Anda di halaman 1dari 20

A.

Teori Modernisasi Klasik


Modernisasi sebagai proses transformasi yang sistemik , dilakukan secara immanent (terus-
menerus) dan cenderung menekankan pada faktor yang berasal dari dalam (internal
resources). Untuk mencapai kondisi modern, teori modernisasi klasik mensyaratkan bahwa
seluruh nila-nilai tradisional harus diganti oleh seperangkat struktur yang modern. Karena
itu, Huntington (1976) menganggap bahwa antara nilai- nilai tradisional dan modern adalah
hal yang saling bertentangan. Dalam arti, jika modernisasi ingin dicapai, maka nilai-nilai
tradsional harus dirombak total alias dilenyapkan! Modernisasi melibatkan perubahan pada
hampir seluruh aspek perilaku sosial, termasuk industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi,
sekularisasi dan sentralisasi pada satu tempat yang mengakibatkan terjadinya
pengelompokan, sehingga modernisasi bercirikan keteraturan dan tidak dalam kondisi yang
terpisah-pisah.
Awal modernisasi dicatat oleh peristiwa sejarah yang monumental, yakni beberapa
temuan teknologi yang melandasi industrialisasi pada berbagai bidang kehidupan
masyarakat Eropa yang kemudian dikenal dengan peristiwa Revolusi Industri. Kemudian
disusul dengan munculnya Revolusi Perancis yang mengusung nilai-nilai demokratis
sebagai bentuk perlawanan terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki kelompok feodal.
Perkembangan selanjutnya, modernisasi melanda juga segmen kehidupan yang lain,
seperti munculnya kemajuan berbagai ilmu pengetahuan yang diikuti perkembangan
teknologi. Perobahan ini harus diimbangi oleh sikap mental dan proses adaptasi, sehingga
tidak dianggap sebagai orang yang ketinggalan jaman atau ‘mabuk’ modernisasi.
Menurut Alvin Y. So dan Suwarsono (2001) yang mengutif pendapat para tokoh
Amerika Serikat, Teori Modernisasi lahir sebagai produk 3 peristiwa penting, yakni :
1. Munculnya AS sebagai kekuatan dominan sejak pelaksanaan Marshal Plan untuk
membangun kembali Eropa Barat sebagai akibat kekalahan dalam PD II. Sementara,
Negara-negara Eropa lainnya, seprti Inggris, Perancis, dan Jerman justru semakin
melemah.
2. Pada saat hampir bersamaan, terjadi perluasan gerakan komunis sedunia. Uni Soviet
berhasil memperluas pengaruhnya keropa Timur, bahkan ke Asia (Cina dan Korea di
antaranya. Secara tidak langsung kondisi ini membuat AS ingin membendung pengaruh
Komunis, dengan cara berusaha memperluas pengaruh politkinya pada belahan dunia
yang lain.
3. Lahirnya Negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang
sebelumnya merupakan daerah jajahan Eropa . Negara-negara ini secara serempak
mencari model-model pembangunan ekonominya dalam usaha mempercepat pencapaian
kemerdekaan politiknya.
Oleh karena itu, pasca Perang Dunia ke-2 ditandai dengan besarnya perhatian
para ilmuwan AS kepada Negara-negara Dunia ketiga yang mendapat dukungan dari
pemerintah AS, dan organisasi swasta . Satu generasi baru ilmuwan, ilmuwan politik,
ekonomi dan para ahli Sosiologi, Psikologi, Antropologi serta ahli kependudukan
menghasilkan karya-karya disertasi dan monografi tentang Dunia ketiga. Satu aliran
pemikiran antar disiplin yang tergabung dalam ajaran modernisasi terbentuk dalam tahun
1950-an. Sehingga, karya kajian modernisasi merupakan ‘industri yang tumbuh segar ‘
sampai pertengahan tahun 1960-an. Karya kajian modernisasi dikategorikan sebagai
suatu aliran pemikiran atau a school of thouhht.
Teori modernisasi memiliki paling tidak dua warisan pemikiran, yakni pewarisan
pemikiran struktur fungsionalisme dan pola pikir teori evolusi. Menurut Teori evolusi,
perubahan sosial pada dasarnya merupakan gerakan yang linear, searah, progresif dan
perlahan-lahan yang akan membawa masyarakat primitif kepada tahapan yang lebih
maju, dan membuat ‘wajah’ masyarakat yang beragam menjadi memiliki bentuk dan
struktur yang seragam.

Salah seorang penganut teori modernisasi, Levy mempercayai bahwa seiring


dengan perkembangan waktu, di antara kita akan saling mirip satu sama lain, karena
teori modernisasi mengatakan bahwa semakin modern tahapan yang dilalui, maka akan
semakin serupa bentuk dan karakter masyarakat yang terlibat dalam perubahan ini.
Berdasar pada premis itu, maka teori Rostow memiliki gerakan seperti yang digambarkan
teori evolusi : Bergerak dari tatanan masyarakat primitif/sederhana ke masyarakat yang
lebih maju atau kompleks.
Teori fungsionalisme merupakan pemikiran Talcott Parsons, yang memandang
manusia ibarat organ tubuh manusia, sehingga masyarakat manusia pun bisa dipelajari
sebagaimana sebuah organ. Tidak mengherankan jika Parson memiliki pandangan ini
mengingat latar belakangnya sebagai ilmuwan Biologi.
Parsons memandang bahwa sebagaimana halnya tubuh manusia, masyarakat
memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya dalam kaitan yang
sistemik, memiliki fungsi pokok dan keseimbangan dinamis-statsioner (homeostatic
equilibrium). Parson, dengan menganalogkan tubuh manusia, menggunakan konsep
sistem untuk menggambarkan koordinasi harmonis antar kelembagaan yang ada pada
masyarakat. Fungsi pokok (fungsional imperative) diimaksudkan untuk menggambarkan 4
macam tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak mati. Keempat hal
tersebut dikenal dalam istilah AGIL (Adaptation to the environment, goal attainment,
integration, and latency). Lembaga ekonomi sebagai pelaksana adaptasi lingkungan,
pemerintah berfungsi untuk pencapaian tujuan umum, lembaga hukum dan agama
menjalankan fungsi integrasi, dan keluarga serta lembaga pendidikan berfungsi untuk
usaha pemeliharaan.
Masyarakat selalu mengalami perubahan yang teratur. Perubahan sosial pada
sebuah lembaga akan mengakibatkan perubahan pada lembaga yang lain untuk mencapai
keseimbangan baru. Di sinilah peran-peran homeostatic equilibrium dibutuhkan.
Dalam menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dan modern, Talcott
Parsons merumuskan konsep faktor kebakukan dan pengukur (pattern variables), yang
menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial yang langgeng, berulang dan
mewujud dalam sistem kebudayaan. Masyarakat tradisional cenderung memilliki

hubungan ‘kecintaan’ yang bersifap pribadi dan emosional. Sedangkan masyarakat


modern memiliki hubungan ‘kenetralan’, yaitu hubungan kerja yang tidak langsung, tidak
mempribadi dan berjarak. Selanjutnya Parsons merumuskan hubungan “ kekhususan dan
universal” (particularistic dan universalistic). Masyarakat tradisional cenderung
berhubungan dengan anggota masyarakat dari satu kelompok tertentu, sehingga menjadi
ada perasaan kebersamaan, memikul tanggung jawab bersama-sama. Sementara
masyarakat modern, berhubungan satu sama lain dalam batas norma-norma
universal,tidak terikat tanggung jawab kelompok dan kekhususan. Masyarakat tradisional
biasanya lebih terikat oleh kewajiban-kewajiban kekeluargaan, komunitas dan kesukuan
( orientasi kolektif). Sedangkan masyarat modern lebih bersifat individualistik (orientasi
pada diri sendiri/ self orientasi). Kemudian, masyarakat tradisional menurut Parsons lebih
melihat pentingnya status warisan dan bawaan (ascription), sedangkan masyarakat
modern lebih memperhatikan pencapaian prestasi (achievement), dalam situasi yang
penuh persaingan dan sangat ketat. Pada masyarakat tradisional, belum terdapat
rumusan yang jelas tentang fungsi-fungsi kelembagaan ( functionally diffused) yang akan
menyebabkan ketidakefisienan. Sebaliknya, pada masyarakat modern telah terjadi
perumusan yang jelas tentang fungsi-fungsi kelembagaan (functionally specific). Berikut
ini disajikan perbedaan antara masyarakat tradisional dan modern yang diidentifikasi
Talcott Parssons sebagai pattern variables dalam bentuk tabel
Unsur
Masyarakat Tradisional
Masyarakat Modern
Kecintaan
dan
kenetralan
Hubungan kecintaan yang
mempribadi dan emosional
Kenetralan dengan hubungan
kerja yang tidak langsung, tidak
mempribadi dan berjarak
Kekhususa
n dan
universal
Terikat tanggung jawab
kelompok, yang memikul
beban bersama-sama.
Lebih tidak terikat tanggung
jawab terhadap kelompok,
mengusung nilai-nilai universal
Pandangan
terhadap
diri
Berorientasi kolektif
Berorientasi pada diri-
sendiri/self orientation
Status
warisan
dan
prestasi
Memandang penting status
warisan dan bawaan
Memperhatikan prestasi
(achievement) dalam persaingan
yang ketat
Fungsi-
fungsi
kelembaga
an
Belum merumuskan fungsi-
fungsi kelembagaan secara
jelas (functionally diffused)
Sudah merumuskan tugas-tugas
masing-masing kelembagaan
secara jelas (functionally
specific)
Uraian di atas dimaksudkan agar kita lebih mudah dalam memahami teori
modernisasi sehubungan dengan beragamnya pola pikir dan rumitnya dalam
mengidentifikasi ciri-ciri pokok teori modernisasi. Selanjutnya akan dibahas 3 pemikiran
yang berasal dari 3 latar belakang disiplin yang berbeda (Sosiologi, Ekonomi dan Politik)
yang mencoba menjelaskan jalannya modernisasi di Negara Dunia Ketiga yang
berorientasi kepada Teori Modernisasi Klasik.
