Anda di halaman 1dari 15

KONSEP MEDIS HEAD INJURY

A. PENGERTIAN
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma
tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak.
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak,
yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional
(pekerjaan).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
B. ETIOLOGI
Penyebab trauma kepala dapat meliputi:
1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.
C. PATOFISIOLOGI
1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau
pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam
tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury)
2. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari
tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di
dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal
dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama
pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis.
4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang
secara otomatis menekan otak.
a. Derajat cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan
jumlah kekuatan yang mengenai kepala.
b. Kerusakan sekunder terjadi akibat: komplikasi sistem pernapasan
(hipoksia, hiperkabia, obstruksi jalan napas), syok hipovilemik (cedera
kepala tidak menyebabkan syok hipovilemik-lihat penyebab lain),
perdarahan intrakranial, edema serebral, epilepsi, infeksi, dan
hidrosefalus.
D. JENIS-JENIS / MACAM-MACAM
1. Tipe trauma kepala sebagai berikut:
a. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan
otak dan melukai atau menyobek du ra mater menyebabkan CSS merembes.
Kerusakan saraf otak dan jaringan otak.
b. Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma.
Sedangkan cedera kepala dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS,
(Glasgow Coma Scale) yaitu:
a. Cedera Kepala Ringan
1) GCS > 13
2) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak.
3) Tidak memerlukan tindakan operasi.
4) Lama dirawat di RS , 48 jam
b. Cedera Kepala Sedang
1. GCS 9-13.
2. Ditemukan kelainan pada CT scan otak.
3. Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intracranial.
4. Dirawat di RS setidaknya 48 jam.
c. Cedera Kepala Berat
Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS <9
Skala Koma Glasgow
Pembukaan mata Respons suara Respons
motorik
terbaik
Spontan 4 Waspada & orientasi Mematuhi
baik 5 perintah 6
Terhadap suara 3 Bingung 4 Menunjukkan
tempat nyeri
5
Terhadap nyeri 2 Tidak sesuai 3 Fleksi
terhadap
nyeri 4
Tidak ada Bicara kacau 2 Fleksi
pembukaan 1 abnormal
trhdp nyeri 3
Tidak ada respons Ekstensi
suara 1 terhadap
nyeri 2
Tidak ada
respon nyeri
1
Sadar penuh: GCS = 15; koma dalam: GCS = 3.

