiri menjadi penyedia jasa outsourcing.
Bermula dari 3 staf penuh waktu, saat ini PT Ecomindo Sarancipta mempekerjakan sekitar 60
lulusan, termasuk 40 lulusan ilmu komputer penuh waktu dan 4 staf administratif. Jasa yang
disediakan terutama pada pengembangan aplikasi software dan outsourcing profesional
dengan cakupan klien yang luas mulai dari bank, industri finansial, badan pemerintah, hingga
perguruan tinggi; menghasilkan pendapatan sekitar Rp 12 miliar di tahun 2011 sebelum pajak.
Keikutsertaan Fakultas saat ini terbatas pada menyediakan saran melalui Dewan Komisaris.
Meski demikian, sebagian besar usaha ini sepertinya berada di tahap awal perkembangan, dan program
inkubasi yang diselenggarakan tidak terlalu berbeda dari program pendidikan kewirausahaan biasa
(lihat box 12: PT Ecomindo Saranacipta). Dana modal awal disediakan oleh Ditjen Dikti sejak 2009, dan
mahasiswa berkesempatan mendapat hibah hingga Rp 8 juta per mahasiswa.
Program inkubasi yang terstruktur, yang memanfaatkan keahlian dari luar, seperti modal ventura dan
wirausahawan berpengalaman untuk memberi pelatihan bagi calon-calon berpotensi masih belum
umum. Implementasi pembinaan yang tim studi temukan masih bersifat sangat umum, dan tidak
mencakup misalnya, analisis pasar, pembentukan tim manajemen, ataupun mencari modal ventura.
Hal yang amat berbeda teramati di Cina, dimana perguruan tinggi berperan aktif dalam membangun
perusahaan sejak akhir 1980an, bahkan ketika kapasitas penelitian mereka masih rendah (lihat box 13:
Pengalaman Perguruan Tinggi Cina dalam Spin Off).
Dalam banyak kasus, terdapat pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi afektif
melalui workshop 1-hari oleh motivator bintang TV untuk mahasiswa baru, diikuti oleh mata kuliah
1-2 SKS mengenai praktik bisnis untuk mahasiswa tingkat lanjut. Pelatihan semacam ini mungkin baik
untuk mereka yang memiliki minat namun belum kompeten, tapi kurang efektif bagi mereka yang
kurang termotivasi. Tanpa menanamkan semangat kewirausahaan melalui integrasi dengan mata
kuliah dan topik lain, sulit mencapai hasil yang diinginkan. Usaha lebih serius ditunjukkan oleh inisiatif
yang dilakukan oleh perguruan tinggi swasta, misalnya mengadakan kompetisi modal yang mengikut
sertakan industri (lihat box 6: Dua Perguruan Tinggi Swasta Unggulan dalam Hal Kewirausahaan).
Walaupun perusahaan yang baru didirikan biasanya disebut spin off, terdapat perbedaan
siginifikan dengan praktik yang umumnya berlaku, karena mereka dimiliki dan diatur oleh
universitas (Eun, Lee, dan Wu, 2006). Beberapa di antaranya sangat sukses; termasuk tiga di
antaranya perusahaan komputer paling sukses yaitu Lenovo, Founder, dan Tongfang, yang
didirikan oleh Chinese Academy of Sciences, Beijing University, dan Tsinghua University. Sekitar
40 perusahaan universitas telah terdaftar di pasar saham di Cina dan Hong Kong (Eun, Lee, dan
Wu, 2006).
Menariknya, perusahaan tersebut biasanya tidak jauh berbeda dari penelitian iptek yang
signifikan; spin off merupakan cara bagi staf yang memiliki keterampilan untuk pindah dari
universitas ke sektor komersil (Chen dan Kenney, 2007). Perusahaan ini merupakan cara sederhana
agar universitas dapat berkontribusi pada industrialisasi dalam lingkungan yang kemampuan
industrinya sangat terbatas (Eun, Lee, dan Wu, 2006). Mirip dengan hal ini, perusahaan start up
milik universitas Jepang di awal perkembangan industri, ketika akademisi berperan sebagai
perantara bagi teknologi Barat, karena industri lokal yang saat itu belum berkembang (Odagiri
dan Goto, 1996).
Tidak diketahui berapa lama praktik perusahaan universitas ini akan berlanjut di Cina. Baik
pemerintah maupun universitas telah melewati proses pemikiran ulang, karena banyak
perusahaan yang tidak sukses dan pekerjaan manajerial semakin menuntut tanggung jawab
(Ma, 2007; Kroll dan Leifner, 2008), dengan berbagai revisi dibuat sebagai strategi mereka (Wu
dan Zhou, 2011). Kemungkinan pengalaman universitas Cina dalam mendirikan perusahaan
adalah fenomana yang muncul karena konteks spesifik industri yang belum berkembang dan
banyaknya bakat baru di universitas.
yang tim studi dapat, sebagian besar, atau bahkan semuanya, belum melakukan litbang yang berarti,
dan aktivitasnya masih terbatas pada memberi saran dan jasa konsultasi bagi staf universitas mengenai
isu HKI.
Selain perguruan tinggi, beberapa usaha kerjasama antara berbagai institusi lain telah mendirikan
taman-taman iptek. Beberapa inisiatif ini didorong oleh pemerintah daerah yaitu Solo Techno Park,
Jababeka di Kawasan Industri Bekasi, dan Sragen di Jawa Tengah. Lainnya didirikan bersama oleh
pemerintah daerah dan pusat dan lebih terfokus pada sektor atau bidang tertentu seperti Agro Techno
Park di Sumatera Selatan, Cianjur, dan Jembrana (Bali). Saat ini mereka lebih terfokus pada difusi dan
diseminasi teknologi melalui pelatihan dan diskusi.
Bandung Techno Park (BTP) didirikan tahun 2010 sebagai merger TDC (Telecommunication Design Centre),
ISC (ICT Service Centre) dari Institut Teknologi Telkom, dan sebuah Pusat Inkubasi Bisnis. Institusi ini
menempati area seluas 54,000m2 dalam Telkom Education Park, bersebelahan dengan Institut Teknologi
Telkom (ITT)10, Institut Manajemen Telkom, Politeknik Telkom, dan Sekolah Seni dan Desain Telkom.
BTP berfungsi sebagai perantara dan pembangun sinergi antara akademisi, sektor bisnis / industri,
pemerintah, dan komunitas industri ITC. Meski masih relatif baru, BTP dapat dianggap sebagai contoh
baik akan taman iptek yang didukung industri.
Taman iptek yang telah jauh lebih dulu didirikan adalah Puspiptek Serpong di bawah Kemenristek dan
PAU (Pusat Antar Universitas) di perguruan tinggi. Namun sebagian besar kurang aktif sejak dasawarsa
terakhir, dan banyak infrastruktur serta peralatan mulai ketinggalan jaman.
10 ITT adalah sebuah universitas yang didirikan dan didukung oleh PT Telkom, Tbk.
Taman iptek tumbuh subur sejak didirikannya Stanford Industrial Park pada tahun 1951,
pertama-tama di AS dan Eropa, kemudian secara global. Di AS dan Eropa, taman iptek amat
terikait dengan perguruan tinggi, sementara di Asia banyak yang muncul tanpa ikatan formal
dengan pendidikan tinggi. Di Cina, taman iptek berkembang sejak akhir 1980an sebagai bagian
kebijakan nasional untuk menetapkan kawasan teknologi. Saat ini di Cina terdapat 53 taman
iptek nasional dan hampir 200 taman iptek daerah, serta 63 taman iptek milik perguruan tinggi.
Saat ini sudah menjadi pendapat umum bahwa perguruan tinggi perlu memainkan peran
interaktif dalam taman iptek. Beberapa taman dirancang oleh perguruan tinggi dan industri
untuk mendorong kelompok peneliti tertentu. Tidak lagi cukup mengajak industri dan
litbang ke taman ini; inkubator di bidang teknologi juga seharusnya dapat ditarik. Sering juga
ditambahkan ‘bumbu untuk eko-sistem inovasi’ lain seperti modal awal, modal ventura, dukungan
manajemen, dan hubungan usaha. Saat ini, meski terdapat sejumlah besar perusahaan modal
ventura bekerja secara global, banyak di antara mereka yang tidak mampu untuk membiayai
usaha spin off. Pengaturan khusus bagi modal ventura dan dukungan manajemen yang
terhubung langsung dengan perguruan tinggi semakin banyak, seringkali didukung oleh dana
pemerintah. Namun ada banyak yang gagal; karena tidak mudah meniru keahlian yang benar-
benar dibutuhkan. Israel dan Taiwan mengambil langkah yang tidak biasa dengan membangun
hubungan langsung dengan Silicon Valley dan melakukan usaha untuk membangun keahlian
untuk industri modal ventura domestik.
Wawancara dengan suatu UKM yang cukup sukses di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa mereka tidak
menerima dukungan apapun dari perguruan tinggi lokal. Dalam kasus ini, pemiliknya adalah dosen
dan semua orang di jurusannya mengetahui hal ini. Meskipun lusinan mahasiswa mendapat kredit SKS
dengan bekerja praktik di perusahaannya setiap tahun, perguruan tinggi maupun staf bahkan tidak
tertarik untuk memberikan dukungan. Ini menggambarkan adanya “hambatan mental” yang perlu
diatasi dalam membangun kemitraan dengan industri.
Beberapa perguruan tinggi yang mapan memiliki ‘unit ventura’ seperti LAPI di ITB, Daya Makara di UI,
atau Gama Multi Usaha Mandiri di UGM, yang fungsinya mendukung perjanjian kontrak antara industri
dan akademisi perguruan tinggi. Namun, bahkan LAPI-ITB (yang paling lama berdiri), sepertinya
masih jauh dari ‘profesional’ dalam (a) mengidentifikasi keahlian ITB untuk dimanfaatkan oleh industri;
dan (b) memasarkan keahlian spesifik dosen ITB ke dunia luar. UGM mungkin satu dari sedikit kasus
keberhasilan, yaitu mengembangkan kapasitas institusionalnya untuk mengidentifikasi mitra industri
dalam topik yang sesuai, sehingga memperoleh dukungan dana penelitian dari industri. UGM bahkan
mendirikan kantor perhubungan khusus di Jakarta untuk mempermudah komunikasi dengan mitra
industri. Penting agar ‘infrastruktur pendukung institusional’ semacam ini lebih dikembangkan sehingga
dapat membantu dosen berhubungan dengan mitra industri.
3.4 Pendanaan
3.4.1 Pendanaan Pemerintah
Pengeluaran total pendidikan tinggi dibandingkan dengan PDB tahun 2011 adalah sekitar 1.2%, masih
rendah dibanding Malaysia (1.69%) namun lebih tinggi dari Vietnam (1.18%), Thailand (0.71%), atau
Filipina (0.34%). Pada tahun 2012, anggaran yang dialokasikan oleh Ditjen Dikti mencapai Rp 32.6
triliun, hampir tiga kali lipat dibanding jumlah tahun 2007 yakni Rp 12.9 triliun, sekitar 53% dari seluruh
anggaran Kemendikbud seperti ditampilkan pada Tabel-3.6. Peningkatan drastis pendanaan ini diikuti
oleh peningkatan drastis pula pada PNBP (sebagian besar bersumber dari mahasiswa), yang naik dari
24% menjadi 34% dari seluruh anggaran. Perbandingan biaya pengajaran, yang diasumsikan berasal
dari PNBP dibagi dengan pengeluaran non-investasi naik dari 28% menjadi 53% dalam 5 tahun.
Anggaran investasi naik secara agresif, hampir empat kali lipat antara 2007-2012, sementara biaya
operasional dan perawatan hanya meningkat kurang dari dua kali lipat. Untuk menghadapi naiknya
biaya operasional, perguruan tinggi negeri menaikkan uang kuliah. Alokasi anggaran investasidi satu
sisi dan alokasi anggaran operasional dan perawatan di sisi lain merupakan permasalahan lama, namun
pada saat perkembangan pesat terjadi, konsekuensinya adalah munculnya kebijakan peningkatan
uang kuliah bagi mahasiswa.
Isu kedua yang penting adalah dominasi pengeluaran personalia dalam anggaran operasional dan
perawatan, yang secara konstan menekan pengeluaran non-gaji. Situasinya saat ini memburuk karena
pemerintah juga menyediakan insentif tambahan bagi guru besar dan dosen bersertifikasi di perguruan
tinggi negeri dan swasta, selain gaji yang dialokasikan dalam biaya operasional dan perawatan11. Pada
tahun 2012, Ditjen Dikti mengalokasikan lebih dari Rp 1 trilyun untuk insentif semacam itu, dan secara
signifikan telah mempengaruhi kemampuan investasi dan perawatan. Lebih lagi, hal ini berisiko pada
anggaran yang terus membengkak karena penambahan staf dan promosi di masa depan yang juga
harus diantisipasi.
Isu lain yaitu minimnya pendanaan penelitian di perguruan tinggi. Aktivitas penelitian di perguruan
tinggi didanai oleh berbagai sumber, seperti Ditjen Dikti, instansi pemerintah lain, industri, organisasi
donor, dan badan swasta lainnya. Ditjen Dikti menyediakan dana penelitian di bawah kategori investasi,
melalui 2 jalur berbeda. Jalur pertama yaitu melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat (dijelaskan pada Bab 4 laporan ini), dan kedua melalui alokasi langsung kepada beberapa
perguruan tinggi negeri sebagai paket dana yang lebih kecil.
11 Insentif bagi staff institusi negeri dialokasikan dari anggaran operasional dan perawatan, sementara untuk staff institusi
swasta insentif dialokasikan dari anggaran investasi.
Alokasi anggaran untuk Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat di Ditjen Dikti telah
mencapai Rp 436 miliar atau 1.34% dari total anggaran Ditjen Dikti. Dalam alokasi ini, anggaran litbang
di Ditjen Dikti hanya Rp 290 miliar di tahun 2012. Dibanding dengan Rp 200 miliar per tahun yang
dikeluarkan oleh PT Kalbe Farma12 untuk litbang, jelas ini mencerminkan prioritas kegiatan litbang yang
rendah dalam anggaran pemerintah.
Tabel-3.6: Alokasi anggaran Ditjen Dikti 2007-2012 dalam trilyun Rupiah [Dikti, 2012]
Perguruan tinggi yang menerima paket dana dipilih berdasarkan kinerja mereka dalam penelitian.
Dana dibagikan untuki penelitian staf melalui kompetisi internal. Alokasi anggaran pemerintah bagi
21 perguruan tinggi negeri dengan status BLU dan 7 perguruan tinggi BHMN untuk tujuan tersebut
ditampilkan pada Lampiran B laporan ini. Persentase paket pendanaan yang dialokasikan untuk hal
ini kurang dari 1% dari total anggaran (investasi, operasional, dan PNBP) di setiap perguruan tinggi
negeri yang terpilih sebagai sampel. Undang-undang terbaru 12/2012 mengenai pendidikan tinggi
memberikan ‘sumber’ baru untuk dana penelitian, karena mengharuskan perguruan tinggi negeri
mengalokasikan setidaknya 30% anggaran operasionalnya untuk litbang13.
Meski demikian, karena total pendanaan pemerintah untuk sektor pendidikan ‘dibatasi’ pada 20%
anggaran total pemerintah oleh konstitusi, keputusan ini hanya ‘menciptakan’ tekanan tambahan bagi
anggaran operasional dan perawatan. Diperkirakan bahwa peraturan ini baru akan diterapkan secara
efektif pada anggaran pemerintah tahun 2013.
3.4.2 PNBP
Sebelum tahun 2000, perguruan tinggi negeri memperolah sebagian besar dananya dari alokasi
anggaran pemerintah. Pendapatan dari mahasiswa tidak signifikan dan kontrak jasa tidak dikelola
secara baik hingga awal 1990. Perubahan besar berawal di tahun 2000, dengan adanya perubahan
status hukum 4 perguruan tinggi negeri unggulan menjadi BHMN. PNBP menjadi semakin penting
sebagai sumber dana mereka pada dekade terakhir. Pada tahun 2012, PNBP telah melebihi alokasi
anggaran untuk operasional dan perawatan, seperti yang ditampilkan pada Tabel-3.6.
Sumber PNBP perguruan tinggi negeri adalah dari mahasiswa, kontrak, dan sumber lain. Nilai pendapatan
yang diperoleh dari kontrak litbang dan industri di setiap perguruan tinggi hanya dapat diperoleh
dari sistem laporan finansial. Laporan finansial yang rinci hanya tersedia di 21 perguruan tinggi negeri
BLU (Badan Layanan Umum)14 dan 7 perguruan tinggi BHMN, seperti ditampilkan pada Lampiran B.
Untuk memperkirakan jumlah aktivitas kerjasama antara perguruan tinggi ini dengan industri, tim studi
mencoba memperkirakan pendapatan dari berbagai kontrak dengan cara meniadakan pendapatan
dari mahasiswa dan “lainnya” (misal sewa gedung, fasilitas, parkir) dari total PNBP. Perlu diingat bahwa
dalam kontrak masih mencakup berbagai kegiatan non-litbang, seperti pelatihan, assessment, atau
pemrosesan data.
12 PT Kalbe Farma merupakan perusahaan farmasi terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara
13 Artikel 89.6
14 BLU bukan badan hukum. Mereka beroperasi sebagai unit di bawah Kementerian, dengan kewenangan khusus dalam
mengatur keuangannya.
Pada 21 BLU dan 7 BHMN, yang semula diasumsikan mampu menghasilkan pendapatan lebih besar
daripada sumber non-mahasiswa, ternyata lebih dari 80% berasal dari mahasiswa dalam bentuk
uang kuliah dan biaya lain, dan hanya 10.5% berasal dari kontrak. Ini berarti bahwa pendapatan dari
kontrak hanyalah sebesar 3% pendapatan total. Dari pengamatan ini, tim studi menyimpulkan bahwa
kerjasama litbang dengan industri masih sangat sedikit. Di luar status dan tahap perkembangan mereka,
persentase pendapatan dari kontrak pada 2 jenis perguruan tinggi ini mirip, yaitu sekitar 10%. Namun,
nilai nominal kontrak jauh lebih tinggi pada BHMN (Rp 448 miliar untuk 7 institusi) karena total PNBP
yang lebih besar pula, dibanding institusi BLU (Rp 572 miliar untuk 21 institusi).
BHMN dianggap sebagai perguruan tinggi yang paling mapan karena umumnya dianggap mampu
menghasilkan PNBP dari sumber lain selain mahasiswa lebih banyak daripada perguruan tinggi lain.
Seperti ditunjukkan pada Lampiran B, tidak semua BHMN unggul dalam PNBP. Nilai nominal dari
kontrak perguruan tinggi BLU seperti UNHAS (Rp 70 miliar) jauh lebih tinggi dari BHMN seperti USU (Rp
25 miliar); bahkan mendekati UNAIR (Rp 72 miliar).
Di antara 21 perguruan tinggi berstatus BLU, 6 di antaranya tidak melaporkan adanya pendapatan
apapun dari sumber ini. Tim studi menduga mereka memiliki beberapa kerjasama, tapi belum berhasil
mengadministrasikannya dalam kebijakan ‘single account’. Walaupun demikian, dapat diperkirakan
bahwa proporsi pendapatan dari kerjasama industri pada ke 6 perguruan tinggi ini juga tidak besar.
Mereka mungkin masih berada dalam proses restrukturisasi manajemen finansial internal dan kesulitan
menerapkan kebijakan ‘single account’, terutama setelah diubah menjadi BLU. Pengecualian dari hal ini
mungkin adalah Universitas Terbuka, yang sifat layanannya memang kurang mempunyai kesempatan
untuk bekerjasama dengan industri.
Otonomi perguruan tinggi tidak terbatas hanya pada proses memberi perguruan tinggi negeri status
hukum yang terpisah. Dibutuhkan suatu proses yang kompleks untuk membangun kerangka otonomi
institusional mulai dari aspek akademik hingga aspek pengelolaan keuangan, termasuk akuntabilitas
keuangan dan kualitas, tata pamong dan tata kelola, sehingga melibatkan pemangku kepentingan
utama. Sekarang ini, telah diakui secara universal bahwa tanpa otonomi, perguruan tinggi tidak bisa
beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang berubah ataupun berfungsi secara efisien. Sudah
diketahui pula bahwa otonomi perlu disertai dengan akuntabilitas. Proses otonomi bukan sekadar
perubahan peraturan, namun suatu proses pembangunan institusional untuk membangun kapasitas
dalam menyusun strategi, perencanaan, dan manajemen sumber daya.
Dari sudut pandang UIP, otonomi dan akuntabilitas penting karena tiga alasan. Pertama, kemitraan UIP
yang sehat menuntut perguruan tinggi memberikan input yang mandiri, inovatif, dan berbeda kepada
kemitraan, yang hanya dapat dilakukan oleh perguruan tinggi. Dalam aspek pendidikan, perguruan
15 Keadaan yang mirip juga terjadi pada universitas swasta, dengan Yayasan sebagai badan hukum. Otoritas dan otonomi
dilimpahkan kepada universitas oleh Yayasan.
tinggi harus dapat ‘cukup lincah’ menghadapi kebutuhan masyarakat yang terus berubah, dan terus
menerus meningkatkan mutu, untuk dapat menyediakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional.
STRUKTUR OTONOMI
Tidak hanya kebebasan akademik bagi dosen untuk melakukan penelitian
dan pengajaran, namun juga bagi institusi untuk memberi gelar, menentukan
Otonomi akademik
kurikulum dan sistem pembelajaran, menentukan lingkup dan bidang penelitian
dan pengajaran
Untuk menggalang dan mengelola dana tanpa perlu izin pemerintah,
Otonomi finansial mengumpulkan pendapatan, secara fleksibel merencanakan anggaran dan
pengeluaran tanpa perlu persetujuan eksternal
Untuk mengatur struktur internal bagi unit akademik (misalnya fakultas dan
Otonomi struktural jurusan) sehingga perguruan tinggi dapat beradaptasi dalam merespon keadaan
yang berubah-ubah.
Untuk mengatur sumber daya melalui cara-cara yang sesuai dengan misi dan
Otonomi administratif
transparansi serta akuntabilitas internal
STRUKTUR AKUNTABILITAS
Prasyarat agar perguruan tinggi bekerja sebagai badan hukum independen yang
Akuntabilitas hukum
dapat terikat pada tanggung jawab hukum
Akuntabilitas finansial Prasyarat audit keuangan
Akuntabilitas kualitas Prasyarat akreditasi eksternal dan lain-lain
Prasyarat bahwa perguruan tinggi harus memiliki struktur kepemimpinan untuk
Akuntabilitas kepemimpinan memastikan akuntabilitas kepada pemangku kepentingan, seperti suatu majelis
wali amanat, yang dapat mengawasi keputusan strategis dan kinerja
Fakta bahwa perguruan tinggi swasta tampak lebih agresif ‘berinovasi’ dan ‘mengaitkan keterampilan
dengan kebutuhan’, mengindikasikan bahwa otonomi institusional memungkinkan mereka menjadi
organisasi yang lebih baik. Meski demikian, perguruan tinggi swasta umumnya bukan pesaing kuat
baik dalam hal pendidikan akademik yang luas maupun penelitian. Struktur pengelolaan perguruan
tinggi negeri perlu disesuaikan sehingga para ahli dan ilmuwan dapat memainkan peran yang jauh
lebih proaktif dalam UIP dibandingkan dengan saat ini.
Kedua, kapasitas manajemen penting bukan hanya untuk mengembangkan kemitraan yang baik
namun juga menjamin agar penerapannya efektif. Industri tidak memiliki kesabaran untuk mengatasi
birokrasi yang lambat ataupun kekakuan kerja di perguruan tinggi negeri. Penting untuk mendorong
perguruan tinggi menjadi organisasi kredibel yang dapat diajak bermitra dengan industri.
Ketiga, perguruan tinggi perlu memiliki mekanisme yang mengikutsertakan industri dan pemerintah sebagai
pemangku kepentingan. Majelis Wali Amanat di banyak negara berfungsi sebagai mekanisme penjamin
akuntibilitas perguruan tinggi kepada publik, termasuk kepada industri dan pemerintah, karena individu
yang duduk dalam dewan berwenang mempengaruhi keputusan strategis dan cara kerja perguruan tinggi.
Di Indonesia, perjalanan menuju otonomi telah dimulai sejak dua dasawarsa yang lalu. Sejak saat itu
Dirjen Dikti memulai desentralisasi otoritas dengan memberi otonomi institusional bagi perguruan
tinggi. Langkah pertama yang diambil melalui Peraturan Pemerintah PP 30/1990 adalah memberikan
keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk merancang sebagian struktur organisasinya sendiri agar sesuai
dengan kebutuhan lokal. Pengenalan block grant di awal 1990an merupakan titik balik ketika dosen
diperkenalkan langsung pada tanggung jawab untuk merencanakan dan menerapkan manajemen di
perguruan tinggi negeri. Ini merupakan persiapan untuk otonomi yang lebih besar di kemudian hari,
dalam bentuk desentralisasi otoritas kepada perguruan tinggi, dan kemudian hibah anggaran untuk
mengembangkan program studi. Perlu diingat bahwa perubahan ini dimulai ketika sentralisasi masih
kental secara nasional, sebelum terjadinya reformasi pada 1998.
Titik penting dalam proses ini adalah dikeluarkannya PP 61/1999, yang memberi kesempatan bagi 4
perguruan tinggi negeri unggulan mengubah status hukum mereka, sehingga dibentuk Majelis Wali
Amanat, dengan otonomi keuangan dan manajemen sumber daya manusia yang cukup leluasa.
Di kemudian hari, program ini diikuti oleh 3 perguruan tinggi negeri lainnya. Ketika Badan Hukum
Pendidikan (BHP) disahkan oleh parlemen dan menjadi Undang-undang 9/2009, diasumsikan bahwa
tujuan akhir telah tercapai. Undang-undang ini memberikan dasar hukum dan menjelaskan kerangka
pengaturan untuk mendukung otonomi institusional. Undang-undang ini membolehkan semua
perguruan tinggi dan sekolah, negeri maupun swasta, untuk mengubah status mereka menjadi badan
hukum bila memenuhi beberapa persyaratan. Undang-undang ini hanya berlaku sebentar, karena
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi di tahun 2010.
Tanpa infrastruktur hukum yang memadai, Ditjen Dikti amat bergantung pada peraturan yang ada
mengenai keuangan pemerintah sebagai dasar otonomi finansial (PP 23/2005, dan versi amandemennya
PP 74/2012). Konsep Badan Layanan Umum (BLU) dirancang oleh Kemenkeu sebagai solusi umum bagi
semua institusi pemerintah yang berpotensi memperoleh pendapatan sendiri, seperti rumah sakit,
balai teknik, dan unit litbang. Namun, karena disusun oleh Kemenkeu, cakupan kewenangan yang
dapat diatur pun terbatas pada mengatur manajemen keuangan pemerintah, sementara aspek-aspek
lain dalam manajemen perguruan tinggi, seperti pengaturan dan keleluasaan akademik belum teratasi
oleh peraturan ini.
BLU membatasi otonomi perguruan tinggi sekadar dalam hal pengelolaan keuangan, karena otonomi
dalam aspek lain harus diatur oleh Kemendikbud. Karena tidak ada perlindungan hukum yang memadai,
kebijakan yang dibuat oleh Menteri dapat dihapuskan kapan saja bila pejabat berganti. Walaupun
demikian, langkah ini dianggap pilihan menarik oleh para birokrat dan sebagian akademisi, karena
praktis dan memberikan solusi jangka pendek. Untuk menghindari perguruan tinggi negeri beroperasi
dalam keadaan vakum, pemerintah menetapkan PP 66/2010 yang memberi petunjuk selama masa
transisi menjadi BLU untuk melengkapi PP 23/2005.
