Anda di halaman 1dari 14

penasaran, kenapa kok ejaan bahasa yang dituangkan pada Sumpah Pemuda 87 tahun yang lalu bebeda

dengan ejaan yang kita gunakan sehari-hari sekarang? Sebagian dari kita mungkin dengan gampangnya
berpikir bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang pertama kali disahkan pada momentum
Sumpah Pemuda tersebut, tapi sekarang malah beda ejaannya. Apakah benar demikian? Dari mana sih
asalnya ejaan yang tertuang di zaman Sumpah Pemuda? Bagaimana pula ceritanya bahasa persatuan kita
bisa bertransformasi dari edjaan tempoe doeloe menjadi ejaan yang disempurnakan (EyD) yang dipakai
dalam kehidupan Indonesia modern?

Nah, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, Zenius Blog kali ini mau mengulik sejarah bahasa
persatuan kita, khususnya tentang ejaannya. Siapa yang menyangka, ejaan sebagai bagian dari bahasa,
ternyata bisa dijadikan alat politik untuk mengendalikan suatu kelompok masyarakat? Ya, ternyata
penetapan standar ejaan yang mungkin terlihat sepele terkait erat dengan usaha sekelompok penguasa
untuk melenggangkan pengaruhnya sehingga kadang menuai pro dan kontra. Siapa saja penguasa-
penguasa di Indonesia yang turut andil dalam ejaan bahasa kita sehari-hari?

Baiklah, langsung saja kita masuk ke mesin waktu bahasa Indonesia.

ejaan

Pengenalan Ejaan

Salah satu sifat bahasa adalah berubah. Perubahan itu bisa karena pemakainya, baik karena kesepakatan
atau keterbiasaan, bisa juga atas kemauan pemerintah, atau kebutuhan lainnnya. Salah satu yang bisa
berubah dari bahasa adalah ejaan. Apa sih ejaan itu?

Ejaan merupakan kata turunan dari eja yang ditambahkan imbuhan –an. Kalau kita cek di Tesaurus
Bahasa Indonesia, bikinan Eko Endarmoko, ejaan juga berarti pelafalan, pelafazan, pengucapan,
penyuaraan, atau penyebutan suatu huruf atau kata.
Ya, intinya ejaan adalah bagaimana sih kita mengucapkan (secara lisan) sebuah kata. Ejaan sendiri diatur
dalam kaidah berbahasa baku, termasuk di dalam bahasa Indonesia. Jadi, ejaan tidak hanya diatur dari
segi cara pengucapan tapi juga cara menulis dan penggunaan tanda baca.

Asal Mula Ejaan Bahasa Indonesia Mengalami Standardisasi

Sebelum mempunyai tata bahasa baku dan resmi menggunakan aksara latin, bahasa Melayu (sebagai
cikal-bakal Bahasa Indonesia) ditulis menggunakan aksara Jawi (arab gundul) selama beratus-ratus tahun
lamanya. Lalu, sejak bangsa Eropa datang dan nangkring di Nusantara, barulah kita mengenal aksara
latin. Ejaan latin yang dipakai untuk bahasa Melayu pun sudah berubah berkali-kali sesuai dengan
kebijakan para penulis buku pada waktu itu. Ternyata Nusantara yang diduduki Belanda punya gaya ejaan
yang berbeda dengan Semenanjung Melaya yang notabene dikolonisasi Inggris.

Hal ini pastinya bikin ruwet, bahasa sama tapi kaidah ejaan latin beda. Eh, ditambah dengan aksara Jawi
yang asing di mata bangsa Eropa. Untuk mengatasinya, tahun 1897, seorang linguis Londo (sebutan
orang Belanda) kelahiran Batavia, yang bernama A.A. Fokker mengusulkan agar ada penyeragaman ejaan
di antara dua wilayah ini. Hingga akhirnya, van Ophuijsen (sistem orthografi) membakukan segalanya
tentang Bahasa Melayu.

