Anda di halaman 1dari 8

Menemukan dan mengobati PTSD di pelayanan primer

KASUS. Maureen S, adalah pasien berusia 50an tahun datang dengan nyeri kronis akibat
penyakit diskus degeneratif yang berat dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) stadium
awal setelah bertahun-tahun merokok, dirujuk ke saya (JRF) 5 tahun yang lalu setelah dirujuk
dokternya. Saya mulai menjadwalkan kunjungan bulanan karena masalah kesehatan yang
kronis. Tetapi dia jarang mengikuti rekomendasi saya apakah untuk berhenti merokok,
fisioterapi, manajemen nyeri, atau skrining mamografi. Ketika saya mengenal Maureen, jelas
bahwa dia mengalami depresi kronis dan cemas. Saya mulai bertanya mengapa dia tidak
memberikan perhatian lebih kepada dirinya.
Dia memberikan jawabannya secara perlahan. Sepanjang masa kecilnya, Maureen
menceritakan bahwa ibunya telah memberikan hukuman fisik yang berat. Sejak usia 7 tahun
hingga dia mencapai usia remajanya, “paman” Maureen melakukan pelecehan seksual
terhadapnya. Sebagai orang dewasa, dia memiliki serangkaian hubungan yang buruk.
Kesehatan pasien yang buruk dan kegagalan merawat dirinya sendiri diduga terkait dengan
gangguan stres pasca trauma (PTSD) yang kronis.
KASUS. Dominic T, adalah pekerja konstruksi berusia 46 tahun selalu dalam keadaan sehat
dan tetap aktif, baik saat bekerja maupun di luar Dia datang ke kantor saya (JRF) untuk pertama
kalinya karena dia “sedikit kecewa” dan menderita insomnia.
Saya tau kenapa itu bisa terjadi saat saya memeriksa Dominic dan mengambil rekam medisnya.
Tiga bulan sebelumnya dia terlibat dalam ledakan industri. Dominic menderita luka bakar di
lengan, leher, dan tubuh bagian atas. Temannya yang bekerja di sampingnya telah meninggal.
Setelah menanyakan pasien lebih lanjut, saya menemukan bahwa dia juga mengalami mimpi
buruk dan serangan panik yang dipicu oleh suara keras. Saya menduga bahwa dia seperti
Maureen yang menderita PTSD.
* Nama pasien dan detail tertentu dari kasus mereka telah diubah untuk melindungi privasi
mereka.
Prevalensi PTSD yang terjadi selama hidup pada populasi umum diperkirakan 7-8%, dengan
sekitar 10% wanita dan 5% pria yang suatu saat berlanjut menjadi kelainan dalam kehidupan
mereka. Namun dalam pelayanan primer tempat pasien sering mencari pengobatan medis yang
berkaitan dengan situasi atau pengalaman terkait PTSD, umumnya mereka percaya memiliki
tarif 2 sampai 3 kali lebih tinggi.
Pemerkosaan adalah penyebab utama PTSD pada wanita. Hampir 13% wanita AS mengalami
pelecehan seksual dalam kehidupan mereka, dan 25-50% dari mereka akan berlanjut ke PTSD.
Pada pria, penyebab utama adalah kekerasan akibat perang.
Biaya yang diakibatkan hilangnya produktivitas akibat PTSD secara keseluruhan sekitar $ 3
miliar per tahun di Amerika Serikat, hampir sama dengan depresi berat. Perkiraan terbaru
kerugian akibat PTSD di kalangan pasukan AS dan dengan asumsi bahwa 15% dari mereka
yang kembali dari tugas akan menjadi PTSD, diperkirakan biaya selama 2 tahun sebesar $ 3,98
miliar. PTSD bukanlah kondisi yang dapat kita abaikan.
PTSD yang Tidak Diobati: Dampaknya parah
Efek PTSD pada pasien, keluarga, dan masyarakat sangat besar. Kesehatan mental
komorbiditas seperti depresi, gangguan kecemasan lainnya, penyalahgunaan alkohol, dan ide
bunuh diri umumnya mempersulit pengobatan. PTSD dikaitkan dengan gangguan fungsional
