Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“FRAKTUR TULANG BELAKANG”

DOSEN PEMBIMBING :
Wiwiek Retti Andriani, M.kep

OLEH :
KELOMPOK 6:

1. AFRIDA ASYA AURAGITA (201601002)


2. BETA NOVIANTIKASARI (201601009)
3. DESY BINTI NGAROFATU SOLEHAH (201601012)
4. DIKI IRVANDA NUR ARIFIN (201601017)
5. ENDAH APRILIANI (201601021)
6. EVA ARISMAWATI (201601022)
7. MELYNA SEPTIYANI (201601041)
8. MOCH. REVIANSYAH YS (201601042)
9. WIDYA AZMI ULIN NUHA (201601061)

TINGKAT 2A
PROGAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO
2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “FRATUR TULANG BELAKANG “. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah “Keperawatan
Gawat Darurat”. Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh
bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Wiwiek Retti Andriani, S.Kep. Ns. selaku dosen pengampu mata kuliah
manajemen patient safety sekaligus selaku Dosen pembimbing dalam
makalah ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara
moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.
3. Teman-teman mahasiswa tingkat IIA kelompok 6 Program Studi DIII
Keperawatan Pemerintah Kabupaten Ponorogo angkatan 2017/2018 yang
selalu memberikan dukungan dan saran serta berbagi ilmu pengetahuan
demi tersusunnya makalah ini.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih memiliki
banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik
penulisannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Ponorogo, 15 Oktober 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... ii


Daftar Isi .............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II Isi
A. Macam trauma muskuloskeletal ................................................................ 3
B. Penyebab trauma muskuloskeletal ............................................................ 4
C. Penilaian pada pasien trauma .................................................................... 7
D. Definisi dari fraktur tulang belakang ........................................................ 11
E. Penyebab fraktur tulang belakang ............................................................. 20
F. Tanda dan gejala fraktur tulang belakang ................................................. 23
G. Konsep askep fraktur tulang belakang ...................................................... 26
H. Penanganan yang tepat pada kasus fraktur tulang belakang ..................... 32
BAB III Penutup
A. Simpulan ................................................................................................... 36
B. Saran .......................................................................................................... 36
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 37

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera tulang belakang tidak jarang terjadi sebagai akibat kecelakaan
kerja seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas apabila tidak
ditangani dengan baik dapat menimbulkan kematian atau kelumpuhan yang
permanen. Ada 2 tujuan utama penanganan cedera tulang belakang yaitu :
1. Tercapainya tulang belakang yang setabil serta tidak nyeri
2. Mencegah jejas lintang sum sum tulang belakang skunder.
Tulang belakang manusia merupakan pilar/tiang yang berfungsi
sebagai penyangga tubuh. Terdiri dari 33 ruas tulang belakang yang tersusun
secara segmental yaitu : 7 ruas tulang servikal, 15 ruas tulang torakal, 5 ruas
tulang lumbal, 5 ruas tulang sacral yang menyatu, dan 4 ruas tulang ekor.
Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus misalnya
tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruan servikal kedua disebut
odontoid. Stabilitas tulan belakang terdiri dari 2 komponen yaitu komponen
tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk suatu struktur dengan
3 tiang. Yang pertama yaitu satu tiang atau kolom didepan yang terdiri dari
korpus serta diskus intervetebralis. Yang kedua dan ketiga yaitu kolom
dibelakang kanan dan kiri yang terdiri dari rangkaian sendi inteverterbralis
lateralis. Tulang belakang dikatakan tidan stabil bila kolom vertikal terputus
pada lebih dari dua komponen.
Terdapat dua macam instabilitas yaitu instabilitas permanen apabila
kerusakan melewati diskus atau jaringan lunak, misalnya dislokasi servikal,
yang mutlak memerlukan tindakan bedah untuk stabilisasi, dan instabilitas
temporer yaitu bila kerusakannya melewati komponen tulang. Dalam hal ini,
pengobatan bisa onservatif misanya dengan pemasangan gips akan tetapi bila
terdapat pendesakan tulang ke kanalis spinalis sehingga menimbulkan
kelumpuhan, diperlukan tindakan pembedahan untuk dekompresi
(Sjamsuhidajat & de Jong, 1997).

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja macam trauma muskuloskeletal ?
2. Apa saja penyebab trauma muskuloskeletal ?
3. Bagaimanakah penilaian pada pasien trauma ?
4. Apa definisi dari fraktur tulang belakang ?
5. Apa saja penyebab fraktur tulang belakang ?
6. Bagaimana tanda dan gejala fraktur tulang belakang ?
7. Bagaimana konsep askep fraktur tulang belakang ?
8. Bagaiaman penanganan yang tepat pada kasus fraktur tulang belakang ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam trauma muskuloskeletal
2. Untuk mengetahui penyebab trauma muskuloskeletal
3. Untuk mengetahui penilaian pada pasien trauma
4. Untuk mengetahui definisi dari fraktur tulang belakang
5. Untuk mengetahui penyebab fraktur tulang belakang
6. Untuk mengetahui tanda dan gejala fraktur tulang belakang
7. Untuk mengetahui konsep askep fraktur tulang belakang
8. Untuk mengetahui penanganan fraktur tulang belakang

3
BAB II
ISI

1. MACAM-MACAM TRAUMA MUSKULOSKELETAL


Cedera pada satu bagian muskuloskeletal biasanya menyebabkan
cedera atau disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang dilindungi atau
disangganya. Penanganan cedera sistem muskuloskeletal meliputi pemberian
dukungan pada bagian yang cidera sampai penyembuhan selesai. Dukungan
dapat diperoleh, baik secara eksternal maupun internal. Setelah cedera dan
nyeri hilang, usaha penanganan difokuskan pada pencegahan
fibrosis,kekakuan pada organ yang cedera dengan latihan yang baik, proses
penyembuhan, dan pengembalian fungsi dapat dipercepat dengan terapi fisik.
1. Kontusi; cedera pada jaringan lunak, yang diakibatkan oleh kekerasan
tumpul. Terputusnya bnyak pembuluh darah kecil yang terjadi
mengakibatkan perdarahan ke jaringan lunak yang disebut ekimosis atau
memar. Hematoma terjadi jika perdarahan cukup banyak sampai terjadi
timbunan darah. Gejala lokal adalah nyeri, bengkak, dan perubahan warna.
2. Strain; trauma yang mengenai otot atau tendon yang disebabkan oleh
kelebihan pemanasan atau kelebihan ekstensi.
3. Sprain; cedera strutur ligamen di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit
atau memutar.
4. Fraktur; patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddart, 2000 dalam
Suratun dkk, 2008) penyebab fraktur meliputi pukulan langsung, gaya
meremuk, gaya puntir mendadak, dan kontraksi otot ekstrem. Raktur
terjadi jika tulang terkena stres yang lebih besar daripada yang
diabsorpsinya. Fraktur pada tulang dapat menyebabkan edema jaringan
lemak, persarafan ke otot dan sendi terganggu, dislikasi sendi, ruptur
tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Fraktur sendiri
terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya :
a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tulang dan biasanyan
mengalami pergeseran

4
b. Fraktur tidak komplet : patah hanya terjadi pada sebagian dari garis
tengah tulang
c. Fraktur tertutup (fraktur simpel) : patah tulang tidak menyebabka
robeknya kulit
d. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) : patah yang
menembus kulit dan tulang berhubungan dengan dunia luar
e. Fraktur kominitif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
fragmen
f. Fraktur green stick : fraktur yang salah satu sisi tulang patah
sedangkan satu sisi lainnya membengkok
g. Fraktur kompresi : fraktur dengan tulang mengalami kompresi (tulang
belakang)
h. Fraktur depresi : fraktur yang fragmen tulangnya terdorong ke dalam
(tulang tengkorak dan wajah) (Suratun, Heryati, Santa, & Een, 2008).
2. PENYEBAB TRAUMA MUSKULOSKELETAL :
1. Sikap Kerja atau posisi tubuh yang tidak sesuai
Pada Penelitian sebuah penelitian yang dilakukan terhadap para
pekerja paving block di CV. Sumber Galian Makassar, penyebab
timbulnya keluhan MSDs atau Musculoskeletal Disorders (MSDs) yang
salah satunya merupakan trauma muskuloskeletal pada pekerja paving
block adalah akibat dari sikap kerja atau posisi tubuh pada saat melakukan
aktivitas pekerjaan dan terdapat pembebanan pada otot yang berulang-
ulang dalam posisi janggal sehingga menyebabkan cidera atau trauma
pada jaringan lunak dan sistem saraf. Trauma tersebut akan membentuk
cidera yang cukup besar yang kemudian diekspresikan sebagai rasa sakit
atau kesemutan, pegal, nyeri tekan, pembengkakan dan kelemahan otot.
Trauma jaringan yang timbul dikarenakan kronisitas atau peenggunaan
tenaga yang berulang-ulang, peregangan yang berlebihan atau penekanan
lebih pada suatu jaringan.
Sikap kerja tidak ergonomis akan membuat pekerja melakukan sikap
paksa dalam melakukan pekerjaannya. Semakin jauh posisi bagian tubuh
dari pusat gravitasinya maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan

5
MSDs. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hajrah
pada variabel sikap kerja, diketahui bahwa dari 85 responden dengan sikap
kerja tidak ergonomis terdapat 52 responden mengalami gangguan
muskuloskeletal berat (61,2%) dan gangguan muskulosksletal ringan
terdapat 33 responden (38,8%) sedangkan dari 25 responden dengan sikap
kerja ergonomis terdapat dua responden mengalami gangguan
muskuloskeletal berat (8,0%) dan 23 responden mengalami gangguan
musculoskeletal ringan (92,0%). Hasilanalisis statistik chi square test
tentang hubungan antara sikap kerja dengan gangguan muskuloskeletal
pada tingkat kemaknaan 0,05 (95%) diperoleh nilai p=0,000. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap kerja dengan
gangguan muskuloskeletal pada cleaning service di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Tahun 2013 (Dimi, Syamsiar, & Andi, 2014).
Postur kerja sangatlah penting untuk diperhatikan karena langsung
berhubungan ke proses operasi itu sendiri, dengan postur kerja yang salah
serta dilakukan dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan
pekerja akan mengalami beberapa gangguan-gangguan otot
(Muskuloskeletal) dan gangguangangguan lainnya sehingga dapat
mengakibatkan jalannya proses produksi tidak optimal. Postur kerja dapat
menjadi tolak ukur seseorang dapat terjadi keluhan muskuloskeletal.
Selain itu, postur kerja merupakan titik penentu dalam menganalisis
keefektifan dari suatu pekerjaan. Apabila postur kerja yang dilakukan oleh
pekerja sudah baik dan ergonomis maka dapat dipastikan hasil yang
diperoleh oleh pekerja tersebut akan baik. Akan tetapi bila postur kerja
pekerja tersebut tidak ergonomis maka operator tersebut akan mudah
kelelahan. Apabila pekerja mudah mengalami kelelahan maka hasil
pekerjaan yang dilakukan pekerja tersebut juga akan mengalami
penurunan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Semakin besar nilai
risiko ergonomi maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadinya
keluhan muskuloskeletal baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang. Responden yang termasuk kedalam level 2 dan 3, atau termasuk
kedalam kategori sedang dan berat mengindikasikan membutuhkan

6
investigasi bahkan perlu dilakukannya perubahan terhadap postur kerja.
Dari hasil penelitian ini, postur yang perbedannya terlihat secara signifikan
adalah di bagian leher, lengan atas, batang tubuh dan pergelangan tangan.
Dari bagian tubuh yang disebutkan tadi, beberapa reponden memiliki
posisi atau postur kerja yang keliru, oleh karena itu timbul keluhan
subyektif muskuloskeletal (Dhandy, Suroto, & Ekawati, 2016).
2. Beban Kerja
Beban yang diperbolehkan diangkat pada seseorang menurut ILO
yaitu 23-25 kg.25 Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada pengayuh
becak diperoleh informasi bahwa berat beban yang diangkat oleh informan
berkisar antara 5-25 kg. Hasil observasi pada pengayuh becak di pasar
pagi Malang menunjukkan bahwa cara mengangkat beban yang dilakukan
oleh informan tergantung dari jenis dan berat beban yang akan diangkat.
Beban yang diangkat oleh informan terbagi secara tidak merata antara
kedua tangan atau hanya diangkat satu tangan yaitu dengan cara dijinjing
maupun dipikul. Sebagian besar informan melakukan aktivitas
mengangkat sendiri. Berdasarkan uraian di atas, beban yang diangkat oleh
pengayuh becak masih di bawah batas maksimal yang diperbolehkan
menurut ILO yaitu 23-25 kg. Namun pekerja masih berisiko terhadap
terjadinya gangguan muskuloskeletal apabila dilakukan secara berulang-
ulang dan dalam jangka waktu yang cukup lama (Esti, Suroto, & Baju,
2017).
3. Kecelakaan lalu lintas
Salah satu dampak kemajuan teknologi adalah semakin padatnya
arus lalulintas yang mengakibatkan meningkatnya angka kecelakaan lalu
lintas di jalan raya, yang dapat menyebabkan cedera pada anggota gerak,
yang salah satunya adalah fraktur. Fraktur atau patah tulang ini merupakan
salah satu kedaruratan medik yang harus segera ditangani secara cepat,
tepat dan sesuai dengan prosedur penatalaksanaan patah tulang, karena
sering kali penanganan patah tulang dilaksanakan secara keliru oleh
masyarakat atau orang awam di tempat kejadian kecelakaan. Badan
kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta

7
orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang
mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup
tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari insiden
kecelakaan yang terjadi (Alfi, 2105).
4. Osteoporosis
WHO memperkirakan pada pertengahan abad mendatang, jumlah
patah tulang pada panggul karena osteoporosis akan meningkat tiga kali
lipat, dari 1,7 juta pada tahun 1990 menjadi 6,3 juta kasus pada tahun 2050
kelak. Data dari International Osteoporosis Foundation (IOF)
menyebutkan bahwa seluruh dunia, satu dari tiga wanita dan satu dari
delapan pria yang berusia di atas 50 tahun memiliki risiko
mengalami patah tulang akibat osteoporosis dalam hidup mereka. Data
terbaru dari International Osteoporosis Foundation (IOF) menyebutkan
sampai tahun 2000 ini diperkirakan 200 juta wanita mengalami
osteoporosis (Yulianingsih, Djarot, & Haryanto, 2014).

3. PENILAIAN PADA PASIEN TRAUMA


Trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada tubuh akibat
penurunan akut tubuh ke suatu bentuk energi atau akibat ketiadaan suatu
bentuk energy dengan hilangnya oksigen. Walapun jaringan memiliki
elastisitas untuk menyerap energy, namun apabila kemampuan tersebut
terlampui maka akibatnya terjadi cedera. Cedera dapat terbatas pada satu
organ atau sistem tubuh. Misalnya faktur paha, atau dapat menjadi cedera
pada sistem tubuh misalnya pada kejadian kecelakaan lalu lintas yang dapat
menyangkut cedera paha, kepala, dada, perut, dan cedera lainnya. Maka
diperlukan penanganan cedera atau trauma yang tepat.
Dalam hal ini faktor waktu sangat penting sehingga diperlukan suatu
sistem penilaian yang mudah & dikenal sebagai Initial Assessment yang
meliputi :
a. Persiapan.
Persiapan penderita berlangsung dalam 2 (dua) keadaan :
1) Fase Pra Rumah Sakit

8
Dimana titik berat dilakukan terhadap : menjaga airway, kontrol
perdarahan dan syok, immobilisasi penderita dan pengiriman penderita
secepatnya ke rumah sakit/fasilitas pelayanan kesehatan terdekat yang
paling layak dan cocok untuk penderita tersebut dengan menggunakan
alat transportasi yang memadai. Pada waktu ini diperlukan koordinasi
yang baik antara petugas lapangan dengan petugas atau dokter di rumah
sakit yang dituju sehingga memungkinkan rumah sakit mempersiapkan
tim trauma yang sudah siap pada saat penderita tersebut datang di
rumah sakit.
2) Fase Rumah Sakit
Rumah Sakit mempersiapkan untuk penderita yang datang,
mulai dari ruangan/ daerah resusitasi, persiapan SDM baik yang ada
ataupun yang bisa dipanggil setiap setiap saat baik dokter, perawat
sampai petugas laboratorium juga perlengkapan alat yang akan
dipergunakan termasuk cairan dan obat-obatan sudah dipersiapkan dan
dicoba terlebih dahulu.
b. Triase
1) Adalah suatu cara pemilahan (sortir) penderita berdasarkan pada
kebutuhan ABC, yaitu airway dengan kontrol vertebra cervikal,
breathing dan circulation dengan kontrol perdarahan.
2) Triase ini juga berlaku di UGD rumah sakit atau di lapangan disertai
rumah sakit yang akan dirujuk, dimana hal ini merupakan tanggung
jawab tenaga pra rumah sakit (dan pimpinan tim lapangan).
3) Pada saat Triase ini dapat terjadi 2 (dua) kemungkinan : (1) Jika
personel dan fasilitas serta peralatan memadai, maka pasien dengan
ancaman kematian segera akan ditolong terlebih dulu. (2) Jika personel
dan fasilitas serta peralatan tidak mencukupi maka yang paling
mungkin hidup dan memerlukan waktu, peralatan serta personel paling
sedikit akan dilayani terlebih dulu.

