Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRATIKUM

GEOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI

ANALISA KUANTITATIF

Disusun oleh :
Aulia Sabria Damayani
21100115120007

LABORATORIUM SEDIMEN, GEOLOGI


MINYAK BUMI, DAN GEOKIMIA
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG
MARET 2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Maksud
 Melakukan pembacaan gamma ray dari data well log
 Mengidentifikasi cross over dari well log untuk mengetahui
keberadaan reservoir
 Menentukan jenis fluida yang berada pada reservoir
 Melakukan perhitungan untuk analisa kuantitaif
 Melakukan prospeksi terhadap data yang diberikan dari analisa
kuantitatif
1.2 Tujuan
 Mampu menentukan Shale base line dan Sand base line dari data well
log
 Dapat mengidentifikasi indikasi hidrokarbon pada reservoir pada data
well log
 Dapat menerapkan perhitungan secara kuantitatif dari data well log
 Mampu mengetahui cadangan hidrokarbon pada reservoir yang
prospek dan yang tidak prospek dari perhitungan secara kuantitatif
dengan bantuan Ms.Excel
1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
 Hari/Tanggal : Selasa, 5 dan 12 Maret 2018
 Waktu : 15.30 – 17.30 WIB
 Tempat : Ruang Seminar (302), Gedung Pertamina
Sukowati, Departemen Teknik Geologi, Fakultas
Teknik, Universitas Diponegoro

BAB II
GEOLOGI REGIONAL

2.1 Fisiografi Regional


Apabila dikaji terkait fisiografi regional, data yang dimiliki merupakan data
yang diambil dari salah satu bagian cekungan Sumatra Selatan. Dalam cekungan
ini tersusun atas beberapa sub cekungan yang meliputi:
 Sub cekungan Jambi
 Sub cekungan Palembang Utara
 Sub cekungan Palembang Selatan
 Sub cekungan Palembang Tengah
Cekungan-cekungan tersebut disusun oleh akumulasi batuan sedimen yang
diendapkan secara tidak selaras di atas batuan pra tersier (metamorfik dan beku).
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah
baratlaut-tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di 5 sebelah
barat daya, Paparan Sunda di sebelah timurlaut, Tinggian Lampung di sebelah
tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta
Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah baratlaut yang
memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah.
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan
cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya
interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan
lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510
km2 , dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit
Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat
dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian
Lampung (Wisnu & Nazirman, 1997).
2.2 Statigrafi Regional
Jika dilihat dari stratigrafi regional, maka cekungan sumatera selatan ini dibagi
menjadi beberapa kelompok formasi dari kelompok pra Tersier hingga kelompok
Kuarter yang tersusun atas yang paling tua hingga yang paling muda. Semua
kelompok formasi tersebut terakumulasi dalam satu cekungan yang berada pada
sumatera bagian selatan sebagai berikut:
Gambar 1. Stratigrafi regional

