Anda di halaman 1dari 3

Awas, Kesepian Bisa Berakibat Buruk Bagi

Kesehatan
Rabu, 21 Maret 2018 11:55 Penulis: The Conversation




 103
SHARES

Ilustrasi (Pixabay.com)

Vemale.com - Jed Magen, Michigan State University

Bayangkan seorang perempuan berusia 65 tahun. Ia sering menemui dokternya karena


bermacam-macam rasa sakit dan nyeri. Mungkin pada satu kunjungan ia mengeluh sakit
punggung, sakit kepala pada kunjungan lain, dan merasa lemah pada kunjungan berikutnya.
Setiap pertemuan, dokternya memeriksa dan menjalankan berbagai tes sebagaimana mestinya,
tanpa menemukan apa pun yang bisa menjelaskan gejala-gejala tersebut. Setiap kali
meninggalkan ruang praktik dokter, perempuan tua itu frustrasi karena “tidak ada yang bisa
dilakukan” untuk mengatasi masalahnya.

Namun, jika kita lihat dengan lebih cermat, kita akan menemukan bahwa pasien ini kehilangan
suaminya lima tahun lalu dan hidup sendirian sejak saat itu. Ketiga anaknya tinggal di negara
bagian lain. Walau ia sangat mengasihi cucu-cucunya, ia bertemu mereka setahun sekali. Ia
punya beberapa teman yang cuma sesekali ditemuinya. Kalau ditanya, barangkali dia akan
mengatakan kepada Anda bahwa, ya, dia kesepian.
Inilah gambaran lazim di sebuah ruang praktik dokter keluarga. Gejala-gejala yang sulit
dijelaskan sebabnya boleh jadi karena isolasi sosial dan kejemuan. Penelitian menunjukkan
bahwa orang yang merasa kesepian dirundung lebih banyak masalah kesehatan, merasa buruk
dan mungkin mati lebih cepat.

Dalam ilmu psikiatri, spesialisasi saya, diketahui bahwa semua jenis perasaan bisa
mempengaruhi kesehatan fisik kita. Pihak berwenang tampaknya mulai menanggapinya dengan
serius. Inggris saat ini bahkan mempunyai menteri urusan kesepian. Dan ini untuk alasan yang
bagus.

Efek negatif
Pada tahun 2015, para peneliti dari Universitas Brigham Young menelaah banyak studi tentang
kesepian dan isolasi. Dari ratusan ribu orang mereka mendapati bahwa isolasi sosial
menyebabkan 50 persen peningkatan kematian prematur.

Kesepian dan isolasi sosial juga terkait dengan meningkatnya tekanan darah, kadar kolesterol
tinggi, depresi dan, jika itu semua belum cukup buruk, penurunan kemampuan kognitif dan
penyakit Alzheimer.

Manusia berevolusi untuk berdekatan satu sama lain. Dahulu kala, kita berburu dalam kelompok-
kelompok kecil di mana kohesi sosial bisa membantu melindungi diri dari predator. Sendirian
tanpa dukungan di alam bebas sungguh berbahaya—dan menimbulkan rasa tertekan. Anda harus
terus-menerus waspada terhadap bahaya, siap siaga dalam mode “berkelahi atau lari ” setiap saat.

Dalam jangka pendek, stres bisa menyehatkan. Tetapi dalam jangka panjang, stres yang tidak
terkendali menjadi masalah. Terdapat bukti kuat bahwa stres kronis meningkatkan kadar hormon
yang disebut kortisol dalam otak. Kortisol bisa mengurangi respons sistem kekebalan terhadap
infeksi. Kortisol bahkan mungkin membuat neuron dalam otak menjadi kurang aktif, atau malah
menyebabkan kematian sel. Kortisol turut menyebabkan radang, yang terkait dengan penyakit
kardiovaskular, stroke dan hipertensi dan mungkin merupakan penyebab depresi.

Persis seperti pada zaman dahulu di alam bebas, seseorang yang kesepian untuk jangka waktu
yang lama bisa mengalami respons-respons kortisol tersebut. Orang yang kesepian lebih banyak
stresnya.

Hormon lain yang disebut oksitosin tampaknya memainkan peran dalam isolasi sosial. Dalam
media populer, oksitosin sering disebut sebagai “hormon cinta.” Berlebihan saja itu, tetapi
oksitosin memang terlibat dalam hubungan dan ikatan-ikatan pasangan. Misalnya, sesudah
kelahiran, kadar oksitosin yang tinggi terkait dengan ikatan ibu-bayi yang lebih baik.

Oksitosin tampaknya juga terkait dengan pengurangan stres. Misalnya, ia berkaitan dengan
penurunan kadar norepinefrin, hormon “berkelahi atau lari ”, di samping menurunkan tekanan
darah dan detak jantung. Oksitosin tampaknya juga mengurangi aktivitas dalam amigdala,
sebuah bagian otak yang aktif setiap ada potensi ancaman.

Anda mungkin juga menyukai