9
c. Primary Survey (ABC).
1) Penilaian tanda vital penderita harus dilakukan secara cepat dan efisien,
prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital
dan mekanisme trauma.
2) Penilaian dan prioritas terapi pada anak, dewasa, ibu hamil pada
dasarnya sama akan tetapi resusitasi pada usia tua, memerlukan
perhatian khusus karena kemampuan bertahannya berkurang karena
adanya penyakit lain yang mendampingi.
3) Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, apakah ada
obstruksi akibat benda asing atau fraktur tulang wajah, fraktur larinks
atau trakea.
4) Harus diingat adanya kemungkinan fraktur servikal pada setiap
penderita multi trauma terutama dengan gangguan kesadaran atau
perlukaan diatas klavikula sehingga usahakan selama memeriksa dan
memperbaiki airway, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher.\
5) Pada kecurigaan adanya fraktur servikal, harus dipasang immobilisasi
baik dengan alat / manual.
6) Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik karena ventilasi
yang baik meliputi fungsi paru-paru, dinding dada & diaphragma.
Dalam hal ini dada penderita harus dibuka untuk melihat expansi
pernafasan, kemudian perkusi dan auskultasi juga harus dilakukan
untuk memastikan kelancaran masuknya udara ke dalam paru-paru dan
apabila memungkinkan waktunya dapat dilakukan foto thorax dan
pemeriksaan fisik ulang apabila mencurigai adanya pneumothorax.
7) Penilaian ketiga terhadap sirkulasi dan perdarahan harus dilakukan
dalam waktu cepat, bagaimana tingkat kesadaran, warna kulit dan
keadaan nadi (kekuatan, kecepatan dan irama). Perdarahan dalam,
dinilai dari tanda-tanda vital sedangkan perdarahan luar harus dikelola
dengan penekanan pada luka terbaik menggunakan spalk udara
(Pneumatic Splinting Device) balut tekan, sedangkan tourniquet hanya
mungkin digunakan apabila tidak ada pilihan lain lagi.

10
8) Penilaian terakhir adalah evaluasi neurologis (disability), melihat
tingkat kesadaran ukuran dan reaksi pupil serta respon terhadap suara
atau rasa nyeri.
d. Resusitasi
1) Harus dilakukan resusitasi yang agresif (cepat, tepat, cermat) dan
pengelolaan sesuai prioritas merupakan hal yang mutlak bila ingin
penderita tetap hidup. Airway harus dijaga dengan baik (Jaw Thrust
atau Chin Lift dapat dipakai) pada penderita tidak sadar dapat dipakai
sementara Oro Pharyngeal Airway (Guedel) meskipun lebih baik
memasang airway definitif.
2) Oksigen sebaiknya diberikan apakah memakai face mask atau intubasi
(bila diperlukan) disamping memperbaiki fungsi pernafasan yang lain,
seperti melakukan dekompresi pada tension pneumothoraks. Disamping
itu apabila ada perdarahan lakukan kontrol dengan tekanan langsung
atau operasi dan juga mengatasi syok. Apabila hal itu terjadi dengan
segera memasang infus cepat pada 2 (dua) tempat. Pemakaian kateter
dan pipa lambung dapat dipertimbangkan tergantung keperluan
terhadap penderita.
e. Tambahan terhadap Primary Survey dan Resusitasi.
f. Secondary Survey, pemeriksaan Head To Toe dan Anamnesis.
g. Monitoring dan Re-Evaluasi berlanjut.
h. Penanganan Definitif
Tidak ada salahnya mengulang Primary dan Secondary Survey untuk
meyakinkan bahwa tidak ada hal-hal yang terlewat dalam pemeriksaan.
i. Rujukan Penderita
Setelah melaksanakan primary survey dan resusitasi, kita dapat
menilai keadaan penderita apakah sudah mengalami perbaikan atau belum,
apabila sudah dapat dipastikan keadaannya membaik, maka kita
melakukan secondary survey termasuk re-evaluasi tanda vital. Setelah itu
baru dipertimbangkan apakah penderita dapat dirujuk ke tempat yang
memiliki personel & peralatan lebih baik, hal itu tergantung daripada
trauma yang dialami oleh penderita (Somantri, 2010).

11
4. PENGERTIAN FRAKTUR TULANG BELAKANG
Fraktur; patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddart, 2000 dalam
(Suratun, Heryati, Santa, & Een, 2008)). Sedangkan Tulang belakang
manusia merupakan pilar/tiang yang berfungsi sebagai penyangga tubuh.
Terdiri dari 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yaitu : 7
ruas tulang servikal, 15 ruas tulang torakal, 5 ruas tulang lumbal, 5 ruas
tulang sacral yang menyatu, dan 4 ruas tulang ekor (Sjamsuhidajat & de Jong,
1997). Jadi, fraktur ulang belakang ialah trputusnya kontinuitas jaringan
tulang belakang.
1. DISLOKASI VERTEBRA SERVIKAL
a. Vertebra servikal Proksimal
1) Fraktur tulang atas(fraktur Jefferson)
Pukulan aksial pada puncak kepala dapat mendorong kondilus
oksiput kedalam masa lateral dari vertebra servikal pertama
sehingga menyebabkan fraktur arkus tersebut dan perpindahan
masa itu. Bila medulla spinalis tidak terusak dan fragmen tersebut
tidak pindah jauh,imobilisasi dengan sebuah selubung Minerva
selama 12-16 minggu mungkin merupakan satu-satunya terapi yang
diperlukan.
2) Fraktur aksis(epistropheus)
Subluksasi atau dislokasi sendi atlantoaksial dapat menjadi
komplikasinya. Perpindahan fragmen odotoid dengan atlas
sebagian melindungi medulla spinalis dari kerusakan. Bila
perlu,reduksi dapat dilakukan dengan traksi kepala yang harus
dipertahankan sampai stabilisasi.
Fraktur korpus aksis dapat bermanifestasi sebagai celah vertical
atau oblik yang berjalan sampai ke masa lateral ataua lamina.
Suatu fraktur avulse dari margo ateroinferior korpus memberi
kesan adanya trauma karena hiperekstensi dan berarti ada lesi pada
diskus tersebut.

12
3) Dislokasi oksipitoatlantal
Lesi yang sangat jarang ini biasanya fatal karena kerusakan
medulla spinalis. Karena terputusnya ligamentum yang ekstensive
menyebabkan ketidak stabilan yang besar,terapi dengan traksi
harus dihindari.
4) Dislokasi atlantoaksial
Dislokasi atlas ke anterior karena trauma,tanpa fraktur
odontoid,sangat jarang terjadi dan karena kerusakan medulla
spinalis,kemungkinan besar fatal.
5) Dislokasi atlantoaksial pada anak-anak
Pada anak-anak dapat terjadi dislokasi atlas kedepan secara spontan
sebagai komplikasi infeksi traktus respiratorius bagian atas. Terapi
awalnya adalah dengan traksi head halter sampai keterbatasan
gerakan aktif karena rasa sakit berkurang. Penyokong leher dengan
brace atau collar harus terus dipakai sampai pulihnya stabilitas
dapat diperlihatkan dengan foto rontgen.
6) Fraktur dislokasi aksis
Fraktur bilateral melalui pedikel dengan perpindahan korpus aksis
pada c3 kedepan dapat terjadi sebagai akibat kecelakaan kendaraan
bermotor atau pelaksanaan hukuman mati dengan penggantungan.
b. Vertebra servikal bagian bawah
1) Fraktur kompresi pada korpus vertebra
Fraktur kompresi tanpa komplikasi jarang terjadi apabila
dibandingkan dengan fraktur kompresi pada vertebra thorakal dan
lebih mungkin terjadi diseluruh bagian bawah vertebra servikal.
Cedera pada medulla spinalis atau radiks saraf tak mungkin terjadi.
Karena ligamentum posterior tidak mengganggu dan fragmen-
fragmennya saling menekan,lesi ini secara mekanis stabil dan dapat
diharapkan terjadinya penyembuhan yang cepat. Pemerikasaan
yang teliti dengan foto rontgen perlu diperlukan untuk
membedakan lesoi ini dari fraktur dislokasi.
2) Fraktur kominuta pada korpus vertebra

