Anda di halaman 1dari 26

SUAMI DAN ISTERI

TENAGA pendorong terhadap terciptanya ruang yang terbagi diantara


laki-laki dan wanita bisa dipahami dengan tepat dengan menganalisis fungsi unit
perkawinan, satu-satunya model hubungan hetero-seksual yang ditawarkan oleh
masyarakat Maroko kepada anak-anaknya.
Menurut al-Ghazali, isteri yang ideal bagi seorang mukmin adalah:

Cantik, penyabar, memiliki manik mata yang hitam, berambut panjang,


bermata lebar, berkulit putih, dan mencintai suaminya, sehingga tidak
melihat kepada yang lain kecuali kepadanya.18

Al-Ghazali menjelaskan bahwa bahasa Arab memiliki satu kata aruba19


yang berarti seorang wanita yang jatuh cinta kepada suaminya, sehingga selalu
ingin membagi kasih dengannya. Ini adalah salah satu yang digunakan untuk
menggambarkan para bidadari yang dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang
mukmin di surga.20 Dia menambahkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda;
Seorang wanita yang mencintai dan menaati suaminya merupakan suatu karunia
(nikmat) dari Allah. Wanita seperti ini sungguh menjadi sebuah rahmat bagi
suaminya, karena apabila struktur konflik menjadi landasan suatu unit
perkawinan, dan didasarkan atas suatu hubungan dari kekuatan-kekuatan
(superioritas suami yang kaku, ed.) akibat yang paling mungkin adalah kebencian
wanita, pemberontakan wanita kepada suaminya.

Perkawinan Sebagai Konflik


Semua wanita yang diwawancarai berbicara tentang “perkawinan yang
penuh pengertian” (I’entete conjugale) sebagai suatu peristiwa magis yang bisa
mengatasi semua hambatan.

Jika terdapat saling pengertian (entente) antara suami dan isteri, semua
hambatan bisa diatasi. Kesulitan-kesulitan besar menjadi mudah
dipecahkan. Jika tidak ada saling pengertian, segala sesuatu menjadi sulit.
(Fatiha F)

Kami tidak pernah saling bertengkar. Dia selalu memperlakukan diri saya
layaknya seorang tamu, dengan penuh rasa hormat. Dia akan melakukan
segalanya sebelum saya menyatakan keinginan nya. Sebagai contoh, suatu
hari saya memutuskan untuk membesihkan rumah secara menyeluruh.
Saya macoba, dengan tenaga saya sendiri, untuk memindahkan sofa dan
papan-papan kayu. Dia segera lari keluar, ke jalan, dari menyewa satu atau
dua orang pembantu untuk saya. Adalah karunia Allah jika terdapat rasa
hormat (antara suami dan isteri).
(Hayat H)

Dia tidak pernah menghalangi keinginan-keinginan saya Saya sebisa

18
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Kairo (tanpa tahun) hal. 39
19
Ibid,
20
Al-Qur'an, surat 78:32.
mungkin tidak menghalangi keinginan-keinginannya. Dia tetap
memperlakukan saya dengan pertimbangan yang sama. Dia tidak pernah
membentak saya. Dia menghormati saya dan saya perlakukan dia sebagai
layaknya seorang raja. Alhamdulillah. Saya berharap puteri-puteri saya
seberuntung diri saya.
(Kanza)

Persepsi tentang cinta dan rasa hormat suami sebagai sebuah keaiaiban
kemungkinan bersumber dari kenyataan bahwa wanita tidak bisa secara hukum
menuntut rasa hormat dan cinta dari suaminya. Hal ini tergambar pada daftar hak-
hak dan kewajiban-kewajibanmasing-masing suami isteri dalam kitab undang-
undang Maroko tahun 1957.

Pasal 36: Hak-hak Suami Terhadap Isteri


1. Kesetiaan
2. Ketaatan menurut patokan-patokan yang diterima.
3. Penyusuan - jika memungkinkan - terhadap anak-anak yang dilalukan
dari perkawinan.
4. Memimpin pengelolaan rumah tangga dan pengaturannya.
5. Penghormatan kepada ibu dan ayah serta sanak saudara dari pihak
suami.

Pasal 35: Hak-hak Isteri Terhadap Suami.


1. Pemberian nafkah sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum, seperti
makanan, pakaian, perawatan kesehatan, dan perumahan.
2. Dalam kasus poligami, hak untuk diperlakukan sama dengan isteri-
isteri lainnya.
3. Wewenang untuk pergi dan mengunjungi orang tuanya dan hak untuk
menerima mereka sesuai dengan batasan-batasan yang diberikan oleh
patokan-patokan yang diterima.
4. Kebebasan penuh untuk mengelola dan membelanjakan harta miliknya
tanpa pengawasan/pengendalian dari pihak suami dan suami tidak
memiliki kekuasaan atas harta milik isteri.

Perlu dicatat bahwa suami tidak memiliki kewaiiban moral terhadap


isterinya. Sebagai tambahan, terlepas dari hak-hak isteri yang tertera pada butir 1
dan 4 di atas, semua hak lainnya yang dinyatakan di atas pada dasarnya
merupakan pembatasan-pembatan terhadap kemerdekaannya (seperti pada butir 3)
atau pembatasan-pembatasan terhadap haknya atas diri suaminya (poligami, pada
butir 2). Isteri tidak bisa mengharapkan kesetiaan. Apa yang dia harapkan didapat
dari suaminya adalah perintah, dan apa yang diharapkan untuk dia berikan adalah
ketaatan. Hal ini ditekankan dan dibenarkan oleh tatanan sosial yang mendorong
suami untuk memerintah isterinya dan bukan untuk mencintainya. Dalam
hubungan ini al-Ghazali menggambarkan:

Sebagian jiwa kadang kadang membiarkan dirinya secara penuh dikuasai


oleh dorongan cinta (kepada seorang wanita). Ini adalah kegilaan yang
murni. Hanya dengan mengabaikan secara menyeluruh, persenggamaan
bisa terjadi. Dorongan cinta bisa menenggelamkan jiwa pada tingkatan
binatang, jika pengendalian dan penguasaan dirinya telah pergi. Karena
seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta tidak semata mata mencari
keinginan untuk bersenggama - yang merupakan hal terhina dari seluruh
keinginan yang ada21 dan karenanya seseorang seharusnya merasa malu -
tetapi dia melangkah lebih jauh lagi dengan meyakini bahwa hasrat ini
tidak dapat dipuaskan kecuali dengan suatu obyek tertentu (seorang wanita
tertentu). Seekor binatang buas memuaskan nafsu seksualnya dimana saja
ia bisa melakukannya, sementara laki-laki tipe ini (laki laki yang
kasmaran) tidak bisa memuaskan nafsu seksualnya kecuali dengan
kekasihnya. Dengan demikian, dia menumpuk aib demi aib dan
perbudakan demi perbudakan. Dia mengerahkan akalnya untuk melayani
nafsunya. padahal akal diciptakan untuk memerintah dan ditaati.22

Kewajiban keagamaan bagi suami untuk memerintah isterinya diperkuat


oleh berbagai ucapan dan ungkapan pada budaya rakyat Maroko Sebagian
diantaranya diduga merupakan kutipan langsung dari (ucapan-ucapan) Nabi saw.
dan para sahabatnya.

Mintalah pendapat isterimu, tetapi ikutilah pendapatmu sendiri.


Mintalah pendapat isterimu, tetapi lakukan yang sebaliknya. Jangan sekali-
kali mengikuti saran-saran isterimu.23

Kewajiban laki-laki untuk memerintah isterinya terwujud dalam haknya


untuk meluruskan tindakan isterinya dengan pemukulan secara fisik. Al-Qur'an
sendiri menganjurkan cara ini, tetapi hanya sebagai upaya terakhir jika isterinya
membangkang, suami diperintahkan untuk mengingatkannya dengan ucapan yang
keras, kemudian, jika tidak berhasil, mendiamkannya, yakni tidak melakukan
hubungan badan dengannya. Hanya, jika cara-cara ini gagal, dia diperbolehkan
memukulnya untuk meniadikannya taat.24 Hak untuk meluruskan tindakan isteri
ini, tampaknya cenderung dipergunakan secara keterlaluan oleh para suami. Nabi
saw. (yang bersikap sangat lembut kepada isteri-isteri beliau) membatasi masalah
ini pada ukuran yang wajar.