dalam pencapaian di sekolah dan pekerjaan, dan kesulitan hubungan serta perilaku yang dapat
meningkatkan risiko penyakit, seperti merokok, makan berlebihan, tidak aktif, dan
ketidakpedulian terhadap pengobatan. Selain itu, PTSD sering bersamaan dengan kondisi
penyakit kronis seperti diabetes dan COPD.
Pasien PTSD sering ragu untuk bercerita mengenai gejala psikologis, mereka datang dengan
keluhan fisik yang tidak jelas secara terus-menerus. Dokter pelayanan primer yang
berpengalaman menemukan depresi kronis, cemas, atau sibuk dengan somatisasi adalah hal
yang menganggu mereka dan hampir tidak mungkin untuk menghibur penderita PTSD kronis.
Kriteria diagnostik dan risiko PTSD
Ada 6 kriteria diagnostik PTSD (TABEL 1). Selain 1 atau beberapa peristiwa pencetus
traumatis, pasien harus menderita datangnya suatu pikiran atau reaksi intrusif (mengalami
ulang), terjadi suatu penarikan (penghindaran/mati rasa), dan gangguan tidur, hypervigilance
(kewaspadaan yang berlebihan), atau reaksi mengganggu lainnya. Selain itu, gejala harus
menetap selama 1 bulan atau lebih dan mengganggu fungsi akademik, pekerjaan, atau sosial
pasien.
Waktu yang terlah terlewati sejak peristiwa traumatis juga merupakan faktor dalam diagnosis
(TABEL 2). PTSD dapat menjadi akut (bulan-bulan sebelum resolusi penuh), gejala lebih
sering menjadi kronis dan berulang seperti dalam kasus Maureen.
Namun, 4 kategori PTSD akut, kronis, tertunda, dan subklinis tidak saling terpisahkan, kasus
akut bisa menjadi kronis jika tidak dikenali dan diobati. PTSD subklinis dapat aktif kembali
saat mengingat peristiwa traumatik di masa lalu. Beberapa tahun setelah Dominic pulih,
peristiwa kebakaran di rumah tetangga dapat memicu episode akut lainnya.
Kapan mencurigai PTSD: Tinjauan faktor risiko
Riwayat trauma (terutama perkosaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan seksual, serangan
fisik yang melibatkan senjata, cedera parah atau ancaman kehidupan yang dirasakan, atau
terlibat peperangan). Masalah kesehatan mental pribadi atau keluarga, penyalahgunaan zat,
gejala fisik yang tidak jelas secara medis, cedera fisik, dan kehamilan (4-8% wanita AS
mengalami kekerasan fisik selama masa kehamilan) merupakan faktor risiko utama PTSD. Hal
tersebut jarang tampai dan dokter sering gagal untuk mempertimbangkan PTSD sebagai
diagnosis diferensial dan pasien sering tidak bisa menyebutkan gejalanya ke dokter. Beberapa
pasien menghindari membicarakan masalah mereka karena stigma penyakit mental. Orang lain,
Maureen mengetahui sedikit tentang PTSD dan tidak menyadari bahwa peristiwa yang terjadi
bertahun-tahun yang lalu dapat memebrikan pengaruh mendalam pada dirinya.
Hambatan untuk deteksi
Tidak ada rekomendasi khusus dalam skrining PTSD pada pelayanan primer. US Preventive
Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan agar dokter mengatasi perilaku kesehatan
yang merupakan akibat potensial dari kekerasan seperti penggunaan tembakau dan alkohol,
depresi, penggunaan narkoba, dan ide bunuh diri walaupun tidak menangani PTSD itu sendiri.
Faktor lain yang menyulitkan skrining rutin trauma dan PTSD ada yang disebabkan oleh
penyedia layanan dan pihak pasien.
Hambatan penyedia layanan, meliputi:
• Kurangnya pendidikan (Aspek medis, dan sekuel kekerasan tidak tertuju secara khusus,