Pada Bulan Agustus 2012, Undang-undang 12/2012 mengenai Pendidikan Tinggi disahkan. Meski jauh
dari sempurna, undang-undang ini memberikan dasar hukum untuk mengembangkan peraturan dari
Pemerintah dan Kementerian seperti yang diperintahkan oleh Undang-undang tersebut. Beberapa
akademisi skeptis dan curiga bahwa peraturan pemerintah yang akan disusun untuk menjalankan
Undang-undang tersebut akan membawa sistem nasional kembali ke pemusatan otoritas. Lainnya
khawatir bahwa Undang-undang ini cenderung mengatur perguruan tinggi negeri secara rinci, tetapi
tidak memberi peraturan yang memadai bagi perguruan tinggi swasta.
Di Jepang, 89 universitas nasional diberikan status hukum baru, yang menjadikan mereka
terpisah secara hukum dari Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
untuk pertama kalinya di tahun 2004. Reformasi pemerintahan mereka mirip dengan yang
terjadi di Indonesia yakni dalam skala besar, meliputi banyak organisasi, meliputi perubahan
hukum dan perubahan dalam kerangka peraturan dan pendanaan. Tujuannya adalah untuk
memberikan otonomi organisasi yang lebih besar bagi universitas nasional sehingga mereka
dapat menjadi organisasi strategis, mampu mengembangkan karakteristik unik dalam
pendidikan dan penelitian, dan menjadi akuntabel untuk memenuhi kebutuhan negara yang
bermacam-macam.
Pada tahun 2010, studi pertama pasca-otonomi yang dilakukan oleh Kementerian menyimpulkan
bahwa universitas nasional menjadi jauh lebih baik dalam berkontribusi bagi masyarakat (MEXT,
2010). Penelitian dan kontrak kerjasama dengan industri dan organisasi non-universitas berlipat
ganda antara 2003 dan 2008. Kontribusi mereka pada perkembangan daerah meningkat karena
universitas bekerjasama dengan usaha kecil dan menengah, memfokuskan usaha penelitian
dan pendidikan di bidang yang relevan dengan kebutuhan daerah.
Infrastruktur hukum merupakan isu penting dalam mengembangkan kemitraan UIP, dan juga untuk
membangun lingkungan kondusif untuk melakukan penelitian dan mengembangkan inovasi di
perguruan tinggi. Otonomi dibutuhkan oleh perguruan tinggi untuk mengembangkan dan menyusun
rencana strategis yang mengikutsertakan para pemangku kepentingan, yaitu industri dan sektor
produktif lainnya. Pemikiran sebagai perguruan tinggi yang otonom akan memberi pijakan yang
memadai untuk kemitraan UIP. Di Jepang, saat universitas nasional melalui reformasi pemerintahan
yang serupa, pengaruhnya tampak khususnya dalam hal kemitraan dengan industri (lihat box 15:
Reformasi Pendidikan Tinggi di Jepang).
Setelah mempelajari komite serupa di India (lihat box 16: Sistem Inovasi – Kasus di India), pemerintah
disarankan untuk memperkuat KIN sebagai unit pembantu Presiden. Tidak seperti di India, secara
hukum, KIN saat ini tidak memiliki portofolio dan tidak dapat menjalankan proyek/program inovasi.
Otoritas menjalankan program inovasi sebagian dipegang oleh Kemenristek, sebagian oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan sebagian lagi oleh perguruan tinggi yang mapan.
Salah satu kisah sukses dalam implementasi sistem inovasi adalah perjalanan inovasi India.
Berawal dari dasar yang kuat, namun lajunya terhambat oleh agenda yang melihat ke belakang
dan tidak saling terhubung. Pada masa awal, proteksi berlebihan mendorong kemandirian
industri, militer, dan sektor umum India untuk berinovasi dengan caranya sendiri sehingga
seringkali hanya memberi hasil berkualitas rendah. Isolasi dari kompetisi dari luar negeri selama
lebih dari 44 tahun sejak kemerdekaan menyebabkan tidak adanya studi banding atau referensi.
Ini seringkali menyebabkan India mengulang apa yang telah mereka lakukan berkali-kali. Pada
masa lain, India bergantung pada teknologi bekas dari Uni Soviet. Dalam banyak hal, India hanya
memiliki teknologi seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan perang dingin, ketika alokasi
untuk anggaran militer masih tinggi.
Akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam pemikiran tersebut. Ada tekanan dari pemerintah untuk
mengubah India dari dalam, sedangkan dari luar ada tekanan dari Cina untuk bisa mengejar.
Juga terdapat kritik bahwa India belum mampu menciptakan produk baru untuk pasarnya
sendiri meski memiliki bakat terbaik. India saat itu percaya bahwa Sistem Inovasi Nasional dapat
meraih momentum, meningkatkan profil, membentuk transparansi, serta meningkatkan fokus
pada pertumbuhan nasional dan daya saing global.
Apa yang harus diraih oleh sistem inovasi nasional? Model dasar untuk inovasi global tidak
berubah, namun sifatnya berubah dan tumbuh menjadi lebih baik. Perubahan paling besar
tampak pada perubahan dari fokus pada produk baru dan identifikasi teknologi menjadi proses,
dan dari output individu menjadi mekanisme memproduksi output tersebut. Inovasi tidak dilihat
sebagai suatu aktivitas terisolasi yang menambah nilai dari agenda inovasi nasional. Inovasi
tidak lagi suatu aktivitas penemuan independen, namun proses kerjasama dengan beberapa
partisipan.
India melihat inovasi sebagai model tiga lapis. Pertama, lapis dan skala inovasi yang dibutuhkan
untuk memengaruhi populasinya yang sangat besar. Di dasar model adalah inovator hulu yang
berkontribusi pada PDB pedesaan (mis. petani, pengrajin, ibu rumah tangga, dan penduduk
India pada umumnya – untuk menyelesaikan masalah sehari-hari).
Pada lapisan kedua difokuskan pada inovasi wirausaha dan sosial. Sedangkan pada lapisan
ketiga atau teratas adalah kemitraan swasta-pemerintah dalam melakukan penelitian canggih
untuk daya saing global. Model berlapis ini menekankan pada fokus bertingkat sesuai dengan
keragaman kebutuhan negara, termasuk permintaan industri India yang sudah mapan,
percepatan konsumsi domestik, dan berlipatgandanya PDB pedesaan. Yang masih belum
tersentuh adalah usaha nasional yang signifikan dan terkoordinasi. Inilah tempat bagi NIS
(National Innovation System), memberikan kebebasan yang diperlukan bagi tiap lapisan dan
pada saat yang sama memberi efek osmosis pada batasan lapisan sedemikian rupa sehingga
meningkatkan performa inovasi.
Pada penerapannya, NIS beroperasi seperti jaringan listrik nasional ke semua instansi. NIS juga
memberikan kerangka yang dapat menyederhanakan isu yang ada dan menyelesaikannya
secara terpisah. Misalnya, infrastruktur ilmu pengetahuan dasar dan ilmu teknik, termasuk data
yang diperlukan oleh peneliti, teknologi yang dibutuhkan untuk litbang, membangun prototipe
dengan pesat, alat pengukuran dan percobaan, dapat disediakan secara terpusat dan terbuka
untuk dimanfaatkan oleh semua partisipan sistem inovasi.
NIS memiliki tim yang berperan sebagai think tank memikirkan kebijakan hak intelektual. Di sini,
pemerintah melalui kebijakan inovasi dapat mengatur agenda: pertama, memastikan bahwa
ada suatu portfolio untuk kepentingan nasional; kedua, memastikan bahwa tersedia pendanaan
dan insentif yang memadai bagi para pemeran di berbagai lapisan untuk berfungsi mandiri; dan
ketiga, memastikan adanya kerjasama dan integrasi antar pemeran.
Penerapan NIS bukan tanpa hambatan. Struktur organisasi yang kaku dan pola pikir kedaerahan
seringkali mengganggu inovasi. Selain itu terdapat berbagai jenis perlawanan terhadap ide
baru, percobaan, proses perubahan, transparansi, dan akuntabilitas.
Di tahun 2008, Pemerintah India mengeluarkan rancangan Gerakan Inovasi Nasional. Tujuan
rancangan ini untuk memfasilitasi gerakan pemerintah, swasta, ataupun kemitraan pemerintah-
swasta untuk membangun dukungan sistem inovasi. Gerakan Inovasi menggambarkan
perencanaan iptek yang terintegrasi. Gerakan ini mendorong pemikiran ke arah kemitraan
swasta dan pemerintah, termasuk pertukaran atau pasar untuk jual-beli inovasi. Meski berawal
baik, namun gerakan ini kurang memenuhi harapan untuk menetapkan agenda komprehensif,
mekanisme pendanaan yang sehat, program subsidi inovasi, serta yang terpenting insentif
untuk bekerjasama.
Tim studi mengunjungi kota Pekalongan di Jawa Tengah, salah satu lokasi uji coba penerapan program
BPPT untuk mengembangkan sistem inovasi lokal. Tim studi menemukan bahwa pemahaman, strategi,
penerapan, dan keikutsertaan mereka masih dalam tahap awal. Inovasi dipandang oleh pejabat daerah
sekadar dalam bentuk bekerja lebih baik dari tahun sebelumnya; keikutsertaan perguruan tinggi masih
terbatas dalam melakukan studi kebijakan bagi pemerintah daerah; begitu juga dengan keikutsertaan
industri lokal yang amat terbatas, sementara strategi litbang masih belum berkembang. Tampaknya
KIN perlu belajar dari India tentang keberhasilan menerapkan Sistem Inovasi Nasional – SiNas (National
Innovation System – NIS), dimana pemerintah menempatkan KIN pada struktur yang semestinya, agar
terdapat sinergi antara institusi litbang dan pembuat kebijakan litbang.
Interaksi antara badan usaha, organisasi iptek, institusi pemerintah, serta masyarakat merupakan
proses mendasar yang memungkinkan adanya peningkatan kapasitas dan kinerja sistem inovasi.
Perguruan tinggi dan badan litbang lain (baik pemerintah maupun swasta) adalah penggerak utama
sistem inovasi, yang berkontribusi pada sektor produksi melalui komersialisasi penelitian atau transfer
teknologi dengan cara pelatihan dan pengembangan kapabilitas teknologi. Instansi dan peraturan
pemerintah melaksanakan peran penting dalam menciptakan lingkungan kondusif untuk penemuan,
uji coba, dan adopsi teknologi baru, serta pembentukan badan usaha baru.
Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2010-2014
(keputusan Menteri Riset dan Teknologi 193/M/Kp/IV/2010) bertujuan untuk:
Pertumbuhan Usaha
Organisasi Pembelajaran atas Pilihan-Pilihan Perbaikan Kesehatan
Pengetahuan Seleksi Oleh Pengguna Ketahanan Pangan
Berkelanjutan Lingkungan
Tata Kelola
a) Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya iptek untuk menghasilkan produk litbang
yang berdayaguna bagi sektor produksi nasional;
b) Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan litbang dan lembaga penunjang untuk
mendukung proses peralihan dari gagasan menuju prototipe laboratorium, prototipe industri,
sampai dengan produk komersial (memperkuat sistem inovasi nasional);
c) Mengembangkan dan memperkuat jaringan kelembagaan dan peneliti baik di lingkup nasional
maupun internasional untuk mendukung peningkatan produktivitas litbang dan peningkatan
pendayagunaan litbang nasional;
d) Meningkatkan produktivitas litbang nasional untuk memenuhi kebutuhan teknologi di sektor
produksi dan meningkatkan daya saing produk-produk nasional dan budaya inovasi;
e) Meningkatkan pendayagunaan iptek nasional untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan
kerja baru, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya Iptek;
f ) Menetapkan tujuh fokus iptek: i) ketahanan pangan, ii) energi, iii) teknologi dan manajemen
transportasi, iv) teknologi informasi dan komunikasi, v) teknologi pertahanan dan keamanan, vi)
teknologi kesehatan dan obat, dan vii) teknologi material maju untuk mendukung bidang fokus
lainnya.
Keputusan Kemenristek 193/M/Kp/IV/2010 adalah penerapan pasal 31 ayat (4) dari Undang-undang
Dasar 1945 (amandemen ke IV) dan Undang-undang 18/2002 tentang Sistem Nasional untuk Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek), dan Undang-
undang 17/2007 tentang Rencana Pengembangan Nasional Jangka Panjang 2005 – 2025. Keputusan
ini dengan jelas menyatakan bahwa Agenda Riset Nasional 2010 – 2014 berlaku bagi semua elemen
pelaksana pengembangan iptek nasional. Lebih jelasnya, pelaksana didefinisikan sebagai: a) individu
atau sekelompok individu yang melakukan penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek, dan b)
institusi iptek, seperti perguruan tinggi, institusi litbang, badan usaha dan institusi pendukung (yang
menciptakan lingkungan, dukungan dan batasan, yang memengaruhi perkembangan perguruan
tinggi, institusi litbang, dan badan usaha).
Keputusan ini memperhatikan pentingnya Sistem Inovasi Nasional – Sisnas, fungsi Agenda Riset
Nasional (ARN) sebagai dasar semua program iptek, dan perlunya sinkronisasi dan koordinasi antara
berbagai elemen pelaksana iptek. Namun, keputusan ini tidak menjelaskan dengan baik bagaimana
mekanisme penerapannya dan kebijakan yang memberikan insentif untuk pendanaan litbang nasional.
Pada kenyataannya di lapangan, ARN hanya dapat diterapkan untuk program litbang dalam unit dan
badan di bawah koordinasi Kemenristek, sementara kementerian lain seperti Kemdikbud, Kemenhan,
Kementerian PU, Kementrans, Kementan, dan kementerian lain memiliki program litbang mereka
sendiri, yang mungkin tidak selalu sejalan dengan ARN. Kecuali mereka yang mencari pendanaan
dari program insentif Kemenristek, meski juga menggunakan anggaran pemerintah, litbang di
institusi pemerintah lainnya tidak diharuskan mengikuti ARN. Dalam lingkup luas, program litbang di
institusi pemerintah bertujuan untuk mendukung pengembangan iptek dan teknik, atau mendukung
perencanaan kebijakan bagi kementeriannya.
Keberhasilan kebijakan pemerintah dalam litbang nasional dapat diukur antara lain melalui jumlah
dan kualitas peneliti dan jumlah anggaran litbang yang ditetapkan untuk aktivitas litbang (input), dan
keluaran (output) aktivitas litbang. Sejauh ini, efektifitas kebijakan litbang semacam itu belum terukur,
karena data tersebar dan tidak ada integrasi antara para pemeran aktivitas litbang nasional.
Total anggaran pemerintah yang ditetapkan untuk aktivitas litbang ditunjukkan pada Lampiran D
laporan ini. Dari total APBN sebesar Rp 1.344.476 miliar, hampir Rp 10,063 miliar dialokasikan untuk
litbang, atau hanya 0.75% dari APBN 2012. Tentu ini merupakan jumlah yang amat kecil dibandingkan
dengan negara lain, sehingga jumlah yang terbatas ini tidak lagi dihambat dengan proses pencairan
yang rumit (PP 38 /2012).
Data yang diperoleh melalui survei tahun 2006 [LIPI, 2009] menunjukkan bahwa perbandingan
personalia litbang di institusi pemerintah hanya 11,04 per 1.000 pegawai, yang terdiri atas 40,77%
peneliti, 27,78% teknisi, dan 31,45% staf pendukung. Untuk saat ini gambaran tersebut diperkirakan
hanya berubah sedikit. Dalam hal latar belakang pendidikan, hanya sebagian kecil peneliti memiliki
gelar doktor (5%) dan master (14.8%), sementara lainnya bergelar sarjana (21.0%) atau lebih rendah.
Tidak hanya kuantitas dan kualitas personalia litbang yang relatif rendah, kinerja mereka juga tergolong
kurang memuaskan, dilihat dari nilai FTE (full time equivalent – FTE). Menurut survei LIPI tahun 2006,
personalia di institusi litbang pemerintah menghabiskan hanya 0,57 waktu mereka melakukan aktivitas
litbang. Meski nilai ini menunjukkan peningkatan dari survei 2004 dan 2005, keadaannya masih jauh
dari memuaskan. Diperkirakan bahwa saat ini FTE personalia litbang pemerintah hanya meningkat
sedikit.
Belum adanya data yang akurat menjadikan tim studi membuat perkiraan kasar bahwa tim studi
personalia litbang di perguruan tinggi maksimum 25% dari total dosen, sementara sisanya terfokus
lebih pada mengajar dan mungkin sedikit meneliti. Pada beberapa perguruan tinggi, seperti UI, UGM,
ITB, ITB, UNAIR, dan ITS, proporsinya mungkin lebih tinggi, namun di sebagian besar perguruan tinggi
(khususnya perguruan tinggi swasta kecil) proporsinya jauh lebih rendah. Di beberapa perguruan tinggi
hanya sebagian kecil dosen mampu meraih
Pengembangan dana
strategi hibah dari Ditjen
kemitraanperguruan Dikti,
tinggi, Kemenristek,
industri, dan sumber-
dan pemerintahHalaman43
sumber lain. Selain beban mengajar yang tinggi pada perguruan tinggi yang berfokus pada pengajaran,
tidak memadainya kapabilitas penelitian, tidak cukupnya pendanaan,dan infrastruktur penelitian yang
terbatas, sering menjadialasan utama ketiadaan aktivitas penelitian dari sejumlah besar pengajar
perguruan tinggi.
Masalah pendanaan pemerintah tidak hanya pada prosesnya yang rumit, namun juga pada
keterlambatan pencairan dana. Keterlambatan ini menyebabkan peneliti harus mencari cara untuk
menalangi biayanya terlebih dulu. Permasalahan ini diperburuk oleh tidak adanya kompetensi dan
kapasitas staf pendukung yang bertanggung jawab atas prosedur administratif penyaluran dana.
Dalam hal pendanaan dari sektor swasta (anggaran non-pemerintah), selama kapasitas sistem
administrasi dan kompetensi personalia pendukung masih kurang memadai, masalah yang serupa juga
akan muncul. Untuk perusahaan swasta yang memiliki fasilitas litbang sendiri dan dana mereka sendiri,
permasalahan ini tidak terjadi. Meski demikian, dalam kerjasama litbang perguruan tinggi – industri,
terdapat keluhan dari mitra eksternal bahwa perguruan tinggi tidak tanggap terhadap apa yang
diminta industri. Bagi industri, keuntungan komersil hasil penelitian sangat penting, sehingga jadwal
penelitian akan menentukan kesuksesan litbang. Di sisi lain, ternyata peneliti perguruan tinggi tidak
mampu melaksanakan aktivitas litbang dengan jadwal seperti yang telah disetujui karena terhambat
birokrasi pendanaan dan proses pengadaan barang. Oleh karena itu, bahkan bila jumlah dana litbang
mencukupi, pelaksanaan aktivitas litbang memerlukan dukungan efektif dari unit administratif.
Untuk memajukan litbang di industri, pemerintah menyediakan insentif bagi industri yang berminat
melakukan investasi dalam litbang Indonesia. Meski berbagai insentif pajak dan kebijakan mengenai
investasi litbang telah diterapkan oleh pemerintah, industri masih belum mengalokasikan anggaran
lebih banyak untuk litbang dalam negeri. Beberapa perusahaan di bidang industri bahkan memakai
badan litbang asing untuk melakukan penelitian bagi mereka. Lagi-lagi, hal ini dapat dilihat sebagai
pertanda bahwa industri belum tertarik atau membutuhkan litbang, atau berasumsi bahwa litbang
lokal masih belum memiliki kapasitas yang baik.
Demikian pula halnya dalam berbagai praktik lain, pendanaan litbang umumnya sangat terbatas, dan
karena itu mekanisme pendanaan kompetitif merupakan mekanisme yang paling sering dipilih untuk
proyek litbang. Baik pendanaan pemerintah maupun internal, mekanisme dana kompetitif diterapkan
pada perguruan tinggi dan institusi litbang pemerintah.
Di perguruan tinggi, Lembaga Penelitian (LP) didirikan untuk memfasilitasi sebagian dari tiga fungsi
pendidikan tinggi (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Fungsi penelitian
di perguruan tinggi dilaksanakan pada pusat-pusat penelitian dan studi, yang umumnya di bawah
koordinasi LP. Namun ada pulapenelitian dan pengembangan yang dilakukan di tingkat fakultas dan
departemen dan tidak berafiliasi dengan pusat-pusat litbang.
Sebelumnya, peran utama perguruan tinggi adalah memberi pendidikan dan menghasilkan lulusan
yang dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja di industri. Namun, pertumbuhan ekonomi nasional
yang pesat, perkembangan, dan perubahan di industri menuntut lulusan dengan pendidikan yang
lebih relevan; dan perguruan tinggi menanggapinya dengan mengubah peran dan karakter mereka.
Meski sebagian besar perguruan tinggi tetap terfokus pada pengajaran, semakin banyak perguruan
tinggi yang bergerak ke arah institusi berorientasi penelitian. Untuk memfasilitasi pergerakan tersebut,
Ditjen Dikti terus-menerus memberi dukungan pada kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat
dari perguruan tinggi.
2008 2008
2009 2009
2010 2010
2011 2011
2012 2012
Pada tahun 2012, Ditjen Dikti memberikan 4,297 dana hibah, berjumlah Rp 286,441,722,162 untuk
para peneliti di perguruan tinggi negeri dan swasta. Sebaran dana hibah dalam lima tahun terakhir
ditunjukkan pada Gambar 4.3. Data ini menunjukkan adanya perbedaan besar antara perguruan
tinggi negeri dan swasta, mungkin dikarenakan oleh tidak memadainya kapasitas litbang di perguruan
tinggi swasta atau fokus mereka lebih pada pengajaran. Analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa
bahkan di antara perguruan tinggi negeri, kualitas penelitian terkonsentrasi di sekelompok perguruan
tinggi elit saja. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.4, tujuh perguruan tinggi unggulan terus-menerus
mendominasi dana hibah Ditjen Dikti.
Gambar 4.4: Tujuh Penerima Dana Hibah Penelitian Dirjen Dikti Terbesar [DP2M, 2012]
2008
2009
2008
2010
2011 2009
UGM IPB ITG UI ITS UNS UNAND UGM IPB ITG UI ITS UNS UNAND
(a) Nilai Kontrak (b) Jumlah Kontrak Penelitian
Kemampuan memenangkan dana hibah kompetitif oleh perguruan tinggi negeri unggulan
berhubungan dengan kualitas keluaran penelitian, yang digambarkan pada Gambar 4.4. Jumlah paten
yang disahkan dan artikel ilmiah yang dihasilkan oleh perguruan-perguruan tinggi tersebut, seperti
ditunjukkan pada Lampiran E laporan ini, menunjukkan kualitas dan kapabilitas perguruan tinggi
sebagai institusi litbang utama di Indonesia.
Dengan anggapan bahwa kerjasama perguruan tinggi – industri penting untuk mendorong relevansi
penelitian di perguruan tinggi ke arah penerapan dan komersialisasi keluaran penelitian, Ditjen Dikti
menerapkan kebijakan untuk memfasilitasi dana hibah kerjasama penelitian perguruan tinggi –industri.
Meski semua dana hibah yang didukung Ditjen Dikti berpotensi untuk kerjasama, dua program secara
khusus dirancang untuk menampung kebutuhan kerjasama ini.
Program pertama disebut RAPID, yang bertujuan membangun sinergi litbang perguruan tinggi dan
industri. Di bawah program tersebut industri menjadi pintu masuk bagi peneliti perguruan tinggi untuk
mendukung dan menyediakan teknologi yang dibutuhkan oleh industri. Penelitian di bawah program
ini dibagi menjadi 6 kategori ilmu pengetahuan yaitu energi, kesehatan, laut & perikanan, pertanian
& makanan, teknologi informasi, dan manufaktur. Program RAPID pertama diluncurkan pada tahun
2007 dan masih berjalan hingga sekarang. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3; meski perguruan tinggi
dengan latar belakang litbang yang kuat terus mendominasi program-program ini, dibandingkan
jumlah dana hibah pada lima tahun terakhir, keikutsertaan perguruan tinggi lain tidak dapat diabaikan.
Layak dikemukakan bahwa beberapa perguruan tinggi swasta mampu meraih dana hibah, yang
menunjukkan pertanda baik bahwa mereka juga mampu melakukan kerjasama dengan industri.
Program Hi-Link merupakan bentuk lain program kerjasama perguruan tinggi -industri, yang pertama
kali diluncurkan tahun 2006. Berbeda dengan RAPID, program ini mengikutsertakan pemerintah
daerah sebagai mitra kerjasama penelitian. Dengan program ini, perguruan tinggi bekerjasama dengan
UKM dalam program penelitian yang berjangka waktu panjang, dan pemerintah daerah diharapkan
untuk memfasilitasi penerapannya dan memastikan manfaatnya bagi masyarakat. Mekanisme tiga-
arah ini diakui sukses oleh Ditjen Dikti dan jumlah dana hibah yang diberikan kepada perguruan tinggi
meningkat secara signifikan.
Selain RAPID dan Hi-Link, skema hibah lain seperti strategi nasional (Stranas) dan Petranas MP3EI
juga menuntut perguruan tinggi untuk bekerjasama dengan industri milik badan pemerintah untuk
melakukan penelitian di salah satu dari dua belas bidang strategis/prioritas. Meskipun jumlah dana
hibah program-program ini semakin meningkat, keluaran dan manfaat penelitian-penelitian jangka
panjang ini belum diketahui.
Pendekatan serupa juga diterapkan bagi program pengabdian masyarakat dari perguruan tinggi.
Berawal dari skema tradisional pengabdian masyarakat, Ditjen Dikti menerapkan pengabdian
masyarakat berdasarkan iptek agar perguruan tinggi dapat berinteraksi dengan usaha kecil-menengah
dan masyarakat [DP2M, 2011]. Tidak seperti program tradisional, di bawah program ini perguruan tinggi
bekerjasama dengan masyarakat menumbuhkan wirausahawan berbasis iptek atau meningkatkan
kapasitas iptek UKM. Terlebih, Hi-Link merupakan program dengan tujuan membangun kapasitas
perguruan tinggi dalam menerapkan iptek melalui kerjasama dengan industri dan pemerintah daerah
[DP2M, 2012].
Unit litbang di perguruan tinggi negeri umumnya tidak dianggap sebagai institusi litbang
pemerintah. Namun, karena peran strategis mereka dalam litbang nasional, mereka seringkali
diminta melayani pemerintah (pusat dan daerah) dalam melakukan aktivitas litbang. Salah satu
contoh dari peran ini dimainkan oleh Pusat Penelitian Produk Budaya dan Lingkungan ITB.
Pusat penelitian ini didirikan tahun 2000 sebagai satu dari beberapa pusat lainnya di Institut
Teknologi Bandung, dan memfokuskan dirinya dalam memajukan dan mengembangkan
budaya lokal dan pribumi melalui penguatan usaha kecil dan menengah. Di tahun 2009, dengan
dihapuskannya Pusat Desain Nasional, institusi ini menjadi badan alternatif untuk melanjutkan
penghargaan Good Design Selection, yang sebelumnya dibawahi oleh Kemenperin. Namun,
kebutuhan untuk menjadi mandiri dari pemerintah memposisikan pusat ini sebagai bagian dari
ITB, di bawah koordinasi LPPM-ITB.
Saat ini pusat tersebut bekerja dekat dengan perusahaan kecil dan menengah dalam
pengembangan desain dan teknik produksi produk budaya menggunakan materi yang tersedia
secara lokal, terutama bambu dan kain alami. Dengan dukungan fakultas teknik di ITB, pusat ini
dapat memperkenalkan teknologi dalam penciptaan produk budaya lokal.
Selain institusi di atas, pemerintah juga memiliki fasilitas litbang yang berperan baik bagi pemerintah
maupun sektor swasta. Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK), misalnya,
merupakan infrastruktur penelitian terintegrasi dengan berbagai aktivitas litbang canggih. Fasilitas ini
juga berfungsi sebagai pusat pelatihan iptek dan transfer teknologi. Institusi ini didirikan tahun 1976
dan saat ini berada dalam koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi. Di kemudian hari, PUSPIPTEK
direncanakan akan menjadi model taman iptek nasional. Kemenristek juga mengkoordinasi dan
mengelola institusi litbang lain seperti Eijkman Institute for Molecular Biology, Agro Techno Park di
Palembang, dan Business Technology Center.