13
Fraktur kominuta disebabkan oleh bergeraknya diskus
masing-masing dari segan diatas dan dibawah ke dalam pusat gaya.
Ligamentum posterior tidak terganggu. Fragmen tulang tidak saling
menekan dan mungkin pindah tempat. Tingginya insidens
kerusakan neurologis disebabkan oleh penekanan medulla spinalis
oleh fragmen tulang yang pindah kea rah posteroinferior dan
kerusakan radiks akibat perpindahan fragmen ke arah lateral. Bila
kerusakan medulla spinalis tidak terjadi, traksi cranial terus
menerus dalam posisi anatomis perlu dilakukan sampai terjadi
stabilisasi yang dapat diandalkan akibat penyembuhan awal
biasanya dalam 2-3 bulan.
3) Fraktur prosesus spinsus
Fraktur episodik dari prosesus spinosus lebih sering terjadi di
daerah vertebra servikal bawah daripada vertebra servikal atas dan
dapat berdiri sendiri atau terjadi bersama-sama. Fraktur ini
biasanyadisebabkan oleh kekerasan tak langsung seerti avulsi
akibat fleksi yang kuat atau pergeseran dengan vertebra yang
berdekatan selama ekstensi yang dipaksakan. Lesi ini umumnya
dapat dikenali dengan foto rontgen lateral, tetapi pada daerah
servikothorakal foto oblik mungkin bermanfaat. Terapinya bersifat
simpomatik. Fraktur lelah (fatigue) dari suatu prosesus spinosus
terjadi didaerah servikal distal atau thorakal proksimal (penyakit
clay shoveler).
4) Dislokasi bilateral ke depan
Dislokasi (luksasi) ke depan yang komplet dan bilateral tanpa
fraktur lebih mudah terjadi didaerah vertebra servikal bawah
daripada didaerah vertebra servikal atas. Kedua prosesus artikularis
inferior dari segmen atas pindah kearah anterior dari prosesus
artikularis superior segmen bawah. Ini berarti putusnya diskus
intervertebralis dan robeknya kapsul sendi apofiseal dan
ligamentum longitunalis dan posterior. Ia mungkin diperumit oleh
kerusakan medulla spinalis dan saraf-sarafnya. Fasies artikularis

14
yang tersangkut dapat diperlihatkan dengan foto rontgen standard
atau stereo.
Bila gejala-gejala kerusakan neurologis jelas (terutama pada
lesi medulla spinalis yang tidak komplet),perlu dilakukan raduksi
segera untuk mencegah cedera lebih lanjut akibat penekanan.
Terapi selanjutnya dapat diperdebatkan karena penyembuhan
ligamentumyang lamban dan tidak dapat diandalkan yang masih
memungkinkan redislokasi atau sublukasi meskipun imobilisasinya
tidak dihentikan seacar premature. Dianjurkan untuk melakukan
arthrodesis anterior atau posterior secara awal, terutama bila ada
komplikasi kuadriparesis atau kuadriplegia,,untuk mempermudah
perawatan dan mempercepat rehabilitasi. Bila tidak terjadi
kerusakan neurologis yang luas,maka adalah masuk akal bila
dilakukan suatu progam yang lebih konservatif.
5) Dislokasi komplet unilateral ke anterior dibawah aksis
Ditandai oleh perpindahan torsional dengan jalan mana satu
fasies artikularis pada dasarnya tetap tidak terganggu sedangkan
yang lainnya sama sekali pindah tempat dan biasanya
tersangkut.bila ada gejala-gejala neurologis mungkin asimetrik dan
terutama menyangkut sisi perpindahan. Foto rontgen rutin
memperlihatkan prosesus spinosus dari segmen atas yang
berdislokasi pindah kearah sisi fasies yang lebih terlibat dan
korpusnya pindah ke anterior kurang dari separuh dari
diameternya. Pemeriksaan rontgenologis stereo atau tomografik
dapat memberikan bukti yang memperkuat diagnose ini.
6) Subluksasi bilateral kedepan (dislokasi tak komplet)
Dapat terjadi secara terpisah atau dapat merupakan kompikasi
dari fraktur kompresi. Sub luksasi bilateral tanpa tanpa komplikasi
dapat diterapi dengan traksi manual yang dilakukan dengan hati-
hati dan oasiennya tetap sadar,kepalanya dibiarkan berekstensi
melewati kasur sehingga beratnya dapat memberikan daya traksi
atau dengan memakai head helter seberat 2-3 kg.

15
7) Subluksasi unilateral ke depan dibawah tingkat C 2
Dapat disebabkan oleh cedera ringan,ia dapat terjadi dengan
spontant terutama selama tidur. Rasa sakit mungkin bukan
merupakan gmbaran utamanya. Miringnya kepala menjauhi sis lesi
dengan rotasi dagu sedikit kearah sisi yang tidak terlibat
merupakan tanda fisik yang utama.
8) Dislokasi ekstensi
Diagnosanya sering kali sulit dan kadang-kadang harus
tergantung pada spukulasi karena stabilitas inheren dari vertebra
servikalis,kemungkinan reduksi spontan,dan tidak adanya bukti
dari pemeriksaan rontgenologis standar. Dislokasi tanpa fraktur
yang berarti menunjukkan rupturnya ligamentum longitudinal
anterior dan gangguan diskus. Cedera pada medulla spinalis dapat
disebabkan oleh melipatnya ligamentum longitudinal posterior dan
oleh taji(spur) hipertrofik dari korpus posterior yang mengganggu
kanalis vertebralis dibagian anterior. Pola neurologis dari deficit
yang tidak komplet dapat memastikan terjadinya lesi akut dibagian
sentral medulla spinalis.
9) Fraktur dislokasia
Kompresi lamina superior dari korpus,dengan terganggunya
diskus intervertebralis, perpindahan fasies artikularis,dan robekan
ligamentum penyokong posterior,merupakan komponen-komponen
utama dari kompleks lesi ini. Meskipun fasies artikularis tidak
berpindah tempat ,fraktur masa lateral dapat memungkinkan
subluksasi. Stress yang terutama menyebabkan fleksi lateral dapat
menimbulkan fraktur kompresi dari massa lateral atau segmen
korpus vertebra yang berdekatan. Mungkin pula disertai dengan
subluksasi fasies artikularis kontralateral akibat distraksi,dengan
atau tanpa avulse prosesus yang berdekatan. Cedera pada radiks
pleksus brakhialis pada sisi yang tertarik dapat menjadi penyulit.
Pada saat permulaan,kerusakan pada medulla spinalis dengan
kehebatan yang berbeda-beda,dapat mengaburkan lesi radiks

16
tersebut. Karena stabilitas inheren dari lesi ini,terapi dengan
penyongkong eksternal saja mungkin sudah memadai,traksi dan
berbahaya.
2. FRAKTUR VERTEBRA THORAKALIS
Vertebra thorakalis termasuk stabil. Fraktur terjadi sebagai akibat
kekerasan langsung,yang dapat melibatkan satu prosesus spinosus
saja,atau kekerasan tak langsung,yang dapat menyebabkan kompresi
korpus vertebra.
Fraktur kompresi pada vertebra thorakalis jarang terjadi pada anak-
anak kecil dan hanya disebabkan oleh trauma hebat pada anak-anak yang
lebih tua. Oleh karena itu,pada kelompok usia ini,kecuali kalau ada
riwayat trauma hebat,deformitas berbentuk baji di dalam vertebra
thorakalis harus membangkitkan kecurigaan akan fraktur patologis. Ini
tidak boleh dikacaukan dengan penyakit Calve atau Scheuermann.
Trauma minimal (sering kali tidak disadari) dapat menyebabkan
fraktur kompresi pada korpus vertebra torakalis orang dewasa dengan
osteoporosis. Disabilitasnya tidak besar dan redupsi tidak diindikasikan.
Jika istirahat ditempat tidur selama 3-4 hari tidak mengurangi rasa sakit
tersebut, suatu korset bedah dengan penahan bahu (shouder restraint) atau
brace (jenis taylor atau Arnold) dapat memberikan rasa nyaman dan
memungkinkan ambulasi dini.
Fraktur kompresi dari vertebra torakalis yang disebabkan trauma
hebat ditandai oleh deformitas berbentuk baji pada korpus vertebra. Tetapi,
karena starbilitas inheren dari vertebra torakalis, imobilisasi lama tidak
diperlukan. Pada fraktur daerah torakal atas jika imobilisasi diperlukan
untuk mengurangi rasa sakit, suatu selubung gips Minerva yang panjang
dan mencakup Krista iliaka mungkin merupakan satu-satunya metode
penyokong luar yang memadai akan membebaskan penderita dari rasa
sakit.
Fraktur dislokasi rotasional didekat pertemuan torakolumbal dan
shear fracture dari vertebra torakalis biasanya disertai dengan paraplegia.
Fraktur dislokasi rotasional secara inheren tidak stabil karena ekstensifnya

17
rupture ligamentum penyokong, fraktur korpus vertebra dalam bidang
tramfersal, dan gangguan fasies artikularis oleh fraktur atau dislokasi.
Fraktur-fraktur ini dapat stabil ataupun tidak dan mungkin dilakukan fusi
untuk memperkecil cidera pada medulla spinalis dan untuk memungkinkan
mobilisasi dini.
Shear fracture adalah suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan
fraktur dislokasi vertebra torakalis dimana dislokasi terjadi pada atau
didekat diskus invertebralis dengan fraktur prosesus artikularis atau
pedikel. Perpindahan kedepan terjadi dalam bidang tranversal.
3. FRAKTUR DAN FRAKTUR DISLOKASI VERTEBRA LUMBALIS
1. Fraktur kompresi tanpa komplikasi
Fraktur kompresi korpus vertebrayang disebabkan oleh cidera
hiperfleksi merupakan fraktur vertebra lumbalis tersering dan paling
sering terjadi didekat pertemuan torakolumbal. Luasnya pemakaian
sabuk pengaman didalam mobil telah disertai dengan makin
nmeningkatnya insiden fraktur yang terjadi didekat tingkat
lumbosakral sebagai akibat kecelakaan. Angulasi (pelengkungan) akut
dari kolumne vertebralis yang disebabkan oleh fraktur kompresi
korpus sebuah vertebra dapat disertai oleh berbagai tingkat gangguan
pada fasies artikularis, dari sprain sampai dislokasi komplet.
Pada penderita yang berusia tua dengan arthritis degenerative
yang sudah ada sebelumnya dimana ada diformitas ringan yang
menyebabkan tidak lebih dari seperempat tinggi anterior korpus
vertebra, ahli bedah mungkin hanya menyruruh penederita untuk
istirahat ditempat tidur selama beberapa hari. Segera setelah rasa sakit
akutnya berkurang punggungnya diperkuat dengan brace dan enderita
dianjurkan untuk melakukan kegiatas fisik yang makin meningkat
dalam batas-batas toleransi rasa sakitnya. Pada kelompok usia yang
lebih aktif, dan bila deformitas kompresi meliputi lebih dari separuh
tiggi anterior korpus vertebra, reduksi dengan hiperekstensi dan
imubilisasi dengan sebuah plester jaket mungkin lebih berhasil.