kekerasan tidak dilihat sebagai masalah medis)
• Kendala waktu
• Ketidaknyamanan Dokter menangani kekerasan. (korban berulang biasanya menunjukkan
kerentanan yang menimbulkan perasaan negatif pada dokter, berpotensi menyebabkan
mereka bertindak kontra-produktif.)
• Kesalahpahaman kebutuhan pasien. (Dokter tidak menyadari pentingnya menyediakan
lingkungan yang aman secara psikologis di mana pasien tidak dipermalukan karena
tingkah lakunya atau dibebaskan dari tanggung jawab untuk perawatan diri)
• Kurangnya kesadaran/pengetahuan yang terbatas tentang sumber daya dan pengobatan
PTSD.
Dokter yang memiliki sedikit pengalaman dengan masalah kesehatan mental yang serius
mungkin perlu mengambil langkah-langkah dalam mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan untuk menangani pasien PTSD. Melanjutkan pendidikan kedokteran dan
membaca buku, partisipasi dalam kelompok Balint (kelompok kecil dokter yang bertemu,
biasanya untuk 1-2 tahun, dengan tujuan belajar untuk mengelola hubungan dokter-pasien
dengan lebih baik), psikoterapi, dan/atau konsultasi ke ahlinya. Anda dapat mempelajari lebih
lanjut tentang grup Balint dari American Balint Society
(http://www.Americanbalintsociety.org). Informasi tentang PTSD dan daftar dokter ahli
tersedia di Pusat Nasional untuk PTSD (www.ncptsd.va.gov), Pusat Penelitian dan Perawatan
Korban Kejahatan Nasional (http:/ colleges.musc.edu/ncvc) , dan Eye Movement
Desensitization dan Reprocessing Institute, Inc. (www.emdr.com).
Hambatan pasien termasuk:
• Takut dengan akibatnya. (Korban kekerasan takut terancam bahaya lain jika memberi tahu
seseorang tentang pelecehan.)
• Malu dan merasa bersalah. (Ironisnya, menahan diri dari berbicara tentang peristiwa
traumatis dapat memperkuat rasa malu pasien)
• Tingkat percaya diri rendah
• Ketidakberdayaan
• Wawasan terbatas.
Banyak dari hambatan ini mempengaruhi Maureen: Dia diancam oleh pria yang melakukan
pelecehan seksual terhadapnya. Dan, karena trauma yang berulang dia menderita
ketidakberdayaan, dia tidak menganggap dirinya cukup kompeten dalam mengambil langkah-
langkah untuk meningkatkan kesehatannya atau untuk membantu dirinya sendiri. Dia juga
tidak menyadari bahwa masa lalunya sangat mempengaruhi dia sampai dia menjalani
pemeriksaan untuk PTSD.
Tersangka PTSD? Mulai dengan skrining 4-pertanyaan
Beberapa instrumen skrining singkat dikembangkan untuk meminimalkan waktu yang
diperlukan untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki (atau kemungkinan tinggi) PTSD.
Salah satunya adalah Skrining PTSD di pelayanan Primer/ Primary Care PTSD Screen (PC-
PTSD) (TABEL 3 ). Tes 4 item ini dikembangkan pada studi terhadap 88 pria dan wanita yang
datang untuk pengobatan umum dan klinik kesehatan wanita di pelayanan kesehatan Veteran
Administration (VA). Pertanyaan-pertanyaan ini membahas pengalaman, penghindaran/mati
rasa, dan hyperarousal yang khas pada PTSD.
Menggunakan cutoff skor 3 pada PC-PTSD menunjukkan sensitivitas 78% dan spesifisitas
87% dibandingkan dengan gold standard wawancara diagnostik yang terstruktur. Penelitian
lain mengkonfirmasi hasil yang sama pada PC-PTSD di antara pasien pelayanan primer di
kedua VA dan pelayanan primer sipil (JRF, North American Primary Care Research Group
[NAPCRG] setiap tahun , November 2009).