1. Diferensiasi Struktural dari Smelser (Sosiolog)
Di dalam menjawab pertanyaan yang dirumuskannya, Smelser menggunakan konsep
bagaimana modernisasi bisa terjadi, perbedaan antara masyarakat tradisional dan
modern bagaimana prospek modernisasi di Negara Dunia Ketiga, dan apa akibat lanjut
dari proses modernisasi.
Menurut Smelser, proses modernisasi akan selalu melibatkan diferensiasi
struktural.Ketidakteruran struktur masyarakat yang menjalankan berbagai fungsi
sekaligus akan dibagi ke dalam sub struktur untuk menjalankan satu fungsi yang lebih
khusus. Bangunan baru tersebut sebagai satu kesatuan yang terdiri dari berbagai sub
struktur yang menjalankan keseluruhan fungsi yang dilakukan oleh bangunan struktur
lama. Setelah terdapat diferensiasi struktural, pelaksanaan fungsi akan dapat dijalankan
secara lebih efisien. Sebagai contoh, keluarga tradisional memiliki struktur yang tidak
teratur dan rumit. Di dalam satu atap berdiam banyak keluarga yang terdiri dari beberapa
generasi. Di Indonesia dicontohkan model keluarga yang mendiami rumah gadang di
daerah Padang (Sumbar).
Keluarga tradisional tidak hanya bertanggung jawab terhadap beban penerusan
keturunan dan penanggungan emosi bersama, tetapi juga bertanggung jawab terhadap
produktifitas kerja (ladang pertanian bersama), pendidikan (proses sosialisasi),
kesejahteraan (perawatan terhadap orang tua yang berusia lanjut), dan pendidikan
agama (pemujaan terhadap arwah orang tua).

Dalam masyarakat modern, keluarga memiliki struktur yang lebih sederhana, lebih
kecil karena hanya terdiri dari keluarga inti (batih). Di sini sudah terjadi diferensiasi
strukural, sehingga banyak fungsi dari lembaga keluaraga tradisional tidak dilakukan.
Sebagai contoh, lembaga perekonomian telah berfungsi sebagai institusi yang
bertanggung jawab terhadap produktifitas kerja, lembaga pendidikan berfungsi untuk
pewarisan nilai dan pengajaran, pemerintah memiliki fungsi untuk kesejahteraan dll.
Diambilalihnya fungsi-fungsi yang tadinya dilakukan keluarga tradisional, oleh lembaga
khusus menjadikan keluarga modern lebih produktif dibanding keluarga tradisional.
Setiap perubahan akan menimbulkan akibat. Sebagai contoh, sebagai akibat
diferensiasi struktural akan mengakibatkan persoalan baru, yang berhubungan dengan
masalah integrasi.Dihadapkan pada masalah ini, smelser menyarankan untuk membentuk
semacam lembaga khusus yang menjembatani dan mengkoordinasikan kegiatan dan
kebutuhan masyarakat yang telah terdiferensiasi. Misalnya, lembaga semacam Depnaker
yang akan menghubungkan para pencari kerja dengan lembaga ekonomi (dunia kerja)
baik swasta maupun negeri.
Bahwa masalah integrasi bukan masalah sederhana, diakui Smelser karena terdapat
beberapa variable yang saling mempengaruhi. Misalnya, konflik nilai antara lembaga
penghubung dengan pencari kerja yang masing memiliki orientasi kepada nilai warisan
bawaan, akan berbenturan dengan lembaga penghubung yang menganut netralitas dan
prestasi. Kondisi ini akan menimbulkan angka pengangguran yang berikutnya akan
menimbulkan akibat-akibat lain yang lebih rumit.
Memang masalah integrasi tidak akan dapat diatasi secara total, sebab terdapatnya
ketidaseimbangan antara perkembanngan pembangunan dan kelembagaan
kemasyarakatan yang diperlukan. Jika dibiarkan, menurut Smelser, kondisi ini akan
menimbulkan kerusuhan sosial. Berbagai kekacauan bisa terjadi, seperti agitasi politik
damai sampai kekerasan di dalam kerusuhan.
Dapat dicontohkan, efek samping modernisasi di Negara Dunia ketiga dalam
pembangunan masyarakat desa akan memunculkan petani miskin lahan yang tersisihkan
sebagai akibat cepatnya perubahan dan mobilitas vertikal. Kita semua tau, bahwa
kemiskinan merupakan ladang yang subur untuk komunisme. Menyimak analisis Smelser,
memperlihatkan sebuah kerangka teori yang dibangun sebagai upaya mengamati proses
modernisasi di negara Dunia ketiga berikut beberapa efek samping dan alternatif
pemecahannya, atau untuk mengurangi dan menekan efek perubahan yang negatif.
2. Tahapan Pertumbuhan Ekonomi dari Rostow
Dalam karya klasiknya yang berjudul The Stages of Economic Growth, W.W. Rostow
menyatakan terdapat 5 tahapan pembangunan ekonomi, yakni :
a. Masyarakat Tradisional
b. Prakondisi tinggal landas
c. Tahapan tinggal landas
d. Kematangan pertumbuhan
e. Konsumsi massa tinggi
Analisis Rostow terhadap pembangunan ekonomi di Dunia ketiga diawali dengan
identifikasi terhadap kondisi masyarakat tradisional yang dipandang hanya sedikit
mengalami perubahan sosial atau bahkan sama sekali mandeg. Perlahan-
lahan,mengalami perubahan dengan mulai tumbuhnya para usahawan, perluasan pasar,
dan pembangunan industri. Ini artinya memasuki tahap prakondisi, sebagai tahap untuk
memasuki lepas landas. Seiring dengan itu, kesejahteraan dan kesehatan meningkat
sehingga tingkat kematian menjadi kecil . Keadaan ini tidak mendukung ke arah
momentum mempertahankan dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang otonom dan
berkelanjutan (self-sustained economic growth), karena beban jumlah penduduk yang
banyak malah menyerap habis surplus pendapatan ekonomi. Untuk itu, Rostow
menyarankan agar Negara Dunia ketiga memiliki struktur ekonomi tertentu, yakni
mampu memobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumber daya alamnya sehingga
mampu mencapai tingkat investasi produktif sampai sebesar 10 % dari pendapatan
nasionalnya. Jika tidak, maka pertumbuhan penduduk tidak akan dapat diimbangi.
Tetapi menjadi sebuah pertanyaan bagi negara Dunia Ketiga, tentang perolehan
sumber daya investasi. Rostow menyarankan beberapa hal. Pertama, pemindahan
sumber dana secara radikal, atau melalui kebijakan pungutan pajak seperti yang
dilakukan Jepang pada jaman Meiji. Di Rusia, terjadi penyitaan hak atas tanah dari tuan
tanah, sehingga terjadi pemindahan investasi ke perkotaan. Kedua, dana investasi yang
berasal dari lembaga keuangan seperti perbankan, pasar uang dan modal atau obligasi
pemerintah yang dibuat untuk memindahkan dana nasional yang terpendam untuk
kegiatan yang produktif.Ketiga, Perolehan dari perdagangan internasional. Pendapatan
devisa dari kegiatan ekspor bisa dipergunakan untuk membayar tenaga asing dan
teknologinya. Keempat. Dana investasi yang diperoleh dari investasi modal asing untuk
ditanamkan misalnya untuk pembangunan prasarana atau pembukaan tambang dan
sektor produktif lainnya.
Jika pertumbuhan ekonomi telah otonom, menurut Rostow akan terbuka
kesempatan kerja, meningkatnya pendapatan nasional, peningkatan kesempatan
konsumen dan terbentuknya pasar domestik yang tangguh. Ini adalah kondisi puncak
tahapan yang oleh Rostow disebut ‘masyarakat dengan konsumsi massa tinggi!’
Memperhatikan saran Rostow tentang perolehan dana investasi produktif, melalui
investasi langsung moda asing, sebagai faktor yang dijadikan alasan Amerika Serikat untuk
‘membantu’ Negara Dunia ketiga di dalam mencapai kondisi lepas landas, dengan cara
meminjamkan dana investasi dan mengirim ratusan bahkan ribuan para ahli, dengan alas
an untuk membangun prasarana dan sarana industri. Pinjaman ini tentu sarat dengan
prasarat yang diketahui pada akhirnya Negara Dunia ketiga tetap berada dalam kondisi
yang stagnan, dan malahan menjadi Negara yang penuh ketergantungan kepada Negara
pemberi pinjaman modal tersebut
3.Telaah Coleman Terhadap Pembangunan Politik di Dunia ketiga
Modernisasi politik menurut Coleman merujuk kepada diferensiasi struktur
politik dan sekularisasi budaya politik yang mengarah kepada ethos keadilan yang
bertujuan akhir ke arah penguatan kapasitas sistem politik. Pokok-pokok pikiran Coleman
paling tidak terdiri dari 3 hal yang terdiri dari :
a. (Diferensiasi Struktur) Diferensiasi politik sebagai kecenderungan dominan sejarah
perkembangan
sistem politik modern. Jika berhasil, diferensiasi politik akan dengan tegas
menghasilkan perbedaan antar fungsi masing-masing lembaga secara tegas, yang
akan mengakibatkan semakin kompleksnya struktur politik, sementara pada saat
bersamaan diferensiasi politik akan melahirkan situasi yang saling terkait dan saling
ketergantungan di antara lembaga tersebut secara sehat dan berkesinambungan.
Contoh pembedaan dan pemisahan tersebut ialah : norma-norma hukum yang
universal dengan agama, pemisahan antara fungsi administratif pemerintahan dan
persaingan kepemimpinan politik untuk mencapai kedudukan dan pemerintahan.
b. (Equality) Prinsip kesamaan dan keadilan merupakan etos masyarakat modern. Misalnya,
prinsip keadilan dalam distribusi (bidang ekonomi), kemantapan dan meratanya
pelaksanaan norma-norma hukum universal di dalam kerangka hubungan politik
antara pemerintah dan rakyat. Proses keadilan dalam kesempatan memperoleh
promosi jabatan dalam administrasi dan politik yang berdasar pada prestasi.