1. Kelompok Pra Tersier


Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan
Sumatra Selatan. Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan
metamorf Paleozoikum, Mesozoikum, dan batuan karbonat yang
termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat menunjukkan bahwa
beberapa batuan berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal. Batuan
metamorf Paleozoikum-Mesozoikum dan batuan sedimen mengalami
perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan beku selama episode
orogenesa Mesozoikum Tengah (Mid-Mesozoikum).
2. Formasi Lahat
Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah
batuan yang berumur akhir Mesozoik. Batuan yang ada pada Formasi ini
terdiri dari batupasir tuffan, konglomerat, breksi, dan lempung. Batuan-
batuan tersebut kemungkinan merupakan bagian dari siklus sedimentasi
yang berasal dari Continental, akibat aktivitas vulkanik, dan proses erosi
dan disertai aktivitas tektonik pada akhir kapur-awal Tersier di Cekungan
Sumatera Selatan.
3. Formasi Lahat Muda
Formasi Lemat tersusun atas klastika kasar berupa batupasir, batulempung,
fragmen batuan, breksi, “Granit Wash”, terdapat lapisan tipis batubara, dan
tuf. Semuanya diendapkan pada lingkungan kontinen. Sedangkan anggota
Benakat dari Formasi Lemat terbentuk pada bagian tengah cekungan dan
tersusun atas serpih berwarna coklat abu-abu yang berlapis dengan serpih
tuffaan (tuffaceous shales), batulanau, batupasir, terdapat lapisan tipis
batubara dan batugamping (stringer), Glauconit, diendapkan pada
lingkungan fresh-brackish. Formasi Lemat secara normal dibatasi oleh
bidang ketidakselarasan (unconformity) pada bagian atas dan bawah
formasi. Kontak antara Formasi Lemat dengan Formasi Talang Akar yang
diintepretasikan sebagai paraconformable. Formasi Lemat berumur
Paleosen-Oligosen, dan anggota Benakat berumur Eosen Akhir-Oligosen,
yang ditentukan dari spora dan pollen, juga dengan dating K-Ar.
Ketebalan formasi ini bervariasi, lebih dari 2500 kaki (± 760 m). Pada
Cekungan Sumatra Selatan dan lebih dari 3500 kaki (1070 m) pada zona
depresi sesar di bagian tengah cekungan (didapat dari data seismik).
4. Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatra Selatan, formasi ini
terletak di atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau anggota
Basal Batugamping Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang
berasal dari delta plain, serpih, lanau, batupasir kuarsa, dengan sisipan
batulempung karbonat, batubara dan di beberapa tempat konglomerat.
Kontak antara Formasi Talang Akar dengan Formasi Lemat tidak selaras
pada bagian tengah dan pada bagian pinggir dari cekungan kemungkinan
paraconformable, sedangkan kontak antara Formasi Talang Akar dengan
Telisa dan anggota Basal Batugamping Telisa adalah conformable. Kontak
antara Talang Akar dan Telisa sulit di pick dari sumur di daerah palung
disebabkan litologi dari dua formasi ini secara umum sama. Ketebalan dari
Formasi Talang Akar bervariasi 1500-2000 feet (sekitar 460- 610 m).
Umur dari Formasi Talang Akar ini adalah Oligosen Atas-Miosen Bawah
dan kemungkinan meliputi N3 (P22), N7 dan bagian N5 berdasarkan zona
Foraminifera plangtonik yang ada pada sumur yang dibor pada formasi ini
berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf.
5. Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian
intermediate-shelfal dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar
platform dan tinggian. Kontak pada bagian bawah dengan Formasi Talang
Akar atau dengan batuan Pra-Tersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini
terdiri dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal.
Ketebalan bagian bawah dari formasi ini bervariasi, namun rata-rata 200-
250 feet (sekitar 60-75 m). 9 Singkapan dari Formasi Baturaja di
Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 feet (sekitar 520 m). Formasi ini
sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini berumur Miosen.
Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6- N7.
6. Formasi Telisa (Gumai)
Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier,
formasi initerendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum
marine transgressive) ke dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi
ini terdiri dari napal yang mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak
mengandung foram plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian
bawah. Formasi Gumai beda fasies dengan Formasi Talang Akar dan
sebagian berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari formasi ini
bervariasi tergantung pada posisi dari cekungan, namun variasi ketebalan
untuk Formasi Gumai ini berkisar dari 6000–9000 feet (1800- 2700 m).
Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari dating dengan
menggunakan foraminifera planktonik. Pemeriksaan mikropaleontologi
terhadap contoh batuan dari beberapa sumur menunjukkan bahwa fosil
foraminifera planktonik yang dijumpai dapat digolongkan ke dalam zona
Globigerinoides sicanus, Globogerinotella insueta, dan bagian bawah
zona Orbulina Satiralis Globorotalia peripheroranda, umurnya
disimpulkan Miosen Awal-Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan Laut
Terbuka, Neritik.
7. Formasi Lower Palembang (Air Benakat)
Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi.
Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan,
batulempung, batulanau, dan batupasir yang mengandung unsur
karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi Lower Palembang kontak
dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300 –
5000 kaki (sekitar 1000 – 1500 m). Fauna-fauna yang dijumpai pada
Formasi Lower Palembang ini antara lain Orbulina Universa d’Orbigny,
Orbulina Suturalis Bronimann, Globigerinoides Subquadratus Bronimann,
Globigerina Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow &
Banner, Globorotalia Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda
Blow & Banner, Globorotalia mayeri Cushman & Ellisor, yang
menunjukkan umur Miosen Tengah N12-N13. Formasi ini diendapkan di
lingkungan laut dangkal.
8. Formasi Middle Palembang (Muara Enim)
Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir,
batulempung, dan lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle
Palembnag di bagian selatan cekungan berupa lapisan batubara yang
biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah serta ketebalan lapisan-lapisan
batubara menurun dari selatan ke utara pada cekungan ini. Ketebalan
formasi berkisar antara 1500–2500 kaki (sekitar
450-750 m). De Coster (1974) menafsirkan formasi ini berumur Miosen
Akhir sampai Pliosen, berdasarkan kedudukan stratigrafinya. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada bagian
dasar), delta plain dan lingkungan non marine.
9. Formasi Upper Palembang (Kasai)
Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra
Selatan. Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen
dan dihasilkan dari proses erosi Pegunungan Barisan dan Tiga puluh.
Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung, dan
kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat
dipastikan, tetapi diduga Plio-Pleistosen. Lingkungan pengendapannya
darat.
2.3 Fase Tektonik