Prinsip-prinsip yang Mendasari Perubahan Ejaan dalam Bahasa Indonesia

Ejaan dalam konteks Bahasa Indonesia sendiri mengalami perubahan beberapa kali sejak seratus tahun
ini. Motif yang mendasari perubahan ejaan itu umumnya karena alasan politik. Tapi, sebelum kita masuk
ke cerita pengaruh-pengaruh politik apa saja yang memotori perubahan tersebut, ada baiknya kita perlu
tahu dulu nih prinsip aja sih yang biasanya digunakan para ahli bahasa dalam melakukan perubahan
ejaan. Prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Prinsip kehematan (efisiensi)


Bayangkan, kalau elo disuruh menulis kalimat ini menggunakan ejaan jadul (zaman doele): saya selalu
galau jika memikirkannya. Jadinya seperti ini: saja selaloe galaoe djika memiirkannja. Lebih efisien kalau
kita pakai ejaan yang sekarang, kan? Lagipula, ada beda antara pengucapan dan penulisan.

2. Prinsip keluwesan

Keluwesan berarti kemampuan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Pada contoh yang gue sebutin
sebelumnya, keliatan kan, dengan ejaan zaman sekarang, kita lebih luwes menulis dan mengucapkannya.

“Kalau begitu, huruf x bisa mewakili partikel –nya seperti yang digunakan bahasa alay akhir-akhir ini,
dong?”- anak muda masa kini

meme-from-iphonetextgenerator

Ya, masuk akal. Tapi tidak bisa masuk ke dalam konteks bahasa baku kita. Kenapa tidak bisa? Coba
bayangkan, nama tokoh kartun X-men atau merk fotokopi Xerox dibaca menjadi nya-emen atau nya-ero-
nya. Jadi enggak universal, kan??

3. Prinsip kepraktisan

diakritikPrinsip kepraktisan ini terkait dengan penggunaan tanda diakritis. Apa tuh tanda diakritis? Itu
lho, tanda di atas huruf yang biasanya dipake di negara-negara yang masih berbahasa tonal, kayak
Mandarin, Jerman, Ceko, Vietnam, Islandia, atau Spanyol. Tanda diakritis tetap dipertahankan di negara-
negara tersebut karena adanya perbedaan makna yang dikandung. Dulu, bahasa kita sempat
menggunakan penanda diakritis lho, tetapi dihapuskan dengan alasan kepraktisan.

Nah, selanjutnya, kita akan lihat perjalanan ejaan dalam Bahasa Indonesia sejak bahasa Melayu
dibakukan. Lalu, setelah berselang tiga puluh enam tahun, berganti (meskipun tidak banyak namun
cukup signifikan) menjadi ejaan Republik, sebagai penanda Indonesia tidak lagi dibayang-bayangi
Belanda (1947). Berikutnya, terdapat tiga ejaan yang kurang beken yang menjadi tahapan hingga ke
Ejaan yang Disempurnakan (EyD), yaitu ejaan Pembaruan (1957), ejaan Melindo (1959) dan ejaan Baru
(1966). Setelah melalui masa-masa kegalauan perencanaan bahasa di era Soekarno, masalah-masalah ini
dirampungkan hingga akhirnya Soeharto meresmikan EyD pada perayaan kemerdekaan Indonesia, tahun
1972 lalu.
1. Ejaan van Ophuysen (1901-1947)

Charles Adrian van Ophuijsen (Ch. A. van Ophuysen) merupakan tokoh penting dalam tonggak bahasa
Indonesia. Seperti yang udah gue sebutkan sebelumnya di atas, ejaan Ophuijsen lahir dari niat
pemerintah kolonial Belanda untuk menengahi keberagaman variasi bahasa Melayu yang ada di
Nusantara saat itu, sekaligus memudahkan Belanda menyebarkan kekuasaan di daerah kolonisasinya.