Jangan pukul isteri-isterimu seperti seorang memukul budak


dan kemudian bersenggama dengan mereka di penghujung malam.25

21
Reaksi perasaan mendadak terhadap seks itu sendiri merupakan suatu pandangan yang
asing bagi Islam ortodoks. Ghazali diduga telah menulis kitabnya, Ihya Ulumuddin, selama
periode kemunduran asketik mistik (tasawuf) antara 1095 dan 1105.
22
Al-Ghazali, ‘Criterion for Action’, Kairo 1964, hal. 317.
23
E. Westermark, Wit and Wisdom in Morocco, hal. 329. Dua ungkapan pertama bisa
ditelusuri kepada khalifah kedua , Umar ibnu al-Khatab. Lihat al-Ghazali, Ihya, hal. 44.
24
Al-Qur'an, surat, 4:34, lihat catatan-catatan tentang masalah pemukulan (terhadap
isteri) pada al-Ghazali, Ihya, hal. 49. J. Schacht, Introduction to Islamic Law, hal. 166, dan Y.
Linant de Bellefonds, ‘Traite de Drait Musulman compare’. The Hague dan Paris 1965, hal. 294.
25
Al-Bukhari, Al jami’ al-Shahih, hal. 448, K:47 B:93; Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hal.
415, B:11, H:1173.
Kekhawatiran terhadap perlakuan yang kasar dan pemukulan merupakan
salah satu alasan mengapa para gadis biasanya lebih suka mengawini seorang
suami yang tinggal di lingkungan yang sama.
Pada masyarakat moderen, kaum wanita bisa mengajukan gugatan
terhadap suaminya yang memukul mereka. Tetapi mereka tidak akan
mendapatkan tanggapan jika mereka tidak bisa menetapkan bukti fisik akibat
perlakuan kasar tersebut. Perlakuan kasar ini mencapai suatu tingkatan yang tidak
bisa ditahan lagi dan bisa dibuktikan untuk dijadikan alasan bagi kaum wanita
(baca: isteri) untuk mengajukan perceraian. Adalah hakim yang harus
mempentimbangkan apakah perlakuan kasar tersebut masih bisa ditolerir atau
tidak, dan memutuskan apakah akan menetapkan perceraian atau tidak. 26 Para
hakim pada masyarakat Maroko tidak terkenal karena keputusan-keputusannya
yang memihak kaum wanita. Artinya, bahwa hak untuk memukul isteri
merupakan suatu hak istimewa yang tidak terkendali dari suami.
Dalam masyarakat Maroko Tradisional tidak terdapat pola perilaku yang
diterima secara terang-terangan bagi isteri untuk menyatakan cintanya secara
lahiriyah kepada suaminya, sementara pola perilaku yang diakui secara terang-
terangan bagi penolakannya terhadap suaminya benar-benar ada, yaitu Karhun.
Jika isteri, setelah hari-hari pertama perkawinan, tidak menyukai suaminya, dia
dikatakan menjadi harjat karha, atau penuh kebencian. Hal ini dinyatakan dengan
perilaku yang dibakukan, - biasanya, menurut hasil-hasil wawancara saya - suatu
penolakan menyeluruh untuk berpisah tempat dengan suaminya (dia akan
meninggalkan kamar kapan saja suaminya masuk) atau menolak sama sekali
untuk berbicara kepadanya. Jika seorang isteri karha, hal ini dipandang sebagai
malapetaka oleh masing-masing keluarga dan orang-orang yang terlibat.
Penolakan wanita terhadap suaminya, berbeda dengan sifat perkawinan yang
biasanya mengikat bagi kaum wanita dan seringkali berakhir dengan pemutusan
ikatan perkawinan. Pengalaman dari seorang wanita yang telah kawin ketika dia
baru berusia tiga belas tahun memperlihatkan bahwa perkawinannya yang
berlangsung sebagai kehendak orang tuanya mewujudkan bahwa orang tua
tersebut sangat memperhatikan nasib puterinya, seperti yang diperkirakan
masyarakat, dan ternyata salah ketika rencana mereka terbukti gagal. Kaum
wanita biasanya segera dikawinkan lagi setelah pengalaman karha tersebut dan
seringkali membuangnya dari ingatan mereka, seperti yang digambarkan pada
wawancara berikut ini:

+ “Zahra dan Hamid tidak memiliki ayah yang sama”


- “Apa yang anda maksudkan? Lalu. Siapakah ayah Hamid?”
+ “Suami pertama saya”
- “Anda telah berjanji untuk menceritakan kisah hidup anda, (mengapa) anda
melupakan sesuatu hal sepenting itu?”
+ “Saya benar-benar melupakannya. Lebih-lebih hal ini tidak penting, saya tidak
suka membicarakannya.”
- “Berapa lama hal ini berakhir?”

26
Pasal 56, Code du Status Personnel
“Dia adalah tetangga kami. Isterinya meninggal dan orang tua saya telah mengatur
perkawinan saya dengannya. Ketika dia memasuki dashshousha27 (semacam
pembaringan) saya membencinya. Perkawinan tersebut berakhir setelah satu
setengah tahun. Selama masa tersebut saya habiskan waktu saya di rumah orang
tua saya. Dia melakukan apa saja agar saya mencintainya. Sebaliknya, jika dia
mencoba mendekati saya, justeru membuat saya semakin benci.

Perkawinan kami berakhir ketika saya hamil. Setiap kali saya melihatnya, saya
mulai gemetaran. Keluarga kami mengusahakan "pelarian” saya. Ayah saya
mengatur agar saya pergi dan tinggal dengan seorang paman yang tinggal sangat
jauh dari kota. Hakim terlibat dalam peristiwa tersebut. Ayah saya mengirim
utusan-utusan yang terdiri dan para shorfas (orang yang menganggap dirinya
keturunan dari Nabi langsung) kepada keluarga suami saya, dan akhirnya, ayah
saya yang malang tersebut memutuskan untuk membeli kebebasan saya, dan saya
dibebaskan”.

(Tamou T.)

Imam al-Ghazali setuju bahwa perkawinan setara dengan perbudakan bagi


wanita, karena perkawinan menempatkan wanita dalam suatu keadaan dimana dia
harus mematuhi suaminya tanpa pembatasan, kecuali jika apa yang diperintahkan
suami merupakan suatu pelanggaran terhadap perintah-perintah Allah.28
Mengapa masyarakat Maroko mendorong suami untuk berperan sebagai
tuan dan bukannya kekasih? Apakah cinta antara suami dan isterinya mengancam
sesuatu yang mendasar dalam tatanan Muslim? Kita telah melihat bahwa
kepuasaan seksual dipandang penting bagi kebaikan moral seorang mukmin.
Tidak terdapat pertentangan antara Islam dan seksualitas, selama seksualitas
dinyatakan secara harmonis dan tidak dikekang (total). Apa yang dipandang
sebagai sesuatu yang negatif dan anti-sosial oleh Islam adalah wanita dan
kekuatannya untuk menciptakan fitnah. Keterlibatan heteroseksual, (wuyud) cinta
yang sesungguhnya antara suami dan isteri merupakan bahaya yang harus diatasi.

Pencegahan Terjalinnya Keakraban


Tindakan seksual dipandang merusak29 dan dikelilingi oleh upacara-
upacara dan doa-doa yang tujuannya adalah untuk menciptakan suatu jarak
emosional antara pasangan suami-isteri dan untuk mereduksi cakupan mereka
kepada fungsi dasarnya, yaitu semata-mata sebagai tindakan reproduktif
(menghasilkan keturunan). Selama persenggamaan, laki-laki benar-benar
memeluk wanita, sebuah Simbol kegilaan dan kekacauan, kekuatan anti-kesucian
dan instink (gharizah) dan pengikut plan setan. Oleh sebab itu, suatu ketakutan
terhadap ereksi, yang dialami sebagai suatu kehilangan pengendalian, dan

27
Dahshosha adalah suatu tenda pelaminan simbolis yang dibuat dari kain korden yang
diletakkan di dalam kamar penganan untuk menjaga privasi pasangan baru tersebut di dalam
rumah yang biasanya ramai di mana (pesta) perkawinan berlangsung.
28
Al-Ghazali, Ihya, hal. 56.
29
Al-Qur'an, surat 4:43.
menurut al-Ghazali,30 hal itu dihubungkan kepada kegelapan, sebagaimana
disebutkan pada surat al-Falaq ayat 1-3:

Katakanlah “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Menguasai subuh,


dari kejahatan makhluk-Nya dan dari kejahatan malam apabila telah gelap
gulita.

Dalam upaya untuk mencegah terjadinya suatu penggabungan sepenuhnya


dengan wanita, pelukan coital (pelukan selama persenggamaan) dikelilingi oleh
suatu upacara yang menjamin agar seorang laki-laki tetap ingat kepada Allah
selama penetubuhan. Ruang coital diarahkan secara keagamaan: Pasangan suami-
isteri harus memalingkan kepala mereka dari arah Makkah; ‘Mereka hendaknya
tidak menghadap ke Masjidil Haram untuk menghormatinya”.31 Simbolisme dari
arah spasial (ruang) ini mencerminkan antagonisme antara Allah dan wanita.
Makkah adalah arah untuk Tuhan. Selama hubungan badan, laki-laki diingatkan
bahwa dia tidak berada pada wilayah Allah. Oleh sebab itu, perlu untuk memohon
kehadiran-Nya (maksudnya: tetap ingat kepada Allah, penj).

Dianjurkan bagi suami untuk memulai (hubungan badan) dengan


membaca asma Allah dan membaa doa: “Katakanlah! Allah adalah Maha
Esa. Kemudian membaca takbir (Allah Maha besar) dan tahlil (tidak ada
Tuhan selain Allah). Kemudian membaca (do'a): “Dengan nama Allah,
Yang Maha Tinggi dan Maha Gagah, jadikanlah dia seorang keturunan
yang (saleh), jika Engkau mengaruniai seorang keturunan dari benihku”.32

Pada detik-detik klimaks dari ejakulasi, baik batasan-batasan lahiriyah


maupun batiniyah dan pecinta tersebut terancam untuk lebur ke dalam suatu
identifikasi total dengan wanita.33 ”Seorang Muslim diingatkan:

Adalah tepat untuk berdoa dalam hati dengan kata-kata berikut ini:
”Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dari setitik air”.34

Kesatuan suami-isteri dalam perkawinan menghadirkan suatu bahaya yang


lebih besar dari pada pelukan seksual yang berlangsung sementara. Cinta birahi
memiliki potensi untuk berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih meluas,
lebih menyeluruh. Hal ini bisa berkembang ke dalam suatu ikatan emosional yang
berlebihan, yang sebenarnya ikatan emosional tersebut hanya untuk Allah semata.

Hubungan birahi tampaknya memberikan puncak yang tidak tertandingi


dari pemenuhan tuntutan akan cinta dalam penggabungan langsung dari
jiwa seseorang kepada lainnya. Suatu etika yang mendasar dari
30
Al-Ghazali, Ihya, hal. 28.
31
Ibid, hal. 50.
32
Ibid, hal. 49.
33
Sandoe Ferenozi, Thalasse, a Theory of Genetality, New York 1968, hal. 17.
34
Al-Ghazali, Ihya, hal 50. Ayat tersebut adalah pada al-Qur’an, surah 25:54. Riwayat-
riwayat lain tentang ucapan (doa) seorang Muslim yang dianjurkan untuk diucapkan selama
persenggamaan terdapat pada Imam Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, hal 439 K:67, B:66; dan Imam
Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, hal. 277, B:8, H:1098.
persaudaraan keagamaan secara radikal dan antagonistik bertentangan
dengan semua ini. Dari sudut pandang etika semacam ini, inti perasaan
duniawi tentang pembebasan melalui cinta yang ”dewasa“ ini bersaing
dalam cara yang paling tajam yang mungkin ada dengan pengabdian pada
Tuhan yang supra-duniawi...35

Allah menuntut suatu cinta yang menyeluruh dari makhluk-Nya. Dia


menuntut seluruh kemampuan seorang mukmin bagi cinta kasih emosionalnya
(kepada-Nya, ed.)