E. TANDA GEJALA
1. Komosio/gegar otak.
2. Cedera kepala ringan.
3. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
4. Hilang kesadaran sementara, , 10-20 menit.
5. Tanpa kerusakan otak permanen
6. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
7. Disorientasi sementara.
8. Tidak ada gejala sisa.
9. Tidak ada terapi khusus.
10. Kontusio serebri/memar otak.
11. Ada memar otak.
12. Perdarahan kecil local.
13. Gangguan kesadaran lebih lama.
14. Kelaianan neurologis (+).
15. Refleks patologis (+), lumpuh, konvulsi.
16. Gejala TIK meningkat.
17. Amnesia retrograd lebih nyata.
F. PENATALAKSANAAN
Cedera kepala ringan
Pasien sadar, mungkin memiliki riwayat periode kehilangan kesadaran. Amnesia
retrograd terhadap peristiwa sebelum kecelakaan cukup signifikan.
1. Indikasi untuk rontgen tengkorak
a. Hilang kesadaran atau amnesia.
b. Tanda-tanda neurologis.
c. Kebocoran LCS.
d. Curiga trauma tembus.
e. Intoksikasi alcohol.
f. Sulit menilai pasien.
2. Indikasi rawat
a. Kebingungan atau GCS menurun
b. Fraktur tengkorak
c. Tanda-tanda neurologis atau sakit kepala atau muntah.
d. Sulit menilai pasien
e. Terdapat masalah medis yang menyertai
f. Kondisi sosial yang tidak adekuat atau tidak ada orang dewasa yang
dapat mengawasi pasien.
3. Indikasi untuk merujuk ke bagian bedah saraf
a. Fraktur tengkorak + bingung/penurunan GCS.
b. Tanda-tanda neurologis fokal atau kejang.
c. Menetapnya tanda-tanda neurologis atau kebingungan >12 jam.
d. Koma setelah resusitasi.
e. Curiga cedera terbuka pada tengkorak.
f. Fraktur tekanan pada tengkorak.
g. Terdapat perburukan
Cedera kepala berat
1. pasien akan datang dengan tidak sadar ke departement Kecelakaan dan
Kegawatdaruratan. Cedera kepala mungkin merupakan bagian dari trauma
multiple.
2. ABC (Airway management, Breathing, Circulation). Intubasi dan ventilasi
pasien-pasien tidak sadar untuk melindungi jalan napas dan mencegah
cedera otak sekunder akibat hipoksia.
3. Resusitasi pasien dan cari tanda-tanda cedera lainnya, khususnya jika
pasien dalam keadaan syok. Cedera kepala dapat disertai dengan cedera
tulang belakang servikal dan leher harus dilindungi dengan cervical collar
pada pasien-pasien ini.
4. Obati masalah-masalah yang mengancam hidup (misalnya ruptur limpa)
dan stabilkan pasien sebelum dikirim ke unit bedah saraf. Pastikan
terdapat pengawasan medis yang adekuat (ahli anestesi dan perawat)
selama pengiriman.
G. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.Upaya
yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang
menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk
pengaman, dan memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi
yangdirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera
yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1) Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan
tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari
masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang
tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan
mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi
untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda
asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya
terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.
Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam
airway.
2) Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam
mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat
menimbulkan kematian.
3) Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat
yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut
dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan
pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian
transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita
kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang
lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang
harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas
hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan
psikologis bagi penderita.
H. KOMPLIKASI
1. Fraktur tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus
kecuali terjadi trauma campuran, tekanan atau berhubungan dengan
kehilangan LCS kronis (misalnya fraktur fosa kranialis anterior dasar
tengkorak)
2. Perdarahan intracranial
a. Perdarahan ekstradural: robekan pada arteri meningea media. Hematoma di
antara tengkorak dan dura. Seringkali terdapat ‘interval lucid’ sebelum
terbukti tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) (penurunan
nadi, peningkatan tekanan darah, dilatasi pupil ipsilateral, paresis atau
paralisis kontralateral). Terapi dengan evakuasi hematoma melalui lubang
Burr.
b. Perdarahan subdural akut: robekan pada vena-vena diantara araknoid dan
durameter. Biasanya terjadi pada orang usia lanjut. Terdapat perburukan
neurologis yang progresif. Terapi dengan evakuasi namun penyembuhan
biasanya tidak sempurna.
c. Hematoma subdural kronis: robekan pada vena yang meyebabkan
hematoma subdural yang akan membesar secara perlahan akibat
penyerapan LCS. Seringkali yang menjadi penyebab adalah cedera ringan.
Mengantuk dan kebingungan, sakit kepala, hemiplegia. Terapi dengan
evakuasi bekuan darah.
d. Perdarahan intraserebral: pendarahan ke dalam substansi otak
yang menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha dilakukan untuk
mencegah cedera sekunder dengan memastikan oksigenasi dan
nutrisi yang adekuat.
e. Infeksi (trauma terbuka)
f. Depresi pernapasan dan gagal napas
g. Herniasi otak
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,
pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah,
hidung dan telinga dan kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular.
4. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai
data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi
prognosa klien.
5. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS <
15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang
positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.Nervus
cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak
karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V,
VII, IX, XII.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas
di otak.
2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan
sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak.
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos
- coma).
5. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
a. Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif
melalui ventilator.
b. Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada,
sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah
dalam batas-batas normal.
c. Rencana tindakan :
1) Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat
dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan
lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis
respiratorik.
2) Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat
dalam pemberian tidal volume.
3) Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya
2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai
kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran
gas.
4) Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat
mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan
meningkatkan resiko infeksi.
5) Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi
dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan
menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
6) Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu
membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada
ventilator.
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan
penumpukan sputum.
a. Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah
aspirasi
b. Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret
pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis
tidak ada.
c. Rencana tindakan :
1) Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi
dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan,
bronchospasme atau masalah terhadap tube.
2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).
Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi
pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
3) Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila
sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu
harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
4) Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi
untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta
pelepasan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
a. Tujuan :Mempertahankan dan memperbaiki tingkat
kesadaran fungsi motorik.
b. Kriteria hasil :Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan
intrakranial.
c. Rencana tindakan :
1) Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode
GCS.
2) Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.
3) Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap
stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
4) Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan
untuk menentukan refleks batang otak.
5) Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda
awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya
abduksi mata.
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran
(soporos - coma )
a. Tujuan :Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara
adekuat.
b. Kriteria hasil :Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan
terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
c. Rencana Tindakan :
1) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
2) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
3) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk
menjaga lingkungan yang aman dan bersih.
5) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan
lingkungan.

5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.


a. Tujuan :Kecemasan keluarga dapat berkurang
b. Kriteri evaluasi :Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan
dan tindakan meningkat.
c. Rencana tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya.
2) Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan
dilakukan pada pasien.
3) Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
4) Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B & Turana, Y. 2007. Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Grace, P.A & Borley, N.R. 2007. At a Glance ILMU BEDAH. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Kowalak, J.P. 2003. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

http://sugengmedica.wordpress.com/2012/03/09/cedera-kepala/

Anda mungkin juga menyukai