❚ Menindaklanjuti skrining yang lebih rinci atau wawancara terstruktur. Sebuah penelitian pada
pelayanan pengobatan primer sipil menemukan PC-PTSD memiliki nilai prediksi positif
(NPV) 36,7%. Skrining PTSD kedua menggunakan daftar gejala PTSD dengan 17 item [PCL-
C], tes yang dikelola sendiri di mana pasien menilai tingkat keparahan berbagai gejala selama
periode waktu tertentu, NPP meningkat menjadi 47,3% dan NPN hingga >99% (JRF,
NAPCRG, November 2009).

❚VA dan pengaturan militer menggunakan pendekatan bertahap. Semua pasien perawatan
primer menjalani skrining tahunan dengan PC-PTSD, dan siapa pun dengan skor 3 atau lebih
tinggi mengalami evaluasi tambahan. Pendekatan itu juga berharga dalam pelayanan kesehatan
primer sipil.
Beberapa dokter menolak gagasan menggunakan pendekatan bertahap dalam mengidentifikasi
PTSD karena keterbatasan waktu. Ini adalah kekhawatiran yang lazim, mengingat bahwa
USPSTF sendiri merekomendasikan hampir 100 cara untuk dipertimbangkan sebagai skrining
atau intervensi dasar. Namun, kami akan membantah argumen itu dengan mencatat bahwa
PTSD sering memiliki dampak yang sangat besar pada kesehatan pasien dan secara
keseluruhan yang tidak dapat dikendalikan dalam skrining. Kami merekomendasikan
pendekatan berbasis sistem serupa dengan tes HbA1C yang terjadwal untuk PTSD: Pasien
dengan salah satu faktor risiko yang dijelaskan sebelumnya harus diskrining dengan PC-PTSD
4 item, mereka dengan hasil positif pada skiring singkat harus menjalani 17 item PCL-C.
Perawat atau staf pendukung lainnya dapat dilatih untuk mengelola tes skrining PTSD dengan
dokter yang menindaklanjuti hasil positif.
Identifikasi positif PTSD: Lalu apa?
Ketika skrining mengarah ke PTSD seperti yang dilakukan untuk Maureen dan Dominic. Hal
pertama yang perlu dilakukan adalah memberikan edukasi ke pasien. Bicara tentang efek
trauma dan fakta bahwa PTSD dapat diobati. Jawablah pertanyaan secara langsung dan jujur,
tetapi dengan tenang. Anda mungkin juga perlu agak direktif, misalnya menekankan
pentingnya mematuhi rencana pengobatan dan datang kepada Anda, daripada menghentikan
pengobatan jika muncul keraguan atau kesulitan. Pelajaran penting dalam mengobati pasien
PTSD adalah bahwa lebih penting untuk mendengarkan secara empatik daripada mencoba
untuk menyelesaikan masalah mereka. Rujukan ke psikoterapi terutama terapi perilaku kognitif
(CBT) dan meresepkan obat juga dirasa perlu.
❚ Pendekatan psikoterapeutik berbasis bukti untuk PTSD termasuk latikan membatasi stres,
CBT yang berfokus pada trauma, terapi kognitif, desensitisasi gerakan mata dan terapi
pemrosesan ulang, dan terapi pemaparan. Menggunakan protokol pengobatan yang khas,
jumlah yang diperlukan untuk pendekatan psikoterapi yang telah terbukti ini adalah sekitar 12.
Kami merekomendasikan bahwa dokter layanan primer bekerja sama dengan 1 atau lebih
penyedia layanan kesehatan mental lokal yang terampil dalam pendekatan berbasis bukti untuk
PTSD. Perlu diingat, tidak ada temuan mengenai CBT yang lebih unggul dalam bentuk tunggal
daripada pendekatan lainnya.

❚ Penghambat reuptake serotonin selektif (SSRI) adalah lini pertama untuk tatalaksana PTSD
akut dan jangka panjang. (fluoxetine, paroxetine, atau sertraline, NNT= 4-5). Penelitian
menunjukkan bahwa 12 minggu adalah waktu yang cukup untuk uji coba obat pada pasien
PTSD (dibandingkan 6-8 minggu untuk depresi berat), dan 12 bulan adalah lama pengobatan
obat minimal. Penelitian juga mendukung penggunaan obat lini kedua untuk menghilangkan
gejala spesifik PTSD. Kelas antidepresan lain, benzodiazepin dan hipnotik nonbenzodiazepine,
antipsikotik atipikal, dan agen stabiliasasi mood digunakan sebagai tambahan untuk SSRI, dan
dalam kombinasi psikoterapi.