Kemudian, prinsip keadilan dalam penumbuhkembangan angka partisipasi rakyat
dalam proses pengambilan keputusan politik atau keadilan dalam berpartisipasi.
c. (Capacity) Modernisasi harus dilihat sebagai usaha progresif dalam penguatan kapasitas
sistem politik. Contohnya, menguatnya kekuatan politik suatu
komunitas,menunjukkan semakin kuatnya agregasi kepentingan politik dan sebagai
tanda pelembagaan organisasi politik untuk menyalurkan tuntutan politik baru;
Contoh lainnya, terdapatnya kemantapan pelaksanaan keputusan politik dan daya
penetrasi pemerintah pusat yang kuat.
Sebagaimana Smelser, Coleman mengingatkan akibat yang ditimbulkan oleh upaya
diferensiasi ini. Diferensiasi politk memungkinkan terjadinnya ketegangan dan keter
pecahbelahan sistem politik, sehingga perlu kesiapan yang matang dalam menghadapi
masalah-masalah tersebut, manakala dunia ketiga akan melanjutkan proses
modernisasinya.
Berikut ini beberapa kemungkinan terjadinya dampak negatif dari proses
modernisasi dalam sistem politik menurut Coleman :
a.1. Krisis identitas nasional dalam masa perlaihan dari masyarakat primordial
menuju masyarakat modern, (krisis identitas )
a.2. Krisis legitimasi pemerintah pusat terhadap daerah-daerah. (krisis Legitimasi )
a.3. Ketidakmampuan pemerintah pusat untuk melaksanakan secara efisien
keputusan politiknya ke seluruh pelosok.
a.5. Krisis rendahnya partisipasi, yang disebabkan tidak adanya lembaga penghubung dan
penyalur suara rakyat terhadap pemerintah. (Krisis partisipasi)
a.6. Krisis integrasi dan koordinasi berbagai kelompok politik dominan dan
a.7. Krisis ekonomi serta pemerataan hasilnya yang sesuai dengan keinginan
masyarakat. (krisis distribusi )
Menyimak berbagai tesis dari ketiga ahli yang berbeda latar belakang disiplin ilmu
tersebut, dapat disimpulkan bahwa masing-masing disiplin memiliki kekhasan di dalam
mengidentifikasi masalah-masalah pokok modernisasi dan dalam memberikan jalan ke
luarnya. Sosiolog menitikberatkan pada diferensiasi struktural, ekonom memberikan
tekanan pada pentingnya investasi produktif. Sedangkan ahli politik memperhatikan
kebutuhan penguatan pada kapasitas sistem politik.
Telah diungkapkan bahwa teori modernisasi dibentuk secara historis oleh dua teori
yaitu teori Evolusi dan Struktur fungsional. Sehubungan dengan itu,dalam implikasinya
terhadap pembangunan, kedua teori tersebut telah memberikan ciri-ciri teori modernisasi
berikut :
1. Memiliki gerakan yang searah dan linear.
2. Menuju kepada proses homogenisasi.
3. Kecenderungan ke arah proses Eropanisasi atau Amerikanisasi (Barat).
4. Proses yang tidak beregerak mundur (regresif).
5. Bergerak maju (progresif).
6. Memerlukan waktu yang panjang (lama).
7. Tidak bisa dihentikan prosesnya
Di samping itu, kedua teori tersebut memperlihatkan hal berikut di dalam pengkajian
pembangunan, yakni :
Cenderung mengkaji persoalan Dunia ketiga secara abstrak dan bertendensi untuk
mengambil kesimpulan-kesimpulan umum dalam pola (model) yang dibakukan. Sementara
itu, faktor kesejarahan Negara setempat diabaikan. Sebagai sebuah kekuatan yang bukan
hanya sebat as akademis, teori modernisasi dirumuskan dalam konteks sejarah perubahan
kekuatan kepemimpinan dan kekuatan dunia setelah Amerika serikat mengambil alih
kekuatan pasca PD II. Oleh karena itu, dengan menggunakan unit analisis batasan sebuah
Negara, teori modernisasi memberikan rumusan kebijakan pembangunan dengan
implikasinya sebagai berikut :
1. Secara implisit membantu pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak-belakang
antara masyarakat tradisional dan modern. Amerika dan Negara-negara Eropa Barat
mewakili Negara-negara modern (maju), sedangkan Negara-negara Dunia ke-3 sebagai
Negara dalam kelompok tradisional (Negara terbelakang). Oleh karena itu, Negara-
negara Dunia ketiga perlu menjadikan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat
Sebagai panutan dan model di dalam melakukan proses pembangunan negaranya.
2. Komunisme dipandang teori modernisasi sebagai ancaman terhadap pembangunan
Negara Dunia ketiga, dan disarankan selain harus meninggalkan nilai-nilai tradisional,
juga harus melembagakan demokrasi politik.
3. Teori Modernisasi memberikan legitimasi terhadap perlunya bantuan asing, sebagai
pemenuhan investasi produktif untuk membangun negaranya. Untuk pengenalan nilai-
nilai modern, maka amerika Serikat dan Negara maju lainnya berbondong-bondong
memberikan ‘bantuan’ tersebut berupa pinjaman dana dan tenaga ahli, bahkan mesin-
mesin produksi.
Sebelumnya telah diungkapkan 3 pemikiran dari Smelser, Rostow dan Coleman
tentang teori modernisasi ditinjau ari 3 disiplin ilmu (sosiologi, ekonomi dan politik).
Kajian- kajian dari beragam ahli disiplin Ilmu sosial yang lainpun ikut memperkaya
khasanah pengetahuan dan keilmuan serta implikasi dari teori modernisasi. Kajian yang
berupa penelitian tersebut dimaksudkan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang berkenaan dengan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap
modernisasi di Negara Dunia Ketiga serta dampak dari modernisasi tersebut.
Penelitian yang dimaksudkan di antaranya dicontohkan thesisnya David McClelland
yang menghubungkan antara kebutuhan berprestasi (need for achievement) dengan
pembangunan ekonomi. Menurut McClelland, yang bertanggung jawab terhadap proses
modernisasi Negara-negara berkembang adalah kaum wiraswastawan domestik,
bukanlah para politikus atau para penasihat ahli dari Negara maju. Implikasinya, bahwa
para penentu kebijakan jangan membatas investasi hanya untuk pembangunan
prasarana dan sarana ekonomi, tetapi juga harus melakukan investasi pada
pengembangan sumber daya manusia. Sehubungan dengan motivasi berprestasi,
Herman Soewardi mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki karsa yang lemah.
Sementara itu, Robert N. Bellah melihat adanya peranan agama Tokugawa pada
pembangunan ekonomi Jepang. Lipset mengkaji tentang kemungkinan pembangunan
ekononomi terhadap proses demokratisasi di Negara Dunia Ketiga. Kemudian, Inkeles
melihat akibat modernisaasi terhadap perilaku seseorang. Berikut ini adalah ciri-ciri
manusia modern menurut Inkeles :
1. Terbuka terhadap pengalaman baru.
2. Memiliki sikap yang independen terhadap otoritas tradisional, seperti kepada orang
tua,kepala suku (etnis) dan raja.
3. Percaya kepada ilmu pengetahuan dan keyakinan dapat menguasai alam.
4. Memiliki orientasi mobilitas, ambisi hidup yang tinggi, dan memiliki keinginan untuk
memperoleh jenjang pekerjaan.
5. Memiliki rencana jangka panjang.
6. Aktif dalam arena politik, melibatkan diri dalam organisasi kekeluargaan dan urusan
masyarakat lokal.
a. Kritik Terhadap Teori Modernisasi Klasik
Bagi kelompok yang bersebrangan dengan pendukung teori modernisasi, seperti
pendukung Neo-Marxisme, melihat bahwa para pengusung teori modernisasi sebenarnya
merupakan upaya Amerika dan negara Barat di dalam melakukan upaya ke arah
Neokolonialisme yang dikemas secara ilmiah. Perhatian teori modernisasi pada hal-hal
internal yang lebih melihat negara Dunia Ketiga dari sisi internal (nilai tradisional,
kurangnya investasi produktif dll), sehingga mengabaikan unsur eksternal seperti
ketidakseimbangan nilai tukar, perusahaan mulinasional, fenomena neokolonialisme.
Pada saat ini, budaya Barat sangat mendominasi Negara Dunia Ketiga.
B. Teori Modernisasi Baru
Akhir tahun 1970-an, perdebatan antara berbagai perspektif pokok pembangunan
mulai mereda. Pada saat ini muncul pandangan dari pengusung teori modernisasi Baru
yang merupakan revisi terhadap berbagai asumsi dasar teori modernisasi klasik. Hasil
kajian baru teori modernisasi tersebut telah menemukan beberapa wilayah kajian yang
baru pula. Perbedaan utama dari teori Modernisasi Klasik adalah terletak pada hal-hal
berikut :
1. Pada teori Modernisasi Baru, aspek yang berkenaan dengan tradisi tidak
dipandang sebagai penghambat pembangunan. Malahan dipandang sebagai
faktor positif. Sehingga tidak mempertentangkan dengan tajam antara nilai-
nilai tradisional dan modern.
2. Tidak lagi menjadikan Negara-negara Barat sebagai satu-satunya model dan
arah pembangunan. Hal ini disebabkan secara metodologis lebih
memperhatikan hal-hal yang nyata dibanding sebelumnya yang lebih abstrak
dan tipologis. Faktor kesejarahan sangat dipertimbangkan di dalam
menjelaskan pola perkembangan Negara tertentu.