Terdapat 3 fase tektonik yang membentuk stuktur regional Cekungan Sumatera


Selatan, yaitu :

1. Proses Orogenesa Mesozoikum Tengah adalah penyebab metamorfosa


batuan-batuan endapan Pleozoikum dan Mesozoik. Semua gejala Pra-Tersier
tersebut membentuk rangka struktur Pulau Sumatera.

2. Proses tektonik kedua terjadi pada Akhir Kapur – Awal Tersier, pada episode
ini dihasilkan struktur geologi yang diakibatkan oleh gaya tarik (tension), yaitu
berupa graben dan blok sesar yang terbentuk baik di Cekungan Sumatera
maupun di Cekungan Sunda. Secara umum arah trend dari sesar dan graben
berarah utara – selatan dan barat laut- tenggara.

3. Proses tektonik yang terakhir terjadi pada waktu orogenesa Plio-Plistosen,


struktur geologi yang dihasilkan pada orogenesa ini berupa sesar dan lipatan
yang mempunyai arah baratlaut. Proses konvergen antara lempeng samudera
India dengan Sumatera yang merupakan bagian dari lempeng Asia Tenggara
menyebabkan terangkatnya Bukit Barisan. Struktur yang terbentuk pada
episode ini merupakan struktur muda (young structure) dan merupakan struktur
yang dominan yang ada pada Cekungan Sumatera.Tektonik ke tiga dimulai dari
awal Tersier sampai Miosen yang diikuti oleh proses penurunan cekungan dan
pengendapan sedimen Tersier.

2.3. Petroleum System Cekungan Sumatera Selatan

Petroleum system adalah seluruh elemen dan proses pada suatu cekungan sedimen
yang diperlukan untuk terakumulasinya hidrokarbon (Bailei, A.D., 1992, vide
Pusdep Pertamina). Hidrocarbon Play adalah suatu model yang memperlihatkan
kombinasi seluruh elemen petroleum system yang yang menghasilkan akumulasi
hidrokarbon pada level stratigrafi (perangkap) tertentu (Perrodon, 1983, vide
Pusdep Pertamina). Secara geografi, pembentukan hidrokarbon tidak tersebar
secara merata pada cekungan di daerah ini. Akumulasi dari hidrokarbon tersebut
dikontrol oleh beberapa factor, yaitu struktur, fasies, ketebalan pengendapan dan
kedekatan source rock yang sudah cukup matang. Beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi untuk memperoleh minyak dan gas bumi di antaranya :