❚ kolaborasi pengobatan adalah pendekatan yang ideal. Selain menjadi pengelolaan masalah
kesehatan mental, juga untuk maslaah fisik kronis, pelayanan primer sangat cocok untuk
pendekatan kolaboratif PTSD. Dalam model pengobatan kolaboratif, dokter layanan primer
dapat merujuk ke penyedia layanan tingkat menengah dan konsultasi berkala dengan spesialis
kesehatan mental. Manajemen pengobatan kolaboratif depresi dalam pelayanan primer lebih
unggul dari perawatan biasa dan lebih menjanjikan untuk PTSD.
KASUS. Mauren: Sekarang sudah 5 tahun sejak diagnosis kasus PTSD kronis yang cukup
parah. Sejak itu saya selalu memantaunya secara teratur dan dapat mengurangi obat pereda
nyeri, menyesuaikan dosis obat psikotropik, dan meyakinkannya untuk psikoterapi. Maureen
masih memiliki banyak masalah kesehatan, fungsinya telah membaik dan untuk pertama
kalinya ia telah menjalani pemeriksaan kesehatan yang vital, termasuk Pap smear, mamografi,
dan kolonoskopi.
KASUS. Dominic: Setelah diagnosis PTSD, Dominic membutuhkan waktu 18 bulan untuk
kembali pulih dengan kontrol di pelayanan primer, SSRI, dan CBT. Dia mulai merasa jauh
lebih baik, kami menghentikan pengobatan setelah 2 tahun pengobatan, dan dia tidak kembali
ke klinik selama 2 atau 3 tahun, kecuali untuk flu shots dan kebutuhan kesehatan rutin lainnya.
Ketika api di jalanan menmbuat gejala PTSD-nya muncul kembali, kami memberikan SSRI
dan saya bertemu dengannya setiap bulan selama 6 bulan untuk memantau gejala PTSD dan
memberikan dukungan. Pada akhir 6 bulan, gejala PTSD Dominic telah banyak terselesaikan.
PTSD tetap dapat terjadi dalam bentuk subklinis dalam waktu yang lama tetapi gejala-
gejalanya dapat bertambah dan berkurang, kami memutuskan untuk tetap memebrikan terapi
antidepresan. Dominic merasa baik, dan datang untuk follow-up tahunan.
Ringkasan