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah sekutu-sekutu


selain Allah. Mereka menamainya sebagaimana mereka menamai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.36

Keterikatan emosional akan membagi hati laki-laki, dan Allah tidak


menciptakan (laki-laki) dengan dua hati di tubuhnya.37

Monotheisme Islam menjadi kuat setelah ditempa dalam peperangan yang


sengit melawan kesyirikan. kebiasaan keagamaan yang utama di Arab pada awal
abad VII. Pemujaan terhadap berhala, dan oleh sebab itu pengakuan terhadap
keaneka-ragaman perwujudan Tuhan, penyekutuan dari berbagai dewa-dewa dan
dewi-dewi merupakan kepercayaan yang dianut secara luas. Allah, pada masa
jahiliyah, disembah sebagai salah satu dewa di antara dewa-dewa lainnya. Oleh
rebab itu, Islam harus membersihkan langit Arab dari Tuhan apapun yang bisa
mengancam hak mutlak Allah (untuk menerima penyembahan, penj.). Untuk
itulah pernyataan pembuka dari kesaksian seorang Muslim adalah: Tidak ada
Tuhan selain Allah. (Dalam masalah ini, lihat Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah;
Ibnu al Khali dalam kitab al-Asnam, dan karya-karya lainnya tentang agama-
agama asli pada Arab pra-Islam).
Allah dikenal Maha Pencemburu, terutama cemburu kepada segala sesuatu
yang bisa mengganggu pengabdian seorang mukmin kepada-Nya.38 Kesatuan
suami-isteri dalam perkawinan merupakan suatu bahaya yang sesungguhnya dan
akibatnya dilemahkan dengan dua perangkat hukum: Poligami dan perceraian.
Kedua lembaga ini didasarkan atas pandangan-pandangan dasar Psikologis yang
menyingkap suatu kesadaran yang mengherankan dari sifat mental suami-isteri
dan kelemahan-kelemahannya.
Peribahasa rakyat memandang poligami sebagai suatu sarana yang
dengannya kaum laki-laki menjadikan dirinya berharga, bukan dengan
penyempurnaan suatu kualitas di dalam dirinya sendiri, tetapi dengan
menciptakan suatu situasi persaingan di antara banyak wanita.

35
Max Weber, ‘Religious Rejections of The World and Their Directions’, dalam ‘Dari
Max Weber’, diterjemahkan oleh H. Wright Mills, New York 1958, luL 347
36
Al-Qur'an, surat 2:165
37
Al-Qur'an, surat 33:4
38
Tentang kecemburuan Allah, lihat Imam Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, hal 451, K:67,
B:107, 106; dan Imam Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hal. 417, B:14, H: 1178.
Tamou adalah sebuah kotak harta karun (Tamou adalah nama seorang
wanita). Aisyah adalah kunci untuk membukanya (Aisyah adalah nama
wanita lainnya).39

Poligami dalam pandangan ini merupakan suatu upaya langsung untuk


mencegah perkembangan emosional dalam suatu perkawinan, dan berakibat
pengkerdilan pencurahan kasih sayang antara suami-isteri sebagai kekasih.

Akibat nyata poligami adalah bahwa seorang isteri tidak memiliki


suaminya secara penuh, dia membaginya dengan seorang isteri lainnya
atau lebih. Apakah artinya ini? Paling tidak hal ini berarti bahwa laki-laki
yang berpoligaml cenderung untuk kurang mencurahkan emosionalnya
pada masing-masing isterinya. Dia “tidak menampilkan semua telurnya
pada satu keranjang”. Arti bagi isteri-isteri yang lain kurang jelas. Saya
menduga bahwa poligami secara umum menurunkan pengaruh terhadap
pentingnya ikatan emosional antara suami isteri dan hal ini berlaku bagi
isteri, begitu juga suami. Isteri juga kurang mencurahkan hubungannya
pada suaminya dan lebih mencurahkan emosionalnya pada hubungan-
hubungan lainnya.40

Arti poligami bagi isteri-isteri yang lain dijelaskan oleh Salama, seorang
wanita berusia 60 tahun yang hidup sebagai selir pada sebuah harem di Maroko,
mulai tahun 1924 sampai 1950.

Saya bahagia terangkat ke status sebagai kekasihnya, tetapi saya


takut akan bahaya-bahaya yang mengikutinya.41 (Bahaya apa?) Banyak,
yang paling menakutkan adalah bahaya hajar.42
Apakah dia pernah menghajar salah satu dari kalian? Ya, dia
pernah melakukannya. Dia hanya mengumpulinya sekali dan setelah itu
dia tidak pernah berbicara dengannya. Saya dihantui oleh kasus Zahra.
Setiap kali saya pergi ke apartemennya, saya berbaring di sana dengan
mata terbuka lebar, terjaga di waktu menjelang subuh dan bertanya pada
diri sendiri, “Apakah ini terakhir kali dia memanggilku?” Saya tidak
berbeda dari Zahra. Zahra lebih cantik dari kebanyakan kami. Mengapa dia
akan memilihku lagi?
Apakah kamu pernah cemburu?

39
E. Westermark, Wit and Wisdom, hal. 329.
40
W. Stephens, The Oedipus Complex, Cross Curtural Evidence, New York 1962,
hal. 6.
41
Tuan dari seorang budak wanita (jariyah) bisa memilih untuk membatasinya kepada
suatu fungsi domestik atau mengangkatnya kepada status sebagai kekasih (selir) dengan memiliki
hak-hak istimewa tertentu, termasuk keabsahan anak-anak mereka dan hak mereka untuk
mewarisi.
42
Al-Hajru: Jika seorang laki-laki (tuan) tidak tertarik lagi kepada seorang selir,
dia bisa menolak untuk berhubungan badan dengan wanita tersebut, sekalipun hanya pada
tingkatan lisan, dan penolakan pada dirinya tersebut seringkali mencerminkan kedudukan anak di
dalam komunitas harem. Wanita yang menjadi sasaran al-hajru tersebut kehilangan statusnya dan
hak-haknya sebagai selir terkasih dan selir-selir lainnya. Dia seringkali dikaitkan dengan “nasib
buruk” dan “bisa mendapatkan keburukan” nasib.
Anda pastilah bergurau. Cemburu kepada siapa? Dan cemburu
karena apa? Kami tidak memiliki hak untuk cemburu. Tidak satupun isteri-
isterinya yang memiliki hak atasnya, termasuk isteri yang sah (permaisuri).
Untuk satu hal kita semua sama. Demokrasi.

Harem-harem saat ini merupakan pengecualian dalam masyarakat-


masyarakat Muslim moderen yang disibukkan dengan masalah-masalah ekonomi.
Secara statistik poligami sedang sekarat,43 tetapi asumsi-asumsinya masih bekerja
sekalipun di dalam rumah tangga monogamis. Hal ini digambarkan oleh salah satu
hasil wawancara yang saya lakukan.
Dia selalu mengulangi pernyataannya bahwa dia akan kawin lagi. Dia
mengancam saya setiap pagi. Saya tidak khawatir lagi (dengan keputusan
yang akan diambilnya). Dia tidak akan mampu menghidupi kami. Dia
tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bagaimana dia bisa mengajukan argumen
kepada salah satu dari wanita-wanita moderen tersebut? Ini pastilah
menjadi lelucon, tetapi hal ini menyakitkan hatiku jika dia mengatakan hal
itu, dan saya merasa seperti balik menyakitinya.
(Maria M)

Poligami Muslim (Islam), sekalipun secara umum dianggap sebagai hak


istimewa laki-laki, memuat suatu rincian internasional yang rumit, sehingga bisa
mencegah laki-laki untuk melaksanakan hak istimewanya yang paling dalam; hak
untuk berhubungan badan dengan isteri mana ama yang dia inginkan pada setiap
waktu.
Merupakan kewajiban bagi suami yang berpoligami untuk menjaga
persamaan diantara isteri-isterinya dan tidak melebihkan salah satunya
dengan mengorbankan yang lain. Jika dia bepergian dan menginginkan
salah satu dan isteri-isterinya menyertainya, dia harus mengundinya,
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, dan jika dia mengecewakan
seorang isteri pada malam yang menjadi haknya, dia harus menggantinya
pada malam yang lainnya. Ini merupakan kewajiban agama. Nabi saw -
karena pandangan beliau yang mulia tentang keadilan dan keperkasaan
beliau yang luar biasa - biasa melakukan hubungan badan dengan isteri-
isteri beliau yang lain (sebagai kompensasi, ed.) jika beliau menginginkan
untuk menggauli seorang isteri beliau pada waktu yang bukan menjadi
haknya sesuai dengan sistem giliran. Itulah, mengapa, menurut Aisyah
(isteri Nabi saw. yang paling muda dan terkasih), belum melakukan
kewajiban semacam ini dalam satu malam. Menurut Anas, sembilan isteri
Nabi saw. pernah menerima kunjungan beliau sekaligus pada satu pagi.44

Kemampuan seksual Nabi saw. yang hebat tersebut dipandang sebagai


bagian dari kepribadian beliau yang terkemuka. Beliau dianggap memiliki
kekuatan seksual yang luar biasa yang sepadan dengan kekuatan empat puluh laki

43
Tingkatan rata-rata di Maroko pada 1952 telah mencapai angkatan yang sangat rendah -
6,6%. Sejak saat itu bisa jadi semakin menurun. Lihat William Goode, World Revolution and
Family Patterns, New York 1963, hal. 103; lihat juga R. Patai, Society, Culture and Change in the
Middle East. Philadelpia 1962, hal.92-93.
44
Al-Ghazali, Ihya, hal. 48.
laki,45 tetapi seorang mukmin - yang biasa-biasa - saja tidak diharapkan akan
menyamai kemampuan dan keperkasaan Nabi saw. tersebut. Pragmatisme
merupakan kualitas seorang Muslim dan penerapan yang ketat terhadap sistem
giliran tersebut, untuk laki laki kebanyakan, yang tidak akan mampu memenuhi
sembilan wanita dalam satu pagi, berarti bahwa dia harus menarik diri dari
keinginan seksualnya terhadap seorang isteri yang bukan gilirannya sesuai dengan
aturan giliran tersebut. Hal ini memastikan jarangnya hubungan seksual di tengah-
tengah banyaknya isteri. Poligami bukan saja mewajibkan laki-laki untuk
membagi-bagi keterlibatan emosionalnya dengan isteri-isterinya, tetapi ia juga
menetapkan aturan tentang kemampuan untuk saling bertukar. Poligami
mewajibkan suami untuk melakukan hubungan badan dengan wanita-wanita yang
tidak dia inginkan dan melarangnya untuk menyerah kepada daya tarik dari wanita
lainnya - apabila bukan gilirannya - sekalipun dia adalah isterinya sendiri.
Asumsi-asumsi yang mendasari poligami juga diterapkan pada perceraian.
Seperti poligami, talak tampaknya menjadi suatu hak istimewa laki-laki yang
membolehkannya untuk berganti pasangan (isteri) dengan pernyataan lisan
sederhana, Saya menceraikan kamu. Tetapi, cara ini sering menjadi bumerang
dan tidak jarang merugikan laki-laki.