18
2. Fraktur kominuta
Dari korpus vertebra ditandai oleh terputusnya diskus
intervertebralis yang berdekatan dan berbagai tingkat perpindahan
frakmen tulang. End-plate dari korpus tertarik kearah sentrum
bersama-sama dengan diskus tersebut. Frakmen yang berpindah
keposterior cenderung menyebabkan kompresi pada medulla spinalis
atau kaudaekuina dan fasies artikularis mungkin fraktur atau
mengalami dislokasi. Oleh karena itu harus dilakukan pemeriksaan
fisik dan rongentgenolosis yang seksama sebelum memberikan terapi.
Cara pengobatan mungkin ditentukan oleh luasnya kerusakan
tulang dan adanya komplikasi neurologis. Bila tidak ada gangguan
neurologis dan fraktur kominuta tersebut tidak menimbulkan
fragmentasi ekstensif, mungkin tidak perlu dilakukan reduksi.
Mobilisasi pasien dari sikap berbaring harus dikontrol dengan
pemeriksaan fisik rongentgenolosis secara berkala untuk menentukan
perpindahan fragmen yang baru mulai terjadi yang dapat mendahului
atau menyertai timbulnya deficit neuologis. Bila telah terjadi cidera
pada kauda ekuina, mungkin perlu dilakukan laminektomi.
Penyembuhan tulang mungkin lambat dan imobilisasi harus dilakukan
untuk waktu lama sampai telah terjadi stabilisasi.
3. Fraktur prosesus transversus
Dapat disebabkan olehkekerasan langsung seperti crushing
injury, atau dapat menyertai fraktur vertebra lumbalis yang lebih berat.
Jika perpindahannya minimal, maka cedera jaringan lunaknya
mungkin ringan saja. Perpindahan fregmen-fregmen secara ekstensif
menunjukkan robekan jaringan lunak yang hebat dan pembentukan
hematoma. Pengobatan tergantung pada atau tidak adanya cedera yang
menyertai. Jika fraktur prosesus transfersus merupakan satu-satunya
cedera dan jika rasa sakitnya tidak hebat pada waktu melakukan
gerakan leher secara berhati-hati, straping dan ambulasi yang mungkin
sudah memadai.

19
4. Fraktur dislokasi vertebra lumbalis
Trauma kompresi hebat dapat menyebabkan fraktur dislokasi
dengan rupturnya atau diskus atau jika terjadi fraktur komeluta,
rupturnya dua diskus. Terjadi berbagai tingkat cidera pada unsure
posterior, termasuk dislokasi unilateral atau bilateral dari fasies
artikularis atau fraktur pedikel atau fasies artikularis tersebut. Fraktur
prosesus spinosus dan transfersus yang menyertainya, dan robekan
ligamentum posterior dan otot-otot yang berdekatan dapat
memperumit lesi yang berat ini. Dislokasi segmen atas mungkin
banyak terjadi dalam bidang arteior posterior, atau ia dapat terjadi
secara kompleks, dengan perpindahan tambahan dalam bidang koronal
dan torsi disekitar sumbu longitudinal vertebra tersebut.
Pengobatannya tergantung pada jenis cidera bila tidak ada
gangguan neurologis dan dislokasi tersebut disertai dengan fraktur
pedikel atau fasies artikularis, reduksi dapat dicoba dengan ekstensi
yang berhati-hati dengan traksi pada ekstemitas inferior yang dikontrol
dengan foto rongent dan dilakukan tanpa anastesi. Bila dislokasinya
telah dapat dikoreksi, imobilisasi dengan suatu plaster bodycast
dengan suatu perluasan spica untuk mengikut sertakan paling tidak
satu paha mungkin diperlukan untuk menyokong dan memadai.
Mobilisasi penderita dari posisi berbaring harus diklakukan dengan
perlahan-lahan karena dapat terjadi perpidahan fragmen sehingga
mengakibatkan komplikasi neurologis. Bila timbul keraguan yang
beralasan, sebainya penderita tetap berbaring selama 8-12 minggu.
Sampai penyembuhan awal telah memberikan stabilitas mekanis. Bila
reduksi tertutup tidak berhasil, atau bila ekstensi menyebabkan gejala-
gejala neurologis, usaha harus segera dihentikan dan diganti dengan
reduksi terbuka. Pada dislokasi komplet dari satu atau kedua fasies
artikularis, mungkin perlu dilakukan reduksi terbuka.
5. Fraktur sacrum
Biasanya disertai oleh cedera pada pelvis atau vertebral
lumbalis. Fraktur sakrallis tersendiri saja dapat transversal atau

20
longitudinal. Ia dapat pula muncul sebagai lesi tersendiri sebagai
akibat kekerasaan langsung. Frkatur tranversall linear dari sacrum
tanpa perpindahan fragmen yang terjadi di bawah tingkat segmen
kedua sebaiknya diobati secara simptomatis. Strapping bokong pria
dan pemakaian korset yang sempit oleh wanita dapat memberikan rasa
nyaman selama stadium nyer akut. Jika fraktur tersebut meluas melalui
sebuah foramen sakralis dan disertai dengan perpindahan fragmen,
mungkin ada cedera pada satu nervus sakralis dan sebagai akibatnya
timbul deficit neurologis. Jika fragmen sacral pindah ke anterior,
reduksi harus diusahakan dengan cara manipulasi bimanual. Berhati-
hatilah agar jangan sampai enimbukan kerusakan pada dinding rectum
akibat penekanan jari terhadap spikulum tajam dari tulang di
bawahnya. Fraktur longitudinal terjadi pada masa lateral dari dua
segmen pertama dan dapat meluas kedalam foramen tersebut.
6. Fraktur os Koksigis
Biasanya merupakan akibat pukulan pada bokong. Tidak
diperlukan pengobatan spesifik kecuali perlindungan dengan bagian
tersebut. Strapping bokong bersama-sama dan dihindarinya tekanan
langsung dapat mengurangi rasa sakit. Pasien harus diberitahukan
bahwa rasa sakitnya dapat menetap selama berminggu-minggu. Frktur
disllokasi ini dapat direduksi dengan manipulasi bimauil, tetapi
deformitasnya dapat kambuh kembali (Schrock, 1995).

5. PENYEBAB FRAKTUR TULANG BELAKANG


1. CEDERA PADA VERTEBRA SERVIKAL
a. Patah tulang atlas
Mekanisme traumanya adalah pembebanan aksial misalnya
kejatuhan benda-benda dikepala atau jatuh dari ketinggian dengan
kepala lebih dahulu.
Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri leher bagian atas
atau neuralgia sepitalis dan mungkin tortikolis. Kadang penderita
merasa tidak dapat mempertahankan kepala dalam posisi tegak

21
atau adanya perasaan instabilitas sehingga kepala harus ditopang
terus menerus dengan kedua tangan.
Patah tulang atas umumnya sembuh dengan pengobatan
konservatif berupa imobilisasi dengan gips.bila terdapat patah
tulang atas disetai ruptur ligamentum tranversum, maka
diperlukan tindak bedah untuk stabilisasi posterior yang
memfusikan os oksipital vertebra servikal pertama dan vertebra
servikal kedua.
2. PATAH TULANG ODONTOID
Patah tulang odontoid dulu disebabkan oleh kejatuhan benda
berat dikepala, tetapi pada waktu sekarang lebih sering disebabkan
kecelakaan lalu lintas. Pada anamnesis akan didapati keluhan nyerti
pada setiap gerakan leher serta nyeri pada leher bagian belakang yang
dikenal sebagai neuralgia oksipitalis. Gejala lain adalah tortikolis dan
instabilitas oksipitoservikal sehingga pada setiap pergerakan leher,
penderita menggunakan kedua tangan untuk menyangga kepala.
Pada patah tulang ordontoid gangguan neurologis yang sering
timbul adalah akibat dari rangsangan saraf aksipitalis mayor yang
menimbulkan neuralgia oksipitalis/rasa tebal karena anastesia pada
daerah oksipitalis. Penyulit yang lebih serius adalah penatapelgia
akibat penekanan batang otak oleh odotoid yang sering berakhir
dengan kematian.
Terapi konservatif berupa imobilisasi dengan traksi kepala yang
dilanjutkan dengan gips Minerva dua sampai tiga bulan. Dilakukan
tindakan operatif yang dapat dilakukan dari anterior atau posterior bila
terjadi instabilitas.
3. SPONDILOLISTESIS AKSISTRAUMATIK
Spondililistesis traumatic antara c2 dan c3 atau patah tulang
penggantungan adalah fraktur dislokasi pedikel vertebra servikal
kedua sehingga terdapat sublukasi anterior vertebra servikal pertama
dan corpus vertebra servikal kedua terhadap vertebra servikal ketiga.
Timbulnya jenis fraktur ini adalah akibat beban gaya aksial pada