KASUS. Maureen S, pasien 50an tahun datang dengan nyeri kronis akibat penyakit diskus
degeneratif yang berat dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) setelah bertahun-tahun
merokok, dirujuk saya (JRF) 5 tahun yang lalu. Dijadwalkan kunjungan bulanan karena
masalah kesehatan kronis. Tetapi jarang mengikuti rekomendasi untuk berhenti merokok,
fisioterapi, manajemen nyeri, atau skrining mamografi. Maureen mengalami depresi kronis dan
cemas. Maureen korban kekerasan dan pelecehan seksual.
KASUS. Dominic T pekerja konstruksi 46 tahun datang untuk pertama kalinya karena dia
“sedikit kecewa” dan menderita insomnia. Tiga bulan sebelumnya terlibat ledakan industri.
Dominic menderita luka bakar di lengan, leher, dan tubuh bagian atas. Temannya yang bekerja
di sampingnya telah meninggal. Dia juga mengalami mimpi buruk dan serangan panik yang
dipicu oleh suara keras. Maureen menderita PTSD.
Prevalensi PTSD diperkirakan 7-8%, sekitar 10% wanita dan 5% pria yang dapat menjadi
kelainan dalam kehidupan mereka. Pemerkosaan adalah penyebab utama PTSD pada wanita.
Hampir 13% wanita AS mengalami pelecehan seksual, dan 25-50% berlanjut PTSD. Pada pria,
penyebab utama adalah kekerasan akibat perang.Biaya yang diakibatkan hilangnya
produktivitas akibat PTSD secara keseluruhan sekitar $ 3 miliar per tahun di Amerika Serikat,
hampir sama dengan depresi berat. Perkiraan terbaru meningkat.
PTSD yang Tidak Diobati: Dampaknya parah
PTSD dikaitkan dengan gangguan fungsional dalam pencapaian di sekolah dan pekerjaan, dan
kesulitan hubungan serta perilaku yang dapat meningkatkan risiko penyakit, seperti merokok,
makan berlebihan, tidak aktif, dan ketidakpedulian terhadap pengobatan. PTSD sering
bersamaan dengan kondisi penyakit kronis seperti diabetes dan COPD. Pasien PTSD sering
ragu untuk bercerita mengenai gejala psikologis, mereka datang dengan keluhan fisik yang
tidak jelas secara terus-menerus.
Kriteria diagnostik dan risiko PTSD
Ada 6 kriteria diagnostik PTSD (TABEL 1). Selain 1 atau beberapa peristiwa pencetus
traumatis, pasien merasakan pikiran atau reaksi intrusif, terjadi suatu penarikan, dan gangguan
tidur, hypervigilance atau reaksi lainnya. Gejala menetap selama 1 bulan atau lebih dan
mengganggu fungsi hidup/sosial. PTSD dapat menjadi akut, lebih sering menjadi kronis dan
berulang seperti Maureen. 4 kategori PTSD akut, kronis, tertunda, dan subklinis saling
berkaitan.
Kapan mencurigai PTSD: Tinjauan faktor risiko
Riwayat trauma. Masalah kesehatan mental pribadi atau keluarga, penyalahgunaan zat, gejala
fisik yang tidak jelas secara medis, cedera fisik, dan kehamilan faktor risiko PTSD. Beberapa
pasien menghindari membicarakan masalah mereka karena stigma penyakit mental.
Hambatan untuk deteksi
Tidak ada rekomendasi khusus dalam skrining PTSD pada pelayanan primer. US Preventive
Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan mengatasi perilaku kesehatan yang
merupakan akibat dari kekerasan walaupun tidak menangani PTSD itu sendiri. Faktor lain yang
menyulitkan skrining rutin trauma dan PTSD ada yang disebabkan oleh penyedia layanan dan
pihak pasien.
Hambatan penyedia layanan, meliputi: Kurangnya pendidikan, Kendala waktu,
Ketidaknyamanan Dokter menangani kekerasan, Kesalahpahaman mengenai kebutuhan
pasien, Kurangnya kesadaran/pengetahuan tentang PTSD.
Hambatan pasien termasuk: Takut, Malu dan merasa bersalah, Tingkat percaya diri rendah,
Ketidakberdayaan, dan Wawasan terbatas.
Banyak dari hambatan ini mempengaruhi Maureen: Dia diancam, karena trauma yang berulang
menderita ketidakberdayaan, dia tidak menganggap dirinya cukup kompeten dalam mengambil
langkah-langkah untuk meningkatkan kesehatannya atau untuk membantu dirinya sendiri. Dia
juga tidak menyadari bahwa masa lalunya sangat mempengaruhi dia sampai dia menjalani
pemeriksaan untuk PTSD.
Tersangka PTSD? Mulai dengan skrining 4-pertanyaan
Beberapa instrumen skrining singkat dikembangkan untuk meminimalkan waktu yang
diperlukan untuk mengidentifikasi pasien PTSD. Salah satunya adalah Skrining PTSD di
pelayanan Primer/ Primary Care PTSD Screen (PC-PTSD) (TABEL 3 ). Pertanyaan-
pertanyaan ini membahas pengalaman, penghindaran/mati rasa, dan hyperarousal yang khas
pada PTSD. Menggunakan cutoff skor 3 pada PC-PTSD menunjukkan sensitivitas 78% dan
spesifisitas 87% dibandingkan dengan gold standard wawancara diagnostik yang terstruktur.

❚ Menindaklanjuti skrining yang lebih rinci atau wawancara terstruktur.

❚VA dan pengaturan militer menggunakan pendekatan bertahap.