Surat no. 1

Fez, Juli 1971


Segala puji bagi Allah
Dan Tuan......…

Kepada yang mulia 'Allamah Moulay Musthafa Alaoui.


Saya berbahagia bisa menulis surat kepada yang mulia untuk
meminta nasehat tuan menyangkut malapetaka yang menimpa diri saya,
suatu persoalan yang pemecahannya di luar kemampuan saya.
Saya telah mengucapkan rumusan talak di saat saya terbakar
kemarahan. Saya memohon yang mulia untuk mengatakan kepada saya
barangkali terdapat sesuatu yang bisa saya lakukan untuk mengembalikan
isteri saya di samping apa yang telah terjadi.
Saya harus mengakui bahwa saya sangat mencintai isteri saya.

Wassalam

Undang undang Maroko menetapkan bahwa talak yang diucapkan dalam


keadaan marah atau mabuk tidak sah. Sekalipun hal ini telah diketahui dengan
baik oleh rata-rata orang Maroko, suami tersebut tampaknya merasa
membutuhkan penegasan kembali dalam suatu masyarakat, di mana kata-kata
memiliki akibat yang fatal. Kecemasan suami tersebut digemakan dengan
ketakutan isteri untuk hidup dalam suatu keadaan terlarang dengan suaminya
sendiri, kapam saja dia cenderung menggunakan rumusan talak tersebut.

45
Ibnu Saad, Al-Tabaqat, Jilid 8, hal. 192; lihat juga Al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shahih, hal.
412, K:67, B:4.
Surat no. 2

Casablanca,
Dari Nyonya....
Saya telah bertengkar dengan suami saya dan dia telah
menceraikan saya (mengucapkan kata cerai). Sekarang saya telah kembali
padanya, tetapi dia tidak melaksanakan formalitas-formalitas legal bagi
perkawinan kembali kami (rujuk). Apakah saya masih bisa tinggal
bersamanya ataukah saya harus kembali ke orang tua saya? Saya memiliki
tiga anak, dan suami saya selalu bersumpah, untuk menggunakan rumusan
talak tanpa melaksanakan tindakan-tindakan yang perlu untuk menjadikan
kehidupan kami kembali sah menurut hukum. Sebagai tambahan, saya
mengawininya pada usia sangat muda. Apakah saya harus puas (rela)
dengan situasi ini atau bisa pergi dan kembali kepada orang tua saya?

Talak dengan lisan bukan saja suatu perangkap bagi laki-laki dan wanita.
Ia juga secara moral mengikat semua keluarga, yang merasa tidak enak ketika
mereka menyaksikan perceraian secara lisan. Jika laki laki (suami) tidak
melaksanakan perkawinan ulang secara hukum (rujuk), mereka merasa bahwa
mereka hidup bersama para pezina.

Surat no. 4

Propinsi Beni Melal, 14 Mei 1971


Saya sampaikan masalah ini atas nama Tuhan
Seorang laki-laki berkata kepada isterinya, “Kamu dicerai dengan
talak tiga”, dan dia mengulangi ucapan tersebut sampai tiga kali. Ini
merupakan suatu kesalah-pahaman yang biasa. Dan hasil perkawinannya
dengan isterinya itu ia mempunyai anak. Dia (isterinya) masih tinggal
bersamanya di rumah tersebut. Laki-laki tersebut tidak tidur dengannya
atau mendekatinya untuk berbicara dengannya, tetapi masih melaksanakan
semua kewajibannya sebagai seorang ayah. Dia memberikan kepada
isterinya itu uang yang dia butuhkan untuk dirinya dan anak-anaknya.
Sekarang, dengan adanya kenyataan bahwa laki-laki ini bodoh,-
karena dia tidak mengetahui tentang masalah-masalah keagamaan - maka
ayahnya (dari laki-laki ini) yang bertanya kepada anda tentang bagaimana
pandangan hukum agama terhadap masalah ini. Apakah terdapat suatu cara
bagi laki-laki ini untuk mendapatkan kembali isterinya atau sudah tidak
ada jalan keluarnya, yakni harus berpisah?

Hal yang mengejutkan tentang perceraian yang berlangsung (baca:


berlaku) pada masyarakat Maroko adalah bahwa tidak terdapat pemeriksaan
apapun terhadap keinginan suami untuk mengakhiri ikatan perkawinan. Peranan
hakim terbatas hanya mencatat keinginan tersebut, tidak pernah menentangnya.
Kerapuhan struktural yang melekat dalam keluarga Muslim tersebut
menurut para psirkiater46 dan ahli-ahli pendidikan47 memiliki pengaruh yang

D.J.L. Roland, ‘Developpement de la Personnalite et Incidences de l'Environnement au


46

Maroc’. Maroc Medical, Desember, 1964, hal. 269-272.


merusak bagi perkembangan anak. Kerapuhan ini cenderung meningkat dengan
meningkatnya tekanan-tekanan modernisasi yang menciptakan konflik-konflik
dan ketegangan-ketegangan tambahan. Permasalahan seperti hak wanita untuk
pergi keluar rumah, yang secara tegas diserahkan kepada wewenang suami dalam
rumah tangga tradisional, cenderung menjadi sumber kebingungan dan konflik
antara suami-isteri. Pola pola tradisional tentang perilaku hetero-seksual, ideologi,
ungkapan rakyat (kata-kata mutiara/pepatah), dan hukum, tidak bisa membantu
kaum laki-laki yang hak-hak dan kedudukan istimewanya atas isterinya ditantang
oleh modernisasi.

47
M. Achour, Vue pasticuliere du Probleme de l'Environnement en Fonction du milien
scolaire marocain’, Maroc Medical, Desember 1964, hal. 239.
IBU MERTUA

DALAM sebuah perkawinan tradisional, ibu mertua merupakan salah satu


kendala terbesar bagi keakraban suami-isteri. Hubungan yang erat antara ibu
dengan anak laki-laki kemungkinan menjadi faktor kunci dalam dinamika
perkawinan Muslim. Anak laki-laki yang terlalu terlibat dengan ibu-ibu mereka
sangat cemas tentang kelelahan mereka dan secara khusus bersikap terlalu hati-
hati terhadap kewanitaan.
Teori psikoanalisa memandang hubungan antara ibu dan anak laki-laki
sebagai suatu faktor yang menentukan dalam kemampuan anak untuk menghadapi
suatu hubungan hetero-seksual.48 Kajian lintas budaya seperti yang dilakukan
Philip Slater telah memperlihatkan bahwa masyarakat-masyarakat telah
menentukan cara-cara untuk menggunakan hubungan ini dengan sangat efektif.
Slater membagi masyarakat-masyarakat menurut letak pentingnya hubungan ibu
dengan anak laki-laki yang mereka lakukan.

Masyarakat-masyarakat berbeda di antara dua kutub, salah satunya


menekankan hubungan ibu - anak (laki-laki), yang lainnya menekankan
ikatan perkawinan. Masing-masing menghasilkan pola putaran dalam
mempertahankan dirinya sendiri.49

Dia menyatakan bahwa dalam masyarakat yang melembagakan suatu


ikatan perkawinan yang lemah, hubungan ibu anak laki-laki diberi satu tempat
yang penting dan utama, dan sebaliknya. Dalam masyarakat Muslim, bukan saja
ikatan suami-isteri dilemahkan dan cinta kepada isteri dihalang-halangi, tetapi ibu
adalah satu-satunya wanita yang boleh dicintai sepenuhnya oleh seorang laki-laki,
dan cinta ini didorong untuk mengambil bentuk rasa syukur (balas budi) selama
hidup si anak.
Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga
puluh bulan, sehingga apabila ia telah dewasa dan mencapai umur empat
puluh tahun, dia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku.”50

Cinta anak laki-laki sebagai wujud syukur kepada ibu merupakan tujuan
utama dari banyak ayat dalam al-Qur'an.51 Cinta ini tidak dibatasi waktu. Ini
bukan suatu proses yang memliki permulaan, pertengahan dan akhir yang tertentu,
dan hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dewasa tersebut kini mungkin telah
memiliki hubungan hetero-seksual dengan isterinya. Sebaliknya, dalam suatu
masyarakat Muslim, perkawinan yang mana pada semua masyarakat (non-
Muslim) disertai dengan suatu bentuk ritual inisiasi (pra-bakti) yang

48
Hubungan antara pengalaman anak dengan ibunya dan kemampuannya untuk
berhubungan dengan seorang dari lawan jenis merupakan inti dari konsep Freudian tentang
Kompleks Oedipus.
49
P. Slater, The Glory of Hera, Boston 1968, hal. 414
50
Al-Qur'an, surat, 46:15
51
Al-Qur'an, surat, 4:1, surat 31:14, surat 6:152, surat 17:23, surat 29:8.
memperkenankan anak laki-laki dewasa untuk membebaskan dirinya dari ibunya -
merupakan suatu ritual yang dengannya hak-hak ibu terhadap anak laki-lakinya
diperkuat. Perkawinan melembagakan keterpilihan oedipal52) antara cinta dan
seks dalam kehidupan seorang laki-laki.53 Dia didorong untuk menyintai seorang
wanita yang dengannya dia tidak bisa terlibat dalam hubungan badan, yaitu
ibunya. Di sisi lain, dia dihalang-halangi untuk mencurahkan seluruh kasih
sayangnya terhadap wanita yang dengannya dia benar-benar terlibat dalam
hubungan badan, yaitu isterinya.

Dominasi Peran Ibu dalam Memilih Calon Isteri Bagi Anak Laki-
Lakinya

Menurut hasil wawancara yang saya lakukan dengan para wanita


tradisional, adalah pihak ibu, bukan anak laki-laki, yang memprakarsai
perkawinan dan membuat keputusan tentang kriteria dan calon isteri anak laki-
lakinya, sekalipun secara resmi hal ini menjadi peran ayah anak laki-laki.