3. Lebih memperhatikan faktor internasional yang dianggap mempengaruhi
pembangunan di Dunia Ketiga, di samping lebih memperhatikan faktor konflik
kelas, dominasi ideologi dan peranan agama.
Perbedaan paradigma tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian yang antara
lain dilakukan oleh Wong yang mengkaji tentang kekuatan yang luarbiasa dari nilai-nilai
tradisional China terhadap kewiraswastaan, yang akan berimplikasi terhadap pembangunan
ekonomi. Wong menguji dengan cermat tentang pengaruh pranata keluarga terhadap
berbagai organisasi badan usaha milik etnis China di Hongkong. Faktor yang diamati adalah
tentang ideologi dan praktek manajamen paternalistik, tenaga kerja keluarga, dan
pemilikan keluarga. Di dalam teori modernisasi klasik, nilai-nilai tradisional China diakui
sangat dahsyat dan menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin kerja, menghalangi
proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif individual untuk investasi,
menghalangi proses tumbuhnya berpikir rasional dan merintangi tumbuhnya norma-norma
bisnis universal.
Dalam penelitian Wong, thesis tentang nilai-nilai tradisional yang kontra produktif
terhadap upaya pembangunan ekonomi tersebut berhasil dijawab dengan sebuah bukti riil,
justru metafora pranata keluarga telah cukup memberikan alasan untuk legalitas
hubungan antara patron (tuan/pemilik) dengan Klien (pekerja). Secara ekonomis, hubungan
paternalisme yang penuh dengan kebajikan itu telah membantu para usahawan untuk
menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada di dalam industri yang sangat
fluktuatif. Secara politis, jika para pekerja merasa tidak puas terhadap kebijakan
pengusaha, maka tidak aka nada perlawanan secara kelompok, seperti melalui demo.
Tetapi lebih diekspresikan secara pribadi. Misalnya, dengan cara mangkir dari tempat kerja
atau mengundurkan diri.
Nepotisme, bagi Wong dalam penelitiannya memperlihatkan sisi positif. Melalui
nepotisme, berbagai badan usaha di Hongkong berhasil mempertahankan eksistensinya.
Melalui sistem penggajian dan pembagian kerja, serta lama bekerja yang fleksibel, dan
pengusaha dapat memiliki kekuatan dan posisi yang kuat di dalam persaingan antar
perusahaan. Karena , di saat perusahaan mengalami masa kritis, para pekerja yang cakap,
terdiri dari sanak keluarga bisa dibayar murah atau ditunda bayarannya. Ketika posisi
perusahaan menjadi lebih baik bahkan tumbuh kembang ke arah yang bagus, maka
perusahaan membayar hutang mereka kepada para pekerja dan mencoba lebih
mensejahterakannya. Jika ada anggota keluarga menduduki posisi manejerial, usahawan
etnis Cina tersebut akan memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan
melengkapinya dengan pendidikan formal sekaligus kesempatan untuk magang. Oleh
karena itu, menurut Wong, tenaga menejer keluarga sangat jarang memiliki standar mutu
yang rendah.
Untuk segi investasi, wong menemukan bahwa pada tahun 1978, permodalan
perusahaan kecil dimiliki oleh individual atau keluarga mereka dalam kisaran 60%. Model
pemilikan keluarga ini sangat membantu keberhasilan usaha etnis Cina dI
Hongkong. Di samping itu, tingginya tingkat kepercayaan terhadap antar anggota keluarga,
kemudahan mencapai konsensus, kemampuan menutupi rahasia dan pengambilan
keputusan yang sangat cepat membuat perusahaan keluarga memiliki daya saing yang kuat.
Oleh karena itu, berdasar temuannya tersebut, Wong menyebutkan tiga
karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dalam
dalam proses pengambilan keputusan, kendati dalam saat yang sama terdapat rendahnya
derajat usaha untuk memmformalkan struktur organisasi. Kedua, Otonomi dihargai sangat
tinggi dan lebih menyukai bekerja secara mandiri dalam bentuk hubungan kerja yang
paternalistik, pengawasan yang ketat dengan delegasi wewenang yang sekecil mungkin.
Sejalan dengan pendapat Wong, Dove mengatakan bahwa unsur tradisional sangat
terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial dan politik. Sehingga,bagi Dove nilai-nilai
tradisional tidak identik dengan keterbelakangan dan sebagai penghambat kemajuan sosial
ekonomi, malahan dalam konteks tertentu, budaya tradisional dipandang memberikan
kontribusi terhadap proses pembangunan.
Melalui kajian antropologis, Dove dan kawan-kawan mencoba melihat interaksi
antara kebijakan pembangunan nasional Indonesia dengan berbagai budaya lokal yang ada
di Indonesia. Oleh karena itu, sangat tidak beralasan jika terdapat upaya ke arah devaluasi,
depresiasi bahkan pengeliminasian terhadap budaya lokal, yang ironisnya banyak
dilakukan oleh para ilmuwan Sosial lokal. Di samping itu, terdapat fenomena di mana para
peneliti sosial lokal kerap dihadapkan pada kondisi lapangan yang membuat mereka tidak
dapat melakukan penelitian secara akurat. Hambatan dari iklim penelitian dari para
birokrat telah melahirkan hasil-hasil penelitian ‘pesanan’ atau sebaliknya, sama sekali tidak
dapat langsung mengamati objek penelitian.
Menurut Dove dkk. ‘agama-agama’ kecil yang dipandang inferior dibanding agama-
agama superior sebenarnya secara empiris telah memiliki ajaran yang cukup memadai
tentang tradisi, adat, dan ilmu pengetahuan (Contoh kepercayaan tradisional di Wana
Sulawesi Tengah dan Samin di Jawa Tengah). Bahkan, untuk penganut Samin, agama
mereka dalam hal ilmu pengetahuan memiliki keunggulan dalam pengetahuan tentang
pengobatan dan penyakit.
Dalam hal mata pencaharian (ekonomi), sistem berladang yang berpindah-pindah
seperti petani di Bima (Sumbawa) atau Punan di Kalimantan, menurut peneliti justru
sangat mendukung terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup. Ketika para
pendukung budaya local tersebut dihadapkan pada nilai-nilai modern, sesungguhnya
mereka tidak serta-merta meninggalkan budaya nenek moyangnya. Oleh karena itu,
perubahan sosial yang terjadi karena faktor eksternal tidak secara keseluruhan mengubah
faktor internal (budaya lokal) mereka. Sementara itu, Davis berpendapat bahwa agama
rakyat dan agama lainnya akan dapat tetap hidup berdampingan (damai dan konflik)
dengan pranata ekonomi dan sosial modern, dan atau mungkin juga terus bekerja sama
dengan pranata masyarakat modern, baik untuk kepentingan masing-masing atau untuk
kepentingan keduanya.
Pada tahun 1960-an, Lipset mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan positif
antara pembangunan ekonomi dan demokrasi. Diasumsikan, bahwa semakin maju sebuah
negara secara ekonomis, semakin besar peluang yang dimilikinya untuk menegakkan
tatanan politik yang demokratis. Namun, tahun 1970-an, banyak pemerintahan yang
demokratis tumbang membuat para penganut teori modernisasi merasa pesimis terhadap
masa depan demokrasi politik di Dunia Ketiga. Tetapi, pada tahun 1980-an, ketika
pembangunan demokrasi di Dunia Ketiga, bangkit lagi, terdapat kecenderungan untuk
mengkaji masa transisi bangkitnya pembangunan demokrasi.
Akhirnya, dapat disimpulkan Modernisasi Baru dalam koreksinya terhadap Teori
Modernisasi Klasik adalah bahwa pentingnya kembali kepada peran-peran nilai
tradisional dan kembali kepada analisis sejarah. Melalui analisis sejarah, akan lebih
memberikan perhatian kepada keunikan dari setiap kasus untuk menjelaskan dan
mendukung keabsahan teori. Kemudian, menghindari penyajian analisa dan pernyataan
yang simplisistik, dan hanya mengandalkan analisa pada satu variable. Tetapi harus
mengamati keseluruhan fenomena secara simultan, dari berbagai pranata sosial (sosial,
budaya, agama dan politik), berbagai arah pembangunan, serta interaksi internal dan
eksternal.
C.Teori Dependensi Klasik
Teori dependensi muncul untuk pertama kali di Amerika Latin. Teori ini berbeda
dengan teori modernisasi yang melihat permasalahan pembangunan dari sudut
kepentingan Amerika Serikat. Teori ini menyatakan bahwa keterbelakangan Dunia Ketiga
sebagai fokus perhatian. Sehingga, teori ini lebih dipandang sebagai teori yang lebih
berpihak kepada suara Negara Dunia Ketiga.
Teori ini dilatarbelakangi oleh kegagalan program KEPPBAL (Komisi Ekonomi
Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Amerika Latin/United Nation Economic Commission for
Latin America/ECCLA), dalam menerapkan proses industrialisasi melalui program
Industrialisasi Substitusi Import (ISI). Melalui program ini diharapkan dapat memberikan
keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, sekaligus
pemerataan pembangunan hasil pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat,
yang diharapkan dapat memberikan daya dorong terhadap pembangunan politik yang
demokratis.
Peristiwa kritisnya teori Marxis Ortodox di Amerika Latin, yang tidak lagi meyakini
bahwa tahapan revolusi ‘borjuis’ diawali oleh revolusi sosialis ‘proletar’. Peristiwa di Cina
dan Kuba (1949 dan 1950-an) membuktikan bahwa revolusi bisa terjadi tanpa harus
melalui tahapan-tahapan tersebut. Oleh karena itu, negara-negara di Amerika Latin dapat
langsung menuju ke Revolusi sosialis.Teori ini dengan cepat menyebar ke belahan Amerika
Utara pada akhir tahun 1960-an yang dipopulerkan oleh Andre Gunder Frank melalui
tulisannya di Monthly Review.