1. Batuan Induk (Source Rock)

Berdasarkan analisa Shell Team, 1978, hidrokarbon di Cekungan sumatera selatan


berasal dari batuan induk yang potensial berasalah dari batulempung hitam
Formasi Lemat (De Coster, 1974), lignin (batubara), batulempung Formasi Talang

Akar dan batu lempung Formasi Telisa. Formasi Lemat mengalami perubahan
fasies yang cepat ke arah lateral sehingga bertindak sebagai batuan induk yang
baik dengan kandungan material organiknya 1,2-3%. Landaian suhu berkisar 4,8 –
5,3 oC/100 m, sehingga kedalaman pembentukan minyak yang komersil terdapat
pada kedalaman 2000-3000 m.

Formasi yang paling banyak menghasilkan yang diketahui hingga saat ini adalah
Formasi Talang Akar, dengan kandungan material organik yang berkisar antara
0.5–1.5 %. Diperkirakan di bagian tengah cekungan Formasi Talang Akar telah
mencapai tingkat lewat matang. Minyak di cekungan Sumatera Selatan berasal
dari batuan induk yang banyak mengandung lignit (batubara) karena banyak
mengandung kerogen wax. Formasi Telisa mempunyai kandungan material
organik yang berkisar antara 1–1.38 % di Subcekungan Jambi, sedangkan di
Subcekungan Sumatera Selatan tidak ada data yang menujukkan bahwa formasi
ini dapat bertindak sebagai batuan induk. Sistem pemanasan (kitchen) batuan
induk di Cekungan Sumatera Selatan adalah akibat panas yang dihasilkan oleh
bidang-bidang sesar yang terbuka pada graben/half graben, sehingga cukup untuk
menghasilkan hidrokarbon.

2. Migrasi

Migrasi hidrokarbon di Cekungan Sumatera Selatan ditafsikan sebagai migrasi


lateral dan atau migrasi vertikal. Migrasi lateral terjadi pada bagian dalam
cekungan. Akibat migrasi ini, terjadi pengisian hidrokarbon pada perangkap-
perangkap stratigrafi yang terbentuk pada zona engsel (hinge zone). Migrasi
secara vertikal terjadi melalui bidang patahan dan bidang ketidakselarasan antara
batuan dasar dengan lapisan sedimen di atasnya. Migrasi sekunder memegang
peranan penting dalam proses akumulasi dan pemerangkapan hidrokarbon
mengingat posisi perangkap merupakan daerah tinggian purba (old basement
high).

3. Batuan Reservoir

Lapisan batupasir yang terdapat dalam Formasi Lemat, Formasi Talang Akar,
Formasi Palembang Bawah dan Palembang Tengah dapat menjadi batuan
reservoar pada Cekungan Sumatera Selatan. Pada Sub Cekungan Jambi, produksi
terbesar terdapat pada batuan reservoar Formasi Air Benakat. Batupasir alasnya
mempunyai porositas 27%, batupasir delta porositasnya 20% dan batupasir laut
dangkal mempunyai porositas 10%. Batupasir konglomeratan dari Formasi Talang
Akar merupakan reservoir kedua yang memproduksi minyak dengan porositas
30%. Batugamping Formasi Baturaja berproduksi minyak hanya di bagian
tenggara Subcekungan Jambi dengan porositas 19%. Formasi Telisa memiliki
interval reservoar dan lapisan penutup bagi reservoar Foramasi Baturaja. Pada
Sub Cekungan Palembang produksi minyak terbesar terdapat pada batuan
reservoar Formasi Talang Akar dan Baturaja. Porositas lapisan batupasir berkisar
antara 15-28 %. Reservoir dari Formasi Lower Palembang dan Formasi Middle
Palembang merupakan penghasil minyak terbesar kedua setelah dua formasi yang
disebutkan di atas. Batugamping Formasi Baturaja menghasilkan kondensat dan
gas di tepi sebelah barat dan timur dari subcekungan Palembang. Selain itu di
Cekungan Sumatera Selatan juga ditemukan reservoir hidrokarbon pada batuan
dasar Pra-Tersier yang merupakan fenomena menarik. Hingga saat ini beberapa
sumur eksplorasi yang terbukti menghasilkan hidrokarbon pada reservoir batuan
beku (granodiorit) dan metamorf (slate) yang berumur Mesozoikum (Pra-Tersier).
Hidrokarbon terperangkap pada zona-zona rekahan yang terbentuk akibat aktivitas
tektonik yang sangat intensif pada jaman Miosen Tengah dan mencapai
puncaknya pada Plio-Pleistosen.