Suatu hari kami sedang duduk-duduk di halaman rumah (yang dikelilingi


tembok tinggi). Ketika itu seseorang mengetuk pmtu. Bibi saya, sepupu
ayah saya, yang pada akhirnya menjadi ibu mertua saya, berada di pintu
tersebut. Dia langsung datang dari Tetuan. Dia sedang mencari calon isteri
bagi anak laki-lakinya. Saat itu saya berumur tiga belas tahun. Dia melihat
saya, berbicara dengan ayah saya, meninang saya untuk anak laki-lakinya
dan kemudian pergi. Dua bulan kemudian dia datang dan pertunangan saya
(dengan anak laki-lakinya) diresmikan. Apakah anda mengenal calon
suami anda? Tidak. Saya tidak pernah berbicara dengannya.
(Fatiha H.)

Di permukaan, peranan ayah mertua seolah-olah sangat menentukan. Ia


bertanggung jawab bagi perundingan-perundingan tentang mahar dan pembayaran
keputusan-keputusan keuangan yang diminta oleh akad nikah. Tetapi, sebelumya
peranan (ibu mertua) itu sangat penting, karena dia memilikl akses kepada
infomasi yang terkait dengan perkawinan tersebut, dan hal ini hanya bisa dimiliki
oleh kaum wanita dalam suatu masyarakat yang dipisahkan berdasar jenis
kelamin. Ibu adalah orang yang bisa melihat calon pengantin puteri, terlibat
pembicaraan dengannya, dan benar-benar mendapatkan informasi yang sangat
pribadi tentang tubuhnya. Pada masyarakat maroko, hanya seorang wanita yang
bisa (boleh) melihat wanita lain dalam keadaan telanjang dan mengumpulkan
informasi tentang kesehatannya. Ini terjadi di Hammam (sejenis tempat
pemandian umum di Turki yang dikhususkan bagi kaum wanita), yang memiliki

52
Berasal dari konsep Freudian tentang kecintaan seorang anak (bayi) kepada orang tua
lawan jenisnya (oedipus complex) disertai dengan kecemburuan terhadap orang tua sejenisnya
Contoh, kecemburuan seorang anak lalu laki terhadap bapaknya dalam memperebutkan cinta
ibunya. Keadaan ini juga berlaku bagi perasaan orang tua terhadap anaknya. Inilah yang dimaksud
dengan keterpilahan “oedipal”, karena di satu sisi terdapat dorongan cinta yang kuat pada diri anak
(laki- laki) terhadap ibunya (dan sebaliknya), dan di sisi yang lain, dia tidak bisa (tidak boleh)
menggauli ibunya secara seksual (penj.)
53
Sigmund Freud. Bentuk yang Paling Umum dari Penurunan Kehidupan Erotik, dalam
Sexuality and the Psychology of Love, New York 1970.
bermacam-macam fungsi, di samping sebagai tempat melaksanakan cara-cara
penyucian dan tempat mandi, Hammam merupakan suatu pusat komunikasi yang
mendalam,54 suatu tempat informasi yang kuat yang menyingkap rahasia-rahasia
dari keluarga-keluarga yang sering mengunjungi tempat tersebut.
Guellassa (kasir) dan teyyaba (secara bahasa berarti gadis bebas, yakni
gadis yang membantu pelanggan Hammam dalam segala hal, seperti memijit,
membawa air, menyarankan resep-resep jamu bagi yang memiliki masalah dengan
urinenya) mempunyai peran strategis di Hammam. Mereka hampir miliki catatan-
catatan biografis yang menyeluruh dari anggota-anggota keluarga yang tinggal
disekitar Hammam. Gadis-gadis muda merupakan target gosip yang utama, dan
perilaku sehari-hari mereka merupakan sasaran perhatian bagi wanita-wanita
lainnya, baik bagi yang berhubungan dengan mereka maupun yang tidak memiliki
hubungan dengan mereka. Reputasi seorang gadis muda memiliki dampak
langsung terhadap prestise dan kehormatan keluarga.
Menarik untuk dicatat, bahwa para wanita yang bertanggung jawab dalam
menciptakan reputasi gadis-gadis muda tersebut - mereka bisa ibu-ibu mertua,
para, guella, teyyaba, atau saudara dekat dari anak laki-laki - adalah wanita-wanita
tua yang tidak memiliki kehidupan seksual lagi, karena mereka janda yang dicerai
atau karena diabaikan oleh para suami mereka yang sibuk dengan isteri-isteri
mudanya. Kekuatan dari seorang wanita tua sebagai penerima dan penyampai
informasi tentang gadis-gadis muda memberikan kepadanya kekuatan/kekuasaan
yang besar dalam menentukan siapa mengawini siapa dan secara pasti
mengurangi peranan laki-laki sebagai pembuat keputusan. Jika ibu membawa
informasi tentang bau mulut yang kurang enak dari calon pengantin puteri, suatu
cacat fisik yang tersembunyi atau suatu penyakit kulit, maka dia cenderung
memiliki pengaruh yang menentukan dalam masalah tersebut. Salah satu contoh
seperti ini terjadi pada Maria M, seorang wanita berusia 55 tahun yang
perkawinannya sempat tertunda selama 7 tahun karena ibu si suami pernah
mengatakan kepadanya bahwa dia menduga calon isterinya tersebut memiliki
penyakit TBC (karena melihat mukanya yang sangat pucat dan tubuhnya yang
sangat kurus). Karena ayah dari calon pengantin puteri adalah sahabat dekat maka
informasi semacam ini tidak memutuskan masa depan perkawinan tersebut secara
sekaligus, tetapi informasi ini benar-benar memiliki pengaruh yang luar biasa
pada kehidupan pengantin puteri di masa mendatang.

Ketika saya kawin, saya telah menjadi seorang perawan tua dengan standar
siapapun. Semua adik perempuan saya telah dipinang dan dikawinkan
sebelum saya. Perkawinan saya menjadi bahan tertawaan dan saya berpikir
bahwa saya adalah sasaran dari sebuah kutukan suci (agama). Inilah
mengapa saya tidak pernah mengatakan hal yang buruk jika saya diminta
untuk berpendapat tentang seorang gadis. Hal ini terjadi bertahun-tahun
yang lalu, tapi saya masih ingat penghinaan tersebut, dan seolah-olah baru
terjadi kemarin. Sampai saat ini saya masih tidak bisa tersenyum kepada
ibu mertua saya.
(Maria M.)

54
Dorothy Blisten, The World of the Famili, New York 1963, hal. 204-205
Kekuasaan para wanita tua atas kehidupan kaum muda diakui oleh struktur
masyarakat Maroko, yang memandang usia sebagai memiliki pengaruh yang
seluruhnya berlawanan terhadap kaum laki-laki dan perempuan.

Pepatah Maroko menyatakan:


Seorang laki-laki yang mencapai usia 80 tahun menjadi seorang wali.
Seorang wanita yang mencapai usia 60 tahun berada di tepian neraka.55

Atau:
Apa yang dibutuhkan setan untuk melakukannya selama setahun, bisa
diselesaikan oleh seorang wanita tua dalam satu jam.56

Bagi seorang wanita, usia tua identik dengan kekuatan untuk melakukan
rencana jahat dan menyusun tipu-muslihat.

Ketika wanita semakin tua


Dia terobsesi oleh tipu-daya.
Apa saja yang dia lihat, dia ingin terlibat
di dalamnya.
Semoga Tuhan melaknatnya, hidup atau mati.57

Sebelum beranjak lebih jauh, seyogyanya saya menunjukkan bahwa


sekalipun ibu tampaknya diistimewakan sebagai seorang wanita dalam
masyarakat Maroko, dia tidak bisa melepaskan diri dari nasib yang dikaitkan
dengan kejahatan, kekuatan merusak dalam sistem tersebut. Para wanita tua,
sebagaimana digambarkan oleh pepatah-pepatah tersebut, dipandang secara
negatif, persis seperti kaum wanita muda, yang mana masyarakat menilainya
sebagai mempunyai kekuatan untuk merusak. Perbedaannya hanyalah bahwa para
wanita muda memiliki kekuatan merusak karena mereka secara seksual menarik,
sementara para wanita tua, karena mereka tidak bisa menuntut pemenuhan seksual
lagi. Tekanan-tekanan besar diarahkan pada wanita- wanita yang telah memasuki
masa menopause untuk memandang dirinya sendiri sebagai seorang wanita yang
tidak membutuhkan lagi seksualitas dan melepaskan seksualitasnya secepat
mungkin. Suaminya diharapkan untuk memalingkan perhatiannya kepada wanita
yang lebih muda - tekanan-tekanan tersebut begitu kuat sehingga seorang wanita
yang telah memasuki masa menopause yang berupaya untuk menuntut hak-hak
seksualnya terhadap suaminya akan dipandang tidak realistik dan keluhan-
keluhannya akan ditanggapi dengan penuh kecurigaan oleh kaum laki-laki
maupun wanita. Berikut ini adalah sebuah “lelucon” yang sering diungkapkan dan
memiliki daya tarik terseridiri bagi kaum laki-laki Maroko:

Mengapa pemerintah tidak menciptakan semacam agen penyalur mobil


bekas bagi kaum wanita di mana anda bisa membawa isteri tua anda ke

55
Sidi Abderahman al-Majdoub, Les Quatrains du Mejdoub le Sarcatique, Poete
Maghrebin du Xvle’me secle, hal.180.
56
E. Westermark, Wit and Wisdom, hal. 326.
57
Al-Majdoub, Les Quatrains du Mejdoub, hal. 180.
dalamnya, menambah sejumlah uang dan menjualnya untuk ditukar
dengan yang baru.

Hanya dengan memahami tekanan pada wanita yang sudah memasuki


masa pelepasan hak seksualnya dan masa depan perkawinannya, seseorang akan
bisa memahami dorongannya yang dengannya wanita tersebut melibatkan diri
dalam kehidupan anak laki-lakinya.
Dalam masyarakat dimana antagonisme seks sangat kuat, status wanita
menjadi rendah, dan oleh karena itu, kecemburuan terhadap hubungan
badan sangat kuat, kepuasan emosional wanita akan dicari, terutama pada
hubungan ibu - anak laki-laki. Sementara pada masyarakat-masyarakat
dimana ciri-ciri utama ini hadir secara minimal, maka ikatan perkawinan
(suami isteri) akan menjadi wahana yang mendasar bagi pemuasan
kebutuhan.58

Dari data yang ada, semua ibu mertua dipandang secara menyeluruh
sebagai aseksual, tidak membutuhkan seks lagi. Dalam beberapa kasus, di mana
informasi tentang pengaturan tidur tersedia, pasangan tua, sekalipun tidur di
ruangan yang sama, mereka tidak berada (tidur) dalam satu ranjang.