Menurut perspektif dependensi, pemerintah kolonial didirikan dengan tujuan
untuk menjaga stabilitas negara jajahan, sehingga kelancaran pengambilan bahan mentah
ke negara mereka terjamin lancar, begitu juga dalam hal pengiriman barang-barang yang
diproduksi negara kolonial ke negara pinggiran (Negara Dunia Ketiga) tidak terdapat
hambatan.Sebagai negara metropolis, dunia Barat (Eropa dan Amerika), memposisikan
negara Dunia Ketiga sebagai negara pinggiran (satelit) yang memiliki ketergantungan
kepada mereka. Oleh karena itu, tidak pernah mereka memiliki tujuan untuk membangun
negara pinggiran.
Di dalam prakteknya, pemerintah kolonial kerap kali melakukan kekerasan untuk
menciptakan situasi kondusif negara jajahan, bahkan sejarah mencatat bagaimana
Spanyol memusnahkan penduduk Aztecs di Amerika Latin, eksploitasi kasar para pemodal
Inggris di India dan deindustrialisasi negara ini, dengan mengangkut bahan mentah (katun),
membanjiri India dengan barang-barang produksi Inggris, aturan tarif impor,
menghancurkan sektor agraria dll.
Menurut Paul Baran, kebijaksanaan ekonomi pemerintah kolonial Inggris di India
membuat segala pranata ekonomi India runtuh yang mengakibatkan hancurnya seluruh
pranata sosial negara tersebut.Di dalam teori depensi Klasik, Kolonialisme dinyatakan
sebagai variable utama di dalam membentuk keterbelakangan negara-negara jajahan. Atas
dasar pokok perhatian pada keterbelakangan dan ketergantungan Negara Dunia Ketiga
inilah yang membedakan teori Dependensi Klasik dengan teori modernisasi yang pada
hakekatnya merupakan bentuk dari neokolonialisme di Negara Dunia Ketiga, termasuk di
Asia Timur.
a. Tumbuhnya Imperialisme di Asia Timur
Lansberg menganalisis bahwa pembangunan di Negara Dunia Ketiga tidak
berhasil oleh upaya yang oleh Dunia Barat diklaim sebagai pendamping atau
penolong. Karena banyaknya faktor yang berkenaan dengan hal-hal berikut :
1. Lemahnya dasar-dasar pengembangan industri, dan adanya paksaan terhadap
Negara Dunia Ketiga untuk mebelanjakan devisa yang besar untuk mengimpor
barang konsumsi.
2. Devisa yang dibelanjakan tersebut diambil dari penjualan ekspor produk primer
seperti gula, teh, kopi, karet ,rotan, coklat dll yang sangat rentan terhadap
flutuasi harga pasar dengan kendali harga dari negara-negara maju.
3. Defisit dari devisa membuat negara dunia Ketiga dalam mengumpulkan devisa
membuat negara pinggiran tersebut terjebak hutang luar negeri yang membuat
mudahnya dominasi asing di dalam negaranya.
Oleh karena itu, kebijakan orientasi ekspor (IOE) di Korea, Taiwan, Singapura,
dan Hongkong diidentifikasi Lansberg menjadikan negara-negara di kawasan Asia
Timur ini berada dalam posisi negara yang industri yang tergantung, untuk
menyebut kata lain dari industri yang tidak mandiri. Menurut Lansberg, kendati IOE
‘membantu’ tumbuhnya industri dan ketersediaan lapangan kerja di negara-negara
Dunia Ketiga, tetapi strategi IOE tidak menumbuhkan terjadinya akumulasi modal
pembangunan ekonomi yang mandiri dan tangguh. Kondisi ini mendorong agar
kebijakan ISI (Industri Substitusi Import) Negara Dunia Ketiga dapat melepaskan
diri dari ketergantungan terhadap ekspor primer.Melalui ISI juga diharapkan agar
negara-negara berkembang tidak mengimport lagi barang-barang konsumsi, karena
kebijakan ISI akan menjamin ketersediaan barang-barang jenis ini di samping akan
mempercepat pertumbuhan industri dalam negeri.
Namun demikian, pada awal 1960-an, kebijakan ISi dipandang mengalami
kegagalan yang menurut Lansberg disebabkan karena :
1. Kondisi penduduk Negara Dunia Ketiga masih miskin, membuat sempitnya
pasar domestik. Berkembang produk dalam negeri hanya diserap sebagian
kecil penduduk kota yang lebih menyerap produk barang mewah dan barang
konsumsi tahan lama.
2. Borjuis domestik tidak cukup memiliki modal dan teknologi untuk memulai
proses industrialisasi yang direncanakan.Akibatnya, bergantung pada pemodal
asing, yang menimbulkan dominasi asing.
3. Pengurangan atau penghentian terhadap barang konsumsi import disertai
dengan besarnya modal asing dan teknologi yang harus dibayar dengan devisa.
Oleh karena itu, terdapat ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan yang
lebih memperlihatkan surplus untuk negara maju.
b. Analisis Ketergantungan dalam Pembangunan Sosial ekonomi Indonesia
Analisis pembangunan sosial-ekonomi dengan menggunakan teori ketergantungan
dilakukan oleh Sritua Arief dan Adi Sasono pada thun 1980-an. Kajian dimulai dengan
analisis sejarah yang mengamati warisan Kolonial Belanda, yakni bangunan struktural
sejak dilakukannya tanam paksa. Tumbuh suburnya kemiskinan dan keterbelakangan di
Indonesia diwariskan dari sistem ini. Pendapatan eksport Belanda yang besar diperoleh
melalui tanam paksa. Pada saat ini terjadi pengalihan surplus ekonomi Indonesia ke
Belanda dalam jumlah sangat besar. Di samping itu, tanam paksa telah membantu
memperbanyak ‘kaum proletariat desa’, sementara petani yang berkecukupan semakin
sedikit.
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa telah terjadi kerjasama antara pemerintah
kolonial Belanda dengan kaum feodal lokal. Kaum feodal (aritrokrat) memperoleh
keuntungan walaupun masih sangat jauh lebih kecil dengan yang diterima kaum
kolonial. Sayangnya, kajian kesejarahan ini meloncat langsung pada fase kemerdekaan,
yakni sekitar 1966 sd 1970-an. Sehingga pada jaman kolonial Jepang bahkan pada
jaman Orde Lama (Pemerintahan Soekarno), tidak terdapat analilis pembangunan
sosial-ekonomi.
Analisis kedua peneliti terhadap pembangunan Orde Baru pada periode tahun 1970
sd 1976-an adalah sebagai berikut :
1. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Rakyat miskin terutama
di pedesaan tidak menikmati pertumbuhan ekonomi, Industri kecil di pedesaan
hancur, peluang pekerjaan di sektor pertanian yang berkurang tidak diimbangi oleh
kesempatan bekerja di perkotaan.
2. Tingkat pengangguran yang tinggi dengan percepatan yang tinggi juga. Teknologi
padat modal tidak seimbang dalam menyerap tenaga kerja, sementara sektor
pertanian semakin sempit dalam menampung tenaga kerja produktif.Tenaga kerja
yang tidak memiliki pilihan akhirnya lebih memilih bekerja pada sektor jasa.
3. Industrialisasi di Indonesia tergolong kepada industrialisasi ekstraversi. ISI memiliki
ketergantungan yang sangat tinggi terhadap modal dan teknologi asing. Sehingga
nyatalah ketergantungan negara kita kepada negara asing.
4. Kondisi pada point c. menyebabkan bangsa kita memiliki ketergantungan keuangan
dari luar negeri. Pinjaman ataupun investasi dari luar digunakan untuk membiayai
resources gap atau foreign exchange gap, yaitu membiayai surplus import dalam
perkiraan neraca pembayaran yang sedang berjalan.
5. Sekalipun Indonesia pada tahun 1985 an menacapai swasembada pangan, tetapi
analisis pembangunan sosial-ekonomi dengan menggunakan teori ketergantungan
telah memperlihatkan bahwa situasi ketergantungan dan keterbelakangan di
Indonesia telah mewujud sebagai negara bekas jajahan dan sebuah negara dengan
banyak unsur yang tidak egalitarian.
Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa ketergantungan pembangunan berasal
dari luar, sehingga sulit dijangkau dan dikendalikan oleh negara yang bergantung serta
mengakibatkan keterbelakangan pembangunan ekonomi. Secara tegas dan rinci, teori
dependensi menguraikan akibat buruk dari kolonialisme dan pembagian kerja
internasional. Ketidakseimbangan hubungan internasional akan mengakibatkan
ketergantungan dan keterbelakangan Dunia Ketiga tidak terselesaikan. Oleh karena itu,
untuk mengatasi permasalahan ini, teori dependensi mengajukan usul yang radikal :
melakukan revolusi sosialis!
Teori dependensi kemunculannya didorong juga sebagai upaya mengkritisi para
pendukung teori modernisasi dan pengusung kebijakan modernisasi, yang dianggap
sebagai pembenaran ilmiah terhadap ideologi Barat dalam mengeksploitasi negara
Dunia Ketiga. Para pendukung teori modernisasi menjawabnya dengan keras, bahwa
pendukung teori dependensi sebenarnya bukan merupakan karya ilmiah, tetapi
propaganda politik yang mendukung ideologi revolusioner Marxisme.
Ketidakmampuan teori dependensi dalam bertarung pada ranah ilmiah membuat
mereka lari ke hal-hal yang bersifat retorika.
Kritik lainnya terhadap teori dependensi dari pendukung teori modernisasi adalah
bahwa teori dependensi bersifat abstrak, analisis ketergantungan yang seragam, tidak
ada pendekatan sejarah yang membedakan keunikan tiap negara, sehingga tidak dapat
menunjukan faktor-faktor yang khas dari arah pembangunan dari negara yang berbeda.
Situasi ketergantungan dilihat sebagai fenomena global (faktor eksternal), sehingga
mengabaikan hal-hal yang bersifat nasional (faktor internal).Kemudian, tidak semua
negara-negara yang bergantung menjadi terbelakang. Contohnya Korea Selatan yang
bergantung kepada Jepang, mencapai pembangunan ekonominya pada pasca PD II,
begitu juga yang terjadi di Kanada.