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan van Ophuysen

Dulu, bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal BI ditulis menggunakan huruf Jawi (Arab Melayu atau Arab
gundul). Meskipun bahasa ini tetap hidup di masyarakat, para sarjana Belanda menilai bahasa Melayu
tidak cocok menggunakan huruf Arab karena penulisan huruf vokal seperti e, i, o ditulis sama saja saat
ingin menuliskan kata yang memiliki vocal a dan u. Bagi yang tinggal di daerah Riau dan pernah
mendapatkan pelajaran Arab Melayu dari sekolahnya, mungkin ngerti nih dengan apa yang gue maksud.
Sebagai ilustrasi, coba lihat deh contoh tulisan Arab Melayu (arab gundul) di bawah ini.

arab melayu

Sebenarnya sih bukan itu saja, salah satunya karena ancaman militansi umat Islam bagi kolonial Belanda
membuat Belanda merasa perlu mengurangi pengaruh Islam-arab di Nusantara.

Faktor lain penetapan ejaan baku ini diresmikan Belanda karena pada saat itu pemerintah kolonial
sedang menjalankan politik etisnya di Nusantara, yaitu sebuah kebijakan untuk membuka peluang
pendidikan bagi kaum ningrat Nusantara. Masalahnya, jika bahasa Melayu tidak distandarkan, proses
pendidikan ini akan terhambat. Coba bayangkan kalau tidak ada standar bahasa, pasti susah kan
melakukan proses belajar-mengajar?

Dalam karirnya sebagai inspektur pendidikan ulayat (kaum bumiputera, saat itu), van Ophuijsen telah
membuat Kitab Logat Melayu: Woordenlijst voor de spelling der Malaisch taal met Latijnch karakter
(Perbendaharaan Kosakata: daftar kata untuk ejaan bahasa Melayu dalam huruf Latin) yang diterbitkan
di Batavia 1901 dan berisi 10.130 kata-kata Melayu dalam ejaan baru, dengan prinsip ejaan bahasa
Belanda. Kitab ini merupakan upaya Belanda dalam membuat standar bahasa saat mereka bercokol di
Nusantara. Yah, namanya berbasis alasan kolonial, tentu ini dibuat agar bisa meluaskan kekuasaan
mereka sekaligus dapat menyatukan Nusantara di bawah kendalinya. Belanda menerapkan bahasa ini
mulai dari sekolah-sekolah bumiputera. Oleh karena itu, bahasa Melayu Ophuijsen ini sering disebut
“bahasa Melayu sekolahan”. Tidak berhenti di situ, sejak penerbit Balai Poestaka (sekarang: Balai
Pustaka) didirikan Belanda, bahasa ini semakin menancap di kaum terdidik Nusantara. Ya, artinya
Belanda melalui pemerintah kolonialnya berhasil melakukan politik bahasa dengan menjadikan bahasa
(Melayu) Indonesia sebagai standar bahasa kita, yang bahkan masih berlaku hingga saat ini.

Pernah terpikir enggak sih, bagaimana bisa seorang Belanda totok macam van Ophuijsen bisa menulis
kitab bahasa Melayu yang demikian kompleks? Ternyata eyang buyut Ophuijsenini lahir di Solok,
Sumatera Barat, tempat digunakannya bahasa Melayu dengan masif. Selain memang suka mempelajari
bahasa-bahasa di Nusantara, kehidupan masa kecil van Ophuijsen yang lahir di tanah Minangkabau ini
memudahkannya membuat standar yang menjadi cikal-bakal Bahasa Indonesia yang kita pakai hingga
saat ini. Enggak heran juga, akhirnya dia diangkat menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden,
Belanda.

Ciri-Ciri Ejaan van Ophuysen

Dalam merumuskan buku tersebut (1896), van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Pedoman tata bahasa ini selanjutnya dikenal dengan nama ejaan van
Ophuijsen dan diakui pemerintah kolonial tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:

Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri
dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam
Soerabaïa.

Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, saja, wajang, dsb.