Tiap Direktorat Jenderal didukung oleh beberapa pusat dukungan teknis (Balai atau Balai
Besar), yang berfungsi utama sebagai dukungan teknik untuk operasi sehari-hari unit teknis di
tingkat pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Meski di masa lalu satu-satunya fungsi
mereka adalah memberi solusi teknis bagi Kementerian, dengan pertambahan beban kerja
dan keterbatasan dana dan kapabilitas lainnya, beberapa Balai dan Balai Besar secara perlahan
menggeser fokus mereka ke bidang yang tidak lagi merupakan tanggung jawab Kementerian PU.
Pusat Pemukiman merupakan pusat litbang di bawah Direktorat Jenderal Cipta Karya. Sekitar
10 tahun yang lalu, pusat ini memulai penelitian terapan dalam pembangunan dan fasilitas
pemukiman lainnya, seperti sistem kebersihan, perumahan sederhana, dan lain-lain. Tidak seperti
dua Direktorat Jenderal lain, PUSKIM tidak lagi merupakan satu-satunya badan yang bertanggung
jawab atas pengadaan infrastruktur pemukiman yang terjangkau dan terpercaya, karena
semakin banyak sektor swasta yang berinvestasi pada bangunan dan fasilitas pemukiman lain.
Keadaan ini memungkinkan PUSKIM berkompetisi dengan sektor swasta untuk menghasilkan
solusi inovatif bagi kebutuhan bangunan dan pemukiman. Dengan bantuan teknis dari JICA,
PUSKIM sering bekerjasama dengan perusahaan swasta untuk mengembangkan teknologi
inovatif. Inisiatif ini seiring waktu meningkatkan kapabilitas, profesionalisme, dan kemampuan
PUSKIM menghasilkan pendapatan lebih. Namun hal ini tidak terjadi begitu saja.
Kepemimpinan PUSKIM membawa institusi ini maju menjadi model pusat litbang dan Balai lain
di dalam Kementerian PU. Kepemimpinan kuat yang percaya pada nilai-nilai peneliti profesional
mengubah mentalitas PNS menjadi mentalitas peneliti profesional. Saat ini pusat tersebut
membawahi 250 orang termasuk 80 peneliti penuh waktu di kantor utama, dan 340 orang dengan
95 peneliti penuh waktu di cabang-cabang daerahnya. Dengan bantuan AusAID dan dana hibah
lain, PUSKIM secara berkala memberi beasiswa bagi penelitinya untuk meraih gelar master dan
doktor.
Sebagai hasilnya, institusi ini mampu meyakinkan manajemen dan menggandakan anggaran
tahunannya dari sekitar Rp 50 miliar menjadi Rp 100 miliar di tahun 2012. Dengan disahkannya
Peraturan Pemerintah no 38 – 201, PUSKIM diharapkan dapat menarik kontrak eksternal, dan dengan
begitu akan mampu memaksimalkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Selain itu, pusat ini
juga dapat menghasilkan, di antaranya, dua prototipe bangunan/perumahan (RISA dan RIKA), yang
secara khusus dikembangkan untuk perusahaan konstruksi kecil dan menengah. Fokusnya pada
UKM merupakan salah satu prinsip yang mendorong PUSKIM menjadi institusi litbang pemerintah
yang profesional.
Tentu apa yang sukses pada PUSKIM belum tentu bisa diterapkan di Balai atau pusat litbang lain.
Sifat infrastruktur umum adalah bahwa sebagian besar tidak dimaksudkan untuk komersialisasi dan
masih membutuhkan dukungan dan kontrol penuh dari pemerintah. Oleh karena itu, gerakan yang
menyerupai PUSKIM harus dijalankan dengan hati-hati ketika diterapkan di tempat lain.
Untuk meningkatkan kapasitas institusi litbang Indonesia, pemerintah melalui Kemenristek mendukung
pendirian taman iptek atau Techno Park, agar interaksi produktif antara peneliti industri dan masyarakat
terfasilitasi. Selain itu, Kemenristek juga menjalankan program untuk pengembangan pusat iptek. Di
tahun 2012, dana hibah diberikan pada empat institusi: 1) Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Kementerian
Pertanian; 2) Pusat Studi Pengembangan Lahan Suboptimal, Universitas Sriwijaya; 3) Lembaga Penyakit
Tropis, Universitas Airlangga; dan 4) Pusat Studi Buah Tropika, IPB. Di tahun 2013 hibah ini akan diberikan
kepada 3 pusat penelitian dan 4 persatuan pusat penelitian.
Seperti yang terlihat pada tabel 4.4, bagian terbesar dari pendanaan litbang saat ini masih menjadi
beban anggaran pemerintah. Menurut survei LIPI tahun 2009, jumlah keseluruhan pendanaan litbang
di Indonesia hanya sekitar 0,084% dari PDB, sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain di
Asia. Sementara di negara lain mengalami kecenderungan kenaikan dana litbang industri yang cukup
berarti, di Indonesia alokasinya masih berkisar sekitar 18,64% atau 880/4720 saja.
Perkebunan kelapa sawit mungkin adalah contoh terbaik untuk menggambarkan situasi ini. Jauh
lebih mudah bagi investor untuk membuka perkebunan baru dan berharap dapat memanen dan
mengekspor hasilnya dengan marjin keuntungan yang memadai. Selama lahan tersedia, membuka
perkebunan baru merupakan usaha yang menjanjikan, karena biayanya dapat dengan cepat tertutup
oleh penjualan bahan mentah dengan harga yang menarik. Sementara itu, usaha pemerintah
mendorong investor untuk mengolah terlebih dahulu kelapa sawit menjadi minyak olahan mungkin
tidak semenarik itu, karena biaya tambahan dan keuntungannya tidak sepadan. Selama menjual bahan
mentah masih memberikan keuntungan yang lebih besar daripada biaya dan usaha yang diperlukan,
penelitian bidang pengolahan kelapa sawit akan sulit berkembang.
Meski demikian, beberapa individu percaya bahwa penelitian tingkat apapun akan bermanfaat bagi
industri. Permasalahan sederhana meningkatkan produktivitas panen mungkin membutuhkan
sentuhan litbang teknik. Seorang eksekutif di salah satu perkebunan kelapa sawit (CT Agro) yang
diwawancarai untuk studi ini, menggunakan pengetahuannya di bidang teknik untuk mencari solusi
dan kesempatan menerapkan litbang teknik untuk permasalahannya, dan terus-menerus menjaga
hubungan dengan perguruan tinggi tempat ia dahulu belajar, untuk mencari cara melakukan litbang
dalam pekerjaannya.
Perusahaan besar seperti PT PINDAD mungkin memiliki pendekatan berbeda pada litbang. PT PINDAD
memiliki kapasitas litbang tersendiri walau terbatas, dan mampu menghadapi masalah produksi yang
sederhana. Namun ketika tantangannya semakin rumit, mereka mencari bantuan dari luar; dan salah
satu pilihannya adalah kepada perguruan tinggi. Tapi, litbang perguruan tinggi tidak selalu sesuai
dengan sifat industri, yang sangat cepat dan akurat. Perguruan tinggi tidak dilengkapi peralatan
dan perlengkapan yang persis seperti dibutuhkan oleh industri, kecuali di institusi yang sangat
terspesialisasi seperti Polman. Ketidaksesuaian ini sering menghasilkan ketidakpuasan pihak industri
yang ingin mencari solusi praktis, dan sebagai alternatif industri akan membeli produknya saja daripada
mengembangkan produk melalui proses litbang yang panjang.
PT PINDAD bukan kasus khusus; karena banyak industri serupa menghadapi masalah yang sama.
Perusahaan BUMN lain, seperti PT INKA dan PT PAL, memiliki kapasitas litbang terbatas dan seiring
meningkatnya permintaan, kebutuhan akan litbang semakin nampak. Sayangnya, perguruan tinggi,
sebagai sumber utama outsource litbang, juga belum siap. Bukan saja mereka tidak dilengkapi dengan
fasilitas yang memadai, tetapi juga jalur birokrasi perguruan tinggi yang panjang mengakibatkan
proses litbang terhambat atau terganggu.
Fasilitas litbang di perguruan tinggi seringkali, mungkin juga setiap saat, tidak siap untuk menjadi
bagian dari industri, bahkan dalam skala terkecil. Selalu ada jarak antara keluaran litbang perguruan
tinggi dan kebutuhan industri, dan jarak ini harus diperkecil.
Sayangnya, pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa, karena baik akademisi perguruan tinggi maupun
pelaku industri mencurigai niat dan kemampuan efektif pemerintah. Pemahaman mengenai peran
dan karakter tiap sektor sangat kurang, padahal masing-masing dapat memperoleh manfaat dari
kelebihan sektor lainnya. Misalnya, perguruan tinggi umumnya ‘tidak cukup terspesialisasi’ untuk
dapat menyelesaikan masalah atau bekerja dengan keterbatasan waktu. Sumber daya intelektual dan
kreativitas mereka jauh lebih sesuai untuk menyelesaikan ‘masalah tidak terstruktur’ dalam bekerjasama
dengan pengusaha industri. Mereka tidak cocok memerankan ‘kontraktor’ untuk pekerjaaan sederhana,
mereka lebih baik menjadi mitra untuk pekerjaan rumit. Namun selama industri belum memahaminya,
perguruan tinggi tidak akan memperoleh kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya. Di sisi lain,
selama dosen belum memahami rumitnya kebutuhan industri dan menghargai apa yang mereka
lakukan, sulit untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi industri.
Tidak adanya komitmen jangka panjang dari industri, baik untuk tetap berada di Indonesia ataupun
berinvestasi di litbang untuk tetap kompetitif baik di pasar lokal maupun global menjadi masalah. Bila
sebuah industri berkomitmen jangka panjang, sehingga memerlukan inovasi dan pengembangan
teknologi, dan bila perguruan tinggi memperlihatkan kapasitas keahlian mereka di bidang relevan,
maka akan jauh lebih banyak peminat dari industri untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi baik
sebagai mitra potensial, menyediakan SDM yang kompeten, pihak yang dapat menyelesaikan masalah
teknis industri, ataupun memberi fasilitas laboratorium yang canggih. Amat penting bagi industri mulai
berinvestasi dalam anggaran berorientasi-produksi dengan menyertakan kegiatan litbang – bukan dari
dana CSR – untuk bekerja dengan perguruan tinggi, dengan komitmen profesional dan minat pada
keluarannya, sehingga mereka menjadi mitra kerja sejati.
Tim studi menengarai bahwa belum ada pintu masuk, atau forum untuk ‘pertemuan terstruktur’, di
mana para akademisi perguruan tinggi dan pelaku industri dapat membangun saling pengertian yang
PT Semen Padang merupakan satu-satunya industri besar di Sumatera Barat, terletak di dekat
Universitas Andalas (UNAND). Kerjasama erat antara perusahaan itu dan Laboratorium Dinamika
Struktur, Departemen Teknik Mesin, dimulai oleh seorang profesor, yang ketika itu baru saja kembali
dari tugas belajar di Jerman.
Di tahun 1990an selama hampir setahun ia secara berkala mengunjungi pabrik tanpa kompensasi
apa pun baik dari perusahaan maupun Departemennya. Dengan dukungan kuat dari Direktur
perusahaan saat itu, Ir. Johan Samudera, ia berhasil mendapat kepercayaan, tidak hanya dari
eksekutif tertinggi namun juga manajer menengah di pabrik, yang merupakan personalia kunci
dalam mengidentifikasi masalah. Saat kepercayaan sudah didapat, identifikasi masalah segera
berlangsung. Sejak itu ia sudah dianggap orang dalam, seseorang yang akan dihubungi oleh
manajer tingkat atas maupun menengah ketika ada masalah, dan sebagian besar solusi yang
diusulkannya diterima dengan baik. Beberapa di antaranya bahkan direplikasi untuk pabrik serupa
milik PT Semen Tonasa di Sulawesi Selatan dan PT Semen Gresik di Jawa Timur. Di tahun 2011 nilai
kontrak kerjasama antara Laboratorium dan PT Semen Padang mencapai Rp 300 juta.
lebih baik mengenai fungsi dan cara kerja satu sama lain. Banyak perguruan tinggi di seluruh dunia
merekrut akademisi dengan pengalaman industri, atau mengizinkan staf mereka bekerja di industri,
dan secara berkala menghasilkan lulusan pascasarjana yang akhirnya bekerja untuk industri, yang
akhirnya menjadi penghubung penting dengan industri.
Indonesia mungkin perlu memikirkan alternatifnya sendiri dalam membuat pertukaran semacam itu,
seperti mendorong industri untuk mengirimkan staf litbangnya untuk bekerja sebagai mitra peneliti
di perguruan tinggi, mengembangkan program litbang industri untuk staf perguruan tinggi, dan
memberi lebih banyak insentif bagi penelitian kerjasama. Alumni yang dipekerjakan di industri dapat
memainkan peran penting dalam memelihara pengertian dan kepercayaan dua arah antara kedua
pihak. Inisiatif dari salah satu CEO perkebunan terbesar dalam mengembangkan berbagai aktivitas
penelitian dan pengembangan melalui kerjasama dengan ITB adalah contoh yang baik akan praktik
tersebut. Penelitian merupakan usaha jangka panjang sehingga kedua belah pihak harus siap untuk
komitmen jangka panjang.
Jelas bahwa akademisi dan pelaku industri menekuni profesi yang berbeda, dengan tujuan, target,
dan nilai-nilai yang berbeda pula. Tidak mengherankan bahwa mereka mengalami ‘benturan
budaya’ dan kesulitan memahami atau bekerja dengan satu sama lain.
Terdapat beberapa cara agar individu bisa menghadapi perbedaan ini. Suatu tempat yang dapat
membuat seorang individu mengalami pembelajaran adalah ketika duduk bersama dalam ‘dewan’
atau ‘komite’ dan menyelesaikan suatu masalah. Dapat berupa ‘dewan untuk proses seleksi’ atau
‘komite pemantau teknologi’, terdapat sejumlah contoh dimana para ahli diundang ikut serta
dalam menghadapi suatu permasalahan. Hal semacam ini juga memberi kesempatan baik untuk
akademisi atau pelaku industri untuk mengenal satu sama lain, mendengar sudut pandang mereka,
dan seringkali mereka menjadi saling menghargai.
Beberapa kasus dapat disajikan sebagai contoh untuk ‘pertemuan terstruktur’ antara akademisi dan
pelaku industri. Unit Hubungan Industri di MIT menyediakan jasa untuk mengatur pertemuan bagi
pelaku industri untuk mengunjungi kampus MIT dan bertemu para akademisi dengan keahlian
yang relevan. Ini dilakukan secara berkala dalam pertemuan kecil maupun besar, dimana mereka
secara efektif ‘melatih’ dosen junior agar mampu menyampaikan apa yang mereka lakukan untuk
masyarakat non-akademisi. Mereka mengembangkan kemampuan untuk melakukan apa yang
mereka sebut, ‘pertunjukan anjing dan kuda poni’ – menjadi bagian dari suatu kelompok akademisi
yang menyajikan hasil penelitian mereka kepada pelaku industri.
Meski demikian, studi ini telah mengidentifikasi beberapa kemitraan mendalam yang berhasil
dikembangkan oleh akademisi individu, melalui bertahun-tahun usaha keras untuk mendapatkan
kepercayaan industri (lihat box 19: PT Semen Padang dan Cacao Sustainability Partnership). Mereka
menunjukkan betapa besar usaha yang diperlukan dari pihak perguruan tinggi, lebih baik lagi bila
didukung institusi, untuk menghubungkan mereka dengan industri.
Pertanyaan utamanya adalah, penelitian dan/atau kapasitas seperti apa yang harus dibangun oleh
perguruan tinggi, bagaimana membuat mereka relevan terhadap masa depan industri Indonesia,
dan apakah perguruan tinggi dapat meraih manfaat dari pemangku kepentingan di industri dan
pemerintahan. Memang, pengalaman internasional menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang
proaktif lebih banyak berhasil bermitra dengan industri daripada perguruan tinggi di Indonesia.
MIT berkeyakinan bahwa kontribusinya pada masyarakat terutama dilakukan melalui mahasiswa
mereka yang terdidik. Secara luas diyakini bahwa dosen harus ikut serta secara intelektual dalam
isu nyata di dunia bila mereka ingin mendidik mahasiswa dengan ilmu relevan untuk menghadapi
dunia yang berubah. Sebagai institusi, mereka melakukan berbagai upaya untuk berinteraksi
dengan industri.
Program hubungan industri, program ‘keanggotaan awal’ untuk perusahaan yang relatif baru
mengenal MIT. Mereka mendapatkan akses ke dosen dan informasi penelitian sebagai imbalan
untuk iuran keanggotaan. Program ini dikelola oleh staf profesional khusus yang bertugas
menghubungkan perusahaan individual dengan akademisi khusus berdasar minat mereka,
melalui kunjungan terjadwal oleh perwakilan perusahaan untuk bertemu dengan akademisi MIT.
Program ini memberi insentif bagi akademisi untuk ikut serta dalam diskusi dengan industri, dan
berkontribusi dalam membangun hubungan dengan sejumlah pelaku industri khususnya untuk
akademisi junior.
Aktivitas konsultansi
MIT seperti halnya banyak perguruan tinggi lain di AS, memiliki peraturan bahwa akademisi diizinkan
satu hari dalam seminggu melakukan kegiatan konsultan di luar MIT, selama tidak mengganggu
tugas dari institusi. Yang menarik adalah bahwa sebagian besar akademisi MIT percaya bahwa ikut
serta meenyelesaikan masalah industri akan memberi masukan berharga terhadap cara mereka
mengajar, membuat merekamutakhir akan perkembangan terkini, dan meningkatkan pemahaman
mereka.
Proyek Ini merupakan strategi MIT untuk bekerja dengan 1000 perusahaan di saat yang sama.
Konsorsium merupakan keanggotaan yang menyatukan sekelompok perusahaan yang tertarik
untuk memperoleh akses ke hasil penelitian dari kelompok penelitian tertentu. Disebut juga
‘program afiliasi industri’ di Stanford University, sistem bekerja dengan banyak perusahaaan ini
seringkali mengharuskan adanya penasihat atau dewan yang mewakili kepentingan industri. Sistem
ini sangat membantu dalam membangun akses ke berbagai sudut pandang industri, sementara
menjaga agar satu perusahaan tidak terlalu dominan. Sistem ini juga memberi para perusahaan
kesempatan untuk membangun jejaring. Meski demikian, hal ini tidak mudah dirancang, karena
sangat rumit ketika mulai dijalankan. Ini juga merupakan alasan mengapa sistem ini membantu
institusi mengembangkan pemahaman manajemen.
Kerjasama strategis
Di akhir 1990an, MIT mulai mengembangkan kerjasama skala besar dan jangka-panjang dengan
kelompok perusahaan tertentu. Saat ini memiliki mitra strategis merupakan praktik umum dalam
program penelitian interdisiplin. Setiap penelitian memiliki sejumlah kecil ‘mitra strategis’, yang
lebih aktif ikut serta dalam program penelitian . Mengembangkan dan menjaga kerjasama strategis
bukan hal mudah. Unit hubungan industri di MIT memiliki staff profesional yang bekerja tanpa
lelah mengidentifikasi dan menarik minat perusahaan besar yang berpotensi, bukan hanya dalam
penelitian dan pendidikan saja, namun juga untuk menarik donasi dan sumbangan.
Komisi Tamu
Komisi Penasihat yang terdiri dari wakil industri banyak ditemukan secara global di berbagai
universitas. Namun seperti diakui beberapa Rektor MIT terdahulu, sistem ini amat efektif untuk
menetapkan strategi MIT. Di MIT, Komisi Tamu mengkaji isu strategis yang terkait dengan isi dan
arah penelitian dan pendidikan dari suatu departemen, dan melaporkannya kepada Majelis Wali
Amanat (MWA) MIT. Setiap komisi biasanya terdiri dari 15-20 individu, dipilih dengan cermat oleh
Rektor, Dekan, Ketua Program Studi, dan Ketua Departemen berdasarkan keahlian dan prestasi setiap
individu, dengan perbandingan kasar 1/3 dari industri, 1/3 dari alumni, dan sisanya mewakili akademia
terkemuka dalam bidang tersebut. Mereka mengunjungi departemen setiap tahun untuk mengkaji
program pendidikan dan aktivitas departemen, termasuk rencana pengembangan, selama 1-2 hari.
Pada kunjungan tersebut mereka menemui staff akademik, mahasiswa sarjana dan pascasarjana di
ruang tertutup, sehingga mereka dapat melihat apa yang terjadi di departemen tersebut. Hasilnya
dilaporkan secara informal kepada Rektor dan Dekan di akhir kunjungan, dan laporan formalnya
dikirimkan kepada MWA, dimana pemimpin komite pengunjung menyajikan hasil studi secara lisan.
Menurut salah satu mantan Rektor MIT, “Ini jauh lebih berharga daripada akreditasi.”
Banyak perguruan tinggi proaktif di seluruh dunia termasuk MIT, memiliki unit khusus untuk menjamin
kontak strategis dengan industri utama, dan pimpinan perguruan tingginya secara berkala ikut serta
dalam dialog dengan industri melalui berbagai keanggotaan dalam berbagai dewan baik di dalam
perusahaan maupun perguruan tinggi, penelitian dan proyek-proyek kerjasama lainnya, hubungan
alumni, dan kerja konsultan (lihat box 21: hubungan MIT dengan industri).
Kunjungan tim studi ke luar negeri juga mengkonfirmasi fakta bahwa memiliki unit khusus seperti
itu merupakan kunci untuk membangun kemitraan universitas – industri yang produktif. OUIC milik
KAIST dan UICC milik Tsinghua terbukti efektif dalam memfasilitasi keikutsertaan sektor industri dengan
litbang perguruan tinggi.
Perguruan tinggi juga perlu mendefinisikan misi mereka dalam konteks MP3EI, yaitu penelitian,
pendidikan profesional, atau pengembangan SDM melalui pendidikan akademik. Hal ini mungkin
merupakan tugas terberat bagi perguruan tinggi, karena sebagian besar perguruan tinggi secara tidak
realistis ingin berorientasi penelitian walaupun tanpa kapasitas yang mencukupi. Namun, bila mereka
mampu mendefinisikan misi yang tepat, penempatan sumber daya dapat difokuskan untuk meraih
tujuan misi. Bagi perguruan tinggi dengan kapasitas yang mencukupi untuk melakukan penelitian,
aktivitas perlu diarahkan kepada hasil yang lebih dapat diterapkan. Kelaikan hasil penelitian untuk
diterapkan dan kemurnian penelitian dasar semestinya tidak saling meniadakan, karena banyak hasil
penelitian yang dapat diterapkan sebenarnya amat mendasar.
Kerangka institusional pendidikan tinggi saat ini merupakan masalah besar bagi perguruan tinggi
untuk dapat ikut serta dalam kerjasama serius dengan pemerintah maupun industri. Menurut peraturan
perundangan yang ada, hanya pemerintah Indonesia yang memiliki status badan hukum. Perguruan
tinggi negeri hanya dianggap suatu unit pelaksana teknis (satuan kerja), dan otoritasnya diperoleh
dari delegasi kewenangan Kemendikbud, bukan dimiliki sendiri dan dilindungi hukum. Dengan status
seperti demikian, kerjasama dengan organisasi lain sulit disahkan hukum, dan melibatkan prosedur
birokrasi yang rumit. Kerumitan ini paling serius adalah dalam isu hak intelektual dan penggunaan dana.
Tanpa status hukum, perguruan tinggi tidak dapat berperan sebagai pemilik hak intelektual. Jadi,
selama diskusi mengenai kemitraan dengan industri memerlukan keputusan mengenai kepemilikan
hak intelektual, sulit bagi perguruan tinggi Indonesia memenuhi harapan. Terdapat berbagai
‘solusi alternatif’ seperti mendirikan yayasan atau perusahaan tersendiri yang ‘berafiliasi’ dengan
perguruan tinggi, namun solusi seperti ini hanya sementara, karena tidak ada mekanisme sistematis
untuk menjamin hubungan ‘akuntabilitas’ antara perguruan tinggidengan pemerintah, yayasan, dan
perusahaan yang terlibat.
Penyaluran dana pemerintah juga sama rumitnya. Semua pendapatan dari kerjasama industri wajib
diserahkan kepada negara, dan hanya dapat digunakan setelah menyerahkan proposal aktivitas
tertentu untuk kemudian disahkan dan menggunakan tarif yang distandardisasi. Proses ini amat rumit
dan panjang. Isu yang sama mengenai kewajiban birokrasi ini muncul juga pada semua pendanaan
hibah pemerintah yang semestinya digunakan untuk memajukan kerjasama perguruan tinggi – industri.
Selain itu, penyaluran dana pemerintah juga menimbulkan permasalahan birokrasi lainnya. Contohnya,
sebagian besar penyaluran dana mengalami keterlambatan (dalam beberapa kasus bahkan mencapai 6
bulan). Penyaluran dana terikat anggaran tahunan, sehingga tidak ada dana yang boleh diluncurkan ke
tahun anggaran berikutnya. Hal ini menimbulkan berbagai hambatan bagi proyek jangka panjang yang
seringkali ditemui pada proyek litbang. Prosedur pengadaan barang dari pemerintah seringkali tidak
sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi, terutama dalam pengadaan instrumen khusus.
Untuk menghindari birokasi, banyak akademisi memilih bekerjasama dengan industri secara individu
tanpa mengikutsertakan perguruan tinggi. Cara semacam ini tidak optimal baik bagi individu maupun
bagi perguruan tinggi. Kontrak individu seperti ini berisiko bagi akademisi karena mereka terikat kontrak
tanpa perlindungan hukum, tanpa mengetahui semua kekurangan kontrak ini, dan tanpa mekanisme
institusi untuk menyelesaikan perselisihan. Bagi perguruan tinggi, ini merupakan kerugian besar karena
mereka tidak dapat berkontribusi maupun mendapat manfaat dari ikatan tersebut, dan staf mungkin
melalaikan kewajiban di kampus mereka. Masalah terbesar adalah fakta bahwa kerjasama ini tidak akan
menjadi aset institusional, artinya tidak dapat berkembang lebih dari apa yang dapat diberikan oleh si
akademisi, dan dapat hilang segera setelah akademisi tersebut meninggalkan perguruan tinggi. Hal ini
merugikan semua pihak.
Isu yang lebih mendasar adalah peran dan budaya perguruan tinggi. Secara global, perguruan tinggi
dianggap sebagai pihak penting dalam inovasi atau kemitraan UIP, karena mereka adalah pelaku
Salah satu jalur adalah mendirikan institusi baru – khususnya sebagai suatu kelompok. Contoh
yang paling terkenal adalah perguruan tinggi Land Grant di AS, yang didirikan di akhir abad ke-
19 untuk memenuhi fungsi penting dalam ekonomi seperti pengembangan pertanian dan
industri. ‘Etika pembangunan’ berpengaruh kuat pada perkembangan selanjutnya. MIT adalah
suatu contoh institusi yang berkembang dari perguruan tinggi teknologi yang didominasi oleh
pengajaran menjadi perguruan tinggi penelitian kelas dunia, namun etika pembangunan mereka
selalu menjadi prinsip dasar. Contoh yang lebih terkini adalah Irlandia, yang mendirikan sejumlah
perguruan tinggi berorientasi praktis di tahun 1970an, yang secara bersama-sama mendorong
perguruan tinggi penelitian ‘menara gading’ lainnya untuk lebih memperhatikan relevansi.
Jalur lain adalah ketika terjadi krisis nasional. Banyak perguruan tinggi di AS menjadi lebih serius
dalam berkontribusi pada ekonomi di tahun 1980an, ketika AS melalui masa krisis daya saing.