4. Batuan Penutup (Seal Rock)

Batuan penutup pada umumnya merupakan laisan lempung yang tebal dari
Formasi Telisa, Formasi Palembang Bawah dan Formasi Palembang Tengah.
Selain itu, terjadinya perubahan fasies ke arah lateral atau adanya sesar-sesar
dapat juga bertindak sebagai penutup atau tudung. Lempung pada Formasi Telisa
menjadi penutup pada reservoar karbonat Formasi Baturaja.

5. Jenis Perangkap (Play Type)

Pada umumnya perangkap hidrokarbon di cekungan Sumatera Selatan merupakan


struktur antiklinal dari suatu antiklinorium yang terbentuk pada Pilo-Pleistosen
seperti pada Formasi Palembang Tengah. Stuktur sesar, baik normal maupun
geser, dapat bertindak sebagai perangkap minyak. Perangkap stratigrafi terjadi

pada batugamping terumbu Formasi Baturaja, bentuk kipas Formasi Lemat, dan

bentuk membaji Formasi Palembang Bawah dan Formasi Talang Akar.
BAB III

LANGKAH PENGERJAAN DAN INTEPRETASI

3.1 Langkah Pengerjaan


a. Analisis Kualitatif Well Log
 Tentukan sand base line, dan shale base line pada kertas well log.
 Lakukan penentuan litologi pada bagian tepi kertas log berdasarkan nilai
Gamma Ray.
 Tentukan daerah mana saja yang termasuk kedalam zona Hidrokarbon
(minimal 40 feet) dan zona air (minimal 20 feet). Dengan cara
membedakan nilai resistivitasnya. Daerah dengan nilai resistivitas rendah
tergolong ke dalam zona air, dan resistivitas menengah-tinggi merupakan
zona oil/gas.
b. Analisis Kuantitatif Well Log
 Isikan data yang diperoleh kedalam table petrofisik yang berupa depth, GR
Log, GR min, GR max.
 Lakukan perhitungan setiap 2 feet.
 Kemudian satukan sesuai zona, apakah zona gas, minyak atau air.
 Lakukan pembacaan nilai Gamma Ray

 Untuk nilai Vshale dihitung dengan rumus Vsh =

Contohnya pada depth 5682 Vsh= (100-40)/(240-40)=0,25


 Untuk nilai pb merupakan nilai densitas yang langsung dibaca pada kertas
well log.

 Untuk nilai ФD dihitung dengan rumus ФD =

Contohnya pada depth 5682 ФD =(2,65-2,38)/(2,65-1,1)=0,174


 Untuk nilai ФDsh menggunakan rumus ФDsh =

Contohnya pada depth 5682 ФDsh=(2,65-2,5)/(2,65-1,1)=0,096


 Untuk nilai ФDc menggunakan rumus ФDc = ФD-(ФDsh x Vsh)
Contohnya pada depth 5682 ФDc= =0,174-(0,096*0,25)=0,15
 Untuk nilai ФN dicari dari pembacaan nilai pada Well Log
 Nilai ФNsh didapatkan dari pembacaan nilai neutron shale terdekat dari
Well Log
 Untuk nilai ФNc menggunakan rumus ФNc = ФN-(ФNsh x Vsh)
Contohnya pada depth 5682 ФNc = 0,15-(0,4 x 0,25)=0,05
 Untuk nilai Фtotal menggunakan rumus Фtotal = (ФN + ФD) / 2 untuk

kondisi minyak atau air, dan Фtotal = / 2 untuk kondisi gas.