Huruf oe untuk menuliskan kata-kata doeloe, akoe, Soekarni, repoeblik (perhatikan gambar prangko di
atas), dsb.

Tandadiakritis, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, jum’at, ta’(dieja
tak), pa’, (dieja pak), dsb.

Huruf tj yang dieja c saat ejaan ini dihapuskan, seperti Tjikini, tjara, pertjaya, dsb.

Huruh ch yang dieja kh, seperti chusus, achir, machloe’, dsb.


Ternyata, jauh sebelum menerbitkan Kitab Logat Bahasa Melayu, lelaki yang lahir tahun 1856 dan
meninggal tahun 1917 ini sudah membuat dua buku bahasa lain: Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht
(Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak) tahun 1879 dan Maleische Spraakkunst (Tata
Bahasa Melayu) tahun 1910. Buku Tata Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi pedoman dalam
berbahasa Melayu di Indonesia setelah diterjemahkan oleh T.W. Kamil dan diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Kecakapannya di bidang bahasa membuat pemerintah kolonial menugaskannya untuk merumuskan tata
bahasa Melayu baku. Maka mulailah Ophuysen berjalan menyusuri Sumatera hingga Semenanjung
Malaya untuk meneliti bentuk murni dari bahasa Melayu hingga terpilihlah bahasa Melayu Riau sebagai
patokan standardisasi.

Pro-Kontra Ejaan van Ophuysen

Layaknya pro dan kontra, ada yang sepakat dan menolak, hal itu terjadi pada karya Ophuijsen ini.
Meskipun jasa Ophuijsen ini begitu besar, ada juga yang menudingnya sebagai arsitek yang telah
menggusur varian bahasa Melayu lain. Joss Wibisono, sejarawan, menyalahkan Ophuijsen sebagai pihak
yang menjadikan derajat bahasa Melayu Riau (Riouw Maleisch) lebih tinggi daripada Melayu pasar (laag
Maleis) yang memang digunakan secara meluas oleh khalayak di Nusantara dulu. Bagi Joss, Melayu Riau
itu mitos, dan hanya ditemui di karya sastra (yang nanti setelah dibakukan oleh Belanda kemudian
disebarluaskan melalui novel-novel terbitan Balai Pustaka).

Meski ejaan Ophuysen sudah dihilangkan oleh pemerintah dulu, tetapi ejaan ini nyatanya tidak benar-
benar hilang. Tengok saja merek dagang: Bakoel Koffie (http://www.bakoelkoffie.com/) yang ingin
memunculkan kembali suasana tempo doeloe. Selain itu, Eka Kurniawan, seorang sastrawan muda,
pernah menelurkan kompilasi cerpen berjudul Cinta Tak Ada Mati (2005), dengan memakai ejaan
Ophuysen di salah satu cerpennya: Pengakoean Seorang Pemadat Indis. Eka beralasan ingin tampil
orisinal dengan ejaan ini dan berniat menggugah generasi muda pada ejaan lama agar tidak enggan
membaca tulisan-tulisan jadul.

2. Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) – 1947-1972

soewandi

Raden Soewandi

Ejaan ini disebut sebagai Ejaan Soewandi karena diresmikan tanggal 17 Maret 1947 oleh Menteri,
Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan saat itu, yaitu Raden Soeawandi, menggantikan ejaan
Ophuijsen. Sebenarnya nama resminya adalah ejaan Republik, namun lebih dikenal dengan ejaan
Soewandi.

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Soewandi

Menteri yang sebenarnya ahli hukum dan merupakan notaris pertama bumiputera ini punya alasan
mencanangkan ejaan ini. Faktor kebangsaan Indonesia yang sudah merdeka dan ingin mengikis citra
Belanda yang diwakili oleh ejaan Ophuijsen membuat pentingnya adanya perubahan ejaan di bahasa
kita. Apalagi, saat itu Londo sedang sirik-siriknya melihat pencapaian kemerdekaan mantan negara
jajahannya ini hingga datang lagi ke Indonesia dengan memboncengi sekutu (tahun 1947). Semakin jelek
deh impresi Belanda yang terwakilkan dalam ejaan Ophuijsen.