Di Jepang, setelah satu dekade stagnansi ekonomi, politisi, pengusaha industri, dan media
mendorong perguruan tinggi untuk lebih aktif berperan dalam perombakan ekonomi. Kebutuhan
sosial tersebut sangat memaksa dan banyak akademisi secara moral terdorong ikut membantu,
sehingga saat ini berubah pesat.
Tidak adanya dana juga dapat mendorong perguruan tinggi membangun ikatan dengan industri
untuk mencari dana alternatif. Katholik University of Leuven (KUL) di akhir 1960an mengalami titik
balik ketika mereka memiliki amat sedikit dana; mereka berubah ke arah wirausaha dan bekerja
dengan industri. MIT di awal pertumbuhannya tidak memiliki cukup dana untuk membayar gaji
penuh semua profesor, dan mereka terdorong melakukan kerja konsultansi. Di tahun 1980an dan
1990an pandangan bahwa dana federal di AS berkurang mendorong banyak perguruan tinggi
AS untuk beralih ke industri. Namun uang sebagai pendorong seringkali hanya menghasilkan
perubahan luar. Misalnya, di banyak negara, akademisi secara ekstensif bekerja ganda dan
memiliki ikatan dengan industri, namun institusi mereka tidak juga melakukan penelitian dan
kurikulum yang relevan. Perbedaan antara mereka dan perguruan tinggi ‘relevan’ adalah pada taraf
komitmen organisasi; KUL dan MIT tidak hanya meresmikan ikatan dengan industri, namun aktif
menggunakannya sebagai mekanisme untuk tetap berhubungan dengan dunia luar.
Mengubah sikap akademisi biasanya memerlukan lebih dari sekedar mengubah aturan dan
kebijakan saja; dibutuhkan panutan yang dapat memberi dukungan dan arahan secara aktif.
Chalmer University of Technology di Swedia merupakan salah satu contoh awal bagaimana merekrut
akademisi yang aktif dengan industri menjadi panutan dan dukungan bagi akademisi muda.
Sejumlah perguruan tinggi langsung mengikuti; beberapa melalui kategori ‘akademisi’ lain seperti
pertemuan tambahan, profesor praktisi, atau wirausahawan.
Selain itu masih ada kesalah pahaman lain. Beberapa mengasumsikan bahwa otonomi terbatas pada
pengelolaan keuangan. Bahkan termasuk beberapa pejabat di Kemendikbud dan Kemenkeu, juga
berasumsi bahwa konsep BLU dapat menyelesaikan isu otonomi perguruan tinggi. Mereka tidak
mengerti bahwa otonomi dalam pengelolaan keuangan semestinya hanya diberikan bila tata kelola
dan tata pamong sudah memenuhi syarat, dan sistem tersebut hanya dapat diterapkan ketika kerangka
hukum bagi otonomi institusional sudah tersedia.
Hal ini berbeda dengan sistem di bawah birokrasi pemerintah, dimana akuntabilitas staf terbatas pada
atasan langsung saja. Pemangku kepentingan (stakeholders) adalah konsep asing bagi mereka, sehingga
saat konsep paradigma baru diperkenalkan banyak yang keliru dengan konsep “pemegang saham”
(shareholders). Status PNS tidak mendorong dosen untuk akuntabel terhadap pemangku kepentingan,
yaitu mahasiswa, orang tua, atasan, pemberi kerja, dan masyarakat secara luas. Momentum persiapan
otonomi telah diperkuat ketika Peraturan Pemerintah PP 61/1999 disahkan. Titik puncak dari momentum
ini tercapai dengan disahkannya Undang-Undang No. 9/2009 oleh DPR, membuka kesempatan bagi
semua universitas negeri dan swasta untuk menjadi badan hukum.
Dibatalkannya Undang-Undang No. 9/2009 oleh Mahkamah Konstitusi meniadakan usaha otonomi
institusional dan menghapus momentum yang telah dicapai. Ketika pendidikan tinggi mengalami
kevakuman hukum hingga disahkannya Undang-Undang No. 12/2012 oleh DPR pada bulan Juli 2012,
seluruh sektor mengalami kebingungan. Bahkan setelah Undang-Undang No. 12/2012 disahkan, masih
banyak ketidakpastian karena perlu banyak Peraturan Pemerintah baru untuk menerapkannya.
Ketidakpastian kerangka hukum dan tidak adanya kepercayaan atas komitmen pemerintah dalam
memberi otonomi institusional telah menguras minat perguruan tinggi untuk melakukan inovasi baru.
Banyak pimpinan perguruan tinggi memilih berada di pinggir daripada mengusung gerakan baru,
khususnya dengan segala peraturan dan risiko yang ada. Bagi beberapa pihak situasi ini sangat buruk
dan membuat bingung mereka yang secara aktif berusaha membangun kerjasama dengan industri.
Mereka tidak lagi mau memanfaatkan birokrasi perguruan tinggi, dan menanganinya sendiri. Tim
studi menemukan salah satu contoh lewat usaha individu yang dimiliki wawancarawan dari ITB, yang
memegang paten teknologi membrane dan berhasil mengembangkan kerjasama dengan industri
internasional [Tempo, 2012].
Saat ini inisiatif individu semacam itu cenderung dihambat, baik secara formal oleh peraturan
dari perguruan tinggi dalam usahanya mendisiplinkan staf, maupun secara sosial oleh komunitas
akademik yang menganggap gerakan seperti itu mengkhianati etika dosen yang tidak “mata duitan”.
Di dunia dosen, publikasi digunakan sebagai target kinerja, dan kerjasama industri masih dianggap
menghasilkan pendapatan sehingga tidak layak dihargai. Mungkin penting bagi perguruan tinggi
untuk memberi dukungan organisasi untuk mendorong inisiatif, termasuk inisiatif individu, untuk
mengembangkan hubungan dengan industri. Pengakuan dan penghargaan juga diperlukan untuk
mendorong individu unggul yang berhasil mengembangkan kerjasama dengan industri. Agar berhasil
untuk mengembangkan kemitraan dengan industri, penting untuk menumbuhkan unggulan-unggulan
ini di lingkungan perguruan tinggi.
Masalah lainnya adalah ketidakmampuan PTN dalam melakukan penggalangan dana; suatu praktik
umum bagi perguruan tinggi AS, dan semakin diikuti sejumlah perguruan tinggi di negara lainnya.
Bila donasi tidak masuk melalui badan hukum terpisah, misalnya yayasan atau koperasi, semua dana
yang diperoleh wajib diserahkan kepada kas negara, sehingga tidak mungkin perguruan tinggi dapat
menerima sumbangan. Mengatasi peraturan melalui badan hukum terpisah, seperti yayasan, bukanlah
norma tata kelola yang baik.
Kesuksesan Tsinghua University dan KAIST dalam mengembangkan dan menjaga kemitraan universitas
– industri banyak bergantung pada kemampuan mereka dalam menerapkan kebijakan manajemen
finansial di tingkat jurusan dan di universitas. Selain model OUIC milik KAIST dan UICC milik Tsinghua,
TusPark milik Tsinghua juga merupakan contoh baik tentang bagaimana perguruan tinggi dapat
mengembangkan alternatif mekanisme pendanaan (lihat Annex VI mengenai TusPark).
Peneliti dan profesor di KAIST dan Tsinghua sangat aktif dan berhasil dalam kerjasama penelitian bersama
industri. Kunci suksesnya adalah kemampuan perguruan tinggi membuat kebijakan dan mekanisme
yang memungkinkan peneliti/profesor melaksanakan penelitian di lingkungan perguruan tinggi dan
menggunakan fasilitas mereka tanpa beban administratif dan birokrasi yang terlalu berat. Unit-unit
baik di tingkat jurusan maupun universitas (UIOC di KAIST dan UICC di Tsinghua) sukses menciptakan
lingkungan kemitraan universitas – industri yang kondusif, mengikutsertakan staff (profesor – peneliti),
mahasiswa, alumni, dan sektor swasta/industri (lihat Annex VI mengenai model universitas – industri).
Saat ini di Indonesia, hubungan antara ‘institusi’ dan ‘individu’ dalam perguruan tinggi belum begitu
baik. Dosen sebagai individu memiliki lebih banyak kebebasan daripada sesama mereka di sistem
pendidikan tinggi yang lebih mapan. Mereka bebas menerima proyek luar, melakukan konsultansi,
mengajar di perguruan tinggi swasta, hampir tanpa batasan waktu. Meski sudah banyak perbaikan
dalam beberapa tahun terakhir, dosen yang mangkir mengajar masih merupakan masalah, namun
sering dibiarkan karena gaji yang rendah, khususnya di bidang yang relatif komersil, misalnya akuntansi
dan manajemen. Situasi semacam ini tidak aneh di negara berkembang yang perguruan tingginya tidak
memiliki kapasitas organisasional dalam ‘mengatur’ kondisi sekitar pekerjaan staf –sebagian karena
tiadanya otonomi administratif dan manajerial, sebagian lagi karena tidak adanya kapasitas institusional
untuk mengembangkan dan mewajibkan aturan/norma organisasi. Situasi ini sudah membaik di banyak
perguruan tinggi, namun seringkali masih ditemui di sebagian perguruan tinggi lainnya.
Seiring dengan semakin dewasanya ekonomi Indonesia, tidak memadainya manajemen sumber daya
manusia di perguruan tinggi menjadi semakin bermasalah, khususnya bila dosen diharapkan dapat
memainkan peran yang amat penting bagi percepatan perkembangan ekonomi. Penekanan otonomi
perguruan tinggi, yang diikuti kenaikan gaji staf secara signifikan, telah menciptakan lingkungan
institusional baru di mana perguruan tinggi sebagai organisasi diharapkan mampu mensosialisasikan
tanggung jawab individu dalam posisi mereka di dalam organisasi – lebih tepatnya, memastikan berapa
banyak dan apa pekerjaan yang mereka harapkan dari staf.
‘Norma’ yang harus dicapai oleh perguruan tinggi seiring waktu mungkin akan mirip dengan sesama
dosen di kancah internasional. Mereka akan mewajibkan komitmen kerja yang profesional dengan
waktu spesifik, dan sebagai gantinya memberi status dosen dan gaji. Ini dapat muncul dalam bentuk
peraturan dan norma, seperti batasan waktu yang boleh dihabiskan di luar perguruan tinggi, mewajibkan
sebagian/semua aktivitas luar dilaporkan pada institusi atau harus disetujui, dan/atau aturan mengenai
konflik kepentingan dan komitmen.
Namun, mencapai norma seperti itu tidaklah sederhana, karena institusi yang tidak memiliki
pengalaman biasanya canggung dalam mengembangkan peraturan/norma. Ada kecenderungan
menetapkan terlalu banyak peraturan secara tiba-tiba, tanpa penjelasan yang cukup pada para dosen
mengapa perubahan ini diperlukan, atau tanpa peningkatan staff administratif yang cukup agar
perubahan terjadi dengan lancar tanpa memperpanjang birokrasi. Isu kapasitas administratif secara
khusus penting, karena peraturan dapat memperburuk birokrasi, sementara petugas tidak dapat terlalu
‘lunak’ dalam mempertimbangkan bagaimana peraturan/kebijakan diterapkan.
Dalam sejumlah wawancara terungkap bahwa inisiatif pemerintah untuk memberi insentif umumnya
gagal di tahap penerapan karena berbagai alasan. Peraturan Pemerintah 35/2007 mengenai insentif
bagi industri, Peraturan Presiden 28/2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional, dan Undang-
Undang 25/2007 mengenai fasilitas modal dan perizinan, merupakan beberapa contoh. Keluhan
mengenai peraturan-peraturan ini adalah bahwa tidak ada koordinasi antara kementerian sektoral
yang menyebabkan peraturan ini tidak dapat dilaksanakan. Dalam kasus PP 93/2010, yaitu peraturan
yang memberi potongan pajak untuk pengeluaran litbang di tahun 2010, seorang subyek wawancara
mengeluh bahwa pada kenyataannya potongan pajak terlalu sulit untuk didapat, bahkan dengan
keputusan dari Menteri Keuangan No 76/PMK/2011 yang menjelaskan tata caranya secara rinci. Tim
studi memperkirakan bahwa hal ini terjadi karena kesulitan sisi petugas pajak dalam menafsirkan apa
yang berhak disebut litbang. Khususnya dalam kasus ini, mungkin bahwa kapasitas penerapan akan
membaik seiring waktu, karena saat ini baru setahun sejak penerapan peraturan.
Namun, hilangnya kepercayaan dan kemauan dari pihak perusahaan swasta juga merupakan faktor
yang dapat mengurangi efektifitas kebijakan. Salah satu contoh kegagalan kebijakan adalah alokasi
dana hibah dari Kemenperin sebesar Rp 50 miliar untuk mengembangkan teknologi tank bagi salah
satu BUMN. Program ini didukung oleh Presiden, namun perusahaan tersebut menolak proyek ini
dan mengembalikan dana hibah, karena hibah sebesar itu dapat secara signifikan mengurangi rasio
keuntungan dan modal pada laporan keuangan perusahaan. Dalam kasus ini, CEOnya berisiko dipecat
karena kriteria spesifik tersebut.
Pemerintah jelas melakukan usaha secara konsisten untuk menciptakan ‘lingkungan kondusif’ bagi
kapasitas pembangunan domestik. DPR baru saja mensahkan keputusan mengenai Alutista Pertahanan
yang mengharuskan Tentara Nasional Indonesia menggunakan perlengkapan perang yang diproduksi
oleh BUMN. Pengadaan barang melalui impor hanya dapat dilakukan bila kapasitas lokal tidak tersedia
pada industri ini. Tujuan keputusan ini adalah mendorong transfer teknologi dalam proses pengadaan
barang – suatu tujuan yang baik dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan harapan hal
tersebut berkontribusi pada kapasitas pembangunan domestik dari perusahaan melek teknologi.
Namun tidak adanya kepercayaan pada lingkungan kebijakan bersifat menjalar. Beberapa subyek
wawancara menyatakan bahwa perusahaan seringkali lebih memilih memberi sumbangan untuk
mengurangi pajak pendapatan daripada memanfaatkan kebijakan yang merepotkan seperti
potongan pajak litbang. Sumbangan olahraga atau beasiswa lebih mudah, berisiko lebih rendah, dan
meningkatkan citra perusahaan di mata masyarakat. Berinvestasi pada aktivitas litbang berisiko dan
memerlukan komitmen jangka panjang.
Jelas bahwa kompetisi saat ini di pasar domestik belum menciptakan tekanan yang cukup bagi para
pemainnya untuk berinvestasi di litbang. Saat ini, usaha grosir dan eceran lebih menarik dengan
keuntungan lebih tinggi dan risiko rendah. Lingkungan kebijakan harus lebih jelas dan konsisten serta
kredibel untuk mengubah budaya perusahaan.
Dalam usaha meningkatkan pendapatan dengan mengekspor lebih banyak komoditas olahan dengan
nilai tambah, pemerintah mendorong pembangunan pabrik pengolah komoditas primer pertanian.
Pajak baru ditetapkan dan ditingkatkan bagi ekspor komoditas primer, sementara pajak komoditas
olahan dikurangi. Hasilnya adalah peningkatan besar ekspor komoditas olahan dan menurunnya
ekspor komoditas mentah, serta meledaknya jumlah pembangunan pabrik pengolahan baru. Dalam
laporan ini tim studi menyajikan kasus dua komoditas primer pertanian yang berbeda, yaitu kelapa
sawit dan kakao (lihat box 2 dan 3: Cacao sustainability partnership, dan Pergeseran dari minyak sawit
mentah ke olahan).
Inisiatif pemerintah menggeser ke arah hilir sepertinya bekerja baik, dan menarik mengamati dua
strategi berbeda ini: inisiatif di industri kelapa sawit yang diusung pemerintah pusat dan inisiatif di
industri kakao diusung oleh industri dan perguruan tinggi. Pemerintah pusat ikut serta dalam inisiatif
kakao di tahap-tahap selanjutnya. Keterlibatan perguruan tinggi utamanya dimulai dari seorang
individu, yang kemudian didukung oleh Rektor.
Dalam hal kelapa sawit, Indonesia sebelumnya terfokus pada memperluas lahan perkebunan, yang
saat ini mencapai 8.2 juta hektar, seukuran Pulau Irlandia, walau penanamannya sering disalahkan
atas kerusakan hutan tropis. Meski dikritik oleh organisasi lingkungan di seluruh dunia atas pengaruh
negatif kepada lingkungan, kontribusi perguruan tinggi dalam mengembangkan industri kelapa sawit
yang berkelanjutan masih terbatas. Sebagian besar inovasi baru terkait pembibitan, pemanenan,
dan teknologi pengolahan, diambil dari Malaysia, sementara peran pemerintah daerah terbatas pada
memberi izin. Memperluas industri pengolahan untuk memenuhi kebutuhan domestik yang besar
akan biofuel tidak menarik karena kebijakan subsidi bahan bakar oleh pemerintah.
Sepertinya strategi yang lebih menyeluruh diperlukan untuk mencapai tujuan MP3EI seperti tampak
pada Gambar 2.1. Kebijakan pajak hanya berpengaruh jangka pendek, dan tidak menarik industri
berinvestasi dalam usaha jangka panjang seperti litbang, seperti dijelaskan pada bagian berikut.
Meski studi ini terlalu terbatas untuk secara menyeluruh membahas situasi saat ini di Indonesia,
dalam beberapa kasus yang ditemukan tim studi sebagai contoh, kerjasama perguruan tinggi dan
industri yang terkait sumber daya biologi sepertinya tidak begitu baik. Dalam banyak kasus, tim studi
menemukan bahwa para dosen di Indonesia memainkan peran teknologi sekunder atau relatif kecil.
Wawancara tim studi dengan para ahli di bidang yang relevan menunjukkan adanya pandangan yang
berbeda akan kecukupan kapasitas sumber daya manusia Indonesia untuk litbang bidang sumber daya
hayati. Misalnya, kapasitas litbang bioteknologi yang telah dibangun Indonesia di awal 1990an sangat
menurun setelah krisis di Asia; posisi terdepan di Asia yang dulu dipegang Indonesia amat berbeda
dengan posisi saat ini, yang terlambat di belakang negara-negara tetangga. Lainnya lebih optimis bahwa
beberapa institusi mapan, termasuk perguruan tinggi unggulan serta institusi penelitian nasional,
secara kolektif cukup berkapasitas melakukan penelitian dan pelatihan. Mereka memiliki cukup staff
pemegang gelar Doktor, rekam jejak penelitian yang baik, dan laboratorium penelitian yang memadai,
dan dengan sumber daya tersebut dianggap mampu melakukan kerjasama aktivitas penelitian sumber
daya biologi.
Stability of Rainforest Margins in Indonesia (STORMA) merupakan proyek kerjasama penelitian yang
dilaksanakan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Tadulako (UNTAD), Georg-August-
University of Göttingen, dan University of Kassel, yang terfokus dalam konsep terintegrasi antara
penggunaan lahan berkelanjutan dan stabilisasi hutan tropis, yang diketahui sebagai faktor penting
dalam perlindungan hutan tropis. Sponsor utama kerjasama ini adalah Kementerian Federal
Pendidikan dan Penelitian (BMBF), Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG), dan Kementerian
Federal Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (BMZ) sebagai perwakilan Pemerintah Federal
Jerman, dan Ditjen Dikti mewakili Pemerintah Indonesia.
DFG Jerman memberikan dana penelitian bagi staff dan mahasiswa dari Jerman, termasuk
perjalanan pulang pergi ke Sulawesi Tengah. Namun di sisi Indonesia, sebagian besar peneliti
perguruan tinggi harus bersaing masing-masing untuk mendapat dana penelitian dan beasiswa
yang disediakan oleh Ditjen Dikti dan Kemenristek, seperti misalnya Hibah Bersaing dan BPPS.
Karena topik penelitian pada proposal tidak dikaitkan dengan tujuan proyek, peneliti Indonesia
cenderung mengajukan topik yang lebih tinggi kesempatannya didanai. Beasiswa pemerintah
(BPPS) dalam beberapa kasus tidak sinkron dengan jadwal yang semula diumumkan, sehingga
banyak mahasiswa pascasarjana gagal memenuhi komitmen keikutsertaan mereka dalam proyek.
Hambatan semacam ini dapat diselesaikan bila Ditjen Dikti memberikan pengecualian khusus
dengan menetapkan sejumlah dana hibah dan beasiswa khusus untuk proyek ini. Perguruan tinggi
yang terlibat juga dapat memainkan peran lebih proaktif dalam mencari solusi.
Tanpa panduan spesifik sebagai referensi dalam menentukan topik penelitian, koherensi sulit
dijaga dan masa kritis penelitian pada topik tertentu juga sulit dicapai. Meski manfaat pribadi bagi
individu yang ikut serta dalam proyek memang tidak dapat dipungkiri, manfaat bagi perguruan
tinggi (kecuali bertambahnya jumlah pemegang gelar Doktor) tampak jauh lebih rendah daripada
potensinya. Tidak memadainya petunjuk dan dukungan dari pemerintah, serta tidak adanya
kepemimpinan, merupakan penyebab terjadinya hal ini.
Tim studi menilai bahwa meski Indonesia jelas memiliki sejumlah sumber daya manusia bukan hanya
dalam organisasi penelitian akademik dan pemerintah, namun juga organisasi swasta, kerangka untuk
menyeimbangkan kepentingan ekonomi swasta, nasional, dan kebutuhan konservasi terkait sumber
daya biologi masih belum mapan. Tidak adanya kerangka nasional tersebut sebagian dikarenakan tidak
memadainya konvensi internasional, yang belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan hak
kekayaan intelektual yang terkait keanekaragaman hayati (ICTSD 2010)16. Tim studi juga memperkirakan
menilai bahwa kapasitas penelitian mungkin tidak merata dan belum tentu mencakup seluruh bidang
keahlian yang diperlukan, dengan keahlian yang tersebar di seluruh negara umumnya terkotak-kotak,
dan institusi kurang mampu mengisi kekosongan tersebut atau mengintegrasikannya menjadi gerakan
nasional. Jelas, banyak yang harus dilakukan dalam membangun kapasitas, tidak hanya penelitian
dasar, namun juga kapasitas institusional, dan meningkatkan kesadaran di antara institusi penelitian
sehingga komunitas intelektual dapat memainkan peran mereka bagi Indonesia.
Meski Indonesian Biodiversity Strategic and Action Plan (IBSAP) telah diterbitkan, ketaatannya di lapangan
masih kurang dari memuaskan. Tidak adanya kerangka nasional untuk memanfaatkan dan menjaga
keanekaragaman hayati ini merupakan alasan diperlukannya peran lebih dari komunitas intelektual
Indonesia – untuk membantu membangun kerangka yang diperlukan. Peran ahli nasional tidak
hanya terus mengikuti perkembangan iptek dalam pemanfaatan dan produksi, namun juga untuk
memberikan kontribusi yang signifikan untuk meningkatkan keberhasilannya. Peran ahli juga termasuk
memahami isu perkembangan iptek seputar konservasi, dan belajar dari pengalaman di seluruh
dunia. Mereka harus terlibat dengan aktivitas-aktivitas semacam itu, tentunya dengan memahami apa
manfaatnya bagi Indonesia. Penting bagi dosen Indonesia untuk memperoleh pengalaman langsung
dalam bekerja dengan komunitas internasional, baik industri maupun dosen, di berbagai bidang yang
terkait keanekaragaman hayati.
Dalam hal ini, jumlah proyek kerjasama penelitian internasional mengenai keanekaragaman hayati
yang semakin meningkat merupakan tren yang baik. Namun, studi ini tim studi juga menemukan
bahwa pada (banyak) proyek, dosen Indonesia belum memainkan peran proaktif. Apabila tim peneliti
dari negara maju dengan sumber daya yang lebih baik memegang peran terdepan –hal yang dapat
dimaklumi – peneliti Indonesia juga mendapatkan manfaat. Studi ini menemukan bahwa peneliti di
Indonesia tidak diberi sumber daya yang memadai untuk ikut serta dengan baik dalam proyek tersebut.
Saat ini tidak ada petunjuk standar dari pemerintah, atau terlalu sederhana, untuk dipakai sebagai
panduan. Keikutsertaan perguruan tinggi yang mapan seringkali dianggap suatu jaminan bahwa
kepentingan nasional akan terjaga. Namun dalam beberapa kasus, aspek hukum penelitian terkait
sumber daya biologi belum cukup diperhitungkan dalam kerjasama, dan pengaruhnya kepada
masyarakat luas belum dipahami oleh para pesertanya. Dalam kasus-kasus tersebut perguruan tinggi
yang ikut serta dalam kerjasama dapat memainkan peran penting dalam mengisi kekosongan yang
disebabkan oleh petunjuk sederhana pemerintah.
Tantangan terbesarnya adalah menyediakan infrastruktur dan fasilitas pendidikan yang diperlukan,
serta pengajar di daerah terpencil. Disparitas ini berpotensi menjadi struktural, karena lulusan sekolah
16 Misalnya, isu seputar pembagian pendapatan dari hak kekayaan intelektual atas sumber daya biologis yang langka antara
investor dan negara asal, serta isu seputar pengetahuan dan praktik tradisional terhadap HAKI.
Tabel 5-1: PDB-D per kapita tertinggi dan terendah berdasarkan provinsi (dalam ribuan Rupiah) di tahun 2007
[BPS, 2010]
TERTINGGI TERENDAH
Provinsi PDB-D Provinsi PDB-D
Kalimantan Timur 70,120.04 Maluku Utara 3,346.52
DKI Jakarta 62,490.34 Maluku 4,377.09
Riau 41,412.85 Nusa Tenggara Timur 4,301.53
dasar tidak mampu secara finansial dan akademik untuk diterima oleh sekolah di daerah yang lebih baik,
dan karena itu harus melanjutkan ke sekolah menengah di daerah dengan kualitas yang tidak memadai
karena tidak adanya pengajar berkualitas dan infrastruktur. Setelah lulus dari sekolah menengah,
mereka kurang mampu bersaing dengan lulusan dari daerah yang lebih berkembang untuk masuk
ke perguruan tinggi berkualitas, sehingga sebagai lulusan perguruan tinggi, mereka tidak mampu
berkompetisi untuk pekerjaan di luar daerah. Perusahaan yang berinvestasi di daerah semacam itu
tidak punya pilihan untuk merekrut sumber daya manusia dari daerah lain, karena khawatir berpotensi
menciptakan keirian dengan penduduk lokal sehingga menimbulkan gesekan sosial. Perpecahan dan
disintegrasi berdasarkan disparitas kedaerahan menjadi ancaman keutuhan negara.
Karena Pekalongan terletak di daerah yang cukup maju dan hanya beberapa jam berkendaraan dari
Jakarta, sepertinya daerah lain yang lebih terpencil memiliki kondisi lebih buruk. Mungkin hanya
beberapa pemerintah daerah di dekat perguruan tinggi unggulan, seperti Kota Bandung, yang mampu
dan layak mengembangkan strategi inovasi dengan perguruan tinggi dan industri.
Beberapa inisiatif dari individu lokal cukup berhasil seperti ditunjukkan oleh Bagian 5.1 laporan ini.
Dengan jarangnya sumber daya manusia terdidik, penting untuk memanfaatkan potensi lokal yang
ada. Namun untuk itu diperlukan bantuan eksternal, seperti dari Ditjen Dikti, untuk mengapresiasi
keberhasilan mereka dan melembagakan mekanisme tersebut. Selain itu, diperlukan kualitas
kepemimpinan untuk memanfaatkan sepenuhnya potensi individu khusus tersebut.
Berkat pengalaman belajar mereka dari perguruan tinggi yang lebih maju, beberapa individu unggulan
yang berinisiatif tinggi di perguruan tinggi lokal seringkali juga merupakan pengajar yang baik. Mereka
perlu mengambil keputusan sulit antara mengajar dan membina kerjasama dengan industri. Ketika
hanya ada beberapa dosen yang memegang gelar lanjutan di perguruan tingginya, terdapat harapan
besar dari komunitas akademik bagi mereka untuk menjadi pemimpin pengajaran dan penelitian.