Contoh untuk Minyak/ air : Фtotal = (0,14 +0,174) / 2=0,1941


Contoh untuk Gas : Фtotal = SQRT(0,15^2+(0,23^2) / 2=0,194
 Untuk nilai Фe menggunakan rumus Фe = =((2* ФNc)+(7* ФDc))/9
 Untuk nilai RT dilakukan pembacaan pada nilai resistivitas LL deep di
kertas well log
 Untuk nilai Rw dilakukan perhitungan menggunakan metode Inverse
Archie, Picket plot, dan Rasio.
Metode Ratio
1) Untuk metode ini langkah pertama dicari nilai Tf, Rwtf, dan Rxo

rumus Tf={

Nilai BHT merupakan Bottom Hole Temperature yang nilainya dapat dilihat
dari Log header yaitu 185 degF. Kemudian nilai Temp Rmf juga dilihat dari
Log header bernilai 89 degF. Untuk nilai Temp surface merupakan suhu
permukaan umumnya bernilai 80 degF.

2) Kemudian cari nilai Rwtf dengan rumus Rwtf = Rwts x nilai

Rwts = Rmf yang dilihat dari Log header


3) Selanjutnya cari nilai Rw ratio menggunakan rumus Rw = pada zona

air. Kemudian Rw pada zona air di rata- rata untuk mendapatkan Rw pada
zona gas dan minyak.

4) Kemudian cari nilai Sw menggunakan rumus Sw = . Sw yang

digunakan pada setiap metode yaitu Sw Archie, Sw Indonesia, dan Sw


Simandoux.
5) Sw Archie memiliki rumus Sw= S
6) Sw Indonesia = ((((Vsh^(2-Vsh)/3,5)^0,5+( Фe ^2,15/S2)^0,5)^2*Rt)^(-1/2))
7) Sw Simandoux = ((0,4*Rw Ratio)/( wФe ^2))*((SQRT((5*( Фe ^2))/
(Rw*Rt))+((Vsh/3,5)^2)-(Vsh/3,5)))
=
8) Kemudian cari nilai Swirr menggunakan rumus Swirr =

9) Dan yang terahir cari nilai Permeabilitas menggunakan rumus K =


[(250x(Ф3/Swirr)]2
10) Dan yang terahir cari nilai Permeabilitas menggunakan rumus K Willy 2, K
Timur, dan K Texier.
11) Rumus K Willy II =(((100*(Porositas efektif^2))*(1-SWIRR))/SWIRR)^2
12) Rumus K Timur = (((100*(Porositas Efektif^2))*(1-SWIRR))/SWIRR)^2
13) Rumus K Texier = (250*(Porositas Efektif^3)/SWIRR)^2
Gambar 2. Perhitungan untuk mendapat SWIRR pada metode Ratio
Keterangan
Rw = Resistivitas air formasi
Sw = Saturasi air
Swirr = saturasi air sisa
a = Turtuosity (pada unconsolidated sandstone a=0.62)
m = faktor sementasi (pada sandstone m=2.078)
Metode Picket Plot
1) Untuk memperoleh Nilai Rw pada metode ini dengan cara membuat
scatterplot, dimana data Фe sebagai nilai x dan data Rt sebagai nilai y.
2) Setelah data di plotkan pada scatterplot kemudian cari trendline dari data
tersebut, dengan opsi trend line Power dan tampilkan persamaannya
3) Setelah didapatkan persamaan sebagai berikut
Gambar 3. Perhitungan untuk mendapat Rw pada metode Picket Plot