22
posisi ekstensi servikal. Gaya ini akan menimbulkan putusnya pars
interartikularis tulang odontoid, putusnya ligamentum longitudinal
anterior serta robeknya diskus anterior vertebra servikal kedua dan
ketiga serta pelebaran pada pars inter artikularis antara kedua vertebra
dan pergeseran keposterior. Pada patah tulang yang setabil
pengobatannya konservatif dengan imobilisasi gips minerva selama 8-
12 minggu.
a. Patah tulang vertebra servikal bawah
Cidera pada tulang servikal bagian bawah, yang
kebanyakan disebabkan kecelakaan lalulintas, paling sering
terjadi karena vertebra C IV, V, VI adalah vertebra yang paling
sering bergerak. Keluhan utama penderita biasanya adalah nyeri
leher pasca trauma yang tidak jarang disertai dengan kaku leher
dan gangguan gerak oleh karena spasme otot paravertebral.
Bila ada kecurigaan fraktur vertikal maka harus dibuat foto
baku dalam proyeksi arah anterior-posterior dan leteral dan bila
ini tidak menunjukkan kelainan yang jelas maka dibuat foto
dinamik vertebra servikal dengan leher dalam posisi fleksi dan
posisi ekstensi. Dengan cara ini dapat dipastikan ada tidaknya
pergeseran yang menandakan adanya instabilitas.
b. Cidera vertebra torakolumbal
Penyebab tersering cidera vertebra torakolumbal adalah
jatuh dari ketinggian serta kecelakaan lalu lintas. Jatuh dari
ketinggian dapat menimbulkan patah tulang vertebra jenis
kompresi atau ledakan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri
tulang punggung, memar atau deformitas. Penderita diminta
menggerakkan kedua tungkai untuk mencara kemungkinan
gangguan neurologi pada kedua ekstremitas bawah. Pada
kompresi yang hebat atau dislokasi akan terdapat pelebaran jarak
interspinosus. Perlu dilihat bahwa bahwa patah tulang daerah
torakal tidak jarang disertai fraktur costa atau tanda trauma toraks.

23
Terdapat dua tipe cidera vertebra torakolumbal yaitu tipe
stabil dan tipe tidak stabil yang mungkin temporer atau permanen.
Tipe stabil terdiri atas fraktur tipe fleksi, ekstensi, kompresi
lateral, dan kompresi vertikal. Tipe tidak stabil terdapat pada
fraktur tipe fleksi rotasi, fraktur tipe geser (shearing) dan fleksi
dislokasi. Pengelolaan cedera vertebara torakolumbal pada yang
stabil adalah konservatif, yaitu dengan gips badan selama 8-12
minggu. Pada yang tidak stabil temporer pengelolaan bisa
konservatif, atau operatif yaitu dengan melakukan stabilisasi
intern bila penderita mengalami gangguan neurologic. Pada tipe
tidak stabil permanen perlu dilakukan stabilitasi intern, oleh
karena penyumbatan jaringan ikat yang tidak baik akan
menimbulkan kegailan kegailan yang menyebabkan untuk
medulla spinalisnya di kemudian hari. Penderita dengan
paraplegia tetap memerlukan stabilisasi intern yang bertujuan
utama memudahkan perawatan serta mobilisasi segera, sehingga
penyulit seperti dikubitus dapat dicegah (Sjamsuhidajat & de
Jong, 1997).

6. TANDA DAN GEJALA FRAKTUR TULANG BELAKANG


Pada anamnesis ditemukan kelemahan anggota gerak yang terjadi
secara tiba-tiba sesaat setelah pasien terjatuh dengan posisi kepala
hiperekstensi disertai gangguan sensorik berupa rasa baal. Posisi jatuh dengan
kepala hiperekstensi dapat menyebabkan peregangan ligamentum
longitudinal anterior, yang merusak ruangan diskus vertebralis atau bagian
marginal tulang vertebra. Hal ini mengakibatkan fraktur batas anterior
superior atau inferior tulang belakang. Bagian posterior secara serentak
mengalami kompresi, sehingga mengakibatkan fraktur prosesus spinosus,
serta lamina dan permukaannya.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi (Tabel 1).
Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut

24
American Spinal Cord Injury Association, yaitu: (1) Central cord syndrome;
(2) Anterior cord syndrome; (3) Brown-Sequard syndrome; (4) Cauda equina
syndrome; dan (5) Conus medularis syndrome. Sindrom inkomplit yang
sangat jarang terjadi yaitu Posterior cord syndrome (Tabel 2). Pada ilustrasi
kasus di atas tipe sindrom cedera medula spinalis yang paling sesuai ialah
central cord syndrome (CCS).
CCS terjadi akibat cedera inkomplit pada bagian sentral segmen
servikal medula spinalis, paling sering pada segmen servikal bagian tengah
hingga bagian bawah. Kasus CCS di masyarakat sering terjadi melalui
mekanisme cedera hiperekstensi pada kasus spondilosis servikal. Cedera
tersebut terjadi akibat trauma yang mengakibatkan pendesakan ligamentum
flavum (ligamen kuat yang saling menghubungkan lamina vertebra, berfungsi
untuk melindungi saraf dan medula spinalis serta menstabilisasikan spina
sehingga tidak terjadi pergerakan berlebihan pada vertebra) yang akhirnya
menjepit medula spinalis dari posterior dan/atau akibat kompresi oleh osteofit
atau material diskus dari anterior. Kompresi juga menyebabkan gangguan
perfusi dari arteri spinalis anterior. Pada pemeriksaan fisik kasus CCS
biasanya terbatas pada kelainan sistem neurologik, terdiri atas gabungan lesi
UMN dan lower motor neuron (LMN) yang memasok ekstremitas atas dan
mengakibatkan paralisis flaksid parsial; serta lesi yang lebih dominan pada
UMN yang memasok ekstremitas bawah mengakibatkan paralisis spastik.
Kelainan ekstremitas atas biasanya lebih parah daripada kelainan ekstremitas
bawah, dan terutama terjadi pada otot-otot tangan bagian distal. Kehilangan
kemampuan sensorik terjadi hingga derajat tertentu, meskipun sensasi sakral
biasanya masih utuh. Kemampuan kontraksi anus dan tonus sfingter serta
refleks Babinsky harus diperiksa.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kerusakan medula spinalis
kemungkinan terjadi akibat kontusio medula spinalis. Kontusio ini terjadi
karena medula spinalis terapung dalam cairan serebrospinal. Pada goncangan
misalnya akibat terjatuh maka terjadi osilasi, yang bila tidak teratur dapat
mengakibatkan benturan medula spinalis ke vertebra, dengan akibat terjadi

25
stasis aliran aksoplasma, sehingga lebih cenderung terjadi cedera yang
edematosa dari-pada hematomielia destruktif.
Penelitian yang lebih mutakhir menemukan bahwa CCS mungkin
terjadi akibat perdarahan ke bagian sentral medula spinalis, atau akibat
disrupsi akson di kornu lateral pada level cedera namun tidak mengakibatkan
kerusakan berarti pada substansia grisea. CCS juga dapat terjadi akibat fraktur
dislokasi dan fraktur kompresi, khususnya pada individu yang mengalami
penyempitan kanalis spinalis secara kongenital. Tekanan kompresi yang
arahnya antero-posterior ini mengakibatkan kerusakan yang lebih parah di
daerah sentral. Mekanisme cedera di atas mengakibatkan kerusakan yang
paling parah pada bagian sentral medula spinalis dan kerusakan yang lebih
ringan pada bagian perifer medula spinalis. Cedera pada area ini
mengakibatkan kerusakan traktus spinotalamikus lateralis dan traktus
kortikospinalisis dengan gejala yang khas.
Gangguan motorik maupun sensorik pada CCS terjadi akibat pola
laminasi traktus kortikospinalis dan traktus spinotalamikus yang khas pada
medula spinalis. Traktus spinotalamikus lateralis memiliki susunan laminasi
dengan pola somatotopik, dimana serat-serat yang berasal dari segmen sakral
terletak paling dorsolateral, selanjutnya oleh serat segmen lumbal dan torakal,
sedangkan serat segmen servikal terletak paling ventromedial. Karena CCS
disebabkan oleh cedera pada bagian sentral, maka serat-serat bagian servikal
yang mengalami cedera parah sedangkan seratserat bagian sakral tidak
mengalami cedera. Kerusakan inkomplit pada traktus ini mengakibatkan
hilangnya kemampuan sensorik hingga batas-batas tertentu dalam
penghantaran impuls rasa nyeri dan suhu; juga hilangnya kemampuan
motorik yang berhubungan dengan rasa penuh pada kandung kemih,
keinginan untuk miksi, serta rasa nyeri pada kandung kemih, uretra, dan
ureter, yang mengakibatkan disfungsi kandung kemih.
Kerusakan traktus kortikospinalisis dapat mengakibatkan hilangnya
kemampuan untuk mengadakan pergerakan di bawah kemauan terutama pada
bagian distal ekstremitas baik atas maupun bawah. Oleh karena tipe laminasi
traktus kortikospinalis dengan serat-serat yang melayani tangan terletak lebih