Sayangnya, individu-individu semacam ini berpendapat bahwa karir yang sibuk dan banyak diminati
jauh lebih baik daripada sia-sia melakukan aktivitas yang dianggap tidak produktif.
Tim studi menemukan bahwa pemerintah, perguruan tinggi, dan industri saat ini masih berada pada
ruang kelembagaannya masing-masing dan dibutuhkan komitmen yang kuat dan kerja keras untuk
membangun ruang pengetahuan, ruang konsensus, dan ruang inovasi, seperti yang diperlihatkan
pada Gambar 6.1. Banyak kemajuan yang dicapai pada dasawarsa sebelumnya, dimana kemitraan baru
berkembang, dengan kapasitas kelembagaan institusi yang lebih kuat. Namun, di lingkungan pendidikan
tinggi juga timbul keprihatinan bahwa tantangan ke depan masih amat besar dan tidak mudah.
Perguruan
Tinggi
pemerintah
Perguruan
Industri
Tinggi
Industri
SPACE
SPHERES
Tim studi berkesimpulan bahwa mengembangkan perguruan tinggi di Indonesia menjadi institusi
strategis adalah hal yang penting. Sangat sulit mengharapkan pemerintah berperan seperti di Cina
dalam mengambil inisiatif, karena perbedaan sistem politik. Tim studi juga berpendapat bahwa sangat
sulit mengharapkan peran industri seperti di Jepang dan Korea Selatan untuk mengambil inisiatif,
karena tingkat perkembangannya berbeda. Tim studi yakin bahwa hanya perguruan tinggilah yang
layak untuk berperan dan mengambil inisiatif awal dalam kemitraan UIP, yang menjadi prasyarat
keberhasilan MP3EI.
Banyak perguruan tinggi melakukan riset dan pendidikan interdisiplin untuk merespon isu nyata
di lapangan. Namun mengembangkan mekanisme internal inti itu tidak mudah. Perguruan tinggi
di AS memiliki tradisi panjang dalam riset interdisiplin, yang melibatkan dosen dari berbagai
departemen, fakultas, bahkan dari luar perguruan tingginya sendiri. Beckman Institute di University
of Illinois didirikan pada 1980-an, Huckman Institute di Pennsylvania State didirikan pada 1990-an,
sedangkan Bio-X di Stanford University pada 2000-an, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Energy
Initiative di MIT didirikan oleh perguruan tinggi untuk merespon krisis energi dunia. Ini bukan
merupakan lembaga riset, melainkan sekumpulan program yang meliputi bukan saja riset dan
pendidikan, tetapi juga pengelolaan energi dalam kampus dan program outreach. Baik di Stanford
maupun di MIT, initiatif seperti itu secara otomatis melibatkan industri sebagai mitra.
Masalah nyata di lapangan umumnya bersifat interdisiplin, sehingga pendekatan monodisiplin seringkali
gagal menyelesaikannya. Sebagai awal, pimpinan perguruan tinggi harus secara proaktif membuka diri
terhadap dunia nyata di luar kampus, dengan bertukar pikiran dengan pelaku industri dan pejabat
pemerintah (lihat box 24: Mengembangkan Mekanisme Internal untuk Kegiatan Interdisiplin).
• Kantor hubungan industrial, yang memberikan layanan kepada pelaku industri untuk memperoleh
mitra diskusi, yaitu dosen / peneliti yang sesuai bidang keahliannya;
• Dukungan administratif dan teknis untuk mengelola proyek dan kontrak riset secara efisien dan
efektif;
• Keahlian khusus yang dibutuhkan bagi mereka yang ingin mengkomersialkan hasil risetnya ataupun
memulai usaha (start up, tapi berbeda dengan program kewirausahaan), HAKI, dsb.
• Fasilitas khusus seperti taman iptek, inkubator, atau program kewirausahaan, yang memungkinkan
terjadinya beragam interaksi dengan industri.
Sangat penting disadari dari awal bahwa tujuan utama pendirian unit tersebut bukan untuk menggalang
dana PNBP. Tim studi banyak menemukan unit semacam ini, misalnya Pembantu Rektor bidang
Kerjasama, dibebani dengan target penerimaan PNBP. Akibatnya mereka lebih giat mengumpulkan
‘pajak’ dari peneliti daripada memberikan layanan yang diharapkan, bahkan sebagian ‘menjual’ nama
lembaganya sekedar untuk memperoleh dana PNBP.
Mulai dari rekrutmen dosen baru sampai dengan kriteria promosi sebaiknya mempertimbangkan
aspek relevansi serta dampak yang diakibatkan oleh keahlian calon dosen tersebut. Pada perguruan
tinggi riset, umumnya kriteria mereka terlalu berfokus pada publikasi internasional. Sudah saatnya
proyek kemitraan dengan industri, komersialisasi temuan, dan pengabdian pada masyarakat, juga
menjadi bahan pertimbangan. Sekedar jumlah paten ataupun publikasi saja tidak memadai sebagai
kriteria promosi. Hanya paten yang berhasil dikomersialkan dan publikasi yang banyak dikutip cukup
berharga sebagai kriteria promosi. Pada akhirnya perguruan tinggi harus mampu mengembangkan
kriteria promosi yang dianggap paling sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhannya.
Dalam jangka panjang, perguruan tinggi yang memperoleh status PTN-BH akan memiliki otoritas
untuk mengembangkan sistem kepegawaian mereka sendiri. Tetapi dalam jangka pendek, Ditjen Dikti
diharapkan dapat memberikan jalan keluar agar kriteria promosi dapat mempertimbangkan juga
keberhasilan dalam mengembangkan program kemitraan litbang dengan industri.
Sebagian besar perguruan tinggi membutuhkan sentralisasi pengelolaan sampai tingkat tertentu,
dan hal ini umumnya memperoleh tantangan dari dosen, staf, dan unit di tingkat fakultas dan jurusan.
Namun untuk kasus program kemitraan dengan industri, perguruan tinggi perlu menyusun kebijakan
khusus agar program ini dapat tumbuh seperti yang diharapkan. Perlu dicari keseimbangan antara
kebutuhan kontrol sentralisasi dengan keleluasaan yang dibutuhkan dalam kemitraan industrial.
Pada tingkat nasional dibutuhkan forum yang dapat mempertemukan pembuat kebijakan di
pemerintahan, pelaku industri, dan akademisi perguruan tinggi. Komisi Inovasi Nasional (KIN) diharapkan
dapat menjadi langkah awal ke arah tersebut, walaupun saat ini konsep KIN masih membutuhkan
banyak perbaikan. Selain itu dibutuhkan juga forum daerah yang mempertemukan tokoh ketiga pihak
dalam provinsi dan kabupaten/kota yang sama.
Ketika pemerintah akan menyalurkan dana untuk industri, maka tokoh dan pelaku industri terkait harus
terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya dalam proses pendanaan riset strategis oleh
pemerintah, pelaku industri harus dilibatkan untuk menentukan hal-hal yang menyangkut kebutuhan
negara di masa depan. Juga bila kemitraan UIP akan dikembangkan, perlu keterlibatan pelaku industri
ikut terlibat dalam perancangan dan proses seleksi, pemantauan, serta evaluasi program.
Tim studi juga merekomendasikan bahwa pelaku industri dan pemangku kepentingan lainnya dapat
duduk dalam keanggotaan Majelis Wali Amanat pada PT-BHMN. Semua forum tadi diharapkan dapat
memberi kesempatan untuk bertemunya berbagai pihak yang berkepentingan dalam kemitraan UIP.
Struktur insentif yang berasal dari berbagai peraturan pajak dan subsidi, harus dirancang secara
komprehensif untuk mendorong industri melakukan investasi litbang dan menghasilkan produk
dengan nilai tambah tinggi, termasuk BUMN yang berkecimpung dalam industri berteknologi tinggi.
Insentif juga diperlukan bagi investor asing untuk bermitra dengan perguruan tinggi dan pemerintah
setempat, sehingga terjadi transfer teknologi. Donasi dari filantropis harus terus diupayakan dengan
memberikan berbagai insentif, karena selain dapat secara signifikan membantu perkembangan
perguruan tinggi, juga memberikan panutan dalam konsep berbagi.
Filantropis dapat memainkan peran penting guna manfaat masyarakat luas. Di AS yayasan seperti
Ford dan Carnegie memainkan peran amat penting dalam mengembangkan pendidikan tinggi,
terutama dalam mendorong mereka untuk melakukan riset yang relevan pada awal abad 20.
Yayasan Carnegoe, Pugh, dan Ford terus memainkan peran penting dalam mensosialisasikan
praktik baik dalam pembelajaran pada kurun waktu 1985-2010 (Brint 2010). Pada 2012, kontribusi
filantropis merupakan porsi terbesar yakni USD 30 miliar PNBP perguruan tinggi di AS (CAE 2012).
Stanford University berada pada peringkat pertama perguruan tinggi yang mampu menggalang
dana terbesar pada 2011, melalui program yang sistematis dan terstruktur dalam ‘menjual’ visi
perguruan tinggi dan pengembangan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pada dasarnya anggaran pemerintah dibutuhkan untuk mendanai lima kelompok kegiatan yang terkait
dengan pengembangan inovasi dalam konteks UIP.
• Alokasi anggaran disediakan untuk mendukung program perubahan budaya di perguruan tinggi.
Pada sekitar akhir dasawarsa 1990an di Inggris diperkenalkan hibah kompetisi untuk mendorong
perguruan tinggi melakukan program rintisan yang inovatif. Saat ini perubahan budaya organisasi
sudah menjadi salah satu indikator utama dalam pendanaan berbasis formula.
• Pemerintah harus mendanai ilmu dasar yang menjadi landasan bagi pengembangan dan penerapan
di bidang strategis. Beraneka ragam strategi untuk meramalkan arah masa depan dapat diadopsi,
misalnya model Jepang, atau model AS.
• Pemerintah harus berperan sebagai klien yang cerdas dalam memanfaatkan potensi perguruan
tinggi. Kementrian Pertanian AS (USDA) dan Kementrian Perumahan AS (USHUD) merupakan
beberapa contoh dimana pemerintah memberikan dana agar perguruan tinggi dapat berperan
membantu masyarakat, misalnya melalui penyuluhan (agricultural extension) atau program
pengembangan masyarakat (communty development program).
• Pemerintah harus mendukung interaksi antara perguruan tinggi dengan industri, terutama dengan
UKM. Interaksi ini membuka kesempatan bagi UKM untuk terlibat dalam riset dengan perguruan
tinggi, yang tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan pemerintah karena keterbatasan kemampuan
finansial UKM. Di Belanda pemerintah menyediakan program kupon atau voucher agar UKM dapat
berkonsultasi dengan perguruan tinggi. Hal ini juga membantu terjadinya perubahan budaya
relevan di perguruan tinggi.
• Pemerintah harus mensubsidi pengembangan sumberdaya manusia dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi, sehingga mereka dapat bekerja tidak saja di perguruan tinggi atau lembaga riset
pemerintah, tapi juga di litbang imdustri. Perbedaan besar terlihat antara AS dimana beasiswa S3
terbuka untuk semua yang memenuhi persyaratan akademik, dengan Jepang dimana mahasiswa
tidak memperoleh beasiswa S3. Di AS lulusan program S3 dalam jumlah besar sudah terlihat sejak
1960an, bahkan menimbulkan kelebihan atau ‘oversupply’ sehingga banyak S3 berkualitas tidak
mendapat tempat di perguruan tinggi dan mencari kerja di industri. Sedangkan di Jepang jumlah
lulusan S3 yang terbatas tidak memungkinkan industri untuk merekrutnya, kalaupun ada kualitasnya
tidak terlalu baik.
Lingkungan litbang di AS amat kondusif untuk menarik dana. Pada awal abad 20 sekelompok
yayasan menjadi sponsor utama kegiatan riset di perguruan tinggi, sekaligus memberi dorongan
untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Banyak badan pemerintah juga mulai menyediakan
dana untuk kegiatan riset perguruan tinggi yang lebih relevan (Geiger 2004, Mowery et al 2004).
Bidang yang dicakup amat beragam mulai dari pertanian, perumahan, sampai ke pembangunan
perkotaan. Budaya untuk menawarkan dana untuk riset kepada perguruan tinggi semakin
berkembang di antara lembaga pemerintah. Sejak Department of Homeland Security dibentuk
setelah 9/11, salah satu kegiatan yang dibiayai adalah investasi dalam riset dasar sebagai landasan
untuk perkembangan teknologi di masa depan.
Hal yang menarik adalah keragaman sumber pendanaan untuk kegiatan riset di AS, sehingga
mencerminkan juga proses dan kriteria seleksinya. Defence Advanced Research Projects Agency
(DARPA) merupakan salah satu sumber dana yang menarik skemanya, karena mendanai riset strategis
di perguruan tinggi. Skema pendanaan ditentukan oleh Direktur Riset (yang juga ilmuwan) yang
memiliki otoritas besar untuk mempengaruhi arah riset strategis melalui interkasi dengan ilmuwan
lainnya. DARPA dirancang sebagai institusi yang berani mengambil risiko dan berpandangan jauh
ke depan. Kegiatan riset yang didanainya tidak terbatas pada keperluan militer saja, dan banyak
inovasi baru yang diterapkan dalam industri sipil.
Riset yang didanai DARPA amat berbeda karakternya dengan riset yang diseleksi oleh ‘peer review’
yang biasanya lebih konservatif dan menghindari risiko berlebihan. Proses peer review menjamin
disiplin ilmu tertentu memperoleh dukungan dana, tetapi hasilnya seringkali kurang optimal karena
pendanaan yang terbatas, dan jarang mengarah ke aplikasi interdisiplin.
Peran DARPA amat disegani di AS, sehingga American National Academies menyarankan
pembentukan DARPA-DARPA lain. ARPA-E didirikan untuk tujuan tersebut, dengan fokus pada riset
tentang energi.
Dalam jangka panjang setelah perguruan tinggi dapat beroperasi secara lebih mandiri dan memperoleh
otonomi, penerapan skema ‘block grant’ tidak akan menjadi masalah. Dalam masa transisi sebelum
hal itu dapat dilaksanakan, mekanisme menjadi isu serius karena Kemenkeu hanya mengenal skema
bantuan sosial untuk menerapkannya. Pada saat ini, skema tersebut hanya dapat diterapkan pada
PT-BH17 dan perguruan tinggi swasta, sedangkan untuk perguruan tinggi negeri lain kontribusi dari
industri harus dikelompokkan dalam PNBP.
Dalam jangka pendek sampai menengah, beberapa rekomendasi berikut, tim studi mengajukan
beberapa rekomendasi untuk pemerintah:
• Menambahkan ‘riset’ sebagai nomenklatur baru dalam anggaran, sehingga dapat memperoleh
sedikit kelonggaran dalam pelaksanaannya. Hal tersebut saat ini sedang dalam tahap pengusulan
oleh Ditjen Dikti ke Kemenkeu.
• Mendirikan unit semacam ‘Fraunhoffer’ di Jerman. Unit ini didirikan khusus oleh pemerintah Jerman
dengan tugas khusus melaksanakan riset kemitraan industri. Untuk melaksanakannya, unit ini
memperoleh kelonggaran khusus dalam pengelolaan keuangannya. Ini merupakan opsi yang perlu
diterimbangkan secara serius, terutama untuk koridor ekonomi yang masih lemah institusinya.
• Memberikan kelonggaran lain dalam penyaluran hibah untuk riset, terutama untuk tujuan khusus
seperti kemitraan dengan industri. Misalnya tahun jamak dan proses pencairan yang sederhana.
• Inisiatif yang saat ini sedang dilakukan oleh AIPI untuk mengembangkan dana abadi khusus untuk
pendanaan riset nasional.
Solusi “off-budget”, seperti mendirikan yayasan, untuk penyaluran dana dianggap cenderung
membuka peluang untuk penyimpangan, dan bertentangan dengan semangat untuk menegakkan
‘good governance’. Namun UIP merupakan kasus khusus, dimana pemberian otonomi tidak dapat
dilakukan secara serampangan, sedangkan negara amat membutuhkan skema yang memungkinkan
kemitraan dengan industri dapat dilaksanakan dengan baik. Skema alternatif lain perlu terus dikaji agar
kepentingan yang lebih besar dapat diselamatkan.
Peran Ditjen Dikti dalam menyusun tata pamong dan tata kelola di perguruan tiggi juga tidak kalah
pentingnya. Arahan dan kepemimpinan yang diharapkan dari Ditjen Dikti tidak dalam bentuk instruksi,
melainkan dalam bentuk sosialisasi prinsip utama dan penegakannya di lapangan. Sistem insentif yang
memberikan penghargaan lebih kepada ‘champions’ dalam pengembangan kemitraan UIP merupakan
salah satu bentuk kepemimpinan yang diharapkan.
Ditjen Dikti perlu secara aktif dan bijaksana merancang program pembangunan pendidikan tinggi
untuk kawasan tersebut. Penbangunan kapasitas institusional tidak dapat dilakukan hanya dari
belakang meja di Jakarta tanpa adanya pengalaman lapangan. Penyusunan program harus melibatkan
mereka yang memahami realitas lapangan, untuk kemudian sejauh mungkin memanfaatkan potensi
lokal dalam pelaksanaannya. Perguruan tinggi yang sudah lebih berkembang dari kawasan lain perlu
diberi tugas untuk melakukan pembinaan dan bimbingan melalui program kemitraan (twinning).
Kerangka Kemungki-
Strategi Dampak Risiko Kemungkinan tindakan untuk mengurangi risiko
waktu nan gagal
6.1 Perguruan tinggi
Bab 6 Rekomendasi
79
Bab 6 Rekomendasi
Langkah lain yang mungkin dapat dilaksanakan adalah mengadakan survei secara periodik dan
sistematik, sehingga dapat diperoleh informasi handal menurut kurun waktu. Responden dapat
mencakup seluruh PTN dan sebagian PTS yang sudah mapan (misalnya akreditasi A), dan strategi
seperti ini juga dilakukan di Inggris Raya. Untuk Indonesia survei 5 tahunan seperti ini juga bermanfaat
untuk menyebarluaskan arah kebijakan yang ingin mendorong pengembangan kemitraan UIP.
Sebagian pihak meyakini bahwa industri sama sekali tidak tertarik untuk melakukan litbang, karena
ketiadaan struktur insentif tadi. Namun wawancara di lapangan dengan industri farmasi, makanan,
pertahanan, kelapa sawit, dan kakao memperlihatkan bahwa mereka sudah melakukan semacam
‘litbang’, walaupun mungkin tidak secanggih dan sedalam yang diharapkan oleh banyak pihak. Oleh
karena itu perlu dilakukan studi yang lebih mendalam dan komprehensif untuk memahami status
industri dalam konteks penerapan iptek, kebutuhan akan litbang dan iptek, hambatan dan keterbatasan
yang ada di industri pada berbagai sektor.
Ditjen Dikti bersama Kemenristek telah menjalankan berbagai gagasan dalam berbagai skema
pendanaan, ternasuk beberapa yang saat ini masih berlangsung, yang mendorong kerjasama riset di
tingkat kelompok dengan industri, pendirian pusat-pusat kewirausahaan, serta pusat-pusat unggulan.
Rekomendasi tim adalah pertama untuk menjadikan program-program hibah yang telah ada agar lebih
bermanfaat sebagaimana yang telah dirumuskan pada bagian penyaluran pendanaan.
Tim studi percaya bahwa kebutuhan yang paling mendesak adalah mempromosikan budaya baru
dari keterlibatan dengan industri dan relevansi di antara perguruan-perguruan tinggi melalui
pengenalan kembali pendanaan bersaing. Penerapan kompetisi adalah hal yang penting karena akan
memberikan insentif bagi institusi untuk berinovasi. Persyaratan tertentu yang mengharuskan usulan
untuk dikembangkan dengan berkonsultasi dengan pemangku kepentingan di industri dan pejabat
pemerintah untuk seluruh program juga akan membantu mendorong perencanaan bersama bagi
pengembangan kelembagaan.
a) Tingkat individual – beasiswa jangka pendek (sampai dengan 12 bulan). Perlu memberikan
kesempatan bagi individu yang membutuhkan pengalaman litbang, terutama diawal karir
profesionalnya, baik di lingkungan litbang perguruan tinggi maupun litbang industri. Tim studi
mengusulkan dua jenis program berbeda:
o Program-1: Hibah eksplorasi pra-PhD untuk mahasiswa yang membutuhkan pengalaman
awal dan pencerahan dari litbang industri, sebelum melanjutkan studi ke luar negeri untuk S3.
Hibah yang disediakan tidak melebihi Rp 40 juta per orang-tahun.
o Program-2: Petukaran industri – perguruan tinggi untuk memberi kesempatan bagi dosen
muda bekerja di litbang industri untuk waktu tertentu, atau staf litbang industri bekerja di
laboratorium perguruan tinggi. Hibah yang disediakan tidak melebihi Rp 40 juta per orang-tahun.
Program/Hibah Tahun anggaran Penerima hibah Jenis hibah Tujuan Durasi Rp Komponen hibah
Mendukung staf S2
Bab 6 Rekomendasi
Table 6.3: Risiko dan penilaian dampak atas program pendanaan yang direkomendasikan18
Dampak
Medium 1>
Rendah
o Program-4: Hibah penguatan fasilitas dukungan UIP diberikan untuk perguruan tinggi yang
memiliki rencana pengembangan yang baik (lihat Annex V). Fasilitas termasuk unit hubungan
industri, pusat kewirausahaan, unit pertukaran teknis, taman iptek, dan pusat pengembangan
inkubator. Komponen biaya mencakup tenaga ahli, perjalanan, pelatihan, dan lokakarya. Hibah
tidak melebihi Rp 200 juta untuk jangka waktu 2-3 tahun.
o Program-5: Hibah peningkatan kapasitas institusional dalam program kemitraan UIP
diberikan kepada unit dalam perguruan tinggi untuk membangun pusat unggulan (centre of
excellence) dalam bidang yang relevan dengan sasaran kebutuhan industri. Proposal yang
diterima untuk didanai harus melibatkan industri, termasuk kontribusi nyatanya (dana, staf,
fasilitas, dan litbang) dalam program. Komponen biaya antara lain mencakup beasiswa pra-
PhD, beasiswa pasca DN/LN, hibah litbang, tenaga ahli, perjalanan, program twinning dengan
institusi lokal dan internasional, peralatan laboratorium, dan program pertukaran industri. Hibah
tidak melebihi Rp 10-20 miliar untuk jangka waktu 3-5 tahun. Rincian program disajikan pada
Annex IV laporan ini. Hibah dalam program ini dikelompokkan dalam tiga lapis berikut:
• Lapis 1: mereka yang berminat bermitra dengan industri lokal (atau yang berpotensi) dan
pemerintah untuk mengembangkan kemampuan menghasilkan lulusan yang siap pakai
sesuai dengan kebutuhan industri setempat.
• Lapis 2: mereka yang berminat bermitra dengan industri lokal (atau yang berpotensi) dan
pemerintah untuk mengembangkan kapasitas litbang sesuai dengan kebutuhan industri
dan daerahnya.
• Lapis 3: mereka yang berminat bermitra dengan industri lokal (atau yang berpotensi) dan
pemerintah mengembangkan program pasca sesuai dengan kebutuhan industri dan
daerahnya.
Tim studi mengusulkan agar kemitraan UIP (program 5) dapat memperoleh dukungan pendanaan dari
pemerintah dan industri. Untuk menjamin akuntabilitas dan kegiatan interdisiplin, dibutuhkan unit /
organisasi semacam Fraunhoffers di Jerman, yang memiliki struktur tata pamomg khusus. Bentuk ini
memungkinkan interaksi dengan industri berjalan lebih mulus karena pengelolaan keuangan tetap
taat pada peraturan perundangan yang ada, sedangkan keleluasaan yang dimilikinya memungkinkan
pelaksanaan program lebih lancar.
Dalam jangka pendek sampai menengah, tidak mudah bagi unit pemerintah untuk menentukan
indvidual yang cocok untuk tugas ini. Hibah program 3 juga dimaksudkan agar proses identifikasi
dapat dilakukan dengan lebih cermat melalui keterlibatan mereka sejak penyusunan proposal sampai
persiapan pelaksanaan program. Program perubahan budaya disarankan untuk menjadi inisiatif Ditjen
Dikti, walaupun pandangan industri dijaring melalui (a) rancangan program melalui konsultasi dengan
pelaku industri, (b) seleksi, monitoring, dan evaluasi melalui rintisan keterlibatan pelaku industri, (c)
hibah institusional yang mensyaratkan keterlibatan industri dalam menyusun proposal.
Pada dasarnya diharapkan perguruan tinggi yang berada di lapis tiga tersebut akan mampu
mengidentifikasi sendiri tenaga ahli sesuai dengan mereka butuhkan, namun untuk lapis pertama dan
kedua kemungkinan membutuhkan intervensi Ditjen Dikti. Pada lapis pertama diperkirakan bantuan
tenga ahli dalam bentuk lebih terstruktur lebih dibutuhkan, sehingga lebih tepat untuk disediakan
oleh Ditjen Dikti. Pengaturan program twinning dengan perguruan tinggi nasional lain juga akan dapat
lebih mulus dilaksanakan.
Untuk lapis kedua, isu yang ada mungkin lebih kompleks, karena litbang terapan mungkin
membutuhkan bantuan teknis dari tenaga ahli internasional, apalagi bila program twinning dengan
institusi internasional juga menjadi pertimbangan. Sinkronisasi antara ketiga mitra, ditambah dengan
mitra twinning (lokal dan internasional), dapat menimbulkan kompleksitas tambahan. Tim studi
mengusulkan untuk melakukan proyek rintisan terlebih dahulu dengan 1-2 perguruan tinggi sebelum
diperluas ke koridor ekonomi lainnya. Untuk memilih perguruan tinggi yang dijadikan rintisan, aspek
berikut dapat menjadi bahan pertimbangan:
Dalam studi ini tim studi mengidentifikasi beberapa calon yang mungkin dapat menjadi program
rintisan, dan diikutsertakan dalam penulisan pra proposal. Namun tidak disarankan untuk memilih
mereka untuk langsung menjadi calon, karena perlu pendalaman yang cukup sebelum hal itu dapat
dilakukan. Undangan untuk menulis pra proposal yang lebih terbuka memberi manfaat sendiri dalam
memberikan gambaran tentang kemitraan UIP di kawasan Timur.
Beasiswa yang diberikan kepada individu tampak sederhana, namun aspek berikut perlu memperoleh
perhatian:
(a) ‘subsidi’ pemerintah kepada pelaku industri, bila penerima beasiswa berasal dari sektor industri; dan
(b) Kelayakan investasi pada kegiatan seperti ini bila perguruan tinggi yang ada masih belum memadai
tingkat kesiapannya.
Walaupun beasiswa dapat saja dimulai dulu dalam program rintisan, tetapi akan lebih disarankan bila
memulainya sebagai bagian dari program hibah pengembangan kapasitas institusi (program 5).
[Aswicahyono, Haryo; Hill, Hal; Narjoko, Dionisius;2010] Industrialisation after a deep economic crisis: Indonesia,
in Journal of Development Studies. Vol 46. No. 6pp1084-1108
[BPS, 2012] Trends of selected socio economic indicators of Indonesia, p.148, February
[Brint 2009] Brint, Steven; The Academic Devolution? Movements to reform teaching and learning in US colleges
and universities, 1985-2010. Research and occational papers series, Center for Studies in Higher Education,
UC Berkeley
[Brodjonegoro, 2012] Brodjonegoro, S.S.; personal interview with CEOs of PT Dirgantara Indonesia and PT
INKA
[CAE 2011] Council for Aid to Education. 2012. ‘Colleges and universities raise 30.3 billion in 2010’ http://www.
cae.org/content/pdf/VSE_2011_Press_Release.pdf
[Chronicle 2010] Chronicle of higher education, January 3, Less Politics, More Poetry: Cina’sCina’s Colleges Eye
the Liberal Arts
[Chronicle 2012] Chronicle of higher education, February 5, Bucking Cultural Norms, Asia Tries Liberal Arts
[DGHE, 2011] Evaluasi Program dan Capaian Target Kinerja Pembangunan Tahun 2010 Bidang Pendidikan Tinggi,
Rembuk Nasional 2011
[Etzkowitz, 2002] Etzkowitz, H; The triple helix university – industry – government implications for policy and
evaluation, working paper 2002-11, Science Policy Institute, Stockholm, ISSN 1650-3821
[Etzkowitz and Ranga, 2010] Etzkowitz, H., and Ranga, M; A triple helix system for knowledge based regional
development: from “spheres” to “space”
[Eun, Lee; and Wu 2006] Eun, Jong-Hak, Keun Lee, and Guisheng Wu. 2006. “Explaining University-Run
Enterprises in Cina: A Theoretical Framework for University-Industry Relationship in Developing Countries
and Its Application to Cina.” Research Policy 35: 1329–46.