Ciri-ciri Ejaan Soewandi

1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata dulu, aku, Sukarni, republik (perhatikan gambar prangko di
atas), dsb.

Ternyata yah, perubahan ejaan ini mendapat pertentangan dari orang-orang yang namanya
menggunakan ejaan oe. Sebagian tetap mempertahankan menggunakan ejaan Ophuijsen untuk nama
mereka meskipun ejaan Republik sudah diberlakukan. Mungkin salah satu orangnya adalah Mr.
Soewandi sendiri � Belakangan, varian penulisan nama dua mantan presiden kita, Soeharto (Suharto)
dan Soekarno (Sukarno), membuat salah satu komponen ejaan Ophuijsen dimaklumkan untuk
dimunculkan kembali (lihat dua gambar di bawah).

sukarno

suharto

Duo contoh di atas membuktikan bahwa nama orang yang mestinya tetap (enggak berubah), ternyata
bisa juga berubah disesuaikan dengan ejaan yang sudah lazim.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, pada kata-kata makmur, tak, pak, atau hamzahnya
dihilangkan menjadi kira-kira, apa elo masih menulis jum’at alih-alih jumat?

Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada mobil2, ber-jalan2, ke-barat2-an. Jadi terjawab deh
kenapa sampai saat ini kita masih sering menuliskan angka 2 sebagai perwakilan kata ulang. Tapi sayang,
kalau konteks bahasa baku, hal ini sudah kedaluarsa.

Awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang menyertainya. Alhasil,
penulisan disekolah atau dijalan disamakan dengan dijual atau diminum. Nah, penulisan di- sebagai
awalan dan kata depan selalu menjadi momok dalam tutur lisan maupun tulisan. Saat mestinya
digabung, dijalankan menjadi di jalankan. Sebaliknya, di mana menjadi dimana.

Penghapusan tanda diakritis atau pembeda antara huruf vokal tengah / yang disebut schwa oleh para
linguis atau e ‘pepet’ disamakan dengan e ‘taling’. Gue pribadi agak keberatan dengan penghapusan ini.
Akibatnya, karena dialek bahasa Indonesia kita sangat beragam dan dipengaruhi bahasa daerah masing-
masing, jadi mestinya kita bisa maklum jika ada orang Ambon/Papua yang kesulitan mengeja Tebet
(konsensusnya Tbt) tetapi malah dieja Tebet (seperti mengeja bebek). Atau misalnya, komputer yang bagi
orang Batak dieja sebagai komputer (seperti mengeja e pada kemah) alih-alih komputer (seperti mengeja
e pada terbang). Namun begitu, ada juga pendapat bahwa hal ini baik karena menuliskan tanda diakritis
tidaklah praktis.

3. Ejaan Pembaharuan (1957)

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Pembaharuan

Ejaan ini bermula dari polemik yang terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia ke-2 di Medan tahun 1954.
Kongres kedua ini akhirnya diadakan setelah pertama kali diadakan di Solo tahun 1938. Yamin selaku
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dan pemrakarsa Kongres Bahasa Indonesia ke-2
mengatakan bahwa kongres ini merupakan bentuk rasa prihatinnya akan kondisi bahasa Indonesia saat
itu yang masih belum mapan. Medan pun dipilih karena di kota itulah bahasa Indonesia dipakai dan
terpelihara, baik dalam rumah tangga ataupun dalam masyarakat, setidaknya itu alasan Yamin. Di
kongres ini, memang diusulkan banyak hal dan salah satunya adalah perubahan ejaan. Usulan ini
ditindaklanjuti oleh pemerintah waktu itu dengan membentuk panitia pembaharuan Ejaan Bahasa
Indonesia.