Beberapa dokter menolak menggunakan pendekatan bertahap dalam mengidentifikasi PTSD
karena keterbatasan waktu. Rekomendasi pendekatan berbasis sistem serupa dengan tes
HbA1C yang terjadwal untuk PTSD: Pasien dengan salah satu faktor risiko yang dijelaskan
sebelumnya harus diskrining dengan PC-PTSD 4 item, mereka dengan hasil positif pada skiring
singkat harus menjalani 17 item PCL-C. Perawat atau staf pendukung lainnya dapat dilatih
untuk mengelola tes skrining PTSD dengan dokter yang menindaklanjuti hasil positif.
Identifikasi positif PTSD: Lalu apa?
Ketika skrining mengarah ke PTSD seperti yang dilakukan untuk Maureen dan Dominic. Hal
pertama yang perlu dilakukan adalah memberikan edukasi ke pasien. Bicara tentang efek
trauma dan fakta bahwa PTSD dapat diobati. Jawablah pertanyaan secara langsung dan jujur,
tetapi dengan tenang. Anda mungkin juga perlu agak direktif, menekankan pentingnya
mematuhi rencana pengobatan dan datang kepada Anda, daripada menghentikan pengobatan
jika muncul keraguan atau kesulitan. Lebih penting untuk mendengarkan secara empatik
daripada mencoba untuk menyelesaikan masalah mereka. Rujukan ke psikoterapi.

❚ Pendekatan psikoterapeutik berbasis bukti untuk PTSD termasuk latikan membatasi stres,
CBT yang berfokus pada trauma, terapi kognitif, desensitisasi gerakan mata dan terapi
pemrosesan ulang, dan terapi pemaparan. Perlu diingat, tidak ada temuan mengenai CBT yang
lebih unggul dalam bentuk tunggal daripada pendekatan lainnya.
❚ SSRI lini pertama untuk tatalaksana PTSD akut dan jangka panjang. (fluoxetine, paroxetine,
atau sertraline, NNT= 4-5). Penelitian juga mendukung penggunaan obat lini kedua untuk
menghilangkan gejala spesifik PTSD. Kelas antidepresan lain, benzodiazepin dan hipnotik
nonbenzodiazepine, antipsikotik atipikal, dan agen stabiliasasi mood digunakan sebagai
tambahan untuk SSRI, dan dalam kombinasi psikoterapi.

❚ kolaborasi pengobatan adalah pendekatan yang ideal. Dalam model pengobatan kolaboratif,
dokter layanan primer dapat merujuk ke penyedia layanan tingkat menengah dan konsultasi
berkala dengan spesialis kesehatan mental.
KASUS. Mauren: Sekarang sudah 5 tahun sejak diagnosis kasus PTSD kronis yang cukup
parah. Sejak itu saya selalu memantaunya secara teratur dan dapat mengurangi obat pereda
nyeri, menyesuaikan dosis obat psikotropik, dan meyakinkannya untuk psikoterapi. Maureen
masih memiliki banyak masalah kesehatan, fungsinya telah membaik dan untuk pertama
kalinya ia telah menjalani pemeriksaan kesehatan yang vital, termasuk Pap smear, mamografi,
dan kolonoskopi.
KASUS. Dominic: Setelah diagnosis PTSD, Dominic membutuhkan waktu 18 bulan untuk
kembali pulih dengan kontrol di pelayanan primer, SSRI, dan CBT. Dia mulai merasa jauh
lebih baik, kami menghentikan pengobatan setelah 2 tahun pengobatan, dan dia tidak kembali
ke klinik selama 2 atau 3 tahun, kecuali untuk flu shots dan kebutuhan kesehatan rutin lainnya.
Ketika api di jalanan menmbuat gejala PTSD-nya muncul kembali, kami memberikan SSRI
dan saya bertemu dengannya setiap bulan selama 6 bulan untuk memantau gejala PTSD dan
memberikan dukungan. Pada akhir 6 bulan, gejala PTSD Dominic telah banyak terselesaikan.
PTSD tetap dapat terjadi dalam bentuk subklinis dalam waktu yang lama tetapi gejala-
gejalanya dapat bertambah dan berkurang, kami memutuskan untuk tetap memebrikan terapi
antidepresan. Dominic merasa baik, dan datang untuk follow-up tahunan.

Anda mungkin juga menyukai