[Geiger, Roger L.2004]Geiger, Roger, L.; American Resarch Universities Since World War II: Research and Relevant
Knowledge, Transaction Publishers: New Brunswick (USA) and London (UK)
[Hatakenaka, 2009] Hatakenaka, S.; The Role of Higher Education in High-Technology Industrial Development:
What Can International Experience Tell Us?Annual World Bank Conference on Development Economics
[Hatakenaka, 2004] Hatakenaka, S.; University-industry partnerships at MIT, Cambridge and Tokyo; Routledge,
New York
[Hatakenaka 2008] Hatakenaka, S.;The role of higher education in high tech industry development: what can
international experience tell us? Conference proceedings for the World Bank ABCDE Conference 2008,
Cape Town
[Hill and Tandon, 2010] Hill Hal and Prateek Tandon; Innovation and Technological Capability in Indonesia,
http://siteresources.worldbank.org/EASTASIAPACIFICEXT/Resources/226300-1279680449418/
HigherEd_InnovationandTechnologicalCapabilityinIndonesia.pdf
[IMHERE 2012] Preliminary result of tracer studies as presented in the Workshop and Training on Indonesia
National Tracer Study Network (INDOTRACE), Denpasar 24 -25 October.
[Investor Daily, 2012] 2015 Industri serap 800 ribu ton kakao, Investor Daily, 15 October
[Kroll and Leifner 2008] Kroll, Henning, and Ingo Leifner “Spin-Off Enterprises as Means of Technology
Commercialisation in a Transforming Economy—Evidence from Three Universities in Cina.” Technovation28:
293–313.
[LIPI, 2009] Papipptek, “Study on the status of S&T development”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
[Ma 2007] Ma, Wanhua. 2007. “The Flagship University and Cina’sCina’s Economic Reform.” In World Class
Worldwide: Transforming Research Universities in Asia and Latin America, ed. Philip G. Altbach and Jorge
Balán. Baltimore: Johns Hopkins University Press
[Mathew 2010] Mathew, G.E.; “India’s Innovation Blueprint” Chandos Publishing, Oxford
[MEXT, 2010] Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT); Kokuritsu Daigaku
Hojinkago no Genjo to Kadai nituite (Chukan Hokoku); Status Quo and Issues in Post Corporatization of
National Universities (Mid-term report).
[Mowery et al. 2004] Mowery, David, Richard R. Nelson, Bhaven N. Sampat, and Arvids A. Ziedonis. 2004. Ivory
Tower and Industrial Innovation: University-Industry Technology Transfer before and after the Bayh-Dole Act.
Stanford, CA: Stanford University Press.
[MP3EI, 2011] Coordinating Minister for Economic Affairs, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025
[Odagiri and Goto 1996] Odagiri, Hiroyuki, and Akira Goto. 1996. Technology and Industrial Development in
Japan: Building Capabilities by Learning, Innovation and Public Policy. Oxford: Oxford University Press
[Peterson, Patti McGill.2012] Peterson, Patti McGill; A global framework: liberal education in the undergraduate
curriculum.In Patti McGill Peterson ed.Confronting Challenges to the Liberal Arts Curriculum: Perspectives of
Developing and Transitional Countries.
[Soenarso 2011] Soenarso W.S.; Pengembangan Science and Technology Park di Indonesia
[Stokes, 1997] Stokes, D. E.; Pasteur´s Quadrant: basic science and technological innovation, The Brookings
Institution, Washington.
[Reuters 2012] Taylor,M; and Koswanage, N; Yee Kiat, C.; reported for the story from SINGAPORE; Editing by Ed
Davies (Reuters) Mon Jul 16 4:39am EDT
[Rosenberg and Nelson 1994] Rosenberg, Nathan, and Richard Nelson. 1994. “American Universities and
Technical Advance in Industry.” Research Policy 23: 323–48.
[Setiawan, 2012] Setiawan, B.; interview session with the study team, 25 May 2012
[Statistics, 2012] Statistics Indonesia, Labor force situation in Indonesia February 2012, 33/05/Th. XV, May 7th,
2012
[THES, 2009] Times Higher Education Supplement, World Ranking Universities 2009, http://www.
timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/2009-1010/world-ranking
[Thursby and Thursby 2007] Thursby, Jerry G., and Marie C. Thursby. 2007. “University Licensing.” Oxford Review
of Economic Policy 23 (4): 620–39.
[Tujil, et al, 2012] Tuijl, E. van; Carvalho, L; Winden, W. Van& Jacobs, W.; ‘Multinational Knowledge Strategies,
Policy and the Upgrading Process of Regions: Revisiting the Automotive Industry in Ostrava and Shanghai’ in
European Planning Studies Vol. 20, No. 10, October
[Vroeijenstein, 1995] Vroeijenstein, T.; Improvement and accountability: navigating between Scylla and
Charybdis, guide for external quality assessment in higher education, Higher education series 30, Jessica
Kingsley Publishers, London N1 9JB
[World Bank, 2011] Skills for the Labour Market in Indonesia: Trends in demand, gaps and supply
[World Bank a), 2012] Putting Higher Education to Work – Skills and Research for Growth in East Asia, World Bank
East Asia and Pacific Regional Report, Washington, D.C.
[World Bank c), 2012] POLICY NOTE 4 Constraints on Productivity and Investment in Indonesia’s Manufacturing
Sector: Survey-based Analysis of Business Constraints
[Wu, Weiping, and Zhou, Yu.2011] The third mission stalled? Universities in Cina’sCina’s technological progress in
Journal of Technology Transfer, J Technol Transf DOI 10.1007/s10961-011-9233-8
19 1-21 adalah universitas dengan status BLU, sementara 22-28 merupakan universitas otonom (BHMN)
1 Universitas Trunojoyo
2 Politeknik Negeri Bali
3 Universitas Malikussaleh
4 Universitas Negeri Makassar
5 Universitas Padjadjaran
6 Institut Pertanian Bogor
7 Politeknik Manufaktur Bandung
8 Universitas Negeri Malang
9 Universitas Airlangga
10 Universitas Pendidikan Indonesia
11 Universitas Bengkulu
12 Universitas Islam Malang
13 Universitas Riau
14 Politeknik Pertanian Pangkep
15 Politeknik Perkapalan Surabaya
16 Universitas Negeri Padang
17 Universitas Syiah Kuala
18 Universitas Udayana
19 Universitas Gadjah Mada
Alokasi Anggaran
Alokasi bagi Kementerian Riset dan Teknologi serta Institusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
A
Nasional Lainnya
Kementerian Riset dan Teknologi 672.266.000.000
LIPI 727.928.300.000
LAPAN 547.120.700.000
BATAN 659.374.100.000
BPPT 851.620.400.000
BAPETEN 84.217.900.000
BSN 97.996.500.000
TOTAL 3.640.523.900.000
Alokasi bagi Kementerian dan Institusi Negara untuk Mendukung Pengembangan Ilmu
B
Pengetahuan dan Teknologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 671.991.100.000
Kementerian Transportasi 207.047.400.000
Kementerian Kesehatan 460.274.600.000
Kementerian Kesehatan 266.339.000.000
Kementerian Kelautan dan Perikanan 536.913.500.000
Kementerian Pekerjaan Umum 419.822.000.000
Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi 163.690.700.000
Kementerian Pendidikan dan Budaya (Dirjen Dikti – Penelitian dan Pengabdian
693.700.000.000
Kepada Masyarakat)
TOTAL 3.419.778.300.000
C Alokasi bagi Kementerian dan Institusi Negeri untuk Mendukung Perumusan Kebijakan
Kementerian Pendidikan dan Budaya 1.304.538.200.000
Kementerian Dalam Negeri 6.347.500.000
Kementerian Pertahanan 143.810.700.000
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2.026.700.000
Kementerian Keuangan 447.612.500.000
Kementerian Agama 595.646.000.000
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 7.105.800.000
Kementerian Sosial 187.157.500.000
Kementerian Perdagangan 4.456.000.000
Kepolisian Nasional 5.852.200.000
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 8.044.000.000
TOTAL 3.002.597.100.000
D GRAND TOTAL (A+B+C) 10.062.899.300.000
PEMERINTAH PUSAT
Unit Pengembangan Pendidikan
16 Kokok Haksono Pimpinan
Politeknik
17 Sangkot Marzuki Direktur Eijkman Institute
Sekretaris Dewan
18 Nizam Dirjen Dikti
Pendidikan Tinggi
19 Dadang Sudiyarto Kepala Perencana Dirjen Dikti
Deputi Pengstudi
20 Tatang A. Taufik BPPT
Kebijakan Teknologi
Direktur Pengstudi
21 Derry Pantjadarma Kebijakan Peningkatan BPPT
Daya Saing
Asisten Deputi Relevansi
22 Dading Ahmad Gunadi Kemenristek
Riset Iptek
ORGANISASI INTERNASIONAL
32 Sutarum Wiryono Project Officer ADB
Principal Social Sector
33 Wolfgang Kubitzky ADB
Economist
34 Destriani Nugroho Project Officer EU –Delegasi
35 Kay Ikranegara USAID/HELM
36 Siwage Negara The World Bank
37 Christopher J. Smith The World Bank
ACDP
38 Alan Prouty Pemimpin Tim ACDP
39 Abdul Malik Kelompok Penasihat Inti ACDP
40 David Harding Kelompok Penasihat Inti ACDP
41 John Virtue Kelompok Penasihat Inti ACDP
42 Basilius Bengoteku Spesialis Program ACDP
UNIVERSITAS NEGERI
Wakil Direktur Bidang
43 Mohammad Nurdin Politeknik Manufaktur Bandung
Kerjasama
Wakil Direktur Bidang
44 Suharyadi Pancono Politeknik Manufaktur Bandung
Kesiswaan
45 Armyn Langie Professor Departemen Teknik Elektro ITB
46 IGA Wenten Professor Departemen Teknik Kimia ITB
47 Heru Wibowo Poerbo Professor Departemen Arsitektur ITB
48 Intan Ahmad Professor Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
49 Bagiono Professor Departemen Teknik Kimia ITB
UNIVERSITAS SWASTA
Wakil Rektor Bidang
Keuangan dan
110 Stevanus Hadi Darmadji Universitas Surabaya
Pengembangan Sumber
Daya
Wakil Rektor Bidang
111 Nemuel Daniel Pah Universitas Surabaya
Akademik
112 Joniarto Parung Rektor Universitas Surabaya
Institut Penelitian dan
113 Yoan Nursari Sianjuntak Pengabdian Kepada Universitas Surabaya
Masyarakat
Kantor Hubungan Luar
114 Adi Tedjakusuma Universitas Surabaya
Negeri
115 Andreas Alfianto Dosen Universitas Surabaya
Department of Industrial
116 Dina Natalia Prayogo Kepala
Engineering
117 Gunawan Tjahyono Rektor Universitas Pembangunan Jaya
118 Andre Sugijopranoto SJ Direktur ATMI Surakarta
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 101
Annex I: Makalah yang disajikan pd 10th Triple Helix Conference 2012
Annex
Annex I: Makalah
I: Makalah yang
yang disajikan pd disajikan pd Conference
10th Triple Helix 10th Triple
2012
Helix Conference 2012
Available online at www.sciencedirect.com
University,Industry,
University, Industry,and
andGovernment
Government partnership:
partnership: its
itspresent
presentand
andfuture
futurechallenges
challangesin in
Indonesia 20 20
Indonesia
Bagyo Y. Moeliodihardjo 21, Biemo W. Soemardi 22, Satryo S. Brodjonegoro 23, Sachi Hatakenaka 24
Bagyo Y. Moeliodihardjo21, Biemo W. Soemardi22, Satryo S. Brodjonegoro23, Sachi Hatakenaka24
Abstract
Abstract
This paper presents the current situation of the university – industry – government
partnership in Indonesia, in the context of university readiness to contribute to the
This paper presents the current situation of the university – industry – government partnership in
government strategy for economic development as outlined in the recent MP3EI
Indonesia,(Masterplan
in the context of university
for Acceleration andreadiness
Epansionto
ofcontribute to the government
Indonesia Economic Development) strategy
2011- for economic
2025. Since the higher education system is highly diversified in term of its capacity to of Indonesia
development as outlined in the recent MP3EI (Masterplan for Acceleration and Epansion
Economiccontribute
Development) 2011-2025.
to the MP3EI, the Since thereviews
paper higher the
education
current system
status inis terms
highlyofdiversified
three in term of
its capacity to contribute
different types oftoinstitutions:
the MP3EI,research
the paper reviewsproduction
oriented, the current status inand
oriented, terms of three different
human
types of resources
institutions: research oriented
development oriented, production oriented, and human resources development
ones.
oriented ones.
Initialfinding shows that the government allocated very small budget for research
(0.08%
Initialfinding of GDP)
shows thatand
the universities
government play a criticalvery
allocated role small
in thebudget
nationalfor
research capacity.
research (0.08% of GDP) and
universities play a critical role in the national research capacity. Although research isthestill considered
Although research is still considered as very low in the government priority setting,
as very lownumber
in theofgovernment
patents and international publications
priority setting, the number haveofsignificantly
patents andincreased in the publications
international
last few years. Collaborative activites have been carried out to date include, service
have significantly increased in the last few years. Collaborative activites have been carried out to date
and training, patenting, collaborative R&D, networking events, industrial collaboration
include, service and training, patenting, collaborative R&D, networking events, industrial collaboration
for education, incubators, SME support, and science parks.
for education, incubators, SME support, and science parks.
20 This paper and
is prepared for theappear
“10th Triple
University
21
industry toHelix Conference”
be still in thetostate
be heldofon“institutional
August 8-10, in Bandung
sphere”- instead
Indonesia of “consesus space”
Faculty of Computer Science, Univeristy of Indonesia, Depok 16424, Indonesia
lacking
22 understanding
Faculty about Engineering,
of Civil and Environmental each other. The Institute
Bandung uncertainty aboutBandung
of Technology, institutional framework available for
40132, Indonesia
universities
23
Faculty ofdrives academics
Mechancial to develop
and Aeronautics partnership
Engineering, withofindustries
Bandung Institute Technology,individually
Bandung 40132,instead
Indonesiaof institutionally.
24
Independent
Universities Consultant,
feel that there43 Soho
areLofts,
onlyRichmond Mews, London,
few domestic W1D3DD, United
companies with Kingdom
interest and/or capacity to innovate,
with the bulk of industry concentrated in assembly operations. Implementation of MP3EI outside Jawa
Pengembangan strategi kemitraanperguruan tinggi, industri, dan pemerintahHalaman105
might require expertise and capacity that are only available in institutions in Jawa, that it is essential to
develop mechanisms for building local institutional capacity.
We conclude that all three institutional spheres require further development before each can take
purposeful action. Having said that, the study team found a number of cases whereby the three parties
are willing, even eager, to develop partnerships. With an appropriate and comprehensive strategy, there
is significant potential to create productive environment potentials could be developed into knowledge,
consensus, and innovation space.
20 This paper is prepared for the “10th Triple Helix Conference” to be held on August 8-10, in Bandung - Indonesia
21 Faculty of Computer Science, Univeristy of Indonesia, Depok 16424, Indonesia
22 Faculty of Civil and Environmental Engineering, Bandung Institute of Technology, Bandung 40132, Indonesia
23 Faculty of Mechancial and Aeronautics Engineering, Bandung Institute of Technology, Bandung 40132, Indonesia
24 Independent Consultant, 43 Soho Lofts, Richmond Mews, London, W1D3DD, United Kingdom
1 Introduction
Today, it is widely accepted that higher education is critical for economic growth and national
competitiveness. Excellence in scientific research and better linkages to industry and government are
regarded as key policy priorities in practically all OECD countries, with more governments developing
explicit innovation strategies with various support programs to encourage universities to take on
greater economic roles. Emphasis on university-industry-government partnerships is a global trend not
only in OECD countries, but also in emerging economies and increasingly indeveloping countries.
Indonesia is no exception in this respect. The government of Indonesia has just recently launched the
MP3EI (Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development), intended to drive
the realization of high, balanced, fair and sustainable economic growth, through two key factors, i.e.
acceleration and expansion [MP3EI]. Indonesia plans to accelerate its existing development programs,
especially in boosting value adding of the prime economic sectors, increasing infrastructure development
and energy supply, as well as the development of human resources as well as science and technology.
Besides acceleration, the government also pushes for the expansion of economic development so that
its positive effects can be felt not only at each and every region in Indonesia, but also by all components
of the community across Indonesia. This economic development strategy requires a strong university,
industry, and government (UIG) collaboration and partnership. The objective of this paper is to review
the current status of universities25 in Indonesia in terms of their capacity to contribute to this economic
development strategy.
In this connection, we use the triple helix model as a framework for our analysis. Etzkowitz extended the
triple helix model to describe the development of regional innovation systems (Etzkowitz 2002, Casas
et al 2000). According to his model, the three separate institutional spheres, universities, industry and
government, operate independently from each other initially. In the first stage of the development of
regional innovation systems, the region develops a ‘knowledge space’, where knowledge institutions
begin to concentrate certain R&D activities related to the region, with some networks emerging around
them. In the second phase, the region develops a ‘consensus space’ where actors from three spheres
begin work together to generate new strategies and ideas. In the third phase, the region develops a
‘innovation space’, in which new organizational mechanisms are developed or introduced to realize
strategies developed in the previous stage.
The model has also been extended to describe the positioning of the UIG spheres with respect to each
other. In a statist regime (Triple Helix I), government plays the lead role, driving academia and industry.
In a laissez-faire regime (Triple Helix II), industry is the driving force, with the other two spheres as
ancillary support structures [Etzkowitz and Marina, 2010]. In a knowledge-based society, university and
other knowledge-producing institutions play an increasing role, acting in partnership with industry and
government and even taking the leadership in joint initiatives, in a balanced model (Triple Helix III). In
a university-led developmental model, the university takes the lead. The university is the gravitational
center that intiates the partnership. In this case, the very first step to come to a productive partnership
is to have a preliminary encounter with industry and the government.
The specific questions that we address in our endeavour to develop regional innovation systems across
Indonesia in this paper are:
25 The term “universities” is used throughout this paper to represent all types of higher education institutions, i.e. university,
institute, college (sekolah tinggi), academy, and polytechnics.
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 103
Annex I: Makalah yang disajikan pd 10th Triple Helix Conference 2012
Our findings are based on a review of government documents, existing data within Directorate General
of Higher Education (DGHE), and preliminary interviews with individuals and focus group representing
key players from university, industry, as well as the government. When this paper was submitted, we
have conducted in-depth interview sessions with 32 individuals and focus group meetings with 30
persons, and the number will keep growing throughout the study period.
Public universities 37
Private universities 3
Government officials 20
Industries 2
In order to explore the full scope of contributions of higher education institutions for MP3EI, the paper
reviews the current status in terms of three different types of institutions: research oriented, production
oriented, and human resources development oriented ones.
The higher education system in Indonesia does not have a long history, but today constitutes a very
large and highly complex system, with more than 5.23 million students and gross enrolment ratio of
27.4% [DGHE, 2011]. There are 92 public institutions, more than 3,200 private institutions, dozens service
institutions, 52 institutions under Ministry of Religious Affairs, and one Open University. The Masterplan
for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development (MP3EI) 2011-2025 sets 6 corridors
for economic development, each with its own specific competitive and comparative advantages. The 6
economic corridors are 1) Sumatera, 2) Jawa, 3) Kalimantan, 4) Sulawesi and North Maluku 5) Bali, NTB,
and NTT, and 6) Maluku and Papua [MP3EI, 2011]. The distribution of institutions and enrolment is not
evenly distributed among the 6 economic corridors, as illustrated in table-2, that a different strategy is
needed to foster the UIG partnership.
Table-2: Distribution of higher education institutions in the MP3EI corridors [Dikti, 2012]26
Public Private
Higher education Higher education
Economic corridor Polytechnics Polytechnics
institutions institutions
Sumatera 7 16 17 762
Jawa 9 23 68 1102
Kalimantan 2 4 7 84
Sulawesi, North
4 8 6 336
Maluku
Bali, NTB. NTT 5 6 11 151
Maluku, Papua 3 5 5 130
Total 30 62 114 2565
The circumstances around higher education funding have changed significantly in the past several
years. With the 4th amendment of the Constitution by the Supreme Consultative Assembly (MPR) in
August 2000 requiring 20% of the government budget to be allocated to the education sector, the level
of funding has increased dramatically. In 2012 the allocated budget for Directorate General of Higher
26 For private institutions: a) 2010 figure, and b) North Maluku is consolidated under corridor 6.
Education (DGHE) has reached IDR 32.6 trillion, almost three folds compared to the 2007 figure of IDR
12.9 trillion, as illustrated in table-3. However, there is considerable concern being expressed within the
sector about the effectiveness of such funding increase. For instance, the level of investment increased
almost 4 folds between 2007-2012, while the operation and maintenance only doubled. While the four
fold increase of self-generated revenues raises the possibility that universities can supplement the
shortfall of operation and maintenance from their own resources, the regulatory environment does not
make flexible management of financial resources easy in public universities.
Table-3: Allocated budget for DGHE 2007-2012, in IDR trillion [Dikti, 2012]
In spite of such a large scale increase in funding, the proportion allocated for the Directorate of Research
and Community Services has been low and stagnant for some years at around IDR 436 billion or merely
1.34% of the current DGHE budget. A quick comparison with one leading Indonesian pharmaceutical
company, PT Kalbe Farma27, which spends IDR 200 billion annualy for its research and development
[Setiawan, 2012] demonstrates the low level of government funding for research in higher education.
Indeed, it is not just funding of research in higher education that is low; the overall government R&D
budget is extremely low at 0.08% of GDP [Trading economics,
Makalah 2012], pada
yang disajikan reflecting the higherto
10th Triple low
Helix Conference
government priority given to R&D. The low R&D investment has resulted in relatively low number of
patents, journal, and researchers, compared to the neighboring countries, as presented in figure-1.
Figure1: Figure1:
Patents, Journal
Patents, andand
Journal Researchers
Researchersin
inR&D {Watkins,
R&D [Watkins, 2007]
2007]
4,500
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0
s
a
a
nd
an
a
a
al
sh
a
ne
nk
si
di
si
re
ep
na
la
st
de
ne
ay
In
pi
La
Ko
ai
ki
N
et
ip
la
al
do
Th
Pa
Vi
i
i ll
ng
M
Sr
In
Ph
Ba
Patents Granted by USPTO, avg 2001-05 Technical Journal Articles/Mil. people, 2003
Researchers in R&D / Mil. People, 2004
Since research capacity is a key factor in the context of fostering UIG collaborations, it is important to
Since research capacity
take into account is the
a key factor in
disparity in research
the context of fostering
capacity UIG collaborations,
among institutions it is The
in Indonesia. important toof
first type take
into account
institutions is for those who possess a certain level of capacity to conduct research and innovation, and is
the disparity in research capacity among institutions in Indonesia. The first type of institutions
for thosethey
whoare possess
mostlyalocated
certaininlevel
Jawa.ofThe
capacity
secondto conduct
type researchis and
of institutions innovation, and
the polytechnics, which they aremore
focus mostly
located inon Jawa. The second
production orientedtype of institutions
academic is obvious
activities. An the polytechnics,
example is which focus more
the “production based oneducation”,
production
oriented currently
academic activities.byAn
implemented obvious example
the Polytechnics Manufacture is the
Bandung (Polman).based
“production education”,
Therefore currently
it is important to
implemented by the Polytechnics Manufacture Bandung (Polman). Therefore it is important to understand
the distribution of polytechnics in the 6 corridors, as illustrated in table-2. The third and the last category is
for institutions considered
27 PT Kalbe Farma is theas the pharmaceutical
largest main supplier of competent
company in Indonesia and relevant graduates for the labor market,
particularly the industries.
There has been recognition amongst policy makers that Indonesian higher education system is too large a
system to manage in a centralized fashion. Therefore the Directorate General of Higher Education (DGHE)
has begun to gradually decentralizing its authority and providing more autonomy to the institutions since
the early 1990s by introducing the newPengembangan
paradigm Strategi
concept. ThePerguruan
Kemitraan first step was
Tinggi, encouraging
Industri, dan Pemerintahinstitutional
di Indonesia 105
planning and financial autonomy through competitive grants introduced in the mid-1990s.
Annex I: Makalah yang disajikan pd 10th Triple Helix Conference 2012
understand the distribution of polytechnics in the 6 corridors, as illustrated in table-2. The third and the
last category is for institutions considered as the main supplier of competent and relevant graduates for
the labor market, particularly the industries.
There has been recognition amongst policy makers that Indonesian higher education system is
too large a system to manage in a centralized fashion. Therefore the Directorate General of Higher
Education (DGHE) has begun to gradually decentralizing its authority and providing more autonomy
to the institutions since the early 1990s by introducing the new paradigm concept. The first step was
encouraging institutional planning and financial autonomy through competitive grants introduced in
the mid-1990s.
Since the year of 2000 the government gradually converted the legal status of 7 public universities
into a separate entity, called BHMN (Badan Hukum Milik Negara) through the Government Regulation
152/2000 for UI, 153/2000 for UGM, 154/2000 for IPB, 155/2000 for ITB, 56/2003 for USU, 6/2004 for UPI,
and 30/2006 for UNAIR. The legal status provides these universities with autonomy and self governance
through its Board of Trustees, including managing its own financial and human resource matters. The
Higher Education Long Term Strategy 2003-2010 also consistently supported the development of
autonomous institutions through its 3 pillars: namely, nation’s competitiveness, ddecentralization and
autonomy, and organizational health.
To provide a stronger legal basis for autonomy, the Law 9/2009 on Educational Legal Entity was passed
by the Parliament in 2009. However, the Law was challenged at the Constitutional Court on the grounds
that it introduced legal inconsistency and it was ultimately cancelled in 2010. The recent attempt to pass
a new Higher Education bill at the Parliament has been unsuccessful yet, and a new revision of the bill is
currently being debated in Parliament.
Traditionally, the main role of universities has been to provide education and to produce graduates
to meet the needs for the workforce in industry and government generally. Rapid economic growth
combined with structural change in industry today, call for greater emphasis on relevance of education,
and new needs for research based collaborations. While a vast majority of universities remains focused
on teaching, more universities are moving toward research-oriented institutions. To facilitate better
interaction with industry and promote greater research orientation, DGHE has consistently launched a
number of initiatives to support university research and community service.
Since early 1990s the DGHE has provided more than 20 different grant schemes, ranging from grants for
fundamental research to applied and collaborative research. Initially, those programs aimed at improving
the quality of higher education through the enhancement of university R&D capacity. Through years
of implementation, the quality of university R&D is receivinghigher appreciation by industries. And
as the university research capacity is improving, the industry is also increasingly demanding for more
applicable results from university research.