Ciri-ciri Ejaan Pembaharuan

Panitia ini diharapkan bisa membuat standar satu fonem dengan satu huruf (misalnya menyanyi:
menjanji menjadi meñañi; atau mengalah: mengalah menjadi meɳalah). Penyederhanaan ini sesuai
dengan iktikad agar dibuat ejaan yang praktis saat dipakai dalam keseharian. Selain itu, isu tanda diakritis
diputuskan agar kembali digunakan. Walhasil, k-e-ndaraan dengan é (seperti elo mengeja k-e-lainan)
yang tadinya ditulis sama dengan k-e-mah, akhirnya ditulis berbeda. Untuk kata sjarat (syarat) dibedakan
menjadi śarat.

Kalau enggak hati-hati, bisa saja nyaru antara sarat (penuh/termuat) dengan syarat. Sedangkan huruf j
yang digunakan pada kata jang (yang) malah sudah disepakai ditulis menjadi yang (seperti kita pakai
sekarang). Kata mengapa pun akan dieja menjadi meɳapa. Untuk kata-kata berdiftong ai, au, dan oi
seperti sungai, kerbau, dan koboiakan dieja dengan sungay, kerbaw, dan koboy.

Prof. Priyono

Prof. Priyono

Ejaan Pembaharuan ini dibuat dengan maksud menyempurnakan Ejaan Soewandi dan juga disebut
dengan Ejaan Prijono-Katoppo. Meskipun salah satu putusan kongres menyatakan supaya ejaan itu
ditetapkan undang-undang, ejaan ini urung diresmikan. Meskipun demikian, ejaan ini disinyalir menjadi
pemantik awal diberlakukannya EyD tahun 1972.

4. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan dan dihadiri oleh delegasi Malaysia, maka mulailah ada
keinginan di antara dua penutur Bahasa Melayu ini untuk menyatukan ejaan. Keinginan ini semakin kuat
sejak Malaysia merdeka tahun 1957 dan kita pun menandatangani kesepakatan untuk membicarakan
ejaan bersama tahun 1959-nya. Sayangnya, karena situasi politik kita yang sedang memanas (Indonesia
sedang condong ke poros Moskow-Peking-Pyongyang, sedangkan Malaysia yang Inggris banget),
akhirnya ditangguhkan dulu pembahasannya. Hal lain yang membuat ejaan ini kurang seksi adalah
perubahan huruf-huruf yang dianggap aneh. Misalnya, kata "menyapu" akan ditulis "meɳapu"; "syair"
ditulis "Ŝyair"; "ngopi" menjadi "ɳopi"; atau "koboi" ditulis "koboy". Mungkin aneh karena belum biasa
dan harus menyesuaikan diri lagi. Tapi, akhirnya, usulan yang mustahil dilaksanakan ini dengan cepat
ditinggalkan.
5. Ejaan Baru atau Ejaan LBK

Sebelum adanya EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang bernama Pusat Bahasa), pada tahun
1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan ini, sebenarnya estafet dari ikhtiar yang sudah dirintis
oleh panitia Ejaan Melindo. Anggota pelaksananya pun terdiri dari panitia ejaan dari Malaysia. Pada
intinya, hampir tidak ada perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada rincian kaidah-
kaidah saja.

6. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

facepalm

Nah, sekarang, kita bahas ejaan yang paling populer se-Indonesia: EyD! Anak sekolahan mana yang
enggak kenal “makhluk” ini? Mahasiswa mana yang belum pernah ditegur oleh dosennya karena
makalahnya tidak sesuai EyD? Kapan sih ejaan yang selalu jadi acuan para guru bahasa Indonesia elo ini
muncul? Ejaan ini diresmikan sejak 16 Agustus 1972 oleh Presiden Soeharto. Sejak itulah, muncul
perubahan signifikan pada ejaan kita hingga saat ini. Bayangkan, semua kop surat+amplop, kartu nama,
papan jalan, papan nama kantor dan toko, mulai dari Sabang sampai Merauke diganti dan menyesuaikan
diri.