Ibu Mertua Sebagai Sahabat dan Guru

Ibu mertua dan isteri seharusnya dipandang sebagai para pesaing tetapi
juga sebagai rekan kerja sama (kolaborator). Wanita yang lebih tua memiliki
banyak hal yang bisa diberikan kepada wanita muda (baca: pengantin yang belum
berpengalaman), bukan saja menyangkut seks dan kehamilan, tetapi juga masalah-
masalah lain yang sangat vital bagi kehidupan wanita Maroko, seperti cara
merawat kecantikan tubuh, dan sejenisnya. Kutipan berikut menggambarkan
aspek hubungan antara ibu mertua dan isteri.

Anda tahu, dengan semua yang telah dia lakukan pada diri saya, dengan
semua kebengisannya, saya mengingat ibu mertua saya dengan tenang.
Saya tidak merasa marah atau benci kepadanya. Dengan berlalunya
waktu, saya bisa melihat dia dengan cara yang lebih rumit. Sekarang saya
menyadari betapa rumitnya dia. Sebagai contoh, dia sangat mewah dalam
berbusana, selalu berdandan habis-habisan dan duduk dengan penuh
ketenangan dan kewibawaan, dengan perhiasannya dan tutup kepalanya
yang rapi. Bersih dan rapi. Dia selalu menginginkan kami berpenampilan
elegan, berpakaian baik, sehingga orang tidak akan mengatakan bahwa
dia (ibu mertua) memiliki menantu perempuan yang kumal. Dia sangat
teliti.
(Fatiha F.)

Rahasia-rahasia ketelitian, keelokan dan perhiasan dalam berpenampilan


sangat berarti dalam suatu masyarakat yang menekankan pentingnya kecantikan
lahiriyah dan menjunjung gaya aristokratik. Suatu bagian penting dari

58
P. Slater, The Glory of Hera, hal. 30.
pengetahuan masyarakat yang diwariskan kepada anak-anak pempuan adalah
cara-cara dan resep-resep yang luas dan beraneka ragam tentang penggunaan
tumbuh-tumbuhan, bunga, biji-bijian, dan mineral-mineral untuk merawat muka,
shampoo, dan rias wajah. Semua wanita Maroko masih menggunakan teknik-
teknik kecantikan tradisional sekalipun telah tersedia kosmetik Barat yang murah.
Peranan ibu mertua sebagai peniru gaya aristokratik sama pentingnya dengan
peranannya sebagai guru dalam masalah-masalah seperti pada saat melahirkan,
sakit dan meninggal.
Perkawinan Maroko bersifat virilocal. Isteri yang masih berusia sangat »
muda meninggalkan keluarganya, baik sebelum atau sesudah pernikahan, untuk
tinggal pada keluarga suaminya. Karena dia dibesarkan dalam situasi pemisahan
(berdasarkan jenis kelamin), seringkali dia merasa takut terhadap laki laki, dan
oleh sebab itu, lebih cenderung untuk mempercayai dan berbicara dengan kaum
wanita. Selama tahun-tahun pertama perkawinannya,dia cenderung memiliki
hubungan yang lebih mendalam dengan seorang ibu (baca: mertuanya) dari pada
suaminya:

Saya tinggal dengan auami saya sampai saya mengalami


menstruasi pertama saya.

Berapa lama anda tinggal dengan suami anda sebelum anda


mengalami menstruasi pertama anda?

Saya tidak ingat secara pasti, mungkin satu tahun. Waktu itu saya
belum punya payudara. Saya seperti anak laki-laki.

Apakah dia bisa mendekati anda?

Tidak pernah. Dia tidak pernah mendekati saya sampai setelah setahun
penuh.

Apakah anda tinggal satu ruangan dengan suami anda?

Saya tinggal dengan ibu mertua saya. Saya dulu biasa menutupi
wajah saya setiap kali melihatnya.

Anda tinggal bersama ibu mertua anda?

Saya tinggal dengan ibu mertua saya. Dia biasa memperlakukan


saya seperti anaknya sendiri. Dia biasa memanggil gadis-gadis muda anak
tetangga untuk bermain dengan saya, agar saya tidak merasa bosan.

(Kenza)

Orang-orang tua Maroko biasanya enggan untuk menyerahkan anak gadis


mereka kepada suaminya yang tinggal di daerah yang jauh, karena takut
diperlakukan semena-mena. Biasanya ketakutan ini hilang jika ibu dari pengantin
laki-laki memutuskan untuk tinggal bersama anak laki-lakinya. Bagi orang tua
pengantin puteri, karena tidak percaya kepada sikap suami, kehadiran ibu mertua
tampaknya bisa menjamin bahwa anak gadisnya diperlakukan secara adil.
Kasus berikut tentang seorang suami (sekaligus anak laki-laki) dari
propinsi Berkane memberikan suatu gambaran - tidak wajar sekalipun dengan
standar Maroko - tentang sejauh mana seorang Ibu terlibat dalam kehidupan
menantu perempuannya.

Propinsi Berkane, 20 Mei 1971

Kepada Moulay Musthafa Alaoui


Dengan hormat,

Saya adalah ayah dari tiga orang anak, Mereka semua acara
permanen disusui oleh ibu saya, yang telah kehilangan suaminya - yakni
ayah saya - sejak dulu. Dia melakukan hal ini karena air susunya masih
lancar.
Bagaimana pandangan hukum agama tentang penyusuan seperti
ini?

Tidak semua ibu mertua dikaruniai potensi untuk memberikan susu seperti
ibu yang satu ini, dan pengambil alihan masalah-masalah rumah tangga (suami-
isteri) tidak harus sejauh ini. Biasanya pengambil-alihan tersebut berbentuk
bantuan ibu mertua kepada pengantin puteri yang masih muda selama kehamilan-
kehamilan pertamanya.
Hasil wawancara yang saya lakukan memperlihatkan bahwa kehamilan
dipandang sebagai penyerahan tubuh wanita kepada “kekuatan-kekuatan asing”.
Salah satu dari mereka nyaris berbicara tentang refleksi-refleksi pemisahan diri
dalam persepsi wanita terhadap badan mereka yang membengkak (hamil).

Saya hamil sewaktu saya masih anak-anak. Saya tidak ingin orang-orang
melihat perut saya. Saya ingin menyembunyikannya. Saya selalu duduk
sehingga orang tidak mengetahuinya. Saya menghabiskan waktu sepanjang
hari dengan menangis - hanya berbaring dan menangis
(Kenza)

Saya tidak tahu apa yang terjadi ketika bayi mulai bergerak-gerak di dalam
perut saya. Saya ingin menjerit setiap kali hal ini terjadi. Saya memiliki
kesan bahwa dia berusaha untuk keluar dan kulit saya. Saya merasa sangat
asing.
(Hayat H.)

Persepsi tentang kehamilan pertama sebagai gejala yang ganjil diperkuat


oleh keguguran-keguguran yang tak terduga.

Saya tidak mengalami menstruasi selama bulan-bulan pertama


perkawinan saya. Saya hamil - suatu kehamilan yang aneh, seolah-olah ini
hanyalah kegemukan biasa. Suatu hari saya merasakan kontraksi, sakit
sekali. Air ketuban saya keluar beberapa hari. Saya ceritakan apa yang
saya alami kepada orang-orang di sekitar bahwa saya merasakan seolah-
olah ada seekor katak melompat-lompat dalam perut aaya, memakan hati
saya. Mereka menjawab, “Itu bukan apa-apa. Kamu terlalu muda untuk
mengetahui dan bersabarlah dengan kehamilan. Apa yang kamu rasakan
adalah wajar bagi wanita.” Saya tidak yakin. Suami saya membawa saya
ke dokter. Dia seorang wanita. Dia memberikan suntikan tepat di perut
saya. Setelah itu saya merasa sangat aneh dan mulai gemetaran. Apapun
yang ada di perut saya telah mati. Ia mulai keluar. Ia bukan seorang anak.
Ia merupakan sekumpulan yang aneh dari potongan potongan yang ganjil.
Potongan-potongan yang ganjil? Ya, potongan-potongan dengan
bentuk-bentuk yang aneh. Ia bukan (seperti) seorang bayi, tetapi potongan-
potongan yang ganjil dan berbeda-beda. Semuanya ada tujuh. Satu
potongan seperti bentuk ikan, yang lain seperti sebuah anggur, sebuah
anggur putih. Yang lainnya seperti buah (sayur) kol, jika anda
menekannya, sebuah kepak putih seperti telur akan keluar.
(Fatiha F.)

Selama tahun-tahun pertama perkawinan, pengantin puteri merasakan


kehidupannya sebagai periode melahirkan secara terus menerus, dan pada masa
berikutnya dia mencurahkan semua waktunya untuk anak-anaknya dan masalah-
masalah mereka. “Saya sibuk dengan anak-anak”, adalah ucapan yang sering
terdengar. Selama tahun-tahun pertama ini ibu mertua bertindak sebagai seorang
supervisor yang murah hati yang bantuannya memungkinkan rumah tangga
berjalan dengan baik.
Marilah kita menganalisis bentuk bantuan tersebut dan pengaruhnya
terhadap struktur kekuasaan dalam unit rumah tangga, dengan memusatkan
perhatian pada kasus Fatiha F, seorang isteri dan ibu berusia 45 tahun, yang kawin
dengan seorang pegawai rendahan pada Departemen Kehakiman yang
pekerjaannya menuntut dia untuk berpindah-pindah di beberapa Wilayah kota
Maroko.

Kontrol Ibu Mertua Terhadap Rumah Tangga


Ketaatan isteri kepada ibu mertua disyaratkan oleln undang-undang
moderen (Maroko), yang mewajibkan isteri untuk memperlihatkan penghormatan
kepada ibu, ayah, dan kerabat dekat suami.59 Karena rumah tangga-rumah tangga
Maroko sering ditinggal pergi oleh suami, maka ibu mertua adalah satu-satunya
orang yang dihadapi isteri sehari-hari. Ketaatan ini (baca: Isteri kepada ibu
mertuanya) biasanya dinyatakan dalam dua cara: Upacara penciuman tangan dan
kewajiban isteri untuk memanggil ibu mertuanya dengan sebutan nyonya (Lalla).