26
medial daripada serat-serat yang melayani kaki, maka cedera inkomplit di
sentral segmen servikal medula spinalis akan mengakibatkan kelemahan
ekstremitas atas yang lebih parah daripada ekstremitas bawah. Sendi-sendi
yang terletak di sebelah proksimal maupun gerakan-gerakan yang bersifat
kasar bisanya tidak terlalu terpengaruh. Jika terjadi cedera yang
mengakibatkan perdarahan atau trombosis (seperti pada CCS) yang mengenai
traktus ini, maka awalnya tonus otot-otot yang bersangkutan akan hilang.
Setelah beberapa hari atau minggu, tonus otot akan kembali secara
berangsurangsur hingga dapat terjadi spastisitas. Jika kerusakan serat UMN
yang melayani ekstremitas bawah cukup berat, refleks Babinsky akan positif
(Junita, 2013).

6. Grade (tingkatan cidera) sumsum tulang belakang dapat


dibedakan seperti berikut:

Satu :
- Penyandang cidera tidak dapat duduk tanpa dibantu.
- Orang yang membantu harus menahannya setiap saat.

Dua :
- Penyandang cidera duduk dengan mengangkat dirinya menggunakan
kedua lengannya dengan siku yang lurus (terkunci).
- Orang yang membantu harus ada di dekatnya sepanjang waktu.

Tiga :
- Penyandang cidera mampu mengangkat satu lengannya dengan ketinggian
dibawah bahunya.
- Penyandang cidera mampu mengangkat dirinya pada posisi duduk dengan
kedua lengan lurus.
- Orang yang membantu harus ada didekatnya sepanjang waktu.

Empat :

27
- Penyandang cidera mampu untuk mengangkat satu lengannya di atas
kepala.
- Penyandang cidera dapat melakukan gerakan membungkuk dan dapat
meluruskan punggungnya kembali pada posisi semula.
- Penyandang cidera dapat menahan dirinya pada posisi duduk dengan satu
lengan.
- Penyandang cidera akan memerlukan sedikit bantuan saat permulaan
aktifitas yang berat.

Lima :
- Penyandang cidera dapat duduk tanpa bantuan.
- Penyandang cidera dapat mengangkat kedua lengannya ke atas secara
bersamaan ke semua arah.
- Penyandang cidera memerlukan sedikit bantuan saat permulaan aktifitas
yang berat atau saat berusaha melakukan sesuatu pada posisi itu.

Enam :
- Penyandang cidera dapat duduk tanpa bantuan.
- Penyandang cidera dapat melempar atau menangkap bola di atas
kepalanya.
- Penyandang cidera tidak memerlukan orang lain untuk membantunya
dalam aktifitasnya.

7. KONSEP ASKEP FRAKTUR TULANG BELAKANG

1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway
 Peningkatan sekresi pernapasan
 Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
1) Breathing

28
 Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, retraksi
 Menggunakan otot-otot pernapasan
 Kesulitan bernapas : lapar udara,
diaphoresis, sianosis

2) Circulation
 Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
 Sakit kepala
 Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
 Papiledema
 Penurunan haluaran urin

3) Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan
sensasi, kelemahan otot

4) Exposure
Adanya deformitas tulang belakang

Berikan oksigen tambahan Pengkajian Sekunder


 Aktivitas dan istrahat
Ds :  Klien mengatakan kesulitan dalam bernapas
 Klien mengatakan tidak mampu untuk beraktivitas
 Klien mengatakan mudah lelah
 Klien mengatakan
kesulitan istrahat
Do :  Perubahan tonus otot
 Kelemahan otot

 Sirkulasi
Do :  Hipotens

29
 Bradikardi
 Ekstremitas dingin
 Pucat

 Eliminasi
Ds :  Klien mengatakan
kesulitan BAK dan BAB Do : 
Retensi urin
 Distensi abdomen
 Peristaltic usus hilang
 Melena
 Emisis berwarna
 Hematemesis

 Makanan dan Cairan


Ds :  Klien mengatakan nafsu makannya berkurang
Do :  Porsi makan tidak dihabiskan

 Personal Hygiene
Ds :  Klien mengatakan tidak mampu melakukan aktivitas
perawatan diri
Do :  Aktivitas dibantu oleh keluarga

 Neurosensori
Do :  Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki
normak setelah syok spinal sembuh).
 Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks
/refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan
reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh
yang terkena karena pengaruh trauma spinal.

 Nyeri / Kenyamanan
Ds :  Klien mengatakan nyeri pada kepala
bagian belakang Do :  Nyeri

30
tekan vertebral
 Ekspresi wajah meringis

 Pernapasan
Ds :  Klien mengeluh kesulitan
dalam bernapas Do : 
Pernapasan dangkal
 Penggunaan otot pernapasan
 Sianosis
(Marikyn E. Doengoes, 1999 ; 338-339)

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan benda asing
daam jalan nafas
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan cedera medula
spinalis
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma medula
spinal)
d. Penurunan curah jantung b e r h u b u n g a n d e n g a n p e r u b a h a n
frekuensi jantung
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan hilangnya fungsi
motorik berhubungan dengan

3. Perencanaan
Dx : bersihan jalan napas tak efektif
Tujuan : jalan nafas paten
Kriteria Hasil :
NOC Status Pernafasan
 Frekuensi pernafasan dalam renang normal
 Irama pernafasan stabil
 Jalan nafas paten
 Tidak ada suara nafas tambahan

31
Tindakan :
 Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan
napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
 Identifikasi kebutuhan aktual/potential pasien untuk memasukkan alat
membuka jalan nafas
 Masukkan alat nasopharyngeal airwy (NPA) atau oropharyngeal
airway (OPA)
 Penghisapan sekresi

 Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam


 Lakukan penyedotan melalui endotrakea maupun nasotrakea,
sebagaimana mestinya
 Kelola pemberian bronkodilator sebagaimana mestinya
 Monitor status pernafasan dan oksigenasi sebgaimana mestinya

Dx : Pola napas tak efektif


Tujuan : Pola nafas efektif
Kriteria Hasil :
NOC Status Pernafasan
 Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif
 Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sianosis
 Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab
Tindakan :
NIC Bantuan Ventilasi

1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
2. Monitor pernapasan dan oksigenasi

NIC Stabilisasi dan Membuka Jalan Nafas


1. Masukkan tube oro/nasofaring, pastikan mencapai dasar lidah,dan
tahan lidah agar tidak jatuh ke belakang
2. Monitor sesak nafas, mengorok saat tube oro/nasofarinegal
terpasang pada tempatnya
3. Monitor satus pernafasan sesuai kebutuhan
4. Monitor saturasi oksigen
NIC Terapi Oksigen

32
 Bersihkan mulut, hidung, dari sekresi dengan tepat
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Berikan terapi oksigen sesuai perintah
 Monitor aliran oksigen
 Kolaborasi peberian obat : Brokodilator, Steroid

Dx : Nyeri Akut
Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil :
NOC Kontrol Nyeri
 Melaporkan rasa nyeri / ketidaknyamanan
 Mengidentifikasi cara untuk mengatasi nyeri
 Mendemostrasikan penggunaan keterampilan relaksasi
dan aktivitas hiburan sesuai indikasi individu
Intervensi :
NIC Manajemen Nyeri
1. Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi nyeri
misalnya lokasi, tipe intensitas pada skala 0 – 1
2. Berikan tindakan kenyamanan misalnya perubahan posisi, masase,
kompres, sangat dan dingin sesuai indikasi
3. Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya pedoman imajinasi
visualisasi, latihan nafas dalam
4. Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot

Dx : Penurunan curah jantung


Tujuan : Curah jantung dalam rentang normal
Kriteria Hasil :
NOC Status Sirkulasi
 Tekanan darah normal
 Tekanan nadi tidak lemah
 Kekuatan nadi baik
 Saturasi oksigen baik
Tindakan :
NIC Manajemen Syok : Jantung
 Monitor tanda dan gejalan penururnan curah jantung