4) Lalu cari nilai Sw Picket Plot pada zona air dengan rumus dimana

nilai m didapatkan dari persamaan trend line yang ber nilai 2,078
5) Selanjutnya isi nilai Rw pada pada zona Hc dengan nilai yang sama pada
zona air yaitu 0,8724
6) Kemudian isi nilai Sw pada zona Hc dengan rumus yang sama pada zona air

7) Kemudian cari nilai Sw menggunakan rumus Sw = . Sw yang

digunakan pada setiap metode yaitu Sw Archie, Sw Indonesia, dan Sw


Simandoux.
8) Sw Archie memiliki rumus Sw= S
9) Sw Indonesia = ((((Vsh^(2-Vsh)/3,5)^0,5+( Фe ^2,15/S2)^0,5)^2*Rt)^(-
w
1/2))
10) Sw Simandoux = ((0,4*Rw Ratio)/( Фe ^2))*((SQRT((5*( Фe ^2))/
=
(Rw*Rt))+((Vsh/3,5)^2)-(Vsh/3,5)))
11) Setelah itu cari nilai Swirr dengan rumus Swirr =

12) Dan yang terahir mencari nilai Permeabilitas dengan rumus K =


[(250x(Ф3/Swirr)]2 untuk daerah potensi oil

Gambar 4. Perhitungan untuk mendapat SWIRR pada metode Picket Plot


13) Dan yang terahir cari nilai Permeabilitas menggunakan rumus K Willy 2, K
Timur, dan K Texier.
14) Rumus K Willy II =(((100*(Porositas efektif^2))*(1-SWIRR))/SWIRR)^2
15) Rumus K Timur = (((100*(Porositas Efektif^2))*(1-SWIRR))/SWIRR)^2
16) Rumus K Texier = (250*(Porositas Efektif^3)/SWIRR)^2
Metode Inverse Archie
1) Dengan metode ini dalam perhitungan Rw pada metode Archie sama dengan
nilai Rw yang berada pada RW Ratio.

2) Kemudian cari nilai Sw menggunakan rumus Sw = . Sw yang

digunakan pada setiap metode yaitu Sw Archie, Sw Indonesia, dan Sw


Simandoux.
3) Sw Archie memiliki rumus Sw= S
4) Sw Indonesia = ((((Vsh^(2-Vsh)/3,5)^0,5+( Фe ^2,15/S2)^0,5)^2*Rt)^(-1/2))
w

=
5) Sw Simandoux = ((0,4*Rw Ratio)/( Фe ^2))*((SQRT((5*( Фe ^2))/(Rw*Rt))
+((Vsh/3,5)^2)-(Vsh/3,5)))

6) Setelah itu isi nilai Swir menggunakan rumus Swirr =

7) Dan yang terahir cari nilai Permeabilitas menggunakan rumus K Willy 2, K


Timur, dan K Texier.
8) Rumus K Willy II =(((100*(Porositas efektif^2))*(1-SWIRR))/SWIRR)^2
9) Rumus K Timur = (((100*(Porositas Efektif^2))*(1-SWIRR))/SWIRR)^2
10) Rumus K Texier = (250*(Porositas Efektif^3)/SWIRR)^2