Penciuman tangan. Kami (isteri-isteri dan anak laki-lakinya) harus


mencium tangannya dua kali sehari, di waktu pagi dan setelah matahari
terbenam. Tentu saja anda harus mencium kedua sisi tangannya. Dan kami
harus memanggilnya nyonya (Lalla). Jika kadang-kadang saya lupa
tentang tangan tersebut, maka dunia seperti terbalik. Dia akan merekayasa

59
Pasal 36, Code du Statut Personnel. E. Goffman menunjukkan kepentingan taktis dari
peraturan-peraturan yang berbeda-beda dalam hubungan otortarian, dalam Asylums, New York
1961, hal 115. Arti Batasan-batasan Spatial
seluruh pertunjukan. Dia tidak akan menegur saya secara langung untuk
mengingatkan saya tentang kewajiban-kewajiban saya. Oh tidak! itu
terlalu kasar, tidak cukup halus baginya. Ketika suami saya datang, dia
pasti memberondongnya: “Apakah kamu tahu sesuatu,” katanya,”Isterimu
mulai kurang ajar. Saya diam saya dengan kekurang-ajarannya karena saya
menyintai kamu dan tidak ingin membuat masalah.” “Ibu”, suami saya
bertanya. “Apa yang telah dia lakukan?” “Anakku, hari ini dia lupa
mencium tangan saya di waktu senja. Dia mulai tidak
mengindahkan peraturan.”
(Fatiha F)

Upacara-upacara penghormatan ini mencerminkan penempatan kekuasaan


di dalam unit keluarga. Simbol dari kekuasaan tersebut adalah kunci untuk
membuka ruangan penyimpanan di mana bahan-bahan pokok dan makanan
disimpan. Orang yang memegang kunci tersebut adalah orang yang menentukan
apa dan kapan untuk makan.
Ibu mertua saya bertanggung jawab kepada segala hal. Dia memiliki
kekuasaan untuk menentukan apa yang dimakan, jenis dan jumlahnya, dan
dia yang memegang kuncinya. Saya tidak akan bisa memanfaatkan
makanan kecuali dengan izinnya. Tentu saja kami yang memasak. Tetapi
begitu makanan telah siap (matang), kami tidak diperkenankan untuk
menyentuhnya. Dna akan datang ke dapur dan membagikannya sesuai
dengan keinginannya sendiri. Sebagai contoh, pada malam menjelang
perayaan, kami akan menghabiskan malam-malam tersebut dengan
membuat masakan-masakan lebih dari biasanya. Tetapi kami tidak
diperkenankan mengambil sedikitpun untuk keperluan kami sendiri,
bahkan tidak diperkanankan untuk anak-anak kami. Segalanya dia yang
menyimpan. Bahkan saya tidak bisa menikmati secangkir teh pun di luar
waktu-waktu makan yang telah ditetapkan. Saya harus memohon
kepadanya untuk mendapatkan sejumput gula dan beberapa lembar daun
teh. (Teh Maroko terbuat dari teh hijau, daun mint segar, dan gula).
(Fatiha H.)

Goffman telah mencatat beberapa variabel pada struktur kekuasaan dan


lembaga-lembaga yang bersifat totaliter. Salah satu variabel tersebut adalah
bahwa para pengelola lembaga-lembaga tersebut menjadikan tidak mungkin bagi
yang diatur untuk mendapatkan barang-barang (kebutuhan) sehari-hari yang
sederhana seperti rokok, secangkir kopi atau teh tanpa tunduk kepada proses
memohon izin yang menghinakan.60 Dalam rumah tangga Maroko, di samping
memohon untuk mendapatkan makanan, isteri harus meminta izin dan uang untuk
pergi ke Hammam (Hammam adalah suatu tempat semi-umum yang ongkosnya
tidak lebih dari dua puluh sen). Pada kesempatan-kesempatan semacam ini.
percekcokan dan pemerasan halus pada pihak ibu mertua mungkin bisa terjadi.

Ibu mertua saya adalah seorang bendaharawan, dan banyak tingkah.


Kadang-kadang saya pergi menemuinya dan menyampaikan maksud saya

60
E. Goffman, Asylums, hal. 41.
untuk pergi ke Hammam. Sekalipun demikian, sebelum meminta, saya
telah menyakinkan (diri saya) bahwa suami saya telah memberikan
kepadanya uang untuk keperluan ini. Dia akan menunggu sampai saya
telah menyiapkan segala sesuatunya (ini merupakan proses yang panjang,
meliputi persiapan rias wajah, shampoo buatan sendiri,dan lain-lain). Saya
mengenakan jilbab saya, menutupi wajah saya, dan pergi kepadanya.
Kemudian dia merubah pikirannya dan berkata: “Apakah kamu benar-
benar harus pergi? Tidakkah kamu bisa menjerang air dan mandi di sini?”
Saya harus menanggalkan jilbab saya, menanggalkan cadar saya, dan
duduk tanpa mengucapkan sepatah katapun, tidak ada protes. Saya tidak
akan bisa protes. Untuk memprotes, saya harus memiliki seorang
pendukung, harus mendapatkan dukungan dari orang tua. Saya tidak
memilikinya. Maka saya bersyukur kepada Tuhan terhadap nasib yang
telah Dia berikan kepada saya dan membungkam mulut saya.
(Fatiha F.)

Persaingan antara ibu mertua dan isteri untuk mendapatkan perhatian anak
laki laki (dan suami, sekaligus) secara jelas dilembagakan melalui kewajiban anak
laki-laki untuk memberikan kepada ibunya apa saja yang dia peruntukkan bagi
isterinya.

Suami saya tidak akan bisa memberikan sebuah hadiah/pemberian kepada


saya. Katakanlah, dia ingin memberi saya sebuah syal. Dia akan berkata
“Fatiha, saya ingin melihat kamu memakai syal merah ini, ia akan sesuai
dengan warna kulitmu.” Saya jawab bahwa saya akan sangat bahagia
untuk memilikinya. Dia pergi ke toko, tetapi dia harus membeli empat
buah syal - satu untuk ibunya, dua untuk saudara-saudara perempuannya
yang diceraikan suaminya, dan satu untuk saya. Dia tidak bisa memberikan
syal merah tersebut kepada saya secara langsung. Dia harus membenkan
syal-syal tersebut kepada ibunya terlebih dahulu. Kemudian dia memilih
apa yang dia inginkan untuk dirinya sendiri dan anak-anak perempuannya.
Dan terakhir, ia memberikan kepada saya satu syal sisanya, bisa warna
hijau atau hitam.
(Fatiha F)

Suami saya tidak bisa mendekati saya sebelum pergi memberikan salam
kepada ibunya. Suatu ketika dia ingin membuat kejutan untuk saya. Dia
membelikan saya sebuah kutang (bra) dan menyembunyikannya di
sakunya sebelum dia pergi memberi salam kepada ibunya. Dia tahu bahwa
suami saya memiliki sesuatu di sakunya dan dengan tertawa dia
mengambil kutang tersebut dari sakunya dan meledeknya: “Saya tidak
tahu kamu mulai memakai kutang, seperti seorang perempuan. Isterimu
telah memakan otakmu. Kamu bertindak seperti orang gila sekarang
(membeli sesuatu hanya untuk isteri). Di mana kamu meminumnya?
(maksudnya adalah guna-guna yang dilakukan oleh isteri untuk membuat
suaminya menyintainya). Apakah kamu meminumnya di sup? ataukah
secara diam-diam dicampur dalam makananmu?”
Kejadian semacam ini merupakan kesukaan para dramawan diMaroko.
Salah satu figur yang paling dipandang rendah dalam teater rakyat adalah ibu
mertua
Dalam suatu lingkungan tradisional, keterlibatan (baca: campur tangan)
ibu terhadap putranya tidak terbatas pada hal-hal materiil. Hal ini berlaku begitu
jauh, sampai pada mencegah dia bersenang-senang dengan isterinya. Seorang
suami dan seorang isteri tidak bisa berdua-duaan sepanjang hari tanpa dianggap
bersikap anti-sosial secara menyolok.
Ruang sosial dalam sebuah tempat tinggal keluarga terpusat pada satu
ruang pusat, ruang besar/utama (al-bait al-kabir) di sini lah segala sesuatunya
terjadi pada setiap anggota (keluarga) didorong (baca: dipaksa) untuk
menghabiskan seluruh waktunya. Privasi individu dicegah dengan tegas dan kuat
yang dilakukan untuk memperlihatkan percekcokan dalam keluarga adalah
dengan menolak untuk datang pada ruang komunal ini, untuk mengunci dari di
ruangan lain. Meninggalkan ruang komunal langsung setelah makan malam
dipandang sebagai sikap yang sangat tidak sopan dalam keluarga tradisional. Oleh
sebab itulah “wajar” bagi ibu mertua untuk menggunakan ruangan ini untuk
menjaga agar anak laki-lakinya tetap bersamanya selama mungkin.
Seringkali telah larut malam, saya sudah ngantuk, tetapi saya tidak
bisa meninggalkan ruang keluarga untuk pergi tidur ke kamar saya sendiri.
Suami saya juga tidak bisa melakukannya, sekalipun kami berdua sudah
sangat letih. Kami masih harus duduk bersamanya dan menunggu sampai
dia memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Maka kami pun segera pergi ke
kamar kami kami. Saya tidak bisa memasuki kamar saya sebelum dia
memasuki kamarnya. Kami tidak akan menutup pintu kamar kami di
depan hidungnya.”
“Dan bagaimana jika suami Anda yang mengambil prakarsa untuk
pergi ke tempat tidur?”
“Tidak mungkin. Dia tidak bisa melakukannya. Anda mau dia
meledak? Ketika dia (suami saya) biasa pulang lebih awal dari kerja dia
akan berpaling kepadanya dan berkata “Mengapa kamu pulang begitu
awal? Apakah tidak ada kesenangan di jalan? Bioskop misalnya? Mengapa
kamu buru-buru pulang? Laki-laki tidak layak selalu dekat dengan
isterinya. Ini merupakan kebiasaan yang buruk.” Sering kami pergi untuk
tidur dan saya bisa mendengar dia mondar-mandir di sekitar jendela,
berusaha untuk mendengarkan pembicaraan kami, barangkali saya
mencoba untuk menceritakan kepada suami saya apa yang terjadi
sepanjang hari. Saya tidak cukup gila untuk menceritakan rahasia-rahasia
kepadanya, karena mengetahui dia (ibu mertua) selalu memata-matai kami.
Suatu hari saya lupa menutup jendela dengan benar. Maka, ketika dia
bersandar pada jendela tersebut, jendela tersebut sedikit terbuka karena
terdorong badannya.
“Apakah dia (ibu mertua Anda) pernah mencoba untuk bergabung
dengan anda dari tempat tidur?”
Tidak di rumah kami sendiri, tetapi jika kami diundang untuk pergi
ke suatu tempat, kami menghabiskan malam bersama di kamar yang sama.
(Fatiha F)
Jika pasangan suami-isteri memutuskan untuk meninggalkan keluarga
besar tersebut, mereka sering mengupayakan suatu mutasi dari pemerintah sebagai
suatu pelarian, jika laki-laki (suami) tersebut adalah pegawai negeri. Dengan
demikian menyembunyikan keinginan mereka untuk mendapatkan privasi di
bawah baju resmi. Isteri memandang keputusan pemerintah untuk memindahkan
Suaminya ke tempat tugas lainnya sebagai sebuah kesempatan untuk
mendapatkan kembali sebagian kekuasaan atas kehidupannya dan suaminya, tapi
ibu mertua memandang keputusan semacam ini sebagai sebuah persekongkolan
melawan dirinya.