33
 Tingkatkan reduksi afterload (misal dengan vasodilator)
 Pertahankan preload optimal dengan pemberian cairan IV
 Tingkatkan perfusi jaringan yang adekuat (dengan resusitasi cairan
dan/atau vasopressor untuk mempertahankan tekana rata-rata arteri
(MAP) 60 mmHg keatas), sesuai kebutuhan
 Kaji / pantau tekanan darah
 Palpasi nadi radial, catat frekuensi dan ketraturan, auskultasi nadi
apical, catat frekuensi/irama dan adanya bunyi jantung ekstra

 Berikan istrahat psikologi dengan lingkungan tenang


membantu pasien hindari situasi stress

Dx : Hambatan mobilitas fisik


Tujuan : Selama perawatan gangguan mobilisasi bisa
diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan
pembedahan. Penurunan kesadaran teratasi
Kriteria hasil :
NOC Status Neurologi : Kesadaran
 Membuka mata secara spontan
 Orentasi kognitif bagus
 Dapat mengiuti perintah dengan baik
 Kesadaran baik
 Respon motorik pada stimulus baik

Intervensi :
NIC Pengaturan Posisi Neurologis
1. Kaji secara teratur fungsi motorik. Instruksikan pasien untuk memanggil
bila minta pertolongan.
2. Topang leherdengan tepat
3. Pertahankan posisi saat mengatur pasien
4. Lakukan log rolling
5. Pertahankan kesejajaran tubuh
6. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.
7. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.
8. Ganti posisi setaip 2 jam sekali dengan menggunakan teknik log rolling
9. Inspeksi kulit setiap hari.
10. Berikan relaksan otot sesuai indikasi seperti diazepam.

34
PENANGANAN FRAKTUR TULANG BELAKANG
1. Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi
memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan
prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri
atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma
dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik
dilakukan secara cepat dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa
dan melakukan dorso fleksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya
retensi urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfingter ani. Temperatur kulit
yang hangat dan adanya flushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis
di bawah level trauma (Yoanes & Thomas, 2014).
2. Penatalaksanaan Unit Gawat Darurat
a. Stabilisasi vertebra
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat
diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan
bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur
vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen
bersangkutan. Indikasi operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang
tidak dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi
medula spinalis pada trauma inkomplet, penurunan status neurologis, dan
instabilitas menetap pada manajemen konservatif.
b. Medikamentosa

35
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi
jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres
mekanik. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema,
perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat mengubah
bioenergetik seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar asam
amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta
habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel.
Bertambahnya pemahaman fisiologi trauma medula spinalis akan
menambah pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi, seperti
kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor opioid, gangliosida,
thyrotropinreleasing hormone (TRH), antioksidan, kalsium, termasuk
golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil
baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara klinis
bermakna.
c. Terapi kerusakan primer
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi.
Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta
nadi, dan kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta
bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik
yang akan memperparah kerusakan medula spinalis, menggunakan
vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan
pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan
justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran
darah ke perifer.1,6
d. Terapi kerusakan sekunder
Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk
keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang
tepat mengingat patofi siologi yang sangat variatif.
1) Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,
mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah

36
medula spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan
menghambat respons radang.
2) GM-1 Gangliosid
Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada membran
sel. Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal sprout dan
transmisi sinaptik. Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1
gangliosid) memiliki fungsi faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi
pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein kinase C untuk
mencegah kerusakan sel saraf pascaiskemia. Pada percobaan,
dilakukan terapi 72 jam pascatrauma dan dimulai dengan dosis 100
mg/hari. Studi terbaru menyatakan masih kurang bukti ilmiah terkait
obat ini.
3) Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog TRH
Thyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang
mempunyai fungsi melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid
endogen, platelet activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino
eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah spinalis,
memperbaiki keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid.
Pemberian thyrotropin-releasing hormone intravena bolus 0,2
mg/kgBB diikuti 0,2 mg/ kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan
memberikan hasil baik, terutama perbaikan motorik dan sensorik
sampai 4 bulan setelah injury.
4) Strategi pengobatan lain Antagonis serotonin yang bekerja pada
reseptor 5HT-1 dan 5HT-2 dalam percobaan memberikan efek cukup
baik, begitu pula dengan penggunaan neurotrophic growth factor;
antibodi inhibitor degenerasi aksonal telah dicobakan begitu pula
dengan transplantasi sel saraf, semuanya memberik an hasil baik
sebatas percobaan. Target berikut yang lebih penting adalah memotong
jalur apoptosis yang dicetuskan oleh kaspase, seperti inhibitor kaspase-
3 serta antiapoptosis protein (BCl-2). Takrolimus (FK56) dapat dipakai
sebagai imunomodulator yang berf ungsi sebagai promotor regenerasi
akson (Yoanes & Thomas, 2014).

37
5) Menurut (Junita, 2013) penatalaksanaan cedera medulla spinalis
dengan stabilisasi leher, tatalaksana umum cedera leher, pemberian
metilprednisolon dosis tinggi, pencegahan komplikasi, dan fisioterapi
teratur. Setelah perawatan, pasien menunjukkan kemajuan yang
berarti, baik fungsi motorik maupun sensorik.
6) Pencegahan komplikasi
Pencegahan komplikasi sangat berperan penting. Tindakan rehabilitasi
medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera
medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training harus
dilakukan sedini mungkin. Tujuan utama fisioterapi ialah untuk
mempertahankan range of movement (ROM) dan kemampuan
mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot. Terapi okupasional
terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ekstremitas atas, serta mempertahankan kemampuan aktivitas hidup
sehari-hari. Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin
(Junita, 2013).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Macam-macam trauma muskuloskeletal daintaranya : Kontusi,
Strain, Sprain, dan Fraktur. Penyebab trauma muskuloskeletal antara lain;
sikap kerja atau posisi tubuh yang tidak sesuai, beban kerja berlebihan,
kecelakaan lalu lintas, dan osteoporosis.
Fraktur; patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddart, 2000 dalam
(Suratun, Heryati, Santa, & Een, 2008)). Sedangkan Tulang belakang
manusia merupakan pilar/tiang yang berfungsi sebagai penyangga tubuh
(Sjamsuhidajat & de Jong, 1997). Jadi, fraktur ulang belakang ialah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang belakang. Cedera tulang belakang
tidak jarang terjadi sebagai akibat kecelakaan kerja seperti jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas.
B. Saran

38
Penulis berharap jika makalah agar makalah ini dapat memberikan
beberapa manfaat pendidikan tentang fraktur tulang belakang kepada para
pembaca dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Apabila terdapat
banyak kekurangan, saran yang membangun sangat penulis harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Alfi, F. (2105). PENGARUH PEMBIDAIAN TERHADAP PENURUNAN RASA NYERI PADA


PASIEN FRAKTUR TERTUTUP DI RUANG IGD RUMAH SAKITUMUM DAERAH A.M
PARIKESIT TENGGARONG. JURNAL ILMU KESEHATAN VOL. 3. NO 2 , 1.
Dhandy, D. Y., Suroto, & Ekawati. (2016). HUBUNGAN ANTARA POSTUR KERJA DENGAN
TINGKAT KELUHAN SUBYEKTIF MUSKULOSKELETAL PADA PENJAGA PINTU TOL
TEMBALANG SEMARANG. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal) Volume 4,
Nomor 3 , 349.
Dimi, C., Syamsiar, S. R., & Andi, W. (2014). INTENSITAS GETARAN DENGAN KELUHAN
MUSKULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) . JURNAL MKMI , 234-240.
Doengoes, Marilyn E, (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Esti, M., Suroto, & Baju, W. (2017). ANALISIS FAKTOR RISIKO GANGGUAN
MUSKULOSKELETAL PADA PENGAYUH BECAK (STUDI KASUS DI PASAR PAGI KABUPATEN

39
PEMALANG). JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-Journal) Volume 5, Nomor 1 (ISSN:
2356-3346) , 345.
Junita, M. P. (2013). DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN CEDERA SERVIKAL MEDULA
SPINALIS. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 3 , 181-189.
Schrock, T. R. (1995). Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W. (1997). Buku-ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Somantri, D. D. (2010). TINGKATKAN KEMAMPUAN TERHADAP PENANGANAN TRAUMA .
STIKES A. Yani Cimahi , 1-3.
Suratun, Heryati, Santa, M., & Een, R. (2008). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Yoanes, G., & Thomas, E. P. (2014). Trauma Medula Spinalis: Patobiologi dan Tata
Laksana Medikamentosa. CDK-219/ vol. 41 no. 8 , 569-570.
Yulianingsih, S., Djarot, N., & Haryanto. (2014). FRAKTUR AKIBAT OSTEOPOROSIS . Jurnal
e-CliniC (eCl), Volume 2, Nomor 2 , 1.

40

Anda mungkin juga menyukai