D. Teori Dependensi Baru
Dalam menjawab kritik terhadap teori dependensi, para pendukung teori tersebut
mengemukakan beberapa tesis sebagai hasil telaah, yang kemudian dikenal dengan teori
Dependensi Baru. Jawaban tersebut disajikan berturut-turut mulai dari tanggapan dari
Cardoso, Penellitian Gold, Studi Koo, dan penelitian Mohtar Mas’oed.
1. Tanggapan Cardoso
a. Cardoso menyebutnya sebagai metode historis structural, karena menggunakan
analisis sejarah dalam ilmu-ilmu sosial. Istilah ketergantungan digunakan Cardoso
sebagai alat analisis untuk menjelaskan situasi konkrit di Dunia Ketiga. Berbeda
dengan dependensi klasik yang menganggap keterbelakangan sebagai analisis yang
selalu digunakan untuk menjelaskan semua keterbelakangan di Dunia Ketiga.
b. Cardoso member perhatian yang cukup terhadap faktor internal (nasional) di
samping faktor eksternal (global). Dalam Dependensi klasik hanya fokus pada faktor
eksternal (bahwa semua keterbelakangan dan ketergantungan berasal dari
luar/kolonoalis).Tesisnya, bahwa kekuatan eksternal akan mewujud menjadi
kekuatan internal melalui perilaku sosial dan kelas sosial yang dominan yang akan
memaksakan ketercapaian tujuan dan dominasi asing.
c. Cardoso melihat situasi ketergantungan sebagai proses yang memiliki berbagai
kemungkinan akhir yang terbuka. Sementara, teori dependensi klasik menekankan
kepastian ketergantungan struktural. Oleh karena itu, Cardoso masih melihat
dengan jelas bahwa Negara Dunia Ketiga masih memiliki peluang untuk apa yang
dia sebut sebagai situasi pembangunan yang bergantung (associated-dependen
depelovment). Oleh karena itu, sekaligus untuk menjawab situasi yang terjadi di
Korea Selatan dan Kanada, bahkan di negara-negara Asia lainnya yang kemudian
mencapai pembangunan ekonominya dengan melepaskan diri dari ketergantungan
yang dominan dari negara metropolis, seperti Cina, Hongkong, Malaysia,Taiwan
dan yang paling mutakhir adalah Vietnam!
Tentang penggunaan modal asing, bagi negara-negara yang bergantung, menurut
Cardoso bahwa dalam batas-batas tertentu, bersesuaian dengan kemakmuran negara-
negara pinggiran. Dalam arti, perusahaan multinasional (investor asing) diasumsikan
membantu proses pembangunan negara-negara pinggiran.Hal ini dilihat dari aspek bahwa
perusahaan multi nasional lebih berorientasi kepada usaha produksi dan penjualan
barang-barang produksi untuk kepentingan domestik. Kendati demikian, Cardoso tidak
setuju terhadap tesis teori modernisasi, bahwa kondisi ini akan membawa Negara Dunia
Ketiga pada proses kemandirian, karena ongkos sosialnya dan biaya pembangunan terlalu
tinggi. Di samping itu, Cardoso mencoba mengaitkan antara dinamika politik di negara
bergantung melalui penelitiannya di Brazilia. Menurutnya, terdapat 3 macam kekuatan
politik : negara birokratis- teknokratis militer , perubahan multi nasional dan borjuis lokal.
2. Penelitian Gold
Gold meneliti Taiwan menggunakan konsep dependensi dengan menguji dan
menjelaskan pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik di Taiwan. Peneliti ini tidak
mengabaikan kondisi Taiwan yg pada awalnaya adalah negara pinggiran, yang
kemudian dinyatakan sebagai sebuah ‘keajaiban’ dalam pembangunan politik dan
ekonomi di negara tersebut. Meskipun pola pendekatannya mengadopsi pemikiran
Cardoso dalam metodologi pengkajian pembangunan di Amerika latin, tetapi peneliti
ini Menyatakan bahwa metodologi tersebut tidak harus terikat oleh wilayah geografis.
Gold pada awalnya melihat bahwa arah pembangunan Taiwan terdapat kemiripan
dengan Amerika latin seperti hasil penelitan Cardoso.Gold mengungkapkan tesis
tentang kondisi Taiwan sebagai sebuah negara yang bercirikan ketergantungan yang
dinamis. Hali ini mengingat bagaimana negara tersebut menilai kebutuhan dan
kemampuan masyarakatnya dan menghubungkannya dengan sistem ekonomi dunia
dengan cara tertentu yang telah mereka persiapkan, dan berhasil dengan baik
mencapai tujuan pembangunan ekonominya.
Strategi yang dilakukan Taiwan ialah dengan melakukan pendalaman industrialisasi
( deepening industrialization), yakni kebijaksanaan yang secara horizontal berusaha
untuk melakukan semua perbaikan semua aspek program industrialisasi untuk
mencapai efisiensi yang lebih tinggi, sementara itu, secara vertikal dilakukan integrasi
industri. Sejak 1978 sampai dengan 1981, negara menyusun Rencana Pembangunan
Enam Tahun.Penekanan berada pada pembangunan industri besar dan padat modal,
seperti industri petro kimia dan baja dan melakukan modernisasi pada pembangunan
Proyek 10 Besar.Pada tahun 1980-an, mereka mulai mementingkan pembangunan
industri strategis yang bersifat teknologi maju seperti industri komputer,
telekomunikasi dan robot. Kemudian mereka berkeinginan untuk membentuk zona
ekonomi yang padat teknologi maju dan industri informasi.
3. Studi Koo
Koo mencoba melihat pembangunan Korea Selatan dalam konteks terus
menerus antara negara, kelas sosial, dan sistem dunia. Pembahasannya ditujukan pada
pengaruh kumulatif dari ketiga faktor tersebut secara bersamaan.
a. Korea terintegrasi dalam tatanan ekonomi kapitalis dunia sejak invansi Jepang pada
akhir abad ke-19.Tahun 1910-1945 Korea menjadi jajahan Jepang. Sejak itu struktur
ekonominya tidak terlepaskan dari pembagian kerja regional yang mengacu kepada
kepentingan ekonomi Jepang. Integrasi Korea Selatan dalam sistem ekonomi dunia
dimulai dari integrasi politik, baru setelah itu secara perlahan-lahan terlibat
sepenuhnya dalam jaringan sistem ekonomi kapitalis dunia. Pada tahun 1950-an,
Korea mencapai integrasi dalam ekonomi. Keberhasilan Korea Selatan ini sulit
dimiliki oleh negara Dunia Ketiga lainnya. Menurut Koo, perubahan ekonomi Korea
terjadi karena melalui interaksi variable internal, yakni melalui struktur kelas sosial
dan negara.Hal ini disebabkan faktor berikut :
Kolonialisme Jepang memiliki pengaruh yang kuat terhadap struktur kelas di Korea
Selatan. Pengambilan surplus ekonomi Korea Selatan, Jepang menekankan pada
peranan birokrat negara dibanding dengan para pemilik modal. Dengan demikian,
pada masa kolonial ini, peran negara sangat kuat, sementara peran tuan tanah
melemah. Peran petani di desa semakin kuat setelah pembagian 70 % tanah yang
tersedia dibagikan terhadap para petani pedesaan sekitar tahun 1948 sampai
dengan 1959.Faktor inilah yang menjadikan pembangunan negara tersebut terjadi
dengan dinamis.
4. Penelitian Mas’oed
Dengan menggunakan konsep NBO yang dikembangkan oleh O’Donell dan
menggabungkannya dengan konsep korporetisme, Mas’oed mencoba menjawab
pertanyaan pokok sebagai berikut : pertama, Mengapa sistem politik otoriter lahir
kembali pada periode 1966-1971? Kedua, Apa karakteristik sistem politik yang
otoriter?
a. Lahirnya kembali politik otoriter di Indonesia pada periode ini menurut
Mas’oed disebabkan terjadinya krisis politik dan ekonomi pada pertengahan
tahun 1960-an. Struktur politik sebelumnya cenderung memberikan kekuasaan
yang berlebihan pada kekuasaan. Pada masa ini Orde Baru ingin dengan cepat
memperoleh legitimasi politiknya atas pengaruh penguasa (Soekarno)
sebelumnya, sementara itu, kondisi ekonomi negara hampir runtuh.
b. Koalisi intern Orde Baru memaksa untuk segera melaksanakan restrukturisasi
ekonomi secara radikal. Orde Baru lebih memilih untuk memberikan peluang
yang besar terhadap modal domestik dan internasional untuk terlibat dalam
pembangunan ekonomi yang ternyata harus dibayar dengan mahal.
c. Orientasi ekonomi ke luar (eksternal) yang dirumuskan Orde Baru pada akhir
1960-an sampai dengan 1970-an, telah mendesak pemerintah untuk
melaksanakan NBO (Negara Birokratik Militer), menjadikan bangunan politik
demokratis yang didengungkan sejak awal hanya harapan yang tidak realistik
kalau tidak ingin disebut sebagai khalayan.
Berbeda dengan O’ donnell, pendalaman industrialisasi di Indonesia, kebijaksanaan
vertikal di Indonesia belum terjadi. Oleh karena itu, untuk kasus Indonesia, faktor
krisis politik lebih bertanggung jawab terhadap lahirnya pemerintah yang otoriter
dari Orde Baru dibanding variable ekonomi. Hal ini berdasarkan pengamatan
bahwa : pemerintah Orde Baru hampir berada di bawah kendali militer secara
organisatoris yang bekerjasama dengan teknokrat sipil. Kemudian, modal swasta
yangb besar (para konglomerat) memiliki hubungan khusus dengan negara dan
modal internasional yang berperan ekonomis sangat besar. Di samping itu, hampir
seluruh kebijakan pembangunan yang dilahirkan, sejak proses perencanaan sampai
dengan evaluasi hampir sepenuhnya berada di tangan para birokrat dan para
teknokrat. Demobilisasi massa dilakukan pemerintah Orde baru secara terencana
dalam kebijaksanaan masa mengambang, dan melakukan politik represif pada
mereka yang dianggap menentang pemerintah. Satu hal yang menjadi ciri khas di
Indonesia adalah besarnya otonomi kantor kepresidenan, sehingga wewenang yang
begitu luas berada di Sekretariat Negara. Kondisi-kondisi ini menyebabkan Mas’oed
menyebutnya sebagai ‘super birokrasi’.