Cutt Off
1) Setelah semua metode diseleaikan hingga nilai Permeabilitas kemudian
langkah terahir yaitu dengan cara melakukan penseleksian di setiap metode
ataujuga disebut dengan prospeksi. Seleksi ini ditujukan untuk mengetahui
daerah mana yang memiliki prospek hidrokarbon.
2) Metode Cut Off ini dengan melakukan pemilahan menggunakan rumus IF
yang dilakukan pada setiap metode seperti berikut:
=IF(AND(Vsh<0,35;Porositas Efektif>0,15;Sw Archie
<0,65);"prospek";"tidak prospek") maka dengan begitu akan otomatis keluar
prospek atau tidak nya pada kolom.
3.2 Hasil Intepretasi
Berdasarkan analisis kuantitatif perhitungan dibedakan berdasarkan jenis fluida
yang ditemui yaitu minyak, gas, dan air. Sedangkan pada Well log yang bukan
merupakan reservoir diabaikan. Pada software MS Excell, data yang dihasilkan,
diketahui jumlah lapisan yang digambarkan pada hasil berjumlah 31 lapisan berisi
gas, 4 lapisan berisi minyak, dan 41 lapisan berisi air. Selanjutnya dilakukan
analisis kuantitatif dengan 3 metode yaitu Archie, metode Picket Plot , dan metode
Ratio. Dari pengolahan data, didapatkan hasil sebagai berikut:
 Untuk metode Ratio didapatkan bahwa lapisan reservoir yang berisi gas
sebagian prospek dan sebagian tidak prospek, namun sebagian besar masih
menunjukkan adanya prospek yang bagus, dengan ketebalan lapisan yang
masih dapat dipertimbangkan. Sedangkan untuk lapisan minyak, dengan
metode ini menunjukkan hasil yang cukup bagus, yaitu prospek, dengan
lapisan batuannya yang relatif tebal. Dan untuk zona air, memiliki ketebalan
yang sangat tebal dan dengan metode ini menunjukkan jika sebagian besar
tidak prospek, kemungkinan akibat kedalaman yang cukup dalam sehingga
tidak ekonomis.
 Untuk Metode Picket Plot menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan
metode Ratio. Dengan didapatkan bahwa lapisan reservoir yang berisi gas
sebagian prospek dan sebagian tidak prospek, namun sebagian besar masih
menunjukkan adanya prospek yang bagus, dengan ketebalan lapisan yang
masih dapat dipertimbangkan. Sedangkan untuk lapisan minyak, dengan
metode ini menunjukkan hasil yang cukup bagus, yaitu prospek, dengan
lapisan batuannya yang relatif tebal. Dan untuk zona air, memiliki ketebalan
yang sangat tebal dan dengan metode ini menunjukkan jika sebagian besar
tidak prospek.
 Untuk metode Archie menunjukkan hasil yang relatif buruk. Dengan zona gas
yang relatif tebal, dengan metode ini menunjukkan banyak sekali zona yang
tidak prospek, hal ini dikira kurang cocok karena keberadaan lapisan reservir
yang tebal. Selanjutnya untuk zona minyak dengan pendekatan Sw Archie
menunjukkan prospek yang baik, namun dengan pendekatan Sw Indonesia dan
Simandoux menunjukkan tidak prospek, sehingga hal ini perlu dikaji ulang.
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
 Pada data Well Log terdapat beberapa reservoir dengan kandungan fluida
yang berupa gas, minyak, dan air.
 Dengan metode Picket Plot, Archie dan Ratio menunjukkan adanya lapisan
gas yang sebagian besar memiliki prospek dan hanya sebagian kecil yang
tidak prospek.
 Dari ketiga metode sama-sama menggunakan Sw Archie, Indonesia, dan
Simandoux dan dari metode Ratio dan Picket Plot menunjukkan adanya
lapisan minyak yang prospek, dengan ketebalan lapisan yang lumayan.
Sedangkan dengan metode Archie terdapat Sw Indonesia dan Sw
Simandoux yang menunjukkan tidak prospek, sehingga metode ini dapat
disebut kurang cocok untuk dipakai karena tidak saling berkesuaian.
 Dari prospeksi yang telah dilakukan didapatkan metode Ratio dan Picket
plot yang paling cocok untuk digunakan, karena hasil yang dihasilnya
saling berkesuaian.

DAFTAR PUSTAKA

www.digilib.itb.ac.id/files/disk1/620/jbptitbpp-gdl-rinaldonim-30956-3-2008ta-
2.pdf ( Diakses pada jumat 30 Maret 2018 pukul 20.20 WIB)

Anda mungkin juga menyukai