In recent years the DGHE has put considerable attention on establishing and fostering university -
industry research collaborations. Amongst the 12 grants schemes currently administered by DGHE,
RAPID (Riset Andalan Perguruan tinggi dengan Industri) is the one specifically designed to foster synergy
between the university and the industry R&D. Under such scheme the industry becomes the entry point
for researchers to support and supply the technology needed by the industry. At a lesser degree, other
grant scheme such as national strategic research (STRANAS) also requires the university to collaborate
with the industry or government agencies in conducting research in one of twelve research themes
[DP2M, 2012a]. In relation to MP3EI program, DGHE also launched Penprinas MP3EI which requires
collaboration with local governments and/or other government agencies. Although remainsrelatively
small, the government-research funding has increased almostfour-fold in the last 6 years; from IDR 76
billion in 2006 to nearly IDR 290 billion in 2012 [DP2M, 2011]. Out of those figures, roughly 15% are
allocated for various collaborative research activities.
A similar approach is implemented for university community service programs. Evolving from traditional
community service program, DGHE initiates S&T-based service schemes for the universities to engage
with small-medium enterprises and the community [DP2M, 2011]. Unlike traditional community service
program, under this program the university is to collaborate with the community to establish new S&T-
based entrepreneurs or to improve the S&T capacity of SMEs. In addition, Hi-Link is a program with
the objective of building capacity of the university in applying S&T through collaborative works with
industry and local government [DP2M, 2012b].
Universities are also actively engaged in research activities funded by other government agencies,
such as the Ministry of Research and Technology (MoRT). Currently MoRT is administering the National
Incentive Research Program, which is divided based on R&D stages (basic, applied, improvement of
production system capacity, as well as diffusion and application of research) in 7 areas (food resilience,
energy, ICT, transportation, defence & security, health & medical technology, advanced material) and
two supporting factors (basic science and social science). The objective of this program is to strengthen
the national innovation system in supporting MP3EI. The achievement in this program is indicated by
the establishment of centre of excellence in research and the development of research consortium,
facilitating improvement of research productivity and effectiveness, as well as increasing participation
and investment of private sector. The development of research centres in excellence (CoE) opens to all
R&D units, including university, government, and industries [Ristek, 2012]. This program highlights the
importance of R&D unit’s capacity in absorbing technology, developing demand driven technology,
disseminating technology, and utilization of local resources.
Unlike those at DGHE, this incentive research program opens to ministerial R&D units, government
research agencies, universities, local government as well as private entities [Ristek, 2011]. Although
this program opens to wider applicants, the proportion of university researchers involved remains
significant. In 2012, for instance, approximately 51% of incentive research grants were awarded to
universities, amounting roughly to 47% of the IDR 90 billion budget [MoRT, 2012].
Aside from the two aforementioned major government-support programs, quite number of research
activities are also conducted by various organizations using various public and private funding. Again,
university researchers are involved, either institutionally or individually, in various forms of these
activities. Therefore, at least at this current stage, the university researchers are regarded as the most
valuable asset for the national R&D.
There are many examples where government-led programs have successfully initiated and fostered
UIG partnerships, while many others have yet to deliver satisfying results.Regardless of the outcome,
such experiences and recent government attempt to increase R&D capacity should still be considered
as important keys for the development of future strategy for UIG partnership. It is also important to
acknowledge that the universities, especially individual researchers, are still the engine of research.
Unfortunately, the strength of university research is not evenly distributed across the nation, where
domination of top universities on the national research programs is noticeable. Consistently, UGM,
ITB, UI, and IPB post the highest number of research grants in DGHE program, followed by UNAIR, UB,
UNPAD, ITS, UNS and UNDIP. These universities are responsible for about 43% of high profile research
activities (RAPID, strategic research, etc.) in 2012. Similar concentration is also apparent on researchers
under MoRT’s incentive research program.
There have been at least 3 government’s attempts to introduce incentives and facilitate industries to
invest in R&D activities made to date, though none has been effective. The first is the Law 25/2007 on
Investment, initiated by the Board of Investment, provides incentives and facilities for investment, i.e.
land ownership, income tax, and import tax, in certain industrial sectors; the second is the Government
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 107
Annex I: Makalah yang disajikan pd 10th Triple Helix Conference 2012
Regulation 35/2007, initiated by the MoRT, provides tax incentives to drive industries to make investment
in R&D; and the third is the Presidential Decree 38/2008, initiated by the MoI, aimed to encourage
industries to invest in R&D. The main reason for their ineffectiveness appears to be the lack of detailed
implementation planning. While these laws/regulations are presumably established with the best of
intensions, claiming any support under them is practically impossible given that applications must take
in to account conflicting or overlapping laws and regulations. In the current “reformation era”, officials
prefer not to take any risks when challenged with conflicting regulations.
The last decade has seen a significant change in terms of how universities work with industry and
government in Indonesia. Traditionally, in the absence of coherent government policies that allow
institutions to take proactive roles in orchestrating UIG, many university-industry partnerships have
been developed through individual professors largely privately. Since 2000, with the experimental
introduction of institutional autonomy in seven top tier institutions, central university administrations
became much more active in orchestrating institutional actions, particularly in promoting income
generating activities. Sometimes, this was done through the establishment of foundations to facilitate
legal and monetary transactions, as the legal basis for such activities were not fully in place. The national
context has also been ripe in emphasizing the need for universities to work better with industry, as various
government agencies, the Indonesian Academy of Science (AIPI), as well as business organizations
hosted events and forums on innovation, entrepreneurship, and partnerships. The result is a diverse
array of activities emerging as various types of institutions began to explore different options to pursue
new relationships with industry.
More service and training contracts: A number of universities have stepped up effort to procure service
and training contracts with various government and industrial clients. The desire to generate income
prompted by the move to autonomy has been the critical driver for this.
Patenting: More universities have begun the process of patent applications with government support.
This is in contrast to the past when the normal practice was for individual academics to give away
intellectual property rights to itsindustrrial partner.
Collaborative research and development: Many academics find difficulties in identifying industrial
partners with interest and trust to engage in collaborative research or development, and there is a
much greater recognition that institutional effort are needed in this respect. Gadjah Mada University
is one example of an institution developing its institutional capacity to identify appropriate industrial
partners and topics of mutual interest and is making progress in increasing cash support from industry
in research.
Networking events: Lack of opportunities for university academics to meet industrialists is one salient
issue. In response to this perceived need, higher education institutions are themselves beginning
to orchestrate events that bring together industry and government representatives with university
academics. ITS is an example of an institution which has initiated a series of UIG forums in several
thematic areas of regional interest. A few other universities has taken proactive steps in organizing its
own networking events to forge meetings between industrialists and their own academics.
Industrial collaboration for education: Good practices to enhance relevance of education are emerging in
some units within public institutions as well as private institutions. These include: surveying/obtaining
feedback from employers systematically, getting industry staff to teach specific subjects of emerging
importance, upgrading staff knowledge in new areas in collaboration with industry.
Small and Medium Enterprises (SME) support: Universities have traditionally seen community service as a
legitimate part of their work, and as such working with local SME has been established activities in some
universities. Working with SME, however, appear to be receiving renewed emphasis in some universities.
Science Parks: Several universities are in the early process of establishing science parks close to their
campus, though the direction or content of the venture are not yet clear.
5 Preliminary analysis
From our interviews and focus group discussions, several distinct issues emerged that could jeopardize
the further development of UIG. The following section presents the result of our analysis.
5.1 Lack of mutual understanding and trust between university and industry
There appears to be a significant lack of mutual understanding and trust between university and
industry communities. We found universities habitually developing their research strategies in isolation
from industry. Some academics have little respect for industry as they see industrialists as far too
money-oriented or too practical and lacking certain idealism. From the perspective of industry, higher
education institutions often look like ivory towers, bureaucratic, too focussed on academic research
and far too slow to be able to provide useful help. The lack of trust is confounded by the fact that
many academics do not understand the problems faced by industry or their needs, and the fact that
industrialists often cannot present their problems in a coherent manner. The analogous situation might
be found between an inexperienced doctor and an inarticulate patient; only if the doctor has a solid
understanding of the underlying problems related to symptoms that patients are able to convey would
he/she be able diagnose properly. Both parties appear to be in the state of “institutional sphere” instead
of “consesus space” lacking understanding about each other or mutual trust [Etzkowitz, 2002].
Nonetheless, the study team have come across a number of successful collaborations between
individual university staff and industrial partners, where they developed understanding and mutual
trust over time. The question is whether there are ways in which better understanding and trust can be
developed more systematically.
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 109
Annex I: Makalah yang disajikan pd 10th Triple Helix Conference 2012
and revenues from any collaboration have to be deposited to the state treasury, and can be used only
after submitting a proposal for activities, according to a standardized tarif. Since the government
sponsored research grant cannot be disbursed as a block grant, researchers must also pay considerable
attention to detailed administrative rules and procedures. The current uncertainty about what kind of
autonomy will be available to universities is casting serious doubt about the future of UIG partnerships
particularly amongst academics who have been most actively engaged with industry.
Many of the government funding rules or norms are also not conducive to innovation and creativity,
i.e. late disbursement (in some cases up to 6 month delay), the requirement that all the money must be
spent within the financial year, government standard procurement procedures.There is also fear that the
rigidity of government bureaucracy has strongly affected the staff mind set and mentality, and becomes
a serious hindrance for developing a conducive environment for creativity and innovation to blossom.
The tendencies for individuals (or even institutional units) to avoid the bureaucracy, by conducting
collaborations without involving the central administration can lead to other problems. Individuals may
be exposed to unreasonable risks; reconciliating disputes may be much more difficult for individuals
to handle. Academic staff may also become overloaded with non-campus work and become negligent
of their campus obligations. Perhaps, the most significant problem is that fact that any lessons from
collaborations will then stay with individuals, and not shared across the institution.
In an emerging economy such Indonesia, the industrialization process has just begun to enter the
deepening process from labor intensive to skill intensive. Therefore it is not surprising that universities
feel that there are not enough companies that they can collaborate with on research. There are few
domestic companies with technological sophistication and interest and/or capacity to innovate, with
the bulk of industry concentrated in assembly operations or extraction of natural resources with little
value added. And yet, without industries playing a more proactive role in the UIG partnership, the Triple
Helix will just remain as an abstract concept. Worse, overreliance on government support could lead to
further weakening of industrial competitiveness. The role of industry within UIG triple helix scenario has
to be at least at par with university and government.
State owned enterprises seem to play a special role in this respect, as many university interviewees
gave examples of more robust working relationships with them (e.g. BioFarma, Pertamina, Krakatau
Steel), given their interest in domestic capacity building and relatively higher R&D orientation. The
cases of the government intervention in PT Dirgantara Indonesia (debt restructuring) and PT PINDAD
(manufacturing armored personel carier for the army in partnership with ITB) are taken as examples
of good practices by some [Kompas,2012]. In general, most stakeholders we interviewed called for far
clearer government policies to selectively support the development of domestic industry. There has
also been some suggestions to revitalize the state owned enterprises, particularly those with high
added value to ensure that there are key knowledge-oriented industrial firms which could engage in
productive partnerships with universities.
The regional disparity in the level of economic development is very clear, and has been a source of
concern for policy makers. The metropolitan Jakarta is far more advanced economically than other
economic corridors outside Jawa; universities there are also more developed, well resourced, and diverse
than in many other regions. As presented in section 2, universities with stronger research capacity are
mostly loicated in Jawa, whilst 5 of the 6 economic corridors in MP3EI are located outside Jawa.
There is significant concern that the development of economic corridors outside Jawa requires expertise
and capacity that are only available in institutions in Jawa. It may be possible to solve short term
problems by mobilizing expertise from Jawa, but that could create other problems which may be social,
cultural, or political. It seems essential to develop mechanisms for building local institutional capacity.
6 Concluding remarks
Our conclusion is that currently the government, universities, and industries are still in their respective
institutional spheres in Indonesia, and a strong commitment as well as hard work are needed to develop
the knowledge, consensus, and innovation space. Much progress has been made in the past decade,
with a wider range of partnerships emerging, and with more institutions building capacity to play a
more proactive role in fostering better relationships. A decade of exploration has seen some successes,
but there is growing awareness amongst university community also that much more needs to be done,
and that it is not easy to do so.
Broadly, the directions that Indonesia needs to move appear reasonably clear. All three institutional
spheres require further development before each can take purposeful action. The government needs to
be able to develop effective policies that are implementable, and not at odds with the prevailing legal
framework. The universities has to develop institutional capacity to opearate strategically. Indonesia
must at least have a small critical mass of industrial firms that are ambitious enough to develop into
knoweldge-based industry.
The gap between universities and industry continues to be wide – indeed, some would argue that
it is getting wider as a result of changing industrial structure with increasing foreign investors and
weakening of state owned enterprises, or because of the changing nature of academy. It is not clear
whether universities develop their capacity taking into account industrial development objectives.
Identifying opportunities in an ever more complex industrial environment requires much more than
isolated efforts of individual academics. As more universities become research oriented, academic
publications are becoming performance targets; it is not easy to promote academics to work on
industrial collaboration, which requires much effort with little promise of reward.
There is much that institutions can do to close the gap; it could develop strategies, build support
structures, and create incentives for academics. And yet, the current environment does not look
promising in facilitating them to do so. Internally within universities, the appetite for more institutional
initiatives may not be strong amongst the very academics who have been movers and shakers of UIG.
To some of them, many institutional changes looked more like additional tax and bureaucracy without
producing benefits such as support, expertise or incentives. The process is complicated further by the
broader decentralization process taking place, where relationships between the central administration,
academic units and individual academics are being re-defined. To make the matters worse, the
regulatory environment is actually becoming much tighter. In the absence of established autonomy
law, institutions are thrown back to old rules which are being enforced more rigorously. There is precious
little room for institutions for maneuver.
Our preliminary analysis would suggest that the principal lever for overcoming such difficulties would
lie in the hands of government. It would be critically important to establish a firmer basis of institutional
autonomy through the autonomy law. The subsequent autonomy process would also need to be
set appropriately both through an appropriately defined regulatory environment as well as various
funding arrangements. However, the details of how best to proceed needs to be explored through a
more focused review of government side perspectives including key agencies such as DGHE, MoRT,
MoI, MoA as well as MoF. This is particularly the case given that there are indications that different
parts of governments think and react differently, and policy intentions as expressed by one part is not
necessarily implemented by another.
We have also seen indications that the overall level of commitment to R&D may be low. Research-based
UIG partnerships are potentially important, particularly in fields such as biological sciences, which could
enable Indonesia both to extract appropriate value from its rich biological resources and to support
appropriate conservation efforts. It would be important to examine the need for national research
capacity building effort in key areas of strategic importance.
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 111
Annex I: Makalah yang disajikan pd 10th Triple Helix Conference 2012
Indonesia has some government research capacity both under MoRT and other line ministries. In
order to explore the future role of university research, it would be important to obtain an overview of
governmental research, so that their roles, potential complementarity or collaboration potential can be
explored.
Another area that requires further examination is the perspective of industry in Indonesia. Their view
about the hopes and fears of the small number of companies that are known to be working with
universities within Indonesia, and obstacles do they see in the way of industry developing working
relationships with universities, are of importance for this study.
The findings of our paper have also been limited by the coverage of our interviews and focus groups,
which so far were largely limited to participants from Java. Further investigation would be critical
to illuminate the current status and issues unique to regions that are less developed economically,
particularly to explore potential development paths for universities so that they can play the appropriate
economic roles for developing economic corridors.
Having said that, the study team found a number of cases whereby the three parties are willing, even
eager, to develop partnerships. With an appropriate and comprehensive strategy, there is significant
potential to create productive environment potentials could be developed into knowledge, consensus,
and innovation space.
Acknowledgements
This paper is prepared by the team study on “Developing strategies for University, Industry, and
Government partnership”, for PT Trans Inter Asia under the ACDP program, funded by ADB-EU-AusAID,
with a view to developing strategies for improving university-industry-government partnerships
towards the end of 2012.
References
[Casas, 2000] Casas R., de Gortari, R., Santos, M.J.; The building of knowledge spaces in Mexico: a regional
approachto networking, Research Policy 29 _2000. 225–241, Elsevier
[DP2M, 2011], Guidelines for Community Services (in Bahasa Indonesia) - Panduan Pengabdian pada
Masyarakat
[DP2M, 2012a], Guidelines for Implementation of Research in Universities (in Bahasa Indonesia) -
Panduan Pelaksanaan Penelitian di Perguruan Tinggi
[DP2M, 2012b], Guidelines for Hi-Link Program 2012 (in Bahasa Indonesia) - Panduan Program Hi-Link
[Etzkowitz, 2002] Etzkowitz, H; The triple helix university – industry – government implications for policy
and evaluation, working paper 2002-11, Science Policy Institute, Stockholm, ISSN 1650-3821
[Etzkowitz and Marina, 2010] Etzkowitz, H., and Marina, R.; A triple helix system for knowledge based
regional development: from “spheres” to “space”
[MoRT, 2012 ] interview session with the Assistant to the Deputy for Relevance of S&T Research, MoRT
[MP3EI, 2011], Coordinating Minister for Economic Affairs / Ministry of National Development Planning/
National Development Planning Agency, MasterplanAcceleration and Expansion of Indonesia Economic
Development 2011-2025
[Setiawan, 2012], Setiawan, B.; interview session with the study team, 25 May 2012
[Watkins, 2007], Watkins, A.; “Universities, Competitiveness and National Innovation System”,Regional
Higher Education Conference Strategic Choices for Higher Education Reform, Kuala Lumpur, Malaysia
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 113
Annex II: Mengukur Kualitas Pendidikan Sarjana
Banyak yang menerapkan penjaminan mutu di institusi mereka hanya karena diharuskan oleh hukum dan
peraturan, misalnya akreditasi dan sertifikasi. Namun penjaminan mutu semestinya merupakan inisiatif
internal, daripada memenuhi tuntutan luar. Penting untuk menanamkan pemahaman pada semua yang
berkepentingan di institusi, yaitu Rektor, Dekan, pengajar, mahasiswa, orang tua, dan Dewan, bahwa
manfaat utama peningkatan kualitas adalah bagi institusi itu sendiri. Hanya dengan memahami konsep
inilah peningkatan kualitas dapat dijaga dan menjadi budaya penting di dalam organisasi.
Dalam usahanya menetapkan proses studi dan evaluasi internal secara berkelanjutan, Dirjen Dikti
mewajibkan semua institusi mendirikan unit penjaminan mutu (QA). Program pelatihan dilaksanakan
untuk staff pengajar yang ditugaskan menjalankan proses tersebut. Di tahun 2008 semua institusi
diminta mengajukan dokumen yang menjabarkan cara kerja QA internal mereka, dan tim pengkaji
ditugaskan menilai dokumen-dikumen tersebut serta melakukan kunjungan lokasi. Setelah Dirjen
Dikti menetapkan kewajiban pendirian unit QA, di tahun 2008 terdapat 24 universitas negerti dan 44
universitas swasta yang dinilai memiliki mekanisme QA yang baik. Saat ini hampir semua universitas
telah memiliki unit, namun efektifitasnya belum dipastikan.
Mekanisme QA internal yang dilaksanakan mewajibkan proses pendidikan di setiap program studi
mengikuti standar yang ditetapkan. Contoh standar ini adalah kedatangan pengajar, waktu jeda
antara pengajuan nilai siswa dan penilaiannya, keikutsertaan pemilik dalam studi kurikulum, studi
pelacakan lulusan, dll. Beberapa program studi, seperti manajemen dan akuntansi, masih kesulitan
mengikuti peraturan ini. Namun, sebagian besar program studi di universitas yang mapan telah berhasil
memenuhinya. Bahkan Fakultas Kedokteran, yang dianggap sulit karena keharusannya melakukan kerja
klinik di rumah sakit, telah berhasil menerapkan kurikulum berbasis kompetensi yang sangat ketat dan
disiplin.
b) Akreditasi
Selain QA internal, salah satu pengukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas adalah hasil
akreditasi, yang pada dasarnya adalah QA eksternal. Di tahun 2010 hanya 11.185 program studi yang
telah melalui proses akreditasi atau sekitar 63% dari 18.298 program studi, baik disebabkan karena
ketidakmampuan mereka memenuhi standar kualitas atau keterbatasan Badan Akreditas Nasional
(BAN PT) untuk melakukan penilaian setiap tahunnya. Untuk mengatasi beban kerja yang semakin lama
semakin berat, BAN PT saat ini dalam proses mengubah strategi ke arah penilaian institusi dan bukan
program studi di masa depan.
Tabel 3.3 menunjukkan bahwa perbandingan program yang ditawarkan institusi negeri jauh lebih baik
dalam hal hasil akreditasi dibanding institusi swasta. Namun proses akreditasi hanya menilai kualitas
terhadap standar minimum, dan performa lebih daripada itu sulit dinilai terhadap satu sama lain. Meski
sebagian besar program di institusi swasta lebih rendah dalam hal kualitas dan hanya memiliki sedikit
jumlah siswa, beberapa program yang ditawarkan institusi swasta ternama lebih baik daripada program
yang ditawarkan institusi negeri terlemah. Karena keterbatasan waktu, tidak memungkinkan bagi tim
studi untuk mendapatkan keseluruhan data BAN PT untuk membandingkan antara hasil akreditasi
institusi di Jawa dan pulau-pulau luar.
c) Hibah kompetisi
Salah satu pendekatan untuk menilai kualitas adalah dengan menggunakan hasil berbagai dana
hibah bersaing yang disalurkan oleh Dirjen Dikti. Tujuan setiap persaingan bervariasi, namun proses
seleksi kurang lebih serupa. Prosesnya dilaksanakan dengan mengikutsertakan pengkaji independen,
umumnya gabungan antara spesialis di bidang tersebut dan ahli-ahli dalam manajemen universitas.
Karena proses evaluasi dan seleksi mencakup studi mendalam serta kunjungan lokasi yang teliti,
hasilnya mungkin menggambarkan kualitas dengan lebih baik. Penerima dana dievaluasi setiap tahun
untuk memastikan bahwa dana digunakan dengan baik. Dirjen Dikti banyak berpengalaman dalam
melaksanakan proses studi yang diakui secara internasional sejak 1995, dan dianggap sebagai proses
studi yang obyektif, transparan, teliti, dan dilaksanakan oleh pengkaji ahli yang berpengalaman. Para
ahli ini memberi bantuan dan memainkan peran besar dalam merancang dana hibah untuk Pemerintah
Sri Lanka di tahun 2003 – 2006.
Di tahun 2009 Dirjen Dikti mendanai 9 universitas negeri, 17 swasta, dan 5 BHMN, sementara dalam
PHKI-2009 dipilih 12 universitas negeri, 31 swasta, dan 1 BHMN. Di tahun 2010 proyek I-MHERE yang
didukung World Bank mendanai 79 hibah, terdiri atas 37 program studi di Jawa dan 42 program studi di
pulau luar. Sayangnya di tahun 2009 Dirjen Dikti mengubah strategi dana hibahnya ke arah pembagian
dana langsung. Hingga 2009 ratusan program studi di universitas negeri dan swasta telah menerima
dana hibah seperti itu dan menerapkan praktik manajemen yang lebih baik. Terlebih lagi, terdapat ribuan
program studi lainnya yang belum menerima hibah namun proses pendidikannya membaik melalui
penyebaran ilmu praktik dari sesamanya. Meski demikian persaingan sebagian besar dilaksanakan
melalui sistem bertingkat, sehingga penerima hibah dari satu tingkatan tidak dapat dibandingkan
dengan penerima dari tingkatan lain. Rekam jejak program studi dalam menerima berbagai hibah
bersaing menunjukkan komitmen institusi untuk peningkatan kualitas yang berkelanjutan; sehingga
dapat menjadi penilaian kualitas.
d) Staff pengajar
Meski proses pendidikan mungkin merupakan aspek terpenting dalam penentuan kualitas jasa
pendidikan, kualifikasi staff pengajar juga merupakan aspek penting. Kepentingannya ditunjukkan
oleh satu-satunya parameter berdasar masukan di laporan ini. Tabel 3.5 menampilkan kualifikasi staff
pengajar di institusi negeri dan swasta. Lebih dari 2/3 pemegang gelar S3 adalah dari universitas di
Jawa, sebuah gambaran jelas disparitas dalam kapasitas melakukan penelitian dan inovasi antara
koridor ekonomi MP3EI. Kondisi terburuk dalam hal pemegang S2 dan S3 ditemukan pada institusi
swasta luar pulau.
Menurut Undang-Undang 14/2006 staff pengajar di program studi sarjana harus memiliki setidaknya
kualifikasi S2. Tabel menunjukkan bahwa lebih dari 87.500 pengajar harus ditingkatkan setidaknya
hingga S2 dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini juga menunjukkan bahwa banyak hal masih harus
dilakukan untuk meningkatkan kualifikasi staff pengajar, khususnya di institusi swasta.
e) Pengakuan internasional
Pengakuan internasional ditampilkan antara lain melalui peringkat dunia, meski debat tiada akhir di
seluruh dunia masih berlangung mengenai apakah peringkat institusi ini benar-benar menunjukkan
kualitas pendidikan. Tabel 3.4 menampilkan peringkat menurut Times Higher Education Supplement
atau THES28 dan Quacquarelli Symonds atau QS.
Dirjen Dikti terus-menerus mendorong institusi meningkatkan reputasi dan pengakuan internasional
mereka melalui pemberian dana hibah untuk universitas yang dinilai berpotensi. Rencana-rencana
baru diterapkan untuk memberi insentif, di antaranya mendukung staff menerbitkan artikel mereka di
jurnal internasional ternama serta insentif bagi penemu paten.
Beberapa program studi di universitas yang lebih mapan mempersiapkan diri untuk proses akreditasi oleh
badan profesional internasional, seperti American Board for Engineering and Technology (ABET) dan World
Federation of Medical Education (WFME). Beberapa berhasil mendapat status akreditasi, namun tim studi
belum memiliki informasi mengenai jumlah dan nama-nama universitas yang berhasil terakreditasi.
28 THES mengubah kriteria mereka sehingga peringkat universitas-universitas ini tidak lagi tersedia setelah 2009
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 115
Annex III: Komite Inovasi Nasional
• Meningkatkan jumlah HaKI dari penelitian dan industri yang langsung berhubungan dengan
pertumbuhan ekonomi;
• Meningkatkan jumlah-jumlah produk unggulan dan nilai tambah industri dari berbagai daerah;
• Meningkatkan infrastruktur IPTEK berstandar internasional;
• Mencapai swasembada pangan, obat-obatan, energi dan air bersih yg berkesinambungan;
• Mencapai swasembada produk dan sistem industri pertahanan, transportasi dan ICT;
• Meningkatkan ekspor produk industri kreatif menjadi dua kali lipat;
• Mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, kemakmuran yang merata, dan
memperkokoh NKRI
Anggota KIN yang berjumlah 30 orang dikelompokkan dalam 5 divisi, yaitu Kluster Inovasi, Program
Inovasi Pemerintah; Inovasi Bisnis dan Industri; Regulasi Kebijakan dan Insentif untuk Inovasi; dan
Inovasi Ekonomi, Budaya, dan Sosial. Komite ini telah mengajukan rekomendasi untuk memperkuat
kementerian, badan pemerintahan, badan usaha milik negara, dan universitas negeri. Rekomendasi
mereka mencakup strategi berikut,
a) Rekomendasi model top-down untuk pengembangan inovasi kebutuhan dasar manusia, termasuk
pangan dan obat-obatan;
b) Rekomendasi pembangunan kawasan industri inovasi berbasis unggulan nasional dan unggulan
daerah (kombinasi model bottom-up dan top-down), termasuk revitalisasi PUSPIPTEK (quick win),
pembangunan Bandung Raya Innovation Valley (quick win), dan pengembangan Kawasan Industri
Inovasi Agrotek Jawa Timur (quick win);
c) Rekomendasi peningkatan anggaran litbang inovasi;
d) Rekomendasi menumbuhkan budaya inovasi; dan
e) Rekomendasi pembentukan peta rencana (Road Map) menuju Sistem Inovasi Nasional (SINAS)
Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencanangkan MP3EI (Master Plan for Acceleration and Expansion of
Indonesia Economic Development) untuk melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seimbang,
adil, dan berkelanjutan melalui dua faktor utama, yaitu percepatan dan perluasan [MP3EI, 2011]. MP3EI
merencanakan pembangunan nasional di 7 koridor ekonomi, dengan tujuan untuk menyeimbangkan
pertumbuhan ekonomi. Perguruan tinggi diharapkan dapat memainkan peran penting, tidak saja
sebagai penyedia sumber daya manusia berkualitas, tapi juga menjadi dasar pengetahuan untuk
daerahnya, sehingga daerah tersebut dapat mengembangkan kegiatan ekonomi yang bernilai tambah
tinggi. Walaupun peran perguruan tinggi akan berbeda sesuai dengan kebutuhan daerahnya, pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi,
Tingkat 1: Bekerjasama dengan industri lokal (berpotensi) dan pemerintah untuk menghasilkan
lulusan yang relevan.