Secara keseluruhan, teori dependensi baru ini terlihat lebih dapat mengakomodasi
permasalahan pembangunan di Negara Dunia Ketiga dibanding teori Dependensi Klasik. Hal
ini dapat dilihat antara lain dengan lahirnya beberapa kategori ilmiah yang baru yang tidak
ada dalam teori sebelumnya, yakni tentang pembangunan yang bergantung, negara
Birokratik Otoriter, Aliansi Tiga Kelompok, dan Pembangunan yang Dinamis.
E. Teori sistem Dunia (Teori sistem Kapitalis Dunia)
Kelahiran teori sistem dunia dilatarbelakangi oleh situasi pertentangan di antara
pendukung teori modernisasi dan dependensi, yang lahir sebagai wawasan alternatif pada
tahun 1970-an. Tokohnya yang bernama Immanuel Wallerstein muncul dengan gagasan
baru yang radikal, dengan menunjuk bahwa banyak peristiwa sejarah yang di dalam
Tatanan Ekonomi Kapitalis Dunia (TEKD) tidak dapat dijelaskan oleh kedua perspektif
pembangunan yang telah mapan tersebut secara memuaskan, khususnya oleh teori
dependensi yang klasik maupun yang baru. Hal ini mengingat hal-hal berikut :
a. Negara-negara di Asia Timur (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, dan singapura)
terus mencapi pertumbuhan ekonomi tinggi. Sulit untuk mengaitkan bahwa ini sebagai
hasil kerja para imperialis, pembangunan yang bergantung, atau ketergantungan yang
dinamis, karena industri di kawasan ini secara nyata menjadi sebuah tantangan bagi
Amerika serikat.
b. Krisis di berbagai negara sosialis, yakni perpecahan Republik Rakyat China dan Uni
soviet. Kegagalan Revolusi Kebudayaan, stagnasi ekonomi di negara-negara sosialis,
perkembangan yang evolutif dan mulainya negara sosialis menerima investasi modal
asing yang kavitalistik. Fenomena tersebut menandai kegagalan Marxisme revolusioner
dan revolusi Marxisme.
c. Munculnya krisis di Amerika Serikat, Perang Vietnam, Krisis Watergate, embargo minyak
tahun 1975, inflasi ekonomi Amerika pada akhir 1070-an, kebijaksanaan perdagangan
dan investasi produktif, defisit anggaran belanja pemerintah, defisit neraca
pembayaran yang makin meluas pada tahun 1980-an menandai hancurnya hegemony
politik ekonomi Amerika.
Dari tiga teori pembangunan, hanya teori sistem dunia yang secara jelas
menggunakan dunia sebagai alat analisa. Dengan demikian, pendekatan ini akan dapat
menguji dinamika global yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh teori dependensi dan
modernisasi. Dengan berdasar pada asumsi bahwa semua proses perekonomian terjadi
dalam kerangka sistem ekonomi- kapitalis dunia, Wallerstein berpendapat bahwa
pembangunan atau keterbelakangan dari suatu wilayah geografis tertentu tidak dapat
dianalisis tanpa meletakan wilayah geografis tersebut dalama konteks irama siklus dan
kecenderungan perputaran ekonomi dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain perspektif
system dunia lebih memperhatikan dinamika global dunia di luar batas wilayah
kenegaraan. Dalam upayanya untuk menguji ulang dinamika global dunia, perspektif ini
memakai perangkat metode penelitian khas untuk mengamati siklus jangka panjang. Dalam
pelaksanaannya serta untuk mendapatkan hasil yang cermat dari dinamika jangka panjang
system ekonomi-kapitalis dunia, perspektif ini menuntut disediakannya satu perangkat data
baru.
Dalam setiap hasil penelitian teori sistem dunia telah dan akan selalu menggunakan
pendekatan analisa sejarah jangka panjang. Teori ini tidak mengamati gejala sosial untuk
untuk jangka waktu satu atau dua dekade, tetapi lebih memberikan keseluruhan
perhatiannya dalam menganalisa kecenderungan putaran dan siklus jangka panjang bola
dunia yang biasanya berlangsung lebih dari satu abad. Sebagai contoh, hasil karya Bergesen
dan Schoenberg telah menguji gelombang panjang kolonialisme yang mencakup daftar dan
jumlah negara yang dijajah, baik mulai maupun berakhirnya sebagai daerah jajahan yang
berkisar antara tahun 1415 sampai dengan 1969.
Teori sistem dunia telah memberikan sumbangan yang bermakna dalam
merumuskan agenda penelitian yang baru yakni untuk menguji gerak putar dunia.
Kemudian, teori ini juga menegaskan untuk selalu mengamati jangka panjang dari setiap
gejala sosial skala global. Dalam penelitiannya, wallerstein menguji bagaimana pasang surut
ekonomi kapitalis dunia pada abad ke 17 M bertanggung jawab terhadap tumbuh
kembangnya tiga wilayah politik ekonomi dunia, yang terdiri dari sentral, semi pinggiran
dan pinggiran, sejalan dengan Bergesen dan Schoenberg yang mengamati bagaimana
karakteristik sistem ekonomi dunia yang tercermin dalam penyebaran dan pemusatan
kekuasaan di wilayah sentralnya mempengaruhi timbulnya akibat sistemik dari kolonisasi
dan dekolonisasi di wilayah negara pinggiran.
Pada tahun 1970-an para pengkritik teori sistem dunia mengatakan bahwa
perspektif sistem dunia telah menyajikan seolah-olah sistem dunia itu sesuatu yang riil dan
materiil, sementara di sisi lain, perspektif sistem dunia telah meninggalkan spesifikasi
sejarah perkembangan tingkat nasional. Di samping itu, perspektif ini dipandang terlalu
menonjolkan analisa stratifikasi dengan meninggalkan analisa kelas.
V. Hubungan Konsep Membangun dengan Kebudayaan
A. Konstelasi Antara Kebudayaan, Pembangunan dalam Masyarakat Sederhana,
transisional dan Masyarakat Modern
Masyarakat atau Society diartikan sebagai orang-orang yang hidup bersama yang
menghasilkan kebudayaan (Selo Sumarjan,1974). Sedangkan Koentjaraningrat (1994),
masyarakat merujuk pada kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut satu sistem
adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas yang
sama, Sementara itu, Ralph Linton mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok
manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan mampu
membuat keteraturan dalam kehidupan bersama dan menganggap mereka sebagai satu
kesatuan.
Melalui definisi tersebut di atas, diketahui bahwa masyarakat bercirikan aspek-
aspek : Terdiri dari dua orang atau lebih yang hidup bersama, bergaul dalam waktu yang
relatif lama, kesadaran setiap anggota sebagai satu kesatuan, dan membangun sebuah
kebudayaan yang membuat keteraturan dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, antara
masyarakat dan kebudayaan memiliki keterikaitan sangat erat, seperti dua sisi mata uang
yang saling bersisian, karena kebudayaan merupakan produk dari aktifitas cipta, rasa, dan
karya manusia. Sedangkan isi kebudayaan meliputi beberapa sistem nilai, yakni peralatan
(teknologi), ekonomi, organisasi, ilmu pengetahuan, kesenian, kepercayaan, dan sistem
bahasa.
Nilai-nilai budaya yang perlu dimiliki oleh seluruh bangsa dan seluruh lapisan
masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa yang akan datang. Nilai budaya
ini akan menjadikan pendorong di dalam merencanakan dan menata masa depan misalnya
melakukan akumulasi modal. Kemudian, nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi
llingkungan dan kekuatan alam. Nilai budaya ini akan mendorong manusia untuk
melakukan inovasi, di antaranya inovasi dalam bidang teknologi. Misalnya, pada saat ini
teknologi informasi telah membawa seluruh bangsa di dunia ini seperti tanpa sekat, yang
dikenal dengan era global! Kondisi ini menimbulkan suasana kompetitif dalam berbagai
segmen. Oleh karena itu, inovasi dalam berbagai aspek mutlak dilakukan jika ingin tetap
eksis dalam tataran globalisasi.
Berdasar struktur sosial dan kebudayaan, masyarakat bisa diidentifikasi ke dalam
tahapan tradisional, transisi dan modern. Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang
tertutup dan padu monopolitik. Padu monopolitik dimaksudkan sebagai masyarakat yang di
dalamnya terdapat seperangkat pemikiran dan nilai-nilai dari suatu bidang kehidupan yang
meresapi, mengatur, menguasai dan menyatukan semua bidang-bidang kebudayaan yang
ada. Kemudian, pandangan dan nilai-nilai dari bidang aliran kepercayaan animistis
menguasai seluruh kegiatan dan pengalaman serta pengetahuan mereka.
Ke dalam kelompok masyarakat tradisional yang juga disebut masyarakat
berkebudayaan pra-industri dimasukan kelompok masyarakat primitif (sederhana), yang
memiliki ciri-ciri dalam pemenuhan kehidupan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari, sehingga rendah dalam aspek produksi. Kalaupun memproduksi barang hanya
terbatas untuk melengkapi kebutuhan sendiri, dengan berbahan baku yang tersedia dari
alam. Kehidupannya mengandalkan dari upaya berburu, mengumpulkan makanan atau
menangkap ikan. Mereka berjumlah terbatas, jarang berhubungan dengan masyarakat lain
dan terisolasi. Kemudian, Mereka belum memiliki spesialisasi pekerjaan, sehingga tidak
banyak terjadi difrensiasi sosial yang tegas dan relatif homogen. Solidaritas mekanik,
seperti gotong royong menjadi ciri yang sangat menonjol dalam kelompok ini.