Lalu kenapa sih ejaan kita berganti lagi? Kenapa enggak pake ejaan sebelumnya saja. Kan bisa
menghemat, tak perlu gonta-ganti. Sebenarnya perjalanan menuju EyD ini relatif panjang. Dimulai dari
era Soekarno masih presiden (1954), lalu sempat sudah ada perubahan melalui Ejaan Pembaharuan
(1957), dilanjutkan dengan Ejaan Melindo (1959) yang akhirnya batal lagi karena Soekarno menyerukan
Ganyang Malaysia!. Kondisi terkatung-katung itu lagi-lagi mandek karena peristiwa kudeta 30 September
1965. Kondisi ekonomi kita parah, politik dan keamanan yang buruk. Tentu maklum kalau urusan bahasa
menjadi ditangguhkan dulu. Mulai Mei 1966, urusan ejaan dibuka kembali dan kepanitiaan diketuai oleh
pendekar bahasa Indonesia, Anton Moeliono.

Meskipun ejaan ini rampung setahun sesudahnya, dan telah dirundingkan dengan Malaysia (karena sejak
1959 memang kita sudah bersepakat buat menyamakan ejaan), tapi lagi-lagi ejaan ini urung diluncurkan.
Ejaan ini mendapatkan kritik karena isu politis, alih-alih linguistis. Namun, setelah Mendikbud kala itu
mengeluarkan SK tahun 1972 barulah ejaan ini dapat melenggangkan diri ke permukaan. Di negeri jiran
sendiri, namanya bukan EYD tapi ERB (Ejaan Rumi Baru Bahasa Malaysia/ New Roman Spelling of
Malaysian).

Ciri-ciri EYD

Jadi, apa saja perubahan sejak EYD? Versi lengkap elo bisa unduh dari sini:

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/pedoman_umum-
ejaan_yang_disempurnakan.pdf

Kalau ada waktu untuk baca, lebih bagus dibaca. Hitung-hitung nyicil sebelum menjadi mahasiswa nanti
(kalau mahasiswa, semoga enggak terbentur dengan persoalan EYD dengan sang dosen tercinta).

Jadi, kalau biasanya Djajalah Indonesia!, maka sesuai EYD diubah menjadi Jayalah Indonesia!. Perubahan
ejaan dj menjadi j pun tak terhindarkan. Kalau dalam teks proklamasi 1945 dulu masih tertulis “Djakarta,
hari 17……”, maka diubah menjadi “Jakarta, hari 17…..”. Untuk sebagian orang tetap mengeja namanya
jika mengandung ejaan dj. Misalnya, Djojobojo alih-alih Joyoboyo; Selain itu, ejaan nj juga diubah
menjadi ny, sehingga penulisan njonja menjadi nyonya; Hal ini juga berlaku untuk ejaan kata ch dan
menyesuaikan diri menjadi kh. Kalau dulu achirnya, sekarang menjadi akhirnya.

Pro-Kontra EYD

Pemberlakuan EyD bukan tanpa kritik, lho. Bagi pengritik zaman Orba, EyD dianggap sebagai produk
Soeharto yang “sukses” mengatur cara pikir masyarakatnya. Kok bisa? Jadi, ketika aturan berbahasa
sudah seragam dan terstandar, pemerintah akan mudah mengatur masyarakatnya. Itulah yang
menyebabkan indonesianis, Benedict Anderson, yang sangat anti-Soeharto menjadi oposisi EYD.