Suami saya sibuk mencoba untuk mengeluarkan kami dari sana


(keluarga besar tersebut terdiri dari ayah keluarga saudara laki-laki ayah
dan dua anak laki-laki kerabatnya). Dia mengupayakan agar bisa dipindah
ke tempat lain dengan keputusan pemerintah. Ini merupakan satu-satunya
jalan keluar yang sebanding dengan ketaatan dan hormatnya kepada
ibunya.
Dia melakukan lobi begitu baik, sehingga dia jadi dipindah. Dia
diperintahkan untuk pergi ke Fedala. Tetapi dia harus menyampaikan
terlebih dahulu berita tersebut kepada ibunya. Suatu hari dia memutuskan
untuk berbicara dengannya. Dia mengatakan kepadanya bahwa dia dipaksa
oleh pemerintah untuk pergi ke Fedala (berjarak empat puluh mil) dan
bahwa dia tidak punya pilihan kecuali mengikuti keputusan pemerintah
jika dia masih ingin tetap bekerja.”
“Apa kamu bergurau”, dia berkata, “Kamu tidak harus
meninggalkan kami. Kamu bisa mbajak (pulang pergi). Banyak orang
yang mbajak setiap hari. Hal itu tampaknya tidak membuat mereka mati.
Jangan berfikir tentang meninggalkan rumah ini. Hal itu diluar
pembicaraan.” Kemudian dia (suami saya) datang kepada saya dan
berkata, “Fatiha, dengarkan. “Apakah kamu ingin meninggalkan rumah ini
dengan resiko apapun?” kata saya, Dengarkan”, dia berkata, “Ini satu-
satunya kesempatan kita untuk kabur. Saya tidak akan menunda lagi. Saya
akan mempercepat keputusan mutasi. Saya akan menyewa sebuah kamar,
kamar apa saja. Saya tidak ingin mendengar kamu mengeluh tentang
betapa jeleknya kemungkinan kamar tersebut, atau betapa keras kehidupan
yang akan kita jalani. Dan secara keuangan hal ini akan sulit untuk waktu
yang lama. Apakah kamu siap menghadapi semua ini tanpa mengeluh?”
“Tempat sekumuh apapun, akan menjadi istana untuk kita”, bisik saya.
Suatu hari dia datang sangat terlambat, dan berusaha untuk bisa
berduaan dengan saya dan berbisik,” Segeralah berkemas. Kita akan
segera pergi. Saya akan mengatakannya pada menit-menit terakhir
sehingga dia (ibu saya) tidak sempat terkejut. Mulailah berkemas dan hati-
hatilah”.
Saya tidak bisa mengatakan kepada anda bagaimana perasaan saya.
Saya kehilangan selera makan. Saya tidak bisa berkata-kata. Saya merasa
bahagia sekaligus takut. Apakah anda pernah merasakan kebahagiaan dan
ketakutan dalam waktu yang sama? Saya puasa selama dua hari. Saya
tidak bisa makan karena perasaan tersebut berkecamuk dalam diri saya.
Saya tidak tahu lagi bagaimana bersikap, berjalan, dan apa yang akan saya
ucapkan. Dia (suami saya) pergi dan meninggalkan saya sendirian.
Bukannya berkemas, saya pergi dan membuka karpet yang tergulung di
sudut ruangan. Saya mengambil kain korden yang berharga (hanya
digunakan pada hari-hari perayaan) dan menggantungnya di pintu. Ketika
dia pulang pada malam harinya, dia kelihatan bingung. Dia mendekati
mendekati saya dan berbisik, sambil melihat pada korden dan karpet
tersebut. “Fatiha, apa kamu gila? Apa maksudnya ini? Saya telah katakan
kepada kamu untuk berkemas”. “Ini berarti bahwa saya berada di luar
semua ini,” jawab saya. Saya takut jangan-jangan ibunya mengetahui
bahwa kami bersekongkol. Sungguh, saya tidak ingin membuatnya (suami
saya) kecewa. Tetapi satu-satunya cara yang mungkin dan masuk akal
untuk saya lakukan, sekalipun kelihatannya seolah-olah membuatnya
kecewa. “Saya tidak tahu apa-apa”, saya mengulang-ulang ucapan itu
kepadanya. Yang paling memilukan, dia pergi untuk menghadap ibunya
sendirian.
Hari berikutnya dia mendatangi saya sambil berteriak, menjerit
dengan keras, sehingga terdengar dari masjid. “Fatiha, kamu harus
berkemas secepatnya. Anjing-anjing pemerintah ini memaksa saya untuk
bermalam di Fedala pada hari ini. Saya tidak punya hak lagi untuk
menolak. Cepat! Apakah kamu dengar, Fatiha?”
“Tetapi...”, teriak ibunya dari kamarnya, “Dimana kamu akan
menginap? Kamu memiliki keluarga. Mereka tidak bisa memperlakukan
kamu seperti itu. Kamu tidak bisa menginap di jalan.” “Ibu”, dia berkata,
“Mereka telah memperhitungkan segalanya. Mereka membuat keputusan
mutasi saya. Mereka telah menyediakan sebuah rumah dan truk untuk
mengangkut barang-barang. Truk tersebut akan datang dalam sejam.”

Struktur masyarakat (keluarga) Maroko yang anti-privasi memberi


kemudahan - bahkan hampir menjadi syarat - bagi campur tangan ibu mertua pada
keakraban lahiriyah puteranya dengan isterinya. Dengan memahami hal ini, kita
bisa mengerti alasan-alasan bagi prasangka (buruk) orang-orang Maroko terhadap
wanita-wanita tua, yang dikutuk sebagai “ahli tipu daya”. Adalah strukturnya
yang menentukan peranan setiap pribadi dan membiarkan jalan keluar tertentu
bagi harapan-harapan dan keinginan-keinginan pribadi tersebut. Adalah
strukturnya yang kejam, bukan pribadi ibu mertua itu sendiri.
Segi tiga ibu, anak laki laki dan isteri merupakan kartu dalam banyaknya
batasan-batasan hukum, ideologi dan batasan-batasan lahiriyah pada masyarakat
Muslim yang merupakan isteri di bawah kekuasaan suami dan mengecam
hubungan hetero-seksual dengan penuh kecurigaan, kekerasan dan ketidak-
jujuran. Kaum muda yang menuntut perkawinan atas dasar cinta tidak saja
menciptakan konflik-konflik yang hebat dengan orang tua mereka, tetapi juga
hampir pasti menimbulkan konflik dalam perkawinan mereka sendiri.
Seorang laki-laki muda yang dibesarkan dalam suatu masyarakat
misoginis (Misogini secara bahasa berarti kebencian terhadap wanita) akan
cenderung terpola dengan struktur tersebut, kecuali dia cukup beruntung untuk
bisa melakukan suatu revolusi kebudayaan yang mendasar, memperlihatkan
ketakutan terhadap wanita dalam hubungannya dengan isterinya yang telah dia
pilih, bahkan mungkin ingin mencintainya. Sekalipun banyak hal yang bersifat
lahiriyah telah berubah secara dramatis dalam masyarakat-masyarakat Muslim,
semua itu sama sekali tidak menyebabkan terjadinya pergolakan budaya. Semua
upaya untuk menembus ideologi (baca: pandangan) tradisional atau untuk
meninggalkan model-model budaya tradisional yang menyangkut keluarga
dipandang sebagai penyelewengan-penyelewengan atheis (karena adanya karakter
keagamaan dalam muduwana, undang-undang sipil Maroko), dipandang sebagai
bid'ah (inovasi, konotasinya selalu negatif), dan sebagai pengkhianatan terhadap
keaslian agama.
Oleh sebab itu, suatu keretakan telah memperlebar jurang pemisah antara
keharusan-keharusan yang didesakkan oleh kehidupan keluarga moderen dengan
pola-pola yang diharapkan untuk membentuk hubungan-hubungan di dalam
lembaga keluarga tersebut. Sekalipun landasan-landasan ekonomi dan spasial
(berkaitan dengan ruang) dalam keluarga tradisional (yang didasarkan atas
pemisahan berdasarkan jenis kelamin) telah mengalami guncangan-goncangan
yang hebat, yang disebabkan oleh penyatuan ekonomi Maroko ke dalam pasar
internasional, kita mungkin tetap mengharapkan adanya upaya-upaya neurotik
untuk membekukan super struktur (pandangan dalam/jiwa) tradisional, untuk
mempertahankan pola-pola dan konsep-konsep tradisional yang mengatur
hubungan-hubungan keluarga. Akibatnya adalah konflik, ketegangan, dan
terpecahnya hubungan di kalangan pasangan muda. Hal ini benar-benar
disebabkan mereka berusaha untuk membangun sesuatu yang berbeda dari
hubungan-hubungan seksual yang kaku yang didambakan oleh tradisi.
Semakin tinggi cita-cita, maka semakin besar “beaya psikologis”nya.
Dengan mengkaji perubahan-perubahan yang telah terjadi, terutama dalam
dimensi spasial, kita bisa memahami sebagian konflik yang sering terjadi antara
laki-laki dan wanita yang bersumber dari jurang pemisah antara infrastruktur yang
berubah dengan super struktur ideologis yang kaku tersebut.

Anda mungkin juga menyukai