Masyarakat desa di daerah peradaban lama sudah berorientasi pada pertanian,
mereka lebih maju dibanding masyarakat sederhana. Kelompok ini merupakan peralihan
(transisi) ke dalam bentuk masyarakat agraris, sehingga telah terdapat diferensiasi sosial
walau masih dalam kerangka mata pencaharian agraris.Selanjutnya, terdapat masyarakat
desa yang walaupun masih memiliki ciri kehidupan gemeinschaft (paguyuban), dengan
ikatan tradisi sebagai norma dan kebiasaan, tetapi dengan pertumbuhan penduduk yang
pesat, dan pengaruh dari daya tarik kota membuat mereka berada paada masyarakat
transisi dengan memilih melakukan urbanisasi.
Kelompok masyarakat perkotaan mewakili kelompok masyarakat yang dikatakan
berkebudayaan modern (kekinian). Kelompok ini berorientasi pada sektor industri dan jasa,
sehingga dimasukan sebagai masyarakat industri. Sudah terjadi diferensiasi sosial yang
beragam. Pilihan-pilihan bidang pekerjaan yang beragam, seperti buruh atau karyawan,
pekerja kantoran, bidang hukum, pendidikan, perbankan, wirausaha dll. Hal ini akan
melahirkan stratifikasi sosial yang kompleks.Tentang variable pembeda antara masyarakat
tradisional dan modern bandingkan dengan pendapat Talcott Parson dan Smelser yang
telah diuraikan sebelumnya!
Selo Sumarjan (Soekanto, 1984), membagi masyarakat ke dalam tahapan berikut :
1. Masyarakat Sederhana (Bersahaja).
Kelompok masyarakat ini masih sederhana dan serba tradisional, dengan
perkembangan yang lambat dibanding kelompok masyarakat yang lain. Ciri lebih
detailnya adalah sbb :
1.1. Hubungan yang erat dalam keluarga maupun masyarakat.
1.2. Organisasi sosial didasarkan pada adat istiadat yang berbentuk tradisi secara
turun temurun.
1.3. Percaya adanya kekuatan ghaib yang mempengaruhi kehidupan mereka, tetapi
mereka sendiri tidak sanggup menghadapi kekuatan tersebut.
1.4. Tidak terdapat lembaga khusus yang mengatur bidang-bidang pendidikan, dalam
masyarakat tetapi ketrampilan yang mereka miliki diperoleh melalui pendidikan di
dalam keluarga (informal) dan masyarakat melalui praktek langsung (sedikit atau
tanpa teori). Pengetahuan yang dipeorleh bukan melalui pengalaman empirik
atau hasil eksperimen melainkan melalui pengalaman yang kebenaran secara
umum diperoleh secara kebetulan.
1.5. Tingkat buta huruf yang tinggi, karena tidak ada pendidikan sekolah yang masuk
kepada kehidupan mereka.
1.6. Hukum yang berlaku pada masyarakat dapat difahami dan dimengerti oleh
anggotanya yang sudah dewasa.
1.7. Kegiatan perekonomian masyarakat sebagian besar di bidang produksi yang
dikonsumsi untuk memilih kebutuhan sendiri atau sedikit yang dipasarkan. Harga
barang-barang kebutuhan yang dihasilkan masyarakat memiliki nilai terbatas.
1.8. Kegiatan perekonomian dan sosial memerlukan kerjasama yang dilakukan oleh
orang banyak dan secara tradisional dengan sistem gotong royong, hubungan
kerjasama dengan sistem ini tanpa adanya hubungan buruh dengan majikan.
2. Masyarakat Madya
Masyarakat yang berada pada tahap transisi, telah mengalami perkembangan
dibandingkan dengan masyarakat sederhana, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
2.1. Hubungan keluarga tetap kuat, tetapi hubungan antar anggota masyarakat sudah
mulai mengendur dan mulai didasarkan pada kepentingan untung rugi atas dasar
kepentingan ekonomi.
2.2. Adat istiadat yang berlaku pada masyarakat masih dihormati, mulai terbuka terhadap
pengaruh luar.
2.3. Timbulnya pemikiran rasional, menyebabkan kepercayaan terhadap kekuatan ghaib
sudah mulai berkurang, tetapi kepercayaan akan muncul kembali apabila apabila
lingkungannya.
2.4. Lembaga-lembaga pendidikan mulai muncul dengan adanya pendidikan dasar dan
menengah, tetapi belum Nampak adanya pendidikan luar sekolah.
2.5. Mulai terdapatnya pendidikan sekolah menyebabkan tingkat buta huruf bergerak
turun.
2.6. Hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis berdampingan dengan serasi.
2.7. Ekonomi yang berorientasi pasar mulai menambah persaingan di bidang produksi, hal
ini mempengaruhi perbedaan struktur sosial di masyarakat, sehingga nilai uang
memegang peranan penting
2.8. Gotong royong masih berlaku, tetapi di kalangan keluarga besar atau tetangga-
tetangga terdekat, sedangkan pembangunan prasarana dan sarana untuk kepentingan
umum sudah berdasarkan upah. Nilai komersil sudah diperhitungkan.
3. Masyarakat pramodern-modern
Kelompok masyarakat pramodern-modern, bercirikan :
3.1. Hubungan antar masyarakat didasarkan pada kepentingan pribadi dan
kebutuhan-kebutuhan individu.
3.2. Hubungan antar masyarakat dilakukan secara terbuka dalam suasana saling
mempengaruhi, kecuali dalaam menjaga rahasia hasil penemuan baru.
3.3. Masyarakat sangat percaya terhadap manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi,
karena sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.
3.4. Masyarakatnya terdiri dari berbagai profesi dan keahlian yang dapat
ditingkatkan atau dipelajari melalui pendidikan luar sekolah atau sekolah
kejuruan.
3.5. Tingkat pendidikan sekolah relatif tinggi dan merata.
3.6. Hukum yang berlaku di masyarakat adalah hukum tertulis yang sangat
kompleks.
3.7. Ekonomi hamper seluruhnya berorientasi kepada pasar yang didasarkan
kepada penggunaan uang dan alat pembayaran lain (kartu kredit, check, giro,
dsb.).
B. Ciri-ciri manusia Bermental Membangun, Unsur-unsur tradisional yang Mendukung
Pembangunan serta Kendala Budaya yang Menghambat Pembangunan dan
alternatif Solusinya
Abad ke-21 ditandai sebagai abad teknologi informasi. Pesatnya perkembangan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah mengubah wajah dunia
demikian cepat. Apa yang terjadi di belahan dunia lain dengan cepat sampai di seluruh
pelosok bumi. Dihadapkan pada kondisi ini, diperlukan manusia-manusia Indonesia
yang bermental membangun. Mentalitas membangun yang mengglobal diperlukan,
karena kebudayaan nasional akan berhadapan langsung dengan peradaban dunia yang
semakin canggih, kompetitif dan serba cepat. Salah satu mentalitas pembangunan
yang diduga memiliki respon yang positif terhadap perubahan, dikenal dengan
pengembangan mental melalui modernisasi.
Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat menuju kepada mental
pembangunan mungkin saja akan terdapat unsur budaya sebagai berikut :
1. Unsur-unsur budaya yang telah memenuhi syarat sebagai mental
pembangunan.
2. Unsur-unsur yang menghambat pencapaian pembangunan secara optimal.
Oleh karena itu, untuk unsur yang pertama, kita perlu memelihara dan
mengembangkan potensi tersebut sehingga keberlangsungan (sustainability) dalam
pembangunan akan tercapai dengan mudah. Sedangkan poin yang kedua,
diperlukan penyesuaian, kalau perlu diganti dengan nilai-nilai budaya yang sama
sekali baru. Contohnya melalui pendidikan (yang sengaja dipelajari), dienkulturasi,
didesiminasikan, ditransformaskan, atau pengadopsian yang sebanyak dan seluas
mungkin kepada seluruh masyarakat.
Koentjaraningrat (1985) mengungkapkan bahwa nilai budaya yang perlu dimiliki
bangsa Indonesia adalah nilai budaya yang berorientasi ke depan, bukan mentalitas
yang bersifat vertikal. Yakni terlampau berorientasi kepada atasan, senior,
berkedudukan tinggi dan berharta. Oleh karena itu, seyogyanya, mentalitas yang
membangun berorientasi ke arah achievement, dan berhasrat eksploratif untuk
mempertinggi inovasi dan kreatifitas.
Semangat gotong royong dalam masyarakat paguyuban yang juga terbawa ke kota
oleh para urbanisan terkadang dianggap menghambat pembangunan karena ada
unsur ketergantungan sosial, melemahkan semangat bekerja individu, hasil yang
harus merata, melemahkan timbulnya gagasan dan keunggulan individu.Tetapi,
bagi Wong, Dove dan Davis (Alvin, Y. so, 2000), melalui kajian-kajian yang
melahirkan konsep familiisme (Wong), budaya lokal (Dove), dan teori barikade
(Davis) yang masing-masing mengamati bagaimana pola kekerabatan di Hongkong
menjadi kekuatan bisnis keluarga. Bagaimana kekuatan budaya lokal di Indonesia
berinteraksi dengan kebijakan pembangunan nasional. Kemudian, Davis
mengamati bagaimana pengaruh agama di Jepang terhadap pembangunan
ekonominya sebagaimana weber mengamati etika Protestan Puritan yang sangat
memperhatikan keselamatan jiwa telah memberikan jawaban etis bagi Eropa barat
di dalam melahirkan satu embrio adanya kemampuan untuk mengatasi segala
rintangan ekonomis, politis dan psikologis dalam berpacu mencapai status
kapitalisme modern.

Anda mungkin juga menyukai