Salah satu bentuk perlawanannya, ia tuangkan melalui tulisan bergaya ejaan Suwandi. Menurutnya,
pemberlakuan EYD adalah bentuk ketakutan Soeharto terhadap pengaruh Soekarno kala itu. Memang,
sejak Soeharto berkuasa, ada kecenderungan segala bentuk ke-Soekarno-an dihilangkan. Ada juga
sebagian pengamat sejarah politik yang menduga, bahwa dengan membiasakan masyarakat Indonesia
baca-tulis dengan ejaan yang baru tanpa dj, tj, cha atau nj akan membuat masyarakat malas membaca
tulisan-tulisan era sebelum Orde Baru.
Rangkuman Sejarah Perubahan Ejaan Bahasa Indonesia

Di bawah ini, rangkuman bagaimana sejarah ejaan di Indonesia mulai dari edjaan tempo doeloe hingga
EYD yang tidak asing di kuping kita:

Van Ophuysen (1901) Soewandi (1947) Pembaruan (1957) Melindo (1959) Ejaan Baru
(1966) Ejaan yang Disempurnakan (1972)

j J y y y y

dj dj j j j j

nj nj ñ ɳ ny ny

sj - ś Ŝ sy sy

tj tj - c c c

ch - - - kh kh

ng ng ɳ ɳ ng ng

z - z z z z

F - F F F f

- - V V V v

é e é é e e

e e e e e e

oe u u u u u

ai ai ay ay ai ai

au au aw aw au au

oi oi oy oy oi oi

Ejaan di Indonesia dari waktu ke waktu (Harimurdi Kridalaksana & Hermina Sutami, 2007)

****

Memang tidak dapat dimungkiri, standardisasi bahasa erat kaitannya dengan politik bahasa. Namun,
dalam melakukan standardisasi, tetap dibutuhkan perencanaan bahasa untuk mengakomodasi
kebutuhan bahasa saat itu. Jika ini tidak diterapkan, maka akan terjadi kekacauan bahasa (karena tidak
ada standar utama untuk mudah dipelajari dan dikembangkan). Perencanaan bahasa pun jamak
dilakukan di negara manapun. Tak terkecuali Belanda sekalipun, mereka punya undang-undang ejaan
(Spellingwet) dan diejawantahkan ke dalam Buku Hijau (het Groene Boekje).

Apakah EYD abadi atau masih bisa berubah? Bisa saja berubah tergantung apa yang diinginkan
pemerintah atau dibutuhkan masyarakat bahasa kita nanti. Tetapi, sebuah perencanaan bahasa yang
baik, pastinya akan bisa digunakan dalam rentang waktu yang lama. Proses panjang dari tahun 1954
menuju 1972 adalah waktu yang tidak sedikit dan melibatkan para sarjana bahasa yang trengginas untuk
membuat perencanaan bahasa Indonesia. Buktinya? Sejak ejaan terakhir diresmikan 43 tahun yang lalu,
ini masih dipakai dengan (relatif) baik oleh penuturnya. Artinya, EYD sudah terbilang mapan.
Perencanaan bahasa pun tidak melulu tentang ejaan saja, persoalan tata bahasa juga termasuk. Mungkin
ini yang perlu diperbarui dan disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.

https://www.zenius.net/blog/9959/sejarah-eyd-ejaan-bahasa-indonesia

Ejaan yang Disempurnakan (disingkat EYD) adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku dari tahun 1972
hingga 2015. Ejaan ini menggantikan Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Ejaan ini digantikan oleh Ejaan
Bahasa Indonesia sejak tahun 2015.

Sejarah Sunting

Sebuah contoh buku EYD (Ejaan yang Disempurnakan)

Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967
mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang
telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK,
juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian
diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan menteri pendidikan dan
kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September 1967.

Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun
Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut
mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua
negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi"
dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini
dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari
Ulang Tahun Kemerdakan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah
pemakaikan ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan
Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa
Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ini
merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan daripada Ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang
dipakai sejak dipakai sejak bulan Maret 1947.

Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975
Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan"
dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".

Revisi 1987 Sunting

Pada tahun 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan". Keputusan menteri ini menyempurnakan EYD edisi 1975.

Revisi 2009 Sunting

Pada tahun 2009, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dengan
dikeluarkannya peraturan menteri ini, maka EYD edisi 1987 diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi.[1]

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ejaan_yang_Disempurnakan

Anda mungkin juga menyukai