Tingkat 2: Bekerjasama dengan industri lokal (berpotensi) dan pemerintah untuk mengembangkan
strategi litbang yang bertujuan untuk merespon kebutuhan industri dan daerah.
Tingkat 3: Bekerjasama dengan industri lokal (berpotensi) dan pemerintah untuk mengembangkan
program pasca yang relevan dengan kebutuhan industri dan berkontribusi pada
penguatan kapasitas industri.
Dewasa ini tidak ada perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki kapasitas untuk menjalankan
peran tersebut. Ketidakmampuan untuk merespon tingkat 1 tercermin dari banyaknya industri yang
mengalami kesulitan merekrut lulusan di luar Jawa. Sedangkan pada tingkat 2, sulit ditemukan pusat
litbang di perguruan tinggi yang memiliki kerjasama dengan industri dalam bidang yang relevan dengan
kebutuhan daerah dan industri. Pada tingkat 3 hampir semua kegiatan litbang di perguruan tinggi
terkemuka masih berorientasi kepada indikator akademik. Penelitian S3 dirancang agar lulusannya
bekerja di lingkungan akademik, dan minim sekali perhatian kepada kebutuhan masa depan sektor
industri.
Saat ini peran tersebut tidak dijalankan dengan baik oleh perguruan tinggi, karena kapasitasnya
memang terbatas. Amat penting untuk mendobrak tradisi perguruan tinggi yang terisolasi dari dunia
industri, sehinggadapat menjadi lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Litbang terapan perlu
digalakkan untuk memenuhi kebutuhan lokal daerah. Dengan meningkatnya minat industri terhadap
kegiatan litbang, perguruan tinggi perlu untuk memanfaatkan momentum yang ada untuk merancang
program pasca berbasis litbang untuk kemudian menjadi cikal bakal pengembangan kapasitas litbang
di sektor industri.
Program ini memberikan hibah pada perguruan tinggi untuk mengembangkan kapasitasnya
menyelenggarakan pendidikan dan riset yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan
interaksi dengan pelaku industri dan pemangku kepentingan di pemerintah.
2. Tujuan
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 117
Aneks IV: Hibah Pengembangan Kapasitas untuk Kemitraan UIP
3. Cakupan program
Penting bagi perguruan tinggi untuk memperoleh komitmen dari pemangku kepentingan, baik industri
maupun pemerintah, untuk ikut serta dalam program ini. Program ini memberikan dukungan untuk
beasiswa pasca, hibah litbang, permodalan start up, tenaga ahli domestik dan internasional, perjalanan,
peralatan laboratorium, serta program kembaran (twinning) dengan institusi nasional dan internasional.
Tergantung dari kelayakan proposal yang diajukan, dana yang dapat disediakan berkisar antara Rp 15-
20 miliar untuk jangka waktu 3-5 tahun, tidak termasuk kontribusi mitra industri dan pemerintah daerah.
Program kembaran (twinning) dengan perguruan tinggi atau institusi nasional dan internasional amat
disarankan, bahkan diharuskan untuk perguruan tinggi dalam kelompok 1 dan 2.
4. Prasyarat pengusul
Prasyarat bagi pengusul berbeda untuk kelompok yang berbeda, seperti duraikan berikut ini:
Kelompok 1: hanya perguruan tinggi yang lokasinya di koridor ekonomi Sulawesi – Maluku Utara,
Maluku – Papua, dan Kalimantan yang dapat menyusun proposal untuk kelompok ini. Proposal harus
disusun bersama dengan pelaku industri dan pemerintah setempat.
Kelompok 2: hanya perguruan tinggi yang lokasinya di koridor ekonomi Sumatera, and Bali – Nusa
Tenggara yang dapat menyusun proposal untuk kelompok ini. Proposal harus disusun bersama dengan
pelaku industri dan pemerintah setempat.
Kelompok 3: hanya perguruan tinggi yang memiliki rekam jejak litbang yang baik yang dapat menyusun
proposal untuk kelompok ini. Rekam jejak litbang dicerminkan antara lain dengan program pendidikan
berbasis litbang, rekam jejak dan kualifikasi dosen, serta kredibilitas program pendidikan S3.
Kunci keberhasilan program adalah kemitraan antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah sejak
dari tahap perencanaan dan penyusunan proposal. Oleh karena itu bila diperlukan dapat disediakan
hibah pengembangan strategi untuk mendanai proses penyusunan proposal bersama kedua mitra
lainnya. Hibah pengembangan strategi diberikan secara kompetitif berdasarkan pra proposal yang
masuk. Sedangkan hibah pengembangan kapasitas untuk kemitraan UIP diberikan secara kompetitif
berdasarkan proposal lengkap yang disampaikan.
Hibah pengembangan strategi yang dapat mencapai Rp 200 juta untuk jangka waktu 1-2 tahun ini
dapat dimanfaatkan untuk mendanai antara lain honorarium staf, tenaga ahli nasional, lokakarya, dan
perjalanan ke lokasi industri, misalnya perkebunan, pertambangan, persemaian, ataupun pembibitan.
Pada kasus dimana dianggap dibutuhkan, Ditjen Dikti dapat memberi tugas kepada tenaga ahli yang
ditunjuk untuk memberikan bimbingan dan pendampingan dalam penyusunan pra proposal.
Proposal lengkap harus menguraikan secara rinci kapasitas litbang dan program pendidikan yang akan
dikembangkan, strategi pengembangannya, dan kontribusi apa yang direncanakan dapat diperoleh
dari mitra industri dan pemerintah setempat.
5. Kerangka institusional
Sasaran program ini adalah pengembangan kapasitas perguruan tinggi yang belum pernah sebelumnya
didukung secara sistematis dan terstruktur melalui program pendanaan yang memadai. Oleh karena
itu dibutuhkan rintisan untuk menguji kelayakan rancangan program, terutama dari aspek kerangka
institusional yang mampu memberikan cukup keluwesan sesuai dengan dinamika kebutuhan industri.
Besar kemungkinan akan adanya kerjasama kembaran (twinning) dengan organisasi internasional,
sehingga tim studi menyarankan keterlibatan organisasi donor internasional, terutama agar kerangka
institusional yang diujicobakan dapat menyerap pengalaman dan keahlian yang sudah diterapkan di
tempat lain. Sumber dana utama akan diharapkan datang dari pemerintah, dengan kontribusi dari
pelaku industri dan pemerintah daerah.
Untuk menjamin proses perencanaan dan pelaksanaan yang melibatkan keahlian interdisiplin berjalan
mulus, maka disarankan untuk perguruan tinggi mendirikan unit atau organisasi baru. Unit ini mungkin
pengelolaannya terpisah dari perguruan tinggi, seperti Fraunhoffer di Jerman. Walaupun seandainya
unit atau struktur baru tidak/belum terbentuk, suatu Dewan Pengawas yang beranggotakan wakil
dari tiga pemangku kepentingan yang bermitra akan berfungsi sebagai pemegang kendali tertinggi.
Kerangka institusional diharapkan dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang menaati peraturan
perundangan, tetapi sekaligus pada waktu yang sama memberikan keluwesan dan kelonggaran untuk
menampung dinamika proses industri.
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 119
Annex V: Hibah Penguatan Fasilitas Dukungan UIP
Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencanangkan MP3EI (Master Plan for Acceleration and Expansion of
Indonesia Economic Development) untuk melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seimbang,
adil, dan berkelanjutan melalui dua faktor utama, yaitu percepatan dan perluasan [MP3EI, 2011]. MP3EI
merencanakan pembangunan nasional di 7 koridor ekonomi, dengan tujuan untuk menyeimbangkan
pertumbuhan ekonomi. Perguruan tinggi diharapkan dapat memainkan peran penting, tidak saja
sebagai penyedia sumber daya manusia berkualitas, tapi juga menjadi dasar pengetahuan untuk
daerahnya, sehingga daerah tersebut dapat mengembangkan kegiatan ekonomi yang bernilai tambah
tinggi.
Bila perguruan tinggi akan memainkan peran proaktif dalam MP3EI, maka perlu dicari mekanisme baru
yang dapat mengaitkan industri bekerjasama. Beberapa perguruan timggi sudah memulai proses ini
dengan mendirikan unit/kantor kerjasama ataupun melalui pengangkatan Pembantu Rektor bidang
Kerjasama. Unit tersebut berfungsi untuk membangun jejaring, hubungan industrial, transfer teknologi,
sampai taman iptek dan inkubator. Tetapi upaya ini masih pada tahapan awal, dan dibutuhkan banyak
upaya untuk membangun kapasitas dalam memberi dukungan kepada kegiatan kerjasama. Sebagian
mencoba mengembangkannya sendiri tanpa mencoba mencari acuan dari apa yang sudah lama
diterapkan di negara lain. Selain itu ada kecenderungan bahwa pembentukan unit dan jabatan tersebut
seragam, tanpa mempertimbangkan misi dan kapasitas perguruan tingginya.
2. Tujuan
3. Cakupan program
Program ini memberikan dukungan pendanaan untuk beberapa inisiatif dalam beberapa kategori
dukungan. Komponen biaya yang didanai antara lain pelatihan staf, tenaga ahli untuk jangka pendek,
peralatan kantor, fasilitas, dan studi.
Dana yang disediakan tidak melebihi Rp 200 juta untuk jangka waktu 2-3 tahun.
4. Prasyarat dan kriteria seleksi
Tidak ditetapkan prasyarat formal untuk mengajukan pra proposal, tetapi pra proposal diharapkan
memuat alasan kuat tentang kesesuaian perguruan tinggi untuk memperoleh bantuan pada aspek
tertentu dari dukungan kepada program kerjasama dengan industri.
Karena tujuan program adalah pengembangan strategi dan perencanaan dari fungsi dukungan,
maka program ini memberikan dana awal untuk penyusunan proposal lengkap. Dana awal mencakup
pembiayaan untuk penyusunan proposal lengkap untuk setiap kelompok pendukung. Dana yang
disediakan untuk ini tidak melebihi Rp 100 juta, untuk keperluan antara lain honorarium staf, tenaga
ahli nasional, serta perjalanan.
Kriteria seleksi termasuk antara lain (a) kesesuaian jenis dukungan yang dipilih denan rencana dan strategi
pengembangan, (b) rekam jejak dari jenis dukungan yang diusulkan, dan (c) bukti perencanaan yang
jelas.
Proposal lengkap harus menguraikan jenis dukungan yang akan diperkuat dan dikembangkan,
peran yang direnanakan setelah program selesai, organisasi dan skema operasionalnya, serta aspek
kesinambungannya.
Proses seleksi pra proposal akan dilakukan oleh tim kecil ahli internasional dan nasional yang memiliki
keahlian dalam kelompok dukungan tertentu. Sebelumnya mereka akan menyelenggarakan lokakarya
dan pelatihan untuk penerima dana awal, untuk membantu mereka dalam proses pengembangan
proposal.
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 121
Annex VI: Kunjungan Studi Banding
TUJUAN:
1. Mengumpulkan informasi dari para ahli dan peneliti internasional tentang pengalaman dan praktik
baik penyelenggaraan program kemitraan UIP.
2. Penelaahan praktik baik tentang kebijakan dan strategi peruruan tinggi untuk mengembangkan
secara efektif program kemitraan UIP.
3. Penelahaan peran dan kebjakan pemerintah yang disusun pemerintah untuk mendukung program
kemitraan UIP.
Korea Selatan dikenal dengan keberhasilan sektor industrinya, terutama ‘chaebol’ dengan penguasaan
teknologinya. Walaupun sukses dengan proses industrialisasi, Korea Selatan belum cukup dikenal dalam
hal program kemitraan UIP, ataupun perannya dalam inovasi. Hal ini ternyata bukan karena kurang
upaya untuk itu. Korea Selatan telah melakukan investasi yang cukup besar di Daedeok Science City,
dengan meletakkan sejumlah laboratorium milik pemerintah dan perguruan tinggi di lokasi tersebut,
seperti KAIST dan laboratorium litbang indistri, dalam 30 tahun terakhir.
Sejak 2008 pemerintah Korea Selatan juga telah meluncurkan inisiatif terkoordinasi dengan memusatkan
sumberdaya untuk program tematik dan memperkuat ‘eco-system’ yang selama ini kurang diperhatikan.
Pengalaman Cina cukup memberi pencerahan dalam membangun kembali sistem pendidikan tinggi
dalam 30 tahun kembali, dengan memberi perguruan tinggi tanggung jawab dan peran lebih besar
dalam pembangunan ekonomi. Beberapa perguruan tinggi terkemuka cukup berhasil menjalankan
tugas tersebut. Mereka mendirikan berbagai perusahaan dengan kemampuan teknologi yang tinggi,
selagi industri domestik masih lemah. Beberapa menjalin kerjasama dengan perusahaan multinasional
agar industri lokal dapat mengejar ketinggalan.
Zhongguancun merupakan distrik industri di sekitar Beijing yang secara khusus dikenal afiliasinya
dengan perguruan tinggi terkemuka Tsinghua University, Beijing University, dan Chinese Academy
of Sciences. Perusahaan baru seperti ‘Founder’ didirikan oleh Beijing University, serta ‘Tongfang’ dan
‘Ziguang’ oleh Tsinghua University, mencapai sukses besar dan menjadi jangkar di Zhongguancun.
Dalam perjalanan waktu Zhongguancun telah dianggap sebagai model taman iptek yang paling
berhasil di Cina.
Kunjungan ke KAIST mencakup sesi diskusi dengan ketua dan guru besar Departemen Teknik Mesin,
kunjungan ke laboratorium, diskusi dengan mahasiswa pasca yang sedang melakukan riset, diskusi
dengan guru besar dan peneliti di laboratorium, diskusi dengan Dekan Fakultas Teknik, serta kunjungan
dan diskusi dengan pejabat Kantor UIP di KAIST.
• Departemen Teknik Mesin memiliki 56 dosen, termasuk 9 guru besar emiritus, 2 guru besar madya,
10 lektor, serta 886 mahasiswa S1 dan pasca (semuanya penerima beasiswa). Semua dosen menjadi
anggota Korea Engineering Society dan International Engineering Societies
• Departemen Teknik Mesin melakukan 6 bidang riset strategis yang amat relevan dengan industri.
Setiap guru besar melakukan penelitian dalam keenam bidang tersebut, sebagai bidang riset mayor
dan minor. Departemen memantau kegiatan riset di pusat-pusat riset melalui sistem matriks. Setiap
pusat riset dan kelompok riset diketuai oleh seorang guru besar sebagai direktur.
• Jumlah mahasiswa S2 205 (119 menerima beasiswa pemerintah, 28 beasiswa Departemen, 41
beasiswa industri, dan 17 beasiswa untuk mahasiswa asing). Jumlah mahasiswa S3 327 orang terdiri
dari 238 penerima beasiswa pemerintah, 31 beasiswa Depattemen, 47 beasiswa industri, dan 11
beasiswa untuk mahasiswa asing.
• Jumlah mahasiswa pasca yang besar merupakan tulang punggung riset, dimana pada 2011 berhasil
menarik dana riset USD 20.3 juta, terdiri dari USD 5.3 juta dari industri, USD 14.9 juta dari pemerintah.
Keluaran yang dihasilkan antara lain 462 publikasi ilmiah (rerata 9.84 per guru besar), 108 paten
domestik, dan 13 paten internasional.
• Untuk mendorong relevansi, Departemen Teknik Mesin KAIST membentuk sistem kemitraan industri
dalam bentuk Industrial-Academia Consortium (IAC). Konsorsium ini memusatkan kegiatan pada
2 fokus, yaitu a) survei masalah perindustrian yang rumit, dan b) mengembangkan riset strategis
dengan industri, yang kemudian dilaksanakan melalui kegatan riset yang disponsori industri.
• Departemen Teknik Mesin juga memiliki Industrial Advisory Board (IAB) yang memberikan saran
dan mengevaluasi pendidikan dan kegiatan riset Departemen Teknik Mesin. IAB mampu secara
sistematik memberi dukungan kepada kerjasama dengan industri dan memasok industri dengan
sumberdaya manusia berkualitas tinggi dan pelatihan industri (short courses).
• Guru besar Departemen Teknik Mesin memiliki juga ‘start up companies’. Sebagai pendiri KAIST
mengijinkan guru besar menjadi CEO selama maksimum 2 tahun dan setelah itu harus diambil alih
oleh pejabat lain. KAIST juga tetap memiliki sebagian saham dalam perusahaan tersebut.
• Alumni Departemen Teknik Mesin juga memiliki ‘spin off’, dan saat ini jumlahnya 56. Mereka cukup
sukses melakukan difusi teknologi dan semangat kewirausahaan di lingkungan Departemen Teknik
Mesin.
• Unit ini diketuai oleh Dekan OUIC, di bawah Vice President of Research. Unit ini berfungsi untuk
mendukung KAIST dalam transfer hasil riset dan teknologi ke industri, yang dikelompokkan dalam 4
kategori berikut,
- Tim Technology Commercialization mendorong transfer teknologi dan komersialisasi melalui
portfolio paten, pengembangan sistem informasi paten, dan mengintensifkan technological
licensing. Jumlah registrasi paten sampai saat ini 4,481, termasuk 909 paten internasional.
Sedangkan jumlah transfer teknologi sampai 2010 mencapai 40 kasus melibatkan USD 1.8 juta
licensing fee.
- Project Coordination dan Activation Team mengembangkan kerjasama dengan industri. Unit ini
bertanggung jawab untuk kegiatan yang berkaitan dengan keanggotaan Industry Liason Program
(ILP), pengelolaan KAIST holding company, Pengelolaan KAIST trademarks, serta mengembangkan
kompleks inkubator.
- Technology Business Incubation Center yang bertanggung jawab atas pengembangan inkubator
bisnis. Modal awal untuk perusahaan baru ini diperoleh dari pemerintah ataupun perguruan
tinggi dalam bentuk pinjaman. Rerata jumlah perusahaan di lingkungan ini mencapai 100 per
tahun, dengan kesuksesan mencapai 40%. Lebih dari 90% peserta berasal dari luar KAIST.
• OUIC dikelola secara profesional oleh 25 staf yang amat kompeten di bidangnya masing-masing.
Bila dibutuhkan OUIC juga dapat merekrut bantuan tambahan (outsource) dari luar organisasi.
Kasus seperti ini biasanya diperlukan untuk melakukan kegatan seperti riset pasar, investasi, atau
perbankan.
• OUIC melayani sivitas akademika, alumni, dan juga pihak luar (industri dan investor idividual).
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 123
Annex VI: Kunjungan Studi Banding
• Kebijakan yang ditetapkan untuk pembagian penghasilan adalah 50% inventor / penemu, 30%
KAIST, 10% Departemen, dan 10% OUIC.
DAEDEOK INNOPOLIS
• Kompleks ini didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Selain Daedeok, masih ada 3 metropolis
inovasi lainnya, yaitu Daegu dan Gwangju. Fasilitas taman iptek dipersiapkan untuk mendukung
kegiatan litbang, komersialisasi iptek dari perguruan tinggi, litbang pemerintah, dan litbang industri.
Daedeok Innoplois saat ini dihuni oleh 1,266 institusi, terdiri dari institusi publik, institusi pemerintah,
institusi pendidikan, dan NGOs. Jumlah seluruh karyawan mencapai 55,615 orang termasuk 9,005 S3
dan 9,736 S2.
• Daedeok Innopolis memberikan manfaat pada penghuni dalam bentuk keringanan pajak (nasional
dan daerah) untuk perusahaan teknologi tinggi, diskon tarif listrik dan air untuk usaha litbang,
dukungan institusional, serta kemudahan kredit.
Secara ringkas kemitraan UIP di KAIST dan Daedeok Innopolis dapat digambarkan sebagai berikut:
KAIST
DEADEOK INNOPOLIS
• Government Funded
DEPARTEMEN OUIC Institutions
• Technology • Educational Institutions
/ Universities
Commercialization
• Government &
Center National/Public Inst.
Profesors
• Technology Business • Government Invested
Incubation center Inst. (Public)
• Non Profit Institutions
• Project Coordination
• Venture Companies
& Activation team
Mhs Pascasarjana (ILO) • DUKUNGAN
INFRASTRUKTUR
• DUKUNGAN BISNIS
Guru besar dan mahasiswa pasca merupakan motor penggerak kegiatan litbang di perguruan tinggi.
Tersedianya beasiswa untuk mahasiswa pasca memungkinkan perguruan tinggi merekrut calon
mahasiswa berkualitas dan bertalenta tinggi. Adanya kelompok riset dan pusat rist, seperti IAC dan IAB,
memungkinkan guru besar dan mahasiswa pasca melaksanakan kegiatan litbang yang relevan dengan
industri.
Guru besar memperoleh akses pada hibah riset yang disediakan oleh pemerintah, industri, dan
perguruan tinggi. Mereka juga dibebaskan untuk memilih untuk bekerja bagi Departemen, Fakultas,
KAIST OUIC, bahkan industri yang berada di Daedeok Innopolis, selama kontraknya resmi. Dalam kasus
seperti ini mereka tetap harus memenuhi tugas mengajar mereka di perguruan tingginya.
Kebijakan yang jelas, transparan, dan secara konsisten diterapkan tentang kegiatan litbang merupakan
faktor penting bagi guru besar, termasuk kebijakan tentang HAKI dan pembagian saham dalam start up.
Secara khusus keberhasilan kemitraan UIP amat tergantung pada kualitas organisasi pendukung yang
tersedia di perguruan tinggi. Unit ini tidak hanya dibutuhkan pada mempromosikan perkembangan
iptek yang ada di perguruan tinggi, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk mengkomersialisasikan
temuan ke masyarakat. Tenaga profesional dan kompeten pada posisi hubungan industri menjadi
amat penting untuk menjembatani perguruan tinggi dengan industri. Pejabat seperti ini tidak dapat
dibebani tugas akademik lagi.
Pusat inkubator bisinis harus dikelola oleh tenaga profesional yang memahami benar prinsip-prinsip
bisnis, menguasai jejaring bisnis, dan memiliki jiwa kewirausahaan. Walaupun outsourcing tugas
tertentu tetap dimungkinkan, tetapi arahan dari kepimpinan seperti ini menjadi faktor penentu.
Program Detail
Delegasi:
1. Prof. Dr. Agus Subekti, Direktur Penelitian dan Pelayanan Publik – Ditjen Dikti
2. Dr. Amich Alhumami, Direktorat Pendidikan dan Agama – BAPPENAS
3. Prof. Dr. Mulyadi Bur, Universitas Andalas
4. Dr. Alfa Edi Tontowi, Universitas Gadjah Mada
5. Dr. Junaedi Muhidong, Universitas Hasanuddin University
6. Dr. Andi Isra Mahyudin, Institut Teknologi Bandung
7. Dr. Biemo W. Soemardi, Anggota Tim Studi, Ketua Delegasi
TSINGHUA UNIVERSITY
Kunjungan ke Tsinghua University mencakup sesi diskusi dengan Deputy Director of Overseas R&D
Management Office – University Industry Cooperation Committee dan diskusi dengan Prof Zhang Wei dari
Department of Industrial Engineering, serta diskusi dengan sekelompok guru besar dan peneliti.
Berikut adalah beberapa catatan penting yang dapat dilaporkan:
• Tsinghua UICC dibentuk pada 1995, dan berfungsi sebagai semacam ‘klub perusahaan’. Keanggotaan
saat ini berjumlah 160, termasuk perusahaan global seperti IBM, GM, P&G, Motorola, Toshiba, Hitachi,
Samsung, EDF, and France Telecom. Perusahaan ini membayar membership fee, dan sebagai imbalan
UICC memberikan layanan berikut:
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 125
Annex VI: Kunjungan Studi Banding
- Menyelenggarakan lokakarya dan seminar antar dosen dan pelaku industri, menyediakan forum
komunikasi untuk mengembangkan kerjasama di masa depan
- Memperkenalkan teknologi yang dikuasai Tsinghua kepada anggota
- Membantu anggota dalam kegiatan khusus, seperti rekrutmen pegawai, pengelolaan beasiswa,
dsb
• Peran UICC di Tsinghua University lebih kepada fasilitator untuk mempercepat transfer teknologi
Tsinghua ke industri, dan juga sebagai instrumen untuk mengembangkan kerjasama UIP. UICC
mungkin dapat diibaratkan sebagai jendela untuk memungkinkan terjadinya transfer teknologi.
• UICC dikelola oleh sebuah kantor dan terdiri dari dua divisi (DN dan LN), yang mengkoordinir
kegiatan berikut:
Kunjungan ke Tuspark meliputi sesi diskusi dengan vice President of TusPark, Dr Chen Hongbo. Dr Chen
motto is to change from made in Cina to created in Cina.
• Keberhasilan STP ditunjang oleh 4 elemen pokok, yaitu ruang, sumberdaya, layanan, dan mitra
(tenants) yang harus terintegrasi. Dalam konteks ini Tuspark bertanggung jawab atas pengembangan,
konstruksi, pengelolaan dan administrasi Tuspark.
• Produk utama TusPark adalah layanan iptek yang mempunyai fokus pada sistem layanan inovasi,
tercermin pada jenis layanan berikut:
- Incubator base for innovative enterprises Berbasis inkubator untuk usaha inovatif
- Cultivation base for innovative talents Berbasis kultivatif untuk talenta inovatif
- Transformation base for technological result Berbasis transformasi untuk keluaran teknologi
- Human resource services Layanan SDM
- Capital services Layanan modal
- Information exchange Tukar-menukar informasi
• Tsinghua University TusPark Research Institute for Innovation merupakan unit TusPark yang didirikan
bersama oleh Tsinghua University dan institusi pemerintah pusat dan daerah. Unit diharapkan
menjadi ‘think tank’ dari inovasi regional, inovasi korporasi dan inovasi teknologi.
Ringkasnya kemitraan UIP di Tsinghua dapat digambarkan sebagai berikut:
Kegiatan litbang dapat dilaksanakan baik pada tingkat departemen ataupun unit kerjasama UIP,
maupun Tus Park.
Berbeda dengan KAIST, taman iptek di Tsinghua University bertumpu pada nama besar Tsinghua.
Meskipun alternatif lain masih terbuka lebar, sebagian besar kegiatan litbang dan kerjasama UIP di
TusPark masih terkait dengan Tsinghua University.
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 127
Annex VI: Kunjungan Studi Banding
Mirip dengan kasus KAIST, keberhasilan kerjasama UIP di Tsinghua amat tergantung pada kekuatan
organisasi dan staf yang mendukungnya, terutama mereka yang mampu mengaitkan litbang perguruan
tinggi dengan industri. Kemandirian organisasi ini dari fungsi akademik perlu secara jelas dan gamblang
dinyatakan sejak awal pendiriannya., sehingga semua staf dan karyawan mampu bergerak, berkinerja,
dan bertanggung jawab secara profesional.
PROGRAM DETAIL
Pelayanan informasi
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 129
Annex VI: Kunjungan Studi Banding
Pelayanan TusPark :
- Bisnis properti
- Bisnis investasi
- Pelayanan keuangan
- Bisnis promosi
- Bisnis pelatihan
- Bisnis bertema properti
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 131
Annex VI: Kunjungan Studi Banding
Kredit Foto
Pengembangan Strategi Kemitraan Perguruan Tinggi, Industri, dan Pemerintah di Indonesia 133